Anda di halaman 1dari 10

Wisudowati Ayu Sugito

NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

HILIRISASI PRODUK TAMBANG

Kebijakan hilirisasi produk tambang merupakan pengejawantahan dari


Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Kebijakan ini sendiri baru akan dimulai pada tahun 2012
mendatang. Namun, gemanya telah menuai kontroversi mengenai prediksi
keberhasilan kebiajakan ini dalam memenuhi tujuan besar dibalik kebijakan
hilirisasi produk tambang. Tulisan di bawah ini memaparkan latar belakang
pengambilan kebijakan ini, penjabaran kebijakan hilirisasi produk tambang,
serta analisa prediksi dampak dari kebijakan dimaksud kaitannya dengan
teori ekonomi yang menjadi acuan.

I. LATAR BELAKANG
Hasil pertambangan berupa mineral dan batubara memiliki peran
penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Selain sebagai sumber
energi, mineral dan batubara digunakan sebagai bahan bangunan, bahan
peralatan rumah tangga, industri, bahkan perhiasan. Ketergantungan akan
sektor mineral dan batubara dalam kehidupan nasional berdampak pada
besarnya kebutuhan akan mineral dan batubara. Pada tahun 2006,
permintaan batubara dalam negeri sebesar 31 juta ton. Di Indonesia,
kebutuhan akan mineral dan batubara berbanding lurus dengan besarnya
sumberdaya yang tersedia, sebesar 65,5 miliar ton. (Data Warehouse ESDM)
Dengan sumber daya sebesar itu, sudah sewajarnya jika hasil
pertambangan

menjadi

salah

satu

komoditi

utama

Indonesia

dalam

perdagangan internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa


pencapaian Indonesia sebagai penghasil utama beberapa mineral. Indonesia
merupakan penghasil timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubara
thermal ketiga terbesar, penghasil tembaga ketiga terbesar dan menduduki
urutan kelima dan ketujuh untuk produsen nikel dan emas. Indonesia

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

memiliki kandungan 700 juta ton bauksit, 1,7 miliar ton tembaga, 1,4 miliar
ton nikel, 321 juta ton iron ore dan 32 juta ton pasir besi.
Maka sudah sewajarnya perusahaan-perusahaan tambang emas dan
perak yang beroperasi di Indonesia dapat menghasilkan nilai produksi di atas
3 milliar dolar per tahun. Namun, hasil produksi yang demikian besar
sebagian besar dipergunakan untuk kebutuhan pergaulan Indonesia

atau

dengan kata lain diorientasikan guna ekspor dalam bentuk bahan mentah.
Pada tahun 2005, 100% bahan mentah konsentrat, tembaga dan nikel, 98%
emas, 80% perak di ekspor. Januari-September 2010, ekspor barang mentah
Indonesia sebesar USD 2,3 miliar dan bahan mentah alumunium (bauksit)
sebesar USD 569 juta. Pada periode yang sama, Indonesia mengimpor
produk hasil tembaga sebesar USD 840 juta dan produk hasil alumunium
senilai USD 986 juta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Statistik
Impor-Ekspor Indonesia BPS)
Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia hanya menjadi backyard
dari negara-negara lain dimana Indonesia sebagai penyedia bahan tambang
mentah namun negara lain yang memproduksi untuk dijual kembali pada
Indonesia.

Diperlukan kebijakan yang mendorong perusahaan-perusahaan

tambang tidak lagi mengekspor hasil produksinya dalam bentuk mentah


namun mengelolanya dahulu di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah.
Selain itu, dengan hanya berorientasi pada sektor hulu tambang,
tenaga kerja yang terserap sedikit dan tidak memberikan efek multiplier bagi
perekonomian sekitar lokasi tambang dikarenakan sifatnya padat modal dan
berjangka panjang. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang
harus kehilangan pekerjaan akibat beroperasinya tambang-tambang mineral
pada suatu wilayah misalnya para petani dan masyarakat lokal yang
bergantung pada kekayaan alam.
Masalah diatas belum termasuk monopoli perusahaan asing dalam
sektor hulu tambang Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
melaporkan realisasi investasi asing di sektor pertambangan sampai kuartal
II-2011 mencapai 1,51 miliar dollar AS atau 31,5 persen dari keseluruhan
penanaman modal asing (PMA) 4,78 miliar dollar AS. Ini menggambarkan

