Anda di halaman 1dari 29

GANGGUAN TERKAIT ALKOHOL

Pembimbing :
dr. Satya Joewana, Sp.KJ
Disusun Oleh:
Jennifer D.M. Ohee (2014-061-036)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
30 November 2015 10 Januari 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan kasih karuniaNya, penulisan referat dengan judul Gangguan Terkait Alkohol dapat diwujudkan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Satya Joewana, Sp.KJ atas bimbingan dan saran
Beliau selama penulisan referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan referat ini.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu, segala saran atau kritik yang
membangun akan dijadikan sebagai pemacu untuk membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir
kata, penulis berharap semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 03 Januari 2016

................................................
Penulis

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

I.

DEFINISI
Gangguan terkait alkohol merupakan suatu gangguan yang ditimbulkan dari
konsumsi alkohol yang berlebihan yang menimbulkan perubahan kesadaran, perilaku,

II.

dan gejala intoksikasi.


EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi penduduk Indonesia umur 15 tahun ke
atas yang minum alkohol 1 bulan terakhir 4,9% pada laki-laki, 0,3% pada perempuan dan
2,5% pada keduanya. Prevalensi penduduk perkotaan yang minum alkohol tertinggi pada
provinsi Riau, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Papua Barat dan
Papua. Prevalensi penduduk pedesaan yang minum alkohol tertinggi pada provinsi
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi
1

Selatan, Gorontalo, dan Maluku utara. Jenis alkohol yang dikonsumsi oleh penduduk
laki-laki 15 tahun ke atas dalam 1 bulan terakhir adalah bir 24,7%, likuor (whiskey,
III.

vodka dll) 9,7%, wine 22,5% dan alkohol tradisional 43,1%.


ETIOLOGI
A. Riwayat Masa Kanak-Kanak
Peneliti telah mengidentifikasi sejumlah faktor dari riwayat masa kanakkanak seseorang yang kemudian mengalami gangguan terkait alkohol serta pada
anak yang berisiko tinggi mengalami gangguan gangguan terkait alkohol karena
salah satu atau kedua orang tuanya mengalami gangguan tersebut. Pada studi
eksperimental, anak yang berisiko tinggi untuk gangguan terkait alkohol, secara
rata-rata ditemukan memiliki kisaran defisit pada uji neurokognitif, amplitudo
gelombang P300 ysng rendah pada uji evoked potential, serta berbagai
abnormalitas rekaman elektroensefalogram (EEG). Temuan ini menduga bahwa
fungsi otak biologis yang diturunkan dapat menjadi predisposisi seseorang untuk
mengalami gangguan terkait alkohol. Riwayat masa kanak-kanak dengan
gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas atau gangguan perilaku atau
keduanya meningkatkan risiko seorang anak mengalami gangguan terkait alkohol
ketika dewasa. Gangguan kepribadian juga menpredisposisikan seseorang
mengalami gangguan terkait alkohol.
B. Teori Psikodinamik
Teori psikodinamik tentang gangguan terkait alkohol berpusat pada
hipotesis mengenai superego yang terlalu keras dan fiksasi pada fase oral
perkembangan psikoseksual. Menurut teori psikoanalitik, orang dengan superego
keras yang menghukum diri berpaling ke alkohol sebagai cara mengurangi stres
dibawah sadar. Ansietas pada orang yang terfiksasi pada fase oral dapat diredakan
dengan mengonsumsi zat, misalnya alkohol, dengan mulut. Beberapa psikiater
1

psikodinamik menggambarkan kepribadian umum orang dengan gangguan terkait


alkohol sebagai seorang pemalu, penyendiri, tidak sabaran, iritabel, cemas,
hipersensitif, dan terepresi secara seksual. Menurut aforisme psikoanalitik umum,
superego terlarut dalam alkohol. Pada tingkat yang tidak terlalu teoritis, alkohol
mungkin disalahgunakan sebagian orang untuk mengurangi ketegangan, ansietas,
dan nyeri psikis. Konsumsi alkohol juga dapat menimbulkan perasaan berkuasa
dan peningkatan harga diri.
C. Teori Sosiokultural
Beberapa situasi sosial biasanya mengarah ke minum berlebihan. Asrama
perguruan tinggi dan basis militer merupakan dua contoh; dalam situasi ini,
minum secara sering dan berlebihan sering dianggap normal dan diharapkan
secara sosial. Beberapa kelompok etnik dan budaya lebih ketat dibanding yang
lain terhadap konsumsi alkohol. Contohnya, bangsa Asia dan Protestan
konservatif lebih jarang mengonsumsi alkohol dibanding Protestan liberal dan
Katolik.
D. Faktor Perilaku dan Pembelajaran
Seperti halnya faktor budaya dapat memengaruhi kebiasaan minum, begitu
pula kebiasaan dalam satu keluarga, khususnya, kebiasaan minum orang tua.
Namun, sejumlah bukti mengindikasikan bahwa kebiasaan minum dalam keluarga
yang memengaruhi kebiasaan minum anak-anaknya tidak terlalu berkaitan
langsung dengan timbulnya gangguan terkait alkohol dibanding yang diperkirakan
sebelumnya. Dari sudut pandang perilaku, aspek penguatan positif dari alkohol
dapat penginduksi perasaan sehat dan euphoria serta dapat mengurangi rasa takut
dan ansietas, yang dapat mendorong untuk minum lebih lanjut.
E. Teori Genetik
1

Teori biologis dengan dukungan terbaik tentang alkoholisme berpusat


pada genetika. Salah satu temuan yang mendukung kesimpulan genetic adalah
risiko mengalami masalah alkohol serius tiga sampai empat kali lipat lebih tinggi
pada kerabat dekat seorang alkoholik. Angka masalah alkohol meningkat seiring
dengan bertambah banyaknya jumlah kerabat yang alkoholik, keparahan penyakit
mereka, serta kedekatan hubungan genetik dengan orang yang diteliti.
IV.

