Anda di halaman 1dari 8

Nyanyian jangkrik dan hembusan malam membuat suasana semakin seram.

Satu
jam yang lalu Masjid di sekitar tempat ini mengumumkan ada seorang wanita yang
telah di ajak Tuhan berjalan-jalan di surganya. Dengar-dengar wanita itu meninggal
karena kecelakaan setelah pesta pernikahannya. Tragis. Di tempat ini pula kulihat
seorang lelaki menapaki satu per satu kotak putih di bawah kakinya. Ditemani kaki-kaki
gedung tua di sisinya dan lampu remang sebagai penghangat hatinya yang sedang di
landa badai. Suara bising hembusan malam memekikkan telinga yang tak tertutupi kain
secarik pun. Lelaki yang menggendong tas hitam berisi gitar itu tak merasakan apaapa,sama halnya ia tak dapat merasakan rintihan sakit hatinya, padahal angin berhembus
dengan kencangnya. Dingin. Namun baju hitam yang ia kenakan sedikit mampu
membantunya mengumpulkan panas-panas yang tersisa dari remangnya cahaya untuk
menghangatkan tubuhnya. Lelaki itu duduk di ujung kotak putih bersender pada kaki
gedung dan membelakangi keremangan. Ia mendongakkan kepalanya, di tatapnya
tajam-tajam kegelapan di atas sana.
Ia melongok ke arah kegelapan dan kehitaman itu, tak ada cahaya bulat ataupun
sabit yang muncul jelas, mereka tertutup kapas air tipis. Bahkan berlian yang biasa
bertebaran disana pun menyembunyikan dirinya di balik kapas itu. Jika kapas itu
menghilang tentu ia dapat melihat keindahan mereka. Namun lelaki itu tak peduli,
akankah kapas itu terus disana sampai bola merah muncul di horizon atau akan
menyingkir, menunjukan rahasia keindahannya yang berkedip kedip di tengah
kegelapan sana, seolah menggoda lelaki itu berdialog.
kau tau apa yang ku rasa, tolonglah jangan hibur aku atau aku akan menghabiskanmu
sekali lahapan, gumam lelaki itu dengan sorot matanya yang semakin tajam.
Rupanya ia melihat wajah seorang wanita disana, wanita yang tadi
melangsungkan pesta pernikahannya. Ia menatap wajah seorang yang sangat ia kenali
itu, seorang yang pernah mengisi kekosongan di depan dadanya tepat, menghangatkan
tubuhnya dengan aliran darah pemilik wajah itu bahkan berbagi karbon dioksida
dengannya. Seolah memori tentang pemilik wajah itu menari lincah ke tengah taburan
berlian yang malu-malu

menampakkan keindahannya. Entah apa yang menjadi

gambaran sosok itu, kapas airkah atau berlian-berlian indah-kah.

aaaahhh diam ! aku tak butuh lagi usahamu untuk menghiburku, sudahlah hargai
usahaku untuk melupakanmu !, geram lelaki itu sambil menutup telinga dengan telapak
tangannya.
Seakan ia mendengar tawa sosok pemilik wajah itu dengan jelas, tawa yang
dulunya pernah ia dengar dengan sangat jelas menembus gendang telinga dan bayang
wajah cerianya jatuh tepat di fokus matanya. Sosok itu tersenyum menampakkan
keanggunannya, melelehkan hati rapuh lelaki itu. Lelaki itu bukan tak senang melihat
sosok itu tertawa. Namun ia sedang tak ingin lagi mengenang seorang yang telah
melumpuhkan kekerdilan cintanya.
***
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, putih, coklat.
Kerlap-kerlip

