Applegate
Serbuan Makhluk Asing
(Animorphs # 1)
Judul Asli
THE INVASION
1996
Terbit di Indonesia
1998
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1
NAMAKU Jake.
Sebenarnya masih ada tambahan nama keluarga, tapi tak bisa kusebutkan di sini.
Habis, risikonya terlalu besar. Para Pengendali ada di mana-mana. Di berbagai
tempat. Kalau mereka sampai tahu nama lengkapku, mereka akan bisa melacak
diriku dan teman-temanku. Dan setelah itu... pokoknya, aku tidak ingin mereka
menemukanku.
Perbuatan para Pengendali terhadap orang-orang yang melawan mereka terlalu
mengerikan. Sekadar membayangkannya saja sudah bikin ngeri.
Aku bahkan tak bisa memberitahumu di mana aku tinggal. Tapi percayalah, aku
tinggal di suatu tempat yang benar-benar ada, di suatu kota sungguhan. Mungkin
malah di kotamu.
Catatan ini kubuat supaya lebih banyak orang tahu apa yang telah terjadi. Dengan
demikian umat manusia mungkin bisa bertahan sampai kaum Andalite kembali
senam. Tapi ia sendiri selalu bilang ia terlalu tinggi untuk jadi jago senam.
Cassie justru sebaliknya. Ia hampir selalu memakai jeans dan kemeja kotak-kotak,
atau baju santai lainnya. Ia berkulit hitam, dan rambutnya selalu dipotong sangat
pendek. Pernah sekali ia membiarkan rambutnya agak panjang, tapi akhirnya
dipotong pendek lagi. Cassie lebih pendiam dibandingkan Rachel. Sikapnya selalu
arif dan bijaksana, tapi bukan berarti sok tua, lho!
Aku... ehm... aku suka juga pada Cassie. Kadang-kadang kami duduk
berdampingan naik bus sekolah, walaupun aku tak pernah tahu apa yang harus
kukatakan padanya.
"Kalian mau pulang?" aku bertanya pada Rachel. "Jangan lewat tempat
pembangunan sendirian. Terlalu berbahaya buat anak cewek."
Itu kesalahan besar. Rachel paling tidak senang kalau ada yang menganggapnya
lemah atau tak berdaya. Penampilan sih boleh manis seperti gadis sampul atau
sebangsanya, tapi Rachel selalu membayangkan dirinya sebagai Storm dari
kelompok X-Men.
"Huh, jangan sok jago, deh!" serunya berang. "Kaupikir kami tak berdaya hanya
karena..."
"Aku senang kalau mereka mau pulang sama-sama," Cassie menyela. "Aku tahu
kau tidak pernah takut, Rachel, tapi aku lain."
Rachel tidak bisa bilang apa-apa lagi. Begitulah Cassie - ia selalu tahu bagaimana
cara mengatasi perang mulut tanpa menyinggung perasaan.
Itulah kami k Marco, Tobias, Rachel, Cassie, dan aku. Lima anak normal yang mau
pulang dari mall.
Kadang-kadang aku memikirkan saat terakhir kami anak-anak normal. Rasanya
seperti berjuta-juta tahun lalu. Kau tahu apa yang menghantui pikiranku waktu itu?
Bahwa aku gagal masuk tim basket.
Aku benar-benar takut menyampaikan kabar buruk itu kepada Tom.
Tapi lima menit kemudian, tim basket sudah tidak berarti apa-apa bagiku.
Untuk pulang dari mall ada dua jalan yang bisa dipilih. Yang pertama, jalan yang
aman tapi jauh, yaitu dengan mengitari mall. Jalan kedua adalah mengambil jalan
pintas melalui tempat pembangunan gedung yang terbengkalai sambil berharap
tidak ada pembunuh sinting bersembunyi di situ. Orangtuaku sudah berulang kali
melarangku melewati tempat itu. Kalau mereka tahu aku melanggar larangan
tersebut, aku akan dikurung di kamar sampai ulang tahunku yang kedua puluh.
Tapi kalau ada jalan pintas, kenapa harus pilih yang jauh?
Karena itu kami berlima langsung menyeberang jalan dan menuju ke tempat itu.
Tempat pembangunan itu cukup luas. Kedua sisinya diapit pepohonan, sementara
sisi yang menghadap ke mall dibatasi jalan raya. Antara tempat pembangunan dan
rumah-rumah terdekat terdapat lapangan terbuka yang luas. Suasananya selalu
sunyi.
Semula di sini mau dibangun pusat pertokoan baru. Tapi sekarang bangunanbangunan setengah jadi itu malah berkesan seperti kota hantu. Di mana-mana
berserakan tumpukan balok baja yang telah berkarat; tumpukan pipa beton raksasa;
lubang besar berisi air lumpur kehitaman. Malah ada derek yang sudah berkarat
dan selalu berderak-derak kalau angin bertiup.
Aku pernah memanjatnya sementara Marco berdiri di bawah sambil berseru bahwa
kelakuanku konyol sekali.
Tempat itu sepi sekali. Di mana-mana terdapat bayangan aneh, dan sesekali
terdengar suara yang membuat bulu kuduk berdiri. Setiap kali Marco dan aku lewat
di sini pada siang hari, kami selalu menemukan kaleng bir dan botol minuman
yang sudah kosong.
Kadang-kadang juga ada bekas api unggun di sudut-sudut tersembunyi di antara
bangunan-bangunan. Dari situ aku tahu bahwa sering ada orang datang kemari
setelah gelap. Semua itu melintas dalam pikiranku ketika kami melewati tempat
itu.
Tobias yang pertama melihatnya. Ia memang sering berjalan sambil mendongakkan
kepala dan memandang ke langit. Mungkin ia sedang mengamati bintang-bintang.
Begitulah Tobias - kadang - kadang ia asyik di dunianya sendiri.
Tiba-tiba Tobias berhenti. Ia menunjuk. Menunjuk hampir tegak lurus ke atas.
"Lihat, tuh!" katanya.
"Ada apa, sih?" Perhatianku sedang tertuju pada suara-suara yang kudengar di
belakang kami. Jangan-jangan ada pembunuh sinting yang sedang mengendapendap.
"Lihat saja," ujar Tobias. Nada suaranya agak aneh. Terkagum-kagum, tapi
sekaligus serius.
Karena itu aku pun menengadah. Dan melihatnya. Sebuah titik cahaya putih
kebiruan yang melesat di angkasa. Mula-mula cepat, terlalu cepat untuk pesawat
terbang, lalu semakin pelan. "Apa itu?"
Tobias menggelengkan kepala. "Entahlah."
Aku menatap Tobias dan ia membalas tatapanku. Kami sama-sama tahu apa yang
ada dalam benak masing-masing, tapi kami enggan menyatakannya. Kami yakin
Marco dan Rachel pasti akan menertawakan kami.
Tapi Cassie langsung berseru. "Itu piring terbang!"
Chapter 2
"PIRING terbang?" tanya Marco. Ia memang tertawa, seperti sudah kuduga. Tapi
begitu melihat ke atas, ia langsung terdiam.
Jantungku berdegup kencang. Perasaanku tidak keruan. Bingung, gugup, ngeri semua bercampur aduk.
"Piring terbangnya menuju kemari," ujar Rachel.
"Ah, mungkin kau salah lihat," bisikku dengan suara parau. Mulutku mendadak
kering kerontang.
"Salah lihat bagaimana? Piring terbang itu memang kemari!" Rachel berkeras.
Memang begitu gaya bicara Rachel. Ia selalu PD alias percaya diri. Sikapnya
selalu yakin seratus persen.
Tapi kali ini ia benar. Benda yang kami lihat memang semakin dekat. Dan
kecepatannya juga semakin lambat. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas.
"Bentuknya bukan seperti piring terbang," ujarku.
Pesawat itu tidak terlalu besar. Panjangnya kira-kira sama dengan bus sekolah.
Bagian depannya berbentuk bulat panjang seperti telur, dan menyambung ke
semacam selongsong panjang. Aku melihat dua tonjolan kecil bengkok yang mirip
sayap. Di ujung masing-masing tonjolan terdapat tabung panjang yang
memancarkan cahaya biru terang dari bagian belakang.
Pesawat kecil itu malah tampak lucu, dan sama sekali tidak berbahaya. Hanya saja
ada semacam ekor yang melengkung ke atas, dengan ujung runcing bagaikan
jarum.
"Bentuk ekornya seperti senjata," kataku.
"Yeah," Marco membenarkan.
Pesawat kecil itu terus mendekat. Kecepatannya pun semakin berkurang.
"Piring terbang itu mau berhenti," kata Rachel. Ia terheran-heran, sama seperti aku.
Adegan yang tengah kami saksikan memang sukar dipercaya.
"Kurasa mereka sudah melihat kita," ujar Marco. "Sebaiknya kita pergi dulu, yuk.
Nanti kita kembali lagi sambil membawa kamera video. Kita bisa kaya raya kalau
kita berhasil menjual rekaman video UFO."
"Kalau kita kabur, jangan-jangan... ehm, jangan-jangan kita ditembak dengan
senjata phaser," aku menanggapinya. Maksudku sih cuma bercanda.
"Phaser kan hanya ada di film Star Trek," sahut Marco sambil menggeleng-geleng.
Ia selalu menggeleng-geleng kalau ada ucapan atau perbuatanku yang dianggapnya
norak. Padahal ia sendiri juga tidak tahu apa-apa tentang pesawat makhluk angkasa
luar.
Pesawat itu berhenti dan melayang-layang hampir tepat di atas kami, kira-kira tiga
puluh meter di atas permukaan tanah.
Aku merasakan rambutku tertarik ke atas. Ketika aku berpaling kepada Rachel, aku
hampir tertawa terbahak-bahak. Rambutnya yang pirang panjang tampak berdiri
tegak. Hanya rambut Cassie yang tidak terpengaruh.
"Apa itu, ya?" tanya Marco. Suaranya agak gemetaran. Sikapnya tak lagi setenang
tadi, ketika pesawat itu masih jauh.
Terus terang, aku sendiri juga agak ngeri. Agak ngeri, alias ketakutan setengah
mati, sampai-sampai aku cuma bisa berdiri seperti patung.
Tapi secara bersamaan aku juga gembira. Habis, tidak setiap hari aku bisa melihat
pesawat ruang angkasa sungguhan dengan mata sendiri!
Dari dekat lagi.
Tobias malah tersenyum lebar, tapi memang begitulah Tobias.
Ia tak pernah ngeri menghadapi kejadian aneh. Justru hal-hal biasa yang sering
membuatnya kebingungan. "Rupanya mereka mau mendarat," katanya sambil
nyengir.
Matanya berbinar-binar. Rambutnya yang pirang juga berdiri tegak.
Pesawat itu mulai bergerak turun.
"Heimereka mau mendarat di sini!" seruku.
Hati kecilku mendesak agar aku lari pulang, naik ke tempat tidur, dan sembunyi di
balik selimut. Dengan susah payah aku melawan dorongan itu. Aku sadar aku tidak
boleh melewatkan kejadian sepenting dan seluar biasa ini. Aku harus melihat
semuanya.
Rupanya yang lain juga berpikiran sama. Mereka tidak beranjak sedikit pun ketika
pesawat itu mendengung-dengung dan mendarat di antara tumpukan barang bekas
dan dinding yang telah roboh.
Aku melihat bercak-bercak hitam di bagian depan pesawat. Sebagian kulit pesawat
tampak sudah meleleh. Begitu pesawat itu menyentuh tanah, cahaya biru yang
semula menyelubunginya langsung padam. Dan rambut Rachel pun segera terurai
kembali.
"Hmm, ternyata tidak sebesar yang kubayangkan," bisik Rachel.
"Besarnya kira-kira...," aku bergumam sambil berusaha menaksir panjang pesawat
itu "...tiga atau empat kali minivan kami."
"Wah, ini harus kita laporkan," ujar Marco. "Ini kan kejadian penting. Tidak setiap
hari ada UFO yang mendarat di bumi. Kita harus memanggil polisi atau tentara,
atau malah menelepon presiden sekalian. Kita bakal terkenal. Kita bakal
diwawancara di TV oleh David Letterman."
"Yeah, kau benar," ujarku. "Ini memang harus kita laporkan.
Namun tak ada yang bergerak. Tak satu pun di antara kami berlima yang sudi
meninggalkan pesawat ruang angkasa itu.
"Barangkali kita bisa bicara dengan mereka," kata Rachel. Ia berdiri sambil
bertolak pinggang, dan menatap pesawat itu seolah sedang menghadapi teka-teki
misterius yang harus dipecahkan. "Kita harus mencoba berkomunikasi. Kalau bisa,
maksudku."
Tobias mengangguk. Ia melangkah maju dan mengulurkan kedua tangan. Mungkin
ia ingin memperlihatkan kepada siapa pun yang ada di dalam pesawat itu bahwa ia
tidak membawa senjata.
"Jangan takut," ia berkata dengan suara lantang tapi tenang. "Kami takkan
menyakiti kalian."
"Memangnya mereka mengerti bahasa kita?" tanyaku.
"Hmm, kalau di Star Trek sih, semua tokohnya pakai bahasa Inggris," Cassie
menyahut sambil memaksakan tawa.
Tobias mencoba sekali lagi. "Silakan keluar. Percayalah, kami tidak punya maksud
buruk."
<Aku tahu.>
Aku tercengang. Rasanya aku baru saja mendengar seseorang berkata "Aku tahu,"
tapi... tanpa bersuara sama sekali. Maksudku, aku mendengar sesuatu tapi tanpa
mendengarnya.
Barangkali semua ini cuma mimpi. Aku melirik ke arah Cassie.
Ia pun sedang melirik ke arahku. Pandangan kami beradu. Rupanya Cassie juga
mendengarnya.
Lalu aku berpaling kepada Rachel. Ia sedang menoleh ke kiri-kanan, seakan-akan
mencari sumber suara - yang bukan suara - itu.
Perasaanku mulai tidak enak.
"Kalian dengar itu?" bisik Tobias.
Kami semua mengangguk perlahan.
"Kau bisa memperlihatkan dirimu?" Tobias bertanya lantang.
<Ya. Kalian jangan takut.>
"Kami takkan takut," sahut Tobias.
"Kata siapa?" aku bergumam. Yang lain tertawa cekikikan.
Tawa kami terdengar gugup.
Aku melihat sinar menyilaukan, dan kemudian lengkungan yang terang-benderang
muncul di bagian depan pesawat. Aku berdiri seperti patung, seolah-olah
dihipnotis. Tanpa berkedip aku menyaksikan adegan yang berlangsung di
hadapanku.
Mula-mula lengkungan itu menyerupai bulan sabit, lalu bertambah lebar sampai
akhirnya membentuk lingkaran.
Lalu aku melihat sesosok tubuh.
Sosok itu tampak seperti gabungan antara manusia dan rusa.
Makhluk itu mempunyai kepala, bahu, dan lengan yang kurang-lebih berada di
tempat seharusnya, hanya saja kulitnya berwarna biru pucat.
Di bawahnya terdapat tubuh berkaki empat, mirip tubuh rusa atau kuda kecil, yang
Chapter 3
<MEREKA datang untuk membinasakan kalian.>
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kami semua sadar makhluk itu berkata
benar. Tak ada yang memprotes "tidak mungkin" atau "masa, sih?" Kami semua
tahu ucapannya benar. Ia sedang sekarat, dan ia ingin memperingatkan kami
mengenai bahaya besar yang mengancam bumi.
<Mereka disebut Yeerk. Mereka berbeda dari kami. Dan juga berbeda dari kalian.>
"Maksudmu, mereka sudah di sini, di bumi?" tanya Rachel.
<Sudah banyak yang datang. Ratusan. Mungkin lebih.>
"Tapi kenapa belum ada yang tahu?" tanya Marco.
Pertanyaannya masuk akal. "Mestinya sudah ada yang mengumumkan soal ini di
sekolah."
<Kalian tidak mengerti. Yeerk berbeda dari kita. Tidak seperti kalian dan aku,
mereka tidak punya tubuh. Mereka hidup dalam tubuh makhluk lain. Mereka... >
Ia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan Yeerk. Karena itu ia
memejamkan mata, dan berkonsentrasi.
Tiba-tiba sebuah bayangan terang muncul dalam kepalaku. Aku melihat sesuatu
yang berlendir dan berwarna kelabu-kehijauan, seperti keong tanpa rumah, hanya
lebih besar, kira-kira sebesar tikus. Bayangan itu sama sekali tidak menyenangkan.
"Mestinya sih, itu yang namanya Yeerk," kata Marco. "Tapi mungkin juga itu cuma
gumpalan permen karet berlendir."
<Mereka hampir tak sanggup berbuat apa-apa tanpa tubuh induk semang.
Mereka...>
Tiba-tiba kami terkena sengatan rasa nyeri yang berasal dari si makhluk asing. Aku
seakan-akan bisa merasakan kesedihannya. Ia tahu ajalnya telah dekat.
<Yeerk adalah makhluk parasit. Mereka membutuhkan tubuh induk semang supaya
bisa hidup. Dalam bentuk ini mereka dikenal sebagai Pengendali. Mereka
menyusup ke dalam otak, lalu menyatu dengan si korban yang malang. Mereka
mengambil alih pikiran dan perasaan makhluk yang mereka tumpangi. Mereka
selalu berusaha agar induk semang mau menerima mereka dengan sukarela. Cara
itu lebih mudah. Kalau tidak, induk semangnya mungkin melawan, paling tidak
sesaat.>
"Maksudnya, mereka hidup dalam tubuh manusia?" tanya Rachel.
"Wah, ini masalah serius," ujarku. "Jangan beritahu kami. Kami cuma anak-anak.
Urusan seperti ini perlu dilaporkan ke pemerintah."
<Tadinya kami berharap bisa menghentikan mereka,> si makhluk asing
meneruskan penjelasannya. <Tapi pesawat Dome kami dicegat gerombolan
pesawat tempur mereka, Bug Fighter, ketika baru keluar dari Z-Space. Sebenarnya
kami tahu kapal induk mereka sudah menunggu, dan kami pun sudah siap
menghadapi gempuran mereka. Tapi kami dijebak - mereka telah menempatkan
pesawat Blade yang tangguh di kawah bulan. Kami bertempur, tapi... kami kalah.
Mereka melacakku ke sini. Tak lama lagi mereka akan datang untuk membunuhku
dan memusnahkan pesawatku.>
"Bagaimana caranya?" tanya Cassie.
Makhluk asing itu seakan-akan tersenyum dengan matanya.
<Dengan senjata sinar Dracon. Takkan ada yang tersisa dari kapalku... dan
tubuhku,> katanya. <Aku telah mengirim pesan ke planet asalku. Kaum Andalite
selalu bertempur melawan kaum Yeerk, di mana pun mereka berada. Temantemanku pasti akan mengirim bala bantuan, tapi mereka butuh waktu untuk sampai
di sini. Mungkin satu tahun, bahkan lebih. Pada saat itu, planet kalian sudah
dikuasai kaum Yeerk. Dan setelah itu tidak ada harapan. Kalian harus memberitahu
semua orang. Kalian harus memperingatkan mereka!>
Sekali lagi ia mengerang kesakitan, dan kami sadar ia takkan mampu bertahan
lebih lama lagi.
"Tapi siapa yang mau percaya," kata Marco dengan nada putus asa. Ia menatapku
dan menggelengkan kcpala. "Takkan ada yang percaya."
Ia benar. Mana mungkin kami bisa meyakinkan orang lain, bahwa pesawat
makhluk Andalite ini dimusnahkan kaum Yeerk?
Kami pasti disangka sinting.
"Boleh saja dia mengira dirinya akan mati, tapi kita harus berusaha menolongnya,"
kata Rachel. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Atau mungkin orangtua
Cassie bisa..."
<Tak ada waktu. Tak ada waktu,> si Andalite menyela. Tiba-tiba matanya berbinarbinar. <Barangkali...>
"Apa?"
<Masuklah ke pesawatku. Kau akan melihat kotak kecil berwarna biru polos. Bawa
kemari. Cepat! Waktuku tinggal sedikit, dan kaum Yeerk akan segera
menemukanku.>
Kami berpandangan. Siapa yang akan masuk ke pesawat makhluk asing itu? Entah
bagaimana caranya, kami sepakat aku yang mendapat tugas tersebut. Sebenarnya
sih, aku tidak setuju. Tapi aku kalah suara.
"Ayolah," ujar Tobias. "Aku ingin menemaninya di sini." Ia berlutut di samping
makhluk asing itu dan meletakkan tangan di pundaknya.
Aku memandang ke pintu pesawat. Kemudian aku melirik ke arah Cassie.
"Masuklah," ia berkata sambil tersenyum. "Kau bukan penakut."
Ia keliru, aku takut sekali. Tapi senyumnya membuatku enggan mundur.
