Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut perhimpunan dokter paru
Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun /berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit., sedangkan menurut Global Iinitiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD), penyakit paru obstruktif kronis berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK
sebesar 10,1%
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn. TOL
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 74 tahun
Agama
: Khatolik
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
Alamat
: Oeba
Tgl MRS IGD
: 5 April 2016 (pukul 19:30 WITA)
Tgl MRS Ruangan
: 6 April 2016 (puul 16:50 WITA)
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Sesak napas yang memberat sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 1 minggu SMRS.
Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan
membaik saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur
dan merasa lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur
menggunakan dua bantal di kepala. Keluhan juga disertai batuk 1 tahun
terakhir. Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai
darah, tidak disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB
dan BAK lancar. Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas
potong kayu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan
batuk. Riwayat hipertensi sejak 20 tahun terakhir. Pasien mengkonsumsi obat
hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Riwayat
penyakit lain (-). Tidak ada riwayat konsumsi obat selama 6 bulan.
Riwayat Kebiasaan :
3
Merokok 5 bungkus per hari 39 tahun & minum alkohol tapi sudah berhenti
30 tahun yang lalu.
Riwayat Alergi :
Sering gatal-gatal saat konsumsi ikan.
Riwayat Keluarga :
Tidak ada riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
TD
Nadi
S
RR
Kepala
: 140/70 mmHg
: 84 x /menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
: 36,6oC ; aksiler
: 26 x/menit
: Bentuk normal, rambut tidak mudah dicabut, warna : hitam
: Warna kulit gelap, Kelainan kulit (-),Sianosis (-), Ikterik (-), Pucat
(-)
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Thoraks
Bentuk
: Barrell chest, pelebaran vena (-), luka (-), scar (-), Massa
(-)
Pulmo Anterior
Inspeksi
Palpasi
dinding dada
Perkusi
Auskultasi
: Vesikular (+/+),
Wheezing+Ronkhi
+
Pulmo Posterior
Inspeksi
:
: Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-),
Palpasi
dinding dada
Perkusi
Auskultasi
: Vesikular (+/+),
Wheezing+Ronkhi
+
Jantung
Inspeksi
Palpasi
thrill (-)
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
Inferior
Edema
-/-
-/-
Sianosis
-/-
-/-
Akral
Hangat
Hangat
CRT
< 2 detik
< 2 detik
Motorik
Hb
RBC
Hct
MCV
MCH
MCHC
WBC
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Trombosit
Natrium
Nilai Rujukan
13-18 g/dL
4.50 - 6.20 x 10^6/uL
40.0 54.0 %
81.0 96.0 fL
27.0 26.0 pg
31-37 g/L
4-10 x 10^3/ uL
0-4%
0-1%
50-70%
20-40%
2-8%
150-400 x 10^6/ uL
136 145 mmol/L
05 April 2016
15.8
5.69
50.8 %
89.3
27.8
31.1
11.85
3
0,5
74.8
9.0
12.7
276
139
6
Kalium
Klorida
GDS
Ureum darah
Kreatinin darah
Foto Thorax
38
100
218
58.80
0.98
o
o
o
o
Follow Up Pasien
Tanggal
Subjektif
Objektif
Assesment
07/4/2016
Sesak napas +,
batuk lendir +
PPOK
eksaserbasi akut
08/4/2016
Sesak napas ,
batuk lendir +
KU Sakit sedang,
CM, E4V5M6
TD: 160/100
mmHg
Nadi: 92 x/menit,
regular kuat angkat
Suhu: 36,4 0C
Napas: 25 x/menit
Mata: anemis -/Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing +/+
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
KU Sakit sedang,
CM, E4V5M6
TD: 140/90 mmHg
Nadi: 84 x/menit,
regular kuat angkat
Suhu: 36,4 0C
Napas: 24 x/menit
Mata: anemis -/Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing +/+
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
PPOK
eksaserbasi akut
Planning
Treatment
O2 4-6 lpm nasal
canul
IVFD RL 20 tpm
GG 3x2 tab
Nebulasi
combivent/12 jam
Injeksi ceftriaxone
2x1 gr/iv
IVFD RL 20 tpm
Nebulasi
combivent 1 ampul
: NaCl 0,9% 6cc /
12 jam
GG 3x2 tab
Injeksi ceftriaxone
2x1 gr/iv
Metylprednisolon
2x62,5 mg
Ranitidin 2x1 amp
09/4/2016
Sesak napas ,
batuk lendir +
10/4/2016
Sesak napas -,
batuk lendir
