Anda di halaman 1dari 15

Agama, Radikalisme, dan Terorisme

Om Swastyastu,
Dalam perjalanan hidup manusia, berbagai macam kehidupan tampak sejalan dengan
kreativitas manusia yang dikaruniai kelebihan berupa akal dan kecerdasan. Akibat kelebihan
ini tak jarang manusia juga melakukan hal-hal yang merugikan mahluk lain di samping juga
membahagiakan mahluk lain. Mereka (Yang suka merugikan mahluk lain) ini oleh manusia
juga disebut kelompok yang tersesat. Spritual/Agama kemudian lahir sebagai penuntun,
sehingga mereka yang tersesat diharapkan untuk bisa meniti kehidupan ini dijalan yang lurus.
Namun belakangan beberapa penganut suatu Agama mengatas namakan Agamanya yang suci
sebagai alasan untuk melakukan pembantaian kepada mahluk lain yang sering disebut dengan
Terorisme.
Untuk memahami lebih dalam tentang apa dan bagaimana Agama, Radikalisme dan
Terorisme mari kita dengarkan ulasan dari Shri Danu Dharma Patapan (I Wayan Sudarma).

AGAMA, RADIKALISME, DAN


TERORISME
Oleh: I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma Patapan)
Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain,
agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian
terdistorsi sehingga menjadi penyebab
perselisihan dan pembantaian
Mahatma Gandhi, 2004:170
Pendahuluan
Tanggal 1 Oktober 2005 ketika bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila dan
dunia memperingati hari lahirnya Mahatma Gandhi sebagai bapak anti kekerasan, pada hari
yang sama dunia dikejutkan lagi dengan meledaknya bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran,
Bali. Peristiwa ini menjadi keprihatinan semua orang, karena terjadinya pengkhianatan
terhadap nilai kemanusiaan dan kekerasan di bumi Nusantara yang terkenal masyarakatnya
taat beragama dan cinta perdamaian. Peledakan bom tersebut mengakibatkan cita Negara
Kesatuan Republik Indonesia bergeser dan citra bangsa Indonesia di mata dunia semakin

terpuruk. Syukur, tidak begitu lama setelah peristiwa bom Kuta dan Kedonganan, gembong
teroris internasional, Dr. Azahari dapat dihentikan aksinya dan terbunuh di Batu, Malang,
Jawa Timur serta anak buahnya sebagian sudah ditangkap dan kini dalam proses pemeriksaan
oleh pihak berwenang. Namun demikian, satu pentolan teroris lagi yakni Nurdin M. Top
masih dalam perburuan dan semoga tidak terlalu lama, yang bersangkutan dapat diringkus
dan kekuatannya dapat dilumpuhkan untuk selanjutnya dimusnahkan.
Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia, bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke
dalam krisis multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit
dilaksanakan dan penderitaan rakyat akan semakin berat. Hal ini disebabkan para investor
maupun wisatawan asing tidak akan datang ke Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang
teroris akan menjadi stigma yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang
memiliki pikiran yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan
dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai salah satu bentuk
ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya. Permasalahannya sekarang adalah
bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat beragama untuk tidak sampai memahami
agama yang dianutnya itu dijadikan motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan
bertindak sebagai teroris. Tulisan singkat ini mencoba menganalisa agama, radikalisme dan
terorisme dari perspektif Agama Hindu.
Agama Universal dan Usaha Mencari Titik Temu Agama-Agama
Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai agama universal, dan memang
ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama. Walaupun agama itu universal,
tetapi ada pula ajaran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama K. H. A. Hasyim Muzadi dalam Temu Nasional Pemuka
Umat Beragama Indonesia, tanggal 13-14 Januari 2003 bertempat di Hotel Sahid, Makassar,
Sulawesi Selatan menyatakan, apa-apa yang sama dalam masing-masing agama jangan
dibeda-bedakan dan apa yang berbeda-beda dalam agama masing-masing jangan disamasamakan. Pendapat ini logis, karena memandang sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak
akan menemukan titik persamaan. Perbedaan agama akan semakin mendalam bila dilihat dari
ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan nilai-nilai kemanusiaan (human values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila
semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan
penganut masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya
maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahtraan hidup bersama akan dapat
diwujudkan. Untuk dapat memahami bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa diperlukan studi yang mendalam terhadap masing-masing agama, dan studi semacam itu
telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi (Ellsberg, 2004:166) yang menyatakan.
Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang
terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas
mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara
Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap agama-agama, maka kesadaran bahwa
agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuh-kembangkan saling pengertian,
tenggang rasa dan kerukunan umat beragama. Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan
(2002:35) menyatakan.

