Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Intra Uterine Fetal Death (IUFD) merupakan kematian yang terjadi saat
usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan janin sudah mencapai ukuran 500 gram
atau lebih. Umumnya, IUFD terjadi menjelang persalinan saat kehamilan sudah
memasuki usia 32 minggu dan istilah lahir mati (stillbirth) yang merupakan
kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan mati yang telah mencapai usia kehamilan
28 minggu, sering digunakan bersamaan dengan IUFD. Bobak, et al (2005)
menyatakan bahwa IUFD adalah kematian in utero sebelum terjadi pengeluaran
lengkap dari hasil konsepsi dan bukan disebabkan oleh aborsi terapeutik atau
elektif.
Setiap tahunnya diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh
dunia dimana 57% diantaranya merupakan kematian fetal atau intrauterine fetal
death (IUFD). Sekitar 98% dari kematian perinatal ini terjadi di negara yang
berkembang (Winkjosastro, 2008). Kematian janin dapat terjadi antepartum atau
intrapartum dan merupakan komplikasi yang paling berbahaya dalam kehamilan.
Insiden kematian janin ini bervariasi diantara negara. Hingga saat ini, IUFD masih
menjadi masalah utama dalam praktek obstretrik (De Cherney, 2011 dan Scoot,
2002).
IUFD dapat disebabkan oleh banyak hal, pada umumnya penyebab tersebut
dikelompokkan menjadi; 1) kausa janin (berkontribusi sebesar 25-40% kematian
janin, terdiri dari anomali atau malformasi kongenital mayor (Neural defects,
hidrops fetalis, hidrosefalus, kelainan jantung congenital) dan infeksi janin oleh
bakteri dan virus. 2) kausa plasenta (berkontribusi sebesar 15-25% kematian
bayi), terdiri dari solusio plasenta, infeksi plasenta dan selaput ketuban, infark
plasenta dan perdarahan di belakang plasenta. 3) kausa ibu, berupa penyakit
hipertensi dan diabetes yang diderita ibu hamil merupakan penyakit yang paling
sering menyebabkan 5-8% bayi lahir mati. 4) kematian yang tidak dapat
dijelaskan, sekitar 10% kematian janin tetap tidak dapat dijelaskan. Kesulitan

dalam memperkirakan kausa kematian janin paling besar adalah pada janin
preterm.
Ketidaksesuaian rhesus dan golongan darah juga bisa mengakibatkan
kematian janin. Jamiyah (2002) menambahkan bahwa gerakan janin yang
hiperaktif dan kelainan kromosom juga dapat menjadi penyebab dari kematian
janin. Trauma kehamilan dan status gizi ibu hamil juga dianggap sebagai pencetus
terjadinya kematian janin. Diagnosis IUFD ditegakkan dengan melakukan
pengkajian berupa pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan kematian janin intra uterin ialah melakukan terminasi
kehamilan yang dapat dilakukan melalui penanganan ekspektatif dan penanganan
aktif. Ada beberapa metode terminasi kehamilan pada kematian janin intra uterin,
yaitu dengan induksi persalinan pervaginam dan persalinan dengan Sectio
Caesaria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
IUFD atau Intrauterine Fetal Death merujuk pada kematian janin dalam
kandungan atau sebelum proses persalinan selesai setelah usia minimal janin
secara teoritis viable (dapat bertahan hidup) di luar kandungan, yang berdasarkan
konsensus adalah setelah 20 minggu usia kehamilan atau berat janin di atas 500
gr. Kematian janin sebelum usia viable dianggap sebagai sebuah abortus atau
keguguran. IUFD juga disebut dengan nama FDIU atau Fetal Demise In Utero.
Kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan yaitu :
1. Golongan I
: kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh (early fetal death).
2. Golongan II
: kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu
(intermediate fetal death).
3. Golongan III
: kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late
fetal death)
4. Golongan IV

: kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga

golongan di atas.
2.2 Frekuensi
Menurut Copper, sekitar 80% janin yang lahir meninggal (stillbirth) terjadi
sebelum masa aterm dan 50% terjadi sebelum usia kandungan 28 minggu.
Insiden kematian janin yang tampak sebagai lahir meninggal menurut NCHS
dapat dilihat pada gambar 1.
Insidens kematian janin telah menurun di negara maju dan penyebabnya pun
telah berubah. Angka kematian janin di Kanada misalnya telah menurun dari 11,5
per 1000 kelahiran pada tahun 1960an menjadi 5,1 per 1000 kelahiran pada tahun
1980an. Penurunan ini selain dikarenakan kemajuan dalam dunia kedokteran akan
penanganan fetal distress juga disebabkan dengan terminasi kehamilan dini pada
janin dengan malformasi atau anomali fatal.

Gambar 1. Hubungan antara usia kehamilan dengan kematian janin.


2.3 Faktor Risiko
Penyebab kematian janin dapat dikategorisasikan sebagai akibat faktor fetal,
plasental atau maternal. Akan tetapi pada sebagian kasus penyebab kematian tidak
dapat diidentifikasi. Tabel 1 mencantumkan penyebab kematian janin yang dapat
diidentifikasi melalui otopsi.