Aku menghampiri pintu pesawat dan mengintip ke dalam. Di luar dugaan, ruang
dalamnya sederhana sekali. Semuanya berwarna krem dan berbentuk oval. Dengan
mudah aku menemukan kotak yang dimaksud si Andalite. Warnanya biru langit
dan bentuknya seperti kubus, dengan panjang sisi sekitar sepuluh sentimeter.
Kesannya cukup berat untuk barang sekecil itu.
Aku melangkah masuk. Tak ada kursi, hanya tempat si Andalite berdiri untuk
mengendalikan pesawatnya. Aku juga tidak melihat panel instrumen yang rumit.
Barangkali pesawat ini dijalankan melalui pikiran.
Aku segera meraih kotak itu dan siap membawanya keluar. Tapi kemudian aku
melihat sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah gambar tiga dimensi berukuran
kecil memperlihatkan empat Andalite yang berdiri berdampingan. Keempatnya
bagaikan sekelompok rusa dengan tampang serius. Dua di antaranya masih kecil anak-anak.
Pasti keluarga si Andalite.
Betapa malang nasibnya, aku berkata dalam hati. Ia sedang sekarat di sini, terpisah
sejuta kilometer dari keluarganya. Sekarat karena berusaha melindungi orangorang di bumi. Dan semuanya karena para Yeerk, atau para Pengendali, atau siapa
pun nama mereka.
Aku kembali bergabung dengan teman-temanku.
"Ini kotaknya," kataku kepada si Andalite.
<Terima kasih.>
"Aku... ehm... apakah itu keluargamu? Yang ada di gambar di dalam pesawat?"
<Ya.>
"Aku sangat menyesal," ujarku. Apa lagi yang bisa kukatakan?
<Ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian melawan para Yeerk.>
"Apa itu?" tanya Rachel.
<Aku tahu kalian masih muda. Aku tahu kalian tidak punya kekuatan untuk
melawan para Pengendali. Tapi mungkin ada yang bisa kuberikan untuk membantu
kalian.>
Kami berpandangan. Kecuali Tobias, yang terus menatap makhluk asing di
hadapan kami.
<Kalau kalian mau, aku bisa memberikan kemampuan yang belum pernah dimiliki
manusia lain.>
"Kemampuan?" Apa maksudnya?
<Ini sebagian teknologi Andalite yang tidak dimiliki kaum Yeerk,> si Andalite
menjelaskan. <Kemampuan yang memungkinkan kami bergerak tanpa diketahui di
sebagian besar jagat raya - kemampuan morf. Kemampuan ini belum pernah kami
berikan kepada spesies lain. Tapi kini kalian sangat membutuhkannya.>
"Morf? Apa itu?" tanya Rachel dengan kening berkerut.
<Morf singkatan dari metamorfosis,> si Andalite menjelaskan.
<Dengan kemampuan itu kalian bisa berubah wujud. Kalian bisa berubah menjadi
spesies lain. Kalian bisa menjadi binatang apa pun.>
Marco tertawa mengejek. "Berubah jadi binatang?"
<Kalian tinggal menyentuh makhluk lain untuk menyadap pola DNA-nya,
sesudahnya kalian dapat berubah menjadi makhluk itu. Untuk itu diperlukan
konsentrasi dan tekad, tapi, kalau niat kalian cukup kuat, kalian pasti bisa. Cuma...
ada batas-batasnya. Juga beberapa masalah. Bahkan bahaya. Tapi tak ada waktu
untuk menjelaskan... tak ada waktu. Kalian harus belajar sendiri. Tapi sebelumnya,
apakah kalian bersedia menerima kemampuan ini?>
"Dia bercanda, kan?" Marco bertanya padaku.
"Tidak," ujar Tobias pelan. "Dia tidak bercanda."
"Ini tidak masuk akal," kata Marco. "Semua ini tidak masuk akal. Yeerk, pesawat
ruang angkasa, keong yang menyusup ke otak manusia, makhluk Andalite, dan
kemampuan untuk berubah jadi binatang? Yang benar saja!"
"Yeah, ini memang aneh," aku membenarkan.
"Ini sudah lebih dari aneh," ujar Rachel. "Tapi, kecuali kita semua cuma mimpi,
lebih baik kita siap-siap menghadapi hal ini."
"Dia sekarat," Tobias mengingatkan kami.
"Aku bersedia," kata Cassie.
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Biasanya ia perlu waktu lebih lama
sebelum memutuskan sesuatu. Tapi mungkin ia seperti Tobias. Mungkin ia bisa
merasakan bahwa ucapan si Andalite memang benar.
"Sebaiknya kita putuskan sama-sama," aku mengusulkan.
"Heiapa itu?" tanya Rachel. Ia sedang memandang bintang-bintang. Jauh, jauh
di langit, sepasang titik cahaya berwarna merah terbang melintas di angkasa.
<Yeerk.> Kata itu merasuk ke dalam pikiran kami, diiringi kebencian yang
dipancarkan si Andalite.
Chapter 4
<YEERK!>
Kedua titik merah itu mengurangi kecepatan. Keduanya berputar dan kembali ke
arah kami.
<Tak ada waktu lagi. Kalian harus memutuskannya sekarang juga!>
"Kita tidak punya pilihan," kata Tobias. "Tanpa kemampuan itu kita takkan bisa
melawan para Pengendali."
"Ini gila!" ujar Marco. "Benar-benar gila!"
"Sebenarnya aku masih perlu waktu untuk memikirkannya," Rachel berkomentar.
"Tapi keadaannya sudah gawat. Jadi aku bersedia."
"Bagaimana, Jake?" Cassie bertanya padaku.
Lho, kenapa jadi begini? pikirku. Kenapa semuanya tergantung padaku?
Aku mengamati kedua pesawat Yeerk. Pesawat tempur Bug Fighter. Keduanya
semakin dekat, bagaikan sepasang anjing yang mengendus-endus jejak. Kemudian
aku menatap si Andalite, dan teringat gambar keluarganya. Apakah mereka akan
tahu betapa malang nasibnya?
Aku memandang orang-orang di sekelilingku - Marco, sahabat karibku yang lucu
tapi kadang-kadang menjengkelkan; Rachel, sepupuku yang pandai, cantik, dan
penuh percaya diri; dan Cassie, yang terkenal sebagai penyayang binatang.
Akhirnya aku berpaling kepada Tobias. Perasaanku aneh sekali ketika aku
menatapnya.
"Kita tidak punya pilihan," kata Tobias sekali lagi.
Aku mengangguk perlahan. "Kau benar. Kita tidak punya pilihan."
<Kalau begitu, kalian semua harus menempelkan tangan ke salah satu sisi kotak.>
Kami mengikuti petunjuknya. Lima tangan menempel ke lima sisi kotak. Disusul
tangan keenam yang bentuknya berbeda dari tangan kami. Jumlah jarinya terlalu
banyak.
<Jangan takut,> si Andalite berkata.
Tubuhku seakan-akan tersengat. Tapi rasanya menyenangkan, seperti digelitik. Aku
hampir tertawa.
<Sekarang pergilah,> ujar si Andalite. <Tapi ingat - jangan bertahan dalam wujud
binatang lebih dari dua jam. Jangan! Ini bahaya terbesar kemampuan morf. Kalau
kalian melewati batas itu, kalian akan terjebak dan tidak bisa kembali ke wujud
manusia.>
"Dua jam," aku bergumam.
Tiba-tiba aku merasakan ketakutan baru menyusup ke dalam pikiran si Andalite,
dan aku pun merinding. Ia sedang memandang langit dengan kedua mata
utamanya. Selain kedua pesawat tempur tadi, masih ada benda lain di atas sana.
<Visser Three! Dia datang.>
"Apa?" Tubuhku sampai gemetaran karena rasa takut yang dipancarkan si Andalite.
"Siapa itu? Apa itu?"
<Pergilah! Cepat! Visser Three datang. Dia musuh yang paling berbahaya. Di
antara semua Yeerk, hanya dia yang mempunyai kemampuan berubah wujud.
Kemampuan yang sama seperti yang kalian miliki sekarang. Jadi, cepat lari!>
"Tidak, kami akan menemanimu di sini," Rachel berkata dengan tegas. "Barangkali
kami bisa menolongmu. "
Makhluk asing itu kembali menatap kami dengan lembut, seakan-akan tersenyum
dengan matanya. <Jangan. Kalian harus menyelamatkan diri. Selamatkan diri
kalian dan planet kalian! Para Yeerk sudah datang.>
Kami semua langsung memandang ke atas. Memang benar, kedua titik merah tadi
sedang menuju ke arah kami. Kami juga melihat pesawat lain yang jauh lebih besar
dan berwarna hitam pekat. Hitam bagaikan bayang-bayang.
"Tapi bagaimana kami bisa melawan para... para Pengendali ini?" tanya Rachel.
<Kalian harus mencari jalan sendiri. Sekarang pergilah!>
Aku tersentak mendengar perintahnya yang begitu tegas. "Dia benar. Kita harus
pergi!" aku berseru.
Kami langsung berlari tunggang-langgang. Kecuali Tobias, yang berlutut di
samping si Andalite dan meraih tangannya. Si Andalite menempelkan tangannya
yang satu lagi ke kepala Tobias, dan Tobias langsung tersentak, seakan-akan
tersengat listrik. Serta-merta ia bangkit dan berlari secepat mungkin, menghindari
timbunan barang bekas dan lubang-lubang yang menghalangi jalannya.
Tiba-tiba sinar berwarna merah terang memancar. Rupanya berasal dari lampu
sorot salah satu pesawat tempur Yeerk. Sinar itu menyorot si Andalite beserta
pesawatnya. Pesawat tempur kedua juga menyalakan lampu sorot, dan si Andalite
bersinar bagaikan bintang.
Aku langsung tiarap. Sebagian kakiku masih terkena cahaya lampu sorot. Sertamerta aku menariknya dan merangkak maju, tanpa memedulikan siku dan lutut
yang nyeri karena terkena batu-batu tajam.
Kami berlima meringkuk di balik tembok setengah jadi yang telah ambruk
sebagian. Kami tak berani bergerak, tak berani mengintip, tapi juga tak berani
memalingkan wajah.
Kedua pesawat Bug Fighter turun perlahan-lahan. Aku segera tahu dari mana
julukan itu berasal. Kedua pesawat itu sedikit lebih besar daripada pesawat tempur
si Andalite. Bentuknya mirip kecoak tanpa kaki. bagian kepala yang menjorok ke
depan, terdapat jendela-jendela kecil mirip mata. Di kedua sisi kepala ada sepasang
tombak berduri yang sangat panjang dan tajam.
Tapi perhatian kami telah beralih kepada sosok lain yang baru keluar dari pesawat
Blade. Sosok itu setengah meluncur, setengah merayap.
<Pengendali-Taxxon,> kata si Andalite. Aku tahu ia ingin menjelaskan sebanyak
mungkin kepada kami. Ia ingin memanfaatkan sisa hidupnya yang tinggal sebentar
untuk mempersiapkan kami menghadapi musuh.
<Mereka jahat.>
"Yeah," Marco bergumam. "Terlihat jelas."
Makhluk-makhluk itu tampak seperti kelabang raksasa. Ukurannya dua kali lebih
panjang daripada manusia dewasa, dengan lingkar tubuh sangat besar.
Mereka memiliki lusinan kaki yang menopang dua per tiga tubuh bagian bawah.
Bagian atas tubuh mereka tegak, dengan deretan tangan bercapit mirip kepiting.
Hampir di ujung tubuh mereka ada empat mata berwarna merah, bergoyanggoyang seperti agar-agar. Dan di ujung sekali aku melihat mulut bulat yang
dikelilingi ratusan gigi kecil.
Gerombolan Hork-Bajir dan Taxxon menghambur keluar dari pesawat Blade.
Semuanya segera menyebar, bagaikan sekelompok tentara yang terlatih dengan
baik. Masing-masing membawa benda kecil seukuran pistol.
Pasti senjata, kataku dalam hati. Mereka mengepung si Andalite dan pesawatnya.
Tiba-tiba salah satu Hork-Bajir menuju ke arah kami. Ia berhenti persis di depan
tempat kami bersembunyi.
Aku merapatkan tubuh ke tanah. Dalam hati aku berharap aku bisa menggali
lubang. Sepintas lalu aku melihat wajah Marco.
Matanya terbelalak. Bibirnya tertarik ke samping, seperti sedang nyengir lebar.
Tapi aku tahu sebenarnya ia ketakutan setengah mati.
Chapter 5
HORK-BAJIR itu membidikkan pistolnya, atau apa pun jenis senjata yang ia
genggam. Kepala ularnya bergerak ke kiri-kanan.
<Jangan bersuara!> si Andalite memperingatkan kami. <Hork-Bajir tidak bisa
melihat jelas dalam gelap, tapi pendengaran mereka sangat baik.>
Hork-Bajir itu maju selangkah lagi. Jaraknya dari tembok rendah tempat kami
meringkuk tak sampai dua meter. Ia pasti bisa mendengar jantungku yang
berdegup kencang.
Moga-moga ia tidak mengenali bunyi itu.
Moga-moga ia tidak mengenali bunyi lutut gemetaran dan gigi gemeletuk lima
anak yang dicekam ketakutan.
Moga-moga ia tidak mengenali suara napas kami yang terengah-engah.
Aku yakin hidupku akan segera berakhir. Aku membayangkan diriku dilumat oleh
tanduk-tanduk tajam vang tumbuh di siku dan pergelangan tangan Hork-bajir itu.
Barangkali kau belum pernah merasa sangat ketakutan, tapi percayalah - rasa takut
punya pengaruh luar biasa. Kau akan kehilangan kendali atas pikiran dan tubuhmu.
Kau ingin menjerit. Kau ingin lari. Kau ingin tiarap di tanah dan meratap dan
memohon ampun ampun, ampun, jangan bunuh aku!
Dan kalau kau menganggap dirimu pemberani, hmm, tunggu saja sampai kau
meringkuk di depan monster yang bisa mencincang tubuhmu dalam waktu tiga
detik.
Tapi kemudian suara si Andalite kembali terdengar di kepalaku.
<Jangan gentar, teman-temanku.>
Dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang... yang... entahlah, aku bingung
bagaimana harus menjelaskannya. Tiba-tiba ada semacam perasaan hangat yang
menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti ketika kita bermimpi buruk sewaktu
masih kecil, lalu kita terbangun sambil menjerit-jerit. Dan betapa leganya kita
ketika Mom atau Dad masuk ke kamar, menyalakan lampu, dan duduk menemani
kita di tempat tidur.
Nah, kira-kira begitu rasanya.
Maksudku, aku tetap ketakutan. Hork-Bajir itu belum beranjak sedikit pun. Aku
bisa mendengar napasnya. Aku bisa mencium baunya. Tapi secara bersamaan
perasaan panik dalam diriku mulai terkendali. Aku bisa merasakan semangat yang
terpancar dari si Andalite. Ia membagi-bagikan keberaniannya kepada kami,
meskipun ia sendiri pasti juga merasa takut.
Hork-Bajir itu berpaling. Rupanya ada lagi yang keluar dari pesawat Blade.
Aku memberanikan diri untuk mengintip, meskipun seluruh tubuhku gemetaran.
Semua Hork-Bajir dan Taxxon berdiri menghadap pesawat.
"Semuanya dalam posisi siap," bisikku.
"Tahu dari mana?" balas Marco, juga sambil berbisik. "Memangnya kautahu
bagaimana posisi siap kelabang bermata agar-agar atau Mesin Pembunuh dari
Neraka itu?"
Lalu ia muncul.
<Visser Three,> kata si Andalite.
Visser Three ternyata Andalite.
Atau tepatnya, Pengendali-Andalite.
"Hei...," ujar Rachel. "Dia Andalite, ya?"
<Cuma ada satu Yeerk yang mampu menguasai tubuh Andalite,> si Andalite
menjelaskan. <Hanya ada satu Pengendali-Andalite. Dia adalah Visser Three.>
Dengan penuh percaya diri Visser Three menghampiri Andalite yang terluka.
Karena miripnya, aku sukar membedakan keduanya.
Mereka sama-sama mempunyai wajah tanpa mulut, tanduk bermata yang bisa
memandang ke segala arah, tubuh berkaki empat yang langsing namun bertenaga,
dan ekor seperti kalajengking.
Tapi ada bedanya. Tampang Visser memang seperti Andalite, tapi pancarannya
berbeda. Ia seakan-akan memakai topeng, hanya saja kita segera tahu bahwa di
balik topengnya yang manis tersimpan kebusukan dan kejahatan.
<Wah, wah,> kata Visser.
Jantungku nyaris copot ketika sadar aku mendengar pikiran Visser.
"Apakah dia bisa mendengar pikiran kita?" bisik Cassie.
"Kalau bisa, berarti tamatlah riwayat kita," sahut Rachel.
<Dia tidak bisa mendengar pikiran kalian,> kata si Andalite. <Asal pikiran kalian
tidak diarahkan padanya. Kalian bisa mendengar pikiran Visser karena pikirannya
memang ditujukan kepada semua yang ada di sini. Ini kemenangan besar bagi
Visser, dan dia ingin semua tahu.>
<Apa ini? Tampaknya seperti Andalite yang suka sok ikut campur.> Visser
mengamati pesawat si Andalite. <Ah, rupanya bukan prajurit Andalite biasa.
Pangeran Elfangor-Sirinial-Shamtul, kalau aku tidak salah. Ini merupakan
kehormatan bagiku. Kau sudah menjadi legenda. Berapa banyak pesawat tempur
kami yang berhasil kaurontokkan sebelum pertempuran berakhir? Tujuh, atau
delapan?>
Si Andalite tidak menjawab. Tapi aku mendapat kesan jumlah pesawat yang
berhasil dihancurkannya mungkin lebih dari delapan.
<Andalite terakhir di sektor antariksa ini. Ya, kabarnya pesawat Dome kalian
hancur lebur. Aku sempat menyaksikannya terbakar habis ketika jatuh ke atmosfer
planet kecil ini.>
<Masih banyak yang akan menggantikan kami,> ujar sang pangeran Andalite.
Visser maju selangkah. <Memang. Tapi saat mereka tiba, semua sudah terlambat.
Dunia ini akan menjadi milikku. Ini adalah sumbanganku untuk Kerajaan Yeerk.
Kemenangan kami yang terbesar. Dan setelah itu aku akan menjadi Visser One.>
<Kenapa kau mengincar manusia?> tanya si Andalite. <Kau sudah punya sekutu
Taxxon. Kau sudah punya budak Hork-Bajir. Dan budak-budak dari dunia lain.
Kenapa kau ingin menguasai Bumi?>
<Karena jumlah manusia begitu besar, dan mereka begitu lemah,> jawab Visser.
<Di sini ada bermiliar-miliar tubuh! Dan mereka sama sekali tidak tahu apa yang
sedang terjadi. Dengan induk semang sebanyak ini kami bisa menyebar ke seluruh
jagat raya. Takkan ada yang bisa menghalangi kami! Saatmu telah tiba, Andalite.
Chapter 6
AKU tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Semula aku begitu ngeri. Begitu
ketakutan.
Tapi tiba-tiba seperti ada sekering yang putus dalam kepalaku. Aku tidak bisa terus
bersembunyi dan menonton. Aku tidak bisa diam lebih lama lagi.
"Dasar brengsek...!"
Aku melompat berdiri. Kupungut sepotong pipa berkarat yang tergeletak di tanah,
lalu kupanjat tembok.
Aku benar-benar kalap. Aku tidak sadar apa yang kulakukan.
Padahal kalau dipikir, apa yang bisa kuperbuat dengan sepotong pipa sebagai
senjata?
<Jangan!>
Seruan si Andalite bergaung di dalam kepalaku. Aku langsung berhenti. Aku
merasakan tangan Marco mencengkeram bajuku dan menarikku mundur. Ia dan
Tobias menahanku. Rachel membekapku.
Aku hendak berteriak, atau mengumpat, atau apa saja.
"Ssst! Diam, tolol!" Marco mendesis. "Kita semua bisa mati gara-gara kau!"
"Jake, jangan." Cassie menempelkan tangan ke pipiku. "Dia tidak ingin kita mati
karena membelanya. Masa kau belum sadar? Dia mati demi kita."
Dengan kesal aku mendorong Marco dan Tobias. Tapi aku sudah bisa
mengendalikan diri lagi.
Aku kembali mengintip dari balik tembok. Si Andalite tampak tak berdaya dalam
cengkeraman Visser Three. Ia diangkat tinggi-tinggi. Dan mulut Visser Three
terbuka lebar.
Aku melihat si Andalite jatuh ke dalam mulut yang menganga bagaikan gua itu.
Visser mengatupkan mulut. Giginya mencabik-cabik si Andalite. Dan Pangeran
Elfangor-Sirinial-Shamtul pun mati.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat menjerit.
Jeritan penuh derita itu bergema dalam kepala kami. Dan kami takkan pernah
melupakannya.
Para Pengendali-Hork-Bajir mulai mendengus-dengus, whuh- whuh-whuh.
Mungkin itu cara mereka untuk tertawa atau bertepuk tangan.