Dengan mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan
berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan sikap
kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan fanatik terhadap ajaran
yang kaku.
Pandangan Gandhi ataupun Radhakrishnan tersebut kiranya mendapat inspirasi dari kitab suci
Veda dan Bhagavadgt yang menyatakan :
Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan
bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun
bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada
anaknya, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia
(Atharvaveda XII.1.45).
Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi
keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku
(Bhagavadgt IV.11).
Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang
menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan
yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di
dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946
(Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi
kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions,
dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang
Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan menuju ke satu
puncak gunung, seperti sketsa berikut.
Tuhan Yang Maha

esoteric

exoteric
Christianity

Indigenous

Judaism

Hinduism Buddhisme

Islam

Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama
tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma
Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut :
Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat
manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak
sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata
mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus
dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya
sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu
dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan
dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih
murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme
seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar
tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama

yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan
memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri
Dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami agama lain
yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan
fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu
yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun
metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk
kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi setiap gerak dan penalaran
yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di
satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan
dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak
memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan
pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilainilai kemanusiaan (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama,
banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain :
untuk hidup harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling
tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha
meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan
Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua
belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan
yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan
dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan
yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: An orator by divine
right and undoubted greatest in the Parliament of Religion (Walker,1983:580). Kutipan
yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali
oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut.
Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak
sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa
kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap
penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: Saudara harapan anda
itu hanyalah impian yang mustahil.
Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran
agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan
menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang,
Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan
damai serta tidak saling berselisih (Mumukshananda, 1992:24).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari
tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta
terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru
terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris)
(Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh
pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan
yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk
dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa

manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan
kepercayaan.
Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi
seperti dinyatakan oleh Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan Gandhi terhadap
konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan
dengan perubahan-perubahan agama di India Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan
diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India
dan di mana pun saat ini, tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan
kekuasaan eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan
Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu,
dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain
memurnikan (uddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada
beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk
menentang semua bentuk perubahanan agama. Aku menentang pengubahan agama, sekali
pun dikenal sebagai uddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh
umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan.
Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan
yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. Tidaklah masuk di akal,
bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan
memeluk suatu agama Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan
tergantung pada kemurnian hati. Dan katanya lagi, Akan menjadi puncak intoleransi, dan
intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap
agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain
berpindah mengikuti keyakinan Anda.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau
kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan
agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia
devat, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk
menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga
menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena
dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara
(vasudhaivakutumbhakam).

Radikalisme dan Terorisme


Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini.
Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme
memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans
Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan
teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras
oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata
yang penuh toleran.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan
politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam
ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan
perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan
adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang

sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme
yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan
radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1)
menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya
untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan
menggemakan kekerasan. Terminologi radikalisme memang dapat saja beragam, tetapi
secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya
pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap
dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik.
Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan
fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita
yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya
dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke
azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1)
pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan
sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu
motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas
keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa
munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik
yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi
perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut,
masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal,
misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk
memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya
radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping
juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke
Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan
radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di
samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha
untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di
antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang
didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di
seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga
sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum
Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan
sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari
kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi
Brhman a (dengan memberi kalungan benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati
melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan
masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan
istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut. Pembagian masyarakat
profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau
diwariskan secara turun temurun, melainkan atas dasar bakat (gun a) dan pekerjaannya
(karma). Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang
hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya

Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah
kepada perbuatan teroris.
Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata
pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap Agama Hindu sangat
mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206)
mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema
Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahia (nir kekerasan). Tokoh-tokoh
lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang
memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh
dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang
radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian,
radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu
di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok
Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan
pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh
diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan
umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran
Agama Hindu.
Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas 15
Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata
teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari bahasa Latin terrere yang berarti
membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga berarti bisa menimbulkan kengerian.
Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah terorisme
merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme
menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak
berdosa. Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa, terorisme adalah perbuatan
melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa
dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan
orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis,
kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian,
fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatasnamakan agama seperti pengakuan pelaku
bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang.
Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang
intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu
Menjawab Terorisme? Yoga, Ahia dan Serangan Teroris (2005:52) menyatakan. Jalan
Ksatriya
sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek

spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang
saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan
jasmani, outer battle) adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan
batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan
banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong
muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan dan

ingin mengikuti jalan non kekerasan. Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur?
Ada dua hal yang utama dari Ahia di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahia
sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang
meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahia sebagai salah satu
prinsip politik, Ahia dari para pejuang atau Ksatriya,
yang diikuti oleh mereka yang

memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan


jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat
membela diri mereka sendiri dan menjadi target manusia keduniawian. Krishna
menganjurkan Ksatriya
Ahia ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan

datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rma dan Laks aman a untuk menghancurkan
kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini
merupakan tradisi India yang sangat tua.
Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban
keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang
lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan
tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung
jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun
kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang
meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan
pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional


Menanggulangi radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian
semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen
tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan benar-benar dapat
ditingkatkan, setidaknya mengejar ketertinggalan dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan
perang yang berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga terdekat
Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di Malaysia terorisme dapat
dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme
di Indonesia adalah warga negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok
negara, mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan lebih jauh, dan
menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah meningkatkan kualitas pendidikan
nasional dalam arti yang sesungguhnya.
Pendidikan agama yang merupakan bagian
yang integral dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan
agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kebenaran dari
masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan hidup antar sesama umat
beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini,
dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan
oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru
spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai
kemanusiaan, yang terdiri dari:
1)
Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama
yang dianutnya.

2)
Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat
baik dan benar.
3)
Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih
kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4)
nti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan
membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5)
Ahia: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan
tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
Lebih jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat
merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu.
1)
Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan, jangan
membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain.
2)
Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan
menuju Tuhan Yang Maha Esa.
3)
Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu
komunitas yang tunggal.
4)
Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan
dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan.
5)
Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis.
Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6)
Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan
diri dengan menerima suap.
7)

Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun.

8)
Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak
mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan
masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan
orang lain.
9)
Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan.
10) Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan
perbuatan buruk.

Harapan
Semoga bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa yang
silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6) Nowhere in the world

do we find the country in which religion plays such an important role in the lives of
people Wether they are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or
Taoists, they have to believe in One God. There is no place for atheists, dapat segera
menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan agama ini.
Daftar Pustaka
Bagus, I Gusti Ngurah.1993. Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya Dalam
Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan
Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia, Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993.
Ellsberg, Robert. 2004. Gandhi on Christianity. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Ermaya Suradinata, 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional
Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin,
IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.
Muhammad, Afif. 2004. Radikalisme Agama Abad 21. Makalah Seminar Nasional Masa
Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN
Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.
Mumukshananda, Svami. 1992. The Complete Works of Svami Vivekananda,I, Calcuta:
Advaita Ashram.
Prabhu, R.K. & U. R. Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The
Navajivan Trust.
Radhakrishan, S. 2002. Hindu Dharma, Pandangan Hidup Hindu, Terjemahan Agus Mantik,
Jakarta: Manikgeni.
Radhakrishan, S.1949: The Bhagavadgt, George Allen and Unwin Ltd. London.
Sutapa, Pendeta Djaka. 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa. Makalah Seminar
Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas
Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.
Schuon, Frithjof. 2003. Mencari Titik Temu Agama-Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suseno, Frans Magnis.2002. Harian Jawa Pos, hal.1, tanggal 30 Desember 2002.
Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Vamadeva Shastri, Pandit. 2005. Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahia dan
Serangan Teroris. Jakarta: Media Hindu, Majalah Bulanan, Desember 2005.
Visvananda, Svami.1937. Unity of Religions, dalam The Religions of the World, Sri
Ramakrishna Centenary Parliament of Religions, Calcuta: Sri Ramakrishna Mission
Publications.

Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik.2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif


Agama, HAM dan Hukum. Kata Pengantar K. H. A. Hasyim Muzadi, Bandung: PT. Refika
Aditama.
Walker, Benyamin. 1983. Hindu World, Vol.II. New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Zaehner, Robert C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tentang iklan-iklan ini

Terkait
Trend GAUL (PACARAN) Generasi Muda Hindudalam "Artikel"
PERANAN IBU MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTRA DAN BAHAGIAdalam "I
Wayan Sudarma"
BERYADNYA UNTUK KEMANUSIAANdalam "Religi"
~ oleh made24 pada Oktober 11, 2008.
Ditulis dalam Artikel, Religi

8 Tanggapan to Agama, Radikalisme, dan Terorisme


1. Wah, lengkap banget nih.
Tapi tampaknya kurang pas kalo mengatasinya dengan pendidikan yang bermutu.
Sebab banyak toh para radikal yang lulusan dari sekolah terbaik di USA. Mungkin
lebih tepat pendidikan juga mengajarkan semacam kesadaran akan jati diri.
danalingga said this on Oktober 11, 2008 pada 10:58 am | Balas

2. Om Swastyastu,
Terima kasih Lingga, pendidikan bermutu disini tentu maksudnya adalah pendidikan
manusia seutuhnya, yang tidak hanya mempertajam intelek tapi juga
Buddhi=kecerdasan, Rasa=Rasa, Ahangkara=ego, Manah=pikiran, Raga=Jasmani.
Om Santi santi santi Om.
made24 said this on Oktober 11, 2008 pada 5:41 pm | Balas

3. Pendidikan memang penting..tapicontoh daripada pemimpin dan keluarga sangat


utama. Pemimpin Amerika dan Pembantunya dapat dikatakan sebagai pemimpin
dengan pendidikan tertinggitetapi mereka menjadi teroris paling menakutkan di
duniamemaksa dengan IMFdengan worldbank..menyerang Irak (tanpa ada bukti

sampai sekarang), menggempur Somalia, Afghanistan, dan tentu juga Vietnam pada
tahun 1970-an.
Sebetulnyasifat teroris muncul dari pemahaman agama yang sempit. Sarah Pallin
dan George Bush malah mengatakan bahwa perang Irak atas Perintah Tuhan, dan
Perang Salib Abad Barusesuatu yang sangat fatal bagi dunia jika memang
toleransi begitu penting bagi umat jagat iniseperti ungkap romo Magnis.
Toleransi antar umat beragama begitu pentingnamunapa yang akan terjadi
jika..kamu miskin papa di banyak desa disogok dengan Mie Instan untuk pindah
agamadiminta pindah agama agar penyakitnya diobati. Pada kasus Gempa Jogja
misalnyaberapa banyak pasien tidak mampu di RS. Dr. Sardjitodiminta pindah
agama agar dapat segera ditangani dan disembuhkan. Bukankah tindakan ini tidak
diperlukan?
Thanksatas tulisannyalengkap amatkayak ceramah kuliah dosen teologi
ajah :D.
Abu Aysar said this on Oktober 19, 2008 pada 2:05 am | Balas

o Salam Sejahtera,
Terimakasih Mas Abu Aysar, atas kunjungan dan komennya. Semoga kita
mampu mendidik diri kita, keluarga kita dengan pendidikan yang benar
sehingga mampu menghaluskan kharakter yang tercermin dalam moralitas
yang baik dalam setiap gerak pikir, kata dan laku kita. Melahirkan
keharmonisan, kedamaian dan penuh pengertian
Salam,
Made M./Abu Dhabi (In the tip of empty quarter/rub al khali dessert)
made24 said this on April 23, 2013 pada 5:55 am | Balas