Table 1. Kategori dan penyebab kematian janin


Fetal (2540%)
Anomali kromosom
Gangguan pertumbuhan nonkromosomal
Hidrops nonimun
Infeksi virus, bakteri, protozoa
Plasental (2535%)
Abruptio plasenta
Perdarahan fetalmaternal
Gangguan umbilikus
Insufisiensi plasenta
Asfiksia intrapartum
Plasenta previa
Transfusion kembar
Korioamnionitis
Maternal (510%)

Antibodi antifosfolipid
Diabetes
Penyakit hipertensif kehamilan
Trauma
Gangguan persalinan
Sepsis
Asidosis
Hipoksia
Ruptur uteri
Kehamilan postterm
Obat-obatan
4

Tidak terjelaskan (2535%)


1. Penyebab Fetal
Beberapa penyakit dan gangguan pada janin mengakibatkan 25-40%
kematian janin. Hal-hal ini adalah anomali kongenital, infeksi, malnutrisi,
hidrops nonimun dan isoimunisasi anti-D.
Insidensi dari malformasi kongenital mayor sangat bervariasi pada
tingkat ras dan negara. Di negara maju sepertiga kematian janin diakibatkan
oleh anomali struktural, anomali struktural yang umum ditemukan adalah
seperti defek tabung neural, hidrops fetalis, hidrosefalus, dan penyakit
kongenital anti kompleks. Anomali struktural mayor, hidrops dan aneuploidi
adalah kondisi yang cukup mudah dideteksi pada diagnosis antenatal dan oleh
karena itu dapat dengan cepat diterminasi dini.
Insidensi kematian janin akibat infeksi fetal tidak banyak berubah di
negara maju. Sekitar 5,6% kematian janin dihubungkan dengan infeksi,
sebagian besar didiagnosis sebagai korioamnionitis dan sepsis fetal atau
intrauterine. Pada wanita yang tinggal di daerah perkotaan sifilis kongenital
adalah penyebab utama dari kematian janin. Sekitar 5-10% kematian janin di
Parkland Hospital dihubungkan dengan sifilis. Infeksi janin lainnya yang
berpotensi letal adalah sitomegalovirus, parvovirus B19, rubella, varisela, dan
listeriosis.
2. Penyebab Plasental
Banyak kematian janin akibat faktor plasental erat kaitannya dengan
faktor fetal dan maternal. Sebagai contoh, setengah kasus abruptio plasenta
dapat dihubungkan dengan hipertensi gestasional dan oleh karena itu dapat
diklasifikasikan sebagai maternal. Contoh lainnya, insufisiensi plasenta
dapat berasal dari aneuploidi atau infeksi dan oleh karena itu dapat dianggap
fetal. Sekitar 15-25% kematian janin dapat dihubungkan dengan gangguan
pada plasenta, membran, atau umbilikus.
Abruptio plasenta adalah penyebab kematian janin yang paling umum
dapat dengan segera diidentifikasi. Abruptio plasenta dianggap menyebabkan
14% kematian janin. Di Parkland hospital, sekitar 10% kematian janin pada
trimester ketiga berhubungan dnegan separasi plasenta prematur.

Infeksi plasenta dan membran yang bermakna secara klinis jarang


terjadi tanpa disertai dengan infeksi janin. Pengecualian dari keadaan ini
adalah infeksi plasenta akibat tuberkulosis atau malaria. Pada beberapa aksus,
pemeriksaan mikroskopis plasenta dan membrane dapat membantu
mengidentifikasikan penyebab infeksi. Korioamnionitis dikarakterisasikan
dengan adanya infiltrate leukosit mononukleus dan polimorfonukleus di
korion. Walaupun beberapa klinisi menganggap bahwa korioamnionitis
mikroskopik tidak spesifik, Benirschke dan Kaufmann berpendapat bahwa hal
ini pasti disebabkan oleh infeksi.
Infark plasenta tampak sebagai area degenerasi trofoblas fibrinoid,
kalsifikasi dan infark iskemik akibat oklusi arteri spiralis. Infark marginal dan
subkorinik umum dijumpai dan dianggap tidak penting. Sekitar bagian
plasenta dari persalinan aterm tanpa komplikasi mempunyai infark. Jika
terdapat hipertensi berat, 2/3 plasenta mempunyai infark. Preeklamsia berat,
dengan atau tanpa trombofilia maternal, umumnya berakibat pada infark luas
yang tersentralisasi.
Perdarahan fetal-maternal (fetalmaternal hemorrhage) yang cukup
berat hingga mengakibatkan kematian janin terjadi pada sekita 4,7% kematian
janin. Perdarahan ini umum ditemukan pada trauma maternal berat. Transfuse
kembar (twin to twin) adalah penyebab kematian janin yang umum pada
kehamilan monokorionik multifetal.
3. Penyebab Maternal
Walaupun tampaknya hanya berkontribusi kecil terhadap kematian
janin, faktor tidak boleh diremehkan. Hal ini karena beberapa patologi fetal
atau plasental seperti abruptio plasenta atau isoimunisasi mempunyai
komponen maternal yang kuat. Penyakit hipertensi dan diabetes adalah 2
penyakit maternal yang sering dikatakan sebagai penyebab 5-8% kematian
janin.
Antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin juga dihubungkan
dengan vaskulopati desidua, infark plasenta, restriksi pertumbuhan janin,
aborsi rekuren, dan kematian janin. Walaupun wanita dengan autoantibodi ini
dengan sangat jelas memiliki resiko yang meningkat untuk gangguan