Para Pengendali-Taxxon bergegas maju dan berkerumun di sekeliling Visser Three.
Mereka menengadah, dan kemudian aku melihat sebabnya - sepotong tubuh si
Andalite jatuh dari mulut Visser, dan Taxxon terdekat segera melahapnya dengan
rakus.
Tobias berpaling dan menutupi muka dengan kedua tangan.
Cassie berurai air mata.
Aku pun demikian. Lalu aku mendengar suara yang terasa janggal justru karena
begitu normal. Suara tawa. Tawa manusia.
Orang-orang tadi... para Pengendali-Manusia tertawa, seolah sedang menonton
pertunjukan.
Sepintas lalu aku mengenali salah satu suara. Tapi suara itu segera ditelan oleh
dengusan para Hork-Bajir. Visser Three berubah wujud lagi. Perlahan tubuh
Andalite-nya muncul kembali.
<Ah,> aku mendengarnya berpikir, <memang paling enak berubah jadi Antarean
Bogg. Terutama kalau mau melahap musuh.>
Para Pengendali-Manusia kembali tertawa dan para pengendali-Hork-Bajir kembali
mendengus-dengus.
Lagi-lagi aku mendengar suara tawa manusia yang kukenal. Suara itu terasa akrab
di telingaku, tapi aku tidak ingat di mana aku pernah mendengarnya.
Marco muntah di sampingku. Aku tidak menyalahkannya. Tapi entah bagaimana,
suara itu ternyata menarik perhatian Hork-Bajir yang berdiri paling dekat.
Kepala ularnya menoleh. Ia berdiri seperti patung. Kami tidak berani bergerak
sedikit pun.
Hork-Bajir itu berpaling ke arah kami. Matanya yang rabun memandang tepat ke
tembok rendah lempat kami bersembunyi.
Aku tidak tahu siapa yang lebih dulu panik. Bisa jadi aku sendiri. Mungkin juga
kami semua sudah tidak tahan. Kami seperti tersengat listrik. Sebelum sadar apa
yang sedang terjadi, kami semua sudah lari pontang-panting.
Aku berlari secepat mungkin. Napasku terengah
Si Hork-Bajir berteriak-teriak di belakang kami.
"Berpencar!" seruku. "Mereka takkan bisa mengejar kita semua!"
Marco dan Tobias serta Cassie lari ke tiga arah berlainan.
Rachel tetap berlari di sampingku. Aku melirik ke belakang dan melihat HorkBajir tadi ragu-ragu, seakan-akan bingung siapa yang harus dikejarnya.
Rachel dan aku sama-sama jago lari. Tobias kurang olahraga, sedangkan Marco
dan Cassie terlalu pendek untuk lari cepat. Karena itu aku memutuskan lebih baik
Rachel dan aku saja yang dikejar makhluk-makhluk asing itu.
Rupanya pikiran Rachel sama dengan pikiranku. Ia mengurangi kecepatan dan
mulai berseru-seru sambil melambai-lambaikan tangan.
"Ayo, sini! Sini! Dasar..." Dan ia menyerukan kata-kata makian yang tak kusangka
bisa keluar dari mulutnya.
Dua Hork-Bajir yang paling dekat langsung berbalik dan mulai mengejar kami.
"Ghafrash! Ayo! Ghafrash cepat! Musuh! Tangkap!"
Walaupun sedang panik, aku masih sempat terkejut. Mereka berbicara dengan
bahasa gado-gado, campuran antara bahasa mereka dan bahasa manusia.
"Ghafrash fit nahar! Aku tangkap! Aku bunuh!"
Aku melesat cepat. Tiba-tiba kakiku tersandung dan aku pun terjerembap. Aku
terempas keras. Mataku berkunang-kunang.
Mulutku megap-megap menarik napas.
Rachel terus berlari. Ia tidak tahu aku jatuh.
Sinar merah menghantam pipa beton di sampingku. Begitu terkena, pipa itu
langsung menguap.
Kedua Hork-Bajir tadi mengejar kami sambil melompat-lompat bagaikan kanguru
dari neraka. Aku segera bangkit dan kembali berlari.
Baru sekarang Rachel sadar aku tak lagi berada di sampingnya.
Ia berhenti dan berbalik ke arahku.
"Jangan konyol!" aku berseru. "Lari terus!"
Sejenak ia tampak bimbang. Tapi ia tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Sertamerta ia kembali berlari.
Aku melihat lubang gelap di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku melesat ke
arahnya.
Ternyata sebuah pintu. Aku menyelinap masuk, dan langsung dikelilingi kegelapan
pekat. Aku berada di salah satu bangunan yang baru setengah jadi. Yang ada hanya
dinding-dinding beton dan barang-barang rongsokan berserakan. Tapi aku sudah
pernah kemari bersama Marco. Di sini banyak lorong dan ruangan dengan berbagai
ukuran.
Marco! Rachel! Apakah mereka berhasil lolos? Dan bagaimana dengan Cassie dan
Tobias?
Aku mencoba berkonsentrasi ketika melintasi sebuah ruangan besar. Hmm,
mestinya ada lorong di sekitar sini. Tapi di sebelah mana? Tanganku menggapaigapai dalam gelap. Akhirnya aku berhasil menyentuh dinding.
Di belakangku terdengar bunyi cakar menggores-gores lantai beton. Sebuah botol
menggelinding di lantai.
Hork-Bajir itu sudah dekat! Dalam kegelapan seperti ini, penglihatanku yang lebih
tajam tidak banyak inembantu. Untung saja aku sudah mengenal lorong-lorong
yang kulewati.
Seharusnya aku bisa meloloskan diri dengan mudah. Tapi masalahnya, pikiranku
benar-benar buntu karena panik.
Dinding yang kuraba tadi mendadak berakhir. Sebuah pintu.
Yes! Pintu itu menuju ke sebuah lorong. Begitu aku masuk, kegelapan di
belakangku dibelah seberkas sinar. Rupanya ada yang membawa senter.
"Efnud beritahu fallay nyot fit? Terserah perintah."
"Jangan. Tidak perlu ditangkap. Begitu ketemu, bunuh."
Suara pertama suara Hork-Bajir. Suara kedua suara manusia.
Dan anehnya, suara tersebut begitu akrab di telingaku. Aku berusaha mengingatingat. Aku yakin pernah mendengar suara itu sebelumnya.
Chapter 7
ENTAH bagaimana caranya, akhirnya aku berhasil tiba di rumah. Aku tidak ingat
apa yang terjadi setelah aku terakhir kali melihat si Hork-Bajir di belakangku.
Sebenarnya aku berharap aku tidak ingat apa pun tentang malam itu. Kalau saja
aku bisa melupakan semua yang telah kusaksikan....
Aku menelepon teman-temanku. Untung saja semua selamat.
Rachel berkali-kali minta maaf karena meninggalkanku. Marco bertanya apakah
aku yakin ini bukan mimpi.
Seharusnya malam itu aku dihantui mimpi buruk paling parah yang pernah
kualami, tapi ternyata tidak. Dunia mimpi buruk tak ada apa-apanya dibandingkan
kenyataan yang harus kuhadapi.
Tapi keesokan paginya, hari Sabtu, aku setengah percaya semua yang kualami
memang cuma mimpi buruk. Satu-satunya hal yang nyata... benar-benar nyata...
adalah cara si Andalite tersenyum dengan matanya.
Aku terbangun karena pintu kamarku digedor-gedor Mom. "Jake, kau sudah
bangun?"
Siapa yang tidak bangun kalau pintu kamarnya digedor-gedor?
"Ehm, sudah," sahutku dengan suara parau.
"Temanmu datang," kata Mom. "Tobias."
"Tobias?" Kenapa Tobias datang ke rumahku?
"Ini aku," aku mendengar suaranya. "Boleh masuk?"
"Ehm, masuk saja." Aku duduk di tempat tidur dan berkedip-kedip untuk mengusir
kantuk. Pintu kamar terbuka. Aku mendengar Tobias mengucapkan terima kasih
kepada ibuku.
Ia berseri-seri. Malah bisa dibilang bersinar-sinar. Tentu saja ia tidak benar-benar
memancarkan cahaya. Tapi matanya berbinar-binar, wajahnya dihiasi senyum
lebar, dan gerak-geriknya penuh semangat.
Ia seperti kebanyakan energi, sehingga tidak bisa diam.
"Aku sudah coba," kata Tobias.
Aku berusaha mengatur rambutku yang acak-acakan dengan mengusap-usapnya.
"Apa maksudmu?"
Aku menguap lebar ketika Tobias menjawab.
"Aku berubah jadi Dude, tadi pagi."
Mulutku langsung mengatup. Dude adalah kucing "Hah?"
Tobias memandang berkeliling, seolah-olah takut ada mata-mata di kamarku. "Aku
jadi Dude. Persis seperti yang dikatakan si Andalite."
Aku menatapnya dengan tercengang.
"Ajaib, benar-benar ajaib: Dan sama sekali tidak terasa sakit. Ceritanya begini, aku
bangun pagi-pagi sekali tadi. Lalu aku membelai-belai Dude sambil memikirkan
kejadian yang kita alami semalam. Terus kupikir, apa salahnya dicoba?" Ia berjalan
mondar-mandir dengan penuh semangat sambil menjentik-jentikkan jari. Sama
sekali bukan seperti Tobias yang kukenal selama ini
"Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mulai. Jadi pertama-tama aku
memastikan pintu kamarku terkunci rapat-rapat. Untung saja pamanku masih
tidur."
Tobias berasal dari keluarga berantakan. Ia tak pernah mengenal ayahnya, dan
beberapa tahun lalu ibunya meninggalkannya begitu saja. Sejak itu ia bolak-balik
antara rumah pamannya di sini dan rumah bibinya, yang jauh sekali dari kota kami.
Paman dan bibinya tidak rukun, dan tampaknya mereka menganggap Tobias
sebagai beban. Mereka enggan merawatnya. Keduanya tidak peduli pada Tobias.
"Aku duduk di tempat tidur sambil merenung. Lalu aku mulai berkonsentrasi. Aku
membayangkan bagaimana rasanya kalau aku jadi Dude. Lalu aku melihat
tanganku." Ia menatapku sambil nyengir.
"Coba tebak apa yang kulihat, Jake?"
Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tahu."
"Tanganku mendadak berbulu, Jake. Dan di ujung-ujung jariku muncul cakar.
Sayang kau tidak bisa melihat Dude yang asli tadi. Dia langsung kalang kabut. Aku
terpaksa membawanya keluar kamar sebelum aku berubah sepenuhnya. Aku
sempat dicakarnya." Tobias mengisap salah satu jarinya yang tergores.
Aku menelan ludah. Wah, urusan ini semakin lama semakin aneh. "Ehm, Tobias,
barangkali kau cuma mimpi?"
"Ini bukan mimpi," jawabnya. Kini ia kembali sebagai Tobias yang serius. Ia tak
lagi cengar-cengir seperti tadi. "Semuanya benar, Jake. Semuanya."
Pandangan kami beradu. Aku segera mengerti maksudnya. Ia sendiri semula juga
menganggap semuanya cuma mimpi buruk. Tapi ini bukan mimpi. Ini kenyataan.
Aku memalingkan wajah. Aku tidak mau percaya bahwa semuanya benar-benar
terjadi. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin menganggap semuanya mimpi
buruk belaka yang akan segera berlalu.
"Aku terus berkonsentrasi untuk berubah," ujar Tobias, "dan setelah beberapa
menit, aku... aku bukan diriku lagi."
Ia menatapku tanpa berkedip. "Kau takkan bisa membayangkan bagaimana
rasanya, Jake. Menjadi kucing rasanya... ehm... entahlah, aku tidak bisa
menjelaskannya. Yang pasti, kekuatan kita rasanya berlipat ganda. Dan kita juga
jadi tangkas sekali! Kautahu apa yang kulakukan? Aku melompat ke atas lemari
pakaian. Aku melompat setinggi satu meter, dan mendarat dengan mulus. Satu
meter! Coba bayangkan betapa tingginya itu untuk seekor kucing. Untuk ukuran
manusia, itu sama dengan melompat setinggi sepuluh meter."
Tiba-tiba ia terdiam dan menatapku. "Kau tidak percaya, ya?" ujarnya.
"Begini, Tobias, kadang-kadang kita memang sulit membedakan kenyataan dan
mimpi."
"Kau pikir aku sinting."
Aku merenung sejenak. "Entahlah, Tobias, tapi coba kita pikir baik-baik apa yang
telah kaukatakan. Kau bilang kau bisa berubah jadi kucing piaraanmu. Kau betulbetul jadi kucing. Terus terang, tidak masuk akal."
Tobias mengangguk-angguk, lalu tersenyum simpul. "Aku mengerti, Jake. Kau
tetap tidak mau percaya."
"Percaya apa? Bahwa kau bisa berubah jadi kucing? Bahwa Bumi diserang
makhluk berlendir yang hidup dalam otak manusia dan menjadikan mereka budak?
Hah! Tentu saja aku tidak mau percaya!"
Chapter 8
"MOGA-MOGA aku masih tidur," aku bergumam.
<Kau tidak tidur.>
"Tobias, kurasa ada pelajaran yang bisa kita tarik dari sini," ujarku. Ternyata dalam
waktu singkat aku sudah terbiasa bicara kepada seekor kucing.
<Pelajaran? Pelajaran apa?>
"Kelihatannya kau sekarang bukan Tobias yang biasa. Kau memang jadi kucing.
Maksudku, kau punya naluri kucing. Kau ingin mengerjakan hal-hal yang
diinginkan kucing."
<Ya. Kau benar. Aku merasa seperti dua makhluk yang digabung jadi satu. Aku
bisa berpikir seperti manusia dan seperti kucing.>
"Lebih baik kau berubah jadi Tobias lagi, deh."
Ia mengangguk. Aneh sekali lho, melihat kucing mengangguk-angguk seperti
manusia.
<Kau benar.>
Proses perubahan dari kucing menjadi manusia tak kalah ajaib dibandingkan
perubahan dari manusia menjadi kucing. Prosesnya dimulai dengan menghilangnya
semua bulu. Kemudian hidung kucing yang pesek perlahan-lahan menjadi
mancung kembali. Dan ekornya lenyap bagaikan ular tersedot alat pengisap debu.
Dalam sekejap saja aku sudah berhadapan dengan Tobias yang asli. Ia tampak
salah tingkah. Cepat-cepat ia mengenakan pakaiannya.
"Mudah-mudahan ada cara supaya kita otomatis memakai baju kalau kita jadi
orang lagi."
"Kita?"
Ia kembali tersenyum simpul. "Jadi kau belum paham juga, Jake? Kalau aku bisa
berubah, kau juga bisa."
Aku menggelengkan kepala. "Kau keliru, Tobias."
Tiba-tiba ia marah. Dicengkeramnya kedua bahuku dan diguncang-guncangnya.
"Kenapa kau tidak mau mengerti, Jake? Semua ini kenyataan. Semuanya."
Aku langsung mendorongnya. Aku tidak mau mendengar kata-katanya.
Tapi Tobias tetap berkeras. "Jake, ini bukan mimpi. Dan pasti ada alasan kenapa si
Andalite memberikan kekuatan ini kepada kita."
"Oke," sahutku ketus. "Kalau begitu, kau saja yang pakai kekuatan itu."
"Rencanaku memang begitu," ujarnya. "Tapi kami membutuhkanmu, Jake. Kau
yang paling penting."
"Kenapa?"
Tobias diam sejenak. "Aduh, Jake, masa kau tidak mengerti? Aku kenal betul
kemampuanku. Aku tidak bisa menyusun strategi dan mengatur anak-anak lain.
Aku tidak berbakat jadi pemimpin. Tidak seperti kau."
Aku tertawa mengejek. "Siapa yang mau jadi pemimpin?"
Ia menatapku dengan matanya yang lembut. "Ya, Jake, kau pemimpin kami. Hanya
kau yang bisa menyatukan kita untuk menghadapi para Pengendali. Kita punya
kemampuan untuk berbuat sesuatu. Kita punya kemampuan bergerak tanpa suara
seperti kucing, dan... mata yang tajam bagaikan elang, dan penciuman seperti
anjing, dan... dan kecepatan seekor kuda atau cheetah. Kita butuh semua itu untuk
melawan para Pengendali."
Aku tetap tidak mau percaya. Aku tetap tidak mau mengakui bahwa kata-katanya
benar.
Tapi aku sadar keadaannya memang begitu.
Aku mengangguk pelan. Aku seakan-akan diminta menyetujui sesuatu yang
mengerikan. Seperti pergi ke dokter gigi. Rasanya aku mendadak harus memikul
beban seberat jutaan kilo.
Aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. "Hmm," aku bergumam, "kalau
begitu aku harus cari Homer dulu."
Homer adalah anjingku.
Chapter 9
PROSES metamorfosis, alias berubah wujud, ternyata sama sekali tidak
menyakitkan.
Pertama-tama aku membelai-belai Homer. "Aduh, kayaknya konyol banget deh,"
kataku kepada Tobias.
"Kau harus konsentrasi. Aku juga begitu tadi. Aku harus terus membayangkan
Dude. Aku memusatkan pikiran untuk berubah jadi dirinya."
"Hmm, begitu. Jadi aku harus bermeditasi untuk jadi anjing?"
"Betul. Kau harus memikirkannya. Kau harus punya keinginan berubah."
Dalam keadaan normal, pasti aku menganggap Tobias sudah sinting. Tapi aku telah
melihatnya berubah menjadi kucing. Berarti kalau Tobias sinting, aku juga sama
sintingnya.
Aku membelai-belai Homer sambil membayangkan diriku berubah jadi anjing.
Anehnya, Homer diam saja. Padahal ia jenis anjing superaktif eh... hiperaktif.
Biasanya ia tak pernah diam sedetik pun. Tapi kini ia seperti sedang tidur. Tidur
dengan mata tetap terbuka.
"Persis seperti Dude," komentar Tobias. "Mungkin proses ini membuat binatang
jadi tidak sadar atau semacam itu."
"Dia cuma bingung karena tuannya bersikap seperti orang gila."
Aku terus membelai bulu Homer sambil memusatkan pikiran, dan Homer tetap
Badanku kembali gatal-gatal. Ketika aku membuka mata, seluruh lenganku sudah
penuh bulu. Begitu pula wajahku. Dan leherku, kakiku, badanku.
Tulang-tulangku... ehm, sakit sih tidak, tapi rasanya aneh sekali.
Kira-kira seperti kalau kita ke dokter gigi dan kita diberi obat supaya gigi kita tidak
ngilu waktu dibor, padahal kita tahu seharusnya kita merasa ngilu. Nah, begitulah
rasanya.
Tulang-tulangku mengerut. Tapi tulang belakangku malah tambah panjang dan
tumbuh menjadi ekor.
Aku mendengar bunyi gesekan ketika lututku tiba-tiba berbalik arah. Serta-merta
aku jatuh karena tanganku berubah jadi kaki depan. Aku tak lagi bisa berdiri tegak.
Tanganku sudah tidak bisa disebut tangan ketika menyentuh lantai. Semua jariku
lenyap. Yang tersisa cuma cakar yang pendek dan agak melengkung.
Rahangku terdesak maju. Mataku bertambah rapat.
Tobias berdiri dan memiringkan cermin agar aku bisa berkaca.
Tanpa berkedip aku mengamati bagian terakhir proses metamorfosis. Seluruh
tubuhku sudah tertutup bulu. Ekorku semakin panjang.
Aku telah berubah jadi seekor anjing. Wah, ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi
nyatanya memang begitu. Aku jadi anjing.
Seharusnya aku ngeri, atau paling tidak waswas, tapi aku malah sangat gembira.
Entah kenapa, perasaan gembira serasa membanjiri diriku.
Aku menghirup udara melalui hidungku yang panjang dan wow! Wow! Baubauannya. Wah, sulit dibayangkan deh! Aku mengendus-endus dan langsung tahu
Mom sedang memanggang waffle di dapur. Aku juga tahu tadi Tobias melewati
daerah kekuasaan anjing jantan besar waktu menuju ke rumahku. Aku mendadak
tahu hal-hal yang tidak bisa kujelaskan dengan bahasa manusia. Rasanya seolah
aku buta seumur hidup dan sekarang mendadak bisa melihat.
Aku menghampiri Tobias dan mengendus-endus. sepatunya.
Aku ingin tahu siapa anjing jantan besar tadi. Dari bau yang menempel di
sepatunya, aku mendapat gambaran cukup jelas.
Ternyata Homer mengenal anjing itu. Ia dipanggil Streak oleh pemiliknya. Ia telah
dikebiri, seperti aku. Biasanya ia cuma berkeliaran di halaman rumah tuannya, tapi
kadang-kadang ia lari dengan menggali terowongan di bawah pagar. Ia diberi
makanan kaleng dan biskuit anjing. Mereknya Purina. Bukan sisa makanan
manusia, seperti aku.
