Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi menggambarkan suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara. Anestesi
dibagi menjadi dua golongan besar yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada anestesi
umum, hilangnya rasa sakit pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
reversibel. Sedangkan pada anestesi lokal, hilangnya rasa sakit hanya pada sebagian tubuh
dan tidak disertai hilangnya kesadaran.
Anesthesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler, subkutan,
per-oral, per-rektal. Anestesi lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi, field block, blok
saraf tepi, intravena (Biers technique), caudal, epidural dan spinal analgesi.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang bersifat heterogen, yang
mendepresi system saraf pusat ( SSP ) secara reversible dengan spectrum yang hampir sama
dan dapat dikontrol.
Tujuan pemberian obat obatan anestesi adalah untuk menghilangkan nyeri,
memblokir reaksi reflek pada proses pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot
(relaksasi). Obat obatan anestesi yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara
keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi
hipnotika, analgetika dan relaksansia otot.
Dalam

referat

ini

akan

membahas

mengenasi

anestesi

pada

penderita

feokromositoma. Pheochromocytoma adalah tumor kelenjar adrenal yang menghasilkan


hormon epinefrin dan norepinefrin. Hormon ini memiliki banyak fungsi, beberapa
diantaranya seperti mengatur tekanan darah dan detak jantung. Pheochromocytoma banyak
ditemukan pada orang dewasa dengan umur 30-60 tahun. Phaeochromocytomas adalah tumor
fungsional berasal dari sel-sel chromaffin dari medula adrenal dan paraganglions. Dibutuhkan
obat-obatan tambahan preoperasi pada pasien untuk mngontrol dan mencegah terjadinya
krisis hipertensi.

BAB II
FEOKROMOSITOMA

A. Definisi
Secara etimologi Feokromositoma berasal dari bahasa Yunani. Phios berarti
kehitaman, chroma berarti warna dan cytoma berarti tumor. Hal ini mengacu pada warna sel
tumor ketika diwarnai dengan garam kromium. Pheochromocytoma adalah tumor kelenjar
adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin dan norepinefrin. Hormon ini memiliki banyak
fungsi, beberapa diantaranya seperti mengatur tekanan darah dan detak jantung.
Pheochromocytoma banyak ditemukan pada orang dewasa dengan umur 30-60 tahun.
Phaeochromocytomas adalah tumor fungsional berasal dari sel-sel chromaffin dari medula
adrenal dan paraganglions. Sel Chromaffin adalah sel-sel yang mensekresi katekolamin yang
mempunyai karakteristik pewarnaan coklat dengan dikromat karena kehadiran butiran
sitoplasma katekolamin. Presentasi klinis klasik adalah dengan serangan paroksismal
hipertensi disertai sakit kepala, berkeringat, kecemasan palpitasi dan tremor.1,3

B. Anatomi Fisiologi
Kelenjar Adrenal
Terdapat 2 buah kelenjar adrenal pada manusia, dan masing-masing kelenjar terletak
diatas ginjal. Kelenjar adrenal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian medula adrenal ( bagian
tengah kelenjar adrenal ) dan korteks adrenal ( bagian luar kelenjar ).

Korteks adrenal memproduksi 3 kelompok hormon steroid, yaitu glukokortikoid dengan