11/4/2016
Sesak napas -,
batuk lendir
PPOK
eksaserbasi akut
PPOK
eksaserbasi akut
PPOK
eksaserbasi akut
IVFD RL 500
cc/24 jam
Nebulasi
combivent 1 ampul
: NaCl 0,9% 6cc /
12 jam
Injeksi ceftriaxone
1x2 gr/iv
Metylprednisolon
Tanggal
12/4/2016
Subjektif
Sesak napas -,
batuk lendir +
13/4/2016
Sesak napas -,
batuk lendir
Objektif
KU Sakit sedang,
CM, E4V5M6
TD: 130/80 mmHg
Nadi: 76 x/menit,
regular kuat angkat
Suhu: 36,7 0C
Napas: 19 x/menit
Mata: anemis -/Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing -/Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
KU Sakit sedang,
CM, E4V5M6
TD: 120/60 mmHg
Nadi: 70 x/menit,
regular kuat angkat
Suhu: 360C
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/Pulmo: ves +/+, rh
+/+ , wheezing
-/Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
2x62,5 mg
Ranitidin 2x1 amp
Furosemide 1x110
mg
Assesment
PPOK
eksaserbasi akut
Planning Therapy
IVFD RL : D5 1:1
20 tpm
Injeksi ceftriaxone
1x2 gr/iv
Ranitidin 2x1 amp
Nace 2x1 ampul
PPOK
eksaserbasi akut
IVFD RL : D5 1:1
20 tpm
Injeksi ceftriaxone
1x2 gr/iv
Ranitidin 2x1 amp
Nace 2x1 ampul
10
14/4/2016
Sesak napas -,
batuk lendir
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
KU Sakit sedang,
CM, E4V5M6
TD: 120/60 mmHg
Nadi: 70 x/menit,
regular kuat angkat
Suhu: 360C
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/Pulmo: ves +/+, rh
-/-, wheezing -/Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
PPOK
eksaserbasi akut
IVFD RL : D5 1:1
20 tpm
Injeksi ceftriaxone
1x2 gr/iv
Ranitidin 2x1 amp
Nace 2x1 ampul
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut perhimpunan dokter paru
Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun /berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit., sedangkan menurut Global Iinitiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD), penyakit paru obstruktif kronis berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan
antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Bronkitis kronik dan
emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena emfisema merupakan diagnosis
patologik dan bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu, keduanya
tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas. (1)
3.2 Epidemiologi
12
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang
terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data
tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% pada laki-laki
sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%. Sedangkan mortalitas menduduki
peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada
tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai
1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan
6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). (3)
Hasil Penelitian lain dari Bold Study pada 12 negara di dunia dengan jumlah
sampel total sebesar 9425 responden yang telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala respirasi, status kesehatan dan
faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK menurut jenis
kelamin sebagai berikut :
Tabel 1. Lima Besar Negara Dengan PPOK Menurut Jenis Kelamin (3)
Dari tabel di atas terlihat bahwa secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi
pada laki-laki- dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan
menunjukkan prevalensi PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan.
Sedang-kan kota Lexington di Amerika Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua
pada kelompok perempuan namun pada laki-laki hanya menunjukan prevalen-si
kelima dari 12 negara yang diteliti. (3)
13
14
3.3 Klasifikasi
Global Iinitiative
for
Chronic
Obstructive
Lung
Disease
(GOLD)
mengklasifikasikan PPOK ke dalam derajat ringan, sedang, berat dan sangat berat
melalui keterbatasan aliran udara yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Keterbatasan Aliran Udara (1,2)
Derajat
Klinis
Gejala klinis (batuk, produksi sputum)
Derajat I : PPOK
Ringan
Derajat II : PPOK
Sedang
Faal Paru
Normal
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada VEP1 / KVP < 70 %.
tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai VEP1 80% prediksi
menurun
15
a.
b.
