Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekitar delapan juta wanita /tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih
dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di negara
berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan
persalinan. Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), di
Indonesia sendiri angka kematian ibu masih salah 1 yang tertinggi di Asia yaitu
mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup.1
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi serius dalam kehamilan dengan
insiden kejadian 1 dari 2000 kehamilan. Eklampsia adalah kasus akut pada penderita
preeklampsia, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya
dengan preeclampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum.
Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah
persalinan. 2
Kematian ibu hamil karena eklampsia dan preeclampsia berat tercatat sekitar
72000 setiap tahunnya, hal ini menunjukkan sekitar 200 wanita meninggal tiap hari
akibat eklampsia dan preeclampsia berat. Wanita di negara berkembang memiliki
risiko 300 kali lebih besar meninggal akibat eklampsia dan preeclampsia daripada
wanita yang berada di negara maju. 3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana angka kejadian preekalmpsia berat
dan eklampsia pada RSUD Prof.W.Z.Johannes Januari 2014 Desember 2015

C. Tujuan Penelitian
Untuk megetahui angka kejadian preekalmpsia berat dan eklampsia pada RSUD
Prof.W.Z.Johannes Januari 2014 Desember 2015

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Memberikan informasi tentang angka kejadian preekalmpsia berat dan eklampsia
pada RSUD Prof.W.Z.Johannes Januari 2014 Desember 2015
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi mahasiswa, dan sebagai bahan
penunjang mata kuliah kesehatan reproduksi tentang angka kejadian preekalmpsia
berat dan eklampsia pada RSUD Prof.W.Z.Johannes Januari 2014 Desember
2015

3. Bagi Peneliti Lanjutan


Sebagai bahan informasi dan masukan untuk penelitian selanjutnya angka kejadian
preekalmpsia berat dan eklampsia pada RSUD Prof.W.Z.Johannes Januari 2014
Desember 2015

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Preeklampsia merupakan gejala yang timbul pada ibu hamil di atas usia 20
minggu, bersalin dan dalam masa nifas yang ditandai dengan adanya: hipertensi dan
proteinuria. Sedangkan seorang wanita dikatakan eklampsia bila memenuhi kriteria
preeklampsia dan disertai dengan kejang-kejang (yang bukan disebabkan oleh
penyakit neurologis seperti epilepsi) dan atau koma. Ibu tersebut tidak memiliki
riwayat hipertensi sebelumnya. 2
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Secara definisi eklampsia adalah preeklampsia yang disertai
dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma. Eklampsia merupakan kasus akut
dari penderita preeklampsia yang disertai kejang menyeluruh dan koma. Pada
umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya
gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual yang hebat,
nyeri epigastrium dan hiperreflexia. Preeklampsia yang diikuti dengan tanda-tanda ini
disebut dengan impending eklampsia.2 Sama halnya dengan preeclampsia, eklampsia
dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya
terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 2

Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala
dan tanda di bawah ini:
1. Tekanan darah dalam keadaan istirahat sistolik 160mmHg dan diastolik
110 mmHg
2. Proteinuria 5 g/ jumlah urine selama 24 jam atau dipstick > atau = +2
3. Oliguria: produksi urine 400-500cc/24jam
4. Kenaikan kreatinin serum
5. Edema paru dan sianosis
6. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen
7. Gangguan otak dan visus: perubahan kesadaran, nyeri kepala, scotomata, dan
pandangan kabur
8. Gangguan fungsi hepar: peningkatan alanin dan aspartat amino transferase
9. Hemolisis mikroangiopati
10. Trombositopenia < 100.000/mm3
11. Sindroma HELLP 6

Eklampsia adalah kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya dengan preeclampsia, eklampsia
dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya
terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 2(sarwano)
2.2 Epidemiologi
Insiden eklampsia telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Hal ini
dapat terjadi karena dalam batas tertentu eklampsia dapat dicegah melalui asuhan
antenatal yang adekuat. Di negara maju, insiden eklampsia mungkin sekitar 1 dalam