prototipe hidrokortison, mineralokortikoid khususnya aldosteron, dan hormon-hormon seks
khususnya androgen.
1. Glukokortikoid berfungsi untuk mempengeruhi metabolisme glukosa, peningkatan
sekresi hidrokortison akan menaikan kadar glukossa darah.
2. Mineralikortikoid bekerja meningkatkan absorbsi ion natrium dalam proses pertukaran
untuk mengekresikan ion kalium atau hidrogen.
3. Hormon seks adrenal ( androgen ) memberikan efek yang serupa dengan efek hormon
seks pria.
Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari saraf otonom. Selain itu juga menghasilkan
adrenalin dan noradrenalin. Noradrenalin menekan tekanan darah dengan jalan merangsang
serabut otot di dalam dinding pembuluh darah untuk berkontraksi, dan adrenalin membantu
metabolisme karbohidrat dengan jalan menambah pengeluaran glukosa dari hati.
Fungsi kelenjar adrenal korteks :
1. Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam
2. Mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang, dan protein
3. Mempengaruhi aktivitas jaringan limfoid
Fungsi kelenjar adrenal medula :
1. Vasokontriksi pembuuh darah perifer
2. Relaksasi bronkus
3. Kontraksi selaput lendir dan arteriole
C. Epidemiologi
Feokromositoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang, merupakan tumor
medula adrenal atau tumor rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin
dalam jumlah besar (epinefrin, norepinefrin, dan dopamin) secara terus menerus atau dengan
jangka waktu yang panjang. Feokromositoma menyerang 0,1% hingga 0,5% penderita
hipertensi dan dapat menyebabkan akibat yang fatal bila tidak terdiagnosis atau terobati.
Feokromositoma dapat menyerang laki-laki dan perempuan dalam perbandingan yang sama
dan mempunyai insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun.Sekitar 90% tumor ini berasal
dari sel kromafin medula adrenalis, dan 10% sisanya dari ekstra adrenal yang terletak di area
retroperitoneal (organ Zuckerkandl), ganglion messenterika dan seliaka, serta kandung
3

kemih. Pasien dengan neoplasia endokrin multipel (MEN) II, telah meningkatkan sekresi
katekolamin dengan manifestasi klinis feokromositomaakibat hiperplasia medula adrenal
bilateral. Feokromositoma biasanya jinak (pada 95%kasus), namun dapat bersifat ganas
dengan metastasis yang jauh.
D. Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan pheochromocytoma. Pada kebanyakan kasus,
yang paling berperan adalah faktor genetik dan lingkungan. 25% dari pheochromocytomas
karena faktor keluarga . Mutasi gen VHL , RET, NF1, SDHB dan SDHD semua diketahui
menyebabkan

pheochromocytoma

keluarga

/-adrenal

paraganglioma

ekstra.

Pheochromocytoma adalah tumor dari neoplasia endokrin multipel sindrom, tipe IIA dan IIB
(juga dikenal sebagai MEN IIA dan IIB MEN , masing-masing). Komponen lainnya
neoplasma sindrom yang mencakup paratiroid adenoma, dan kanker tiroid meduler . Mutasi
di autosomal RET proto-onkogen drive keganasan ini. mutasi umun onkogen RET juga dapat
mencakup ginjal spons meduler. Pheochromocytoma terkait dengan MEN II dapat
disebabkan oleh mutasi onkogen RET. Kedua sindrom dicirikan oleh pheochromocytoma
serta kanker tiroid (karsinoma meduler tiroid). MEN IIA juga disebabkan oleh
hiperparatiroidisme, sedangkan MEN IIB juga disebabkan oleh neuroma mukosa.
Kesimpulannya bahwa Lincoln di sebabkan oleh MEN IIB, bukan Sindrom Marfan seperti
yang diduga sebelumnya, meskipun ini tidak pasti. Pheochromocytoma juga berhubungan
dengan neurofibromatosis. Feokromositoma juga bisa terjadi pada penderita penyakit von
Hippel-Lindau, dimana pembuluh darah tumbuh secara abnormal dan membentuk tumor
jinak (hemangioma); dan pada penderita penyakit von Recklinghausen (neurofibromatosis,
pertumbuhan tumor berdaging pada saraf). Penyakit ini juga dapat timbul dan atau tanpa
gejala.1,3
E. Patofisiologi
Feokromositoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang terjadi atau sangat
langka, merupakan tumor medullar adrenal atau tumor rantai simpatis (paraganglioma) yang
melepaskan katekolamin dalam jumlah besar (epinefrin, norepinefrin, dan dopamine) secara
terus-menerus atau dengan jangka waktu. Feokromositoma menyerang 0.1% hingga 0.5%
penderita hipertensi dan dapat menyebabkan akibat yang fatal bila tidak terdiagnosis atau
diobati. Feokromositoma dapat menyerang laki-laki dan perempuan dalam perbandingan
yang sama dan mempunyai insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun. Sekitar 90% tumor
4