Informasi itu membuatku semakin gembira. Mau tak mau aku mulai mengibaskan
ekor. Aku menatap Tobias. Ia kelihatan jangkung dan aneh dan serba-kelabu. Tapi
aku kurang tertarik untuk melihat.
Mengendus-endus jauh lebih seru.
PENGACAU!
Aku mendengar suara di pekarangan. Seekor anjing! Ada anjing tak dikenal di
pekaranganKU! PENGACAU!
Aku berlari ke jendela, memandang keluar, dan menggonggong sejadi-jadinya.
"Guk! Guk guk! Gukgukgukgukguk!"
Aku menggonggong sekeras mungkin. Aku tidak RELA anjing tak dikenal
berkeliaran di pekaranganKU!
"Jake, jangan macam-macam," ujar Tobias. "Yang di luar itu kan Homer."
Homer? Hah? Tapi kan aku....
Aku melipat ekorku di antara kedua kaki belakang. Ada apa ini?
"Jake, dengarkan aku," kata Tobias. "Aku juga begitu tadi waktu berubah jadi
kucing. Otak Homer jadi bagian dari otakmu sekarang. Kau harus membiasakan
diri."
<Tapi... ada anjing di pekaranganKU.>
"Itu Homer, Jake. Kau Jake. Kau cuma menempati tubuh yang ditiru dari DNA
Homer. Homer yang asli ada di luar sana. Kau sendiri yang membawanya ke
pekarangan. Pusatkan pikiranmu. Kau Jake. Jake."
Aku menarik napas dalam-dalam. Aduh, bau-bauan yang kucium! Ada satu bau
yang tidak bisa ku...
Pusatkan pikiran, Jake! aku memberi perintah pada diriku sendiri. Pusatkan
pikiran!
Pelan-pelan aku berhasil menenangkan pikiran anjing yang berkecamuk dalam
benakku.
Jadi anjing ternyata cukup merepotkan. Aku juga baru tahu anjing itu tidak pernah
setengah-setengah. Kalau anjing gembira, ya gembira. Kalau sedih, ya sedih. Tidak
ada istilah agak gembira, atau agak sedih. Semua seratus persen. Dan kalau kita
lapar sewaktu sedang jadi anjing, kita serasa tergila-gila pada makanan.
Pintu kamarku diketuk. Ya, itu pintu kamarku. Aku sudah sadar lagi siapa aku
sebenarnya. Aku Jake. Jake dengan empat kaki, ekor, dan moncong, tapi tetap Jake.
Bunyi pintu diketuk itu terdengar sangat nyaring di telinga anjingku.
"Jake, apa Homer ada di dalam?" Itu suara Tom, kakakku. "Mom lagi menelepon,
jadi suruh Homer berhenti ribut..."
Tom membuka pintu dan masuk. Ia memandang berkeliling dengan tampang
bingung.
"Siapa kau?" ia bertanya pada Tobias.
"Aku Tobias. Aku teman Jake."
"Dan di mana Jake?"
"Ehh... di sekitar sini," jawab Tobias.
Tom menatapku. Bau Tom agak aneh. Otak anjingku tidak mengenalinya, tapi yang
pasti baunya berbahaya dan membuatku gelisah. Aku teringat suara tawa
menggema. Tawa manusia yang sempat kudengar semalam, sewaktu si Andalite
ditelan bulat-bulat oleh Visser Three.
Aku bersepeda ke rumah Cassie. Marco, Tobias, dan Rachel sudah menunggu di
depan gudang jerami. Rachel menghadap ke arah matahari, berjemur sambil
memejamkan mata. Cassie belum kelihatan. Mungkin masih ada tugas yang harus
dikerjakannya. Ia punya berton-ton tugas di rumahnya.
"Hei," aku menyapa teman-temanku.
Rachel membuka mata, lalu langsung menyodorkan koran ke hadapanku. "Coba
baca nih," katanya sambil menunjuk salah satu artikel.
Aku segera membaca. Artikel itu tidak terlalu panjang. Di situ ditulis bahwa
menurut laporan polisi, telah terjadi gangguan di tempat pembangunan yang
terbengkalai semalam. Sejumlah orang mengaku melihat beberapa piring terbang
mendarat, diiringi cahaya terang-benderang.
"Bagus," ujarku sambil menoleh ke arah Rachel. "Jadi polisi sudah tahu."
"Baca sampai habis, dong," kata sepupuku itu.
Selanjutnya disebutkan bahwa polisi tiba di tempat kejadian dan menemukan
sekelompok remaja yang sedang bermain kembang api.
Anak-anak muda itu langsung melarikan diri. Polisi berhasil mengamankan
sejumlah kembang api. Juru bicara kepolisian menolak laporan mengenai piring
terbang. "Itu hanya ulah anak-anak nakal," katanya. "Sama sekali tidak ada piring
terbang. Warga sebaiknya jangan mudah percaya hal-hal yang tidak masuk akal."
"Dia bohong!" seruku.
"Ya! Seratus untuk Jake. Selamat untuk peserta kita yang beruntung," ujar Marco.
"Sudah baca sampai habis?" Rachel mendesak.
Aku membaca kalimat terakhir. Dan asal tahu saja, aku langsung kaget setengah
mati. Ternyata polisi menawarkan hadiah untuk setiap informasi mengenai anakanak remaja itu.
"Mereka mencari kita," kata Marco.
"Kenapa polis i... maksudku, kenapa mereka bohong?" aku bergumam. Tapi
jawabannya sudah cukup jelas.
Marco tertawa mengejek. "Mungkin karena... mereka sudah jadi Pengendali?"
"Pasti tidak semuanya," komentar Tobias.
"Kalau polisi saja sudah disusupi Pengendali, bagaimana dengan orang-orang
lain?" tanya Rachel. "Guru-guru? Para karyawan? Koran dan TV?"
"Yang pasti, para guru matematika," Marco berkelakar.
Kami semua memandang berkeliling dengan gelisah, seakan-akan kami sudah
dikepung oleh para Pengendali.
"Semula aku menganggap ini semua cuma mimpi," ujar Rachel.
"Sama," kataku.
Beberapa saat kami terdiam. Kami dihantui perasaan menakutkan yang sama perasaan bahwa kami sendirian. Sendirian menghadapi masalah yang mustahil
kami tangani.
Marco yang pertama bicara. "Oke, kenapa kita harus ikut campur? Lebih baik kita
lupakan saja semuanya. Jangan disinggung-singgung lagi deh. Dan jangan gunakan
kemampuan metamorfosis. Kita jalani saja hidup seperti biasa."
Tobias dan Rachel langsung memandangku. Mereka menunggu aku mendebat
Marco.
"Marco, sebenarnya aku sependapat denganmu...," aku mulai berkata.
Sekonyong-konyong Marco kehilangan kendali. "Kita bisa mati, kau tahu!" ia
memekik. "Masa kau belum sadar juga? Kaulihat sendiri apa yang terjadi pada si
Andalite. Ini bukan permainan, Jake. Ini serius. Serius! Kita semua bisa mati."
Tobias melirik Marco seakan-akan hendak menuduhnya pengecut. Tapi aku tahu
tuduhan itu tidak benar. Marco punya alasan untuk bersikap seperti itu.
Marco menggelengkan kepala. Dengan suara pelan ia berkata, "Begini, menurutku
para Pengendali itu memang brengsek. Tapi kalau sampai terjadi apa-apa
denganku... Bagaimana dengan ayahku? Dia pasti tak sanggup menghadapinya."
Ibu Marco meninggal dua tahun lalu. Ia mati tenggeIam. Jenazahnya tak pernah
ditemukan. Ayah Marco sangat terpukul. Sampai-sampai ia berhenti dari
pekerjaannya sebagai insinyur teknik industri karena tidak tahan berada di antara
orang lain. Sekarang ia bekerja sebagai petugas kebersihan gedung kantor pada
malam hari. Penghasilannya pas-pasan, dan ia hampir tak mampu menanggung
kebutuhan hidup Marco. Ia menghabiskan siang hari dengan tidur atau menonton
TV tanpa suara.
"Terserah kalau kalian menganggapku pengecut," ujar Marco. "Aku tidak peduli.
Tapi kalau aku sampai celaka, ayahku pasti hancur. Hanya karena aku, dia masih
bisa bertahan hidup sampai sekarang."
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin ada baiknya aku menghampiri Marco
dan menepuk punggungnya. Tapi akhirnya aku berubah pikiran. Aku kenal Marco,
dan aku tahu ia pasti akan memberi komentar pedas kalau aku berbuat begitu.
"Itu Cassie," kata Rachel. Ia memandang ke padang rumput sambil melindungi
matanya dari sinar matahari.
Seekor kuda tampak berlari melintasi rumput. Bulu tengkuknya yang hitam
berkibar-kibar karena tiupan angin. Kulihat tak ada yang menungganginya.
Kuda itu mengurangi kecepatan dan mendekati kami.
Mendadak aku dihinggapi perasaan aneh.
"Cassie dan aku sudah agak lama di sini," Rachel menjelaskan: "Dia benar-benar
hebat. Coba lihat betapa cepat dia Melakukannya."
Kuda itu meringkik pelan. Kemudian ia mulai mengerut. Matanya yang besar dan
cokelat menjadi lebih kecil. Moncongnya yang panjang berubah menjadi mulut
manusia.
Kami berhadapan dengan makhluk setengah kuda setengah Cassie, yang menatap
kami sambil tersenyum lebar.
Chapter 11
"CASSIE! Cepat berubah!" aku memekik. Mobil patroli itu mendekat dengan
cepat. "Jangan sampai mereka melihat makhluk setengah kuda setengah manusia."
"Tapi aku harus berubah jadi apa?" Cassie meratap. "Orang atau kuda?" Ia gugup
sekali. Berulang kali kedua kaki depannya terangkat dari tanah.
Aku tahu sebabnya. Cassie sedang melawan naluri kuda untuk panik.
"Orang, orang, orang!" kataku. "Ayo, semuanya! Berdiri di depan Cassie!"
Mobil patroli itu berhenti mendadak. Batu-batu kerikil beterbangan. Seorang polisi
turun, dari mobil. Aku melambaikan tangan padanya.
"Selamat pagi," ia menyapa kami. "Hei, apakah kalian, ehm... menyembunyikan
sesuatu?"
Sebenarnya aku ingin menoleh ke belakang untuk melihat seberapa jauh Cassie
telah berubah. Tapi aku sadar itu salah.
"Oke, ini peraturan nomor satu," Rachel mengumumkan dengan tegas. "Kita tidak
boleh menarik perhatian. Kita harus merahasiakan semuanya. Terutama soal
kemampuan metamorfosis."
Cassie tersipu-sipu. "Yeah, perbuatanku memang bodoh. Tapi, waw! Berlari di
padang rumput seperti tadi, asyik banget lho!"
"Bagaimana kau bisa berubah wujud dengan memakai baju?" tanyaku. "Waktu
Tobias dan aku mencoba berubah... ehm, hasilnya agak lain. Untung saja kau dan
Rachel tidak ada disekitar kami."
"Memang perlu latihan," kata Cassie. "Dan bajunya harus baju ketat. Aku sempat
mencobanya pakai mantel. Tapi mantelnya malah robek. Aku tidak tahu bagaimana
jadinya di musim dingin nanti."
"Musim dingin tidak jadi soal," ujar Marco. "Sebab urusan berubah wujud berhenti
sampai di sini."
"Mungkin Marco benar," sambung Rachel. "Masalah ini terlalu besar untuk kita.
Kita cuma anak-anak. Kita harus mencari orang penting yang bisa kita beritahu.
Orang yang bisa dipercaya."
"Tidak ada yang bisa dipercaya," sahut Tobias cepat. "Kita tidak tahu siapa saja
yang sudah dikuasai para Yeerk. Kita pasti celaka kalau menghubungi orang yang
salah. Dan dunia bakal kiamat."
"Aku tidak setuju dengan Marco," kata Cassie. "Apa kalian tidak sadar apa yang
bisa kita perbuat dengan kemampuan ini? Siapa tahu kita bisa bicara dengan
binatang. Kita bisa membantu menyelamatkan spesies yang terancam punah."
"Bisa jadi manusia juga termasuk spesies yang terancam nanti," gumam Tobias.
"Bagaimana menurutmu, Jake?" tanya Cassie.
Aku angkat bahu. "Entahlah. Marco benar, kita bisa mati semua. Rachel juga
benar, masalah ini terlalu besar untuk anak-anak seperti kita." Aku terdiam sejenak.
Kemudian aku melanjutkan dengan berat hati, "Tapi Tobias juga benar. Seluruh
dunia terancam bahaya. Dan tak ada seorang pun yang bisa kita percaya."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Rachel mendesak.
"Hei, kenapa harus aku yang memutuskannya?" seruku gusar.
"Kita adakan pemungutan suara saja," ujar Rachel.
"Aku usul kita berusaha tetap hidup sampai kita dapat SIM," kata Marco.
"Menurutku kita harus memenuhi permintaan si Andalite, yaitu bertempur," kata
Tobias.
"Hah, sejak kapan kau bisa bertempur?" Marco mencibir.
"Melawan anak-anak berandal di sekolah saja kau tidak sanggup. Dan sekarang
kau mau melawan makhluk sadis seperti Visser Three? Yang benar saja!"
Tobias tidak menyahut, tapi wajahnya memerah.
"Aku sependapat dengan Tobias," kata Rachel sambil memelototi Marco.
"Sebenarnya memang lebih enak kalau tanggung jawab ini bisa kita lempar kepada
jadi heboh. Mereka main kembang api, dan orang-orang langsung takut ada piring
terbang."
"Hmm."
"Piring terbang," ia bergumam, lalu kembali tertawa. "Hanya orang tolol yang
percaya piring terbang." Ia mencondongkan badan ke arahku. "Kau tidak percaya,
kan? Makhluk asing dan piring terbang dan makhluk hijau dari Mars?"
Hampir saja aku bilang tak ada yang berwarna hijau di antara makhluk-makhluk
semalam. Tapi akhirnya aku cuma berkata, "Tentu saja tidak."
Tom mengangguk, lalu bangkit. "Oke. Eh, Jake, rasanya kita jarang main bersama
belakangan ini."
"Memang," aku membenarkan.
"Sayang sekali," ujar Tom. Ia menjentikkan jari seakan-akan baru saja mendapat
ide. "Ah, aku tahu. Sebaiknya kau bergabung saja dengan The Sharing. Marco
juga."
"Untuk apa?" tanya Marco.
Tom cuma nyengir. "Aku pergi dulu," katanya. Ia menonjok pundakku. "Sampai
nanti. Dan jangan lupa - beritahu aku kalau kalian dengar sesuatu tentang anakanak yang ada di tempat pembangunan."
Ia keluar.
Marco menatapku. "Jake. Dia salah satu dari mereka."
"Apa?"
"Tom. Tom salah satu dari mereka. Kakakmu salah satu Pengendali."
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Chapter 12
TINJUKU mendarat telak di pipi Marco.
Ia segera melompat mundur ketika aku melayangkan pukulan berikut. Pukulanku
meleset. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.
Marco cepat-cepat menarik selimut dari tempat tidur. Ia melemparkannya seperti
jala, lalu mendudukiku. "Jake, jangan konyol," katanya.
Aku meronta-ronta untuk menyingkirkannya, tapi ia terlalu berat, sedangkan
tanganku tertahan di bawah selimut.
"Cabut ucapanmu!" aku berseru.
"Tidak!" sahut Marco. "Kau pikir cuma kebetulan dia tiba-tiba sangat tertarik pada
kejadian di tempat pembangunan?"
Sebenarnya aku tidak mau mengakuinya, tapi aku tahu ucapan Marco ada
benarnya. Sekonyong-konyong aku teringat bau yang kucium pada diri Tom ketika
aku sedang berubah jadi anjing. Belum lagi suara tawa yang sempat kudengar di
tempat pembangunan.
Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin! Ini Tom, kakakku. Tom tidak mungkin
membiarkan kepalanya dimasuki makhluk busuk yang penuh lendir. Tidak
mungkin.
"Aku akan melepaskanmu - asal kau jangan macam-macam lagi," kata Marco.
"Bisa jadi aku keliru."
Aku berhenti meronta-ronta, dan Marco membiarkanku berdiri.
"Jake, sikap Tom memang mencurigakan."
"Tom bukan salah satu dari mereka! Titik!" sahutku sengit.
"Terserah," kata Marco. "Tapi jangan pukul aku lagi, sebab nanti aku terpaksa
membalas."
Sekonyong-konyong terdengar bunyi mengepak di jendela. Aku segera menuju ke
sana, diikuti oleh Marco.
Ternyata ada burung di luar. Seekor burung besar, sejenis rajawali atau elang.
Burung itu mengepakkan sayapnya ke jendela.
<Hei, buka jendela, dong! Aku tidak bisa melayang terus di sini!>
Marco membelalakkan mata. Rupanya ia juga mendengarnya.
Aku membuka jendela. Burung itu langsung terbang masuk dan mendarat di atas
lemari pakaian. Panjangnya lebih dari setengah meter. Warna bulunya cokelat.
Cakarnya kokoh, dan paruhnya melengkung tajam.
"Ini sejenis elang," ujar Marco.
<Tepatnya elang berbuntut merah,> sahut Tobias.
"Ini kau ya, Tobias?" tanya Marco. "Kupikir kita sudah sepakat kemampuan ini
tidak boleh digunakan lagi."
<Aku tidak pernah bilang bahwa aku setuju.>
"Kau harus kembali ke bentukmu yang asli, Tobias," kataku.
"Ingat apa yang dikatakan si Andalitejangan berubah lebih dari dua jam."
Tobias tampak ragu-ragu. Ia memiringkan kepala elangnya dan menatapku tajam.
Akhirnya ia melompat ke tempat tidur.
Asal tahu saja, proses perubahan bulu burung menjadi kulit manusia benar-benar
ajaib. Mula-mula semua bulu itu menyatu dan memudar sampai berwarna putih
kemerahan. Bulu-bulu itu seperti meleleh. Seakan-akan berubah menjadi lilin yang
kemudian dipanaskan.
Paruhnya lenyap dan digantikan bibir manusia. Cakarnya terbelah lima dan tumbuh
menjadi jari kaki.
Di tengah-tengah proses metamorfosis, Tobias berbentuk gumpalan berwarna putih
kemerahan bercampur cokelat. Bulu-bulu burung masih membayang di punggung
dan dadanya. Wajahnya kecil dan sudah mirip wajah manusia, tapi matanya masih
menyorot tajam seperti mata elang. Sepasang lengan kecil menyembul dari bagian
depan dadanya, masing-masing dengan jari kecil seperti jari bayi.
Secara keseluruhan, pemandangan itu tidak bisa dibilang menyenangkan.
Tapi lambat-laun DNA manusia mulai menyingkirkan DNA elang, dan Tobias
menjadi semakin normal. Kira-kira tiga menit setelah prosesnya dimulai, Tobias
sudah kembali ke wujudnya yang asli. Ia duduk di ujung tempat tidur, tanpa
pakaian.
"Aku belum seahli Cassie," ujarnya malu-malu. "Ada baju yang bisa kupinjam,
tidak?"
Aku meminjamkan celana dan baju padanya, tapi ukuran sepatu kami tidak sama.
"Seumur hidup aku belum pernah merasa sesenang tadi," kata Tobias. Wajahnya
berseri-seri. "Aku melayang-layang terbawa angin termal."
"Apa itu?" tanyaku.
"Angin termal adalah udara hangat yang naik dari permukaan tanah. Rasanya
seolah ada yang menahan sayap kita dari bawah. Kita bisa melayang-layang di
ketinggian satu kilometer. Seperti main selancar. Kalian mesti coba! Tak ada
duanya deh!"
"Tobias, bagaimana caranya kau berubah jadi elang?" tanyaku.
"Di gudang jerami Cassie ada elang yang cedera," katanya.
"Sebenarnya masih ada burung rajawali, tapi aku lebih suka elang."
"Bagaimana kau bisa terbang kalau elang yang kautiru masih cedera?" aku
terheran-heran.
Marco menggeleng-gelengkan kepala. "Makanya, Jake, jangan tidur melulu kalau
ada pelajaran biologi. DNA tidak ada hubungan dengan cedera. DNA tidak
terpengaruh sayap yang patah."
Komentar Marco tidak kugubris. "Untung saja kau tidak kepergok ayah Cassie."
"Dia sedih sekali," ujar Tobias.
"Siapa yang sedih? Ayah Cassie?"
"Bukan, burung elang itu. Dia tahu orang-orang di sekelilingnya tidak bermaksud
buruk, tapi dia tidak tahan dikurung dalam sangkar selama sayapnya belum
sembuh." Sorot mata Tobias meredup. "Kasihan sekali kalau burung harus
mendekam dalam sangkar. Burung seharusnya terbang bebas."
"Yeah, bebaskan burung-burung," Marco berkomentar sinis. "Aku akan membuat
stiker untuk ditempel di bumper mobil."
"Kujamin kau takkan sinis begitu kalau kau sudah pernah terbang," sergah Tobias
kesal. "Berubah jadi kucing memang asyik. Tapi jadi elang! Kita merasa benarbenar bebas."
