Anda di halaman 1dari 32

BAB I

Pendahuluan
Pada manusia fungsi penghidu memiliki peranan penting. Gangguan
penghidu dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mendeteksi kebocoran gas,
tidak dapat membedakan makanan basi, mempengaruhi selera makan,
mempengaruhi psikis, dan kualitas hidup seseorang.1, 2
Baru-baru ini, sebuah studi berbasis populasi melaporkan bahwa
prevalensi disfungsi penciuman adalah 19,1%, terdiri dari 13,3% dengan
Hiposmia dan 5,8% dengan anosmia. Penuaan, laki-laki, dan merokok juga
dikenal faktor risiko untuk disfungsi penciuman. 3
Disfungsi penciuman dapat diklasifikasikan menjadi konduktif dan jenis
sensorik-neural. jenis konduktif termasuk penyakit hidung dan sinus paranasal
(termasuk stenosis hidung, rhinitis alergi, rhinosinusitis kronis dengan poliposis,
dan tumor), dan menunjukkan prognosis relatif baik setelah manajemen medis dan
/ atau pembedahan. Jenis sensorik-neural termasuk cedera kepala traumatis,
gangguan neurodegenerative, kongenital (sindrom Kallman 's), dan racun.3
Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4%
dari penduduk.2 Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk
pertahun berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu.4 Penyebab
tersering gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal dan infeksi
saluran nafas atas.4
Ada beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu, tapi
jarang digunakan secara rutin di berbagai rumah sakit. Hal ini disebabkan

harganya cukup mahal dan odoran yang terdapat dalam pemeriksaan


kemosensoris penghidu ini tidak familiar antara suatu negara dengan negara
lain.1,2 Alat pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu yang berkembang dan
banyak dipakai di negara Eropa seperti Jerman, Austria dan Switzerland adalah tes
Sniffin Sticks. Tes ini dapat menilai ambang penghidu, diskriminasi penghidu
dan identifikasi penghidu . 4, 5

BAB II
Gangguan Penghidung
I. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penghidu
Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah adalah pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (Os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago
alar minor dan tepi anterior kartilago septum.6, 7

Gambar 1 : Anatomi hidung bagian luar7


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior

dan

lubang

belakang

disebut

nares

posterior

(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.6 7


Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.6 7
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan
rongga hidung.6, 7
Fisiologi Sistem Penghidu
Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius,
bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius.
A. Neuroepitel olfaktorius
Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka
superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar
lempeng kribriformis. (Gambar 2). Luas area olfaktorius ini 5 cm2.
Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang
berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada
sitoplasma kompleks golgi.4, 6

Gambar 2. Regio neuroepitel olfaktorius.6


Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang
merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada ujung
dari masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia.
Silia menonjol pada permukaan mukus. Pada neuroepitel ini terdapat sel
penunjang atau sel sustentakuler. sel ini berfungsi sebagai pembatas antara sel
reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius
dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar Bowmans
yang terdapat pada bagian basal sel (Gambar 3). 4, 6

Gambar 3. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius.6


Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu
dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan
reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor
olfaktorius

akan

menyebabkan

stimuli

guanine

nucleotide,

yang

akan

mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan second messenger yaitu


adenosin monofosfat. Ini akan menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam
sel dan menghasilkan depolarisasi sel membran dan menghasilkan penjalaran
impuls ke bulbus olfaktorius (gambar 4). 4, 6

Gambar 4. Proses transduksi dari stimulus olfaktorius.8

B. Bulbus olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal. Bundel
akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis
diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai
200 akson reseptor penghidu pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan
bertambahnya usia. Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan
dendrit dari neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus
olfaktorius (Gambar 5).6, 8

Gambar 5. Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus


olfaktorius.6
C. Korteks olfaktorius
Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal
merupakan pusat persepsi terhadap penghidu.10 Pada area hipotalamus dan
amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal
merupakan pusat memori dari odoran (gambar 5).6

Gambar 6. Korteks olfaktorius.6


Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N
I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor.2,8 Satu
jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius
kita bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain.8,10,11
Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus
(N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi
rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera
penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa
terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak
atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus
trigeminus berinteraksi secara fisiologis.6, 8
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N O) dan
organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf
ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng
kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ

rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobsons. Pada manusia saraf ini
tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada
pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.6, 8

II. Gangguan penghidu


Kemampuan

penghidu

normal

didefinisikan

sebagai

normosmia.

