Anda di halaman 1dari 61

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian mengenai keanekaragaman dan kelimpahan plankton suatu badan
perairan senantiasa banyak mendapat perhatian dari para ahli yang berkecimpung
dalam

bidang

limnologi

dan

oseanografi.

Karena

dengan

mengetahui

keanekaragaman dan kelimpahan plankton yang dimiliki oleh suatu ekosistem


perairan maka dapat diketahui tingkat kesuburan dari perairan tersebut, apakah
termasuk dalam kategori eutrofik, mesotrofik atau oligotrofik (Lehmusluoto, 1977 ;
Odum, 1994). Pengetahuan kategori trofik ini penting dalam hubungannya dengan
pemanfaatannya. Russel (1970) misalnya menyatakan, perairan (danau/waduk) yang
termasuk eutrofik sangat baik dimanfaatkan untuk perikanan, sedangkan yang
oligotrofik ideal dimanfaatkan sebagai resorvoir air minum.
Salah satu karaketristik Pulau Bintan adalah tidak adanya sungai-sungai
besar yang berfungsi sebagai pemasok air baku, sehingga alternatif yang diambil
adalah dengan membuat waduk dan memanfaatkan air tanah. Untuk memenuhi
kebutuhan air bagi masyarakat Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan maka
dibangun waduk tadah hujan, yaitu Waduk Sei Pulai. Waduk ini merupakan sumber
air baku bagi warga Kota Tanjungpinang yang terletak di kawasan hutan lindung
Sungai Pulai, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Waduk merupakan wilayah tampungan air yang sangat vital bagi kelestarian
lingkungan. Waduk merupakan salah satu penyedia sumber air bagi kehidupan
organisme atau makhluk hidup. Waduk Sei Pulai merupakan waduk permanen atau
waduk yang pada musim kemarau masih terisi oleh air. Waduk ini mendapatkan
debit airnya dari limpahan air hujan dimana struktur dasar waduk berupa tanah liat

dan lumpur yang mempunyai porositas buruk, sehingga debit airnya sukar meresap
ke dalam tanah. Waduk terdiri dari komponen abiotik dan biotik (bentos, nekton,
plankton dan neuston) yang saling berinteraksi melalui arus energi dan daur hara
(nutrien). Bila interaksi keduanya terganggu, akan terjadi perubahan atau gangguan
yang menyebabkan ekosistem perairan itu menjadi tidak seimbang (Soylu dan
Gonulol, 2003 : 24).
Salah satu komunitas yang mendiami waduk adalah fitoplankton.
Fitoplankton didefinisikan sebagai organisme tumbuhan mikroskopik dengan
ukuran 0,45 mm yang tak nampak oleh mata telanjang dan hidup bebas melayang
hanyut mengapung di dalam perairan serta mampu melakukan proses fotosintesis
sendiri dan memiliki kemampuan gerak yang terbatas (Yudhi, 2008 : 12).
Fitoplankton merupakan salah satu produsen primer yang berfungsi penting
dalam perairan air tawar, payau dan air laut serta dapat dijadikan sebagai
bioindikator

adanya

perubahan

lingkungan

perairan

yang

disebabkan

ketidakseimbangan suatu ekosistem akibat pencemaran. Fitoplankton dapat


mengubah zat-zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan cahaya matahari
melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer dan juga sebagai
pemasok oksigen.
Kondisi kualitas perairan yang berpengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis
fitoplankton salah satunya adalah kekeruhan, karena dalam perairan yang keruh
akan mempengaruhi penetrasi sinar matahari. Keadaan seperti ini akan berpengaruh
terhadap keberadaan fitoplankton yang membutuhkan sinar matahari untuk
kelangsungan proses fotosintesis. Berkurangnya fitoplankton di suatu perairan akan

mempengaruhi organisme lain mulai dari jenis-jenis hewan pemakan fitoplankton


sampai pada tingkat trofik berikutnya.
Disamping itu pencemaran dapat terjadi karena aktivitas manusia atau
bertambahnya bahan asing secara berlebihan karena proses alam. Permasalahan
fisik berikutnya adalah pendangkalan suatu perairan atau waduk. Pendangkalan
dapat terjadi karena bertambahnya material karena erosi dan dibawa oleh aliran air.
Pendangkalan juga dapat terjadi karena penumpukan sisa metabolise organisme
perairan atau sampah, di dasar waduk. Akumulasi bahan organik ini dapat
mengakibatkan pembusukan berlebihan sehingga mengasamkan perairan. Perairan
yang cenderung asam keanekaragaman hayatinya juga rendah.
Mencermati uraian tersebut maka dapat diduga bahwa kombinasi pengaruh
berbagai parameter perairan pada suatu komunitas fitoplankton akan selalu
menyebabkan perubahan pada tingkat kesuburan fitoplankton tersebut (Newell,
1966: 37). Kualitas perairan yang buruk juga akan menyebabkan keanekaragaman
jenis fitoplankton semakin kecil, karena semakin sedikit jenis yang dapat toleran
dan beradaptasi terhadap kondisi perairan tersebut.
Tingkat kesuburan fitoplankton terutama di Perairan Waduk Sei Pulai,
Kabupaten Bintan penting untuk diteliti karena pendekatan aspek biologi tersebut
mampu merefleksikan adanya perubahan yang disebabkan oleh penurunan kualitas
suatu perairan yang dapat dilihat dari segi kelimpahan dan komposisi jenis
fitoplankton. Penelitian ini akan mendeskripsikan keanekaragaman dan kelimpahan
fitoplankton yang terdapat di dalam Waduk Sei dari berbagai variasi kedalaman
pada setiap stasiun pengamatan. Membandingkan faktor abiotik dengan

keanekaragaman jenis dan kelimpahannya maka akan didapat kesimpulan yang


logis tentang tingkat kesuburan fitoplankton.
B. Identifikasi Masalah
1.
Jenis keanekaragaman fitoplankton apa saja yang ada di Perairan Waduk Sei
2.

Pulai, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau ?


Bagaimanakah kelimpahan dan keanekaragaman jenis fitoplankton pada
masing-masing stasiun pengambilan sampel berdasarkan variasi kedalaman
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, dalam penelitian observasi ini dibatasi

pada keanekaragaman dan kelimpahan fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai,


Kecamatan Gunung kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau serta
hubungan variasi tempat (kedalaman) dengan kelimpahan fitoplankton. Parameter
lingkungan yang diteliti yakni parameter fisika dan kimiawi yang meliputi suhu,
kecepatan arus, turbiditas, pH, dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan paparan batasan masalah di atas, dapat
dirumuskan permasalahan, yaitu: Bagaimana Tingkat Kesuburan Fitoplankton di
Perairan Waduk Sei Pulai ditinjau dari Kelimpahan dan Keanekaraaman Jenisnya.
E. Tujuan Praktikum Lapangan
Praktikum Lapangan ini bertujuan untuk:
1.

Mengetahui jenis-jenis fitoplankton yang ada di perairan Waduk Sei Pulai,

2.

Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau


Mengetahui tingkat kesuburan fitoplankton di perairan Waduk Sei Pulai
berdasarkan kelimpahan dan keanekaragaman jenisnya

F.

Manfaat Praktikum Lapangan


1.
Memberikan informasi awal mengenai tingkat kesuburan fitoplankton di
2.

perairan Waduk Sei Pulai.


Memberikan informasi bagi akademisi maupun pemerintah setempat tentang
kualitas perairan Waduk Sei Pulai, dengan demikian dapat dilakukan
pengelolaan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alamnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Ekosistem Perairan
Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar 1.368
juta km3. Air terdapat dalam berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan dan salju.
Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah, dan gunung es. Semua
badan air di daratan dihubungkan dengan laut dan atmosfer melalui siklus hidrologi
yang berlangsung secara kontinyu (Effendi, 2003).
Air tawar berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan
air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang berada di sungai, waduk,
danau, rawa dan badan air lainnya yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah.
Areal tanah yang mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds atau
drainage basin. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut
limpasan permukaan (surface run off), dan air yang mengalir di sungai menuju laut
disebut aliran air sungai. Sekitar 69% air yang masuk ke sungai berasal dari hujan,
pencairan es atau salju, dan sisanya berasal dari air tanah (Effendi, 2003)..
Ekosistem perairan tawar sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu
ekosistem perairan tawar tertutup dan ekosistem perairan tawar terbuka. Ekosistem
perairan tawar tertutup adalah ekosistem yang dapat dilindungi terhadap pengaruh
dari luar, sedangkan ekosistem perairan tawar terbuka adalah ekosistem perairan
yang tidak atau sulit dilindungi terhadap pengaruh dari luar (Odum, 1993)..
Ekosistem perairan tawar terbuka dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem
perairan tawar yang mengalir dan ekosistem perairan tawar yang menggenang.
Contoh dari perairan menggenang atau tidak mengalir (lentic waters) yaitu danau,
waduk dan rawa. Perairan ini memiliki aliran tetapi aliranaliran tersebut tidak

memiliki peranan penting karena alirannya tidak besar dan tidak mempengaruhi
kehidupan jasadjasad di dalamnya. Yang memegang peranan penting dan
berpengaruh besar terhadap jasadjasad hidup di dalamnya adalah terbaginya
perairan tersebut menjadi beberapa lapisan dari atas ke bawah (stratifikasi) yang
berbedabeda sifatnya karena airnya berhenti. Perairan mengalir (lotic waters)
adalah mata air dan sungai. Aliran air pada perairan ini biasanya terjadi karena
perbedaan ketinggian tempat dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang rendah
(Odum, 1993).
B. Zona Perairan Tawar
Menurut Odum (1996:11), zonasi pada perairan air tawar berbeda dengan
zonasi perairan air laut. Zonasi perairan air tawar dapat dibedakan berdasarkan letak
dan intensitas cahaya sebagai berikut:
1.

Zona Litoral
Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan

daratan. Pada daerah ini terjadi pencampuran sempurna antara berbagai faktor fisika
kimiawi perairan. Organisme yang biasanya ditemukan antara lain adalah tumbuhan
aquatik berakar atau mengapung, siput, kerang, crustacea, serangga, ampfibi, ikan,
perifiton dan lain-lain
2.
Zona Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi
dan zona litoral disisi lain. Zona ini memiliki berbagai variasi secara fisik, kimiawi
maupun kehidupan di dalamnya. Organisme yang hidup dan banyak ditemukan di
daerah ini antara lain ikan, udang dan plankton.
3.

Zona Profundal

Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit
cahaya matahari dibandingkan daerah litoral dan limnetik. Bagian ini dihuni oleh
sedikit organisme terutama organisme bentik karnivor dan detrifor
4.

Zona Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal. Sebagai

daerah peralihan zona ini banyak dihuni oleh banyak jenis organisme bentik dan
juga organisme temporal yang datang untuk mencari makan.
C. Karakteristik Perairan Waduk
Waduk merupakan salah satu perairan umum yang merupakan perairan
buatan (artificial water-bodies), dibuat dengan cara membendung badan sungai
tertentu atau membendung limpahan air hujan (Wiadnya, et al., 1993). Pembuatan
waduk pada umumnya bertujuan untuk sumber air minum, PLTA, pengendali banjir,
pengembangan perikanan darat, irigasi dan pariwisata. Waduk demikian disebut
dengan waduk serbaguna (Ewusie, 1990). Ekosistem waduk mempunyai sistem
terbuka yaitu pengaruh luar tidak bisa diatur dan dikontrol. Karena tepian waduk
curam dan landai, maka perairan ini empunyai daerah litoral, limnetik, dan
profundal. Ekosistem perairan waduk terdiri dari komponen biotik, seperti ikan,
plankton, macrophyta, benthos dan sebagainya yang berhubungan timbal balik
dengan komponen abiotik seperti tanah, air dan sebagainya. Menurut Masyamsir
(2000:25), ciri - ciri waduk dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.