2000 kelahiran. Pada National Vital Statistics Report, Ventura dkk., memperkirakan
insiden di Amerika Serikat pada tahun 1998 sebesar sekitar 1 dalam 3250. Menurut
Royal College of Obstetricians and Gynaecologist (2006) di UK, insiden eklampsia
sekitar 1 dalam 2000 kelahiran. Sedangkan Akkawi,dkk (2009) melaporkan insiden
sebesar 1 dalam 2500 di Dublin dan Zwart dkk.,(2008) melaporkan angka 1 dalam
1600 di Belanda. 4
Menurut laporan WHO tahun 2014, angka Kematian Ibu (AKI) di dunia yaitu
230.000 jiwa, diperkirakan karena perdarahan (27%), penyebab tidak langsung
(28%), infeksi (9%), aborsi yang tidak aman (8%), preeklampsia/eklampsia
(14%), persalinan yang kurang baik (9%) dan penyebab langsung lainnya (3%).
Sedangkan di Indonesia perkiraan jumlah kematian Ibu menurut penyebabnya pada
tahun 2013 adalah perdarahan sebanyak 30.3%, pre-eklampsia dan eklampsia
sebanyak 27.1% dan infeksi sebanyak 7.3%, lain lain 40.8% 1, 3. Hasil data ini sejalan
dengan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan yang menyebutkan angka
kejadian eklampsia di Indonesia cukup tinggi. Data Departemen Kesehatan
menyebutkan bahwa eklampsia menjadi penyebab kedua kematian ibu di Indonesia.
2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsia-eklampsia dapat disebabkan oleh:
Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Hipertensi kronik

Penyakit ginjal kronis


Kehamilan multiple
Diabetes mellitus
Obesitas
Usia ibu > 40 th
Riwayat preeklampsia pada ibu dan saudara perempuan.
2.4 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga saat ini belum diketahui. Namun
terdapat beberapa teori yang dapat dianut saat ini ialah
1. Teori kelainan vaskuler placenta
2. Teori iskemia placenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
3. Teori intolerensi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskularori genetik
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi.
1. Teori kelainan vaskuler placenta
Pada kehamilan normal, rahim dan placenta mendapatkan aliran darah dari
cabang cabang arteri uterine dan ovarika. Kedua cabang arteri tersebut menembus
myometrium berupa arteri arkuata dan mempercabangkan arteri radialis yang
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan menjadi arteri spiralis.

Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
kedalam lapisan otot arteri spiralis yang menyebabkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi. Invasi ini juga memasuki jaringan sekitar arteri
spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan dilatasi ini yang memberi dampak
menurunkan tekanan darah, penurunan resistensi vaskuler dan peningkatan aliran
darah pada daerah uteroplasenta, sehingga aliran darah ke janin cukup banyak dan
perfusi jaringan cukup.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel sel trofoblas tadi pada
lapisan otot dan jaringan sekitarnya. Sehingga tidak terjadi distensi dan dilatasi pada
pembuluh darah akibatnya arteri mengalami vasokonstriksi dan terjadilah hipoksemia
dan iskemia placenta.
a. Iskemia placenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Placenta yang mengalami iskemia akan menghasilkan oksidan atau radikal
bebas (senyawa penerima electron yang tidak berpasangan) salah satu yang penting
ialah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Dengan mengubah lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak yang
dapat merusak membran, nucleus dan protein sel endotel. Peroksida lemak sebagai
radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah

yang akan merusak sel endotel, hal inilah yang menyebabkan terjdi hipertensi dalam
kehamilan
b.

Disfungsi endotel
Kerusakan membran endotel menyebabkan terganggunya fungsi endotel,

bahkan rusaknya seluruh struktur endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel,
yang akan mengakibatkan
Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi endotel adalah
memproduksi endotel yaitu menurunnya prostasiklin yang merupakan susatu
vasodialtator kuat
Agregasi sel sel trombosit pada endotel yang mengalami kerusakan akan
memproduksi tromboksan yang merupakan suatu vasokonstriktor kuat. Pada
preeklampsia kadar tromboksan sangat tinggi dibandingkan dengan
prostasiklin sehingga lebih dominan vasokonstriktor
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerular
Peningkatan permeabilitas kapiler
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor yaitu endotelin
Peningkatan faktor koagulasi.

2. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin


Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi
dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut;

Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam


kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida

Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar
terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang
sebelumnya.

Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama
periode ini makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya hasil

konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leucocyte Antigen
Protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga
ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan
mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan decidua ibu.
Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.
Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas kedalam decidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan decidua menjadi lunak, dan gembur sehingga

memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi


sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal
trimester kedua kehamilan, perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi
preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding
pada normotensive.
3. Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam review
komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan insiden risiko
preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita ibu preeklampsia; 11
sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia dan 22- 47 persen dalam studi
kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang mencakup
hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan komponen genetik untuk
hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka juga melaporkan konkordansi 60
persen di monozigotik pasangan kembar wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil interaksi
dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi metabolik
enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan demikian,
manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom preeklampsia akan
menempati spektrum sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi,