EFEK ALKOHOL
A. Absorpsi
Sekitar 10 persen alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi melalui lambung,
sisanya melalui usus halus. Konsentrasi puncak alkohol dalam darah tercapai
dalam 30 sampai 90 menit dan biasanya dalam 45 sampai 60 menit, bergantung
apakah alkohol dikonsumsi dalam keadaan perut kosong (meningkatkan absorpsi)
atau dengan makanan (menunda absorpsi). Waktu untuk mencapai konsentrasi
puncak dalam darah juga bergantung pada jangka waktu mengonsumsi alkohol;
minum dengan cepat mengurangi waktu untuk mencapai konsentrasi puncak;
minum secara lambat meningkatkannya. Absorpsi paling cepat pada minuman
yang mengandung 15 sampai 30 persen alkohol (30 sampai 60 persen proof).
Tubuh memiliki alat pelindung terhadap pembanjiran oleh alkohol.
Misalnya, jika konsentrasi alkohol di lambung terlalu tinggi, mukus disekresi, dan
katup pilorik menutup. Aksi ini memperlambat absorpsi dan mencegah alkohol
masuk ke usus halus, yang tidak memiliki hambatan absorpsi yang signifikan.
Dengan demikian, sejumlah besar alkohol dapat tetap tak diabsorpsi dalam
lambung selama berjam-jam. Lebih lanjut, spasme pilorus sering menyebabkan
mual dan muntah. Sekali diabsorpsi dalam aliran darah, alkohol akan
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Karena alkohol secara menyeluruh
1

terlarut dalam cairan tubuh, jaringan yang mengandung proporsi air yang lebih
tinggi mendapat alkohol dalam konsentrasi tinggi. Efek intoksikasi lebih besar
ketika konsentrasi alkohol meningkat dibanding bila sedang menurun (efek
Mellanby). Atas alasan ini, laju absorpsi secara langsung berhubungan dengan
respon intoksikasi.
B. Metabolisme
Sekitar 90 persen alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi
di hepar; 10 persen sisanya dieksresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan
paru. Laju oksidasi oleh hepar konstan dan tidak dipengaruhi kebutuhan energi
tubuh. Tubuh dapat memetabolisasi sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran
antara 10 sampai 34 mg/dL per jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi alkohol
berlebihan,peningkatan enzim yang diperlukan mengakibatkan metabolisme
alkohol cepat.
Alkohol dimetabolisasi oleh dua enzim yaitu alkohol dehydrogenase
(ADH) dan aldehid dehydrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol
menjadi asetaldehid, yang merupakan senyawa toksik; aldehid dehydrogenase
mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Aldehid dehydrogenase
diinhibisi oleh disulfiram (Antabuse), yang sering digunakan dalam penanganan
gangguan terkait alkohol. Sejumlah studi menunjukkan bahwa wanita memiliki
kandungan ADH dalam darah yang lebih sedikit dibanding pria; fakta ini mungkin
menyebabkan kecenderungan wanita untuk menjadi lebih terintoksikasi dibanding
pria setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim
yang memetabolisasi alkohol pada beberapa orang Asia juga dapat menyebabkan
mudahnya mengalami intoksikasi dan gejala toksik.
C. Efek pada Otak

Biokimiawi. Alkohol menimbulkan efek dengan menyisipkan diri ke dalam


membrane dan dengan demikian meningkatkan fluiditas membran pada
penggunaan jangka pendek. Namun dengan penggunaan jangka panjang, teori
tersebut berhipotesis bahwa membrane menjadi lebih rigid atau kaku. Fluiditas
membrane penting agar reseptor, kanal ion, dan protein fungsional terikat
membrane lain dapat berfungsi normal. Aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan
reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A (GABAA)
ditingkatkan oleh alkohol, sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan
reseptor glutamate dan kanal kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.
Efek Perilaku. Sebagai hasil bersih dari aktivitas molekuler, alkohol berfungsi
sebagai depresan seperti halnya barbiturate dan golongan benzodiazepine, yag
dengan kedua zat ini, alkohol memiliki beberapa toleransi silang dan dependensi
silang. Pada kadar alcohol 0,05 persen dalam darah, isi pikir, daya nilai, dan
pengendalian melonggar dan kadang-kadang terganggu. Pada konsentrasi 0,1
persen, gerakan motorik volunter biasanya tampak kikuk. Pada sebagian besar
negara bagian, intoksikasi legal berkisar dari 0,1 sampai 0,15 persen kadar
alkohol darah. Pada kadar 0,2 persen, fungsi seluruh area motorik otak terlihat
mengalami penurunan, dan bagian otak yang mengendalikan perilaku emosional
juga terganggu. Pada 0,3 persen, seseorang biasanya menjadi gaduh gelisah atau
mengalami stupor; pada 0,4 sampai 0,5 persen, orang akan jatuh ke dalam
keadaan koma. Pada kadar yang lebih tinggi, pusat primitif di otak yang
mengontrol pernapasan dan denyut jantung akan terpengaruh, dan kematian
menyusul sekunder terhadap depresi napas langsung atau aspirasi muntahan.
Namun, orang dengan riwayat penyalahgunaan alkohol jangka lama dapat
1