Biasanya waduk terletak pada tempat yang datar, kadang-kadang terdapat di

2.
3.
4.
5.
6.
7.

pegunungan dengan tepian waduk yang curam


Umumnya memiliki kedalaman mulai dari 30 m 100 m
Pinggrian waduk (periphery) umumnya banyak teluk
Kadar nitrat dan phospat tinggi.
Pada musim panas terjadi pengurangan oksigen karena organism akuatik
Substrat dasar umumnya lumpur yang kaya bahan organic hasil dekomposisi
Banyak terdapat fitoplankton sehingga sering terjadi blooming
8

Ekosistem waduk terdiri atas unsur organisme dan lingkungan yang saling
berinteraksi antar keduanya. Menurut Tansley (1978:32), semua organisme dan
lingkungannya yang terdapat dilokasi tertentu merupakan unsur-unsur yang oleh
para ahli ekologi disebut ekosistem. Ekosistem mesti terdiri dari satu atau beberapa
komunitas dan masing-masing komunitas terdiri produsen, konsumen dan pengurai.
Hubungan antara produsen, konsumen dan pengurai membentuk mata rantai dan
pada masing-masing rantai ini terjadi arus energi.

Gambar 1. Struktur waduk atau perairan tawar berdasarkan zona kedalaman


Kegunaan waduk sangat vital sebagai penampung sementara akan limpahan
air hujan dan mempertahankarmya di musim kemarau. Kegunaan utama tersebut
merupakan hal yang wajar, namun masalah yang sangat dikhawatirkan adalah
kecepatan berubahnya fungsi sistem tersebut menjadi penampung berbagai macam
polutan dan limbah baik pabrik maupun rumah tangga.
D. Fitoplankton

Plankton yang merupakan tumbuhan mikroskopis disebut fitoplankton.


Fitoplankton sebagian besar merupakan organisme autotropik dan menjadi produsen
primer dari bahan organik pada habitat akuatik. Komponen lain dari plankton adalah
binatang heterotropik yang disebut zooplankton. Sehingga fitoplankton merupakan
base line dari jaring-jaring makanan pada lingkungan perairan (Herawati, 2003).
Fitoplankton terdiri dari kumpulan tanaman mikro yang hampir tidak
mempunyai kemampuan melawan gerakan air. Beberapa fitoplankton dapat
menggunakan flagel, cilia dan lendir untuk gerakannya, tetapi sebagian besar
melayang bebas di perairan (Wetzel, 1975).
Secara umum fitoplankton merupakan organisme uniseluler. Koloni
fitoplankton terdiri dari sel individu yang biasanya uniform. Beberapa dari green
dan blue green algae merupakan filamentus algae sedangkan beberapa spesies
diatom dan dinoflagelata mempunyai sel yang berhubungan membentuk seperti
rantai sel (Herawati, 1989).
Fitoplankton disebut sebagai plankton nabati dan merupakan tumbuhan yang
amat banyak ditemukan disemua perairan tetapi karena ukurannya mikroskopis
(kurang dari 20 m) sukar dilihat kehadirannya. Fitoplankton bisa ditemukan
diseluruh masa air dari permukaan perairan sampai pada kedalaman dengan
intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis (Wijayanti
2011)
Besarnya dimensi ruang yang manjadi habitat fitoplankton menyebabkan
fitoplankton ini berfungsi sebagai tumbuhan yang paling penting artinya dalam
ekosistem perairan. Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen

10

klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis air dan karbondioksida. Dengan


adanya sinar matahari dan garam-garam hara dapat dihasilkan senyawa organic
seperti karbohidrat (Apridayanti 2008) .
Karena kemampuan membentuk zat organic dari zat anorganik maka
fitoplankton disebut produsen primer. Selain mensintesis gukosa fitoplankton juga
mampu membuat sintesa ikatan-ikatan organik yang lain termasuk lemak dan
protein. Selama suplai bahan makanan terjamin, fitoplankton tersusun oleh devisio
yang terdiri dari, Cyanophyta, Chlrophyta, Chrysophtya (Needham, 1962).
Seluruh plankton dari golongan fitoplankton berwarna, sebagian besar
berwarna hijau karena adanya macam macam klorofil, klorofil a sampai klorofil d.
Sehingga jenis fitoplankton diberi nama atas dasar warnanya (Sachlan, 1982).
Menurut Davis (1955), fitoplankton yang hidup di air tawar maupun air laut terdiri
dari lima kelompok besar (Phyllum) yaitu Chlorophyta (ganggang hijau),
Cyanophyta (ganggang biru), Chrysophyta (ganggang coklat), Pyrophyta dan
Euglenophyta.

E. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton


Bermacam faktor kimia dan fisika dapat mempengaruhi pertumbuhan,
kelangsungan hidup fitoplankton, seperti suhu, kecerahan, derajat keasaman (pH),
karbondioksida (CO), nitrat, ortofosfat dan oksigen terlarut. Dari semua faktor
fisika dan kimia tersebut, yang penting artinya bagi produktivitas fitoplankton
adalah faktor cahaya dan nutrien/ unsur hara. Hal ini disebabkan fotosintesis hanya

11

dapat berlangsung pada kedalaman air yang masih dapat ditembus cahaya matahari.
Unsur hara/nutrien juga hanya dapat dimanfaatkan pada kedalaman yang masih
dapat ditembus oleh cahaya matahari.
1.

Suhu
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan
perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara
lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang
lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawah. Kondisi ini pada
perairan tergenang akan menyebabkan terjadinya stratifikasi thermal pada kolom air
(Effendi, 2003).
Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air.
Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air, juga
berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan
perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara
langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi
plankton baik fitoplankton maupun zooplankton (Subarijanti, 1994).
Suhu mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap fitoplankton.
Efek langsung yaitu toleransi organisme terhadap keadaan suhu, sedangkan efek
tidak langsung yaitu melalui lingkungan misalnya dengan kenaikan suhu air sampai
batas tertentu akan menurunkan kelarutan oksigen (Boney dalam Sudaryanti, 1989).
Hutapea (1990) dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa perbedaan suhu
pada suatu perairan dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni: (1) variasi jumlah panas yang
diserap, (2) pengaruh konduksi panas (3) pertukaran tempat massa air secara lateral
oleh arus dan (4) pertukaran air secara vertikal. Kisaran suhu yang masih dapat
ditolerir organisme perairan Menurut Soetjipta (1993) dalam Azwar (2001), yakni

12

berkisar antara 20-30C, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Isnansetyo &
Kurniastuti (1995) yang mengatakan suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar
antara 25-30C, sedangkan untuk zooplankton berkisar antara 15 - 35C.
2. Kekeruhan dan Kecerahan
Penetrasi cahaya seringkali terhalang oleh zat yang terlarut dalam air,
membatasi zona fotosintesis yang merupakan habitat akuatik yang juga dibatasi oleh
kedalaman. Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat
mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas organisme perairan
khususnya

fitoplankton.

Sebaliknya

bila

kekeruhan

disebabkan

oleh

mikroorganisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi prokdutivitas.


Secara vertikal, kecerahan akan mempengaruhi intensitas cahaya yang akan
menentukan tebalnya lapisan eufotik. Dalam distribusi fitoplankton, faktor cahaya
sangat penting karena intensitas cahaya sangat diperlukan dalam proses fotosintesis
(Arfiati,1992).
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman
berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini
sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi
cahaya ini dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih
berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan
(Barus, 2001; Sunin, 2002). Sedangkan Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya
merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga
penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula
mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.
3. Kecepatan Arus

13

Arus terutama berfungsi dalam transportasi energi panas dan substansi


seperti gas maupun mineral yang terdapat dalam air. Arus juga mempengaruhi
penyebaran organisme (Michael, 1994 dalam Barus, 2001). Adanya arus pada suatu
ekositem akuatik membawa plankton (khusus fitoplankton) yang menumpuk pada
suatu tempat ertentu yang dapat menyebabkan terjadinya blooming pada lokasi
tertentu jika tempat baru tersebut kaya akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan
fitoplankton dengan faktor abiotik yang mendukung bagi perkembangan kehidupan
plankton (Basmi, 1992).
4. Derajat keasaman (pH)
Air normal yang memenuhi syarat suatu kehidupan mempunyai pH berkisar
antara 6,5-7,5. Air limbah dan bahan buangan dari kegiatan industri yang dibuang
ke perairan akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu
kehidupan organisme di dalam air (Wardhana, 1995:75).
Oganisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai
pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang
ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai
8,5. Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa akan membahayakan
kelangsungan hidup oraganisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisma dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan
menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin
tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisma akuatik.
Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan
amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan
meningkat konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisma
(Barus, 2001).

14

Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah alkali

(pH naik)

maupun ke arah asam (pH turun) akan sangat menggangu kehidupan ikan dan
hewan air di sekitarnya. Selain itu, air buangan yang mempunyai pH rendah bersifat
sangat korosif terhadap baja dan menyebabkan pengkaratan pipa-pipa besi
5. Oksigen Terlarut (DO)
Hampir semua organisme, termasuk tumbuh-tumbuhan hijau, memerlukan
oksigen untuk respirasi. Meskipun oksigen banyak dijumpai di atmosfer (kurang
lebuh 20%), namun oksigen dak terlalu siap terlarut dalam air. Keterlarutan oksigen
dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas. Air tawar pada temperatur 0 C
mengandung konsentrasi oksigen kira kira 10 milimeter per liter atau kira kira 1%
dari volumenya atau 1/20 dari udara. Konsentrasi yang demikian tidak pernah
dicapai secara alami oleh air secara alami di alam, konsentrasi biasanya bergerak
dari maksimum 6 ml sampai nol (kondisi anaerobik) (Hadisubroto, 1989:31)
Kandungan oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam
suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di
dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi
terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada
suhu 0C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Konsentrasi menurun sejalan dengan
meningkatkanya suhu air. Peningkatan suhu menyebabkan konsentrasi oksigen
menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah meningkatkan konsentrasi
oksigen terlarut (Barus, 2001). Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami
fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan
suhu juga dipengaruhi oleh aktifatas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan
oksigen (Schworbel, 1987 dalam Barus 2001). Kisaran nilai oksigen terlarut yang

15

mendukung kehidupan organisme perairan menurut Sanusi (2004) berkisar di antara


5,45-7,00 mg/l dimana kisaran DO tersebut cukup baik bagi proses kehidupan biota
perairan. disamping itu Barus (2001), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di
perairan sebaiknya berkisar antara 6,3 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin
tinggi tingkat pencemaran suatu ekosistem perairan tersebut.