kehamilan, namun hanya sangat sedikit kematian janin yang hanya


dihubungkan dengan antibodi tersebut. Beberapa trombofilia herediter
dihubungkan dengan abruptio plasenta, restriksi pertumbuhnan janin dan
kematian janin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian janin dalam kandungan
1. Faktor ibu
a. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan
dari organ-organ tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi
atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan yang
tidak secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim.
Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30
tahun. Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi
belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ
reproduksi secara umum.
b. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman
terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada
janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5 kali atau
grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti
hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat mengakibatkan
kematian janin
c. Pemeriksaan antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam
jiwa, oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali
kunjungan selama periode antenatal.
a) Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)
b) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan)
c) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang


wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin
terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera.
Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama kehamilan
dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam kandungan berguna
untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim, hal ini
dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya
denyut jantung janin.

d. Penyulit/penyakit
a) Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi
dalam jumlah besar untuk pembentukan sel darah merah, yaitu
sebanyak 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia
dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati,
limpa dan sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan
zat besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan
turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan,
pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia,
pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian
janin dalam kandungan (Mochtar, 2004). Menurut Manuaba (2003),
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sahli, dapat digolongkan sebagai berikut :
- Normal : 11 gr%
- Anemia ringan : 9-10 gr%
- Anemia sedang : 7-8 gr%
- Anemia berat : <7 gr%.
b) Pre-eklamsia dan eklamsia
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami

spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi
kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka
aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin
(Mochtar, 2004).
c) Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang
letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio
plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara tiba-tiba oleh
spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka terjadilah
anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis,
spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun
pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah
terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim.
Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah
kematian janin (Wiknjosastro, 2006).
d) Diabetes mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan
ciri-ciri kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula
dalam darah yang tinggi dan mempengaruhi metabolisme tubuh secara
menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Umumnya wanita penderita diabetes melarikan bayi yang besar
(makrosomia). Makrosomia dapat terjadi karena glukosa dalam aliran
darahnya, pancreas yang menghasilkan lebih banyak insulin untuk
menanggulangi kadar gula yang tinggi. Glukosa berubah menjadi lemak
dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan
masalah sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir
(Stridje, 2000).
e) Rhesus iso-imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif,
maka antigen rhesus akan membuat penerima darah membentuk

antibodi antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif yang kedua


diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel darah rhesus
negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus isoimunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi
perlahan-lahan sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah,
antibodi antihresus bertemu dengan sel darah merah rhesus positif
normal dan menyelimuti sehingga pecah melepaskan zat bernama
bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan sebagian dieklaurkan ke
kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah merah yang
hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn,
2005).
f) Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu
terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan dengan
efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung dan tidak
langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi
oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan
organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin,
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn,
2001).
g) Ketuban pecah dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan
prematur dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini
adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan
ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian
ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur
kehamilan kurang dari 34 minggu, kejadiannya sekitar 4%. Ketuban
pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan
ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Salah
satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas
dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi

10

kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar


kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan
selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan
kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
h) Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di
dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong
berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang dengan ukuran panggul
normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Bila
persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian
janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul
seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak
dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam rongga panggul. Dalam
usaha untuk mengeluarkan janin, segmen bawah uterus melebar serta
menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin lama makin tinggi
dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat mengakibatkan
kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
2. Faktor Janin
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya kematian
janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan kelainan kongenital,
umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering
pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk
morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau
bentuk malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas
secara anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang
akan tidak normal. Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor
penyebab mekanik atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk

11

kelainan kongenital malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya


akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali melalui pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri, 2005).
b. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai peranan penting dalam
timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun
ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi likuor yang
septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman
yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi
intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman
yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja,
2006).
3. Kelainan tali pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam
cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan
baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat
yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan pada leher, sehingga
mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai kematian
janin dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam
keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi
velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu
pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban
pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin
akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila pembukaan