3.5 Patogenesis
16
Perubahan patologis yang khas pada PPOK dapat ditemukan pada saluran
napas, parenkim paru dan vaskularisasi paru. Perubahan patologis termasuk di
dalamnya inflamasi kronis yang menyebabkan peningkatan jumlah sel inflamasi
yang spesifik pada paru dan perubahan struktural akibat dari injuri yang berulang.
Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural pada saluran napas meningkat
seiring dengan tingkat keparahan penyakit dan menetap walaupun sudah berhenti
merokok. (5)
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Tabel
berikut menjelaskan konsep patogenesis PPOK (1)
17
berbeda. Bronkitis kronis mengenai saluran napas besar dan kecil (komponen
terakhir disebut bronkiolitis kronis untuk menunjukkan keterlibatan); sebaliknya
emfisema terbatas di asinus, struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.
(6)
a. Emfisema
Emfisema terjadi
ketidakseimbangan
akibat
dua
ketidakseimbangan
protease-antiprotease
dan
penting,
ketidakseimbangan
yaitu
oksidan-
kemudian
menderita
emfisema
simtomatik,
18
transkripsi
nuclear
faktor
(NF-B),
yang
19
memperpanjang
20
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus
atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan
eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi
ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga
menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan
IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih
banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan
21
Selama
eksaserbasi
terlihat
peningkatan
hiperinflasi
dan
22
dioksida, menjadi hipoksik, dan sering sianotik. Sebagian besar pasien dengan
emfisema dan PPOK terletak diantara kedua ekstrem klasik ini. Pada semua
pasien, timbul hipertensi pulmonal sekunder secara perlahan, karena spasme
vaskular paru yang dipicu hipoksia dan berkurangnya luas permukaan kapiler paru
akibat kerusakan alveolus.(6)
Pada pasien dengan bronkitis kronis, batuk dan pembentukan sputum dapat
berlangsung terus menerus tanpa disfungsi ventilasi, namun pada pasien PPOK
yang disertai obstruksi aliran keluar udara dapat disertai hiperkapnia, hipoksemia
dan pada kasus yang berat dapat terjadi sianosis. (6)
3.7 Penegakkan Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.(1) Diagnosis PPOK dipertimbangkan
bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada tabel berikut:
23
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator
ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan
diagnostik pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan
kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan
diagnosis PPOK.(1)
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
2. Pemeriksaan Fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
24
o
o
o
o
o
Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
25
paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung
26
DERAJAT II**
VEP1/KVP <
70%50 % <
VEP1<80 %
prediksi
DERAJAT III
VEP1 /KVP 70%
30 % VEP1 50 %
prediksi
DERAJAT IV
VEP1 /KVP < 70%
VEP1 < 30 % prediksi
o Tambahkan pemberian
oksigen jangka
panjang kalau terjadi
gagal napas kronik
o Lakukan tindakan
operasi bila diperlukan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi, obat obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi. (1)
1
Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah untuk mengenal perjalanan penyakit
28
efek sampingnya
Penggunaan oksigen : kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, dan
mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen, mengenal dan mengatasi
batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah atau sputum berubah warna
Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas (1)
2. Obat-Obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau
obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
29
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi
eksaserbasi akut.
30
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.(1)
c. Antibiotik
Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan
volume dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan
spektrum luas yang bisa menghadapi H. influenzae, S. pneumoniae dan M.
31
(7)
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah
untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal,
mengurangi
vasokonstriksi,
mengurangi
hematokrit,
memperbaiki
fungsi
32
Volume control
Pressure control
Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
Continous positive airway pressure (CPAP)
33
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT
/ Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada
analisis gas darah, kualitas dan kuantitas tidur dan kualitas hidup.