16

III. METODE PENELITIAN


A. Kerangka Pemikiran
Kondisi suatu perairan, baik fisika, kimia maupun biotik sangat
mempengaruhi keberadaan, kelimpahan dan keanekaragaman jenis plankton
(fitoplankton dan zooplankton) dalam suatu badan air. Beberapa jenis fitoplankton
hanya dapat hidup dan berkembang biak dengan baik dalam lokasi yang mempunyai
kualitas perairan baik, walaupun beberapa jenis masih dapat hidup dan berkembang
dengan baik dalam perairan yang mempunyai kualitas buruk.
Kualitas perairan yang buruk akan menyebabkan tingkat kesuburan
fitoplankton semakin kecil, karena semakin sedikit jenis yang dapat toleran dan
beradaptasi terhadap kondisi perairan tersebut. Tingkat kesuburan fitoplankton pada
suatu perairan dapat dilihat dari seberapa banyak individu yang hidup di perairan
tersebut (kelimpahan) dan besarnya indeks kaenakeragaman jenisnya yang
mengindikasikan seberapa banyak spesies yang bisa toleran dengan kondisi
eksisting perairan. Tingkat kesuburan fitoplankton di identifikasi pada beberapa
stasiun pengamatan yang berbeda untuk mengetahui distribusi fitoplankton secara
horizontal sedangkan identifikasi pada beberapa kedalaman yang berbeda bertujuan
untuk melihat distribusi fitplankton secara vertikal. Hal ini diasumsikan dapat
mendeskripsikan tingkat kesuburan fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai secara
menyeluruh. Disamping itu, berdasarkan perbedaan daya toleransi dan kemampuan
adaptasi jenis-jenis fitoplankton terhadap habitatnya, maka kelimpahan dan
keanekaragaman fitoplankton dapat dijadikan indikator kualitas air.

Waduk Sei Pulai


17

Pengambilan
Sampel Air

Identifikasi Jenis Fitoplankton

Analisis Data

Keanekaragaman

Kelimpahan

Tingkat Kesuburan
Fitoplankton
Gambar 2. Kerangkan pemikiran praktikum lapangan
B. Waktu dan Lokasi Praktikum Lapangan
Praktikum lapangan dilakukan di Perairan Waduk Sei Pulai yang berada di
Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi kepulauan Riau. Secara
geografis terletak pada ordinat 0o5258" LU - 1o3452" LS dan 104o3141" BT
108o227" BB, dengan ketinggian mencapai 80 dpl, dengan luas 42 ha dan
kedalaman 4-12 meter. Praktikum lapangan dilaksanakan pada bulan Maret 2014.

18

Sumber : Flashplayer dengan modifikasi


Gambar 3. Peta Lokasi Praktikum Lapangan
C. Tipe Praktikum Lapangan
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai stasus suatu gejala yang
ada menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa
adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Arikunto, 2003). Pengumpulan
data dilakukan melalui observasi, pengukuran langsung kualitas air secara in situ,

19

serta identifikasi spesies fitoplankton di Laboratorium Fakulitas Ilmu Kelautan dan


Perikanan Univeristas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang
D. Ruang Lingkup Praktikum Lapangan
Selain mengidentifikasi jenis fitoplankton yang hidup diperairan waduk Sei
Pulai, Menganalisis besarnya kelimpahan dan Indeks Keanekaragaman Jenisnya,
Ruang lingkup penelitian juga meliputi pengukuran beberapa parameter Perairan
yang mempengaruhi tingkat kesuburan fitoplankton di perairan Waduk Sei Pulai.
Parameter tersebut meliputi parameter Fisika (Suhu, kekeruhan, kecerahan,
kecepatan arus) serta parameter Kimia (pH dan DO).
E.

Jenis dan Sumber Data


Data yang diambil dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang diambil terdiri dari fitoplankton serta kualitas fisika
dan kimia air dari waduk Sei Pulai. Sedangkan data sekunder yang diambil adalah
data teknis waduk seperti kedalaman waduk, luas waduk, pemanfaatan waduk, jenis
ikan yang ada di waduk tersebut, data demografi, serta data mengenai kebijakan
dalam upaya pengelolaan lingkungan perairan waduk yang dilakukan oleh
pemerintah maupun instansi terkait.

20

F. Alat dan Bahan Praktikum Lapangan


Adapun alat yang digunakan dalam praktikum lapangan yaitu :
No

Nama Alat

Kegunaan

Plankton Net no. 25 ukuran


mata jarring 64 m
Multi tester

Sechhi-disk

Untuk mengukur kecerahan

Turbidimeter

Untuk mengukur kekeruhan

Roll meter

Untuk mengukur kedalaman

Multi tester

Untuk mengukur oksigen terlarut (DO)

Multi tester

Untuk mengukur derajat keasaman (pH)

Botol sampel volume 300 ml

Sebagai wadah untuk mengawetkan sampel

Mikroskop

Untuk mengidentifikasi sampel

10

Kemerrer water sampler

Untuk mengambil air sampel

11

Camera

Untuk dokumentasi

12

Alat Tulis

Untuk dokumentasi

Untuk menyaring fitoplankton


Untuk mengukur suhu

Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum lapangan meliputi :


No

Nama Bahan

Kegunaan

Sampel air

Sebagai objek pengamatan

Formalin 4 %

Untuk mengawetkan sampel

Tabel 1. Alat dan Bahan Praktikum lapangan


G.Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel terdiri dari teknik pengambilan sampel
fitoplankton dan teknik pengambilan sampel kualitas air.
1. Teknik Pengambilan Sampel Fitoplankton
Menurut APHA (1985), sampel diambil dengan menggunakan Kemmerer
Water Sampler sebanyak 6 liter untuk perairan oligotropik dan 1 liter untuk perairan
eutropik, namun dalam penelitian ini sampel fitoplankton yang diambil sebanyak 10
21

liter mengingat perairan Sei Pulai merupakan waduk tadah hujan yang tidak
menerima masukan secara signifikan dari Daerah Aliran Sungai sehingga
diperlukan volume sampel yang lebih besar untuk mendapatkan fitoplankton yang
akan dianalaisis. Cara menggunakan alat Kemmerer Water Sampler tersebut adalah
dengan memasukkan alat tersebut sesuai dengan kedalaman yang ditentukan,
kemudian disaring dengan jala plankton. Menurut Sachlan (1982), jala plankton
yang digunakan adalah jala plankton no. 25 dengan ukuran mata jarring 64 m.
Sampel plankton yang sudah tersaring ditetesi dengan formalin 4% sebanyak 5 tetes
sebelum dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dan diberi label (jam, tanggal,
bulan, tahun, nama perairan, stasiun, dan kedalamannya).
2. Teknik Pengambilan Sampel Kualitas Air
Untuk parameter kualitas air yang diambil meliputi suhu, Kekeruhan,
Kecerahan, pH, dan oksigen terlarut. Pengukuran masing masing parameter
kualitas air dilakukan pada kedalaman dan stasiun pengamatan yang telah
ditentukan. Untuk pengukuran pH dan oksigen terlarut, air sampel diambil dengan
menggunakan Kemmerer water sampler untuk kemudian dilakukan analisis di
Laboratorium, sedangkan untuk pengukuran kekeruhan dan kedalaman dilakukan
secara in situ pada badan perairan waduk. Menurut APHA (1985) pengawetan
sampel dilakukan dengan cara disimpan dalam cool box yang diisi es.
H. Prosedur Praktikum Lapangan
Prosedur Praktikum Lapangan terdiri atas 3 tahapan. Diawali dengan survei
lapangan untuk melakukan observasi disekitar badan perairan waduk, kemudian
dilanjutkan dengan mengidentifikasi dan menentukan stasiun pengamatan dan

22

pengambilan sampel. Setelah di dapat beberapa stasiun pengamatan maka


praktikum lapangan dapat dilaksanakan
1. Survei Lapangan
Kegiatan ini dilakukan sebagai studi pendahuluan untuk memperoleh
gambaran umum mengenai kondisi fisik lingkungan disekitar perairan waduk. Pada
tahap ini juga diupayakan untuk mengidentifikasi karakteristik perairan yang tepat
untuk dijadikan stasiun pengamatan.
2. Penentuan Stasiun Pengamatan
Lokasi pengambilan sampel air diharapkan dapat mewakili keadaan waduk
Sei Pulai secara keseluruhan. Sampel diambil pada 3 stasiun pengamatan, yaitu:
Stasiun I
: merupakan intake bagi waduk
Stasiun II
: merupakan daerah yang berdekatan dengan pemukiman penduduk
Stasiun III
: merupakan daerah in flow dan over flow bagi waduk
Untuk mendapatkan data yang diharapkan sehingga dapat mewakili daerah
yang diteliti maka pengambilan sampel menggunakan Purposive technic sampling,
yaitu pengambilan untuk memperoleh sampel sesuai tujuan. Pada masing masing
stasiun pengamatan terdapat satu transek utama sepanjang 30 diletakkan secara
tegak lurus dengan garis waduk, pada setiap 10 meter transek utama terdapat
substransek sepanjang 10 meter dengan posisi tegak lurus transek utama atau sejajar
garis waduk. Dalam hal ini subtransek mewakili kedalaman pada masing-masing
stasiun yakni 0 meter (permukaan), 0.5 meter serta 1 meter. Kemudian pada masingmasing subtransek dibagi menjadi beberapa titik pengambilan sampel dengan jarak
satu titik dengan titik lainnya sepanjang 5 meter.
Daratan

Titik sampling

10 m

5m
10 m

30 m
Transek utama

Subtransek
10 m
5m

5m

23

Gambar
4. Penentuan
titik sampling
pada masing-masing stasiun pengamatan
3.
Pelaksanaan
Praktikum
Lapangan
Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari jam 08.00 karena pada waktu
tersebut fitoplankton berada pada permukaan perairan dan zooplankton diharapkan
mulai melakukan migrasi secara vertikal pada siang hari. Pengambilan sampel
fitoplankton dilakukan pada setiap subtransek yang merupakan variasi kedalaman.
Setiap subtransek diambil sampel sebanyak 10 liter dengan rincian 3 liter pada titik
sampling kanan dan kiri serta 4 liter pada titik sampling tengah/central. Sedangkan
untuk pengukuran kualitas perairan dilakukan pada setiap subtransek dengan 3 kali
ulangan sesuai dengan jumlah titik sampling.
Langkah-langkah pengambilan dan pengamatan sampel fitoplankton sebagai
berikut.
1.

Mengukur ke dalam perairan dengan menggunakan tali berskala. Caranya,


mengikat beban pada tali dan memasukkannya ke dalam waduk sampai
menyentuh dasar waduk. Kemudian mengangkatnya dan mengukur panjang

2.

tali yang masuk ke dalam waduk dengan rool meter.


Memasukkan water sampler ke dalam perairan sesuai ke dalaman yang telah
ditentukan, kemudian membuka tutup botol water sampler hingga terisi

3.

penuh
Setelah botol penuh, tutup botol water sampler dan tarik kepermukaan
Kemudian saring isi botol menggunakan planktonnet no.25 dengan ukuran
mata

jaring 64 m yang dibagian ujungnya telah dipasang botol

penghimpun.

24

4.

Memindahkan plankton dalam botol penghimpun ke dalam botol vial dan


memberinya kode. Kemudian menambahkan 4 tetes formalin 4% ke dalam

5.

botol vial untuk mengawetkannya.