Belum pernah aku melihat Tobias segembira ini. Habis, keadaan di rumahnya tidak
bisa dibilang bahagia. Tiba-tiba aku seperti mendapat firasat....
Aku mengulangi peringatanku. "Jangan berubah lebih dari dua jam, oke? Jangan
lupa waktu!"
Tobias tersenyum. "Yeah. Aku tidak punya jam, tapi dengan mata elang aku bisa
melihat jarum jam di tangan orang yang berada ratusan meter di bawahku. Rasanya
seperti... seperti jadi Superman. Kita bisa terbang, dan pandangan kita mendadak
tajam sekali."
"Tadi burung, sekarang Superman," Marco bergumam.
"Aku sengaja berubah jadi burung supaya aku bisa mengamati keadaan dari atas.
Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu," ujar Tobias. "Aku mencari sesuatu yang
mungkin merupakan kolam Yeerk."
Rasanya aku pernah mendengar istilah itu. Aku ingat Visser Three sempat
menyinggung soal "kolam Yeerk."
"Apa itu?" aku bertanya pada Tobias.
"Itu tempat tinggal Yeerk dalam keadaan alami. Tiga hari sekali setiap Yeerk harus
meninggalkan tubuh induk semangnya dan masuk ke kolam Yeerk untuk menyerap
zat gizi. Terutama sinar Kandrona."
Marco dan aku berpandangan dengan curiga. Kami tidak tahu apa-apa tentang ini.
"Aku diberitahu si Andalite," Tobias menjelaskan. "Waktu dia menyuruh kita lari,
aku sempat terpaku beberapa detik. Mungkin karena aku terlalu ngeri."
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu alasan sesungguhnya. Tobias tidak tega
meninggalkan si Andalite seorang diri.
"Nah, waktu itulah aku diberi... ehm, mungkin bisa disebut gambaran. Informasi.
Setumpuk informasi. Semuanya sekaligus dan tumpang tindih. Aku belum sempat
memilahnya. Tapi aku tahu soal kolam Yeerk dan Kandrona."
Marco memberi isyarat agar Tobias tutup mulut sebentar. "Aku mau periksa pintu
dulu," katanya. Ia berjalan ke pintu dan mengintip ke koridor. "Oke, aman," ia
melapor.
Tobias menatap Marco sambil mengerutkan kening.
"Tom," ujar Marco. "Dia salah satu dari mereka."
"Jangan cari gara-gara," aku langsung menghardik. "Tom bukan Pengendali."
"Pokoknya, kita harus hati-hati," kata Tobias. Ia merendahkan suaranya.
"Kandrona adalah alat yang menghasilkan partikel Kandrona. Semacam matahari
mini para Yeerk yang bisa dibawa-bawa. Para Yeerk butuh partikel Kandrona untuk
bertahan hidup, kira-kira seperti manusia butuh vitamin. Partikel Kandrona ini
dipancarkan dari mana pun Kandrona-nya berada, lalu dikumpulkan dalam kolam
Yeerk. Tiga hari sekali setiap Yeerk harus meninggalkan tubuh yang
ditumpanginya dan masuk ke kolam itu. Setelah menyerap cukup banyak partikel,
mereka kembali ke tubuh induk semang."
"Tapi kenapa kau harus terbang seperti Superman?" tanyaku.
"Ehm, kedengarannya memang konyol, tapi kupikir kolam Yeerk bisa tampak dari
atas." Tobias memaksakan senyum. "Aku melihat banyak kolam renang dan
beberapa telaga. Kalau kita berada di atas sana, kita baru sadar bahwa ada telaga
dan danau dan sungai di mana-mana. Tapi aku tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan."
"Bagaimana kalau kau berhasil menemukan kolam Yeerk? Bagaimana kalau
begitu?" Marco bertanya dengan sengit.
"Kita ledakkan saja," sahut Tobias.
"Salah," kata Marco. "Kita sudah memutuskan untuk tidak terlibat."
"Bukan, kita memutuskan untuk tidak mengambil keputusan dulu," kataku.
"Aku sudah mengambil keputusan," ujar Tobias.
"Hah, si penakut tiba-tiba mau jadi pahlawan," Marco mencibir.
Kali ini Tobias tidak tersipu-sipu. "Mungkin kali ini aku menemukan sesuatu yang
patut diperjuangkan, Marco."
"Membela diri saja kau payah," balas Marco.
"Itu dulu," jawab Tobias pelan. "Sebelum aku ketemu si Andalite. Sebelum dia
mati karena berusaha menyelamatkan kita. Aku tidak bisa diam saja. Aku tidak rela
dia mati sia-sia. Jadi, apa pun keputusan kalian nanti, aku tetap akan bertempur."
Chapter 13
"AYO kita cari kolam Yeerk itu sampai ketemu," kata Tobias. "Setelah itu kita
ledakkan, biar makhluk-makhluk busuk itu mati semua."
Semula kusangka Marco akan menolak dengan tegas. Tapi Marco cukup cerdik. Ia
tahu Tobias berhasil mempengaruhiku dengan ceritanya mengenai si Andalite.
Karena itu Marco cuma memaksakan senyum.
"Masih ingat polisi tadi, yang begitu bersemangat mencari anak-anak di tempat
pembangunan? Polisi yang kemungkinan besar sudah jadi Pengendali?" ia
bertanya.
"Ada apa dengan dia?"
"Hmm, coba kita lihat. Dia mengajakmu bergabung dengan The Sharing, ya kan?
Lalu Tom datang. Dan tiba-tiba dia sangat tertarik pada kejadian di tempat
pembangunan. Dan apa yang terjadi setelah itu? Tom juga mengajakmu bergabung
dengan The Sharing."
Tobias mengangguk-angguk. "The Sharing mungkin perkumpulan para
Pengendali."
dengan para Yeerk. Aku tidak bisa membayangkan Visser Three atau sekelompok
makhluk Taxxon berjumpalitan di pasir untuk mengejar bola voli.
Aku mulai merasa kami semua terlalu curiga. Kedengarannya The Sharing tidak
lebih dari semacam perkumpulan pramuka untuk cowok-cewek.
Karena pantainya tidak jauh, kami memutuskan tidak ikut naik mobil bersama
Tom. Kami memilih jalan kaki. Mula-mula Tobias berjalan bersama kami, tapi
ketika kami hampir sampai, ia memisahkan diri dan menyusup ke balik bukit pasir
yang gelap.
Beberapa menit kemudian kami melihat seekor elang mengangkasa.
Pada malam hari hanya sedikit angin termal, sehingga ia terpaksa menggunakan
tenaganya sendiri untuk terbang. Tapi dalam waktu singkat ia sudah melayang jauh
di atas kami, sampai akhirnya hilang dari pandangan.
"Kapan-kapan aku juga mau coba," ujar Cassie. "Kelihatannya asyik sekali."
"Yeah," aku membenarkan.
Di depan aku melihat api unggun menyala terang di pantai yang gelap. Orangorang tampak berkumpul di sekelilingnya. Ada yang bermain-main, ada yang
mengobrol, ada juga yang makan. Anak-anak dari sekolah kami. Orang-orang
dewasa. Orang-orang yang tidak kukenal.
Masa semuanya Pengendali? aku bertanya dalam hati.
Bagaimana aku bisa tahu? Dan apakah kakakku sendiri salah satu dari mereka?
Setelah satu jam di pantai, aku yakin kami memang sudah sinting. Orang-orang ini
pasti bukan makhluk asing. Kami ikut bermain bola voli. Tom dan aku satu tim.
Kami makan daging panggang yang telah mereka siapkan. Suasananya serba asyik.
Pasir masih terasa hangat. Udara malam cukup dingin, tapi kami tetap nyaman di
dekat api unggun.
"Sekarang kau mengerti kenapa aku senang jadi anggota klub ini?" tanya Tom
padaku.
"Memang asyik," jawabku. Aku memandang berkeliling, mengamati orang-orang
yang sedang bergembira ria. "Aku tidak menyangka suasananya bakal seperti ini."
"Hmm, ini belum semuanya," kata Tom. "Kami bukan sekadar bersenang-senang
di sini. The Sharing masih punya banyak acara. Kalau kau sudah jadi anggota
penuh."
"Bagaimana caranya jadi anggota penuh?"
Tom tersenyum misterius. "Oh, ada aturannya. Sebelumnya kau harus melewati
masa percobaan dulu. Setelah masa percobaan, para pemimpin akan memutuskan
apakah kau bisa diterima sebagai anggota penuh. Kalau kau sudah jadi anggota
penuh... rasanya seluruh dunia berubah."
Pada saat itu terjadi sesuatu yang aneh. Aku sedang menatap Tom, dan ia
tersenyum padaku. Tiba-tiba wajahnya mulai berkedut-kedut. Kepala Tom seperti
ditarik ke samping, seakan-akan ia hendak menggelengkan kepala tapi tidak bisa.
Sepintas lalu sorot matanya berubah - ia tampak ngeri atau... entahlah. Ia terus
menatapku, dan aku merasa seperti ada orang lain, orang yang ketakutan, di balik
mata itu.
Lalu ia kembali normal. Atau lebih tepatnya, kembali ke keadaan semula.
"Aku harus pergi sebentar," katanya. "Para anggota penuh mau mengadakan
pertemuan terpisah. Kalian tunggu saja di sini. Daging panggangnya masih banyak,
kok. Asyik, kan, di sini?"
Lalu ia pun menghilang dalam kegelapan malam. Aku serasa baru menelan kawat
duri.
Marco dan Cassie menghampiriku. Mereka habis main Frisbee bersama anak-anak
lain di tepi pantai. Marco tertawa gembira.
"Oke," ujarnya, "ternyata aku keliru. Ini cuma kumpulan orang biasa yang lagi
bersenang-senang. Dan Tom bukan salah satu Pengendali."
Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis. Marco keliru.
Aku tahu kenapa sorot mata Tom berubah tadi - ia berusaha memperingatkanku.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia berhasil mengambil alih kendali atas
wajahnya selama sedetik, sebelum Yeerk di dalam kepalanya merampasnya
kembali.
Tom - Tom yang asli, bukan makhluk Yeerk yang bercokol dalam otaknya - telah
berusaha memperingatkanku.
Chapter 14
"ADA pertemuan terpisah," aku memberitahu teman-temanku. "Untuk para
anggota penuh. Aku jadi ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan."
Aku berusaha agar suaraku terdengar biasa, tapi sebenarnya pikiran dan
perasaanku kacau-balau.
"Tadi ada serombongan orang yang menuju ke sana," ujar Rachel sambil
menunjuk.
"Barangkali kita bisa mengintai mereka dari dekat," kataku.
"Ada apa, sih?" tanya Marco. "Kupikir kita sudah sepakat bahwa tidak ada yang
aneh di sini."
Cassie menjawab, "Justru semuanya aneh. Masa kau tidak merasakannya?" Ia
menggigil. "Coba perhatikan para anggota penuh. Semuanya begitu ramah. Begitu
manis. Saking normalnya, sikap mereka malah jadi tidak normal. Dan mereka
terus-menerus mengawasi kita. Mereka mengawasi kita seperti... seperti anjing
kelaparan yang mengincar sepotong tulang."
"Cassie benar," ujar Rachel. "Suasananya seperti kalau kita mengumpulkan
sekelompok cheerleader dan guru olahraga, lalu menyuruh mereka minum sepuluh
cangkir kopi."
"Hmm, benar juga," Marco mengakui. "Orang-orang ini memang terlalu gembira.
Dari tadi ada saja yang bercerita bahwa semua masalahnya mendadak lenyap
setelah mereka jadi anggota penuh The Sharing. Ini seperti semacam sekte atau
sejenisnya."
"Aku akan ikut pertemuan rahasia mereka," kataku.
Aku benar-benar penasaran. Aku harus mendapatkan jawaban yang pasti.
"Pertama-tama kita harus menjauhi api unggun. Satu per satu, biar mereka tidak
curiga. Nanti kita berkumpul di balik pos penjaga pantai di sana."
"Bagaimana caramu bisa ikut pertemuan itu?" tanya Marco.
"Mereka takkan curiga kalau ada anjing keluyuran di pantai," jawabku.
"Anjing? Ya ampun," keluh Marco.
"Ide bagus," ujar Cassie. "Sebenarnya aku juga mau, tapi aku baru bisa berubah
jadi kuda. Mereka pasti heran melihat kuda di sini."
Aku memandang berkeliling untuk memastikan tidak ada yang bisa melihat kami.
Lalu aku melambaikan tangan ke atas. Beberapa detik kemudian Tobias meluncur
dari langit malam yang bertaburan bintang. Ia mendarat di pos penjaga pantai.
<Ada apa?>
"Para anggota penuh mengadakan pertemuan sendiri," aku memberitahunya.
"Kautahu di mana mereka berkumpul?"
<Tentu saja. Dengan mata elang ini aku bisa melihat tikus-tikus yang berkeliaran di
rumput. Hmm, kelihatannya lezat sekali.>
"Tobias! Jangan macam-macam. Kau tidak perlu makan tikus hanya karena kau
sedang jadi elang. Bisa-bisa kau mulai makan bangkai binatang yang terlindas
mobil di jalan raya."
Ia diam saja. Mungkin ia tersinggung. Atau, lebih gawat lagi, mungkin juga ia
tidak tersinggung. Saking kebalnya.
"Di mana mereka berkumpul?" tanyaku.
<Kira-kira seratus meter dari sini. Di sebuah cekungan yang dikelilingi bukit pasir.
Tapi ada beberapa orang yang ditempatkan sebagai penjaga.>
Aku mengangguk. "Oke, Tobias, terima kasih. Kau sudah lebih dari satu jam jadi
elang. Sebaiknya kau kembali jadi manusia lagi."
<Enak saja,> sahutnya. <Aku masih ingin mengawasi mereka dari atas.>
"Jangan!" kataku tegas. "Kau harus berubah sekarang juga. Tugasmu sudah
selesai."
<Ehm, ada masalah kecil, nih... aku tidak pakai baju.>
"Pakaianmu dibawa Marco dalam tas. Rachel dan Cassie akan menoleh ke arah
lain sementara kau berubah."
Cassie tersenyum lebar. "Wah, rupanya anak-anak cowok masih perlu latihan."
Tobias masih berusaha mengulur-ulur waktu.
<Aku segan jadi orang lagi. Rasanya seperti harus kembali ke penjara. Aku tidak
mau kehilangan sayapku.>
"Tobias, masih banyak kesempatan untuk berubah jadi elang lagi," Rachel
membujuknya. "Sudahlah, kalian berdua jangan buang-buang waktu. Aku akan
menengok ke tempat lain, supaya kalian tidak malu."
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini baru kedua kalinya aku berubah wujud. Aku
tetap merasa konyol membayangkan diriku mau berubah jadi anjing. Tapi ketika
aku konsentrasi, badanku mulai gatal-gatal lagi. Teknologi si Andalite mulai
membangkitkan DNA Homer, dan aku pun mulai berubah.
Pada saat yang sama aku melihat jari bermunculan di kedua ujung sayap Tobias.
"Jangan terbawa sifat anjingmu nanti," Cassie mewanti-wanti. "Jangan sampai kau
malah sibuk mengejar kucing atau binatang lain. Kau harus berusaha
mengendalikan diri."
Aku hendak menyahut, "Ya, aku tahu," tapi yang terdengar cuma, "Guk, gukguk!"
Perubahanku sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa lagi menjawab dalam bahasa
manusia.
Karena itu kupancarkan jawabanku melalui pikiran. <Ya, aku tahu, Cassie. Jangan
kuatir.>
"Tapi aku kuatir," balasnya pelan.
Kutempelkan hidungku yang dingin ke tangannya, dan ia menepuk-nepuk
kepalaku. Kemudian aku berlari melintasi pasir.
Peringatan Cassie memang beralasan. Bukit-bukit pasir, debur ombak, celoteh
burung-burung laut dalam sarang-sarang tersembunyi - semuanya begitu menarik
bagiku sebagai anjing.
Aku mendengar suara napas di tengah-tengah rumput liar, dan tiba-tiba sesosok
tubuh melesat secepat kilat di depan mataku!
Sebelum aku sempat berpikir, aku sudah lari mengejarnya. Sosok itu berkelit-kelit.
Mungkin tikus tanah. Aku tidak tahu pasti, sebab sosok itu keburu masuk ke
lubang di pasir.
Penuh semangat aku mulai menggali, tapi kemudian otak manusiaku mendadak
sadar. Hei, Jake, bukan ini yang harus kaulakukan. Berhenti!
Aku memaksakan diri untuk menuju ke tempat pertemuan rahasia. Samar-samar
terdengar suara orang. Aku mulai mendekat sambil merangkak, tapi akhirnya aku
sadar perbuatanku konyol sekali.
Anjing tidak merangkak. Anjing cuma berjalan atau berlari. Kalau aku terus
bersikap seperti "anjing mata-mata," orang-orang malah curiga.
Karena itu aku berjalan seakan-akan tanpa tujuan, seperti anjing yang keluyuran di
malam hari. Lidahku menjulur keluar. Sesekali aku mengibaskan ekor. Hanya ada
satu hal yang perlu kujaga - aku tidak boleh terlalu berdekatan dengan Tom.
Bagaimanapun juga, tampangku persis seperti Homer.
Bagi orang yang tidak tahu rahasiaku, aku memang Homer.
Aku mulai menghampiri lokasi pertemuan. Tempat itu dikelilingi bukit-bukit pasir
yang tinggi. Ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang berkumpul di situ.
Sayangnya mata anjingku kurang berguna dalam gelap.
Tapi aku bisa mendengar mereka. Segala macam suara terdengar jelas sekali.
Bunyi yang kemungkinan besar luput dari pendengaran manusia, kini mendadak
bisa membuat telingaku pekak.
Penciumanku juga bertambah tajam. Dalam keadaan biasa, sebagai manusia, aku
kurang memperhatikan bau-bauan. Tapi begitu aku membiarkan sifat-sifat anjing
dalam diriku bangkit, hidungku langsung bisa menggantikan mataku.
Aku mendengar suara Tom. Dan aku mencium berbagai bau yang menandakan ia
tidak terlalu jauh dari tempat aku berdiri.
Di dekatku ada penjaga, tapi orang itu cuma sepintas lalu menatapku, lalu segera
menoleh ke arah lain. Tak ada yang peduli pada anjing yang keluyuran di malam
hari.
Aku mulai sadar kenapa si Andalite memberikan kemampuan metamorfosis kepada
kami. Dalam wujud binatang, kita bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin kita
lakukan sebagai manusia.
Aku mendapat kesan para anggota masih menunggu seseorang.
Aku mendengar Tom berkata, "Dia pasti datang sebentar lagi. Nah, ini dia."
Aku mendengar orang-orang berbisik-bisik. Lalu ada suara langkah mendekat. Aku
maju sedikit, tapi tetap berlindung di daerah gelap.
"Semua harap diam. Kita punya masalah," sebuah suara berkata.
Suara itu! Aku kenal suara itu. Suaranya sama dengan suara yang kudengar di
tempat pembangunan. Waktu itu suara tersebut berkata, "Cukup bawa kepalanya
saja. Berikan padaku supaya kita bisa mengidentifikasinya."
Aku maju sedikit lagi. Aku berusaha keras agar dapat melihat orang itu dengan
mata anjingku. Tapi akhirnya, ketika ia menoleh ke arahku, aku melihatnya.
Ternyata aku mengenalnya. Aku melihatnya setiap hari di sekolah.
Orang itu tak lain dari Mr. Chapman, wakil kepala sekolah kami.
Wakil kepala sekolahku ternyata salah satu Pengendali.
"Masalah nomor satu. Kita tetap belum berhasil menemukan anak-anak brengsek
yang ada di tempat pembangunan," kata Chapman. Nada suaranya ketus. "Mereka
harus ditemukan. Ini perintah Visser Three. Ada yang punya petunjuk?"
Sesaat tak ada yang menyahut. Tapi kemudian terdengar suara lain, suara yang
sangat akrab di telingaku.
"Kemungkinannya banyak sekali," ujar Tom. "Tapi salah satu dari mereka mungkin
adikku, Jake. Aku tahu ia kadang-kadang mengambil jalan pintas lewat tempat
pembangunan. Karena itulah aku membawanya kemari malam ini. Supaya ia bisa
dijadikan anggota kita... atau dibunuh sekalian."
Chapter 15
"DIJADIKAN anggota... atau dibunuh.
Aku seperti disambar petir.
Sekarang terbukti bahwa Tom telah berubah menjadi Pengendali-Manusia. Ia
dikuasai makhluk busuk berlendir dari planet lain yang bercokol dalam otaknya.
Bukan Tom yang berbicara denganku tadi, melainkan makhluk Yeerk keparat yang
telah merampas jiwa dan raga Tom.
Kakakku telah menjadi salah satu dari mereka. Begitu pula Chapman.