Gangguan penghidu dapat berupa :


A. Hiposmia
Etiologi
Hiposmia dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu
berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport)
terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada
defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara
keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga
hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus;
dan trauma kepala. 1, 3, 4

Defek konduktif 1, 3, 4
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe,

termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian


kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang
progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski
telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga
menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi
polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.
3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga
dapat menyebabkan obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia
karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung.
Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang
sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita
gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Defek sentral/sensorineural 1, 3, 4
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak
neuroepitel),

sarkoidosis

(mempengaruhi

stuktur

saraf),

Wegener

granulomatosis, dan sklerosis multipel.

10

2. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman


syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur
olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga
menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.
3. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh
pada fungsi pembauan.
4. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat
menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang
halus dan mengakibatkan

anosmia.

5. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obatobatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obatobatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya
alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara
langsung.
6. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi
pembauan.
7. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per
tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder
karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan
penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.

11

8. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer


disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus
Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala
pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan,
berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan,
dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade
ketujuh. Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni
akibat adanya edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis
kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai
hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated
apoptosis.
Diagnosis 1, 3, 4
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama
keluhan, apakah dirasakan terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral.
Selain itu perlu diketahui apakah ada riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan
obat-obatan yang diminum.
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga,
saluran napas bagian atas, kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah
kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis
media serosa dapat menunjukkan adanya massa nasofaring atau peradangan.

12

Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung, gumpalan darah,
polip, dan peradangan membran hidung sangat penting.
Pemeriksaan olfaktorius terbagi dua, yaitu pemeriksaan olfaktorius
subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif, pelbagai bahan
diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua lubang hidung
sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis substansi
digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus
olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi
komponen trigeminal (menthol, asam asetat), serta substansi yang turut
mempunyai komponen pengecapan (kloroform piridine).
Pemeriksaan olfaktorius objektif juga bisa dilakukan menggunakan alat
test yang siap pakai, misalnya Sniffin Sticks. Sniffin Sticks menggunakan
sejumlah stik n-butanol yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan
konsentrasi yang berbeda. Melalui penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi
bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta kemampuan mengidentifikasi bau
dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya, kemudian pemeriksa akan
meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara ketiga-tiga stik tersebut hanya
satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak bisa mendeteksi sebarang bau
atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi
yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang diberikan akan terus meningkat sehingga
pasien dapat mengidentifikasi dengan benar paling kurang dua kali. Setelah itu

13

dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa mendeteksi bau tersebut dengan
benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah dilakukan.
Interpretasi dan Tindakan Lanjut 1, 3, 4
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan
oleh rhinitis vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis.Keluhan ini dapat hilang bila
penyebabnya diobati. Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik
(rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari
sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya diobati. Rinitis medikamentosa
akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan hiposmia atau anosmia
yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya dihentikan. Tumor
n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi.
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan histologi dan diterapi dengan
pembedahan. Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya
daya penghidu, terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas.
Kelainan ini tidak dapat diobati.
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma
dapat mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi
parosmia, yaitu penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan
biasanya tercium bau yang tidak enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul
secara spontan. Kelainan penghidu ini mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi

14

dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila setelah tiga bulan tidak membaik,
berarti prognosisnya buruk.
Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan
menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan
penghidu yang makin lama makin memanjang. Osteomata atau meningiomata di
dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat menimbulkan anosmia unilateral.
Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan penghidu sering juga
disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala dan kadangkadang kejang lokal. Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu.
Seringkali halusinasi bau yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang
terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala ini tidak menetap. Kelainan psikologik
seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan atau bau napas
sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu diyakinkan
dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,
skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus
demikian perlu dirujuk ke seorang psikiater. Kadang-kadang ada keluhan
hilangnya penghidu pada pasien hysteria atau berpura-pura (malingering)
pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa biasanya pasien mengatakan tidak
dapat mendeteksi ammonia.
Terapi 1, 3, 4
A. Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis
alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan

15

struktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan
kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam
memulihkan sensasi terhadap bau yaitu pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi
glukokortikoid sistemik dan topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi septum
nasal, dan
sinusitis
hiperplastik kronik.
B. Hiposmia Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang
penciuman sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi.
Sebagian dokter menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang
mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan
sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk
vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan
anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering
ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia
beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan;
karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.
B. Anosmia 1, 3, 4
Defensi
Anosmia adalah ketidakmampuan penciuman/ penghidu sebagian atau
total kehilangan sensasi penciuman. Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran
kelenjar hidung atau kerusakan syaraf. Anosmia biasanya disebabkan proses

16

natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena common cold (influenza),


anosmia dapat juga disebabkan karena setelah operasi kepala atau alergi akut atau
kronik. Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu.
Sensasi penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau
meningioma, sinus nasal atau operasi otak. Dapat juga disebakan karena defisiensi
zinc/ seng. Rokok tobacco adalah konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat
menyebabkan seorang menderita anosmia. Faktor siklus hormonal atau gangguan
dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia dapat juga terjadi karena
beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi.
Gejala Klinis
Dengan hilangnya sensasi penciuman dapat juga menyebabkan kehilangan
sensasi pengecap. Penyimpangan fungsi penciuman dan pengecap menyebabkan
nafsu makan berkurang, penderita tidak dapat membedakan rasa.
Diagnosis
Untuk mengerti apa penyebab dari permasalahannya penting untuk
anamnesa menanyakan riwayat penyakit dan keluhan. Ukuran kuantitatif spesifik
dari fungsi penciuman perlu dilakukan tes, berupa tes scratch and shiff untuk
mengevaluasi indera penciuman. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior untuk melihat apakah terdapat kelainan obstruksi hidung, perubahan
mukosa hidung, tanda-tanda infeksi dan adanya tumor. Pemeriksaan penunjang,
dengan pemeriksaan penghidu sederhana. Pasien dicoba untuk menghidu alkohol,
kopi, minyak wangi dan skatol (feses), kemudian amoniak untuk merangsang N.
Trigeminus bukan N. Olfaktorius.
Penatalaksanaan

17

Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi


penciuman antara lain; antihistamin apabila diindikasikan pada penderita alergi.
Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat
digunakan dekongestan nasal dapat membantu. Suplemen zinc kadang-kadang
direkomendasikan. Anosmia akibat proses degenerasi tidak ada pengobatannya.
Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak
dapat diobati.

C. Kakosmia 1, 3, 4
Definisi
Gangguan penghidu/penciuman yang dapat timbul pada epilepsi unsinatus
lobus temporalis. Mungkin juga akibat gangguan psikis/ kejiwaan adanya
halusinasi bau rendah diri atau kelainan psikiatrik.
Etiologi
Dapat ditemukan pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, Kelainan
psikologik & rendah diri, kelainan psikiatrik, Depresi, Psikosis
Gejala
Pada pasien epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu.
Seringkali halusinasi bau yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang
terbakar, jarang bau yang wangi. Gejala ini tidak menetap. Kelainan

18

psikopatologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan atau
bau napas sendiri. Kelainan psikiatrik seperti depresi, skizofren atau demensia
senilis dapat menimbulkan halusinasi bau.
Diagnosis
Gangguan berlangsung singkat, 1 hari sampai dengan kurang 1 bulan.
Gejala bisa memenuhi atau tidak memenuhi kriteria skizofrenia Gangguan timbul
akibat respons terhadap stresor psikososial yang parah atau nyata tidak disertai
gangguan mood atau gangguan oleh karena zat.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan perlindungan pasien terhadap hal-hal yang membahayakan
diri dan orang lain. Pada pasien yang setelah diperiksa ternyata tidak ada kelainan
perlu diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Pada pasien yang
terdiagnosa mengalami gangguan psikologis, dapat dirujuk ke psikiatri.
D. Disosmia 3, 4, 9
Defenisi
Disosmia adalah berubahnya penciuman yang menyebabkan penderita
merasa mencium bau yang tidak enak.
Disosmia bisa disebabkan oleh:
- Infeksi di dalam sinus
- Kerusakan parsial pada saraf olfaktorius
- Kebersihan mlut yang jelek, sehingga terjadi infeksi mulut yang
-

berbau tidak enak dan tercium oleh hidung


Depresi.