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

investasi yang disetujui didominasi investasi yang menguras sumber daya


alam dan tidak mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. (Koran
Jakarta, 20 September 2011). Hal ini ditambah dengan perusahaan asing
yang berinvestasi tersebut ditengarai berafiliasi dengan perusahaan pembeli
hasil tambang sehingga tidak memberikan keuntungan signifikan terhadap
negara dan rakyat Indonesia. Akibatnya adalah sektor hilir tambang
Indonesia masih menjadi titik paling lemah.
Oleh karena itu, diperlukan kebiajakan yang dapat memberikan
prioritas bagi domestik dan memacu perkembangan ekonomi regional. Salah
satu kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah adalah Hilirisasi Produk
Tambang.
II. KEBIJAKAN HILIRISASI PRODUK TAMBANG
Kebijakan hilirisasi produk tambang dicantumkan dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam
peraturan
perundang-undangan
tersebut
mewajibkan
perusahaan pemegang izin usaha pertambangan meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Tujuan dari diberlakukannya kebijakan ini adalah (1) meningkatkan
nilai tambah; (2) menumbuhkan industri pengolahan dalam negeri; (3)
memperluas kesempatan kerja di bidang industri hilir tambang; (4)
memenuhi

kebutuhan dalam negeri; (5) meningkatkan pangsa pasar baik

domestik maupun internasional; (6) meningkatkan volume ekspor dan devisa


yang diperoleh.
Kebijakan hilirisasi produk tambang terdiri dari tiga tahapan yang
dimulai pada tahun 2012 mendatang, yaitu:
1. Insentif fiskal berupa fasilitas tax allowance dan tax holiday pada industri
hilir produk tambang
Insentif tax holiday diberikan dalam bentuk pembebasan PPh Badan
selama minimal 5 tahun sejak operasi komersil. Diberikan kepada
investor yang memenuhi investasi Rp. 1 triliun. Sedangkan pada insentif
3

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

tax

allowance

fasilitas

PPh

yang

diberikan

adalah

pengurangan

penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi yang dibebankan


selama 6 tahun (masing-masing sebesar 5% per tahun), penyusutan dan
amortisasi

yang

dipercepat,

dibayarkan

kepada

subjek

pengenaan
pajak

luar

PPh
negeri

atas

dividen

sebesar

yang

10%,

dan

kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari
10 tahun. Kedua kebijakan ini akan ditetapkan dalam revisi Peraturan
Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 yang sedang digarap oleh Kementerian
Keuangan dan Kementerian Peridustrian.
Insentif fiskal dimaksudkan untuk mendorong perusahaan tambang untuk
mengelola hasil produksi tambang mentah dan menciptakan nilai tambah
bagi produk tambang.
2. Disisentif fiskal berupa

pengenaan

pajak

ekspor

produk

mentah

pertambangan yang tinggi.


Dengan pajak ekspor yang sedemikian tinggi, tidak memungkinkan untuk
mengekspor produk tambang mentah karena harga jual ekspor lebih
tinggi

dibandingkan

dengan

harga

pasar

internasional.

Pajak

ini

mendorong pembangunan smelter/pabrik pengolahan di dalam negeri


serta mengamankan pasokan bahan mentah bagi smelter yang dibangun
di dalam negeri. Kebijakan ini juga akan ditetapkan dalam revisi
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 yang sedang digarap oleh
Kementerian Keuangan dan Kementerian Peridustrian.
3. Larangan Ekspor Produk Mentah Pertambangan
Berdasarkan
Undang-undang
Nomor
4
Tahun

2009

tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah sedang menyiapkan


regulasi mengenai larangan ekspor batubara kalori bawah 5600 kcal/kg
mulai 2014. Aturan tersebut nantinya akan mewajibkan perusahaan
meningkatkan kualitas batubara sebelum diekspor. Selain penyiapan
dasar hukum kebijakan dimaksud, pemerintah telah mengambil langkah
untuk melakukan renegosiasi kontrak karya perusahaan tambang dengan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

III.ANALISA

DAMPAK

KEBIJAKAN

HILIRISASI

PRODUK

TAMBANG

KAITANNYA DENGAN TEORI EKONOMI


Kebijakan hilirisasi produk tambang baru akan dimulai pada tahun
2012 sehingga untuk dapat menjelaskan prediksi atas dampak kebijakan ini,
teori ekonomi dan dampak kebijakan serupa digunakan sebagai dasar dalam
memaparkan hal tersebut sebagaimana berikut:
1. Pengaruhnya terhadap harga produk mentah tambang domestik
Peran pemerintah dalam pasar produk tambang salah satunya
adalah menetapkan harga patokan yang didasarkan atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara.
Harga acuan dimaksud dihitung berdasarkan trend harga mineral dan
batubara selama tiga bulan terakhir. Namun, harga patokan yang
ditetapkan pemerintah adalah harga terendah untuk menjual produk
mentah tambang guna melindungi sisi pemasukan negara. Pemerintah
dalam hal ini belum mengatur mengenai batas harga tertinggi yang
boleh dijual pemasok sehingga harga yang ditawarkan pemasok

