PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah farmasi klinikmulai muncul pada tahun 1960an di Amerika,
dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan
dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan
profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari
ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan
adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional
yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan
munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University
of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang
mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang Apoteker yang
menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit,
baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu
keahlian tersendiri.
Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan
secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal
Two Silices. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa
akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya
industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang
industri obat dan di bidang penyedia/peracik obat ( apotek ). Dalam hal ini
keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari
pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi
pembuatan obat.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan
bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis,
pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Farmasi Klinik
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di
Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
a. Periode / tahap tradisional
memberian
pelayanan
pengobatan
rasional.
Terjadi
sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat
langsung dalam pengobatan pasien.
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :
1. Berorientasi kepada pasien
2. Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
3. Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan
dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
4. Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum
pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau
pengobatan
5. Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
6. Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik,
farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas
melakukan
evalusi
pengobatan
dan
memberikan
rekomendasi
pasien
sama
seperti
seorang
dokter
atau
perawat
konsisten
Mempromosikan praktek dengan biaya yang efektif
Memperluas kualitas peresepan
Menjamin keamanan pemberian obat
Memperbaiki khasiat & meminimalkan toksisitas terapi obat
Meningkatkan kepuasan kerja
2.4.2
yang
langsung
memengaruhi
penulisan
serta
2.4.3
besar
4. Permintaan profesioanl kesehatan lainnya
Pelayanan Farmasi Klinik Prioritas
Sesuai dengan kriteria tersebut, prioritas pelayanan farmasi klinik
yang perlu dilakukan apoteker, antara lain : (siregar, C.J.P. 2001)
1. Pelayanan farmasi klinik dalam panitia farmasi dan terapi (PFT)
Fungsi apoteker dalam PFT adalah sekretaris, tetapi
diharapkan agar peranan dan kontribusinya dalam PFT harus
berarti besar bagi PFT khususnya dan rumah sakit umumnya dan ia
harus merupakan salah satu motor penggerak, motivator dari
kinerja PFT agar produktif. Apoteker bukan hanya menyiapkan
agenda dan notulen rapat saja, tetapi ia harus proaktif memberi
masukan untuk rapat panitia yang digunakan sebagai bahan acuan
dalam mengambil keputusan. Pelayanan farmasi klinik dala
berbagai kegiatan PFT, antara lain menghasilkan : (siregar, C.J.P.
2001)
a. Formularium obat rumah sakit yang selalu mutakhir
b. Berbagai kebijakan dan prosedur berkaitan obat yang sesuai
c. Pelaksanaan program edukasi tentang obat yang dilaksanakan
secara terus menerus
d. Pelaksanaan program evaluasi penggunaan obat (EPO)
e. Pelaksanaan pemantauan terapi obat (PTO)
f. Pelaksanaan program pemantauan dan pelaporan reaksi obat
merugikan (ROM) yang dapat dilaksanakan secara konsisten.
Keberhasilan PFT itu akan tercapai jika ada kerjasama yang
erat antar anggota panitia terutama antara apoteker rumah sakitt
dengan seluruh staf medis rumah sakit dan yang terpenting ialah
10
hanya
dapat
dicapai
dengan
penerapan
sistem
obat.
Pelaksanaan
sistem
formularium
adalah
pengobatan
penderita
(P3),
meracik/enyediakan,
11
dan
penderita
yang
mengajukan
pertanyaan
formularium,
12
efek
13
rumah
sakit
dapat
melaksanakan
program
yang
cukup
kepatuhan
memahami
pada
obatnya,
regimen
obat
menunjukkan
yang
tertulis,
outcomes
14
terapi
dengan
memaksimalkan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Hepler,C.D. dan Strand, L.M. 1990. Oppurtunities and responsibilities in
pharmaceutical care. American journal of hospital pharmacy.
Miller, R.G. 1981. Survival analysis. Newyork : Jhon wiley & sons.
15