menoleransi konsentrasi alcohol yang jauh lebih tinggi dibanding orang tidak
pernah mengonsumsi alkohol; toleransi alkohol mereka dapat menyebabkan
mereka seolah tampak tidak terlalu terintoksikasi dibanding sebenarnya.
Efek Tidur. Meski alkohol yang dikonsumsi pada malam hari biasanya
meningkatkan kemudahan untuk jatuh tertidur (penurunan latensi tidur), alkohol
juga memiliki efek samping pada arsitektur tidur. Secara spesifik, penggunaan
alcohol dikaitkan dengan penurunan tidur rapid eye movement (REM atau tidur
bermimpi) dan tidur dalam (stadium 4) serta lebih banyak fragmentasi tidur,
dengan episode terbangun yang lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena itu,
gagasan bahwa minum alkohol dapat membantu seseorang untuk tidur adalah
sebuah mitos.
Efek Fisiologis Lain
Hepar. Efek samping utama penggunaan alkohol berkaitan dengan kerusakan
hepar. Penggunaan alkohol, bahkan sesingkat episode peningkatan minum
seminggu penuh, dapat mengakibatkan akumulasi lemak dan protein, yang
menyebabkan timbulnya perlemakan hati, yang kadang ditemukan pada
pemeriksaan fisik sebagai pembesaran hepar. Hubungan antara infiltrasi lemak
pada hepar dan kerusakan hepar yang serius masih belum jelas. Namun,
penggunaan alkohol dikaitkan dengan timbulnya hepatitis alkoholik dan sirosis
hepatis.
Sistem gastrointestinal. Minum-minum berat dalam jangka panjang dikaitkan
dengan timbulnya esophagitis, gastritis, akhlorhidria, dan tukak lambung.
Timbulnya varises esofagus dapat menyertai penyalahgunaan alkohol terutama
yang berat; ruptur varises merupakan suatu kedaruratan medis yang sering
menyebabkan kematian akibat eksanguinasi. Gangguan pada usus halus sesekali

terjadi, dan pankreatitis, insufisiensi pankreas, serta kanker pankreas juga


dikaitkan dengan penggunaan alkohol berat. Asupan alkohol berat dapat
mengganggu proses normal pencernaan dan absorpsi makanan; akibatnya
makanan yang dikonsumsi kurang adekuat dicerna. Penyalahgunaan alkohol
tampaknya juga menghambat kapasitas usus halus menyerap berbagai nutrient,
seperti vitamin dan asam amino. Efek ini, bersama dengan kebiasaan makan yang
sering kali buruk pada mereka dengan gangguan terkait alkohol, dapat
mengakibatkan defisiensi vitamin yang serius terutama vitamin B.
Sistem Tubuh Lain. Konsumsi alkohol yang signifikan telah dikaitkan dengan
peningkatan tekanan darah, disregulasi metabolism lipoprotein dan trigliserida,
serta peningkatan risiko infark miokardium dan penyakit serebrovaskular. Alkohol
terbukti memengaruhi jantung pada orang non alkoholik yang tidak biasa minum,
meningkatkan curah jantung istirahat, frekuensi denyut jantung, dan konsumsi
oksigen miokardium. Bukti mengindikasikan bahwa konsumsi alkohol dapat
secara simpang memengaruhi sistem hematopoietik serta meningkatkan insiden
kanker, terutama kanker kepala, leher, esofagus, lambung, hepar, kolon, dan paru.
Intoksikasi akut juga dapat dikaitkan dengan hipoglikemia, yang bila tidak
terdeteksi, dapat menyebabkan kematian mendadak pada orang yang mengalami
intoksikasi. Kelemahan otot merupakan efek samping lain alkoholisme. Konsumsi
alkohol dapat meningkatkan konsentrasi estradiol darah pada wanita. Peningkatan
estradiol berkorelasi dengan kadar alkohol darah.
D. Interaksi Obat
Interaksi antara alkohol dan zat lain dapat berbahaya, bahkan fatal. Zat
tertentu seperti alkohol dan fenobarbital (Luminal) dimetabolisme oleh hepar dan
penggunaan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan akselerasi
1

metabolismenya. Bila orang dengan gangguan terkait alkohol sedang tidak


mabuk, metabolisme yang dipercepat ini membuat mereka luar biasa toleran
terhadap banyak obat seperti sedatif dan hipnotik; namun ketika mereka
terintoksikasi, obat ini bersaing dengan alkohol untuk mekanisme detoksifikasi
yang sama dan konsentrasi semua zat yang terlibat yang potensial toksik dapat
terakumulasi dalam darah.
Efek alkohol dan depresan sistem saraf pusat (SSP) lain biasanya
sinergistik. Sedatif, hipnotik, dan obat yang meredakan nyeri, mabuk perjalanan,
sakit kepala karena flu, dan gejala alergi harus digunakan dengan hati-hati pada
orang dengan gangguan terkait alkohol. Narkotika mendepresi area sensorik
korteks serebri dan dapat menyebabkan nyeri mereda, sedasi, apati, mengantuk,
dan tidur; dosis tinggi dapat mengakibatkan gagal napas dan kematian.
Peningkatan dosis obat hipnotik-sedatif seperti kloral hidrat (Noctec) dan
golongan benzodiazepine, terutama bila dikombinasikan dengan alkohol,
menimbulkan kisaran efek dari sedasi hingga hendaya motorik dan intelektual
sampai stupor, koma dan kematian. Karena sedatif dan obat psikotropika lain
V.

dapat meningkatkan potensi efek alkohol.


Kriteria Diagnosis
Gangguan Terkait Alkohol Menurut DSM IV-TR
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan terinduksi alkohol
Intoksikasi alkohol
Keadaan putus alkohol
Tentukan apakah :
Dengan gangguan persepsi
Delirium pada intoksikasi alkohol
Delirium pada putus alkohol
1

Demensia persisten terinduksi alkohol


Gangguan amnesik persisten terinduksi alkohol
Gangguan psikotik terinduksi alkohol, dengan waham
Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Dengan onset saat putus zat

Gangguan psikotik terinduksi alkohol, dengan halusinasi


Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Dengan onset saat putus zat
Gangguan mood terinduksi alkohol
Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Dengan onset saat putus zat
Gangguan ansietas terinduksi alkohol
Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Dengan onset saat putus zat
Disfungsi seksual terinduksi alkohol
Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Gangguan tidur terinduksi alkohol
Tentukan apakah :
Dengan onset saat intoksikasi
Dengan onset saat putus zat
Gangguan alkohol yang tidak tergolongkan
1. Intoksikasi alkohol
DSM-IV-TR menetapkan kriteria formal untuk mendiagnosis intoksikasi alkohol:
A. Baru-baru ini mengonsumsi alkohol
B. Perubahan perilaku atau psikologis maladaptive yang secara klinis
bermakna yang tidak pada tempatnya, labilitas mood, daya nilai
terganggu, fungsi sosial atau okupasional terganggu yang timbul selama
atau segera setelah ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut, yang timbul selama atau segera setelah
penggunaan alkohol:
Pembicaraan meracau
Inkoordinasi
1

D. Gejala

Gaya berjalan tidak stabil


Nistagmus
Hendaya atensi atau memori
Stupor atau koma
tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental lain.


Intoksikasi alkohol bukan suatu kondisi sepele dan pada kondisi ekstrem,
dapat mengakibatkan koma, depresi napas, dan kematian akibat henti napas atau
karena aspirasi muntahan. Keparahan gejala intoksikasi alkohol secara kasar
berhubungan dengan konsentrasi alkohol dalam darah, yang mencerminkan
konsentrasi alkohol di otak. Pada awitan intoksikasi alkohol, beberapa orang
menjadi banyak omong dan suka berkumpul; yang lain menjadi menarik diri dan
merajuk atau berkelahi. Sejumlah pasien menunjukkan labilitas mood dengan
episode intermiten tertawa dan menangis. Orang tersebut mungkin menunjukkan
toleransi jangka pendek terhadap alkohol dan tampak tidak terlalu terintoksikasi
setelah menghabiskan banyak jam minum dibanding setelah hanya beberapa jam.

2. Keadaan Putus Alkohol


Keadaan putus alkohol, bahkan tanpa delirium, dapat menjadi serius dan
mencakup kejang serta hiperaktivitas otonom. Kondisi yag dapat menjadi
predisposisi atau memperberat gejala putus zat meliputi kelelahan, malnutrisi,
penyakit fisik, dan depresi. Kriteria DSM-IV-TR untuk keadaan putus alkohol
yaitu :
A. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan alkohol yang sebelumnya berat
dan berkepanjangan

B. Dua (atau lebih) hal berikut, yang timbul dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
Hiperaktivitas otonom (cth, berkeringat atau frekuensi denyut jantung

C. Gejala

lebih dari 100)


Peningkatan tremor tangan
Insomnia
Mual atau muntah
Halusinasi atau ilusi visual, taktil, atau auditorik sesaat
Agitasi psikomotor
Ansietas
Kejang grand mal
pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara

klinis bermakna dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting
lain
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Tentukan apakah :
Dengan gangguan persepsi
Tanda klasik keadaan putus alkohol adalah gemetar. Gemetar (biasanya
disebut goncangan atau gugup) muncul 6 sampai 8 jam setelah
penghentian minum dan delirium tremens setelah 72 jam. Sindrom putus zat
terkadang melompati urutan yang biasa dan, contohnya, langsung terjadi DT.
Tremor pada putus alkohol dapat serupa dengan tremor fisiologis. Gejala
putus zat lain meliputi iritabilitas umum, gejala gastrointestinal (contohnya
mual dan muntah), dan hiperaktivitas otonom simpatis, termasuk ansietas,
arousal, berkeringat, muka memerah, midriasis, takikardia dan hipertensi
ringan. Pasien yang mengalami putus alkohol biasanya secara umum waspada
tetapi dapat dengan mudah dikagetkan.
3. Delirium