ini berasal dari sel kromafin medulla adrenalis, dan 10% sisanya dari ekstra-adrenal yang
terletak di area retroperitoneal (organ Zuckerkandl), ganglion mesenterika dan seliaka, dan
kandung kemih. Pasien dengan neoplasia endokrin multiple (MEN II), telah meningkatkan
sekresi katekolamin dengan manifestasi klinis feokromositoma akibat hyperplasia medulla
adrenal bilateral. Beberapa penderita memiliki penyakit keturunan yang disebut sindroma
endokrin multipel, yang menyebabkan mereka peka terhadap tumor dari berbagai kelenjar
endokrin (misalnya kelenjar tiroid, paratiroid dan adrenal).1,3
Stress akan menghantarkan impuls ke sistem saraf otonom kemudian impuls tersebut
akan diteruskan ke medulla adrenal, yang selanjutnya akan merangsang sel-sel kromaffin
pada medulla adrenal untuk menghasilkan hormon epinefrin dan norepinefrin, lalu muncullah
fight or flight respon (respon stress). Tapi, dalam kasus feokromositoma, terdapat tumor selsel kromaffinnya sehingga terjadi sekresi yang berlebihan dari hormon epinefrin dan
norepinefrin, hal ini menyebabkan terjadi hipertensi, akibat dari denyut jantung yang cepat
akibat hormon epinefrin yang berlebihan.

F. Manifestasi klinis
a. Takikardi
b. Palpitasi jantung
c. Sakit kepala
5

d.
e.
f.
g.
h.

Berat badan menurun, nafsu makan normal


Pertumbuhan lambat
Mual
Muntah
Sakit perut 3

Hubungan dengan BB menurun, Lemas, Lelah, dan Mengantuk :


Didalam tubuh, glikogen dipecah menjadi glukosa dan lemak diubah menjadi asam
lemak. Tetapi karena pelepasan katekolamin secara terus menerus dan peningkatan
glykogenolisis dan lipolisis. Menyebabkan aktivitas metabolik meningkat (BB menurun) dan
darah menjadi kental. Aliran darah ke otak lambat menyebabkan lemas dan mengantuk.3
G. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a.
-

Tes darah
Glukosa darah meningkat.
Kalsium mungkin meningkat.
Hemoglobin meningkat karena haemoconcentration yang disebabkan oleh penurunan

volume sirkulasi.
Katekolamin plasma dan metanephrines plasma (alkohol metabolit katekolamin)
memiliki keduanya telah digunakan dalam diagnosis.

b. Tes Urine
- Simpan urin -24 Jam, diperlukan untuk kreatinin (untuk memastikan spesimen 24 jam
penuh), total katekolamin, asam vanillylmandelic (VMA) dan metanephrines. Botol
untuk koleksi harus gelap dan diasamkan dan harus tetap dingin untuk menghindari
-

degradasi katekolamin.
Sebaiknya segera mengumpulkan urin setelah hipertensi mereda.
Stres fisik dan sejumlah obat-obatan dapat mengganggu pemeriksaan dan
menyebabkan elevasi palsu metanephrines. Obat-obatan seperti antidepresan trisiklik,

alkohol, levodopa, labetalol, sotalol, amfetamines, benzodiazepines dan klorpromazin.


IVMA memiliki tingkat positif palsu lebih dari 15%. Satu studi menemukan bahwa air
seni dan darah, bebas metanephrines hasil terbaik diproduksi.

c. Imaging
Setelah tumor dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan biokimia, imaging
diperlukan untuk menemukan tumor itu.
-

90% dari phaeochromocytomas berada di kelenjar adrenal dan 98% di dalam perut.
Phaeochromocytomas ekstra-adrenal berkembang di jaringan chromaffin dari sistem
saraf simpatik dan dapat terjadi di mana saja dari dasar otak ke kandung kemih.
6

Lokasi umum untuk-adrenal phaeochromocytomas ekstra termasuk dekat dengan asal


mesenterika arteri inferior, dinding kandung kemih, jantung, mediastinum dan karotis
dan tumor jugulare glomus .

Beberapa teknik pemeriksaan dibawah ini yang sering digunakan:


-

MRI dapat mencari semua tumor dalam adrenal.