19

Beberapa penderita kejang yang penyebabnya berasal dari bagian otak


yang merasakan bau (saraf olfaktorius) akan mencium bau yang tidak
menyenangkan (halusinasi olfaktori). Hal ini merupakan bagian dari kejang,
bukan merupakan disosmia.

E. Aeugisia
Defenisi
Ageusia

merupakan

berkurangnya

atau

hilangnya

pengecapan.

Penyebabnya adalah berbagai keadaan yang mempengaruhi lidah:


-

Mulut yang sangat kering


Perokok berat
Terapi penyinaran pada kepala dan leher
Efek samping dari obat (misalnya vinkristin-obat antikanker atau
amitriptilin-obat antidepresi).

F. Disgeusia
Disgeusia adalah berubahnya pengecapan. Penyebabnya bisa berupa:
Luka bakar pada lidah (bisa menyebabkan kerusakan sementara pada jonjot-jonjot
pengecap), Bell's palsy (bisa menyebabkan berkurangnya pengecapan pada salah
satu sisi lidah), infark talamik, serta depresi berat.9
III. Patogenesis
Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada
mammalia, kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk
dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam

20

kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi


kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor
tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfahelikal. Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau
paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan
bau. Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting :
1. keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang
sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau.
2. Protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga
memungkinkan pembedaan bau, dan
3. Hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa
terjadinya paparan dilupakan.
IV. Penyebab gangguan penghidu.
Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan
transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius,
misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan
kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi
saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan
kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada
penyakit neurodegeneratif, atau tumor intrakranial.

21

Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma


kepala, infeksi saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal.
A. Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi
penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius dan
gangguan aliran udara dihidung. Adanya trauma menyebabkan hematom pada
mukosa hidung, atau luka pada epitel olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi
pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan kerusakan otak di regio
frontal, orbitofrontal, dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang
disebabkan trauma kepala terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.3, 10
B. Infeksi saluran nafas atas
Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan penghidu yaitu
common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan langsung pada
epitel olfaktorius atau jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat
merusak sel reseptor olfaktorius. Prevalensi gangguan penghidu yang
disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas 11-40% dari kasus gangguan
penghidu. Gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas
atas tidak seberat gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.3, 11
C. Penyakit sinonasal
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau
rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan
berkurangnya aliran udara dan odoran yang sampai ke mukosa olfaktorius.
Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik dan rinitis alergi dapat berupa

22

gangguan konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara di celah


olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip
yang menyebabkan gangguan konduksi.3
Penyakit lain yang menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit
endokrin (hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann
syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel sklerosis), pasca
laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik, peminum alkohol, skizofrenia,
tumor intranasal atau intrakranial.3
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Ada
banyak teori yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada orang tua,
diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan area olfaktorius, pengurangan
jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, penurunan aktivasi dari korteks
olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia lebih dari 80 tahun sebesar 65%.23
Penelitian lain mendapatkan gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun
sebesar 24%. Doty dkk menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang
signifikan pada usia lebih dari 65 tahun.3, 12
Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada jenis kelamin perempuan
dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Rouby ditemukan gangguan penghidu
hiposmia ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-laki. Gangguan penghidu
juga ditemukan pada perokok. Disini temukan kerusakan dari neuroepitel
olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia ditemukan adanya apoptosis proteolisis
pada neuroepitel olfaktorius. Obat-obatan dan polusi udara juga berpengaruh

23

terhadap fungsi penghidu seperti obat kanker, antihistamin, anti mikroba, anti
tiroid dan lain lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas nitrogen,
silikon dioksida, dan lain-lain.3, 12

V. Pemeriksaan fungsi penghidu


A. Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
gangguan penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit
sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas, riwayat penyakit sistemik, riwayat
penyakit neurodegeneratif, kebiasaan merokok, dan semua faktor yang bisa
menyebabkan gangguan penghidu.4
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi
anterior, posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan
di hidung, seperti inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan
mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi proses transport odoran ke area
olfaktorius.4
C. Pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan
evaluasi kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau
kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data
tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan

24

yang paling berguna untuk memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau
adanya sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada
jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor.12

D. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.