Indikasi penggunaan NIPPV :
-
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana. (1)
34
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Mengatasi
malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2
yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat
diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein
dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi
pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat
35
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan dan ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas
sistem transportasi oksigen. (1)
3.9 Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu
ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi
saluran napas harus dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan
menentukan adanya komplikasi. Pada penilaian awal saat kunjungan harus
mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan dan pemeriksaan fisik.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:
Gagal napas
o Gagal napas kronik
36
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam hingga
kesadaran menurun. Infeksi berulang pada pasien PPOK diakibatkan oleh
produksi sputum yang berlebihan yang dapat menyebabkan terbentuknya koloni
kuman sehingga memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini
imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal yang terjadi pada PPOK ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan. Peningkatan tekanan vena
jugular dan pitting edema pergelangan kaki merupakan temuan yang berguna
untuk memperkirakan kor pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena
jugularis seringkali sulit dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam
tekanan intratorakal. Diagnosis korpulmonal dapat melalui sejumlah pemeriksaan
diantaranya
radiografi,
elektrokardiografi,
ekokardiografi,
skintigrafi
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus didapatkan seorang laki-laki umur 74 tahun masuk rumah sakit
dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak 1 minggu SMRS.
Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan membaik
saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur dan merasa
lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur menggunakan dua bantal
di kepala. Keluhan juga disertai batuk yang hilang timbul 1 tahun terakhir.
Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai darah, tidak
disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan. Tidak ada
keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB dan BAK lancar.
Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas potong kayu. Pasien juga
pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan batuk serta
pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 20 tahun terakhir dan mengkonsumsi
obat hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Pasien juga
diketahui memiliki kebiasaan merokok 5 bungkus per hari 39 tahun tapi sudah
berhenti 30 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/70, nadi
84x/menit, respirasi 26 kali/menit dan suhu badan 36,6 derajat celsius. Pada
pemeriksaan thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada
barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas
tambahan berupa rhonki dan wheezing.
38
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti sesak
yang progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) dan bertambah
berat dengan aktivitas serta persistent (menetap sepanjang hari), batuk kronik
yang hilang timbul, bisa disertai dahak dan mungkin tidak berdahak serta riwayat
terpajan faktor resiko, terutama asap rokok. debu dan bahan kimia di tempat kerja,
dan berbagai bahan iritan lainnya. Pada pemeriksaan fisik, pada inspeksi dapat
ditemukan pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu), barrel
chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding), penggunaan otot
bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai,
penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing)
(gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Sedangkan
pada palpasi, pada emfisema didapatkan fremitus yang melemah dan sela iga
melebar. Pada perkusi, emfisema menunjukkan hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah. Pada
pemeriksaan auskultasi bisa didapatkan suara napas vesikuler normal, atau
melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa. Pada pemeriksaan penunjang dengan menggunakan siprometri,
maka obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Dikatakan mengalami obstruksi apabila % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
39
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian
pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. Pada pemeriksaan radiologi dapat terlihat
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye dro
appearance) pada emfisema, sedangkan pada bronkitis kronik bisa didapatkan
gambaran yang normal atau corakan bronkovaskuler bertambah (pada 21% kasus)
Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk berlendir, dan diketahui
pasien memiliki riwayat merokok 5 bungkus per hari 39 tahun, serta dari hasil
pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada
barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas
tambahan berupa rhonki dan wheezing serta pada pemeriksaan radiologi pada
pasien ini ditemukan corakan bronkovaskuler yang bertambah , maka dapat
disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis, sedangkan untuk derajat penyakitnya, jika dilihat dari gejala klinis, maka
pasien ini masuk dalam PPOK derajat sedang, yaitu gejala sesak mulai dirasakan
saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada
derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Untuk menentukan
derajat penyakit yang pasti dan mengetahui presentasi obstruksi aliran napas,
perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), namun tidak dilakukan pada pasien ini
dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana. Spirometri digunakan untuk
40
mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran napas atau tidak dan seberapa berat
obstruksi yang dialami.
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan onset
biasanya pada usia pertengahan, perkembangan gejala bersifat progresif lambat,
riwayat pajanan seperti merokok polusi udara, sesak saat melakukan aktivitas, dan
hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).