DSM IV-TR mencantumkan kriteria diagnosis delirium akibat intoksikasi


alkohol dalam kategori delirium akibat intoksikasi zat dan kriteria diagnosis
delirium pada keadaan putus alkohol dalam kategori delirium pada putus zat.
Kriteria diagnosis delirium akibat intoksikasi zat sebagai berikut :
A. Disturbance of consciousness (i.e., reduced clarity of awareness of the
environment) with reduced ability to focus, sustain, or shift attention.
B. A change in cognition (such asmemory deficit, disorientation, language
disturbance) or the development of a perceptual disturbance that is not
better acoounted for by preexisting, established, or evolving dementia.
C. The disturbance develops over a short period of time (usually hours to
days) and tends to fluctuate during the course of the day.
D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings or either (1) or (2) :
1) The symptoms is Criteria A and B developed during substance
intoxication
2) Medication use is etiologically related to the disturbance
Kriteria diagnosis delirium pada keadaan putus zat sebagai berikut :
A. Disturbance of consciousness (i.e., reduced clarity of awareness of the
environment) with reduced ability to focus, sustain, or shift attention.
B. A change in cognition (such asmemory deficit, disorientation, language
disturbance) or the development of a perceptual disturbance that is not
better acoounted for by preexisting, established, or evolving dementia.
C. The disturbance develops over a short period of time (usually hours to
days) and tends to fluctuate during the course of the day.
D. There is evidence from history, physical examination, or laboratory
findings that the symptoms in criteria A and B developed during, or
shortly after, a withdrawal syndrome.

4. Demensia Persisten Terinduksi Alkohol


Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. The development of multiple cognitive deficits manifested by both
1) Memory impairment (impaired ability to learn new information or
to recall previously learned information)
2) One (or) more of the following cognitive disturbances :
a) Aphasia (language disturbance)
b) Apraxia (impaired ability to carry out motor activities
despite intact motor function)
c) Agnosia (failure to recognize or identify objects despite
intact sensory function)
d) Disturbance in executive functioning (i.e. planning,
organizing, sequencing, abstracting)
B. The cognitive ddeficits in criteria A1 and A2 each cause significant
impairment in social or occupational functioning and represent a
significant decline from a previous level of functioning
C. The deficits do not occur exclusivel during the course of a delirium and
persist beyond the usual duration of substance intoxication or withdrawal
D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings that the deficits are etiologically related to the persisting effects
of substance use (e.g., a drug of abuse, a medication).
5. Gangguan Amnestik Persisten Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. The development of memory impairment as manifested by impairment in
the ability to learn new information or the inability to recall previously
learned information
B. The memory disturbance causes significant impairment in social or
occupational functioning and represents a significant decline from a
previous level of functioning

C. The memory disturbance does not occur exclusively during the course of a
delirium or a dementia and persists beyond the usual duration of
substance intoxication or withdrawal.
D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings that the memory disturbance is etiologically related to persisting
effects of substance use (e.g., a drug of abuse, a medication)
6. Gangguan Psikotik Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. Prominent hallucinations or delucions
B. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings of either (1) or (2) :
1) The symptoms in criterion A developed during, or within a month
of, substance intoxication or withdrawal
2) Medication use is etiologically related to the disturbance
C. The disturbance is not better accounted for by a psychotic disorder that is
not substance induced. Evidence that the symptoms are better accounted
for by a psychotic disorder that is not substance induced might include
following : the symptoms precede the onset of the substance use
(medication use); the symptoms persist for a substantial period time (e.g.,
about a month) after the cessation of acute withdrawal or severe
intoxication, or are substantially in excess of what would be expected
given the type or amount of the substance used or the duration of use; or
there is other evidence that suggest te existence of an independent nonsubstance-induced psychotic
D. The disturbance does not occur exclusively during the course of a delirium
7. Gangguan Mood Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. A prominent and persistent disturbance in mood predominates in the
clinical picture ad is characterized by either (or both) of the following :

1) Depressed mood or markedly diminished interest or pleasure in all,


or almost all, activities
2) Elevated, expansive, or irritable mood
B. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings of either (1) or (2) :
1) The symptoms in criterion A developed during, or within a month
of, substance intoxication or withdrawal
2) Medication use is etiologically related to the disturbance
C. The disturbance is not better accounted for by mood disorder that is not
substance induced. Evidence that the symptoms are better accounted for
by a mood disorder that is not substance induced might include following :
the symptoms precede the onset of the substance use (medication use); the
symptoms persist for a substantial period time (e.g., about a month) after
the cessation of acute withdrawal or severe intoxication, or are
substantially in excess of what would be expected given the type or amount
of the substance used or the duration of use; or there is other evidence
that suggest te existence of an independent non-substance-induced mood
disorder.
D. The disturbance does not occur exclusively during the course of a
delirium
E. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social,
occupational, or other important areas of functioning
8. Gangguan Ansietas Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. Prominent anxiety, panic attacks, or obsession or compulsions
predominate in the clinical picture
B. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings of either (1) or (2) :