rata-

rata lebih tinggi 20% dari harga patokan yang ditetapkan. Akibatnya hal
ini menyulitkan bagi perusahaan domestik yang tidak memiliki banyak
modal.
Dengan adanya kebijakan hilirisasi produk tambang, produk
mentah tambang hanya dapat diserap oleh pasar domestik atau dalam
negeri sehingga perusahaan industri pengolahan produk tambang tidak
kesulitan memperoleh bahan baku. Pasokan bahan baku yang melimpah
bagi pasar industri pengolahan produk tambang dalam negeri mendorong
harga produk mentah tambang lebih murah. Sebagaimana dalam hukum
permintaan dan penawaran dimana ketika jumlah barang dalam pasar
melimpah, dalam hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah, akan
menggeser (shifting) kurva penawaran ke arah kanan sehingga akan
tercipta harga dan kuantitas keseimbangan baru dimana harga menjadi
lebih murah.
Harga produk mentah tambang yang lebih murah menjadi
insentif untuk membangun kapasitas industri hilir tambang. Selain itu,
5

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

jika

produk

mentah

tambang

bertahan

di

dalam

negeri,

akan

memberikan multiplier effect pada industri lainnya. Contohnya pada


industri manufaktur yang belakangan ini semakin meredup. Industri
berbahan metal akan mampu memproduksi baja ringan untuk konstruksi
perumahan hingga baja lembaran untuk industri dalam negeri dan pasar
ekspor sehingga dapat menghidupkan kembali industri manufaktur.
Contoh lainnya adalah pada industri peralatan rumah tangga yang juga
tidak

perlu

mengimpor

alumunium

batangan

karena

mampu

memproduksi dari potensial bauksit dan selanjutnya diolah oleh pabrik


alumunium.
Dengan

dukungan

kebijakan

yang

memberi

prioritas

bagi

domestik, maka pengusaha tambang mendapatkan kepastian investasi.


Begitu juga pengusaha pengguna hasil tambang dan manufaktur
terjamin pasokan bahan baku.
Namun terdapat hal yang perlu diwaspadai terkait dengan
dampak kebijakan ini terhadap harga produk mentah tambang. Di satu
sisi hal ini dapat menjadi insentif untuk mengembangkan sektor hilir
tambang, tetapi sebaliknya kebijakan ini dapat menjadi disinsentif untuk
pengelolaan wilayah tambang secara intensif pada jangka panjang.
Produksi batubara Indonesia yang rata-rata mencapai 250 juta ton per
tahun tidak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri yang baru
berkisar 60 sampai dengan 70 juta ton per tahun. Seperti dijelaskan
sebelumnya, limpahan produk bahan mentah ini dapat menyebabkan
harga produk mentah tambang menjadi lebih murah. Pada akhirnya, hal
ini dapat berdampak pada rendahnya efisiensi pemanfaatan produk
mentah tambang di sektor hilir. Harga produk mentah tambang yang
lebih

murah

juga

tidak

menggambarkan

kenyataan

kemungkinan

kelangkaan sumber daya mineral dan batubara yang merupakan sumber


daya tidak terbarukan.
Pemerintah sudah

harus

menyiapkan

langkah

antisipasi

mengenai hal ini. Salah satunya adalah dengan menggerakkan badan


penelitian

dan

pengembangan
6

atau

para

akademisi

untuk

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

mengembangkan produk unggulan untuk sektor hilir tambang. Selain itu,


pemerintah dapat memberikan fasilitas-fasilitas infrastruktur, bantuan
langsung maupun kemudahan peizinan untuk menguatkan industri hilir
tambang.
2. Pengaruhnya terhadap pendapatan riil negara
Dalam perekonomian, salah satu

ukuran/metode

menghitung pendapatan nasional/aggregate output

dalam

dalam sebuah

negara adalah Gross Domestic Bruto (GDB). GDB dapat diartikan sebagai
nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam
wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Oleh
karena itu, dalam GDB memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar
negeri

yang

bekerja

di

negara

tersebut.

Sehingga

GDB

hanya

menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan


apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam
negeri atau tidak.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara,
menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2005 terdapat 13 perusahaan
skala besar yang tengah berproduksi di Indonesia. Dua perusahaan
tambang terbesar yaitu Newmont dan Freeport langsung mengekspor
bahan

tambang

dalam

bentuk

konsentrat.