Mereka ada di mana-mana. Di mana-mana! Apa yang bisa kami lakukan untuk
menghentikan mereka? Apa yang bisa kami perbuat?
Kalau mereka sanggup merampas Tom, merampas kakakku sendiri, bagaimana
mungkin aku menghentikan mereka? Ini tidak masuk akal. Marco benar.
Seandainya aku berwujud manusia saat itu, aku pasti sudah putus asa. Tapi anjing
tidak mengenal perasaan putus asa. Pikiran Homer yang lugu dan gembiralah yang
menyelamatkanku. Beberapa saat aku membiarkan sifat manusiaku terbenam di
bawah naluri anjing. Aku enggan berpikir. Aku enggan kembali menjadi manusia.
Aku cuma keluyuran di antara bukit-bukit pasir sambil mengendus-endus di sanasini.
Tapi aku sadar ada tugas yang harus kulaksanakan. Setelah beberapa waktu aku
menyingkirkan kebahagiaan sederhana seekor anjing, dan memaksa diri
menghadapi kenyataan pahit.
Aku menunggu dan kembali menguping pembicaraan di tempat pertemuan. Tapi
karena pikiranku masih kacau-balau, aku kurang memperhatikan isi pembicaraan
mereka. Kata-kata "dijadikan anggota... atau dibunuh" masih terus terngiangngiang di telingaku.
Hal lain yang terekam dalam benakku adalah percakapan Tom dengan seseorang
Aku menceritakan ucapan Tom kepada Chapman, bahwa aku diajak kemari untuk
diperbudak atau dibunuh.
"Tunggu dulu. Chapman juga salah satu dari mereka?" tanya Rachel sambil
membelalakkan mata. "Chapman kita? Mr. Chapman, si wakil kepala sekolah?"
"Dia malah termasuk pemimpin di sini," ujarku. "Dia ada di tempat pembangunan
malam itu. Dialah yang mengatakan bahwa si Hork-Bajir cukup menyerahkan
kepala buronan mereka."
"Dasar Chapman brengsek," Marco berkomentar.
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera angkat kaki dari sini," kata Tobias.
"Tidak perlu," kataku. "Aku mendengar Chapman memberitahu Tom bahwa tidak
boleh ada yang mati pada pertemuan Sharing. Ia tidak mau membuat orang-orang
curiga. Ia juga bilang mereka tidak bisa membunuh semua anak yang mungkin
berada di tempat pembangunan malam itu. Mereka harus memastikan dulu."
"Rupanya masih ada sisa-sisa perikemanusiaannya," ujar Rachel getir.
"Jangan salah! Chapman bilang begitu bukan karena kasihan. Dia cuma tidak mau
memancing kecurigaan. Orang-orang pasti mulai bertanya-tanya kalau ada
sejumlah anak mati secara misterius. Dia bilang lebih baik mereka menunggu saja
anak-anak tidak mungkin tutup mulut terus setelah melihat makhluk asing,
katanya. Begitu anak-anak itu bercerita, para Pengendali akan mencari dan
menyingkirkan mereka."
"Tapi kita takkan bilang apa-apa," ujar Rachel.
"Betul sekali," Marco membenarkan. "Kita akan tutup mulut. Kita akan melupakan
segala sesuatu yang kita lihat. Kita akan menjalani hidup seperti biasa."
"Dan membiarkan Tom seperti ini?" seruku. "Tidak. Tidak bisa. Dia kakakku. Aku
harus menyelamatkannya."
"Lalu apa yang akan kaulakukan?" tanya Marco sinis. "Coba kita lihat. Lawanmu
ada Chapman, polisi, dan segerombolan makhluk Hork-Bajir dan Taxxon belum
lagi Visser Three. Padahal kau cuma bisa berubah jadi anjing dan menggigit kaki
mereka. Ini sama saja dengan terjebak dalam permainan video paling gila yang
pernah ada."
Aku menyeringai. Atau lebih tepatnya, aku memperlihatkan gigi. "Yeah, memang.
Tapi aku lumayan jago untuk urusan permainan video."
"Dan Jake tidak sendirian," sambung Rachel. "Aku akan membantunya."
"Aku juga," ujar Tobias.
"Aku juga," kata Cassie.
"Huh, bagus," Marco mendengus. "Tiba-tiba kalian jadi Fantastic Four. Tapi jangan
lupa, ini bukan cerita komik. Ini sungguhan."
Kami mendengar suara langkah mendekat di antara bukit-bukit pasir. Rupanya
pertemuan para anggota penuh sudah bubar.
"Ssst, diam!" aku segera berbisik. "Kita sudahi dulu.. untuk sementara."
Chapter 16
AKU mulai beraksi pada hari Senin, di dalam locker sekolahku.
Aku berubah menjadi kadal. Tepatnya, kadal anole hijau yang termasuk keluarga
iguana.
Aku menunggu bel berdering untuk jam pelajaran pertama, yaitu pelajaran Bahasa
Inggris. Setelah koridor sekolah lengang, aku langsung masuk ke dalam locker.
Aku sengaja bersikap acuh tak acuh, siapa tahu ada yang memperhatikan.
Locker-ku sekitar lima senti lebih pendek dari aku, sehingga aku terpaksa
merunduk dan menekuk lutut. Saking sempitnya, aku tidak bisa bergerak. Cahaya
hanya bisa masuk melalui tiga celah ventilasi kecil. Aku bisa mendengar jantungku
berdegup-degup di dalam locker yang sesak dan gelap itu. Terus terang, aku ngeri.
Aku sudah pernah berubah menjadi anjing. Rasanya aneh, janggal, tapi sekaligus
juga seru. Anjing memang binatang yang menyenangkan.
Setelah berada di tempat terang, aku baru sadar betapa anehnya penglihatan kadal.
Aku tidak mengerti apa yang kulihat. Segalasesuatu tampak tertarik-tarik dan
terpilin-pilin. Atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas. Semua warna kelihatan
lain dari seharusnya.
Aku mencoba berpikir. Ayolah, Jake. Matamu ada di sisi kepala sekarang. Matamu
tidak memfokus bersama-sama. Masing-masing mata melihat ke arah lain. Kau
harus bisa mengatasinya.
Berbekal pengetahuan ini, aku berusaha memahami apa yang kulihat. Namun tetap
sukar. Satu mataku memandang ke ujung koridor sebelah kiri, satunya lagi ke
ujung koridor sebelah kanan.
Sementara itu aku menempel dalam posisi terbalik di pintu locker, yang
menyerupai bidang kelabu luas seolah-olah tanpa batas.
Keadaanku semakin sulit akibat otak kadal anole hijau yang terus memberontak.
Setelah berhasil keluar dari locker yang gelap, otak kadalku malah menyuruhku
masuk lagi.
Kantor Chapman, aku berkata dalam hati. Aku harus ke kantor Chapman. Tapi di
mana kantornya?
Di sebelah kiri. Di sebelah sana.
Tahu-tahu aku sudah melesat. Aku berlari menuruni dinding locker, tegak lurus ke
bawah.
Hop! Kemudian aku meloncat ke lantai.
Aku bergegas melewati secarik kertas yang dua kali lebih besar dari aku. Aku
seperti terbang. Rasanya seperti naik roket yang lepas kendali.
Tiba-tiba otak kadalku merasakan kehadiran seekor labah-labah. Kejadiannya aneh
sekali. Aku sendiri tidak pasti apakah aku melihatnya, atau mendengarnya, atau
menciumnya, atau mengecapnya dengan lidahku yang menjulur-julur, atau
langsung tahu bahwa ada labah-labah.
Tanpa pikir panjang aku mengejar labah-labah itu. Sebelum menyadari apa yang
terjadi, aku sudah melesat dengan kecepatan sejuta kilometer per jam. Aku tidak
bisa berhenti. Kakiku sampai tidak kelihatan karena bergerak begitu cepat.
Sebenarnya labah-labah yang kuincar tidak terlalu besar.
Dibandingkan manusia, maksudku. Tapi bagi seekor kadal, labah-labah itu tampak
sebesar anak kecil. Aku bisa melihat mata majemuknya. Aku bisa melihat setiap
sendi pada kedelapan kakinya.
Aku bisa melihat mulutnya yang dilengkapi gigi penjepit.
Labah-labah itu kabur. Aku mengejarnya. Aku lebih gesit.
Jangaaaaan! aku menjerit dalam hati.
Terlambat. Kepalaku menyambar, secepat ular memagut. Mulutku mengatup. Dan
tahu-tahu labah-labah itu sudah berada dalam mulutku.
Aku merasakannya meronta-ronta. Aku merasakan labah-labah itu memberontak,
Chapter 17
AKU panik. Aku berusaha kabur. Tapi ekorku terjepit. Namun tiba-tiba aku bebas!
Lho, bagaimana mungkin...?
Lalu aku sadar apa yang telah terjadi. Ekorku putus. Aku menoleh ke belakang,
dan melihat ekor itu terinjak sepatu raksasa tadi.
Ekorku tampak menggeliat-geliut, seolah-olah masih bernyawa. Persis seperti
cacing yang ditancapkan ke mata kail.
Kemudian sepatu itu terangkat dan kembali melesat maju.
Cepat-cepat aku memanjat dinding, lalu diam seperti patung. Si raksasa tidak
melihatku. Rupanya ia tidak bermaksud menginjakku. Ia tidak sengaja. Dan
sekarang ekorku... bukan... ekor si kadal....
Chapter 18
"JERITAN," ujarku. "Aku mendengar jeritan manusia. Sayup-sayup memang, tapi
aku yakin aku tidak salah dengar."
Teman-temanku menatapku sambil membisu. Hanya Marco yang memalingkan
wajah. Kami berkumpul sore itu juga, di mall, langsung seusai sekolah. Kami
menganggap itulah cara terbaik untuk tidak memancing kecurigaan. Takkan ada
yang heran melihat sekelompok remaja bergerombol di mall.
Kami duduk mengelilingi meja di pusat jajan. Sejak melahap labah-labah tadi, aku
mendadak sangat bernafsu makan junk food.
Supaya aku bisa melupakan rasa labah-labah menjijikkan itu.
"Kau kan jadi kadal tadi," ujar Marco. "Siapa yang berani menjamin pendengaran
kadal bisa diandalkan?"
"Aku tahu apa yang kudengar," sahutku.
"Aku tidak tega membayangkan apa yang terjadi pada orang-orang yang disekap di
kekuatannya.
"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang sebenarnya sesuai dengan tradisi itu. Hanya
saja kita dibantu teknologi si Andalite. Kita tetap manusia ketakutan yang berusaha
meminjam kecerdikan sang rubah, dan ketajaman mata sang rajawali... atau elang,"
ia menambahkan sambil tersenyum pada Tobias. "Dan kekuatan sang singa. "Kita
minta pertolongan binatang untuk melindungi kita dari kekuatan jahat. Sama
seperti orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu."
"Tapi apakah kekuatan mereka cukup untuk melawan para
Yeerk?" tanyaku.
"Entahlah," Cassie mengakui. "Sepertinya semua kekuatan yang ada di Bumi harus
dikerahkan untuk pertempuran ini."
Marco geleng-geleng kepala. "Kisah yang bagus, Cassie. Tapi kita cuma lima anak
biasa. Lima anak biasa melawan para Yeerk. Coba kalau ini pertandingan football,
siapa yang akan kaudukung? Kita bakal dibantai habis-habisan."
"Jangan terlalu yakin," sahut Cassie. "Kita di sini membela planet Bumi. Planet
kita punya kekuatan tersembunyi."
"Ya ampun," Marco bergumam. "Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi ke hutan
dan memeluk pohon-pohon?"
Semua tertawa, termasuk Cassie.
"Dalam satu hal Cassie benar," kata Rachel serius. "Satu-satunya andalan kita
adalah kemampuan berubah wujud. Dan sampai sekarang kita baru bisa berubah
jadi kucing, burung, anjing, kuda, dan kadal. Rasanya kita perlu menambah
kekuatan tempur. Sebaiknya kita pergi ke The Gardens. Kita perlu mencari pola
DNA tambahan - dari binatang-binatang yang agak sulit didekati."
Aku mengangguk. "Yeah. Pasukan yang terdiri dari elang, kuda, dan kadal takkan
dipandang sebelah mata oleh para Yeerk. Rachel benar. Kita harus ke The Gardens.
Kita butuh anggota yang lebih garang."
Aku berpaling pada Cassie. "Kau bisa membantu kami masuk ke sana?"
"Aku bisa masuk tanpa bayar," jawabnya. "Kalian terpaksa beli karcis. Tapi aku
bisa meminjam kartu diskon pegawai milik ibuku, supaya jangan terlalu mahal."
"Ah, sebenarnya kita juga bisa masuk gratis," ujar Marco. "Bilang saja kita
kelompok Animorphs."
"Kelompok apa?" tanya Rachel.
"Remaja konyol yang bosan hidup," balas Marco.
"Animorphs." Kata itu kuulang-ulang dalam hati. Kedengarannya cukup gagah.
Chapter 19
KAMI berangkat langsung dari mall. Kami naik bus ke The Gardens, yang terletak
di seberang kota. Dalam perjalanan ke sana aku berusaha menyelesaikan PR. Aku
bolos beberapa jam tadi, sehingga terpaksa meminjam catatan teman-temanku.
Buku catatan Rachel rapi sekali. Buku catatan Tobias justru sebaliknya. Di tepi
setiap halaman ada corat-coret, yang akhirnya kukenali sebagai gambar gedunggedung, orang-orang, dan mobil-mobil kalau dilihat dari atas.
"Seberiarnya aku tidak perlu ikut masuk," kata Tobias ketika kami mengumpulkan
uang jajan masing-masing untuk membeli karcis. "Aku sudah puas jadi elang. Aku
tidak mau berubah jadi binatang lain."
"Kau tidak boleh berpikir begitu," sahut Rachel. "Satu-satunya senjata andalan kita
adalah kemampuan berubah wujud. Sebaiknya kita mengumpulkan sebanyak
mungkin pola DNA yang mungkin bermanfaat."
"Binatang apa yang sanggup menghadapi Visser Three kalau dia berubah jadi
monster yang melahap si Andalite?" tanyaku.
Tak ada penghuni kebun binatang, baik di sini maupun tempat lain, yang sanggup
melawan monster tersebut.
Marco mengedipkan mata. "Kutu, barangkali? Tak ada yang bisa membasmi kutu.
Kita bikin dia mati kegatelan."
Aku tak sanggup menahan senyum. "Akhirnya kau bersemangat juga?"
"Bukan. Saking takutnya, pikiranku jadi tidak keruan," jawabnya. "Aku belum
pernah berubah jadi binatang. Kalian semua sudah sempat mencobanya. Tinggal
aku yang belum jadi Animorphs sejati. Cuma aku yang masih normal."
"Aku tetap merasa normal," ujar Cassie sambil mengerutkan kening.
"Cassie, kau bisa berubah jadi kuda," Marco menanggapinya. "Mana ada anak
normal yang bisa begitu? Kalau Jake sih lain. Dari dulu dia memang kadal."
Aku melayangkan pukulan ke arah Marco - tentu saja cuma main-main - tapi ia
mengelak. Aku senang ia ikut bersama kami, walaupun ia suka uring-uringan.
Dalam waktu setengah jam kami tiba di depan gerbang utama The Gardens. Aku
gelisah ketika turun dari bus - tidak seperti biasanya kalau aku ke sana. Maksudku
aku suka berkunjung ke The Gardens. Tapi biasanya tujuanku memang bukan
berkenalan dengan binatang-binatang berbahaya.
Daya tarik utama The Gardens adalah berbagai wahana mengasyikkan seperti
roller coaster, kincir ria, dan perahu luncur yang membuat air memercik ke segala
arah.
Tapi di samping itu juga ada pertunjukan hewan, mirip kebun binatang, cuma lebih
seru. Ada pertunjukan lumba-lumba segala. Kita juga bisa masuk ke kawasan
binatang-binatang jinak. Lalu masih ada kandang monyet yang saking besarnya
lebih pantas disebut kota monyet. Seandainya aku jadi binatang dan harus tinggal
di kebun binatang, The Gardens jadi pilihan pertamaku.
Cassie mengajak kami ke gedung utama, yang dihuni berbagai jenis hewan.
Binatang-binatang besar yang butuh banyak tempat ditempatkan di luar, di
kandang-kandang berumput yang luas dan menyerupai taman. Tembok dan selokan
dan pagar mengelilingtaman itu.
Suasana di dalam gedung utama dibuat menyerupai hutan tropis. Gedung itu dihuni
binatang-binatang yang membutuhkan udara hangat sepanjang tahun. Ada jalan
setapak berliku-liku di bawah naungan pohon-pohon besar. Masing-masing
kandang dipisahkan oleh semak-semak.
Kandang-kandang itu kecil, tapi ada juga yang luas, seperti kandang berang-berang
yang dilengkapi air terjun dan luncuran.
Kami masih di sekitar kandang berang-berang ketika Cassie berhenti. "Oke, jangan
berpencar lagi dan usahakan untuk tidak bersikap mencurigakan," katanya.
"Sekarang kita masuk."
"Masuk ke mana?" tanya Marco.
"Di belakang semua kandang ada lorong untuk membawa makanan atau obatobatan ke masing-masing kandang." Cassie menunjuk pintu yang setengah
tersembunyi. "Masuknya lewat situ."
Suasana di luar dan di dalam berbeda sekali. Semula kami masih di tengah hutan
tropis tiruan. Tapi menit berikutnya kami sudah berada di lorong, mirip koridor di
sekolah. Cuma baunya lebih parah - udaranya lembap dan pengap. Kurang-lebih
seperti ruang ganti cowok di gedung olahraga.
"Oke, kalau kita sampai kepergok, katakan saja kita kemari untuk menemui ibuku,"
ujar Cassie. "Sekarang sudah sore, jadi kemungkinan besar ibuku sudah pulang.
Mudah-mudahan saja. Kalau dia sampai tahu aku mengajak empat temanku ke
belakang sini... wah, gawat deh. Bisa-bisa aku dihukum tidak boleh keluar rumah.
Dan aku takkan bisa menyelamatkan dunia dari serangan makhluk asing. Mogamoga kita tidak ketemu siapa-siapa."
Tanpa bersuara kami menyusuri lorong. Kami mengendap-endap bagaikan
sekelompok pencuri yang takut ketahuan. Di kiri-kanan lorong terdapat sejumlah
pintu yang menuju ke kandang-kandang. Sayangnya masing-masing pintu hanya
diberi nomor urut, sehingga kami sepenuhnya tergantung pada Cassie. Ia satusatunya yang tahu jalan. Di balik beberapa pintu terdapat binatang-binatang yang
tidak bisa didatangi begitu saja.
"Kalian suka gorila?" tanya Cassie. Ia berhenti di depan salah satu pintu bernomor.
"Ini kandangnya Big Jim. Dia baru tiba dari kebun binatang lain, jadi untuk
sementara dia ditempatkan di kandang khusus. Tapi sebenarnya dia lemah lembut."
Pelan-pelan aku mulai menyadari maksud Cassie. "Oh. Kau ingin tahu apakah
salah satu dari kita berminat menyerap pola DNA gorila ini?"
"Itulah tujuan kita kemari, Jake," ujar Rachel. Ia melirik ke arah Marco.
"Bagaimana, Marco? Dari dulu kau mau jadi jagoan berbadan besar dengan dada
berbulu, kan?"
Marco tampak kurang bersemangat. Tapi aku tahu cara menghadapinya.
"Marco kan belum pernah berubah wujud. Mungkin lebih baik kalau dia mencoba
sesuatu yang lebih mudah," kataku. "Jadi koala mungil yang lucu, misalnya."
Taktikku ternyata ampuh.
"Koala?" tanya Marco sambil melotot. "Ayo, buka pintunya, Cassie." Ia berhenti
sejenak. "Kau yakin dia lemah lembut?"
"Pada dasarnya, pembawaan gorila memang lemah lembut," jawab Cassie. "Asal
jangan dibuat marah," tambahnya dengan suara lebih pelan.
Cassie membuka ranselnya. Ia mengambil apel dan menyerahkannya kepada
Marco. "Nih, kau bisa langsung masuk. Para pengunjung takkan melihatmu,
kecuali kalau kau pergi ke tengah kandang. Lagi pula masih ada pintu pengaman.
Kita tinggal membuka pintu dan berharap Big Jim lagi lapar."
Di balik pintu pertama terdapat pintu kedua yang terbuat dari batang-batang baja.
Di bagian bawahnya terdapat celah untuk memasukkan makanan. Pintu itu
tersembunyi di balik batu tiruan berukuran besar, sehingga tidak tampak oleh para
pengunjung di luar.
Tapi Big Jim langsung melihat kami. Gorila itu turun dari tempat ia bertengger, dan
menghampiri pintu pengaman.
Big Jim ternyata memang besar. Jarinya saja sebesar pergelangan tanganku. Tapi
tampaknya ia tidak keberatan kami ada di situ. Perhatiannya tertuju pada apel di
tangan Marco. Ia mengamati Marco, mendengus seakan-akan tidak terkesan, lalu
mengulurkan
tangan.