12

masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu


(Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi
peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena selei Whartonnya sangat
tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut menghentikan aliran darah ke
janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan janin yang
begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai
(Manuaba, 2002).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada
leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat
yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat
menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin
masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan
makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat
menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
2.4 Diagnosis
Diagnosis IUFD dapat ditegakkan dengan beberapa cara. Sebagian kematian
janin baru terdiagnosis pada saat bayi lahir mati (stillbirth). Pada umumnya
diagnosis kematian janin didasarkan pada tidak adanya aktivitas jantung janin.
Aktivitas jantung janin dapat didengar dengan fetoskop, stetoskop atau alat
monitor fetus elektronik eksternal atau internal dengan Doppler ultrasonik.
Pemeriksaan USG real-time juga dapat memberikan gambaran aktivitas jantung
dan penampakan keseluruhan janin, sehingga juga dapat memberikan informasi
tentang ada tidaknya anomali struktural dari janin. Tidak adanya aktivitas jantung
janin yang dapat dideteksi melalui fetoskop atau dilihat melalui USG,
menunjukkan bahwa janin tidak mempunyai aktivitas jantung dan dapat
dipastikan meninggal.
1. Anamnesis

13

a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin
sangat berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil
atau kehamilan tidak seperti biasa.
c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa
sakit-sakit seperti mau melahirkan.
2. Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama
pada ibu yang kurus.
3. Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba
gerakan-gerakan janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang
kepala janin.
4. Auskultasi
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar
denyut jantung janin (DJJ)
5. Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam
kandungan.
Tabel 2. Diagnosis gerak janin tidak dirasakan
Gejala dan tanda selalu
Gejala dan tanda
ada
kadang-kadang ada

Gerak janin

Syok

Uterus
berkurang atau hilang

Nyeri perut
tegang/kaku

Gawat janin atau


hilang timbul atau
DJJ tidak terdengar
menetap

Perdarahan
pervaginam sesudah
hamil 22 minggu

Gerakan janin

Syok

Perut
dan DJJ tidak ada

Perdarahan
kembung/cairan bebas

Diagnosis kemungkinan
Solusio plasenta

Rupture uteri

14


Nyeri perut
hebat

intraabdomen

Kontur uterus
abnormal

Abdomen nyeri

Bagian-bagian
janin teraba

Denyut nadi ibu


cepat

Gerakan janin
berkurang atau hilang

DJJ abnormal
(<100/menit atau >
180/menit)

Gerakan
janin/DJJ hilang

Cairan ketuban
bercampur mekonium

Gawat janin

Tanda-tanda
kehamilan berhenti

Tinggi fundus
uteri berkurang

Pembesaran
uterus berkurang

Kematian janin

Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahanperubahan sebagai berikut :
1. Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) :
kulit kemerahan setengah matang
3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) :
Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi
kemudian menjadi merah dan mulai mengelupas.
4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai
air ketuban menjadi merah coklat.
.

15

5. Maserasi grade III (durasi >8 hari)


Hepar kuning kecoklatan, efusi cairan keruh, mungkin terjadi mumifikasi.
Badan janin sangat lemas, hubungan antara tulang-tulang sangat longgar
dan terdapat oedem dibawah kulit.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin,
seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak
sering dijumpai overlapping cairan ketuban berkurang.
2. Rontgen foto abdomen
a. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling
tumpang tindih (overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair,
hal ini terjadi setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan.
b. Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting
(hiperpleksi).
c. Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
d. Tampak udema di sekitar tulang kepala
3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen
2.6 Penanganan
1. Penanganan Pasif

16

a. Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2 minggu. Jika trombosit


dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan maka dilakukan
penanganan aktif.
b. Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu. Kadar normal fibrinogen
pada wanita hamil adalah 300-700 mg%
2. Penanganan Aktif
Dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin untuk serviks matang
dan prostaglandin atau kateter foley untuk serviks yang belum matang.
Pada kasus IUFD, persalinan dengan seksio sesaria merupakan aternatif
terakhir dengan indikasi mutlak berupa plasenta previa derajat apapun,
CPD, riwayat seksio cesarean klasik, ruptur uteri. Serta indikasi relatif
berupa riwayat seksi cesarea segmen bawah dan resentaso bahu atau letak
lintang.
Pada umur kehamilan lanjut, induksi persalinan lebih aman. induksi
persalinan dapat dibantu dengan menggunakan preparat prostaglandin.
Dalam beberapa decade terakhir ini, misoprostol telah menggantikan
PGE2 untuk induksi persalinan pada janin yang telah mati dalam rahim
oleh karena efek yang sama namun efek samping yang lebih kecil. Efek
samping prostaglandin termasuk demam, mual, muntah dan diare,
khususnya preparat PGE2. Pengobatan awal dengan antiemetik, entipiretik
dan antidiare mungkin dapat mengurangi gejala. Misoprostol mungkin
digunakan secara oral sebagai tablet larut atau secara vagina pada posterior
fornix. Dosis misoprostol tergantung dari ukuran uterus dan beberapa
pertimbangan lainnya. Jika uterus < 28 minggu, pendekatan yang
digunakan adalah dengan 200 mg misoprostol pada fornix posterior setiap
4 jam hingga janin dan plasenta lahir. Dosis dapat ditingkatkan hingga
400 mg tiap 2 jam, tetapi kelahiran tidak dapat dipercepat jika
dibandingkan dengan 200 mg tiap 4 jam. Dosis oral 200mg-400mg setiap
2-4 jam. Interval untuk melahirkan menjadi kurang jika diberikan secara
vaginal dibandingkan dengan oral, namun pada beberapa wanita lebih
memilih secara oral. Jika uterus > 28 minggu, maka dapat digunakan dosis
awal 25 mg misoprostol pada fornix posterior, diikuti dosis 25-50 mg tiap
17

4 jam. Sebagai alternative, dapat diberikan oral 25 mg setiap 4 jam.


Prostaglandin E2 sebaiknya tidak digunakan pada wanita dengan penyakit
jantung, paru dan ginjal serta glaucoma. Semua prostaglandin untuk
induksi medis harus dihindari pada kasus riwayat seksio cesarean
sebelumnya jika uterus > 26 minggu. Pada beberapa kasus digunakan
oksitosin jika ternyata serviks sudah matang (skor bishop > 6). Gold
standard untuk induksi tetap oksitosin. Dosis misoprostol sebaiknya tidak
melebihi 600 mcg per hari. Jika ternyata ekspulsi tidak terjadi dalam 24
jam, maka dosis dapat diulang untuk hari berikutnya. Pemberian oksitosin,
jika dibutuhkan dapat diberikan 4 jam setelah pemberian dosis terakhir
misoprostol. Walaupun rupture uterus mungkin terjadi, misoprostol
ternyata lebih aman digunakan pada trimester kedua untuk induksi
persalinan pada wanita dengan riwayat section cesarean.
Kontraindikasi penggunaan misoprostol termasuk diantaranya adalah
alergi terhadap prostaglandin dan kontraindikasi terhadap pemberian
pervaginam seperti plasenta previa dan letak lintang. Untuk pemberian
dosis ulangan pada uterus > 26 minggu, perlu dievaluasi aktivitas uterus.
Jika pasien memiliki kontraksi 2x atau lebih dalam 10 menit, maka dosis
tidak perlu diulang, karena resiko hiperstimulasi. Jika frekuensi kontraksi
uterus menurun, dosis ulangan dapat diberikan

BAB III
PENYAJIAN KASUS
18

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. H
Umur
: 27 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Status
: Menikah
Alamat
: Dsn Selobat RT 05/RW 02, Kecamatan Selakau Timur, Sambas.
Tgl MRS
: 25-09-2015, pukul : 18.11 WIB
No. MR
: 29xxxx
Tgl KRS
: 26-09-2015
Identitas Suami :
Nama
: Tn. S
Umur
: 28 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Status
: Menikah
Alamat
: Dsn Selobat RT 05/RW 02, Kecamatan Selakau Timur, Sambas.

II.

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Tidak merasakan gerakan janin
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien tidak merasakan gerakan janin lagi sejak 8 jam sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan tersebut disertai dengan mules yang awalnya hilang timbul namun
semakin lama frekuensinya semakin sering serta terdapat pengeluaran lendir
bercampur darah. Pengeluaran air dirasakan pasien sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, pasien tidak mengetahui warna air yang keluar tersebut. Pasien
merupakan rujukan dari polindes selobat dengan G2P1A0 hamil 36 minggu
dengan pemeriksaan denyut jantung janin yang tidak jelas sejak 3 jam sebelum
rumah sakit. Keluhan lain seperti demam, mual, muntah dan pusing disangkal
oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat kencing
manis, tekanan darah tinggi, asma dan alergi disangkal. Pasien tidak pernah
mengeluhkan adanya riwayat keputihan dalam jangka waktu yang lama atau

19

berbau selama kehamilan. Riwayat trauma ataupun perutnya diurut disangkal


oleh. Pasien tidak merokok, namun suaminya merokok dengan frekuensi 1
bungkus per hari. Pasien juga menyangkal ada melakukan hubungan dalam 1
minggu terakhir.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa. Tidak ada penyakit
lain yang sedang di derita anggota keluarga lainnya.
Riwayat Menstruasi :
menarche usia 12 tahun
siklus haid 28 hari, secara umum teratur
lama haid 3-5 hari, dengan 2 kali ganti pembalut
nyeri haid biasa
Riwayat Perkawinan :
Menikah 1 kali, umur saat menikah 22 tahun, sudah menikah selama 5 tahun.
Selama menikah pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi apapun.

Riwayat Obstetrik :
Merupakan kehamilan yang kedua. Anak pertama pasien sekarang berumur 3
tahun dilahirkan dengan persalinan pervaginam (spontan) ditolong oleh bidan di
Polindes, lahir cukup bulan dan langsung menangis, akan tetapi pasien lupa
tepatnya berapa berat badan lahirnya, pasien hanya ingat sekitar 1 kg lebih hampir
mencapai 2 kg. Pasien tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya.
Riwayat Kehamilan Sekarang :
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke Polindes hamper setiap bulan
(selama kehamilan sekitar 6-7 kali), namun tidak pernah periksa ke dokter
kandungan dan tidak pernah USG. HPHT 11-01-2015. Taksiran persalinan tanggal
18-10-2015, usia kehamilan 36 minggu. Selama hamil, pasien mengaku tekanan
darahnya cenderung normal (biasa periksa ke Polindes) dan baru tinggi setelah
periksa sekarang ketika akan mau melahirkan karena terakhir pasien kontrol ke
bidan adalah 1 bulan yang lalu.
20