bohlam

bulat

yang

memantulkan

cahaya

warna-warni

menyakitkan matanya, bolak balik ia daratkan jari ke sana. Tak hanya menyakitkan
mata, namun menusuk tanpa ampun ke dalam dada sebelah kiri atas. Darahnya
bercucuran mengalir mengisi gelas yang ada di tangannya. Hingga ia merasa bukan bir
yang ia teguk, namun darahnya. Darah hasil luka. Ia merasa namun tak melihat.
Beberapa puluh atau bahkan ratusan menit yang lalu ia berpapasan dengan
sesosok wanita yang sangat ia kenal. Ya wanita itu, wanita yang pernah ia cintai, wanita
yang cahayanya pernah meluluhkan hati lelaki itu. mungkin bukan pernah, namun ia
cintai hingga sekarang atau bahkan hingga Tuhan mempertemukan mereka lagi di dunia
yang hadir setelah ia meninggalkan bumi ini. Pertemuan yang mungkin tentang cinta
sejati, meskipun yang ia genggam saat ini hanyalah cinta kerdil yang malu untuk
mengunggulkan. Entah apa yang harus ia banggakan. Mempertahankan kekerdilan
cintanya atau memperjuangkan cinta sejatinya, bertaruh dengan sahabat kecilnya yang
tadi ia lihat memeluk mesra wanita itu, wanita yang pernah ia cinta lagi-lagi dengan
kekerdilan cintanya.
Lama lelaki itu melamun, menggoyangkan gelas berisi bir yang rasanya tak lagi
sedap, tak sesedap dulu saat wanita itu menemaninya meneguk bir yang ada di
depannya. Terdengar samar nama lelaki itu di sebut tiga kali dengan pengeras suara oleh

petugas yang telah menjadi Master of Ceremony dalam pesta ini, pesta pernikahan
wanita yang ia cintai dengan sahabat kecil lelaki itu.
kepada saudara Dray, silahkan menuju ke atas panggung ini, dengar MC itu samar,
lagi-lagi ia mendengar suara itu hingga tiga kali, baru ia sadar sepenuhnya kalau
memang namanyalah yang disebut oleh pengeras suara berkali-kali pada pesta itu.
Lelaki itu berjalan gontai menuju panggung yang telah di hiasi berbagai
ornament pernikahan. Ia melirik kearah pasangan yang memandori acara pesta kali ini,
dengan penuh tenaga ia lontarkan senyum termanis dengan topengnya. Lelaki
berkemeja putih lusuh itu berharap agar Tuhan tak memaksa ia melepaskan topeng di
depan sepasang makhluk paling bahagia semalam itu.
saya akan menyanyikan sebuah lagu, maaf jika lagu yang saya pilih terlalu membuat
hadirin sekalian bersedih, sambutnya sebelum ia gunakan jarinya untuk menjamah
gitar yang ada di pangkuannya.
Di tengah lagunya, ia melirik pada kumpulan manusia yang sedari tadi
menatapnya penuh iba sambil mengangkat tangannya keatas dan menggoyangkannya.
Matanya menemukan sepasang makhluk yang terlihat antusias mendengarkan lagunya,
menemukan ratu yang di dekap raja dengan penuh kelembutan dan kasih sayang,
dengan wajah ratu yang sangat iba seolah menangkap apa yang lelaki itu nyanyikan.
Tanpa perintah, topeng yang ia kenakan lepas begitu saja, wajah murungnya terlihat
jelas, air yang sedari tadi ia bendung tak mampu lagi ia pertahankan. Air itu meluap
deras membasahi sungai-sungai pipinya yang putih lembut, suaranya bergetar
menambah iba para pendengarnya.
Setelah ia mengakhiri pertunjukannya, semua pita suara makhluk-makhluk yang
menontonnya tak terkecuali raja dan ratu pesta itu seolah tercekik. Banyak air mata
bercucuran menghiasi pipi mulus mereka. Serentak tepuk tangan memeriahkan akhir
pertunjukan. Membuat bibirnya tersungging terpaksa. Ia menuruni panggung, kembali
ke tempat duduknya tadi, melewati wanita yang harus ia relakan dan ia lupakan itu,
matanya menangkap ada yang mengalir di pipi wanita itu, aliran air yang tak pantas ada
di pipi wanita seanggun itu. Ia menghentikan langkahnya sejenak, dan ditatapnya wanita
itu. Jari lelaki itu bergerak ditempat tanpa perintah seolah ingin mengusap aliran air di