CT kurang sensitif dan mendeteksi sekitar 85 sampai 95% dari tumor lebih dari 1cm

diameter.
Jika Feokromositoma dikonfirmasi biokimia tetapi CT atau MRI tidak menunjukkan
tumor, scan dengan metaiodobenzylguanidine (MIBG) yang dilabeli dengan 131 atau
123 Yodium dapat dilakukan. Struktur molekul MIBG mirip dengan noradrenalin dan

konsentrat dalam adrenal atau ekstra- adrenal phaeochromocytomas.


Sebuah reseptor somatostatin analog pentetreotide disebut, diberi label dengan 111
Indium kurang sensitif dari MIBG tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi

phaeochromocytomas yang tidak berkonsentrasi MIBG.


Positron emisi tomograf i (PET) scanning muncul menjanjikan tetapi masih dalam
tahap awal cukup penilaian.

d. Pengujian Genetik
Lokasi Tumor dan nomor, usia, jenis kelamin dan sejarah keluarga akan menunjukkan
perlunya untuk pengujian genetik. Pengujian tersebut merupakan dasar diagnosis dini dan
tindak lanjut termasuk pengelolaan intervensi.
e. Histologi
Penilaian histologi jaringan yang diambil setelah operasi dengan menggunakan criteria
tertentu (sistem PASS) dapat membantu untuk membedakan, apakah jinak atau ganas.
Nilai PASS dari <4>.1,2
H. Faktor Risiko :
Salah satu dari berikut dapat menimbulkan krisis hipertensi:
-

Induksi anestesi
Opiat
Antagonis Dopamin
Dekongestan seperti pseudoefedrin
7

Obat yang menghambat reuptake dari katekolamin, termasuk antidepresan trisiklik


dan kokain X-ray contrast media Persalinan.1,3

I. Diagnosis banding (Differential diagnosis) :


Jika total tes urine untuk katekolamin, asam vanillylmandelic (VMA) dan
metanephrines positif diagnosis diferensial utama adalah untuk memutuskan apakah itu
merupakan bagian dari kondisi keluarga.
-

Mungkin ada riwayat keluarga.


Bilateral tumor menyarankan MEN.
Mungkin ada fitur dari neurofibromatosis termasuk caf au lait spot.
Von Hippel-Lindau (VHL) sindrom dikaitkan dengan phaeochromocytomas,
haemangioblastomas cerebellar dan karsinoma sel ginjal.

Pertimbangan lain termasuk:


-

Kecemasan gangguan
Carcinoid tumor
Pecandu Alkohol
Hipertensi labil
Penyalahgunaan obat
Feokromositoma buatan telah digambarkan 3

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pheochromacytoma bergantung kepada kondisi pasien, seperti:
1. Umur, kesehatan umum, dan riwayat kesehatan
2. Tingkat penyakit
3. Jenis penyakit
4. Toleransi terhadap obat-obat, prosedur, dan terapi tertentu.
a. Pengobatan
Biasanya pengobatan terbaik adalah dengan pengangkatan feokromositoma. Namun
pembedahan seringkali ditunda sampai pelepasan katekolamin dapat dikendalikan dengan
pemberian obat-obatan. Hal ini disebabkan kadar katekolamin yang tinggi bisa berbahaya
saat pembedahan, yaitu dapat terjadi krisis hipertensif akut setelah dilakukan anestesi.
Untuk pengendalian tekanan darah dapat menggunakan obat :

- Alfa bloker, disebut juga alfa adrenergik antagonis. Obat golongan ini bekerja dengan
mencegah stimulasi noradrenalin pada dinding pembuluh darah. Noradrenalin
menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah. Dengan adanya alfa bloker maka
pembuluh darah dapat terbuka dan menurunkan tekanan darah. Contoh alfa bloker adalah
phenoxybenzamine, doxazosin, dan prazosin diberikan 7 sampai 10 hari sebelum operasi.
Obat ini dapat memiliki efek samping seperti sakit kepala, mual, peningkatan berat badan.
- Beta bloker. Obat ini bekerja melalui impuls saraf pada jantung yang membuat jantung
dapat berdetak lebih lambat dan dengan kekuatan yang lebih kecil. Selain itu obat ini juga
bekerja dengan memperlambat pelepasan enzim renin dari ginjal yang menjaga pembuluh
darah untuk tetap lebar. Contoh beta bloker adalah atenolol, propranolol, dan metoprolol.
Obat ini dapat memiliki efek samping seperti lelah, sakit kepala, gangguan lambung, dan
pusing.
- Calcium channel bloker, disebut juga antagonis kalsium. Obat ini melebarkan
pembuluh darah arteri dan menurunkan tekanan darah dengan mencegah masuknya
kalsium ke dalam sel jantung dan dinding pembuluh darah. Contoh obat ini adalah
amlodipine, diltiazem, dan nicardipin. Obat ini dapat memiliki efek samping seperti
konstipasi, sakit kepala, dan detak jantung yang lebih cepat.
- Metyrosine. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menghambat produksi
katekolamin. Obat ini dapat digunakan jika obat-obat lainnya tidak berhasil menurunkan
tekanan darah. Efek samping obat ini meliputi depresi, cemas, dan diare.
Pada feokromositoma, tekanan darah dapat diturunkan pertama kali dengan menggunakan
obat golongan alfa bloker. Jika tekanan darah sudah mencapai batas normal, maka obat
golongan beta bloker dapat membantu menjaga detak jantung lebih pelan dan teratur.
Jika feokromositoma merupakan suatu kanker yang belum menyebar, maka untuk
membantu

memperlambat

pertumbuhannya

bisa

diberikan

kemoterapi

berupa

Cyclophosphamide, Vincristine dan Dakarbazin.

b. Operasi (Laparoskopi adrenalectomy)


Pada anak-anak, biasanya terdapat lebih dari satu tumor. Selain itu, pasien juga harus
di follow-up untuk mengontrol perkembangan tumor. Empat port subcostal yang paling
9

sering digunakan, dengan pasien berbaring di samping. Pembedahan dapat


menyembuhkan penyakit, tapi pertama harus dikontrol dengan cara medis:
-

Bedah laparoskopi sedang digunakan lebih sering untuk tumor yang lebih kecil dari 6 cm
tetapi, untuk tumor yang lebih besar, operasi terbuka mungkin lebih aman. Setelah
operasi, koleksi urin 24 jam untuk katekolamin total, metanephrines dan asam
vanillylmandelic (VMA) diperlukan 2 minggu setelah operasi. Jika hasil normal
prognosis sangat baik. Pastikan bahwa hipertensi dikendalikan atau diselesaikan. Periksa
urin 24 jam dan BP setiap tahunnya, selama 5 tahun. Setelah dilakukan operasi
Laparoskopi adrenalectomy, tindakan selajutnya adalah MIBG scan. Scan ini untuk
mengangkat sel-sel yang membuat adrenalin atau noradrenalin berada dalam tubuh. Hal
ini dapat menunjukkan apakah pasien memerlukan pengobatan lebih lanjut setelah operasi
Laparoskopi adrenalectomy. Kadang-kadang hasil pemeriksaan pasien yang mengalami
hipertensi, terdapat massa dalam kelenjar adrenal. Ini dicurigai sebagai Feokromositoma,
kelebihan glukokortikoid atau aldosteronisme primer. Massa tersebut mungkin bukanlah
feokromositoma. Temuan seperti ini disebut incidentalomas.

Jika riwayat klinis atau pemeriksaan fisik pasien dengan incidentaloma sepihak
menunjukkan glukokortikoid, mineralokortikoid, hormon seks adrenal atau kelebihan
katekolamin, yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan biokimiawi, pilihan perawatan yang
sering dilakukan adalah adrenalectomy. Dalam sebuah penelitian dari 201 pasien dengan
incidentalomas, 30% ditemukan memiliki sebuah Feokromositoma. Dalam kasus-kasus
ganas langka, perawatan paliatif dapat dicapai dengan radioterapi dan kemoterapi.
Muncul terapi baru, seperti sunitinib inhibitor tirosin kinase, yang Rektifikasi hasil dari
kelainan genetik, dapat merevolusi pengobatan keganasan di masa depan.

c. Anastesi Sistem Endokrin


KELENJAR ADRENAL
Kelenjar

adrenal

dibagi

bagian,

kortek

adrenal

yang

mensekresi

androgen

mineralokortikoid (ec: aldosteron)dan glukokortikoid (ec: kortisol). Medula adrenal


mensekresi katekolamin (ec: epinefrin, norefinefrin, dopamin).2
1. Korteks adrenal
Efek biologis dari disfungsi korteks adrenal adalah kelebihan ataupun defisiensi kortisol atau
aldosteron
10

2. Medulla Adrenal
- Medula adrenal analog dengan neuron postganglion, meskipun sekresi katekolaminnya
berfungsi sebagai hormon, tidak sebagai neurotransmitter.
- Feokromositoma. Tumor ini memproduksi, menyimpan, dan mensekresi katekolamin
yang dapat mengakibatkan efek yang mengancam kardiovaskular.
Diagnosis feokromositoma ditegakkan dari pengukuran katekolamin dalam plasma dan
metabolit katekolamin (asam vanilimandelik) dalam urine. Computed tomography maupun
MRI dapat digunakan untuk melokalisasi tumor ini.

2. Pertimbangan anestetik
a. Persiapan preoperatif
Tujuan persiapan preoperatif ini untuk mengendalikan tekanan darah, mencukupi
volume intravaskuler, menilai pengaruh penyakit terhadap organ, mengenali dampak dari
kondisi-kondisi yang terkait dengan feokromositoma, serta normalisasi kadar glukosa dan
elektrolit. Terdiri dari blokade inisiasi (fentolamin, prazosin) 10-14 hari sebelum operasi
jika memungkinkan, perbaikan volume cairan intravaskuler, dan pemberian blokade .
Blokade diindikasikan hanya jika disritmia kardiak atau takikardi menetap setelah
pemberian blokade . Tujuan terapi medis adalah mengontrol frekuensi jantung, menekan
disritmia kardiak, dan mencegah peningkatan tekanan darah paroksismal.
b. Manajemen anestesi perioperatif
Tabel. Manajemen Anestesi Pasien dengan Feokromositoma

11

Terapi medis preoperatif kontinyu


Pengawasan secara invasif (kateter arteri dan arteri pulmonal,

echokardiografi transesofageal)
Anestesi yang cukup sebelum inisiasi laringoskopi direk

sebelum intubasi endotrakeal


Mempertahankan anestesi dengan opioid dan anestesi volatil

yang tidak mensensitisasi jantung terhadap katekolamin


Memilih pelemas otot dengan efek kardiovaskuler minimal
Mengontrol sistem tekanan darah dengan nitroprusid
(magnesium dan kalsium channel blocker seperti diltiazem dan

nicardipin dapat merupakan obat vasodilator alternatif)


Mengontrol takidisritmia dengan propanolol, esmolol, atau

labetolol
Mengantisipasi hipotensi dengan ligasi aliran darah vena
tumor (awalnya diberikan cairan intravena dan vasopresor
[infus kontinyu norpinefrin merupakan pilihan] jika perlu

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,
petidin dan fentanil.1 Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska
pembedahan.2,

berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat

digolongkan menjadi ;2, 3, 4


1. Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama
pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin
(meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
Derivat fenil piperidin (Fentanyl)
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan meperidin.
Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin. Mempunyai onset dan durasi
yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal ini dikarenakan kelarutan lemak
fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl,
12

hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan


dapat dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak termetabolisme dan
diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ
yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 g/kgBB
seringkali diberikan sebagai adjuvant anestesi inhalasi pada saat operasi. Pemberian intratekal
juga memberikan respon yang memuaskan terutama pada dosis 25 g. Terdapat juga sediaan
oral transmukosa fentanyl 15-20 g/kgBB untuk anak-anak 2-8 tahun yang diberikan 45
menit sebelum induksi anestesi. Fentanyl juga diberikan transdermal dengan sediaan 12,5100 g yang ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien dengan nyeri kanker. Jika
dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang menyebabkan pelepasan histamin namun lebih
sering mencetuskan bradikardi. Pemberian fentanyl iv secara cepat dapat mencetuskan otot
rigid, batuk bahkan kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial hingga 69 mmHg oleh karena efek vasodilatasi.