Identifikasi sampel fitoplankton menggunakan buku identfikasi karya
Charles C. Davis 1955 (The Marine and Fresh-Water Plankton) di
Laboratorium Ilmu Kelautan dan Perikanan Univeristas Maritim Raja Ali
Haji Tanjungpinang.
Langkah-langkah pengambilan dan pengamatan sampel kualitas perairan

sebagai berikut.
a)

Mengukur Suhu
Untuk mengukur suhu air dilakukan sebanyak 1 kali pada setiap titik

sampling di masing-masing stasiun pengamatan dengan cara memasukkan Multi


tester ke dalam air sampai beberapa saat hingga menunjukkan angka yang konstan,
angka ini menunjukkan suhu pengukuran.
b)

Mengukur Kecerahan
Pengukuran kecerahan air dilakukan sebanyak 1 kali ulangan pada setiap

titik sampling dimasing-masing stasiun pengamatan dengan menggunakan Secchi


Disk. Langkah-langkah kerja adalah sebagai berikut:
1.

Ujung tali dipegang kemudian Secchi Disk diturunkan secara perlahan-lahan


kedalam perairan sambil terus diperhatikan. Tepat pada saat warna putih
tidak dapat dibedakan lagi dari warna hitam. Panjang tali didalam sampai

2.

permukaan perairan diukur


Secchi Disk diturunkan lagi lebih dalam lalu secara perlahan-lahan ditarik
naik, tepat pada saat warna putih timbul, panjang tali diukur lagi.
25

3.

Angka rata-rata panjang tali tersebut menunjukan derajat kecerahan yang


diukur.

c)

Mengukur Kekeruhan
Pengukuran kekekruhan air dilakukan sebanyak 1 kali ulangan pada setiap

titik sampling dimasing-masing stasiun pengamatan dengan menggunakan


turbidimeter.
Langkah awal yakni dengan cara mengambil air dengan menggunakan
kemerrer water sampler, Lalu air sampel tersebut dipindahkan kedalam gelas piala
dan bandingkan dengan standar air yang menjadi patokan (standar). Masukkan air
yang menjadi patokan (standar) kedalam turbidimeter sehingga jarum turbidimeter
menunjukkan angka standarnya. Setelah itu, keluarkan gelas piala yang berisi air
standar tadi lalu masukkan air sampel kedalam gelas piala lainnya dan kocok.
kemudian masukkan air sampel tersebut kedalam turbidimeter dan atur sehingga
turbidimeter menunjukkan angka konstan. Catat hasil yang ditunjukkan oleh jarum
turbidimeter.
d)
Mengukur Derajat keasaman/ pH
Pengukuran derajat keasaman/pH air dilakukan sebanyak 1 kali ulangan
pada setiap titik sampling dimasing-masing stasiun pengamatan dengan
menggunakan kertas pH/ kertas lakmus. Celupkan kertas pH kedalam perairan,
setelah kertas pH basah angkat kertas pH tersebut lalu tunggu beberapa saat. Lihat
perubahan warna yang terjadi pada kertas pH dan bandingkan warna tersebut
dengan papan standar nilai pH lalu catat hasilnya.
e)
Mengukur Oksigen terlarut/ DO

26

Pengukuran oksigen terlarut/ DO dilakukan sebanyak 1 kali ulangan pada


setiap titik sampling dimasing-masing stasiun pengamatan dengan menggunakan
multi tester. Celupkan elektroda multi tester kedalam perairan, amati perubahan
nilai DO hingga menunjukkan angka konstan lalu catat hasil pengamatan. Untuk
sampel yang berada di kedalaman yang tidak dapat dicapai oleh elektroda, sampel
dapat diambil menggunakan water sampler.
f)
Mengukur Kecepatan arus
Pengukuran kecepatan arus dilakukan sebanyak 1 kali ulangan pada setiap
titik sampling dimasing-masing stasiun pengamatan dengan menggunakan bola
pimpong yang dihanyutkan dimana :
Kecepatan Arus (V) = Jarak Tempuh (m) / Waktu(s)
1.

Metode Analisis Data


Penentuan kelimpahan fitoplankton dihitung dengan menggunakan rumus

Sachlan dan Effendie (1972) dalam Dianthani (2003), sebagai berikut:

N=n

( VrVo )

( Vs1 )

Dimana :
N

= Kelimpahan Fitoplankton (ind/l)

= Jumlah sel yang teramati di bawah mikroskop

Vr

= Volume air tersaring ( 30 ml)

Vo

= Volume air yang diamati ( 0.05 ml)

Vs

= Volume air yang disaring (10 l)


Dengan kriteria kelimpahan menurut Soegianto (1994), bahwa kelimpahan

dengan nilai < 1.000 ind/l termasuk rendah, kelimpahan antara 1.000 4.000 ind/l
tergolong sedang, dan kelimpahan > 4.000 ind/l tergolong tinggi.

27

Sedangkan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman fitoplankton di


perairan waduk Sei Pulai dihitung dengan indeks keanekaragaman ShannonWienner sebagai berikut :

H = -(ni/N) x ln (ni/N)
Dimana :
H

= Indeks keanekaragaman Shannon-wienner

ni

= Jumlah individu jenis ke 1

= jumlah total individu

Dengan kriterian indeks keaenakaragaman menurut Shannon-Wienner adalah


H < 1 = keanekaragaman rendah
H = 1 s/d 3 = keanekaragaman sedang
H > 3 = keanekaragaman tinggi

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Lokasi Praktikum Lapangan
Waduk Sei Pulai merupakan waduk yang terbentuk secara alami dan telah
dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air sejak pemerintah kolonial Belanda.
Pembangunan fisiknya di mulai ketika pulau Bintan masih termasuk kedalam
wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Dengan adanya
kebijakan otonomi Daerah dan perkembangan Pembangunan di Pulau Bintan
khususnya Kota Tanjungpinang maka pemerintah mulai merasa kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan air baku bagi masyarakat, oleh karena itu telah banyak
kegiatan yang dilakukan dalam rangka menjaga fungsi waduk, baik yang bersifat
pemeliharaan maupun pembangunan.
Secara Administratif kawasan Waduk Sei Pulai terletak di perbatasan antara
Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan. Sebagai Penyangga kelangsungan
sumber air bagi waduk telah di tetapkan kawasan Hutan Lindung (HL) di sekitar
bantaran waduk berdasarkan SK penunjukan Mentan No. 71/Kpts/UM/1978 tanggal
1 Desember 1979 dan SK Penetapan Menhut No. 424/Kpts-II/1987 tanggal 28
Desember 1987. Hutan lindung Sungai Pulai memiliki luas 751,80 Ha. Dari total
luas tersebut luas Hutan Lindung Sungai Pulai untuk wilayah administratif Kota
Tanjungpinang adalah seluas 333 Ha dan selebihnya merupakan wilayah
administratif Kabupaten Bintan.
Hutan Lindung Sungai Pulai dan kawasan penyangga disekelilingnya yang
merupakan sumber air bagi waduk Sungai Pulai telah mengalami beberapa
permasalahan. Sebagaimana pendataan oleh Dinas Kelautan Perikanan Pertanian

29

Kehutanan Pertambangan dan Energi (DKPPKE) Kota Tanjungpinang pada tahun


2008 (red. Dinas tersebut tahun 2008 masih bernama Dinas Sumber Daya Alam),
dari sekitar 333 Ha kawasan HL Sungai Pulai, diperoleh data awal, telah terdapat 57
KK yang bertempat tinggal dalam kawasan dengan 41 buah rumah permanen, 43
buah rumah semi permanen/ pondok, sebuah mesjid, sebuah pesantren dan satu
komplek pemakaman muslim, dimana penduduk tersebut memiliki dokumen
penguasaan lahan berupa sertifikat seluas 14,48%, alas hak 0,99%, surat tebas
13,58%, SKGR 2,83%, bukti pajak 2,80%, bukti surat jual beli 2,27%, surat
pernyataan menguasai tanah 21,27%, bersedia diukur namun tidak melampirkan
bukti penguasaan 18,41% dan lahan yang penguasaannya tidak bersedia didata dan
diukur seluas 23,37%.
Jenis tanah di wilayah waduk Sei Pulai didominasi oleh komplek Latosol
merah kekuningan, Latosol coklat tua, Litosol, berikutnya adalah komplek Podsolik
merah kekuningan, Podsolik kuning dan Regosol (Sembiring, 2008). Pada bantaran
waduk hampir 25 % ditumbuhi rumput dan semak dengan jenis dominan adalah
rumput pahit ((Ischaemum aristatum) dan perdu senduduk ((Ischaemum aristatum).
Adapun sumber air bagi waduk Sei Pulai adalah Limpahan Air Hujan dan alur-alur
air yang terbentuk pada saat saat musim hujan yang berjumlah 20 alur, 11 alur
diantaranya berada di tanah penduduk.
Waduk Sei Pulai terletak pada ketinggian 80 m diatas permukaan laut,
berdasarkan peta topografi, daerah pengairan atas Waduk Sei Pulai berada pada
daerah perbukitan. Kondisi ini akan mempengaruhi Charakteristics run off yang
akan masuk ke waduk Sei Pulai. Daerah sekitar waduk Sei Pulai bertopografi

30

berombak sampai berbukit dengan ketinggian bervariasi antara 85 meter sampai 200
meter dari permukaan laut. Sedangkan sebagai daerah tangkapan air (catchment
area) bertopografi sebagian besar merupakan daerah berbukit (64 %) yang memiliki
kemiringan lahan curam sampai dengan terjal. Adapun desa-desa yang termasuk
daerah tangkapan air (catchment area) adalah di Kecamatan Tanjungpinang Timur
meliputi Desa batu IX serta di Kecamatan Bintan Timur meliputi desa Gunung
Lengkuas.
Operasional dan pemeliharaan waduk sebagai sumber air baku merupakan
tugas dan tanggung jawab dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perusahaan
Daerah Air Minun (PDAM) Tirta Kepri yang garis komandonya dibawah Bidang
Sumberdaya Air Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Kepulauan Riau dan dilaksanakan
oleh pelaksana lapangan yang bertanggungjawab kepada koordinator pelaksana dan
satuan kerja dibawah kendali PDAM. Pengelolaan waduk secara teknis dilakukan
pengamatan selama 24 jam sehari dengan pola shif, Pada musim penghujan
pengamatan dilakukan lebih intensif dan secara periodik maupun insidentil
memberikan laporan ke Dinas Pekerjaan Umum tentang perkembangan debit air dan
langkah-langkah yang dilakukan berkait dengan operasional waduk.
B.

Deskrispi Stasiun Pengambilan Sampel Kualitas Air dan Fitoplankton


Stasiun pengambilan sampel kualitas air dalam praktikum lapangan terdiri
dari tiga stasiun, berdasarkan aliran masuk dan keluar dari waduk. Stasiun pertama
terletak pada daerah intake yang merupakan suatu unit yang berfungsi menyadap
atau mengambil air baku dari badan air sesuai dengan debit yang diperlukan untuk
pengolahan. Intake waduk Sei Pulai berada di tempat yang tidak memiliki aliran

31

deras dan sisi badan waduk di bangun batu miring agar tidak mudah terkena erosi.
Unit intake juga berada di badan air yang memiliki kedalaman cukup besar dan
terlindung dari polutan karena terletak di salah satu teluk pada bagian sisi barat
waduk dimana bantaran waduk masih di tumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi.
Untuk lebih jelasnya lokasi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 5. Foto Stasiun I Daerah Intake Waduk Sei Pulai


Stasiun III merupakan daerah pemasukan air waduk / In Flow yang
merupakan aliran aliran yang terbentuk ketika limpasan air hujan jatuh di bantaran
atau lahan disekitar waduk. tidak jauh dari lokasi In flow terdapat saluran yang
sengaja di bangun untuk mengalirkan air ketika debit air melebihi kapasitas
tampung waduk disaat musim hujan, daerah ini dinamakan Over Flow . kedua
lokasi ini terletak jauh dari unit Intake maupun pemukiman penduduk, keberadaan
Hutan Lindung Sungai Pulai yang merupakan Catchment area merupakan faktor
yang menentukan besarnya aliran yang mengalir dari In Flow

32

Gambar 6. Foto Stasiun III Daerah In Flow & Over Flow Waduk Sei Pulai
Stasiun II merupakan daerah waduk yang berdekatan dengan pemukiman
pendudukan serta Jalan Raya. Kegiatan perikanan darat yang nampak pada daerah
ini yaitu kegiatan penangkapan dengan menggunakan pancing. Polusi udara dan
pembuangan sampah domestik merupakan parameter utama dalam penentuan
daerah ini menjadi salah satu stasiun pengambilan sampel.