Ekspor

perusahaan-

perusahaan tambang yang sebagian besar adalah perusahaan asing


dihitung sebagai ekspor Indonesia. Dan hasil produksinya kemudian
dihitung sebagai kontribusi terhadap GDP Indonesia.
Menyertakan hasil produksi ini dalam GDP

tidak

dapat

menggambarkan pendapatan riil Indonesia karena produksi tersebut


dihasilkan dari perusahaan-perusahaan asing yang segera akan dikirim
untuk dioleh di negara-negara lain. Sementara negara dan masyarakat
Indonesia menerima keuntungan yang tidak seberapa dari royalti yang
ditetapkan dalam kontrak karya. Prosentase royalti yang didasarkan atas
prosentase penerimaan penjualan bersih tergolong sangat kecil yaitu 13,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed
untuk logam mulia.
7

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan hilirisasi produk


tambang dimana produk mentah pertambangan akan diserap oleh pasar
domestik

yang

meningkatkan

kemudian
kualitas

diolah

produk

terlebih

hasil

dahulu

tambang

sehingga

serta

dapat

memberikan

kontribusi riil terhadap GDP Indonesia.


3. Pengaruhnya terhadap nilai tambah
Selama ini sektor hilir produk tambang masih menjadi masalah
dalam bidang pertambangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan smelter
atau pabrik pengolahan di dalam negeri. Dengan adanya kebijakan
hilirisasi produk tambang akan mendorong perusahaan tambang untuk
tidak lagi mengekspor hasil produksinya dalam bentuk mentah namun
mengolahnya dahulu di dalam negeri sehingga mempunyai nilai tambah
dan

secara

pasti

mendorong

pembangunan

smelter

atau

pabrik

pengolahan bahan mentah di dalam negeri.


Pada akhirnya kebijakan ini memberikan multiplier effect untuk
bidang-bidang lainnya. Ketergantungan konsumsi mansyarakat pada
produk olahan tambang sangat besar baik dalam industri manufaktur
maupun industri rumah tangga. Selama ini kebutuhan pasokan untuk
baja ringan, baja lembaran, serta alumunium batangan dipenuhi oleh
produk impor. Dengan adanya hilirisasi produk tambang, diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri akan produk olahan tambang
yang sampai dengan saat ini masih diimpor. Sehingga bukan hanya
industri hilir tambang yang akan berkembang, namun juga sektor lain
yang bergantung pada produk olahan tambang.
4. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja
Perusahaan penghasil produk mentah tambang bersifat padat
modal yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja sebagai operator untuk
mengangkut material yang diolah menjadi konsentrat. Kebijakan hilirisasi
produk tambang mendorong pembangunan smelter/pabrik pengolahan di
dalam negeri sehingga dapat dipastikan akan dapat menyerap tenaga
kerja yang lebih banyak.

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

Dampak jangka panjang dari kebijakan ini mungkin saja merubah


komposisi

angkatan

kerja.

Sebelumnya,

industri

penghasil

produk

tambang didominasi oleh laki-laki karna medan pekerjaan yang berat,


namun setelah diberlakukannya kebijakan hilirisasi produk tambang
kemungkinan tenaga kerja perempuan punya porsi yang sama dengan
laki-laki sangat besar dengan terserapnya tenaga kerja perempuan pada
sektor hilir tambang.
Perubahan ini dapat dinilai merugikan atau mengeksploitasi
perempuan karena rata-rata perempuan dibayar sekitar 30% lebh rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa
daya serap tenaga kerja. Analisa ini merupakan aspek makro, ukuran
daya serap tenaga kerja adalah elastisitas tenaga kerja dan konsep huluhilir atau kaitan antar sektor. Konsep elastisitas tenaga kerja adalah
mengukur

sampai

seberapa

jauh

pengaruh

perubahan

produksi

(pendaptan) terhadap perubahan tenaga kerja. Perubahan produksi


sektor pertambangan akan mempengaruhi permintaan tenaga kerja pada
insdustri hulu (tenaga kerja industri peralatan) dan industri hilir (tenaga
kerja industri semen, tegel dan industri bahan bangunan lainnya).
IV. REFERENSI
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara


Data Warehouse ESDM
www.djmb.esdm.go.id
Statistik Impor-Ekspor Indonesia, BPS
Koran Jakarta, Selasa 20 September 2011, Mafia Tambang Global Kuasai

Investasi di RI
www.skalanews.com
Bisnis Indonesia, Kamis 8 September 2011, Ekspor Bahan Mineral
Dicegah, Produk Impor Dipajaki
Portal Jakarta, Aturan Bea Keluar Ekspor Tambang Akan Diterapkan

Wisudowati Ayu Sugito


NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B

10

Anda mungkin juga menyukai