1) The symptoms in criterion A developed during, or within a month


of, substance intoxication or withdrawal
2) Medication use is etiologically related to the disturbance
C. The disturbance is not better accounted for by anxiety disorder that is not
substance induced. Evidence that the symptoms are better accounted for
by a anxiety disorder that is not substance induced might include
following : the symptoms precede the onset of the substance use
(medication use); the symptoms persist for a substantial period time (e.g.,
about a month) after the cessation of acute withdrawal or severe
intoxication, or are substantially in excess of what would be expected
given the type or amount of the substance used or the duration of use; or
there is other evidence that suggest te existence of an independent nonsubstance-induced anxiety disorder.
D. The disturbance does not occur exclusively during the course of a delirium
E. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social,
occupational, or other important areas of functioning
9. Desfungsi Seksual Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. Clinically significant sexual dysfunction that results in marked distress or
interpersonal difficulty predominates in the clinical picture
B. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings that sexual dysfunction is fully explained by substance use as
manifested by either (1) or (2) :
1) The symptoms in criterion A developed during, or within a month
of, substance intoxication
2) Medication use is etiologically related to the disturbance
C. The disturbance is not better accounted for by sexual dysfunction that is
not substance induced. Evidence that the symptoms are better accounted
for by a sexual dysfunction that is not substance induced might include
1

following : the symptoms precede the onset of the substance use


(medication use); the symptoms persist for a substantial period time (e.g.,
about a month) after the cessation of acute withdrawal or severe
intoxication, or are substantially in excess of what would be expected
given the type or amount of the substance used or the duration of use; or
there is other evidence that suggest te existence of an independent nonsubstance-induced sexual dysfunction .
10. Gangguan Tidur Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
A. A prominent disturbance in sleep that is sufficiently severe to warrant
independent clinical attention
B. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory
findings of either (1) or (2) :
1) The symptoms in criterion A developed during, or within a month
of, substance intoxication or withdrawal
2) Medication use is etiologically related to the sleep disturbance
C. The disturbance is not better accounted for by sleep disorder that is not
substance induced. Evidence that the symptoms are better accounted for
by a sleep disorder that is not substance induced might include following :
the symptoms precede the onset of the substance use (medication use); the
symptoms persist for a substantial period time (e.g., about a month) after
the cessation of acute withdrawal or severe intoxication, or are
substantially in excess of what would be expected given the type or amount
of the substance used or the duration of use; or there is other evidence
that suggest te existence of an independent non-substance-induced sleep
disorder
D. The disturbance does not occur exclusively during the course of a delirium

E. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social,


occupational, or other important areas of functioning
11. Gangguan Terkait Penggunaan Alkohol yang Tak Tergolongkan
Kriteria diagnosis sebagai berikut :
The alcohol-related disorder not otherwise specified category is for disorders
associated with the use of alcohol that are not classifiable as alcohol dependence,
alcohol abuse, alcohol intoxication delirium, alcohol withdrawal delirium,
alcohol-induced persisting dementia, alcohol-induced persisting amnestic
disorder, alcohol-induced psychotic disorder, alcohol-induced mood disorder,
alcohol-induced anxiety disorder, alcohol-induced sexual dysfunction, or alcoholinduced sleep disorder.
VI.

TATALAKSANA
A. Intervensi
Tujuan pada tahap ini, yang disebut juga konfrontasi, adalah memutus rasa
penyangkalan dan membantu pasien mengenal konsekuensi simpang yang akan
terjadi jika gangguan ini tidak diobati. Intervensi, sebagai suatu proses, bertujuan
memaksimalkan motivasi terapi dan abstinensi berkelanjutan.
Keluarga dapat sangat membantu dalam intervensi. Anggota keluarga
harus belajar untuk tidak melindungi pasien dari masalah yang disebabkan
alkohol; bila tidak, pasien mungkin tidak mampu mengumpulkan energy dan
motivasi yang diperlukan untuk berhenti minum. Selama tahap intervensi,
keluarga juga dapat menyarankan pasien untuk menemui orang yang telah
sembuh dari alkoholisme, dan kelompok pendukung alkohol. Kelompok
pendukung untuk keluarga tersebut bertemu pada banyak kesempatan dalam satu
minggu dan membantu anggota keluarga serta teman untuk melihat bahwa mereka
tidak sendiri dalam rasa takut, khawatir dan rasa bersalah. Para anggota berbagi

strategi penyelesaian masalah dan membantu satu sama lain untuk menemukan
sumber di komunitas. Kelompok tersebut dapat sangat berguna dalam membantu
anggota keluarga membangun kembali hidup mereka, bahkan bila alkoholik
tersebut menolak untuk mencari bantuan.
B. Detoksifikasi
Sebagian besar orang dengan ketergantungan alkohol memiliki gejala
yang relatif ringan bila mereka berhenti minum. Jika kesehatan pasien relatif baik,
nutrisi adekuat, dan memiliki sistem dukungan sosial yang baik, sindrom putus
depresan biasanya merupai kasus flu ringan.
Langkah penting pertama detoksifikasi adalah pemeriksaan fisik
menyeluruh. Bila tidak ada gangguan medis serius atau penyalahgunaan obat
gabungan, keadaan putus alkohol yang berat jarang terjadi. Langkah kedua adalah
memberi istirahat, nutrisi adekuat, dan vitamin multipel, terutama mengandung
tiamin.
C. Rehabilitasi
Bagi sebagian besar pasien, rehabilitasi mencakup tiga komponen utama
yaitu : (1) upaya berkelanjutan untuk meningkatkan dan mempertahankan kadar
motivasi abstinensi yang tinggi, (2) bekerja membantu pasien menyesuaikan
kembali ke gaya hidup bebas alkohol, dan (3) pencegahan relaps. Oleh karena
langkah ini dilaksanakan dalam konteks sindrom putus zat dan krisis hidup yang
akut dan berlarut-larut, penanganan membutuhkan presentasi berulang materi
serupa yang mengingatkan pasien pentingnya abstinensi serta yang membantu
pasien mengembangkan sistem pendukung dari hari ke hari dan gaya penyelesaian
masalah yang baru.
Pendekatan penanganan umum yang sama digunakan pada situasi rawat
inap dan rawat jalan. Pemilihan metode rawat inap yang intensif dan lebih mahal