Gambar 7. Foto Stasiun II Daerah Pemukiman dan Jalan Raya

33

C. Komposisi Jenis Fitoplankton yang Terdapat di Perairan Waduk Sei Pulai

Hasil pengamatan Jenis-Jenis Fitoplankton Yang Terdapat di Perairan Waduk


Sei Pulai kabupaten Bintan, didapatkan 03 kelas dengan 14 Famili dan 22 Spesies,
data komposisi jenis dapat dilihat pada tabel 2. Taksonomi untuk setiap jenis
fitoplankton yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 5.
No
1

Class
Chlorophyceae

Family
1. Scenedesmaceae

2. Hidrodictyaceae

Cyanophyceae
Bachillariophycea
e

Jumlah

1. Scenedesmus acutus

07

2. Actinastrum gracillium

06

3.

Hidrodiction reticulatum

14

4.

Pediastrum boryanum

05

3. Ulothricaceae

5. Hormidium sp

18

4. Desmidiaceae

6. Closterium dianae

13

5. Oocystaceae

7. Treubaria crassipina

08

8.

Pachycladon sp.

05

9.

Ulothrix zonata

16

10. Hormidium sp,

14

6. Ulothrixchaceae

Species

7. Chroococcacaceae 11. Mycrocytis sp

23

8. Oscillatoriaceae

12. Oscillatoria limosa

08

9. Nitzschiaceae

13. Nitzschia longissima

17

10. Surirellaceae

14. Surirella ovalis

06

11. Diatomaceae

15. Synedra acus

11

16. Diatoma Linearis

14

17. Cymbella sp

05

18. Tabellaria sp

06

19. Fragillaria sp

09

20. Pinnularia sp

06

21. Naviculla sp

04

22. Melosira stalica

04

12. Fragillariaceae

13. Naviculoidceae
14. Melosiraceae

Tabel 2. Komposisi jenis Fitoplankton yang ditemukan di Perairan Waduk Sei Pulai

34

D. Distribusi Jenis Fitoplankton yang Terdapat di Perairan Waduk Sei Pulai

Dari hasil praktikum lapangan yang dilakukan, diketahui bahwa distribusi


fitoplankton pada semua stasiun terkonsentrasi pada subtransek II yaitu pada
kedalaman 0.5 meter dengan total jenis fitoplankton yang ditemukan sebanyak 19
jenis pada stasiun I. 19 jenis fitoplankton tersebut berasal dari kelas Chlorophyceae
sebanyak 09 jenis, Cyanophyceae 01 jenis dan Bachillariphyceae 08 jenis. Untuk
distribusi fitoplankton pada subtransek I didapat 17 jenis yang tersebar pada 3 kelas
yaitu

Chlorophyceae

sebanyak

08

jenis,

Cyanophyceae

02

jenis

dan

Bachillariophyceae 07 jenis. Sedangkan untuk subtransek III jumlah keseluruhan


spesies fitoplankton yang ditemukan hanya berjumlah 13 jenis dengan 06 jenis
berasal dari kelas Chlorophyceae, 02 jenis dari kelas Cyanophyceae dan 05 jenis
dari kelas Bachillariophyceae.
Subtransek
I

Substransek
II

Substransek
III

Chlorophyceae

08

09

06

Cyanophyceae

02

01

02

Bachillariophyceae

07

08

05

17

19

13

Chlorophyceae

08

07

06

Cyanophyceae

01

02

01

Bachillariophyceae

08

09

07

Jumlah Spesies Stasiun II

16

18

14

Chlorophyceae

08

09

05

Cyanophyceae

02

02

01

Bachillariophyceae

06

08

08

16

19

14

Stasiun

Keterangan

Jumlah Spesies Stasiun I

Jumlah Spesies Stasiun III

Tabel 3. Distribusi jenis Fitoplankton berdasarkan Kelas di Perairan Waduk Sei Pulai
35

Distribusi fitoplankton pada stasiun II juga terkonsentrasi pada subtransek II


yaitu pada kedalam 0.5 meter dengan total jenis fitoplankton yang ditemukan
sebanyak 18 jenis. 18 jenis fitoplankton tersebut berasal dari kelas Chlorophyceae
sebanyak 07 jenis, Cyanophyceae 02 jenis dan Bachillariphyceae 09 jenis. Untuk
distribusi fitoplankton pada subtransek I didapat 16 jenis yang tersebar pada 3 kelas
yaitu

Chlorophyceae

sebanyak

08

jenis,

Cyanophyceae

01

jenis

dan

Bachillariophyceae 08 jenis. Sedangkan untuk subtransek III jumlah keseluruhan


spesies fitoplankton yang ditemukan hanya berjumlah 14 jenis dengan 06 jenis
berasal dari kelas Chlorophyceae, 01 jenis dari kelas Cyanophyceae dan 07 jenis
dari kelas Bachillariophyceae
Hal yang sama juga ditemukan pada stasiun III dimana distribusi
fitoplankton terkonsentrasi pada subtransek II yaitu pada kedalam 0.5 meter dengan
total jenis fitoplankton yang ditemukan sebanyak 19 jenis. 19 jenis fitoplankton
tersebut berasal dari kelas Chlorophyceae sebanyak 09 jenis, Cyanophyceae 02 jenis
dan Bachillariphyceae 08 jenis. Untuk distribusi fitoplankton pada subtransek I
didapat 16 jenis yang tersebar pada 3 kelas yaitu Chlorophyceae sebanyak 08 jenis,
Cyanophyceae 02 jenis dan Bachillariophyceae 06 jenis. Sedangkan untuk
subtransek III jumlah keseluruhan spesies fitoplankton yang ditemukan hanya
berjumlah 14 jenis dengan 05 jenis berasal dari kelas Chlorophyceae, 01 jenis dari
kelas Cyanophyceae dan 08 jenis dari kelas Bachillariophyceae
Berdasarkan analisis pada ketiga stasiun diatas, didapat kesimpulan bahwa
perbedaan lokasi pengambilan sampel tidak memberikan pengaruh terhadap
distribusi fitoplankton, dengan kata lain perbedaan aktifitas dan karakteristik pada

36

masing-masing stasiun tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies fitoplankton yang


ditemukan. Hal ini diindikasikan oleh jumlah fitoplankton yang ditemukan hanya
berkisar antara 13 19 spesies pada tiap tiap subtransek/ kedalaman. Disamping itu
trend distribusi fitoplankton pada ketiga stasiun juga tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata, dimana jumlah spesies fitoplankton paling banyak ditemukan pada
subtransek II yakni pada kedalaman 0.5 m, sedangkan distribusi fitoplankton paling
rendah ditemukan pada subtransek III yakni pada kedalaman 1 meter.
Gambar 8. Perbandingan Distribusi Fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai
GRAFIK DISTRIBUSI FITOPLANKTON DI PERAIRAN WADUK SEI PULAI
20
15
DISTRIBUSI FITO LANKTO N

10
5
-

Tingginya distribusi fitoplankton pada subtransek II pada semua stasiun


pengamatan di duga karena sebagian besar fitoplankton memiliki tingkat
kesukaan terhadap cahaya yang sedang. (Sunarto, 2004) mengatakan ada
kecenderungan meningkatnya produktifitas primer sejalan dengan peningkatan
kedalaman hingga batas tertentu. Selain itu pengaruh waktu pengambilan sampel
yakni pada pukul 10.00 WIB keatas, diduga memberikan pengaruh terhadap hasil
distribusi fitoplankton yang didapat. Distribusi harian fitoplankton, terutama pada

37

daerah tropis, mengikuti perubahan intensitas cahaya sebagai akibat pergerakan


semu matahari. Pada pagi hari dimana intensitas cahaya masih rendah dan suhu
permukaan air masih Urganism dingin, fitoplantonkton berada tidak jauh dari
permukaan karena suhu yang rendah memperbesar densitas air waduk yang
menyebabkan fitoplankton mengambang dan terangkat ke permukaan air.
Sebaliknya pada siang hari fitoplankton berada cukup jauh dari permukaan karena
suhu badan air mulai meningkat yang berakibat pada menurunnya densitas air
waduk. Dengan pola migrasi demikian, maka fitoplankton akan terdistribusi secara
tidak merata di perairan.
Fitoplankton dari kelas Chlorophyceae merupakan kelas yang paling banyak
ditemukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2007) bahwa umumnya
fitoplankton yang terdapat diperairan lentik adalah dari jenis alga hijau
(Chlorophyceae), diikuti dengan diatom (Bachillariophyceae) dan alga biru
(Cyanophyceae). Jenis fitoplankton dari kelas Chlorophyceae yang selalu
ditemukan di semua stasiun pengamatan dan dalam jumlah yang melimpah ialah
Ulothrix Zonata sedangkan dari kelas Bachillariophyceae adalah Diatoma Linearis.
Hal ini berkaitan dengan bentuk tubuh Ulothrix Zonata yang membentuk rantai atau
kumpulan sel serta mempunyai Chaeta sehingga memiliki laju penenggelaman yang
rendah. Jenis lain yang Urgani selalu ditemukan pada setiap stasiun pengamatan
yaitu Nitzschia Longissima, Synedra Accus dan Fragillaria sp.