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tidak bekerja, sedangkan suami pasien wiraswasta. Pengobatan pasien
ditanggung secara pribadi karena pasien belum memiliki BPJS.
III.
Berat badan

PEMERIKSAAN FISIK
: 60 kg (sebelum hamil)
70 kg (hamil), kenaikan berat badan 10 kg
Tinggi badan
: 145 cm
Keadan umum
: Lemah
Kesadaran
: Kompos mentis
Gizi
: Kesan Cukup

Tanda vital
:
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

: 150/90 mmHg
: 84 x/menit
: 30 x/menit
: 36,5 0C

STATUS GENERALIS

Kepala

: normocephali

Mata

: konjunctiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-), Pupil isokor Refleks

cahaya (+/+)

Hidung

: deviasi septum nasi (-), Pernapasan cuping hidung (-)

Telinga

: gangguan pendengaran (-)

Mulut

: bibir sianosis (-)

Leher

: deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)

Paru

: Pergerakan dada simetris, pelebaran ICS (-), sonor, suara nafas

dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Abdomen : lihat status obstetri

Ekstremitas: Hangat (+), edema (-)

: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

21

STATUS OBSTETRIK
Pemeriksaan luar : 25-09-2015 pukul 18.12 (pemeriksaan di IGD)
Palpasi :
Leopold I : teratas bulat-lunak-lebar: interpretasi bokong
Leopold II : kiri keras panjang, interpretasi punggung
Leopold III : terbawah, bulat-keras-tunggal : interpretasi kepala
Leopold IV : bagian terbawah sudah masuk pintu atas panggul (PAP)
Denyut jantung janin : tidak didapatkan
His
: sering dan kuat
Tinggi Fundus Uteri : 34 cm
Taksiran berat janin : 3400 gr
Pemeriksaan dalam
Pembukaan
Penurunan
Ketuban

:
: Lengkap
: Hodge IV
: tidak didapatkan

IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Kadar normal
HGB (11,5 16,5 g/dl)
WBC (3.500-10.000/dL)
PLT dL (100.000 400.000/dL)
Eritrosit
Waktu pembekuan (5-15 menit)
Waktu perdarahan (1-3 menit)
Golongan darah
HIV
HbsAg

Tanggal 25-09-2015
9.3
15.800
178.000
3,10 juta
600
200
O
(-) Non Reaktif
(-) Non Reaktif

2. Pemeriksaan Urinalisis
Kadar normal
Makroskopik
Warna
Berat Jenis (1,015-1,025)
pH (4,8-7,4)
Protein (negatif)
Keton (negatif)
Bilirubin (negatif)
Urobilinogen (3,2 mol/L)
Leukosit (negatif)
Nitrit (negatif)
Glukosa (negatif)

Tanggal 25-09-2015
Kuning
1,025
6,0
+1
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
22

Mikroskopik
Epitel (5-15 sel/lpb)
Leukosit (1-4 sel/lpb)
Eritrosit (0-1 sel/lpb)
Silinder (hialin kadang ada)
Kristal (negatif)

+
1-2 sel/lpb
20-30 sel/lpb
-

V.
DIAGNOSIS
G2P1A0 hamil 36 minggu dengan IUFD + Preeklampsia Ringan

VI.
TINDAKAN/TERAPI
Observasi KU dan TTV ibu
Rencana persalinan pervaginam
IVFD RL 20 TPM

VII. PROGNOSIS
1. Prognosis Ibu
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
2. Prognosis Janin
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: malam
: malam

VIII. LAPORAN PERSALINAN


Sudah ditolong partus spontan di IGD pada pukul 18.15 WIB, dilahirkan
anak laki-laki dengan BB : 2.500 gram, PB : 48 cm, bayi tidak menangis,
seluruh tubuh terdapat sianosis, kulit utuh, kaku (-). Bayi dinyatakan sudah
meninggal.
Pada saat janin lahir terdapat lilitan tali pusat 1 kali erat, plasenta lahir
spontan dalam kondisi layu dan berbau disertai dengan cairan berwarna
hijau keruh.
Perdarahan 500 cc dan perineum utuh

IX.
TERAPI POST-PARTUM
Observasi TTV, KU dan perdarahan pervaginam
Ciprofloxacin 2 x 500 mg per oral
Asam Mefenamat 3 x 500 mg per oral
Mersibion 1 x 1 tab per oral

23

X.