"Dia minta apelnya," ujar Cassie. "Berikan saja."
"Aku suka film-filmmu," kata Marco kepada monyet raksasa itu. "Penampilanmu
dalam film King Kong Versus Godzilla hebat sekali. Diulurkannya tangan dan
disodorkannya apel. Si gorila menerimanya dengan hati-hati, dan mengamatinya
dari segala arah.
"Sekarang pegang tangannya," kataku.
"Yang benar saja," sahut Marco.
"Dia takkan sadar selama kau menyerap pola DNA-nya," aku menjelaskan. "Ayo,
pegang tangannya, lalu pusatkan pikiran."
Marco tampak ragu-ragu ketika ia menyentuh pergelangan tangan si gorila.
"Monyet manis."
Big Jim tidak menggubrisnya. Gorila itu lebih tertarik pada apelnya ketimbang
pada kami.
"Pusatkan pikiranmu," Rachel mendesak.
seperti di tempat pembangunan: satu orang takkan bisa menangkap kita semua!"
"Satpamnya seperti kakekku," ujar Rachel. "Bukan seperti Hork-Bajir yang
mengejar kita waktu itu."
"Hei, berhenti!"
"Oh, gawat nih," keluh Cassie. Dan ia pun mengambil langkah seribu. Rachel dan
Tobias langsung mengikutinya.
Marco sudah berlari ke lorong lain, lorong yang menuju ke kandang binatangbinatang besar. Terburu-buru aku menyusulnya.
Si satpam sampai di perempatan. Aku melihatnya menengok ke arah Tobias,
Rachel, dan Cassie. Kemudian ia menoleh ke arah Marco dan aku. Rupanya kami
kelihatan lebih mencurigakan, sebab akhirnya si satpam memilih mengejar kami.
"Berhenti! Awas kalau kalian tidak berhenti!"
"Kereta golf itu kita pakai saja!" seru Marco.
"Kau mau mencuri kereta golf?"
"Kalau bukan kita yang pakai, si satpam yang bakal naik."
"Benar juga."
Kami melompat ke kereta golf itu. Marco cepat-cepat menyelinap ke balik kemudi.
Kunci kontak diputarnya ke posisi "on."
Lalu ia menatapku. "Ini sama saja dengan naik boom-boom car, kan?"
"Cuma di sini kau jangan menabrak apa pun."
Ia menginjak pedal di lantai. Motor listrik di kereta golf itu berdesir, dan kami
langsung maju. Tepat menuju ke dinding.
Bam!
"Hei, setirnya dipakai, dong!" seruku.
Kami mundur sedikit, lalu maju lagi. Marco menambah kecepatan. Kami melaju
cukup kencang, meninggalkan si satpam.
Tapi ketika aku menoleh ke belakang, ternyata ia masih juga mengejar.
"Bisa-bisa dia kena serangan jantung," ujarku.
"Belok ke mana, nih?"
"Apa?"
"Belok ke mana?"
Aku kembali menghadap ke depan. Ternyata kami telah sampai di persimpangan
lorong.
"Ke kanan," seruku.
Marco tentu saja langsung membelok ke kiri. Aku nyaris terlempar dari kereta golf.
Hampir seketika kami kembali menemui pertigaan. Kali ini Marco membelok ke
kanan. Dan kali ini aku benar-benar jatuh.
Aku terjerembap di lantai vinil dan sempat menggelinding seperti batang pohon.
Kemudian aku bangkit dan berlari mengejar kereta golf itu.
"Apa-apaan, sih?" tanya Marco ketika melihatku. "Kita tidak punya waktu untuk
main-main."
Aku cuma melotot dan kembali naik.
"Kurasa kita sudah aman sekarang," ujar Marco.
"Aku sih tidak apa-apa," sahutku. "Aku cuma lecet sedikit. Dan tengkorakku
mungkin retak. Tapi tak ada yang serius."
"Di mana kita kira-kira?"
"Sepertinya kita ada di terowongan paling panjang yang pernah kulihat," kataku.
Lorong yang kami lewati memang menyerupai terowongan. Lantainya tetap
dilapisi vinil dan dinding-dinding pun tetap bercat putih, tapi lampu-lampu di
langit-langit semakin jarang, sehingga menimbulkan kesan kami berada di bawah
tanah.
"Jangan-jangan yang lain sudah tertangkap," ujar Marco. "Sekarang kau mengerti
kenapa kita tidak mungkin mengalahkan para Yeerk? Ini buktinya: satpam kebun
binatang saja sudah membuat kita kewalahan."
"Tapi kita belum aman," kataku. "Coba lihat, tuh!" Jauh di depan tampak dua lakilaki berseragam cokelat.
"Barangkali mereka tidak tahu siapa kita," kata Marco. "Siapa tahu mereka pikir
kita memang pegawai di sini."
"Bisa jadi. Asal mereka tidak melihat kita dari dekat." Aku menunjuk. "Di depan
ada belokan. Belok saja ke situ."
Kami membelok. Secara bersamaan, kedua petugas satpam itu berseru-seru.
Lorong yang kami masuki semakin sempit. Terlalu sempit untuk dilewati kereta
golf.
"Ayo, turun!"
Aku melompat. Marco segera menyusul. Langkah kedua petugas satpam bergema
di terowongan utama. Mereka lebih lincah daripada satpam tua tadi. Mereka
sanggup lari kencang!
Lorong yang kami masuki ternyata buntu. Di ujungnya ada dua pintu, satu di kiri,
satu lagi di kanan. Pintu-pintu itu diberi tanda P-201 dan P-203.
"Pilih salah satu," kata Marco.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Pintu nomor satu." Begitu aku membuka pintu
P-201, aku disambut embusan udara segar. Dan cahaya matahari yang terangbenderang. Aku berkedip-kedip karena silau.
Badak di hadapan kami juga berkedip-kedip.
"Ahhhh!" aku memekik.
"Ahhhh!" Marco menjerit.
Cepat-cepat kami melompat mundur dan membanting pintu.
"Salah kamar!" kata Marco.
"Yeah," aku membenarkan.
"Hei, kalian! Berhenti!"
Chapter 20
TEPATNYA, seekor harimau Siberia jantan. Panjangnya tiga meter dari ujung
kepala sampai ujung ekor. Beratnya sekitar 350 kilogram, kuat dan berotot.
Binatang buas ini memiliki tenaga luar biasa. Dan kecepatannya, jangan ditanya.
Kau pernah menonton film Tarzan di TV yang memperlihatkan Tarzan bergulat
melawan harimau? Dan menang?
Sayangnya adegan semacam itu cuma ada dalam film. Mau tahu seberapa besar
peluang menang adu gulat melawan harimau?
Kira-kira sama besarnya dengan peluang selamat setelah terjun dari gedung
bertingkat seratus.
"Aku ada usul," Marco berkata dengan suara gemetaran. "Bagaimana kalau kita
pergi saja dari sini?"
"Jangan lari," ujarku. "Nanti kita malah menarik perhatiannya."
"Menurutku dia sudah memperhatikan kita," sahut Marco. "Kurasa dia sudah tahu
kita di sini, Jake. Malah ia sudah mengincar kita! Aduh,coba lihat giginya!"
"Jangan panik. Aku punya ide. Bagaimana kalau kita manfaatkan kemampuan
morph kita? Aku akan menyadap pola DNA harimau ini, supaya dia tidak sadar."
"Menyadap? Ini bukan soal sadap-menyadap. Ini soal lahap-melahap. Dia yang
melahap, dan kau yang dilahap. Kau akan dilahap untuk makan malam! Dan cuma
Aku langsung berdiri dan melesat ke arah tangga. Dalam hati aku sibuk
menghitung: satu-seribu, dua-seribu, tiga-seribu....
Aku melihat sesuatu berkelebat. Cepat sekali! Sosok berwarna jingga-hitam.
Dan tiba-tiba aku sadar. Astaga. Rupanya ada lebih dari satu harimau di kandang
ini.
Para pengunjung di atas menjerit-jerit. Marco dan aku sudah keluar dari semaksemak, sehingga mereka bisa melihat kami.
Marco meloncat dan menyambar anak tangga paling bawah. Terburu-buru ia
memanjat tangga itu. Aku kira-kira sepersepuluh detik di belakangnya. Si harimau
melompat. Cakarnya menggores permukaan dinding beton, hanya beberapa senti di
bawahku.
Kemudian ia mengaum. Saking kerasnya, anak tangga yang sedang kupegang
sampai bergetar.
Aaaaauuuuummmmmmm!
Suaranya menggelegar!
Marco bagaikan terbang ke atas, lalu memanjat lewat puncak tembok. Aku tepat di
belakangnya.
Sungguh mencengangkan betapa cepatnya kita bergerak kalau kita dikejar harimau.
"Itu mereka!" seseorang berteriak. "Tangkap mereka. Hei, berhenti!"
Satpam! Paling tidak jumlahnya tiga orang.
"Apakah kita perlu berubah wujud?" Marco berseru padaku.
"Jangan! Lari ke tempat ramai saja! Ke sana! Di depan kolam lumba-lumba."
Meskipun dikejar para petugas satpam, Marco dan aku berhasil menyusup ke
tengah kerumunan.
Setelah itu kami merunduk dan menyelinap di antara orang-orang, sampai para
petugas kehilangan jejak. Perlahan-lahan, sambil tetap membungkuk, kami menuju
ke pintu gerbang utama.
"Hei, kalian berubah jadi apa? Jadi orang kerdil?" Ternyata Rachel. Ia mencegatku
sambil nyengir. Tobias dan Cassie berdiri di belakangnya.
"Kami dikejar satpam," ujarku. Aku masih gemetaran karena kejadian di kandang
harimau.
"Sudahlah, jangan bercanda terus, Jake," kata Rachel. "Kita pulang saja. Aku bisa
terlambat makan malam nanti."
Ternyata ketiga temanku yang lain dengan mudah meloloskan diri tadi. Mereka
lalu kembali mengumpulkan pola DNA berbagai jenis binatang, sementara Marco
dan aku sibuk menyelamatkan diri.
Yang paling menyebalkan, mereka tidak percaya cerita kami.
Terus terang, Marco dan aku agak sakit hati. Sebal deh rasanya.
Kami naik bus dan menjatuhkan diri ke bangku.
"Kami hampir mati tadi," ujar Marco sambil merengut. "Sumpah. Tinggal beberapa
Chapter 21
KE MANA saja kau sepulang sekolah tadi?" tanya Mom ketika kami berkumpul di
meja makan. Keluargaku agak kolot soal makan malam. Kami semua harus duduk
di meja. Dan TV harus dimatikan.
Ibuku pengarang, dan ia menganggap TV sebagai gangguan - kecuali kalau ada
acara yang ia sukai.
"Ke mana?" aku mengulangi pertanyaannya. "Ehm... ya main. Biasa. Main
bersama Marco."
"Percuma saja dia ditanya," kata Dad. "Jawabannya selalu sama - main."
"Apa saja yang Dad lakukan di kantor hari ini?", aku bertanya padanya.
"Main," ia langsung menyahut. Ia mengedipkan mata, dan kami semua
tertawa.
Aku melirik ke arah Tom. Ia juga makan chicken cacciatore seperti kami semua,
dan ikut tertawa. Tindak-tanduknya sama seperti Tom yang dulu.
"Kau mau pergi nanti malam, Tom?" tanyaku.
"Kenapa?"
Aku berusaha pasang tampang biasa. "Ehm, bagaimana kalau kita main basket,"
kataku. "Barangkali kau bisa mengajarkan beberapa trik, supaya aku bisa coba lagi
masuk tim."
"Sori," jawabnya. "Aku sudah ada acara malam ini."
"Acara apa, sih?" aku mendesak.
"Pasti main," sahut Mom. "Jake, brokolinya dimakan, dong. Supaya sehat. Brokoli
kaya mineral dan vitamin yang tidak bisa diperoleh dari makanan lain."
"Oke," ujarku. Aku mencari potongan brokoli paling kecil dan memaksakan diri
menelannya. Aku tidak suka sayuran itu, tapi dibandingkan labah-labah hidup sih,
masih lumayan.
"Jadi nanti malam kau ada acara apa, Tom?" aku bertanya sekali lagi.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Sejak kapan aku harus lapor padamu?
Pokoknya aku ada urusan. Kau keberatan?"
"Pasti urusan cewek," Dad berkomentar. "Gelagatnya sudah jelas."
Bukan, Dad, bukan urusan cewek, aku hampir membantah - Tom mau ke kolam
Yeerk. Apa itu kolam Yeerk, Mom? Wah, ceritanya agak panjang.
Aku nekat mencoba sekali lagi. Mungkin karena aku belum percaya sepenuhnya
bahwa Tom sudah berubah. "Kau cuma tidak berani main basket denganku. Kau
takut kalah, ya?"
"Yeah, memang. Sudah puas?" balas Tom sambil menyeringai.
Pandangan kami bertemu. Adakah isyarat di matanya? Adakah petunjuk mengenai
makhluk jahat yang menguasai kakakku? Tidak.
Tidak ada apa-apa.
Kita memang tidak bisa membedakan seorang Pengendali dari manusia biasa.
Itulah sebabnya mereka begitu sulit dihentikan. Kita takkan pernah tahu siapa yang
telah dikuasai oleh mereka.
Bisa saja seseorang yang kita kenal baik. Seseorang yang kita kagumi. Yang kita
hormati. Atau yang kita sayangi.
Aku mengalihkan pandangan dan menatap makanan di piringku.
Beberapa menit kemudian Tom meninggalkan meja. Aku tahu ke mana ia hendak
pergi. Setelah itu, aku ke atas untuk menelepon Marco. Aku tidak ingin orangtuaku
mendengar percakapan kami.
"Dia sudah berangkat," kataku.
Lalu aku menelepon Tobias dan Rachel. Aku juga berusaha menghubungi Cassie,
tapi yang menjawab ternyata ibunya.
"Cassie lagi keluar," kata ibunya dengan nada cemas. "Dia tidak ikut makan
malam. Dia keluar tadi untuk memberi makan beberapa binatang, tapi sampai
sekarang dia belum kembali."
Perutku langsung terasa kejang.
"Mungkin dia lagi naik kuda," kataku, mencoba menenangkan ibu Cassie sekaligus
diriku sendiri. "Dia kan suka lupa waktu kalau lagi asyik."
"Semua kuda sudah masuk kandang," sahut ibunya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Agaknya ada yang tidak beres. Apa yang terjadi
dengan Cassie?
"Saya akan mencarinya," ujarku. "Jangan kuatir. Mungkin dia melihat binatang
yang cedera, lalu berusaha menyelamatkannya. Cassie kan paling tidak tega
melihat binatang menderita."
"Ya, aku tak perlu kuatir."
Aku tahu ibu Cassie cuma pura-pura tenang. Aku sendiri juga cemas. Tapi apa
yang bisa kulakukan?
Kami telah menyusun rencana untuk menyerang ko lam Yeerk dan menyelamatkan
Tom. Mungkin Cassie sudah menunggu di sekolah.
Mudah-mudahan.
Perasaanku tidak enak ketika aku bersepeda ke sekolah. Kusembunyikan sepedaku
di seberang jalan, sesuai rencana kami.
Kemudian aku menemui Marco dan Rachel.
"Cassie hilang," ujarku. "Dan mana Tobias?"
Rachel menunjuk ke langit. Matahari sudah hampir terbenam, tapi aku masih bisa
melihat Tobias berputar-putar jauh di atas.
"Kenapa dia sudah berubah?" aku meledak. "Dia cuma punya waktu dua jam,
padahal kita belum tahu berapa lama urusan ini selesai!"
"Mungkin lebih baik rencana kita ditunda dulu sampai kita tahu apa yang terjadi
pada Cassie," Rachel mengusulkan.
"Barangkali dia tidak berani datang," kata Marco.
"Bisa jadi," sahutku, walaupun aku ragu. Tapi kata orang, kita baru tahu siapa
pemberani dan siapa penakut kalau pertempuran sudah dimulai.
Aku hanya bisa berharap aku termasuk pemberani. Tapi sekarang saja mulutku
sudah kering-kerontang dan jantungku sudah berdegup kencang. Padahal kami
belum mulai bergerak.
Tobias terbang menukik dan mendarat di pundak Rachel. Aku agak heran. Kenapa
Tobias memilih pundak Rachel? Dan tampaknya
Rachel juga tidak keberatan. Ia malah merapatkan kepala ke sayap Tobias.
<Jadi atau tidak, nih?> Tobias bertanya.
Ini bukan awal yang baik. Perasaan tidak enak yang menyelubungiku sejak aku
berangkat dari rumah kini malah semakin parah. Cassie hilang. Tobias sudah
berubah jadi elang.
Semua menatapku. Semua menunggu apa yang akan kuputuskan.
"Yeah, jadi," kataku.
Gedung sekolah sudah digembok. Tapi Marco tahu cara mengatasi masalah kecil
ini. Ia tahu ada satu jendela di ruang lab yang tidak bisa dikunci.
Kami memanjat lewat jendela itu dan masuk ke lab yang masih diterangi sisa-sisa
cahaya matahari. Tobias melayang melalui jendela yang terbuka, lalu mendarat di
meja guru.
"Coba kuperiksa keadaan dulu," ujarku. Perlahan-lahan aku membuka pintu dan
mengintip keluar. Koridor sekolah hampir gelap gulita, tapi pintu ruang petugas
kebersihan masih kelihatan. Seketika aku masuk lagi.
"Ada orang di luar!" aku melaporkan. "Tiga orang baru saja masuk ke ruang
petugas kebersihan."
"Tiga Pengendali," Rachel meralat ucapanku. "Rupanya para Yeerk sudah mulai
lapar."
Tak ada yang menganggapnya lucu.
"Bagaimana kita bisa masuk ke situ?" tanya Marco.
"Tunggu dulu," Rachel menyela. "Apakah semua Pengendali saling kenal?
Maksudku, kita juga bisa mengaku sebagai Pengendali, ya kan?"
"Jadi kita main masuk saja, begitu?" tanya Marco. "Ide bagus, Rachel. Tapi aku
punya ide yang lebih hebat lagi - kenapa kita tidak bunuh diri saja, supaya
urusannya cepat selesai?"
"Ada kemungkinan Rachel benar," kataku.
"Kemungkinannya kecil," sergah Marco. "Amat sangat kecil. Bagaimana dengan
Tom? Dia kan pasti tahu apakah kau Pengendali atau bukan."
Aku kembali membuka pintu dan mengintip keluar. "Kurasa Tom sudah di bawah
sana," ujarku. "Hmm, koridornya sudah sepi. Mungkin semuanya sudah...." Aku
terdiam. "Tunggu, ada lagi yang datang."
Aku memicingkan mata. Mengenali wajah orang dalam cahaya begitu redup bukan
pekerjaan mudah. Aku melihat dua orang. Salah satunya memakai baju seragam.
Ternyata si petugas polisi yang telah menjadi Pengendali. Ia sedang menyeret
seseorang. Kelihatannya seperti anak cewek. Hatiku langsung ketar-ketir. Aku
berpaling pada Tobias.
"Tobias, kita perlu mata elangmu."
Tobias mengepakkan sayap dan mendarat di pundakku. Ia mengintip sebentar, lalu
segera mundur lagi. <Ya,> katanya. <Itu dia.>
Kepalaku serasa berputar-putar. Marco cepat-cepat menahanku sebelum aku
sempat terjatuh.
"Dia ditangkap!" aku berbisik. "Cassie ditangkap para Pengendali!"
Chapter 22
"S-SIAPA yang menangkap Cassie... dan bagaimana dia sampai tertangkap?"
Rachel tergagap-gagap.
"Polisi itu. Polisi yang datang ke rumah Cassie waktu itu. Yang hadir di acara The
Sharing. Dia sempat memergoki Cassie berkeliaran ketika para anggota penuh
sedang rapat."
Rachel langsung memaki-maki kesal. Rencana kami berantakan sebelum kami
sempat beraksi.
"Oke," ujarku dengan geram. "Kita maju sesuai usul Rachel. Kita anggap saja tidak
semua Pengendali saling kenal. Jumlah mereka terlalu banyak. Dan setiap hari
bertambah. Jadi, bukan tidak mungkin kita jadi anggota baru."
"Ya ampun," Marco mengerang.
"Ada ide yang lebih baik?" aku bertanya ketus.
"Tidak," jawabnya. "Kita jalan terus. Kita harus berani ambil risiko. Ayo, sudah
waktunya ber-rock 'n' roll."
"Oke, kalau begitu, semua harap tenang." Aku menatap Tobias. "Sekarang sudah
terlambat untuk berubah wujud lagi. Tapi usahakan agar mereka tidak melihatmu."
Rachel, Marco, dan aku menyelinap keluar, ke koridor yang gelap. Kakiku terasa
kaku. Lututku gemetaran. Langkahku terseok-seok.