fenotipik akan berbeda antara genotipe yang sama tergantung pada interaksi dengan
faktor lingkungan.
Selain teori diatas ada beberapa teori yang digagas dapat menyebabkan
preeklampsia yaitu teori adaptasi vaskuler, teori genetik, teori defisienso gizi, teori
stimulus inflamasi.
5. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya preeklamsia (eklampsia). Beberapa peneliti menganggap
bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklamsia / eklamsia. Penelitian di Negara Equador andes dengan metode uji klinik
ganda tersamar dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup,
kasus yang mengalami preeklamsia (eklampsia)adalah 14 % sedang yang diberi
glukosa 17 %.
6. Teori Stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepas debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas sebagai sisa sisa proses apoptosis
dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan bahan ini sebagai bahan
asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan

normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklamsia (eklampsia),
di mana pada preeklamsia (eklampsia) terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel
trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin
meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu
menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons
inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel sel makrofag / granulosit yang
lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala
gejala preeklamsia (eklampsia) pada ibu.
2.5 Perubahan Sistem Dan Organ Pada Preeklampsia
1. Volume plasma
Pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma hingga 30-40%
dibandingkan yang normal, hipovolemia ini selalu diimbangi dengan vasokonstriksi,
sehingga terjadi hipertensi, volume plasma yang menurun memberi dampak luas pada
organ-organ penting.
2. Hipertensi

Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi


dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan
tekanan sistolik menggambarkan besaran curah jantung.
Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan
20 minggu tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang
tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal.
Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pascapersalinan, kecuali beberapa kasus
preeklampsia berat kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2 4 minggu
pascapersalinan.
Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma,
resistensi perifer, dan viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat
vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan darah 140 / 90 mmHg selang 6
jam. Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya suara korotkoffs phase V.
Dipilihnya tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan
diastolik 90 mmHg yang disertai proteinuria, mempunyai korelasi dengan kematian
perinatal tinggi. Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah
diastolik, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria
diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada.
Kontriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh sehinggal timbul
hipertensi. Pada saat bersamaan, kerusakan sl endotel menyebabkan kebocoran
interstitial tempat lewatnya komponen-komponen darah, termasuk trombosit dan

fibrinogen, yang kemudian tertimbun di subendotel. Wang dkk.,(2002) juga


menemukan adanya gangguan pada protein junctional endotel. Suzuki dkk.,(2003)
menggambarkan perubahan ultrastruktural pada regio subendotel arteri yang
bertahanan tinggi pada perempuan preeklamptik. Dengan berkurangnya aliran darah
akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan nekrosis,
perdarahan, dan gangguan end-organ lain yang khas untuk sindrom ini.
3. Proteinuria
o Bila proteinuria timbul :
- Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.
- Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan.
- Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik 90 mmHg, umumnya ditemukan pada
infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan
diastolik < 90 mmHg.
o Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia, tetapi proteinuria
umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai
preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir lebih dulu.
o Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik : 100 mg/l atau +
1, sekurang kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (b)
pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran
proteinuria 300 mg/24 jam.
4. Kreatinin

Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin plasma pada
preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran
darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga
menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. Dapat mencapai
kadar kreatinin plasma 1 mg/cc dan biasanya terjadi pada preeklampsia berat
dengan penyulit pada ginjal.
5. Edema
Dapat terjadi pada kehamilan normal, edema yang terjadi pada kehamilan
mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40 % edema dijumpai pada hamil normal,
60 % edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi dan 80 % edema dijumpai
pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria.
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar.
Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan atau
edema generalisata dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
6. Hematokrit
Perubahan

hematokrit

disebabkan

hipovolemia

akibat

vasospasme,

hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis


akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan
hematokrit akibat mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit <100.000
sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.
7. Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia dan perdarahan. Bila
terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer akan terjadi nekrosis sel hepar dan
peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar
dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri
di daerah epigastrium dan menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan.
8. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa :
- Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
- Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan
visus dapat berupa : pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa
jelas adanya kelainan dan ablasio retinae (retinal detachment).
- Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklampsia.
- Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui dengan
jelas. Faktor faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri,
vasospasme serebri dan iskemia serebri.
- Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia.