38

E. Kelimpahan Fitoplankton yang Terdapat di Perairan Waduk Sei Pulai


Stasiu
n
1

Keterangan
Jumlah Individu

Subtransek
I

Substransek
II

Substransek
III

1.680

2.100

1.140

Kelimpahan Stasiun I
2

Jumlah Individu

4.920
1.200

Kelimpahan Stasiun II
3

Jumlah Individu

Kelimpahan Stasiun III

1.860

900

3.960
1.380

1.980

1.140

4.500

Tabel 4. Kelimpahan Fitoplankton yang ditemukan di Perairan Waduk Sei Pulai


Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kelimpahan fitoplankton per
waktu pengamatan pada setiap subtransek menunjukkan kelimpahan yang tidak
merata, karena masing-masing stasiun dan subtransek mempunyai jumlah spesies
dan kelimpahan yang bervariasi. Kelimpahan terbesar fitoplankton pada semua
stasiun terdapat pada kedalaman 0.5 meter atau subtransek II dengan total individu
ditemukan sebanyak 2.100 individu/liter pada stasiun I, 1.860 individu/liter pada
stasiun II dan 1.980 individu/liter pada stasiun III yang berasal dari 3 kelas yakni
Chlorophyceae, Bachillariophyceae dan Cyanophyceae. Sedangkan subtransek III
menjadi lokasi pengamatan (kedalaman) dengan kelimpahan fitoplankton terkecil
dimana hanya ditemukan sebanyak 1.140 individu/liter pada stasiun I dan III dan
900 individu/liter pada Stasiun II.
Hasil perhitungan terhadap kelimpahan dari tiap kelas fitoplankton
menunjukkan bahwa kelimpahan pada semua stasiun tergolong rendah hingga

39

sedang. Pada stasiun I Kelimpahan Fitoplankton dari kelas Chlorophyceae berkisar


antara 660 1.020 ind/l. Kelas Bachillariophyceae dengan kelimpahan berkisar 300
720 ind/l dan kelas cyanophyceae dengan kisaran 180 360 ind/l.
Stasiu
n

Subtransek
I

Substransek
II

Substransek
III

Chlorophyceae

720

1.020

660

Cyanophyceae

240

360

180

Bachillariophyceae

720

720

300

Keterangan

Kelimpahan Stasiun I

4.920

Chlorophyceae

660

840

360

Cyanophyceae

60

420

120

Bachillariophyceae

480

600

420

Kelimpahan Stasiun II

3.960

Chlorophyceae

840

840

420

Cyanophyceae

180

300

180

Bachillariophyceae

360

840

540

Kelimpahan Stasiun III

4.500

Tabel 5. Kelimpahan Fitoplankton berdasarkan kelas di Perairan Waduk Sei Pulai


Hasil perhitungan kelimpahan dari tiap kelas fitoplankton pada stasiun II
menunjukkan bahwa stasiun II didominasi oleh kelas Chlorophyceae dengan jumlah
individu yang ditemukan berkisar antara 360 ind/l pada kedalam 1 m hingga 840
ind/l pada kedalaman 0.5 m. untuk kelas Bachillariophyceae hanya ditemukan 480
ind/l pada permukaan perairan hingga 600 ind/l pada kedalaman 0.5 m. sedangkan
untuk kelimpahan Cyanophyceae hanya berkisar 60 300 ind/l. sedangkan trend

40

yang terbentuk pada stasiun III juga tidak jauh berbeda dimana Chlorophyceae
merupakan jenis fitoplankton yang mendominasi seluruh subtransek. Jumlah
individu dari kelas Chlorophyceae yang ditemukan pada permukaan perairan
sebanyak 840 ind/l, kedalaman 0.5 meter sebanyak 840 ind/l dan pada kedalaman 1
meter sebanyak 420 ind/l. Fitoplankton dari kelas Bachilariophyceae memiliki
tingkat kelimpahan sedikit lebih kecil yakni sebanyak 360 ind/l pada permukaan air,
840 ind/l pada kedalaman 0.5 meter dan 540 ind/l pada kedalaman 1 meter.
Sedangkan fitoplankton dari kelas Cyanophyceae menjadi kelas dengan kelimpahan
fitoplankton terkecil dimana hanya ditemukan 180 ind/l pada permukaan air, 300
ind/l pada kedalaman 0.5 meter dan 120 ind/l pada kedalaman 0.5 meter. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Soegianto (1994), bahwa kelimpahan dengan nilai <
1.000 ind/l termasuk rendah, kelimpahan antara 1.000 4.000 ind/l tergolong
sedang, dan kelimpahan > 4.000 ind/l tergolong tinggi.
Berdasarkan analisis pada ketiga stasiun diatas, didapat kesimpulan bahwa
distribusi jenis fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahannya. Dalam
artian lokasi pengamatan yang memiliki ditribusi fitoplankton yang tinggi akan
memiliki kelimpahan individu yang tinggi pula. Hal ini tergambarkan oleh trend
yang terbentuk pada semua stasiun pengamatan, dimana subtransek II yang
memiliki distribusi jenis fitoplankton terbesar juga memiliki kelimpahan tertinggi
sedangkan subtransek III yang memiliki ditribusi jenis fitoplankton terkecil
memiliki kelimpahan terendah.
Kelimpahan fitoplankton bila dilihat dari variasi kedalaman lebih melimpah
pada kedalaman 0.5 meter. Sedangkan bila dilihat dari perbedaan stasiun

41

pengamatan maka lebih melimpah pada staisun I. hal ini diduga karena factor
lingkungan dari perairan pada stasiun tersebut yang mendukung kehidupan
fitoplankton. Kandungan oksigen terlarut dan nutrient yang mencukupi merupakan
salah satu penyebab lebih tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun I
dibandingkan dua stasiun lainnya. Seperti yang dikemukaan oleh Haumahu (2004),
distribusi dan kelimpahan fitoplankton tidak merata disetiap perairan karena
dipengaruhi oleh Urgani-faktor fisika dan kimia perairan seperti angin, arus,
kandungan nutrient. Disamping itu stasiun I masuk dalam zona Limited Entry yang
berperan sebagai zona intake dalam pengolahan air minum sehingga pada zona ini
tidak di ijinkan adanya aktivitas seperti budidaya maupun penangkapan. Vegetasi
yang relative lebih rimbun pada stasiun ini juga turut memberikan kontribusi
terhadap penyuburan perairan.
Gambar 9. Perbandingan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai
GRAFIK KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN WADUK SEI PULAI
2,500
2,000
1,500
KELIMPAHAN FITOPLANKTON (IND/LITER)

1,000
500
-

Kelimpahan fitoplankton jika ditinjau berdasarkan kelas dan spesies


fitoplankton yang ditemukan terlihat bahwa Perairan Waduk Sei Pulai didominasi

42

oleh kelas Chlorophiceae, dengan spesies yang paling banyak ditemukan adalah
Hormidium sp. Sedangkan spesies yang dominan dari kelas Bachillariophyceae
adalah Nitzchia Longissima. Kedua jenis fitoplankton diatas merupakan jenis
fitoplankton yang mempunyai daya toleransi yang besar terhadap perairan dengan
arus yang tenang. Spesies yang dominan dalam suatu komunitas memperlihatkan
kekuatan spesies itu dibandingkan dengan spesies lain (Odum, 1971), dengan
demikian terdapat jenis-jenis plankton yang mengendalikan perairan dan akan
menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas biotiknya
sendiri, tetapi juga dalam lingkungan fisiknya.
Hasil penghitungan terhadap kelimpahan dari tiap kelas fitoplankton secara
keseluruhan, menunjukkan bahwa kelas Chlorophyceae tergolong sedang dengan
kelimpahan

berkisar antara 660 1.020 ind/l, kelas Cyanophyceae dan

Bachillariophiceae tergolong rendah dengan kelimpahan berkisar antara 60 420


ind/l dan 300 840 ind/l.
F.

Indeks Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai


Tingkat keanekaragaman fitoplankton jika ditinjau berdasarkan variasi
kedalaman pada semua stasiun menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman
fitoplankton masuk dalam kategori sedang, baik pada permukaan perairan maupun
pada kedalaman 1 meter. Hal ini berdasarkan nilai indeks keaenakaragaman
fitoplankton yang berkisar diantara 2,434 di kedalaman 1 meter hingga 2.758 di
kedalaman 0,5 meter pada stasiun I. dimana kisaran total indeks keanekaragaman
diantara 2.3026 hingga 6.9078 termasuk dalam kategori sedang (Wilhm dan Dorris,
1968 dalam Dianthani,2003). Sedangkan indeks keanekaragaman fitoplankton pada

43

staisun 1 secara keseluruhan dengan menggunakan metode Shanon-Wienner


diperoleh nilai H = 2.851yang juga termasuk dalam kategori sedang.
Stasiun
1

Keterangan
Jumlah Individu

Indeks Keanekaragamn
Berdasarkan Kedalaman
Indeks Keanekaragaman
berdasarkan Stasiun
2

Jumlah Individu

Indeks Keanekaragamn
Berdasarkan Kedalaman
Indeks Keanekaragaman
Berdasarkan Stasiun
3

Jumlah Individu

Indeks Keanekaragamn
Berdasarkan Kedalaman
Indeks Keanekaragaman
Berdasarkan Stasiun

Subtransek
I

Substransek
II

Substransek
III

1.680

2.100

1.140

2,719

2,758

2,434

2,851
1.200

1.860

900

2,649

2,638

2,523

2,917
1.380

1.980

1.140

2,668

2,793

2,580

2,948

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Waduk Sei Pulai


Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis fitoplankton di stasiun II
dengan menggunakan metode Shannon-Wienner diperoleh nilai H = 2,917, hasil ini
menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis plankton di Perairan Waduk Sei Pulai
khususnya pada Stasiun II yang merupakan badan perairan yang berdekatan dengan
pemukiman penduduk tergolong dalam kategori sedang. Sedangkan nilai indeks
keanekaragaman pada variasi kedalaman menunjukkan adanya kisaran nilai indeks
yang berbeda. Indeks keanekaragaman pada permukaan perairan relatif lebih tinggi
dibandingkan indeks keanekaragaman pada kedalaman 1 meter yang berarti
banyaknya jenis dan jumlah individu /jenis pada permukaan perairan lebih besar

44

daripada kedalaman 1 meter. Namun perbedaan yang terbentuk tidak begitu


signifikan mengingat indeks keanekaragaman pada ketiga variasi kedalaman
tergolong dalam ketagori yang sama yakni kategori sedang berdasarkan klasifikasi
yang dilakukan Wilhm dan Dorris, 1968.
Sedangkan hasil perhitungan Indeks keanekaragaman jenis fitoplankton di
Stasiun III juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda. Nilai indeks
keanekaragaman berkisar antara 2.580 2.793 yang merupakan indeks bagi badan
perairan dengan kategori sedang. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman yang
muncul pada setiap variasi kedalaman merupakan refleksi dari kelimpahan dan
distribusi jenis fitoplankton, nilai indeks keamekaragaman tertinggi terdapat pada
substransek II dengan kedalaman 0.5 meter sedangkan nilai indeks terendah
terdapat pada kedalaman 1 meter dibawah permukaan air (subtransek III).
Pada tabel 0000 diatas, terlihat adanya perbedaan kisaran nilai indeks
keanekaragaman pada setiap variasi kedalaman. Hal ini erat kaitannya dengan
kelimpahan dan distribusi fitoplankton pada masing-masing subtransek. Indeks
keanekaragaman yang bevariasi terjadi karena jumlah jenis dan jumlah individu/
jenis yang berbeda-beda sehingga didapatkan nilai indeks keanekaragaman yang
berbeda pula. Disamping itu, tingginya keanekaragaman fitoplankton pada
kedalaman 0.5 meter tidak terlepas dari parameter abiotik yang mempengaruhi
kehidupan fitoplankton itu sendiri. Suhu dan intensitas cahaya matahari bukanlah
faktor tunggal yang mempengaruhi keberagaman dan kelimpahan fitoplankton pada
daerah dan kedalaman tertentu, melainkan ada parameter lain yang turut

45

memberikan kontribusi terhadap persebaran fitoplankton seperti derajat keasaman


(pH), Kandungan Oksigen terlarut (DO), Kekeruhan serta Kecepatan Arus.
Nilai indeks keanekaragaman (H) fitoplankton pada semua variasi
kedalaman yang teramati selama penelitian dari pukul 10.00 14.00 WIB, berkisar
antara 2,434 2,793, secara umum berada pada nilai 2,3026 < H < 6,9078. Yang
berarti keanekaragaman fitoplankton di perairan waduk sei pulai tergolong sedang.
Hal ini disebabkan karena jarak antar stasiun yang berdekatan sehingga dengan
adanya percampuran massa air oleh pengaruh angin memungkinkan fitoplankton
yang sifatnya melayang dan kurang kuat melawan arus cenderung akan lebih
Homogen. Disamping itu suhu yang relatif stabil hingga kedalaman 1 meter
menyebabkan tidak terbentuknya lapisan perairan dengan stratifikasi suhu yang
berbeda sehingga nilai indeks keseragaman yang didapat cenderung masuk dalam
kategori keanekaragaman yang sama.
Gambar 10. Perbandingan Indeks Keanekaragaman Fitoplankton di Waduk Sei Pulai

