Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
BAB II
KOR PULMONAL
2.1. Definisi
Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah
paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi yang
bermakna patologi menurut weitzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan
struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal
secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis
yakni edema. Hipertensi pulmonal sine qua non dengan kor pulmonal maka
definisi kor pulmonal yang terbaik adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan
penyakit yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi
pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi)
dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi
kronik dari kor pulmonal, diperkirakan hingga 80-90% kasus7.
2.2. Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.8
3
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama,
tidak semua kasus penyakit pru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua,
kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal
dengan
pemeriksaan
fisik
dan
hasil
laboratorium
tidaklah
sensitif.
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan,
sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari
rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler
paru pada arteri dan arteriola kecil.6
Seiring dengan timbulnya hipertensi pulmoner maka beban kerja ventrikel
kanan akan bertambah bersamaan dengan peningkatan afterload. Hipertrofi
karena proses adaptasi meningkatkan massa otot dan kebutuhan oksigen. Namun
penebalan massa otot dan kekakuan ventrikel kanan sendiri dapat menekan
lumen arteri koroner kanan sehingga timbul gangguan perfusi miokard.
Akibatnya ventrikel kanan dalam kondisi relative iskemia dan perlahan-lahan
mengalami disfungsi. Dilatasi ventrikel kanan juga menyebabkan regurgitasi
katup tricuspid dan memperberat beban ventrikel kanan. Bentuk ventrikel kanan
yang tadinya bulan sabit perlahan berubah menjadi struktur yang lebih bulat dan
mampu menghasilkan kontraksi lebih kuat untuk melawan resistensi paru yang
meningkat.
Kor pulmonale kronik dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang
perlahan. Ventrikel kanan dapat beradaptasi menjadi pompa yang bersifat seperti
ventrikel kiri dan mampu mengatasi tekanan tinggi, sehingga fungsinya mungkin
dipertahankan normal selama bertahun-tahun. Pada beberapa penelitian
didapatkan bahwa sebagian besar pasien PPOK tahap lanjut tidak pernah
mengalami episode gagal jantung kanan. Derajat hipertensi pulmoner, kecepatan
perburukan serta perjalanannya menjadi gagal jantung kanan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Yang pertama adalah proses perubahan pada fungsi ventilasi,
5
dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung
kanan. Tanda-tanda PPOK dapat berupa: asidosis, hiperkapnia, hipoksia,
polisitemia dan hiperviskositas darah. Pada fase awal berupa pembesaran
ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat
penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila
sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas.
Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema
alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal
jantung kanan.12 (Sudoyo)
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK).
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejalagejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.12
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan
sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal
kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya
ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase
dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan.2
2.7. Pemeriksaan Penunjang
pulmoner
(HP)
dihubungkan
dengan
hipoksemia
dan
10
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena
adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan
infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur
atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial
paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter.
Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari
(kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan
elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).13
11
2.7.4. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi
dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur
dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup
pulmonal, gelombang a hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadangkadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal
karena accoustic window sempit akibat penyakit paru.14
12
jantung
merupakan
prosedur
invasive.
13
Pada kor pulmonale tekanan diastolic arteri pulmoner lebih tinggi daripada
tekanan baji, berbeda dengan gagal jantung kiri dan stenosis mitral. Tekanan
arteri pulmoner dapat sangat tinggi pada penyakit vaskuler paru dan penyakit
interstisial paru namun hanya sedikit yang meningkat atau bahkan normal pada
PPOK. Sekitar 50% pasien PPOK menderita hipertensi pulmoner saat istirahat.
Pada pasien dengan nilai normal saat istirahat, hipertensi pulmoner dapat terjadi
saat aktivitas atau olahraga.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan
kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.1
2.8.1. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan
hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen
mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang
kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of
Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi
oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 55 mmHg atau SaO2 88%, PaO2
55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan
gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.1
14
2.8.2. Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.
Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,
dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan
preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.1,3,8
2.8.3. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa
adrenergik,
ACE-I,
dan
postaglandin
belum
direkomendasikan
15
2.8.6. Flebotomi
Flebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor
pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang diturunkan
sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien baik saat istirahat
maupun aktiviti serta memperbaiki proses pertukaran gas di paru (penurunan
resistensi vaskuler paru dan peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan
hipertensi pulmoner. Flebotomi dipertimbangkan bila kadar hematokrit di atas
55-60% dengan pengeluaran volume darah yang kecil (200-300 ml) dan
dilakukan dengan pengawasan.
2.9. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun
setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
16
BAB III
KESIMPULAN
Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi)
yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol
pernapasan, tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat
kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Penyebab yang paling sering adalah PPOK, dimana terjadi perubahan
struktur jalan napas dan hipersekresi yang mengganggu ventilasi alveolar. Penyebab
lainnya adalah kondisi yang membatasi atau menganggu ventilasi yang mengarah
pada hipoksia atau asidosis (deformitas sangkar iga dan obesitas massif) atau kondisi
yang mengurangi jaring-jaring vaskular paru (hipertensi arteri pulmonal idiopatik
primer dan embolus paru). Kelainan tertentu dalam sistem persarafan, otot
pernafasan, dinding dada, dan percabangan arteri pulmonal juga dapat menyebabkan
terjadinya kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal
yang terjadi akibat mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah
pulmonal, dan trombosis in situ. Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika
terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau
struktural paru. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung
diagnosis kor pulmonal diantaranya adalah pemeriksaan laboratoris, pemeriksaan foto
toraks, ekokardiografi, CT scan, serta pemeriksaan EKG
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengobati kor pulmonal, seperti
pemberian oksigen, tirah baring dan pembatasan garam, diuretik, dan digitalis. Tetapi
17
dari beberapa cara yang dilakukan tersebut dapat ditemukan adanya efek samping
yang berarti.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1680-81
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The McGrawHill Companies, Inc. 2008; 217-244
3. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Dalam : Education in Heart
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/. 2003; 89:225-30
4. Dines DE, Parkin TW. Some Observation on the Value of the Electrocardiogram
in Patient with Chronic Cor Pulmonale. Mayo Clinic-Proc 2005; 40: 745-750
5. Aderaye G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In
Ethiopia. East African Medical Journal. 2006; 81 (4): 202-205.
6. Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2006; 736-866
7. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
8. Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th ed.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005; 725-872
9. Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh :
Setiawan I, et al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.
10. Palevsky H, Fishman. A.P. The Management of
Primary Pulmonary
Hypertension. JAMA. 2006; 265:1014-20.
11. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic
Cor Pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
12. Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A
Text Book of Cardiovascular Medicine 7th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders.
2005; 1807-42
19
13. Six Abnormal ECGs Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available
from : http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses
tanggal 12 Maret 2016.
20