2.6 Gambaran klinik


Eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia
postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
Pada penderita preeclampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau
tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan timbulnya
kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagagi

impending eclampsia atau imminent eclampsia. Kejang pada eklampsia harus


dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit lain. Oleh karena itu, diagnosis
banding eklampsia menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak, hipertensi,lesi
otak, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi iatrogenik. Eklampsia selalu didahului
oleh preeclampsia. Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang
tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka
khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot
tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah
penderita wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan
fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh
saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.
Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai
dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai
pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan
kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Dari mulut
keluar liur berbusa dan kadang-kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak
membengkak karena kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik
perdarahan. Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur
kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma.
Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian
juga suhu badan meningkat, yang mungkin oleh karena gangguan serebral. Penderita

mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang


terjadi aspirasi bahan muntah.
Koma yang terjadi setelah kejang, berlangsung sangat bervariasi dan bila tidak
segera diberi obat-obat antikejang akan segera disusul dengan episode kejang
berikutnya. Stelah berakhirnya kejang, frekuensi pernapasan meningkat, dapat
mencapai 50 kali per menit akibat terjadinya hiperkardia atau hipoksia. Pada
beberapa kasus bahkan dapat menimbulkan sianosis. Penderita yang sadar kembali
dari koma, umumnya mengalami disorientasi dan sedikit gelisah.

2.7 Penatalaksanaan
Prinsip perawatan eklampsia ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital,
yang harus diingat airway, breathing dan circulation, mengatasi dan mencegah
kejang, mengatasi hipoksemia, dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada
waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu kritis hipertensi,
melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Medikamentosa
1. Obat anti kejang

Yang menjadi pilihan utama ialah MgSO4. MgSO4 telah digunakan sejak
tahun 1920an di eropa dan amerika. Tujuan pemberian MgSO4 yaitu untuk mencegah
dan mengurangi angka kejadian eklampsia serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal. Mekanisme utama MgSO4 belum di mengerti
sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya ialah menyebabkan vasodilatasi melalui
reaksi otot polos. MgSO4 secara in vivo dan in vitro, meningkatkan endotelial
vasodilatator prostacyclin. Mg juga menjaga dari kerusakan endotelial dan kerusakan
karena iskemia dengan mengganti ion Ca dan mencegah Ca masuk ke dalam sel yang
rusak. Dan terakhir sebagai anti konvulsan, dengan menghambat reseptor N-metil Daspartat di otak, yang dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
dapat merusak sel dan epileptogenic. Pemberian MgSO4 hendaknya observasi
toksisitasnya seperti hilangnya reflek patela, gagal ginjal, somnolen, paralisis dll.
Siapkan antidotumnya Ca Glukonas.
Bila masih sukar diatasi dapat dipakai obat jenis lain seperti thiopental,
diazepam dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun harus diberikan oleh tenaga
medis yang berpengalaman. Pemberian diuretikum hendaknya memonitori plasma
elektrolit. Anti hipertensi diberikan sesuai indikasi
2. Pengobatan Obstetrik

Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri, tanpa memandang umur


kehamilan dan janin. Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi
hemodinamika dan metabolisme paru.
Alur penatalaksanaan Eklampsia
Penananganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa
persalinan harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia
a. Pengelolaan kejang

Beri obat anti kejang


Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, penghisap lendir,
masker, oksigen)

Lindungi pasien dari kemungkinan trauma

Aspirasi mulut dan tenggorokan


Baringkan pasien pada sisi kiri, kepala sedikit lebih tinggi untuk
mengurangi risiko aspirasi

Berikan 02 4-6 ltr/menit

b. Pengelolaan umum

Jika tekanan diastolic > 110 mmHg berikan antihipertensi sampai tekanan
diastolic antara 90-100

Pasang infus ringer laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih

Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload

Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria

Infus cairan dipertahankan 1.5-2 ltr/24 jam

Jangan tinggalkan pasien sendirian.

Observasi tanda vital, reflex, dan denyut jantung janin setiap1 jam

Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi tanda
edema paru. Jika ada tanda edema paru hentikan cairan dan berikan diuretic

Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi
setelah 7 menit. Kemungkinan terdapat koagulopati.

3. Anti konvulsan
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi
kejang pada preeklampsia dan eklampsia. Alternative lain adalah diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi neonatal.