pipi wanita itu. Satu persatu embun yang bermukim di balik kelopak matanya lepas
kendali juga, tanpa perintah. Hati kecilnya memerintahkan untuk kembali berjalan ke
tempat ia duduk tadi. Masih dengan pipinya yang di hiasi sungai-sungai indah.
***
Berlian di atas sana ternyata masih menyembunyikan keangunannya, suara
berisik sepeda dan gerobak mesin tak membuat lamunan lelaki itu bunyar. Perlahan ia
buka lembaran buku yang telah lama tertutup, bahkan tersegel dari hatinya. Buku yang
kusam namun penuh dengan catatan warna-warni, hanya di akhir lembaran itu berubah
menjadi abu-abu. Satu persatu lembaran itu ia buka. Terasa melayang menyusuri mesin
waktu berapa triliun detik yang lalu.
Saat kita mencintai sesorang, kita akan menemukan cermin pada orang
tersebut, jadi diri kita ada pada orang itu, bahkan aku pernah menonton sebuah film,
kamu bisa di sebut mencintai dia atau jatuh cinta dengannya kalau kamu melihat Tuhan
ada di dalam dirinya, jawab wanita itu saat sang lelaki menanyakan bagaimana ia tahu
siapa orang yang saat ini ia cintai
Batin lelaki itu menjerit ya ! aku temukan cerminku pada dirimu dan ku
temukan Tuhanku padamu,
Apa kamu sudah menemukan cerminmu itu?, ranya lelaki itu agak serius
iya, aku sudah temukan itu, hemm sudah ya, aku ingin tidur, mataku sudah
mengantuk, jawab wanita itu sambil beranjak dari depan cermin, menuju tempat
tidurnya
iya, tidur nyenyak, jawab lelaki itu
sebentar ! mengapa kamu tidak pernah mengucapkan mimpi indah untukku?, tungkas
wanita itu
maafkan aku, aku hanya tidak ingin mimpi indahmu mengalahkan kisah persahabatan
kita, sudah ya, kamu tidur saja jawabnya sedikit lirih dan langsung menekan tombol
merah di Handphone-nya.

Sebenarnya lelaki itu ingin memutar waktu lagi dimana percakapan terakhir ia
sampaikan, saat ia teringat kalimat kisah persahabatan, ia sangat ingin menggantinya
dengan kisah cinta. Namun apa daya. Ia tak berdaya. Ia masih memelihara kekerdilan
cintanya, demi sahabatnya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka berdua bertemu di suatu caf.
eh Dray udah lama nunggu?, sapa wanita itu
ehm enggak kok baru 5 menit aku sampai sini, jawabnya agak gugup
Mata lelaki itu menemukan seorang lelaki yang sangat ia kenal, ya sangat ia kenal.
Sahabat kecilnya.
Oh iya ini Amon, udah kenal kan kalian? Emon sering cerita tentang kamu Dray, kata
wanita itu sambil tersenyum
hey Dray, masih inget aku kan? Bagaimana kabarmu?, sapa Amon
oh tentu saja, baik sekali kabarku, kau sendiri sepertinya lebih baik dari aku, jawab
Dray sambil memeluk sahabat kecilnya itu
Mereka bertiga tertawa di sepanjang pertemuan, entah cerita tentang masa kecil
Dray dan Emon atau kisah cinta Emon dan Vela. Namun bagi Dray, tawa yang ia
lontarkan hanyalah bagian dari sandiwaranya, hatinya menjerit melihat pemandangan di
depannya. Lampu warna-warni tak berefek padanya. Semua terasa hanya dua warna.
Hitam dan putih. Hingga ia masih tak mengetahui, mana hitam yang sebenarnya dan
mana hitam yang karena hatinya.
Hatinya menangis, merintih dan lirih menjerit Cinta ini bukan hanya tentang
kebahagiaanku, namun kebahagiaanmu dan kebahagiaan lelaki di sampingmu. Aku rela
kau bersamanya, aku mementingkan kebahagiaanmu di atas cintaku. Dan aku
menghormati kekeluargaanku dengan calon suamimu, aku tak akan egois hanya karena
cinta ini, aku masih sanggup mempertahankan kekerdilan cintaku, giginya cepat-cepat
menggigit bibirnya, untuk menahan air mata yang sepertinya sudah tidak dapat di
bendung oleh kelopaknya.