Kami menuju ke ruang petugas kebersihan. Untung saja tidak ada siapa-siapa di
koridor.
Kami masuk ke ruangan kecil itu. Aku berusaha mengingat-ingat cara membuka
pintu rahasia. Pertama-tama keran air diputar ke kiri, lalu kaitan kedua diputar ke
kanan.
Dinding di hadapan kami bergeser ke samping.
Kali ini terdengar lebih banyak suara daripada waktu itu. Atau mungkin juga
telinga manusiaku lebih tajam daripada telinga kadal.
Kami mendengar bunyi gemercik, mirip suara air mengalir di sungai berbatu-batu.
Tapi itu satu-satunya bunyi yang menyenangkan.
Suara-suara lainnya membuat bulu kudukku berdiri - ada jeritan putus asa, teriakan
ketakutan, derai tawa kemenangan yang membahana.
"Kau yakin ini cuma kolam Yeerk?" Marco berkata dengan suara gemetar. Ia
tampak sangat gelisah. "Jangan-jangan ini jalan ke neraka!"
Aku maju lebih dulu. Sebuah tangga curam menuju ke bawah.
Tak ada pegangan tangan. Setiap saat kami bisa terjun bebas.
Kami turun bersama-sama. Pintu rahasia di belakang kami menutup secara
otomatis.
Semula aku menyangka anak tangga yang harus kami lewati cuma beberapa puluh.
Ternyata tangga itu seakan-akan tak berujung.
Kami melangkah dan melangkah, namun selalu ada lebih banyak anak tangga lagi.
Mula-mula tangga itu masih menembus lapisan tanah merah, tapi tak lama
kemudian kami sudah menerobos lapisan batu karang yang keras. Semakin lama
kami turun semakin jauh ke dalam perut bumi.
"Kukira makhluk asing ini sudah lebih canggih dari kita," bisik Marco. "Tapi
pasang lift saja tak terpikir oleh mereka."
Kami semua cekikikan sebentar. Cuma sebentar. Tiba-tiba dinding batu di kirikanan kami melebar. Kami telah memasuki sebuah gua besar.
Gua itu bukan sekadar besar, tapi betul-betul BESAR. Luasnya cukup untuk
membangun stadion sepak bola, ditambah beberapa pusat perbelanjaan, lengkap
dengan lapangan parkir. Langit-langit gua menyerupai langit-langit kubah, dan
samar-samar di puncaknya terlihat sebuah lubang. Rasanya aku bisa melihat
bintang-bintang.
Di sekeliling tepi gua terdapat tangga-tangga lain, serupa dengan tangga yang kami
lewati. Tangga-tangga itu muncul dari segala arah, menyembul dari dinding batu
karang, menuju ke dasar gua.
Kami berdesakan di tengah tangga yang tidak berpagar. Seandainya terpeleset dan
jatuh, kami pasti akan tewas secara mengenaskan.
"Wow," Marco bergumam sambil membelalakkan mata. "Gua ini lebih besar dari
sekolah kita. Ada selusin tangga yang menuju kemari. Berarti juga ada selusin
pintu rahasia di atas," Ia menggelengkan kepala. "Jake, pintu-pintu rahasia itu pasti
tersebar di seluruh kota. Wah, kacau. Ini gawat... jauh lebih gawat dari yang
kubayangkan."
Hatiku pun langsung ciut. Aku mendadak sadar betapa bodohnya kami. Yang kami
hadapi bukan cuma sekelompok bajingan dari angkasa luar. Makhluk-makhluk itu
punya kekuatan yang tak terbayangkan. Buktinya, mereka mampu membangun
kota bawah tanah berukuran raksasa.
Bagian pinggir gua dipenuhi bangunan dan gubuk. Dan di seberang gua terlihat
sejumlah buldoser dan derek yang mondar-mandir tanpa henti. Alat-alat berat
tersebut tampak begitu kecil di tempat yang luar biasa besar ini.
Dan makhluk asing berkeliaran di mana-mana. Makhluk Taxxon, Hork-Bajir, dan
makhluk-makhluk lain yang namanya takkan bisa kutebak.
Tapi yang paling banyak adalah manusia.
Di tengah-tengah gua terdapat kolam bundar, sebesar danau kecil, dengan garis
tengah sekitar tiga puluh meter. Tapi isinya bukan air, melainkan sesuatu seperti
timah cair. Kami mendengar bunyi gemercik dan melihat riak-riak yang
ditimbulkan ratusan makhluk yang meluncur cepat di bawah permukaan.
Aku tahu makhluk apa itu sebenarnya. Yeerk. Makhluk-makhluk Yeerk dalam
wujud alami mereka yang mirip keong tanpa rumah. Mereka berenang dan
bermain-main di dalam kolam, seperti anak-anak saat cuaca sedang panas.
Di dekat tepi kolam berderet kerangkeng yang digunakan untuk menyekap HorkBajir dan manusia.
Beberapa orang berteriak-teriak minta tolong. Ada yang menangis tanpa suara. Ada
juga yang cuma duduk dan menunggu, seolah-olah sudah putus asa.
Ada orang dewasa. Anak-anak. Wanita dan pria. Lebih dari seratus orang, berjejal
sepuluh-sepuluh dalam masing-masing kerangkeng.
Chapter 23
"TOLONG! Tolonglah kami!"
Teriakan-teriakan serupa telah terdengar sejak kami menuruni tangga. Tapi
sekarang kami bisa melihat orang-orang malang yang berteriak-teriak itu. Hatiku
serasa diiris-iris.
Pandanganku beralih ke dermaga kedua. Aku melihat sejumlah korban diseret dari
kerangkeng dan dibawa ke dermaga, agar makhluk-makhluk Yeerk bisa masuk lagi
ke kepala induk semang masing-masing. Prosesnya sederhana sekali. Para induk
semang - baik manusia maupun Hork-Bajir - ditarik ke dermaga, kemudian kepala
mereka dicelupkan secara paksa ke dalam kolam.
Ada orang yang melawan sambil menjerit-jerit, ada juga yang cuma menangis,
seakan-akan telah pasrah menerima nasibnya. Tapi semuanya tak berdaya. Ketika
kepala mereka diangkat kembali, kami melihat sosok Yeerk memasuki kepala
korban melalui telinga.
Setelah beberapa menit, para korban yang semula meronta-ronta pun kembali
tenang. Sekali lagi mereka menjadi budak kaum Yeerk.
Adegan yang kami saksikan mirip proses kerja di pabrik. Para korban diperlakukan
seperti benda mati, dibawa ke dermaga pertama, digiring ke kerangkeng, lalu
diseret ke dermaga kedua. Semua dikerjakan dengan cepat, tanpa membuangbuang waktu.
Tapi ternyata masih ada bagian lain, yang baru sekarang kami lihat. Sejumlah
manusia dan Hork-Bajir tampak menunggu dengan santai. Mereka duduk di kursikursi yang nyaman sambil menghirup minuman dan menonton TV. Makhlukmakhluk Taxxon yang menyerupai belatung raksasa berkeliaran di antara mereka.
Suara TV terdengar sayup-sayup. Dan rasanya aku juga mendengar tawa manusia.
Mereka menonton TV sambil tertawa-tawa!
<Mereka itu induk semang sukarela,> kata Tobias. <Kaki-tangan kaum Yeerk.>
"Apa maksudmu?" aku bertanya sambil mengerutkan kening.
<Masih ingat apa yang dikatakan si Andalite? Banyak manusia dan Hork-Bajir
sukarela menjadi induk semang,> sahut Tobias. <Mereka mau diajak kaum Yeerk
untuk bekerja sama.>
"Masa, sih? Itu kan tidak masuk akal," kata Rachel. "Mana ada manusia yang rela
diperlakukan seperti ini. Mana ada yang mau jadi budak?"
"Ada saja," sahut Marco. "Cukup banyak orang yang tidak lebih dari sampah."
<Mereka dibujuk dengan janji segala masalah akan beres kalau mereka bersedia
menjadi induk semang kaum Yeerk. Kurasa itulah tujuan The Sharing. Manusia
dibuat percaya bahwa semua masalah mereka akan hilang kalau mereka berubah
Chapter 24
PERUBAHAN pada Rachel berlangsung cepat sekali. Telinga besar menyembul
dari kedua sisi kepalanya. Hidungnya memanjang, lebih panjang dari tubuhnya
yang asli. Lengan dan kakinya tumbuh sebesar batang pohon. Dan dari mulutnya
muncul sepasang gigi besar melengkung.
Tinggi sepupuku Rachel kini hampir empat meter, sedangkan beratnya lebih dari
enam ribu kilogram. Anehnya, aku malah gembira.
<Ha HA!> aku mendengar tawa kemenangan Rachel. <Aku berhasil!>
Si Hork-Bajir dan si Taxxon tetap maju.
Rachel mulai mengibas-ngibaskan ekornya yang mirip tambang. Kaki depannya
mengorek-ngorek tanah di dasar gua. Ia menengadahkan kepalanya yang besar dan
menyorongkan gadingnya yang panjang.
Si Taxxon yang pertama menyadari kehadiran Rachel. Tapi tampaknya ia tidak
tahu harus berbuat apa.
Sekonyong-konyong Rachel melesat maju. Serta-merta ia menerjang kedua
makhluk di hadapannya bagaikan truk kontainer lepas kendali.
Si Hork-Bajir masih sempat bereaksi. Ia berbalik dan menyambar belalai Rachel
dengan tanduk di sikunya. Tapi sia-sia.
Kalau sudah menyerang, gajah takkan berhenti karena luka kecil yang tak berarti.
<Dasar brengsek!> Rachel berseru dengan geram. <Kau berani menyerang AKU?>
Si Hork-Bajir langsung ambruk. Tubuhnya hancur lebur di bawah kaki Rachel. Ia
Chapter 25
AKU melesat di udara dan menerjang Hork-Bajir yang paling dekat denganku.
Makhluk itu terempas ke dasar gua, sementara aku menindih tubuhnya. Ia
berguling ke samping dan berusaha bangkit. Gerakannya tangkas sekali. Tapi aku
lebih gesit lagi.
Ia melayangkan pukulan dengan tangannya yang bertanduk.
Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Cakar kiriku menyambar. Begitu cepat, aku
sendiri tak sempat melihat gerakan itu. Yang kulihat cuma empat goresan berdarah
yang tertoreh di pundak si Hork-Bajir.
Hork-Bajir lain menyerangku dari belakang. Tanduk-tanduk di lengan mereka
berdesing-desing ketika diayunkan.
Tapi aku tetap lebih cepat. Aku bahkan tidak ingat bagaimana kejadian selanjutnya.
Yang terekam dalam benakku hanyalah bayangan seekor harimau yang menerjang
dengan cakar siap menyambar dan taring siap mengoyak-ngoyak lawan. Aku
bergerak bagaikan angin puyuh.
Si Hork-Bajir tumbang. Aku mengaum. Musuh-musuhku yang lain langsung
berbalik dan kabur tunggang-langgang.
Aku melihat Rachel. Ia sedang mengangkat salah satu Hork-Bajir dengan
gadingnya. Makhluk besar itu dilemparnya ke belakang bagaikan boneka.
Dan kemudian aku melihat Marco. Tubuhnya yang kerempeng tengah berubah
menjadi sosok Big Jim yang kekar.
<Panggil aku King,> ujar Marco. <King Kong.>
Cassie sempat bercerita bahwa pembawaan gorila pada dasarnya lemah lembut. Itu
memang benar. Tapi di samping itu, gorila juga kuat. Amat sangat kuat.
Dibandingkan gorila, manusia tak lebih dari sekumpulan tusuk gigi.
Nah, Hork-Bajir termasuk makhluk yang cukup besar. Tinggi mereka hampir dua
setengah meter, dan tubuh mereka pun cocok sekali untuk membuat onar. Tapi
Marco melayangkan kepalan tangan gorilanya dan menghantam perut Hork-Bajir
terdekat. Hork-Bajir itu langsung roboh.
Aku mengaum keras-keras. Belalai Rachel mengeluarkan suara yang
menggetarkan gendang telinga. Marco mengangkat si Hork-Bajir dan
mencampakkannya bagaikan boneka.
Semua Hork-Bajir lain langsung berbalik dan lari.
<Sekarang!> aku berseru. <Mumpung mereka masih kocar-kacir!>
Kami menyerang, Rachel menerjang semua benda yang menghalanginya. Ia
merobohkan sejumlah gudang dan bangunan kecil.
Marco maju sambil mengayun-ayunkan lengannya yang kekar.
Ia menonjok segala sesuatu yang dilewatinya. Dan apa pun yang terkena pukulan
Marco pasti tidak bangun lagi.
Aku berlari di tengah-tengah, mencari-cari Pengendali yang nekat menghalangiku.
Kami sampai di deretan kerangkeng. Para tawanan manusia dan Hork-Bajir
langsung mundur. Mereka sama takutnya pada kami, seperti pada para Pengendali.
Aku tidak herantakkan ada yang menyangka ia bakal diselamatkan seekor gajah,
seekor gorila, dan seekor harimau.
Marco mulai menarik-narik gembok salah satu kerangkeng. Dalam sekejap
gembok itu telah berhasil dicopotnya. Pintu kerangkeng membuka. Marco lalu
memberi isyarat untuk menenangkan para tawanan. Ia membungkuk sedikit,
kemudian menekuk-nekuk jari telunjuk, seolah berkata silakan keluar.
Tom yang pertama bergerak. Ia tampak ketakutan, namun sorot matanya
menunjukkan kemarahan yang membara dalam dirinya.
Semula aku ingin mengirim pesan melalui pikiran agar ia tahu siapa aku, tapi tibatiba aku mendengar teriakan Rachel dalam kepalaku.
<Jake!> ia berseru. <Lihat. Cassie!>
Cassie sudah hampir sampai di ujung dermaga. Para penjaga Hork-Bajir dan
Taxxon tetap melaksanakan tugas mereka. Aku melihat kepala seseorang
dicelupkan dengan paksa ke dalam kolam Yeerk.
<Habis ini giliran Cassie!> aku memekik.
<Tenang saja,> ujar Marco. <Biar kami yang menolong Tom. Kau harus
menyelamatkan Cassie. Cepat. Sebelum terlambat!>
Sejenak aku bimbang. Seribu satu pikiran berkecamuk dalam benakku. Akhir-akhir
ini aku sering memikirkan saat itu. Mungkin... mungkin... kalau saja.... Aku mulai
berlari. Aku harus menyelamatkan Cassie! Dua Hork-Bajir di dermaga menarik
Chapter 26
BERANGSUR-ANGSUR Visser Three berubah menjadi makhluk raksasa setinggi
pohon. Dibandingkan monster itu, Rachel pun tampak kecil. Ia punya delapan kaki
kokoh. Delapan lengan panjang kurus kering, masing-masing dengan tangan
bercakar tiga.
Kemudian kepalanya bermunculan.
Bukan satu. Bukan dua. Tapi delapan. Rupanya makhluk itu penggemar angka
delapan.
Para Pengendali Hork-Bajir mundur teratur. Mereka pun tidak berani dekat-dekat
dengan bentuk baru Visser Three ini.
Tapi gerombolan Taxxon malah mendekat. Makhluk-makhluk menjijikkan itu
berkerumun di sekeliling pemimpin mereka bagaikan sekawanan anjing lapar yang
mengharapkan sisa-sisa makanan.
Aku diam seperti patung. Aku tidak bisa bergerak. Harimau dalam diriku ikut
Kami berlari tunggang-langgang. Namun tak ada harapan. Di antara sekian banyak
tawanan yang sempat kami bebaskan, hanya beberapa orang serta dua Hork-Bajir
yang berhasil selamat sampai di tangga. Yang lain tertangkap lagi atau terbakar.
Sebuah bola api meledak di samping kakiku dan aku meraung-raung. Tapi kami
terus lari menaiki tangga.
Kami sudah naik sekitar tiga puluh meter ketika kedua Hork-Bajir terkena bola api
yang dilontarkan Visser Three. Keduanya jatuh terbakar.
Visser Three mulai menaiki tangga. Sendirian. Tangga itu terasa sempit untuk
tubuhnya yang berukuran raksasa. Aku tahu Visser Three takkan bisa mengejar
kami, kalau kami sanggup mencapai tangga yang diapit dinding batu. Aku
memandang ke atas, dan melihat Cassie beserta penunggangnya sudah hampir
sampai di sana.
Para anggota Animorphs yang lain, bersama Tom dan segelintir orang yang
berhasil dibebaskan, berlari menggerombol.
Visser Three mulai menghujani tangga di atas kami dengan bola api. Kami
terperangkap. Di depan, api berkobar-kobar. Di belakang, Visser Three semakin
dekat.
"Tidak," aku mendengar suara yang sangat kukenal. "Tidak bisa. Kali ini kau
takkan menang."
Itu suara Tom.
Seorang diri, hanya berbekal kepalan tinju, ia menyerang Visser Three.
Visser Three mengayunkan salah satu lengannya.
<Tom!> teriakku. Tubuh harimauku mengaum sekuat tenaga.
Tapi auman itu tenggelam dalam isak tangis manusia serta desis makhluk-makhluk
Taxxon.
Aku melihat Tom terhuyung-huyung akibat pukulan Visser.
Aku melihatnya jatuh dari tepi tangga.
Dan aku langsung kalap.
Sebelum sadar apa yang kulakukan, aku sudah menerkam Visser Three. Aku
mencakar-cakar tubuhnya, lalu memanjat ke belakang salah satu kepalanya.
Harimau dalam diriku tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa pikir panjang aku
membenamkan taringku yang panjang ke tengkuk Visser.
Kepala yang lain menoleh dan melontarkan bola api ke arahku.
Bola api pertama berhasil kuelakkan. Tapi bola api kedua membakar pahaku. Aku
segera melompat turun.
Visser Three melolong kesakitan. Aku mengaum penuh kebencian.
Kami semua lari menaiki tangga, tergopoh-gopoh, seakan-akan dikejar seratus
mimpi buruk.
Chapter 27
KAMI terus lari. Walaupun letih, ketakutan, dan terbakar di sana-sini, kami berlari
tanpa henti.
Visser Three telah membuat satu kesalahan. Ia memilih wujud yang terlalu besar,
sehingga tak dapat mengejar kami sampai ke puncak tangga.
Aku mendengar seruan Visser Three ketika kami akhirnya berhasil lolos. Ia
berkata, <Akan kubunuh kalian semua, Andalite. Kali ini kalian boleh lolos, tapi
tak ada pengaruhnya. Kalian akan kubunuh semua!>
Terus terang, bagiku pengaruhnya besar sekali. Kami, para anggota Animorphs,
memang gagal menghancurkan Visser Three, tapi yang penting kami masih hidup.
Sayangnya, hanya satu tawa nan yang berhasil kami bebaskan - yaitu wanita yang
menunggangi Cassie. Dan Cassie pun selamat. Yang menangkapnya adalah petugas
polisi yang kami curigai sebagai Pengendali. Polisi itu satu-satunya Pengendali
yang mengetahui nama dan alamat Cassie. Ia juga sempat memergoki Cassie pada
pertemuan The Sharing. Cassie bilang kami tidak perlu kuatir terhadap polisi itu.
Tapi ia enggan menceritakan apa yang terjadi padanya. Dan Tom... kakakku. Tom
gagal meloloskan diri. Aku sedang berbaring di tempat tidur dengan tubuh gemetar
sambil menggigil dan menangis akibat teror yang kualami, ketika aku
mendengarnya pulang malam itu. Ia tidak tahu bahwa akulah sang harimau. Ia
tidak tahu aku hampir berhasil menyelamatkannya. Kini ia kembali menjadi
Pengendali. Kini ia kembali dikuasai Yeerk yang bercokol di dalam kepalanya.
Cassie, Marco, Rachel, dan aku berhasil naik sampai ke puncak tangga. Kami
keluar menuju koridor sekolah. Bagi kami, sekolah itu takkan pernah sama lagi
seperti dulu.
Dan Tobias? Ia juga selamat.
Menjelang subuh aku terbangun karena mendengar kepak sayap di jendela.
Aku membuka jendela dan Tobias terbang masuk.
"Untung kau selamat," ujarku. "Wah, aku sempat kuatir setengah mati. Kupikir kau
masih terperangkap di bawah sana. Aku yakin kau bisa menemukan tempat untuk
bersembunyi, tapi kau kan sudah lama jadi elang. Aku kuatir kau tertangkap karena
terpaksa berubah jadi manusia lagi. Syukurlah kau berhasil lolos."
<Bagaimana dengan yang lain?> ia bertanya.
"Masih hidup," jawabku. "Semuanya masih hidup. Kurasa itulah yang paling
penting."
<Yeah. Itu yang paling penting.>
"Ayo, Tobias," ujarku. "Berubahlah. Kau bisa tinggal di sini. Kau boleh pakai
tempat tidurku. Aku terlalu capek. Tidur di atas paku pun aku tak peduli."
Ia diam saja. Dan dalam hatiku aku tahu sebabnya. Hanya saja aku enggan
mengakuinya.