Protap Penggunaan Antikonvulsan Mgso4 Dan Diazepam


MAGNESIUM SULFAT UNTUK PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA
Alternatif 1 dosis awal

MgSO4, 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5


menit
Segera dilanjutkan dengan 15 ml MgSO4 (40%) 6

g dalam larutan RL selama 6 jam


Jika kejang berulang selama 15 menit, berikan
MgSO4 2 g IV selama 5 menit
Dosis pemeliharaan
Alternatif II dosis awal
Dosis pemeliharaan

MgSO4 1 g/jam melalui infus ringer laktat yang


diberikan selama 24 jam post partum
MgSO4 4 gIV sebagai larutan 40% selama 5
menit
Diikuti dengan MgSO4 5g IM dengan 1 ml
Lignokain (dalam semprit yang sama)
Pasien akan merasa agak panas pada saat
pemberian MgSO4
Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit

Sebelum pemberian MgSO4 Reflek patella +


ulangan lakukan pemeriksaan Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
Frekuensi napas >16 x/menit
Hentikan pemberian MgSO4,
jika

Jika terjadi henti napasbantu pernapasan dengan


ventilator

Siapkan antidotum

Berikan Ca Glukonas 1 g (20ml dalam larutan


10%) IV perlahan-lahan hingga napas mulai lagi

DIASEPAM UNTUK PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


Dosis awal

Dosis pemeliharaan

Diasepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit


jika kejang berulang-ulang, ulangi pemberian
sesuai dari awal
Diasepam 40 mg dalam 500 ml RL lalui infus
Depresi pernapasan ibu baru mungkin akan terjadi
bila > 30 mg/jam
Jangan diberikan melebihi 100 mg/jam

c. Anti hipertensi

Obat pilihan adalah nifedipin yang diberikan 5-10mg oral yang dapat diulang
sampai 8 kali/ 24 jam

Jika respon tidak membaik setelah 10 menit, berikan tambahan 5 mg nifedipin


sublingual

Labetolol 10 mg oral, jika respon tidak membaik setelah 10 menit berikan lagi
Labetolol 20 mg oral.

d. Persalinan
Pada PEB, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam
6 jam sejak gejala eklampsia timbul.

Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada
eklampsia), lakukan seksio (SC) sesaria
Jika SC akan dilakukan, perhatikan bahwa:
Tidak terdapat koagulopati
Anestesi yang aman adalah anestesi umum untuk eklampasia dan spinal untuk
PEB

Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan induksi dengan oksitosin 2-5
IU dalam 500 ml Dekstrose 10 tpm atau dengan cara pemberian prostaglandin/
misoprostol

e. Perawatan postpartum

Anti konvulsan diberikan sampai 24 jam PP atau kejang yang terakhir

Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolic masih > 90 mmHg

Lakukan pemantauan jumlah urin.

2.8. Komplikasi
Tergantung derajat preklampsia atau eklampsianya. Termasuk komplikasi
antara lain atonia uteri, sindrom HELLP, ablasia retina, KID (koagulasi intravascular
diseminata), gagal ginjal, perdarahan otak, edema paru, gagal jantung, hingga syok
dan kematian
Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular,
termasuk hampir 4x peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung
iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang.
Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi,
termasuk yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular. Dimana preeklampsia < 37
minggu miliki risiko relatif yang lebih tinggi.
Komplikasi pada janin berhubungan dengan akut atau kronisnya insufisiensi
uteroplasental, misalnya pertumbuhan janin terhambat dan prematuritas

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1

Kerangka Konsep
Eklampsia

Preeklampsia Berat

Keluaran Ibu

Skema 3.1 Kerangka Konsep


3.2

Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti dalam penelitian adalah gambaran kejadian Preeklamsi
Berat dan Eklamsia di RSUD Prof W Z Yohannes Tahun 2014-2015

3.3

Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional


Variablel
Preeklampsia

Definisi operasional

Skala

Suatu keadaan dimana:


- MS:
tekanan Nominal
darah 140/90
- tekanan darah 140/90 mmHg
mmHg,
- Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1
proteinuria >
+ dipstik
300
mg/24
- Edema
jam atau > 1 +
dipstik
dan
edema
- TMS : tekanan
darah
<
140/90 mmHg
dan
proteinuria
kualitatif (-)

Eklampsia

3.4

Hasil ukur

Suatu keadaan terjadi preeklampsia 1= eklampsia


disertai
dengan
kejang-kejang
2=tidak
dan/atau koma
eklampsia

Nominal

Instrumen (Alat Ukur) Penelitian


Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari buku
register Ruang Bersalin RSUD Prof. W. Z Johannes Kupang Periode 20142015.

3.5

Jenis dan Rancangan


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang
bersifat deskriptif untuk mengetahui gambaran atau deskripsi terkait angka
Kejadian Preeklamsia Berat dan Eklamsia serta pengaruh tatalaksanya pada
kematian ibu.

3.6

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilakukan di RSUD Prof. W. Z. Johannes Kupang pada
periode 2014 - 2015.

3.7

Populasi dan Sampel

3.7.1

Populasi
Populasi data penelitian ini adalah jumlah seluruh pasien yang
didiagnosa preeklamsia berat dan eklamsia berdasarkan pemeriksaan tekanan
darah dan dilanjutkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan
protein urine di RSUD Prof. W. Z. Johannes Kupang pada 2014-2015.