Pemeriksaan

kemosensoris

penghidu

yaitu

pemeriksaan

dengan

menggunakan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa


jenis pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification), Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center
(CCCRC), Tes Sniffin Sticks, Tes Odor Stick Identification Test for Japanese
(OSIT-J).
1. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).
Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masingmasing berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji,
dimana didalamnya terkandung 10-50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan
dibagi menjadi 6 kategori yaitu normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang,
mikrosmia berat, anosmia, dan malingering.2,25 Gambar alat tes UPSIT.12

25

Gambar 7. Alat test UPSIT2 3


2. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC).
Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan
evaluasi nervus trigeminal. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol
4% dan diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat
8 pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk butanol 4% diberi
nomor 0, dilanjutkan dengan pengenceran diberi sampai nomor 8. Dalam
melakukan test dimulai dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0.
Untuk menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi odoran
tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat bila jawaban betul
5 kali berturut-turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada
hidung kiri dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan
atau sebaliknya.3
Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi,
coklat, vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan
identifikasi dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC.3

26

Gambar 8. Alat tes CCCRC3


3. Tes Sniffin Sticks.
Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu
dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction and
gustation di Jerman dan pertama kali diperkenalkan oleh Hummel28 dan kawankawan. Tes ini sudah digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah
dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi dokter di Eropa.
Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml
odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene glycol.7 Alat
pemeriksaan terdiri dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran
(Gambar 9).

Gambar 9. Alat tes Sniffin Sticks


Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena
diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau

27

sebelah kanan (gambar 4). Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek
untuk menghindari identifikasi visual dari odoran.
Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang penghidu
(Treshold/T), diskriminasi penghidu (Discrimination/D), dan identifikasi penghidu
(Identification/I).Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-butanol sebagai
odoran. Tes ini menggunakan triple forced choice paradigma yaitu metode
bertingkat tunggal dengan 3 pilihan jawaban. Pengujian dilakukan dengan
pengenceran n-butanol, dimulai dengan 4% n-butanol, dan dilanjutkan menjadi 16
serial pengenceran dengan perbandingan 1:2 dengan pelarut aqua deionisasi. Tes
dilakukan dengan menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena
berisilarutan dan 1 pena berisi odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20
detik. Skor yang diberikan untuk ambang penghidu adalah 0 sampai 16.
Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena
secara acak dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi odoran
yang berbeda. Pasien disuruh menentukan mana odoran yang berbeda dari 3 pena
tersebut. Pemeriksaan 3 serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk
diskriminasi penghidu adalah 0 sampai 16.
Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16
odoran yang berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu),
peppermint, pisang, lemon, liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon
(kayu manis), turpentine (minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar
dan ikan. Untuk satu odoran yang betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes

28

identifikasi penghidu antara 0-16. Interval antara pengujian minimal 30 detik


untuk proses desensitisasi dari nervus olfaktorius.
Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI
( Treshold/ Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga subtes Sniffin
Sticks dinilai dengan menjumlahkan nilai T-D-I. Dengan rentangan skor 1-48,
bila skor 15 dikategorikan anosmia, 16-29 dikategorikan hiposmia, dan 30
dikategorikan normosmia.30 Tes ini menggambarkan tingkat dari gangguan
penghidu, tapi tidak menerangkan letak anatomi dari kelainan yang terjadi.
Odoran yang terdapat dalam tes Sniffin Sticks adalah odoran yang
familiar untuk negara eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain. Hal ini dapat
diatasi dengan memberikan istilah lain yang familiar untuk odoran tersebut.32
menurut Shu33 tes Sniffin Sticks dapat digunakan pada penduduk Asia.
4. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi
Jepang yaitu condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk Jepang,
menthol, parfum, putrid smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai fermentasi dan
kayu. Odoran berbentuk krim dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengoleskan odoran pada kertas parafin dengan diameter 2 cm, untuk tiap
odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil akhir ditentukan dengan skor OSIT-J.
E. Pemeriksaan elektrofisiologis fungsi penghidu.
Pemeriksaan ini terdiri dari Olfactory Event-Related Potentials (ERPs), dan
Elektro-Olfaktogram (EOG).
1. Olfactory Event - Related Potentials (ERPs).