4. Om Swastyastu,
Artinya: Ya Tuhan semoga kami dalam keadaan sehat dan sejahtera.
Terimakasih Abu Aysar, Telah mampir ke Blog kami.
Ilmu adalah ibarat pisau, kalo orang yang menggunakannya dengan benar maka ilmu
itu akan sangat bermanfaat bukan hanya bagi dirinya sendiri, juga bagi orang
sekitarnya.
Pendidikan adalah cara untuk mendapatkan ilmu, baik secara formal ataupun non
formal, sebagai contoh, hampir semua engineer di tempat saya kerja yang
notabenenya orang pribumi (arab saudi/ abu dhabi) itu orang-orang yang spritualnya
sangat kuat. mareka ini kuliah di Amerika.

Kita tidak bisa menutup mata kalo kwalitas pendidikan di Amerika saat ini memang
leading. Hal ini sangat disadari oleh putra-putri Timur Tengah, sehingga mereka yang
notabenenya putra dari Mutawa memilih Amerika sebagai tempat study.
Memang sangat disayangkan mereka yang memiliki Ilmu tinggi tidak dibarengi
dengan Budi Pekerti yang Mulia sehingga tidak jarang ditemukan orang-orang yang
mengatas namakan agama untuk menyakiti/membunuh orang lain, sebut saja namanya
: Dr. Ashari, Amroji, Imron dan kawan-kawan para pelaku pengeboman di nusanatara.
Demikian pula mereka yang mengatasnamakan kemanusiaan untuk menkonversi
orang lain yang telah beragama.
Bagi saya pribadi semakin tinggi tingkat spritual seseorang, maka semakin teballah
rasa kasihnya, sehingga tercermin dalam prilakunya yang hanya memancarkan
kedamaian dan sebaliknya semakin rendah tingkat spritual orang, semakin tinggilah
egoismenyasehingga dalam setiap langkahnya terjankit penyakit merasa yaitu
(marasa paling pinter, paling bagus, paling bener, paling balik, dan seterusnya).
Dengan coret-coretan ini harapan kami, setiap dari kita menyaddari bahwa kita
dilahirkan dengan penuh kekurangan dan juga punya banyak kelebihan, sehingga mari
tanamkan kasih, dan perdamaian, terimalah orang apa adanya, jangan memaksa,
jangan memanfaatkan keadaan.
Salam.
Made M.
made24 said this on Oktober 19, 2008 pada 5:41 pm | Balas

5. Om Swastiastu.
Namaskar
ikut mengunduh bli thx informasinya sangat bermanfaat sekali izin untuk copy
paste di web site yang lain trims
suksma
Namaskar
I Wayan Arijana said this on Oktober 30, 2008 pada 12:40 pm | Balas

6. Om Swastyastu,
Namaskaram,
Silahkan dengan senang hati
Semoga semakin banyak orang mengetahui dan memahami dengan benar Agama
Hindu.

Sami-sami
Om Santi Santi Santi Om
made24 said this on November 1, 2008 pada 10:23 am | Balas

7. [] [10] https://singaraja.wordpress.com/2008/10/11/agama-radikalisme-danterorisme/ []
Isu-Isu Terkait dan Berpengaruh Bagi Perumusan Kebijakan Pendidikan Islam dalam Kehidupan
Keberagamaan ISTANA ILMU said this on November 22, 2011 pada 4:15 pm | Balas

Berikan Balasan

a
a

Anda mungkin juga menyukai