3.7.2

Sampel
Sampel penelitian adalah pasien yang didiagnosa Preeklamsia Berat
dan Eklamsia

berdasarkan pemeriksaan tekanan darah dan dilanjutkan

pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan protein urine di RSUD


Prof. W. Z. Johannes Kupang. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan
teknik sampel total (total sampling) dimana pada teknik ini seluruh subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam populasi dijadikan sebagai
sampel penelitian
3.8

Kriteria Inklusi dan Ekslusi

3.8.1

Kriteria Inklusi
Pasien didiagnosa mengalami Preekalmsia Berat dan Eklamsia di

ruang

bersalin RSUD Prof. W. Z. Johannes Kupang periode 2014-2015.


3.8.2

Kriteria Ekslusi

Pasien dengan riwayat hipertensi sebelum hamil


Pasien dengan hipertensi namun terjadi sebelum hamil maupun > 3 bulan
pasca persalina

3.9

Cara Pengumpulan Data dan Alur Penelitian

3.9.1

Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil namanama pasien
hipertensi dalam kehamilan beserta nomor MR pasien dan data pasien lainnya
yang terdapat dalam buku Register pasien bersalin pada ruang bersalin RSUD
Prof W. Z. Johannes Kupang. Selanjutnya, dilakukan penentuan kriteria
inklusi dan kriteria ekslusi, sehingga didapatkan data akhir.

3.9.2

Alur Penelitian
Persiapan awal dan
perizinan peneitian

Laporan hasil
penelitan

Pengambilan,
Pencatatan, dan
pengumpulan data

Penentuan sampel
penelitian

Penyajian data
hasil analisis

Analisis data secara


statistik

Skema 3.2. Alur Penelitian

BAB 4
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa angka kejadian Preeklamsia Berat dan Eklamsia
di RSUD Prof W.Z. Johanes periode 2014-2015 adalah sebagai berikut : Total pasien
Preeklampsia Berat pada Tahun 2014 = 78 pasien, 2015 = 115 pasien , Total pasien
dengan eklamsia pada Tahun 2014 = 16 pasien, 2015 = 19 pasien . Dari 19 kejadian
Eklamsia pada 2015 terdapat 1 pasien yang meninggal, pasien ini yang akan dibahas
penatalaksanaannya apakah sudah sesuai protab penatalaksanaan PEB dan Eklamsia
di RSUD Prof WZ Johannes Kupang.

Tabel 3.2 Angka Kejadian Preeklampsi dan Eklampsi pada tahun 2014 - 2015

Pada grafik di atas terlihat gambaran insidensi dari kejadain Preeklamsia berat
dan Eklamsia pada bula januari 2014 sampai desember 2015. Kejadian preeklampsi
berat masih merupakan penyakit yang sering ditemui pda kehamilan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Hal ini diperjelas dengan rerata kejadian preeklampsia berat di
rumah sakit rujukan Provinsi NTT RSUD Prof.W.Z.Johannes lebih dari 10 pasien per
bulannya. Kejadian preeklampsi tertinggi pada tahun 2014 yaitu bulan maret dan april
yaitu 16 kasus.
Kejadian Preeklampsia dapat berlanjut menjadi eklampsia pada grafik di atas
juga menjelaskan bahwa rerata kejadian eklampsi tertinggi pada bulan maret 2014
yaitu terdapat 8 kasus dan terendah pada bulan april 2014 yaitu 1 kasus. Pada
kejadian eklampsi ini terdapat 1 kasus kematian yang terjadi pada bulan desember
2015.

Kejadian Preeklamsi berat dan


eklamsi pada bulan Januari
2014 Desember 2015 di RSU
Prof. W. Z. Johannes Kupang

PEB : 193 pasien

Eklamsi : 35
pasien

1 Pasien
Meninggal

Pada grafik diatas didapatkan bahwa angka kejadian kematian akibat preeklampsi dan
eklampsi ada 1 kasus yaitu pada bulan desember 2015. Pada penelitian ini akan
dibahas penanganan yang didapatkan oleh kasus itu sudah sesuai dengan protap
penatalaksanaan kasus preeklampsi dan eklampsi.
Kasus ini terjadi pada tanggal 15 desember 2015 pada Ny.TS 34 tahun datang dengan
diagnosa G3P2A0 AH2 UK 22-23 minggu + PEB +Observasi Febris masuk ke