Disingkirkan diferensial diagnosa asma bronkial karena sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami serangan asma, walaupun pasien memiliki riwayat atopi yaitu
sering gatal-gatal saat makan ikan, namun tidak ada riwayat keluarga dengan
asma maupun atopi/alergi. Selain itu pada asma biasanya serangan dicetuskan
oleh suatu pemicu (alergen, iritan, latihan fisik, emosi), terjadi episode akut yang
dipisahkan oleh episode bebas gejala, dan episode nokturna umum terjadi. Selain
itu, asma biasanya muncul pada onset usia muda, dan obstruksi bersifat reversibel.
Onset PPOK biasanya pada usia pertengahan dengan gejala progresif lambat,
sesak saat aktivitas, dan sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel;
sedangkan asma onsetnya biasa awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari
ke hari, terutama pada malam / menjelang pagi disertai alergi, rinitis atau eksim,
riwayat keluarga dengan asma dan sebagian besar keterbatasan aliran udara
reversibel
Disingkirkan DD TB paru karena batuk tidak disertai darah, tidak terdapat
penurunan berat badan, dan tidak ada keluhan berkeringat malam hari dan juga
tidak ada riwayat penggunaan OAT. Penyakit paru obstruksi kronis merupakan
penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam
41
42
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Pasien ini diberikan
oksigen 4-6 L/menit bertujuan untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas,
mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi
hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup.
Obat-obatan yang diberikan pada PPOK adalah bronkodilator yang
diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau
obat berefek panjang (long acting.) Yang diberikan pada pasien ini adalah
nebulizer combivent yang berisi ipatropium bromida ((golongan antikolinergik)
dan salbutamol sulfat (2-agonis) yang bersifat short acting dan bertujuan sebagai
bronkodilator utama pada PPOK. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah
penderita.
Selanjutnya
pasien
ini
diberikan
N-ace
(N-
43
44
hiperplasia. Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di
saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler
paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi
paru sehingga terjadi pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor
pulmonale). Diuretika diberikan pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal
jantung kanan atau kelebihan cairan. Pada pasien ini didapatkan JVP yang
meningkat yaitu 5+3. Peningkatan tekanan vena jugular dan pitting edema
pergelangan kaki merupakan temuan yang berguna untuk memperkirakan kor
pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena jugularis seringkali sulit
dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam tekanan intratorakal.
Diagnosis korpulmonal dapat melalui sejumlah pemeriksaan diantaranya
radiografi, elektrokardiografi, ekokardiografi, skintigrafi radionukleotida, dan
pencitraan resonansi magnetik (MRI).
45
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus dengan PPOK eksaserbasi akut pada
seorang laki-laki umur 74 tahun. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis sebagai PPOK. Penatalaksanaan
yang diberikan berupa oksigen 4-6 lpm nasal canul, IVFD RL 20 tpm, nebulasi
combivent/12 jam, injeksi ceftriaxone 2x1 gr/iv, metylprednisolon 2x62,5 mg, Nace 2x1 ampul, dan furosemide 1x1. Pemilihan obat dan dosis dalam pengobatan
yang diberikan sesuai dengan teori yang ada. Prognosis dari PPOK cukup buruk,
karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara permanen dan akan bertambah
buruk apabila ditambah beratnya obstruksi, adanya kor pulmonale ataupun gagal
jantung kongestif. Saran, sebaiknya pada pasien ini dilakukan uji spirometri untuk
mengetahui derajat PPOK.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). In: Tim Kelompok POKJA PPOK,
editor. Edisi II. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
2. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide To
COPD Diagnosis, Management And Prevention [Internet]. Global Intiative
For Chronic Obstructive Lung Disease. 2016 [cited 2016 Apr 17]. Available
from:
http://www.goldcopd.org/guidelines-pocket-guide-to-copd-
diagnosis.html
3. Oemiati, Ratih. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK). Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. 2013. Jakarta,
Indonesia
4. Kusumawati, Risala. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2013.
Surakarta, Indonesia
5. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy For
The Diagnosis Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease [Internet]. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung
Disease.
2016
[cited
2016
Apr
17]..
Available
from:
http://www.goldcopd.org/guidelines-global-strategy-for-diagnosismanagement.html
6. Maitra A, Kumar V. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL, editors. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. New York: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007. p. 51421.
7. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing - Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2009. p. 22278.
47