GRAFIK INDEKS KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN WADUK SEI PULAI


2.900
2.800
2.700
INDEKS KEANEKARAGAMAN

2.600
2.500
2.400
2.300
2.200

46

Indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun I dengan kedalaman


1 meter dibawah permukaan air dan indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada
stasiun 3 dengan kedalaman 0,5 meter dibawah permukaan air. Hal ini erat
kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton yang menurun sebanding dengan
meningkatnya kedalaman. Indeks keanekaragaman yang bevariasi pada beberapa
kedalaman perairan dapat terjadi karena jumlah jenis dan jumlah individu/ jenis
yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Weber
(1973), indeks keanekaragaman organism pada suatu komunitas sangat ditentukan
oleh banyaknya jenis dan jumlah individu /jenis. Disamping itu Kovalak (1979),
juga berpendapat bahwa meratanya kelimpahan spesies yang ada merupakan Urgani
paling berpengaruh terhadap penghitungan indeks keanekaragaman. Beberapa
parameter pembatas seperti suhu, penetrasi cahaya dan kandungan oksigen terlarut
berkontribusi terhadap perbedaan jumlah jenis dan jumlah individu/jenis pada setiap
kedalaman diperairan Waduk Sei Pulai.
Indeks

keanekaragaman

yang

berbeda

menunjukkan

terjadinya

ketidakseimbangan lingkungan perairan yang ditandai dengan munculnya kelaskelas tertentu yang lebih dominan terhadap kelas lainnya dalam komunitas. Hasil
penelitian menunjukkan Chlorophyceae merupakan kelas yang paling mendominasi
di Perairan Waduk Sei Pulai karena persentase jumlah spesiesnya melebihi 50% dari
jumlah total spesies yang ada. Kelas yang dominan dalam suatu komunitas
memperlihatkan kekuatan kelas itu dibandingkan dengan spesies lain (Odum, 1971),
dengan demikian terdapat jenis-jenis plankton yang mengendalikan perairan dan

47

akan menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas


biotiknya sendiri, tetapi juga dalam lingkungan fisiknya.
Keanekaragaman dan jumlah organism dalam komunitas plankton di badan
air tawar biasanya merupakan fungsi dari banyaknya jumlah bahan Urganis yang
tersedia (Patterson, 1996). Berkaitan dengan indeks keanekaragaman ini untuk
menentukan Urganism kualitas air William dan Doris (1966) dalam Weber (1973)
mengatakan, apabila indeks keanekaragaman berkisar 1-3 kriteria kualitas airnya
tercemar ringan. Hal yang sama dikemukakan Wiha (1975) dalam Fahrul (2007)
yang membuat Urganism kualitas air termasuk tercemar ringan jika indeks
keanekaragaman antara 2-3. Apabila indeks keanekaragaman yang diperoleh dari
penelitian ini dibandingkan dengan pendapat di atas maka waduk Sei Pulai
termasuk pada Urganism tercemar ringan. William dan Doris (1966) dalam Weber
(1973), mengatakan, jika indeks keanekaragaman antara 1-3, sebaran individu
sedang (keragaman sedang), berarti perairan tersebut mengalami tekanan
(gangguan) yang sedang atau struktur komunitas organisme yang ada sedang.
Indeks keanekaragaman fitoplankton yang diperoleh dalam penelitian ini berada
pada batas kisaran yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan perairan Waduk
Sei Pulai telah mengalami tekanan (gangguan) dan struktur komunitas fitoplankton
di waduk tersebut kurang baik. Untuk itu perlu adanya usaha untuk meningkatkan
kualitas lingkungan perairan waduk tersebut yaitu dengan cara mengurangi beban
limbah yang masuk ke kawasan waduk Sei Pulai baik yang berasal dari luar waduk
maupun dari dalam badan air waduk tersebut.

48

G.

Nilai Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Fitoplankton

1.

Suhu

No
1

Parameter
Suhu
Rata-rata

Stasiun/
Transek
1
2
3

Substransek I
28,25
28,00
28,21
28,15

Substransek
II
27,25
27,50
28,11
27,62

Substransek
III
27,18
27,10
27,05
27,11

Tabel 7. Nilai parameter Suhu di Perairan Waduk Sei Pulai


Suhu air di perairan Waduk Sei Pulai berdasarkan hasil pengukuran pada
setiap variasi kedalaman untuk setiap stasiun berkisar antara 270C-280C. Suhu yang
sesuai untuk pertumbuhan alami fitoplankton adalah berkisar antara 250C-350C,
sehingga dari kisaran yang diperoleh dapat dikatakan suhu di Perairan Waduk Sei
Pulai masih mendukung kehidupan fitoplankton. Suhu pada perairan umumnya di
pengaruhi oleh sinar matahari. Variasi suhu pada ekosistem air tawar sangat kecil
dan perubahannya berlangsung sangat lambat karena air mempunyai kalor jenis
tinggi. Pengaruh pada perairan menimbulkan adanya sirkulasi unsur hara di dalam
air yang diperlukan oleh fitoplankton yang hidup dipermukaan air.
Gambar 11. Perbandingan Nilai Suhu di Perairan Waduk Sei Pulai

49

GRAFIK NILAI SUHU PADA SETIAP VARIASI KEDALAMAN UNTUK SEMUA STASIUN
28.50
28.00
kisaran Suhu oC

27.50
27.00
26.50
26.00

Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling memberikan pengaruh


terhadap kehidupan fitoplankton. Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme
sel organisme air. Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu akan menyebabkan
peningkatan kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi organisme air, dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan organik mikroba.
Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air,juga
berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan
perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara
langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi
fitoplankton maupun zooplankton (Subarijanti, 1994). Pada proses fotosintesa reaksi
gelap, reaksi enzimatiknya dipengaruhi oleh suhu air. Sedangkan pada fotosintesa
reaksi terang dipengaruhi oleh intensitas radiasi vertikal (Mahmudi, 2005).
Pada suhu yang lebih hangat selalu dijumpai kelimpahan fitoplankton yang
tinggi. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap laju fotosintesa dan pertumbuhan
alga. Respon terhadap intensitas cahaya ini bersifat spesifik terhadap spesies.
50

Intensitas cahaya yang diperlukan untuk menjenuhkan fatosintesa alga umumnya


meningkat bersamaan dengan meningkatnya suhu perairan. Pada kondisi jenuh oleh
cahaya, reaksi biokimia enzimatik terbatas lajunya, semua ini diregulasi oleh suhu.
Jadi pada dasarnya dampak ekologis cahaya dan suhu pada fotosintesa dan
pertumbuhan alga tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena hubungan erat
antara metabolisme dan penjenuhan cahaya (Sulawesty, 2005). Sebagai faktor
penting bagi kehidupan organisme air, perubahan suhu yang ekstrim akan
mengganggu kehidupan organisme air bahkan dapat menyebabkan kematian.

51

2.

Kecerahan

No

Parameter

Kecerahan
Rata-rata

Stasiun/
Transek
1
2
3

Substransek
I

Substransek
II
62.80
73.75
55,95
64.16

Substransek
III

Selain Suhu, Cahaya merupakan faktor terutama dan terpenting dalam


pertumbuhan fitoplankton, terutama dalam kelancaran proses fotosintesis.
Kesempurnaan proses ini tergantung besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk
ke dalam perairan. Sedangkan besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke air
dipengaruhi kecerahan maupun kekeruhan perairan itu sendiri (Subarijanti, 1994).
Penetrasi cahaya ini dapat di identifikasi dengan kedalaman air yang
memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Penetrasi cahaya sering kali
dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, sehingga membatasi zona fotosintesis.
Kecerahan di waduk Sei Pulai berkisar antara 55,95 - 7.75 cm. pengukuran
dilakukan pada subtransek 3 yang merupakan titik pengambilan sampel dengan
kedalaman tertinggi sebanyak tiga kali ulangan. Selain dipengaruhi oleh intensitas
cahaya matahari yang masuk ke perairan, tingkat kecerahan juga dipengaruhi oleh
perbedaan waktu pengukuran kecerahan, keadaan cuaca dan juga ketelitian dari
orang yang melakukan pengukuran. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun III
yang merupakan daerah inflow dan overflow bagi waduk Sei Pulai. Inflow adalah
saluran tempat masuknya air dari beberapa tali air yang terbentuk secara alami
maupun buatan pada DAS Sungai Pulai, sedangkan overflow adalah saluran yang
berfungsi untuk mengurangi debit waduk ketika musim hujan agar kapasitas
tampung maksimal waduk tidak terlampaui. Pengaruh kandungan lumpur yang
52

dibawa oleh limpasan air hujan maupun materi organik yang bersumber dari inflow
pada stasiun III dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air waduk menjadi rendah,
sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan. Menurut Sellers dan
Markland (1987) dalam Arfiati, dkk. (2002), perairan oligotropik mempunyai batas
kecerahan > 6 m, mesotropik 36 m dan eutropik <3 m. Berdasarkan keterangan
tersebut dan melihat dari hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa perairan
waduk Sei Pulai tergolong peraiaran eutropik. Parameter kecerahan dapat digunakan
untuk mengetahui sampai dimana proses asimilasi dapat berlangsung di dalam air.
Air yang tidak terlampau keruh dan tidak terlampau jernih baik untuk kehidupan
biota maupun vegetasi perairan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang
disebabkan oleh jasad renik atau plankton.
Berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan) danau diklasifikasikan
dalam 3 jenis, yaitu: danau eutropik, danau oligotrofik dan danau mesotropik.
Danau eutropik (kadar hara tinggi) merupakan danau yang memiliki perairan yang
dangkal, tumbuhan litoral melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi
blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah.
Sementara itu, danau oligotropik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya
memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan
dengan bagian epilimnion. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur,
tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya
tinggi. Danau mesotropik merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik
dan danau oligotrofik. Klasifikasi ini juga berlaku bagi perairan waduk, karena
waduk dan danau memiliki karakteristik yang sama sebagai perairan tergenang.

53

3.