FOLLOW UP :

26-09-2015, pukul 07.00 WIB


S

Nyeri pada jalan lahir (+) berkurang, perdarahan (+) minimal,

pusing (-), mual (-), muntah (-) dan nafsu makan baik
Keadaan umum : baik
Kesadaran

: kompos mentis

Tekanan darah : 130/90 mmHg


Nadi

: 100 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Temperatur

: 36,40C

Abdomen
TFU

: 2 jari di bawah umbilikus

Kontraksi uterus baik


A
P

Genitalia eksterna : luka lecet (+), perdarahan (+) minimal


P2A0 Partus Prematurus Spontan dengan IUFD + PER
IVFD RL 20 tetes per menit
Ciprofloxacin 2 x 500 mg p.o
Asam Mefenamat 3 x 500 mg p.o
Mersibion 1 x 1 tab p.o
Observasi ku, ttv dan perdarahan pervaginam

24

26-09-2015 pukul 13.00 WIB pasien pulang atas permintaan sendiri

BAB IV
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosis
Dalam melakukan tatalaksana terhadap kasus ini hal pertama yang perlu
diketahui adalah memastikan diagnosis pada pasien ini. Diagnosis Intra Uterine
Fetal Death (IUFD) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan obstetrik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pasien datang ke RS Abdul Aziz dengan keluhan tidak merasakan gerakan
janin sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari keluhan tidak merasakan
gerakan janin, maka dapat dibuat diagnosis banding antara lain:
a. IUFD
b. Gawat Janin
c. Ruptur uteri
d. Solusio plasenta.
e. Polihidramnion
Pada IUFD, tidak didapatkan gerakan janin dan denyut jantung janin tidak
ada. Selain itu tanda-tanda kehamilan berhenti, TFU berkurang, pembesaran
uterus berkurang. Pada gawat janin, didapatkan gerakan janin berkurang atau
hilang, DJJ abnormal (< 100x/menit atau > 180x/menit) dan cairan ketuban
bercampur mekonium. Pada rupture uteri gerakan janin dan DJJ tidak ada,
perdarahan, nyeri perut hebat dan bisa dijumpai syok, perut kembung, kontur
25

uterus abnormal, nyeri abdomen, bagian janin teraba dan denyut nadi ibu cepat.
Pada solusio plasenta didapatkan gerakan janin berkurang atau hilang, nyeri perut
hilanng timbul atau menetap, perdarahan pervaginam setelah hamil 22 minggu
serta dapat dijumpai syok, uterus tegang atau kaku dan gawat janin atau DJJ tidak
terdengar.
Pada kasus ini, selain pergerakan janin yang tidak ada lagi, pasien menyatakan
terdapat keluhan seperti keluar lendir bercampur darah (tanda persalinan) disertai
pengeluaran air (mengarah kepada ketuban pecah dini). Dari anamnesis, maka
keadaan seperti solusio plasenta, gawat janin dan rupture uteri dapat disingkirkan.
Hal ini dipertegas pada pemeriksaan fisik, dimana ditemukan keadaan pasien
dalam kondisi baik, tidak syok, yang dilihat dari TTV dalam batas normal.
Kemudian pada pemeriksaa obstetrik dengan palpasi tidak ditemukan adanya
tanda gawat janin seperi DJJ yang < 100x/menit atau > 180x/menit dan tidak
adanya pengeluaran mekonium, bahkan pada pasien sudah tidak ditemukannya
DJJ lagi.
Dari anamnesis juga diketahui bahwa ini merupakan kehamilan kedua pasien
dengan kehamilan pertama lahir spontan ditolong bidan dengan usia kehamilan
cukup bulan, langsung menangis dengan berat badan lahir 2.000 gram (BBLR),
yang sekarang sudah berusia 3 tahun. Ini menandakan bahwa pada kehamilan
sebelumnya kemungkinan terjadi intrauterine growth restriction (IUGR) pada
anak pertama pasien ataupun kecil untuk masa kehamilannya (KMK), asumsi ini
ditegakkan berdasarkan berat badan lahir dan usia kehamilan saat persalinan.
Pasien mengaku bahwa HPHT pada tanggal 11-01-2015 dengan taksiran
persalinan 18-10-2015 maka usia kehamilan pasien adalah 36 minggu, dan pasien
tidak pernah di USG.
Selain itu pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah pasien
150/90 dan untuk tanda vital lain dalam batas normal. Hal ini menunjukkan
bahwa pasien mengalami hipertensi dalam kehamilan. Dari anamnesis, pasien
menyangkal memiliki tekanan darah tinggi baik pada kehamilan pertama maupun
sebelum kehamilan dan mengaku bahwa baru sekarang ini tekanan darahnya
tinggi, sehingga kemungkinan akan adanya hipertensi kronis pada pasien dapat
disangkal. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan adanya protein urine (+1), yang
26

memperkuat diagnosis pada pasien ini adalah preeklampsia ringan. Dapat dilihat
pada tabel di bawah ini mengenai kriteria diagnosis untuk hipertensi dalam
kehamilan:

2. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka perlu dilakukan penanganan pada pasien
ini, apakah janin akan dilahirkan pervaginam atau seksio sesaria. Untuk dapat
menentukannya, maka perlu dipertimbangkan apakah ada kontraindikasi untuk
a.
b.
c.
d.
e.

lahir pervaginam seperti:


Plasenta previa
CPD
Ruptur Uteri
Riwayat Seksio Cesarea
Presentasi bahu atau letak lintang
Jika ternyata kondisi-kondisi tersebut di atas ataupun kondisi lainnya ditemukan
maka kelahiran janin harus dilakukan secara seksio sesaria
Pada kasus ini, plasenta tidak menutupi jalan lahir (dari pemeriksaan dalam),
CPD dapat disingkirkan sementara karena pada kehamilan pertama pasien dapat
dilakukan persalinan spontan walaupun anaknya BBLR dan tinggi badan pasien
145 cm. Pasien tidak pernah menjalani operasi cesar sebelumnya dan presentasi