***
Lelaki itu sampai pada suatu persimpangan. Ia merasa di beri kebebasan oleh
Tuhan, Ia masih diizinkan membagi fikirannya ke beberapa titik. Ia menikmatinya,
sangat bahkan. Meski bau rinai pada kapas gelap di atas sana sangat merindukan darat.
Sangat ingin berjumpa dengan tanah. Sepertinya lelaki itu terlalu mengerti, terlalu
pandai berfirasat.
Ia Izinkan rinai itu menyatukan dirinya dengan darat, melepaskan rindunya
dengan tanah. Ia tahu seberapa rindunya mereka, melwati beberapa bulan tak jumpa. Ya
seperti lelaki itu yang telah lama menahan rindu pada sang cinta. Setelah beberapa tahun
ia hanya berteman kesendirian, kesepian, kegelapan dan menjadi penikmat kesunyian.
Di persimpangan itu, di arah yang berlawanan matanya menemukan warna
warni indah disana. Indah baginya, yang telah lama merindukan biasan cahaya yang
menciptakan banyak warna, tak hanya satu atau dua warna seperti hari-harinya kemarin.
Hanya ada hitam dan putih. Bahkan kadang tak begitu hitam dan tak begitu putih. Abuabu.
Masih di bawah rinai itu, ia menikmati satu persatu rinai yang menyatu dengan
tanah. Menimbulkan wangi yang semerbak, mengingatkan pada rumah akhirnya kelak.
Wanita itu juga menikmati rinai yang mengalir membasahi tubuhnya, menghangatkan
pipinya. Hingga firasatnya bergumam ia telah mengenal wanita itu, meskipun hari itu
menjadi perjumpaan pertama mereka. Hari-hari selanjutnya mereka tetap melakukan
ritual yang sama, menari-nari di bawah rinai deras, berjamah dengannya, seolah
mendengar bisikan-bisikan penyemangat hidup mereka. Meski lelaki dan wanita itu
pada arah yang berlawanan. Lelaki itu sangat menikmati. Ia mulai jatuh cinta. Ia jatuh
cinta pada hujan.
Hari-hari dengan wanita itu ia lewati tanpa ingin waktu bergerak mengikuti
putaran badan meraka. Semakin hari, lelaki dan wanita itu semakin searah. Semakin
dekat, hingga jaraknya hanya terhitung bilangan sentimeter. Mereka saling kenal. Lelaki
itu jatuh cinta, bukan lagi pada hujan, namun pada pecinta hujan, pemilik cahaya itu.
Cinta yang mengalir tanpa henti namun tak dapat membasahi hati wanita itu.