Kekeruhan

No

Parameter

Kekeruhan
Rata-rata

Stasiun/
Transek
1

Substransek
I
3.5

Substransek
II
3.9

Substransek
III
4.9

2.4

2.5

5.1

6.9

7.3

9.8

4.2

4.5

6.6

Tabel 9. Nilai parameter Kekeruhan di Perairan Waduk Sei Pulai


Kekeruhan diartikan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang
disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya
disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahanbahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan
menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang
diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan yang
terjadi pada perairan tergenang seperti waduk lebih banyak disebabkan oleh bahan
tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus.
Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan
perairan, sehingga dapat menghalangi proses fotosintesis dan produksi primer
perairan. Kekeruhan biasanya terdiri dari partikel anorganik yang berasal dari erosi
dari DAS dan resuspensi sedimen di dasar waduk. Kekeruhan memiliki korelasi
positif dengan padatan tersuspensi, yaitu semakin tinggi nilai kekeruhan maka
semakin tinggi pula nilai padatan tersuspensi (Marganof, 2007).
Hasil pengamatan terhadap kekeruhan pada beberapa titik sampling berkisar
antara 2.4 - 9.8 NTU. Nilai kekeruhan terendah 2.4 NTU terdapat pada stasiun 2,
hal ini menunjukkan sedikitnya padatan tersuspensi pada lokasi tersebut, rendahnya

54

padatan tersuspensi pada stasiun 2 disebabkan oleh karena sebagian besar tanggul
sudah dikonstruksi dengan material beton sehingga debit dan laju run off yang
membawa materi organik dari sempadan waduk tidak begitu besar. sedangkan nilai
kekeruhan tertinggi 9.8 NTU terdapat pada stasiun 3 hal ini dikarenakan banyaknya
padatan tersuspensi berupa sedimen yang dibawa oleh air dari Saluran inflow.
Disamping itu kondisi eksisting Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Pulai yang
terdegradasi oleh kegiatan pembangunan dan perkebunan lokal serta di dominasi
oleh vegetasi yang homogen menyebabkan DAS tidak mampu menahan laju erosi
oleh air hujan.
4.
No

Derajat Keasaman (pH)


Parameter

Stasiun/
Transek
1

pH
Rata rata

8,19

Substransek
II
7,39

Substransek
III
6,97

8,24

7,64

7,10

8,07

7,97

7,02

8.1

7.6

7.0

Substransek I

Tabel 10. Nilai parameter pH di Perairan Waduk Sei Pulai


Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 78,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu toksisitas logamlogam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Effendi, 2003).
Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta
ionion bersifat asam atau basa. Fitoplankton dan tanaman air akan mengambil
karbondioksida selama proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH
perairan menjadi meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari.
55

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pH di perairan waduk Sei


Pulai berkisar antara 7.02 - 8,24, sehingga jika merujuk pada keterangan di atas
maka pH di perairan ini masih dapat mendukung bagi kehidupan organisme akuatik
yang ada di dalamnya.
Derajad keasaman (pH) mempengaruhi terhadap ketersediaan bentuk-bentuk
karbon di dalam perairan. Pada pH 4-6 maka karbon yang terbentuk adalah asam
karbonat (H2CO3), pH 6-9 terbentuk bikarbonat (HCO3-) sedangkan pH >9 bentuk
karbon yang tersedia adalah karbonat (CO32-). Sebagian besar fitoplankton hanya
menggunakan CO2 untuk fotosintesis yang didapat dari udara atau penguraian
HCO3- dan CO32-, tetapi ada juga tanaman yang menggunakan HCO 3- sebagai
sumber karbondioksida bebas setelah diubah dengan enzim karbonik anhidrase
(Goldman dan Horne, 1983).
Adanya hubungan yang erat antara kondisi pH perairan dengan kandungan
CO2, perlu diteliti lebih jauh lagi. Karena ada kemungkinan berhubungan dengan
kondisi zooplankton yang tidak menjadi fokus dalam penelitian. Sedangkan kondisi
zooplankton akan mempengaruhi kondisi fitoplankton secara langsung, karena
dalam rantai makanan perairan fitoplankton merupakan produsen primer sedangkan
zooplankton umumnya berperan sebagai konsumen pertama.
Berkaitan dengan nilai pH suatu badan perairan, Benerjea (1967) membagi
perairan menjadi tiga golongan yaitu: perairan dengan pH 5.5 6.5 tergolong
perairan tidak produktif, 6.7 7.5 tergolong produktif dan 7.5 8.5 sudah tidak
produktif lagi. Berdasarkan kisaran pH tersebut waduk sei pulai dapat dikategorikan

56

sebagai perairan yang mengarah pada badan perairan yang tidak produktif, namun
masih dalam batas toleransi untuk keperluan kehidupan.
Secara umum nilai pH antara 7 9 mengindikasikan sistem perairan yang
sehat(WHO, 1992). pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks
pencemaran dengan melihat tingkat keasaman dan kebasaan (Siagian,2009).
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organime karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolism dan respirasi.
5.

Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

No
1

Parameter
DO
Rata-rata

Stasiun/
Transek
1

Substransek I
9,89

Substransek
II
9,20

Substransek
III
8,55

9,51

9,06

8,28

9,26

9.28

7,05

9.5

9.1

7.9

Tabel 11. Nilai parameter DO di Perairan Waduk Sei Pulai


Oksigen merupakan parameter yang penting di suatu perairan. Oksigen
terlarut penting bagi organisme perairan yang bersifat aerobik, disamping
menentukan kecepatan metabolisme dan respirasi dari keseluruhan ekosistem
perairan, juga sangat penting bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan biota air.
Keberadaan oksigen di perairan ditentukan oleh kelimpahan fitoplankton.
Hal ini erat kaitannya dengan kandungan klorofil pada fitoplankton yang
menghasilkan oksigen pada proses fotosintesis (Subarijanti, 1990). Sedangkan
kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi beberapa factor seperti temperature,
tekanan atsmosfer, padatan terlarut dan salinitas. Kandungan oksigen terlarut di

57

perairan selama penelitian berkisar antara 7,05- 9.89 mg/L. Kandungan oksigen
terlarut di waduk Sungai Pulai tergolong tinggi yang diduga karena kelimpahan
fitoplanktonnya juga cukup tinggi.
Diantara ketiga stasiun pengamatan, nilai DO terendah terdapat pada stasiun
III yang diduga sebagai akibat tingginya proses degradasi materi organik oleh
bakteri pengurai. Hal ini terindikasi oleh rendahnya nilai pH. Disamping itu suhu
yang relatif tinggi di setiap variasi kedalaman serta rendahnya laju fotosintesis
menyebabkan minimnya kadar oksigen terlarut pada stasiun III. Karaketristik
stasiun III yang dicirikan oleh tingginya kerapatan vegetasi perairan yang memberi
naungan serta menghalangi penetrasi cahaya matahari untuk masuk kebadan
perairan juga diduga sebagai penyebab rendahnya kadar DO, karena fotosintesis
tidak berlangsung optimal.
Kandungan Oksigen terlarut (DO). Merupakan salah satu penentu
karakteristis kualitas air yang terpenting dalam lingkungan kehidupan biota air.
Konsentrasi oksigen dalam air mewakili status kualitas air pada tempat dan waktu
tertentu (saat pengambilan air). Dengan kata lain keberadaan dan besar kecilnya
oksigen di dalam air dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya pencemaran
disuatu parairan. Oksigen terlarut dapat membanu proses penghilangan beberapa
senyawa yang tidak diinginkan dalam air minum, seperti Fe dan Mn. Penghilangan
senyawa-senyawa tersebut dengan cara presipitasi bentuk teroksidasi atau
mengoksidasi amoniak menjadi nitra. Oksigen terlarut dalam badan air juga dapat
mencegah terjadinya reduksi aneaerob dan sulfat terlarut menjadi H2S.

58

6. Kecepatan arus
No
1

Parameter
Kecepatan
Arus

Stasiun/
Transek
1
2
3

Substransek I

Rata-rata

Substransek
II
0.23
0.07
0.18
0.16

Substransek
III

Tabel 12. Nilai parameter Kecepata Arus di Perairan Waduk Sei Pulai
Arus merupakan salah satu faktor yang membatasi penyebaran biota dalam
perairan (Odum, 1971). Arus dapat membawa larva planktonik jauh dari habitat
induknya menuju ke tempat mereka menetap dan berkembang. Arus mempunyai arti
penting dalam menentukam pergerakan dan distribusi plankton pada suatu perairan.
Pada daerah Litoral waduk, arus yang disebabkan oleh hembusan angin mempunyai
pengaruh nyata terhadap distribusi fitoplankton. Arus merupakan sarana transportasi
baku untuk makanan maupun oksigen bagi suatu organisme air. Pergerakan
fitoplankton terjadi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan, tetapi kekuatan
berenangnya sangat kecil bila dibandingkan dengan kekuatan arus tersebut
Berdasarkan pengukuran pada masing-masing stasiun pengamatan diketahui
bahwa kecepatan arus berkisar antara 0.18 0.23 m/s. kecepatan arus terbesar
terdapat pada stasiun I yang merupakan inlet bagi waduk dan diduga disebabkan
oleh proses penyadapan air untuk keperluan PDAM. Sedangkan kecepatan arus
terendah terdapat pada stasiun II dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh
karakteristik stasiun II yang tidak menerima pengaruh eksternal yang dapat
mempengaruhi kecepatan arus seperti inflow dan overflow. Kondisi diatas
menyebabkan adanya perbedaan kelimpahan dan kenakeragaman jenis fitoplankton
pada masinng-masing stasiun pengamatan.
59

V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan, identifikasi dan pembahasan, penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa :
1.

Perbedaan lokasi pengambilan sampel tidak memberikan pengaruh terhadap


distribusi fitoplankton, dengan kata lain perbedaan aktifitas dan karakteristik
pada masing-masing stasiun tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies
fitoplankton yang ditemukan. Hal ini diindikasikan oleh jumlah fitoplankton
yang ditemukan hanya berkisar antara 13 19 spesies pada tiap tiap

2.

subtransek/ kedalaman.
Trend distribusi fitoplankton pada ketiga stasiun tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata, dimana jumlah spesies fitoplankton paling banyak
ditemukan pada subtransek II yakni pada kedalaman 0.5 m, sedangkan
distribusi fitoplankton paling rendah ditemukan pada subtransek III yakni

3.

pada kedalaman 1 meter.


Distribusi jenis fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahannya.
Dalam artian lokasi pengamatan yang memiliki ditribusi fitoplankton yang
tinggi akan memiliki kelimpahan individu yang tinggi pula. Hal ini
tergambarkan oleh trend yang terbentuk pada semua stasiun pengamatan,
dimana subtransek II yang memiliki distribusi jenis fitoplankton terbesar
juga memiliki kelimpahan tertinggi sedangkan subtransek III yang memiliki

4.

ditribusi jenis fitoplankton terkecil memiliki kelimpahan terendah.


Nilai indeks keanekaragaman (H) fitoplankton pada semua variasi
kedalaman

yang teramati berkisar antara 2,434 2,793, secara umum

60

berada pada nilai 2,3026 < H < 6,9078, yang berarti keanekaragaman
5.

fitoplankton di perairan waduk sei pulai tergolong sedang.


Parameter Lingkungan yang mempengaruhi kehidupan fitoplankton meliputi
Suhu, kekeruhan, kecerahan, kecepatan arus, derajat keasaman serta
kandungan oksigen terlarut. Nilai parameter lingkungan yang terukur
menunjukkan kondisi perairan waduk sei pulai secara umum masih dalam
kondisi yang cenderung baik.
B. SARAN
Melihat kondisi kualitas fisika, kimia dan tingkat kesuburan fitoplankton,

maka rekomendasi yang dapat disampaikan untuk menjaga kondisi waduk agar
dapat terus menopang kehidupan organisme yang ada didalamnya adalah :
1.

Menjaga Daerah Aliran Sungai Beserta Hutan Lindung Sungai Pulai yang
berperan besar dalam manjaga debit air waduk dan menahan laju erosi serta

2.

sedimentasi yang merupakan sumber nutrien.


Bagi masyarakat yang berdomisili di bantaran waduk agar memiliki

3.

kesadaran untuk tidak membuang limbah rumah tangganya disekitar waduk


Melakukan pengelolaan terhadap Instalasi IPAL secara efektif dan
pemantauan terhadap inflow serta over flow secara berkala sebagai upaya
monitoring kualitas perairan waduk Sei Pulai

61

Anda mungkin juga menyukai