ruangan edelweys. Pada saat observasi pasien mengalami penurunan kesadaran dan
dipindahkan ke ruangan ICU. Pasien telah diberikan terapi awal yaitu oksigen 4 liter
per menit, kemudian diberikan MgSO4 dosis awal dan dosis rumatan untuk
mengatasi keadaannya. Pasien juga telah di konsulkan ke Ts Interna dan saraf dan
telah mendapat terapi sesuai keilmuan dari masing-masing bidang.
Prinsip perawatan eklampsia ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang
harus diingat airway, breathing dan circulation, mengatasi dan mencegah kejang,
mengatasi hipoksemia, dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu
kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu kritis hipertensi,
melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Untuk mengatasi
PEB dan penurunan kesadarannya diberikan penatalaksanaan preeklampsi dan
eklampsi yaitu

MAGNESIUM SULFAT UNTUK PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


Alternatif 1 dosis awal

MgSO4, 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5


menit
Segera dilanjutkan dengan 15 ml MgSO4 (40%) 6
g dalam larutan RL selama 6 jam
Jika kejang berulang selama 15 menit, berikan
MgSO4 2 g IV selama 5 menit

Dosis pemeliharaan

MgSO4 1 g/jam melalui infus ringer laktat yang


diberikan selama 24 jam post partum

Alternatif II dosis awal

MgSO4 4 gIV sebagai larutan 40% selama 5


menit

Dosis pemeliharaan

Diikuti dengan MgSO4 5g IM dengan 1 ml


Lignokain (dalam semprit yang sama)
Pasien akan merasa agak panas pada saat
pemberian MgSO4
Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit
Sebelum pemberian MgSO4 Reflek patella +
ulangan lakukan pemeriksaan Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
Frekuensi napas >16 x/menit
Hentikan pemberian MgSO4,
jika

Jika terjadi henti napasbantu pernapasan dengan


ventilator

Siapkan antidotum

Berikan Ca Glukonas 1 g (20ml dalam larutan


10%) IV perlahan-lahan hingga napas mulai lagi

DIASEPAM UNTUK PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


Dosis awal

Diasepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit


jika kejang berulang-ulang, ulangi pemberian

sesuai dari awal


Diasepam 40 mg dalam 500 ml RL lalui infus
Dosis pemeliharaan

Depresi pernapasan ibu baru mungkin akan terjadi


bila > 30 mg/jam
Jangan diberikan melebihi 100 mg/jam

Pada kasus ini terapi yang diberikan sesuai dengan protap penatalaksanaannya.
Terapi yang diberikan selama pasien dirawat :
14/12/2015 : MRS
1. 17.45 WITA
A/N Ny. Taroci Selan, 34 tahun
No. MR 430139
S: Pasien baru masuk di edelweys dengan Penurunan kesadaran pada tanggal 14
Desember 2015 pukul 17.45 WITA
Keadaan umum pasien lemah, tidak sadarkan diri,
O: TTV : TD : 120/90 mmhg, N : 92x/menit, T : 38,5OC, RR : 26x/menit
A : G3P2A0 AH2 UK 22-23 minggu + Riwayat urut-urut +Observasi Febris
P:
-

Oksigen 4 lpm
PCT 3x1 tab
Dulcolax supp 1/rectal

2. 19.20 WITA
Pasien kelihatan gelisah,

TTV : TD: 160/110, N: 112x/menit, T: 38,5oC, RR: 40x/menit


Terapi:
-

Inj. Ranitidin
Inj. ondansentron
Pasang NGT
PCT infus 3x1
Konsul saraf + interna

3. 21.00, Pasien pindah ke VK


KU Lemah, tidak sadarkan diri, terpasang infus RL drip neurobion + oksigen 3 lpm +
DC.
Advis dokter SpOG : Protab PEB, RL : D5 = 1:1, masuk ICU, injeksi Cefotaxime,
terminasi menggunakan misoprostol 50meq/6 jam/vagina.
TTV : TD 160/110 mmhg
Terapi :
- Oksigen 4 lpm
- Drip neurobion diganti ke drip MgSO4 40% diberikan selama 6 jam 28 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x1 gram IV
- Misoprostol 4x50meq pervaginam
- Metronidazole 3x 500 mg infus
- Paracetamol 3x1 tab
4. 15 Desember 2015 pukul 07.00 WITA
KU lemah, drip MgSO4 habis diganti dengan drip Neurobion, DC (+), NGT (+)
TTV : TD : 110/80 mmhg, N : 96x/menit, T : 37oC, RR : 24x/menit
Advis dokter SpOG, Terapi :
- KIE
- MgSO4 drip 6 gram dalam RL 500 cc (habis dalam 6 jam)
- Nifedipin 3x 50 mg bila TD 160/110 mmhg
- Balance cairan
Dalam perjalanan perawatan, pasien diberi ekstra lasik dan misoprostol 50
meq/vaginam.
- Drip neurobion diganti dengan drip MgSO4
- injeksi cefotaxime 1 gram iv
- Metronidazole infus 500mg
4 jam kemudian pasien diberikan PCT infus 1 gram.
TTV : TD : 100/70 mmhg, T : 39oC
Urine : 620 cc
5. pukul 14.00