27

janin letak kepala. Karena semua kondisi di atas tidak terpenuhi maka janin dapat
dilahirkan pervaginam.
Kemudian ditentukan dengan jalan apakah janin akan dilahirkan, apakah
dengan penanganan pasif ataukah aktif. Mengingat bahwa ketika datang pasien
sudah menunjukkan tanda-tanda persalinan berupa pengeluaran air, pengeluaran
lendir bercampur darah dan mules yang kuat serta tidak berapa lama setelah
datang dari pemeriksaan dalam menunjukkan pembukaan sudah lengkap, maka
pasien dilaksanakan persalinan secara pervaginam. Pada penanganan pasif, ibu
dengan IUFD diobservasi dan ditunggu untuk terjadinya persalinan secara spontan
selama kurang lebih 2-3 minggu. Pada kebanyakan ibu dengan IUFD (90%)
mengalami persalinan spontan dalam 3 minggu pertama. Pada IUFD, jika tidak
dilahirkan dalam 3 minggu pertama maka dapat terjadi disseminated
intravascular coagulopathy (DIC) yang dinilai dengan adanya perdarahan
spontan, penurunan nilai trombosit dan fibrinogen, serta kemungkinan terjadinya
infeksi intra-uterine jika sudah ketubannya sudah pecah. Masa penantian
persalinan yang semakin lama juga dihubungkan dengan tingkat stress yang tinggi
pada ibu, yang dapat menimbulkan kecemasan sampai depresi pada ibu dengan
IUFD (RCPI, 2013). Jika dengan penanganan pasif tidak berhasil, maka harus
dilakukan penanganan aktif baik dengan drip oksitosin maupun pemberian
prostaglandin (misoprostol).
3. Penyebab IUFD
Teori mengatakan bahwa 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas.
Penyebab IUFD dapat ditinjau dari 3 faktor yang dapat dinilai yaitu faktor janin,
plasenta dan maternal. Dari kasus ini faktor janin yang mendukung terjadinya
IUFD adalah terjadinya lilitan tali pusat 1 kali erat, dapat diperkirakan bahwa
makin masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan
makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat menyebabkan
kematian janin dalam kandungan. Sedangkan penyebab lain seperti anomali
kromosom, kelainan kongenital ataupun kelainan plasenta mungkin bukan
menjadi faktor yang mendukung terjadinya IUFD dalam kasus ini, meskipun tetap

28

diperlukan investigasi lebih lanjut. Infeksi virus ataupun bakteri kemungkinan


dapat terjadi pada pasien ini mengingat bahwa adanya riwayat IUGR pada
kehamilan sebelumnya, yang tentunya memerlukan konfirmasi lebih lanjut, salah
satunya dengan pemeriksaan kadar titer TORCH. Ditinjau dari faktor plasenta
seperti abruptio plasenta, perdarahan fetal-maternal, gangguan umbilikus,
insufisiensi plasenta, asfiksia intrapartum, plasenta previa, transfusion kembar,
korioamnionitis kemungkina besar tidak menjadi penyebab IUFD dalam kasus ini.
Faktor maternal seperti usia, paritas, diabetes, hipertensi dalam kehamilan,
trauma, gangguan persalinan, sepsis, asidosis, hipoksia, ruptur uteri, kehamilan
postterm dan obat-obatan, khususnya untuk kasus ini yang menjadi penyebab
kematian janin adalah adanya penyulit pada ibu berupa preeklampsia ringan. Pada
pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan
air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah
akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen
jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin sampai kematian janin (Mochtar, 2004).
4. Pencegahan Kematian Janin Pada Kehamilan Selanjutnya
Pada wanita hamil, sebaiknya melakukan antenatal care. Setiap wanita hamil
menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karena itu, setiap
wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
a) Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)
b) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan)
c) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita
hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu
hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik
minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin
dalam kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
dalam rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi fundus uteri dan terdengar atau
tidaknya denyut jantung janin. Jika pada pemeriksaan kadar titer TORCH terdapat
29

hasil reaktif, maka dapat dilakukan terapi antivirus pada pasien ini sambil
dilakukan evaluasi sampai kadar titernya negatif dan baru boleh hamil lagi setelah
itu.

30

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan dan diagnosis serta penatalaksanaan kasus ini dapat diterima


dan sesuai dengan literatur yang ada. Pada kasus ini pasien direncanakan
persalinan pervaginam karena tidak terdapat kontraindikasi dengan menerapkan
prinsip penanganan pasif karena pasien datang sudah dengan tanda-tanda
persalinan. Faktor yang menyebabkan IUFD dalam kasus ini kemungkinan adalah
adanya lilitan tali pusat pada janin, infeksi intra-uterine dan preeklampsia pada
ibu.

31

Anda mungkin juga menyukai