sering kali bergantung pada bukti adanya sindrom psikiatri atau medis yang berat,
tidak adanya kelompok dan fasilitas rawat jalan yang dekat dan sesuai, serta
riwayat pasien gagal pada perawatan rawat jalan. Proses penanganan pada situasi
manapun mencakup intervensi, optimalisasi fungsi fisik dan psikologis,
meningkatkan motivasi, menjangkau keluarga, dan menggunakan 2 sampai 4
minggu pertama perawatan sebagai periode intensif pertolongan. Upaya tersebut
harus diikuti sekurangnya 3 sampai 6 bulan perawatan rawat jalan yang lebih
jarang. Perawatan rawat jalan menggunakan kombinasi konseling individual dan
kelompok, penghindaran obat psikotropika kecuali dibutuhkan untuk gangguan
independen.
1. Konseling
Upaya konseling dalam beberapa bulan pertama sebaiknya
berfokus pada isu kehidupan hari ke hari untuk membantu pasien
mempertahankan kadar motivasi abstinensi yang tinggi serta meningkatkan
fungsi mereka. Teknik psikoterapi yang memprovokasi ansietas atau yang
membutuhkan tilikan mendalam tidak terbukti menguntungkan pada
bulan-bulan pertama pemulihan dan setidanyaknya secara teoritis, justru
dapat mengganggu upaya mempertahankan abstinensi.
Konseling dan terapi dapat dilaksanakan pada individu atau
kelompok; sedikit data mengindikasikan salah satu pendekatan superior
dibanding yang lain. Untuk mengoptimalkan motivasi, sesi terapi
sebaiknya menggali konsekuensi minum-minum, kemungkinan perjalanan
masalah kehidupan terkait alkohol selanjutnya, dan perbaikan nyata yang
diharapkan dengan abstinensi. Baik pada situasi rawat inap maupun rawat
jalan, konseling individu atau kelompok biasanya diberkan minimal tiga
1

kali seminggu selama 2 sampai 4 minggu pertama, diikuti upaya yang


tidak terlalu intensif, mungkin sekali seminggu, selama 3 sampai 6 bulan
selanjutnya.
Sebagian besar konseling digunakan untuk membahas bagaimana
membentuk gaya hidup yang bebas alkohol. Diskusi meliputi kebutuhan
akan kelompok sebaya uang tidak mabuk, rencana acara sosial dan
rekreasional tanpa minum-minum, dan pendekatan untuk mengadakan
kembali komunikasi dengan anggota keluarga dan teman.
Komponen utama ketiga, pencegahan relaps,

pertama

mengidentifikasi situasi dengan resiko relaps tinggi. Konselor harus


membantu pasien mengembangkan metode penyelesaian masalah yang
dapat digunakan bila rasa ketagihan alkohol meningkat atau bila ada
peristiwa atau keadaan emosional yang membuat kecenderungan untuk
kembali minum-minum. Bagian penting pencegahan relaps adalah
mengingatkan pasien tentang sikap yang tepat terhadap kesalahan.
Pengalaman jangka pendek dengan alkohol tidak dapat digunakan sebagai
alasan untuk kembali ke kebiasaan minum-minum. Upaya mencapai dan
mempertahankan gaya hidup bebas alkohol bukan suatu permainan
dimana semua keuntungan akan hilang dengan tegukan pertama.
Melainkan, pemulihan adalah suatu proses coba dan salah; pasien
menggunakan kesalahan yang terjadi untuk mengidentifikasi situasi risiko
tinggi serta mengembangkan teknik penyelesaian masalah yang lebih
tepat.
2. Pengobatan

Jika detoksifikasi telah diselesaikan dan pasien bukan termasum 10


sampai 15 persen alkoholik yang memiliki gangguan mood, skizofrenia,
atau gangguan ansietas independen, hanya sedikit bukti yang mendukung
pemberian obat psikotropika untuk penanganan alkoholisme. Kadar
ansietas dan insomnia yang masih menetap sebagai bagian reaksi terhadap
stres kehidupan dan abstinensi memanjang sebaiknya ditangani dengan
pendekatan modifikasi perilaku dan penentraman. Pemberian obat-obatan
untuk gejala ini (termasuk benzodiazepine) cenderung kehilangan
efektivitas lebih cepat dibanding kehilangan insomnia; dengan demikian,
pasien dapat meningkatkan dosis dan mengalami masalah selanjutnya.
Demikian juga, kesedihan dan mood swings dapat menetap pada kadar
rendah

selama

beberapa

bulan.

Namun,

uji

klinis

terkontrol

mengindikasikan tidak ada manfaat dalam memberikan obat antidepresan


atau lithium untuk mengobati rata-rata orang alkoholik yang tidak
memiliki gangguan psikiatri independen atau jangka panjang. Gangguan
mood akan menghilang sebelum obat menunjukkan efek dan pasien yang
kembali minum saat dalam pengobatan menghadapi bahaya potensial yang
signifikan. Dengan sedikit atau tidak ada bukti bahwa obat bersifat efektif,
bahaya penggunaan secara rutin melampaui keuntungan yang mungkin
didapat.
Satu kemungkinan pengecualian terhadap pelarangan penggunaan
obat adalah agen pensensitisasi alkohol disulfiram. Disulfiram diberikan
dalam dosis harian 250mg sebelum pasien dipulangkan dari fase intensif
pertama rehabilitasi rawat jalan atau perawatan rawat inap. Tujuannya
1

adalah menempatkan pasien dalam kondisi dimana jika pasien minum


alkohol akan mempresipitasi reaksi fisik yang tidak menyenangkan,
termasuk mual, muntah, serta rasa terbakar di wajah dan lambung.
Dua intervensi farmakologis tambahan yang menjanjikan telah
diteliti. Yang pertama melibatkan antagonis opioid naltrekson, yang
setidaknyaa secara teoretis dianggap mungkin menurunkan ketagihan
alkohol atau menumpulkan efek menyenangkan dari minuman alkohol.
Obat kedua yang menarik minat, akamprosat digunakan pada dosis sekitar
2.000 mg per hari. Mekanisme kerja akamprosat belum diketahui, tapi
mungkin bekerja langsung atau tidak langsung pada reseptor GABA atau
N-metil-D-aspartat, dengan efek yang mengganggu terjadinya toleransi
atau dependensi fisik terhadap alkohol.
Obat lain yang menjanjikan dalam penanganan alkoholisme adalah
obat anti ansietas non-benzodiazepine buspiron meski efek obat ini
terhadap rehabilitasi alkohol tidak konsisten antar penelitian. Namun,
tidak ada bukti bahwa obat anti depresan seperti inhibitor reuptake
serotonin selektif (SSRI), lithium, atau obat anti psikotik secara signifikan
selektif dalam penanganan alkoholisme.
3. Alcoholic Anonymous (Kelompok Swa Bantu)
Anggota kelompok ini menyediakan bantuan 24 jam sehari,
terhubung dengan kelompok sebaya yang tidak minum, belajar bahwa ia
mungkin dapat berpartisipasi dalam fungsi sosial tanpa minum, serta
diberikan model pemulihan dengan mengamati pencapaian anggota
kelompok yang tidak mabuk. Pembelajaran seperti ini biasanya dimulai
saat rehabilitasi rawat inap atau rawat jalan.

KESIMPULAN DAN SARAN


I.

Kesimpulan
Gangguan terkait alkohol merupakan suatu gangguan yang ditimbulkan dari konsumsi

alkohol yang berlebihan yang menimbulkan perubahan kesadaran, perilaku, dan gejala
intoksikasi. Prevalensi penduduk Indonesia umur 15 tahun ke atas yang minum alkohol 1 bulan
terakhir 4,9% pada laki-laki, 0,3% pada perempuan dan 2,5% pada keduanya. Prevalensi
penduduk perkotaan yang minum alkohol tertinggi pada provinsi Riau, Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Kalimantan Selatan, Papua Barat dan Papua. Prevalensi penduduk pedesaan yang minum
alkohol tertinggi pada provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Maluku utara. Jenis alkohol yang
dikonsumsi oleh penduduk laki-laki 15 tahun ke atas dalam 1 bulan terakhir adalah bir 24,7%,
likuor (whiskey, vodka dll) 9,7%, wine 22,5% dan alkohol tradisional 43,1%.
Etiologi gangguan terkait alkohol dapat disebabkan karena riwayat masa kanak-kanak,
teori psikodinamik, teori sosiokultural, faktor perilaku dan pembelajaran, serta teori genetik.
Untuk diagnosa klinisnya dapat digunakan pedoman dari DSM- IV yang mencakup
intoksikasi alkohol, keadaan putus alkohol, delirium, demensia persisten terinduksi alkohol,
gangguan amnestic persisten terinduksi alkohol, gangguan psikotik terinduksi alkohol, gangguan
mood terinduksi alkohol, gangguan ansietas terinduksi alkohol, disfungsi seksual terinduksi
alkohol, gangguan tidur terinduksi alkohol, dan gangguan terkait penggunaan alkohol yang tak
tergolongkan.

Penanganan dapat diberikan berupa intervensi, detoksifikasi, dan rehabilitasi yang terdiri dari
pemberian medikasi, konseling dan kelompok swa bantu.
II.

Saran
Penelitian mengenai prevalensi penduduk yang konsumsi alkohol belum memadai

sehingga di tahun-tahun mendatang dapat dilakukan penelitian tersebut.


Prevalensi gangguan terkait alkohol di Indonesia belum memadai sehingga perlu
dilakukan pendataan yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadocks Pocket Handbook of Clinical Psychiatry.
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 584 p.
2. American Psychiatric Association: Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4 th ed.
Arlington, VA: American Psychiatric Publishing, 2013.
3. Joewana S. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, edisi 2. Jakarta:
EGC, 2004.
4. Depkes RI. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007. Depkes RI, Jakarta,
2008.

Anda mungkin juga menyukai