29

ERPs adalah salah satu pemeriksaan fungsi penghidu dengan memberikan


rangsangan

odoran

intranasal,

dan

dideteksi

perubahan

pada

elektroencephalogram (EEG). Rangsangan odoran untuk memperoleh


kemosensori ERPs harus dengan konsentrasi dan durasi rangsangan yang
tepat. Waktu rangsangan yang diberikan antara 1-20 mili detik. Jenis zat yang
digunakan adalah vanilin, phenylethyl alkohol, dan H2S.
2. Elektro-Olfaktogram (EOG).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada permukaan
epitel penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang pemeriksaan ini kurang
nyaman bagi pasien karena biasanya menyebabkan bersin pada waktu
menempatkan elektroda di regio olfaktorius dihidung.
F. Biopsi neuroepitel olfaktorius.
Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem
penghidu. Jaringan diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara
histologis. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena invasif.

30

BAB III
Kesimpulan
1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting.
2. Area penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke
bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak.
3. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris,
dan gangguan pada saraf olfaktorius.
4. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
infeksi saluran nafas atas.
5. Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa macam,
diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), tes
The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), tes
Sniffin Sticks, dan Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
6. Kelebihan tes Sniffin Stick dibandingkan pemeriksaan kemosensoris
penghidu lainnya adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3 subtest yaitu
ambang penghidu (T), Diskriminasi penghidu (D), dan Identifikasi penghidu
(I). Test ini sudah dipakai pada lebih dari 100 penelitian yang sudah
dipublikasikan. Sudah dipakai di praktek pribadi dokter THT di negara Eropa,
dan dari beberapa penelitian test ini dapat digunakan di negara lain di luar
Eropa termasuk di Asia.

31

DAFTAR PUSTAKA
1.

Eibenstein A, Fioretti AB, C L. Olfactory screening test : experience in 102


Italian subjects. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2005;25(1):18-22.

2.

Sobol Steven, Frenkiel Saul, Mouadeb Debbie. Olfactory Dysfunction :


Waht's that smell? The Canadian Journal of Diagnosis. 2002:55-62.

3.

Hyun Cho Seok. Clinical Diagnosis and Treatment of Olfactory


Dysfunction. Hanyang Med Rev. 2014;34(3):107-15.

4.

Huriyati Effy, Tuti N. Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya.


Jurnal Kesehatan Andalas. 2014;3(1):1-7.

5.

Hummel Thomas, Nordin Steven. Quality of Life in Olfactory Dysfunction.


Sweden: Departement of Otorhinolaryngology, 2003.

6.

Ganong WF. Smell and Taste.

Review of Medical Physiology. San

Fransisco: Medical Publishing; 2001. hal. 340-47.


7.

Standring Susan. Nose, nasal cavity and paranasal sinuses. Gray's Anatomy.
Philadelphia: Elsevier; 2013. hal. 556-70.

8.

Dispopulus A, Silbernagl. Central Nercvous System and Senses. Color


Atlas of Physiology. New York: Thieme; 2003. hal. 340-41.

9.

Janssen Paula M, Schreuder Antonia, Koehler Peter J. Delayed dysosmia


and dysgeusia after thalamic infarction. Journal of the Neurologial Sciences.
2015;348:286-7.

10. Wu AP, Davidson T. Posttraumatic anosmia secondary to central nervous


system. Am J Rhinol. 2008;22(6).
11. Hummel Thomas, Welge-Lussen A. Olfactory disorder following upper
respiratory tract infections. Adv Otorhinolaryngol. 2006;63:125-32.
12. Doty Richard L. Olfaction in Parkinson's disease and related disorder.
Neurobiology of Disease. 2012;46:527-52.

32

Anda mungkin juga menyukai