Anda di halaman 1dari 2

Pengaplikasian Pemberian Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Pasien Kegawat-Daruratan

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan upaya pertolongan pertama yang dilakukan
pada pasien tidak sadar dan mengalami henti jantung atau henti nafas. Henti jantung
merupakan kondisi terhentinya aliran darah dalam sistem sirkulasi tubuh secara mendadak
yang diakibatkan oleh penyakit jantung sebesar 82,4%, penyebab internal non jantung
sebesar 8,6% dan penyebab eksternal non jantung sebesar 9,0%. Henti nafas merupakan
suatu keadaan yang ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan
pada pasien (Mansjoer, 2010; Damayanti dkk., 2015).
Terdapat beberapa prinsip utama yang mendasari tindakan RJP sebagai berikut
(Davey, 2005).
1. Ketepatan, yaitu RJP diberikan untuk mengembalikan kualitas hidup pasien. Jika tidak
memungkinkan maka RJP tidak perlu dilakukan. Dasar dilakukan atau tidak dilakukannya
RJP antara lain kemungkinan keberhasilan RJP segera, kemungkinan kualitas hidupnya
dapat kembali dan berlangsung lama, serta keinginan pasien dan keluarga yang harus
dipenuhi.
2. Kecepatan, yaitu tindakan RJP harus dilakukan secepat mungkin setelah terjadi keadaan
henti nafas atau henti jantung. Hal tersebut dikarenakan 3-4 menit setelah terjadi henti
nafas atau henti jantung total maka akan terjadi anoksia jantung yang menghambat
pemulihan.
3. Meminta bantuan tambahan sesegera mungkin
4. Melakukan penilaian jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan sebelum tindakan RJP. Pertama
penolong harus melakukan penilaian respon, airway, breathing dan circulation (ABC).
Penilaian respon pasien dengan cara menepuk bahu korban dan menanyakan dengan suara
lantang. Jika pasien tidak memberikan respon, maka segera membebaskan jalan nafas
(airway) pasien dengan cara head tilt chinlift jika pasien tidak mengalami trauma pada leher,
kepala maupun tulang belakang, jaw thrust maneuver dan chinlift jika pasien diduga
mengalami trauma pada leher, kepala maupun tulang belakang (Damayanti dkk., 2015).
Jika hasil penilaian pernafasan (breathing) menunjukkan bahwa pasien memiliki nafas
yang lemah, maka dapat diberikan bantuan nafas sebanyak dua kali secara perlahan dan
efektif ke dalam mulut sebanyak volume tidal normal pasien yaitu 500-1000 ml. Setiap nafas
diberikan selama 1 detik dan terlihat menaikkan dinding dada. Bantuan nafas dapat diberikan
melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke masker dan mulut ke stoma. Jika hasil
penilaian sirkulasi darah (circulation) menunjukkan bahwa tidak ada pulsasi areri karotis,
maka RJP harus segera dilakukan (Davey, 2005: Mansjoer, 2010 :Damayanti, 2015).

RJP dilakukan dengan kompresi dada berkecepatan 100 kali/menit, kedalaman


kompresi 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu
kompresi dan relaksasi sama, serta meminimalisir terputusnya kompresi dada. RJP dilakukan
pada pasien dengan memperhatikan perbandingan rasio kompresi dan ventilasi yaitu 30:2.
Kompresi dada yang dilakukan dalam RJP dapat mengembalikan perfusi otak normal sebesar
30%. Ketika pasien memberikan respon, segera lakukan evaluasi apakah RJP dapat
dihentikan atau diberikan bantuan nafas (Davey, 2005: Mansjoer, 2010).
RJP yang diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung 3-5 menit pertama,
dapat memberikan angka keberhasilan 49-75%. Setiap 1 menit keterlambatan penanganan
pasien henti jantung, maka akan menurunkan angka keberhasilan sebesar 10-15% (Mansjoer,
2010)
Mansjoer, A., 2010, Buku Ajar Ilmu Oenyakit Dalam: Edisi Kelima Jilid I, Interna Publishing,
Jakarta.
Damayanti, I.P., Pitriani, R., Ardhiyanti, Y., 2015, Panduan Lengkap Keterampilan Dasar
Kebidanan II, Deepublish Publisher, Yogyakarta.
Davey, P., 2005, At a Glance: Medicine, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai