Anda di halaman 1dari 2

Wawancara tertulis majalah UMMAT dengan Emha Ainun Najib :

RILEKS SAJALAH MELIHAT PECI SAYA


(Ummat, no 17, 19 Februari 1996)
Setelah ditendang oleh banyak kaki, bola "Islam Yes, Partai Islam Yes",
dikembalikan ke penendang pertamanya. Inilah jawaban tertulis atas
beberapa pertanyaan UMMAT. Dia mengirimkan jawaban ini dari Surabaya,
Jum'at malam pekan lalu.
UMMAT :
Menanggapi "Deklarasi Syahid", sebagian orang mempertanyakan apakah
PPP bisa disebut partai Islam. Karena sejak berlakunya asas tunggal
Pancasila, yang disebut partai Islam itu tidak ada lagi.
MH :
Saya tidak pernah berpkir tentang barang jadi. PPP boleh berubah, lha
wong Orde Baru dan Indonesia saja boleh berubah. Rupanya Anda mengang
gap asas tunggal itu se-maqam dengan Kalimah Syahadat. Rupanya kita
memenjarakan diri di dalam sel-sel yang bernama Negara, Indonesia,
Orba dan lain lain. Kita semua khalifah dari semua itu, di sisi kita
ada Pak Harto, tapi di hadapan kita ada Allah SWT.
Jadi memang saya mendorong PPP untuk tak usah ragu-ragu memakai karak
ter atau kalau perlu wajah Islam. toh PPP ini memakai prinsip akhla
kul karimah dan amar ma'ruf nahi munkar. Manusia boleh jadi 'Muslim',
restoran boleh jadi 'restoran Muslim', partai boleh Islam juga. Toh
kenyataan kultural PPP memang tumbuh bersama dengan kaum Muslimin,
meskipun tidak berarti kaum Muslimin identik dengan PPP. Baju itu kain, meskipun tidak setiap kain itu baju. Bahwa tinggi kemungkinan eks
ploitasi dan manipulasi partai politik atas nilai Islam, itu juga ter
jadi pada apa saja: Pancasila, asas tunggal, demokrasi dan lain-lain.
Tapi itu semua tergantung PPP sendiri. Tahap sekarang saya sedang menilai tingkat kepahaman dan kecerdasan PPP terhadap yang saya maksudkan.
Lemparan bola saya ke PPP memang tidak saya maksudkan untuk berhenti
pada PPP, melainkan agar terus memantul dan merasuk ke umat Islam,
bangsa Indonesia, ke cara berpikir politik kita, ke situasi dewasa ti
daknya pendidikan politik kita.
UMMAT :
Nurcholis Madjid dan beberapa pengamat lain mengatakan, kita tak perlu mendorong-dorong PPP agar menjadi "partai Islam". Sebab kalau itu
terjadi akan merupakan setback. Bahkan bukan tak mungkin mengganggu
hubungan Islam dan negara yang sudah membaik. Tegasnya, pernyataan
Anda itu dinilai kontraproduktif.
MH :
"Islam yes, Partai Islam No"-nya Cak Nur itu benar dan relevan untuk
Indonesia tahun 70-an. Ketika itu Orba menangani sakit pasca G.30.S

dan berbagai trauma terhadap "politik Islam". Jargonnya Cak Nur diper
lukan untuk memberi rasa aman nasional behwa orang Islam bukan ingin
ngamuk dan berkuasa kok. Maka Umat Islam ngalah dan bilang "Okeylah,
saya copot peci dulu, supaya nggak pada miris."
Lha sekarang ini era 90-an. Di satu pihak Islam sudah membuktikan iktikad baik nasionalistiknya, di lain pihak banyak orang Islam ketelan
juran percaya bahwa 'Partai Islam No' itu prinsip dan bukan sekedar
kontekstual-situasional.
Saya tidak setuju yang terakhir ini. Katakan sekarang: "Saya boleh pa
kai peci lagi, ya? Wong yang penting kerja nasionalistik saya kok, bu
kan peci saya. Peci ini hanya saya perlukan agar bisa menjaring ukhuwah politik Islam untuk diajak bareng-bareng membangun Indonesia". To
long rileks sajalah menatap peci saya.
Hubungan baik antara Islam dan Negara? Saya menjawab ini dengan metafor kasus yang saya alami. Suatu saat saya diminta khotbah Idul Fitri
di Yogya. Menjelang saatnya, panitia membatalkan, alasannya "demi men
jaga hubungan baik dengan birokrasi", saya balik tanya: "Yang mana hu
bungan baikknya ?" Mungkin tidak persis betul metafor itu, tapi tolong dipertanyakan kembali soal yang disebut hubungan baik itu. Hubungan baik Islam dengan Negara adalah kalau Islam manut sama Negara,
begitu kira-kira?
UMMAT :
Anda dikritik oleh beberapa pengamat karena pernyataan "Islam Yes,Par
tai Islam Yes" itu tidak punya kerangka konseptual teologis yang jelas dan lebih bersifat spontan saja. Tanggapan Anda?
MH :
Konsep teologi Islam itu sederhana: mau berbuat baik atau tidak, mau
adil atau tidak, mau berbagi atau tidak. Ada ratusan ayat untuk itu.
Soal Negara, sistem politik dan lain-lain itu teknis.
Mau ngomong soal kerangka konseptual teologis Islam tentang politik,
bisa kita pakai Asmaul Husna, bisa pakai teori tujuh langit, bisa pakai ayat yang mana saja, atau cukup Al Fatihah saja -sama dengan kerangka konseptual sepakbola model Alquran. Atau bagaimana kerangka
konseptual teologis jualan jagung bakar- Insya Allah saya upayakan un
tuk saya jelaskan berdasarkan paham awam saya terhadap Alquran dan
dua jenis "wahyu" Allah lainnya.

Anda mungkin juga menyukai