***
Suasana malam ini seperti takluk pada kekuasaan lelaki itu, ikut bersedih
atasnya. atas cinta yang ia pelihara hingga hingga saat ini, tak peduli seberapa cacat
cintanya, dan seberapa kerdil cintanya, namun ia tetap menjaganya. Hingga saat ini, saat
wanita itu bukan lagi ada di genggamannnya. Cahaya yang dulu selalu menyinarinya
dikala mendung menyapa, mungkin tak tega melihat lelaki itu bersedih dan
menggenggam kenangan itu lagi. Cahaya lebih memilih bersembunyi, dan meneteskan
air matanya.
Hatinya terus saja menjerit, meneriakkan rasa sakitnya. Hanya matanya yang
dapat menyorotkan kepedihan. Ia menyorotkan mata itu padaku. Ya ia menemukanku. Ia
menatapku perlahan dan hampir menangkapku. Entah apa yang ada di fikirannya aku
tak mengerti, ataukah ia merasa tak tega jika tubuhku tersiram air mata cahaya, atau ia
merasa terganggu. Aku masih saja belum mengerti.
Perlahan ku tatap tajam mata lelaki itu. Ya kali ini aku dapat membacanya, ia
menyuruhku untuk mendekat. Seolah ia telah lama mengenaliku, seperti pertemuan
pertamanya dengan wanita itu dulu. Ia membelaiku lembut, sepertinya ia berfirasat
akulah wanita itu.
Perlahan ku beranikan diri untuk membisikinya, tak peduli air mata cahaya
meraung-raung mencegahku untuk mengatakan kepada lelaki itu suatu hal yang penting,
karena mereka tak ingin lelaki itu bersedih lagi, namun apa daya. Lelaki itu harus tahu.
Ku beranikan diri, meski air mata cahaya itu semakin keras meraung-raung.
aku kunang-kunang Vela, bisikku, lelaki itupun tersentak
Ya. Aku dahulu kuku jari manis sebeah kiri vela, yang dahulu menjadi saksi pernah ada
yang memasukkan cincin bunga pada jari itu, yang dulu pernag menjadi saksi kisah
lelaki itu dengan majikanku. Aku hidup kembali dan menjadi kunang-kunang. Karena
lelaki itu telah jatuh cinta pada cahaya, cahaya wanita majikanku itu. Sehingga wanita
itu menyuruhku untuk membawa cahayanya dan menghantarkan pada lelaki yang
sedang kegelapan itu. Aku diminta untuk menemaninya, agar tak kegelapan lagi.

waktuku begitu singkat, aku akan menemanimu, menerangi kegelapanmu dengan


cahaya yang Vela titipkan padaku.. Beberapa detik lagi aku kembalikan cahaya ini pada
Tuhan, bisikku
Rinai lelaki itu bercucuran, berlomba dengan air mata cahaya yang semakin menjadi.
Semua ikut bersedih melihat lelaki itu meneteskan rinainya yang sangat berharga. Rinai
itu jatuh tepat di tubuhku, itu pertanda bahwa aku harus segera kembalikan cahaya Vela
kepada Tuhan.
Selamat tinggal Dray, Tuhan selalu menjagamu, Tuhan tak akan membiarkanmu
tergontai-gontai di persimpangan, pesanku sebelum pergi
Lalu ku dengar jeritan petir di barat sana. Lelaki itu berjalan ke arah petir
tersebut. Melangkah menyusuri jalan kenangan. Hingga ia tiba di persimpangan yang
dulu menjadi tempat ia bertemu Vela, cahayanya untuk yang pertama kali. Masih
dengan suasana yang sama seperti dulu. Masih ada air mata cahaya yang menyiksa
tubuhnya yang telah kedinginan sejak tadi. Baju hitam yang ia kenakan semoga masih
menyimpan hangat cahaya dari tubuhku tadi.

Ia menari di bawah rinai itu, dan

mengalihkan matanya pada arah di seberangnya, berharap wanita itu hadir lagi.
Tiba-tiba matanya menemukan wanita itu lagi. Namun hanya sebatas ilusi.
Pipinya semakin menghangat, terasa teraliri air yang sejak tadi ia teteskan. Masih
menikmati rinai yang semakin deras ini ia lepaskan semua kenangan dengan wanita itu,
Lalu ia biarkan kenangan itu mengalir bersama rimai deras yang telah menyatu dengan
airmatanya, mengikuti arus sngai, muara, laut hingga samudra. Tak mengapa rinai
bersama kenangan itu kembali menyatukan dirinya dengan tanah. Menghempaskan
rindu mereka, toh ia tak akan lama di darat, dan akan kembali dengan cepat ke samudra.
Lalu tak ia pedulikan lagi apa jadinya kenangan itu di samudra sana. Apakah mereka
akan kesepian atau tenggelam atau bahkan di makan ikan ganas raksana, hiu atau paus
misalnya. Ia tak akan peduli lagi.
Kenangan itu masih terbungkus rapi, tenggelam di samudra. Aku dan Vela
menyaksikan peristiwa itu. Di perapian surga sana, bersama Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai