Pembimbing :
dr. Hiendarto, Sp.KK
Disusun oleh :
MESIWISANI
1420221124
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Mesiwisani
1420221124
Etiologi
Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk
menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup di dalamnya
adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.
Sedangkan pada DKI kumulatif (DKIK) kerusakan terjadi setelah beberapa kali
pajanan pada lokasi kulit yang sama , yaitu terhadap zat zat iritan lemah seperti :
air, deterjen, zat pe;arut lemah, minyak dan pelumas. Zat zat ini tidak cukup toksik
untuk mneimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara
perlahan lahan hingga pada sutau saat kerusakannya , mampu menimbulkan
inflamsi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.
Faktor faktor pencetus terjadinya DKIK berhubungan dengan zat iritan,
pajanan (waktu dan frekuensi) lingkungan ( tekanan mekanis, suhu dan kelembaban )
serta bergantung pada faktor predisposisi yaitu karakteristik individu ( umur, jenis
kelamin, etnis, penyakit kulit yang telah ada, atopi, lokasi anatomis yang terpajan dan
profesi).
Faktor zat iritan mencakup sifat fisik dan kimia zat tersebut seperti : ukuran
molekul, ionisasi, polarisasi, PH dan kelarutan.Sedangkan faktor pajanan meliputi :
konsentrasi , volum, waktu aplikasi serta durasi pajanan. Umumnya , waktu pajanan
yang lama dan volum yang besar meningkatkan penetrasi. Pengaruh lingkungan ,
seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang dingin, merupakan faktor penting
dalam menurunkan kadar air stratum korneum. Suhu yang dingin saja dapat
menurunkan kelenturan lapisan tanduk, sehingga menyebabkan retaknya stratum
korneum. Oklusi meningktkan kadar air strtaum korneum sehingga menurunkan
fungsi efisiensi sawarnya.
Hal ini mengakibatkan peningkatkan absorpi perkutan zat zat yang larut
dalam air. Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi zat iritan. Kandungan zat iritan
juga penting dalam meningkatkan iritasi. Kebanyakn produk pemersih kulit di
pasaran dapat mneyebabkan efek iritasi primer jika digunakan berulang ulang atau
berlebihan, akan tetapi jika digunakan sesuai aturan, kulit normal tidak akan teriritasi.
Kulit normal memiliki PH berkisar sekitar 5,5 meski beberapa peneliti
berpendapat bahwa PH kulit berkisar antara 6 -7. Kisaran PH kulit natara lain
ditentukan oleh adanya mantel asam yaitu lapisan tipis yang ditinggalkan oleh
keringat dan bersifat asam. Bakteri anggota mikroflora kulit memerlukan PH tertentu
untuk dapat melaksanakan pertumbuhan optimum. Terdapat perbedaan PH untuk
pertumbuhan setiap jenis bakteri, misalnya S.aureus membutuhkan PH 7,5 untuk
pertumbuhannya, sedangkan P.aureus memerlukan PH antara 6 6.5. Larutan
deterjen memiliki PH 9,5 dan jika digunakan berulang ulang selama beberapa hari
PH kulit akan naik menjadi 8. Kondisi kulit yangd emikian tidak menjadi sarana yang
baik bagi pertumbuhan mikroflora yang penting untuk menjaga lapisan matel asam.
Saat terpajan dengan iritan yang sama dengan kondisi yang sama pula,
perkembangan tingkat iritasi tiap individu berbeda beda. Faktor faktor yang
berpengaruh terhadap kerentanan individu meliputi :
Kerentanan kulit terhadap efek iritasi zat iritan menurun seiriing dengan usia. Hal ini
disebabkan oleh penurunan fungsi sawar. Penelitian menunjukkan bahwa iritabilitas
kulit terhadap sodium lauril sulfat mencapai puncaknya selama masa kanak kanak
dan menurun selama dewasa, mencapai tingkat terendah saat decade keenam. Lokasi
dengan rekativitas tertinggi adalah paha, punggung atas dan lengan bawah.
-
Ras
Individu berkulit gelap seperti orang Afrikan dan Hispanik, memperlihatkan respon
iritasi yang lebih besar terhadap surfaktan, sodium lauril sulfat, begitu pula terhadap
zat kimia dan sinar ultra violet. Dikatakan bahwa kulit berwarna ( Afrika, Asia,
Hispanik ) memiliki fungsi sawar yang lebih rentan dibandingkan dengan kulit putih.
-
Jenis Kelamin
Kerentanan kulit terhadap iritasi tidak berbeda antar jenis kelamin. Akan tetapi
penelitina menunjukkan bahwa kulit wanita cenderung lebih mudah terkena iritasi
selama periode prementruasi.
-
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi. Trans-epidermal water loss ( TEWL)
lebih tinggi pada subjek dengan riwayat dermatitis setelah terpajan deterjen.
Abnormalitas sawar kulit atopi dari menurunnya ambang iritasi merupakan faktor
penyebab kerentananya terhadap iritasi
-
Profesi
Deterjen merupakan pembersih kulit yang seting digunakan oleh seluruh pekerja
industri , dan bersifat iritan lemah. Pembersihan kulit yang berlebihan dengan
deterjen dapat meneybabkan DKI kumulatif pada iundividu yang memiliki faktor
predisposisi kelompok beresiko ini yaitu para petugas kebersihan, catering,
konstruksi, penata rambut, petugas rumahs akit, pekerja industri kimia, petugas dry
cleaning dan pekerja logam Secara umum, aktivitas wet work mudah memicu
terjadinya DKI. 3
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi
keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak (lipid membrane)
keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membrane sel dan merusak lisosom,
mitokondria, atau komponen inti. Keruskan membrane mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor =
PAF) , dan inositidan (IP3). AA dirubah menadi prostaglandin (PG) dan leukotriene
(LT). PG dan LT mengiduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permebilitas vaskular
sehingga memermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan nutrofil, serta mengaktifasi sel mas
melepaskan histamine. LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vaskular.
DAG dan second messangers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein,
misalnya
granulocyte-macrophage
colony
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala
akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal yang
mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.2 Berdasarkan penyebab
tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh
macam. Ada yang membagi dermatitis kontak iritan menjadi 2 kategori mayor yaitu
DKI akut dan DKI kumulatif. Pada DKI akut,, kerusakan kulit oleh bahan iritan
terjadi hanya dalam satu kali pajanan.
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bula. Luas
kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas. 1,7 Pada beberapa
individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satusatunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari
pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel dan bahan
pajanan bahan yang dapat membakar kulit dapat menyebabkan nekrosis. 1,2
Secara klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh segera setelah
pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang hal ini dikenal sebagai
decrescendo phenomenon. Pada beberapa kasus tidak biasa, dermatitis
kontak iritan dapat timbul beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan
resolusi lengkap.6 Bentuk DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat
bahan kimia, bulla besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan
gambaran eksematousa yang sering timbul pada dermatitis kontak.8
Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya
menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.1,6,2
8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang.1,6 DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan
yang lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan
gatal pada daerah yang terkena gesekan.6 DKI Gesekan dapat hanya mengenai
telapak tangan dan seringkali terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat
merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal. Secara klinis, DKI Gesekan
dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung jemari tergantung oleh
tekanan mekanik yang terjadi.8
Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena
munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab
terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas,
sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Selain anamnesis, juga perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI.2
A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung
pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat
mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:9
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut.
DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium
klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi
-
B. Pemeriksaan Fisis
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai
berikut: 9-14
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk
vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
C. Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan.
Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa
tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan
DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari
setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam
beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai iritans.14
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menientukan substansi yang menyebabkan kontak
dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang
digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif
palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat
terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam,
hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan
kemabali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya
didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis sebagai DKI, 1,7
Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis, dengan dermatitis
kontak yang rekuren.9
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder
bakteri.9
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada
infeksi jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung tempat
dan morfologi dari lesi.9
4. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada
DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan
sel mononuclear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di
epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis
epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat meimbulkan
vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit dan neutrofil.
5. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic atau
riwayat atopi.9
Diagnosa Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.10 Pada patch
tes, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan
sensitifitasnya berkisar antara 70 80%.11
2. Dermatitis Atopi
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga
penderita.6 Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita dengan suspek
DKI dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan diagnosis dermatitis
atopi.
3. Tinea Pedis
Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
jamur dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas tegas,
terdiri atas macam-macam effloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih
jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Pada tinea pedis,
khususnya bentuk mocassin foot, pada seluruh kaki terlihat kulit menebal, dan
bersisik serta eritema yang ringan terutama di tempat yang terdapat lesi.19
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan
melakukan dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain
itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan,
melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi
dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan lain.1,2,4,5,8,11
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Kompres dingin dengan Burrows solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan
membantu mengurangi pertumbuhan bakteri.5,12 Kompres ini diganti setiap 2-3
jam.5
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional
karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari
corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum korneum.12 Pada
pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan pemberian
prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di tappering 10mg.7
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi
sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba yang
telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang penting dalam evolusi,
persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari.
Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan antibiotik oral untuk
mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan. Secara
bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan.
Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan
oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak mengenai
efisiensi antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara klinis
antihistamin biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa gejala simptomatis.5
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk
menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan dengan
dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin dapat menjadi
pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan. 5 Garam strontium juga
dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada hewan, dan setelah dilakuan
studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi sensasi iritasi yang dihubungkan
dengan DKI.5
5. Kationik Surfaktan
pada
tangan.
Modalitas
yang
tersedia
adalah
fototerapi
untuk
menangani
dermatitis
pada
tangan
yang
kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin
disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.5
Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak
dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis
yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw
Hill; 2008.p.396-401.
2. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.
3. Partogi D, Dermatitis Kontak Iritan, 2008 USU e-Repository 2009
4. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit.
British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
5. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
6. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8
7. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis
Of Clinical Dermatology 5th ed. New York: McGraw Hill; 2005.
8. Grand SS. Allergic Contact Dermatitis Versus Irritant Contact Dermatitis.
[Online].2008. [cited 2011 January 9]:[30 screens]. Available from:
URL:http://wsiat.on.ca/english/mlo/allergic.htm
9. Anonim. Contact Dermatitis. [Online] 2009 [cited 2011 January 9]:[1 screen].
Available from: URL: http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article /000869..htm
10. Budimulja, Unandar. Dermatofitosis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p.92-3.
11. Bourke J, Coulson I, and English J. Guidelines For The Managemen Of Contact
Dermatitis: An Update. London: British Journal of Dermatology; 2008.p.946-54
12. Loffer H and Isaak E, editors. Primary Prevention Of Irritant Contact Dermatitis.
In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: SpringerVerlag Berlin Heidelberg; 2006.p.401-6