Pasien tidak sadarkan diri, terpasang infus RL drip MgSO4 40% Fls II, DC (+), BC
(+), oksigen (+), keadaan menurun
TTV : TD : 130/90 mmhg, N: 89x/menit, T : 39,2oC, RR : 26x/menit
Terapi :
- Oksigen 4 lpm
- Drip MgSO4 fls II habis, diganti dengan MgSO4 fls III
- Misoprostol 50 meq/vaginam
3 jam kemudian, saat observasi TTV didapatkan nadi tidak teraba, pupil midriasis,
pasien dinyatakan meninggal.

BAB 5
KESIMPULAN & SARAN

5.1

Kesimpulan
Preeklamsia dan eklamsia merupakan salah satu masalah serius pada wanita

hamil yang sampai saat ini belum dapat dicegah kejadiannya. Hal ini dibuktikan
dengan hasil penelitian mengenai insidensi kejadian preeklamsi dan eklamsi pada
bulan Januari 2014 Desember 2015 di RSU Prof W. Z. Johannes yang masih
dikatakan cukup tinggi yakni dengan rerata lebih dari 10 pasien perbulan yang masuk
di rumah sakit dengan diagnosis preeklamsi atau eklamsi. Terdapat berbagai masalah
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat dari preeklamsi atau
eklamsi seperti hipertensi dan edema paru yang dapat mengakibatkan terjadinya
dispnea, gagal ginjal atau sampai kematian.
Kematian yang terjadi pada pasien dengan preeklamsi dan eklamsi biasanya
disebabkan karena telatnya pencegahan penyakit untuk menuju ke komplikasi yang
lebih berat atau salahnya penanganan yang diberikan, sehingga menyebabkan
morbiditas pasien semakin meningkat.
5.2

Saran.

Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menggunakan jumlah sampel yang


lebih besar dengan jangkauan waktu yang lebih luas sehingga hasil penelitian
diharapkan dapat lebih bermakna dan dapat mewakili seluruh populasi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin. Mother Day. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. 2013.
(diakses pada 26 juli 2015) di unduh dari http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ibu.pdf
2. Prawirohardjo Sarwono; Ilmu Kebidanan Hipertensi dalam Kehamilan Edisi
Keempat; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta, 2009 ; hal 281
301.
3. Sanjay Gupte, Giraja Wagh; Preeclampsia-eclampsia. The Journal of Obstetrics
and Ginkology of India. January February 2014
4. Tim Poned. Buku Acuan Preklampsia-eklampsia. Depkes RI. 2008
5. Magee LA, et al. Diagnosis, Evaluation, and Management of the Hypertensive
Disorders of Pregnancy: Executive Summary. SOGC Clinical Practice Guideline.
USA. May 2014.
6. Cunningham F. Bary; Hypertensive Disorders in Pregnancy in Williams Obstetrics
23st edition; McGraw Hill, USA, 2010.
7. WHO. Maternal mortality. May 2014. (Diakses pada 20 April 2016). Diunduh dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs348/en/.
8. Hernawati Ina.Analisis Kematian Ibu di Indonesia Tahun 2010. Bina Kesehatan
Ibu. 2011
9. Naljayan M, Karumanchi S. New Developments In The Pathogenesis Of
Preeclampsia. Howard Hughes Medical Institute. Pubmed Centra.2013
10. World Health Organization (WHO). Managing eklampsia. International
confederation of midwives. 2008.
11. Singhai AB, Kimberly WT, et al. Case 8-2009: a 36 years old woman with
headache, hypertension and seizure 2 week postpartum. The New England journal of
medicine. March 2009
12. Osungbade KO, Aboyeji PA. Eklampsia: a global problem. 2011. (Diakses pada
20

april

2016).

Diunduh:

https://www.unilorin.edu.ng/publications/aboyejiap/Eklampsia%20%20A%20Global
%20Problem.pdf
13. Alex C. Vidaeff; Mary A. Carroll SMR. Acute hypertensive emergencies in
pregnancy. Crit Care Med. 2005;33:S307-S12

Anda mungkin juga menyukai