2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada
saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid. Dengan dosis 14mg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-obatan opioid. Durasi kerja
nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian continuous 5 mg/kgBB iv/jam perlu
dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang maksimal. Nalokson dimetabolisme terutama di
hepar melalui proses konjugasi dengan asam glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid.
Pemberian nalokson iv yang cepat dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah.oleh karena
itu pemberian bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering
ditemukan pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas sistem
saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa. Peningkatan aktifitas sistem saraf
simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi, hipertensi, edema paru serta disritmia
jantung.

13

3. Agonis-antagonis (campuran) opioid


Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh
pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
Anestesi volatil yang tidak mensensitisasi jantung terhadap katekolamin
Anestesi inhalasi merupakan obat-obatan yang paling sering digunakan untuk keperluan
anestesi umum. Pada awalnya menggunakan gas yang tergolong mudah terbakar, termasuk
dietil eter, siklopropana, dan divinil eter. Sebenarnya ada juga bahan yang tidak mudah
terbakar, misalnya kloroform dan trikloroetilen, akan tetapi bahan-bahan tersebut
hepatotoksik dan neurotoksik, dan digunakan dalam periode klinis yang singkat.
Pada tahun 1951, halotan dibuat secara sintetis dan diujikan pada binatang oleh Suckling,
di laboratorium ICI, Inggris.1 Halotan mulai diperkenalkan untuk kegunaan klinik tahun 1956
dan cepat meluas penggunaannya, karena memiliki keuntungan dengan sifat tidak mudah
terbakarnya dan rendahnya daya larut di jaringan. Halotan juga memiliki ketajaman yang
relatif rendah namun potensi tinggi, sehingga dapat digunakan secara inspirasi dalam
konsentrasi tinggi (tergantung kepada potensinya) untuk keperluan anestesi, dan telah terbukti
dapat digunakan secara inhalasi untuk dewasa maupun anak-anak. Keuntungan lain dari
halotan adalah rendahnya angka kejadian nausea dan vomitus pada penggunaannya.
Di balik keunggulannya saat itu, halotan juga memiliki kekurangan dan perlu menjadi
perhatian. Terpenting adalah bahwa halotan dapat mensensitisasi miokardium terhadap
katekolamin, dan belakangan diketahui bahwa metabolit halotan juga berperan dalam
nekrosis hepar. Untuk itulah penelitian terus dikembangkan. Medio 1959-1966, Terrell dan
kawan-kawan di Ohio Medical Products (yang kemudian disebut Anaquest, Ohmeda, atau
Baxter), mensintesis lebih dari 700 senyawa. 2-4 Senyawa ke-347 dan 469 adalah metil etil eter
enfluran dan isofluran, yang telah dihalogenisasi dengan fluorin dan klorin. Uji klinis untuk
enfluran dan isofluran dilakukan setara, menggunakan manusia percobaan dan pasien.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa senyawa dari penelitian Terrell tersebut diteliti ulang.
Salah satunya, yaitu senyawa ke-653, sukar untuk disintesis karena potensial untuk meledak
dengan fluorin, dan oleh karena senyawa tersebut memiliki tekanan gas yang mendekati 1
atm, membuat tidak mungkin untuk melakukan prosedur standar penguapan. Namun akhirnya
14

senyawa istimewa ini dapat dihalogenisasi dengan fluorin dan diperkirakan daya larutnya
sangat rendah di dalam darah. Setelah masalah sintesis dan pemberian diatasi, senyawa ini
yang sekarang dikenal sebagai desfluran, diperkenalkan untuk kegunaan klinis pada tahun
1993.
Senyawa-senyawa baru lain ditemukan pada awal dekade 1970-an oleh Wallin dkk.,
di Laboratorium Travenol di tengah-tengah pembahasan fluorinisasi isopropil eter. Salah
satunya diketahui merupakan agen anestesi yang poten dan dikenal sebagai sevofluran. 5
Seperti halnya desfluran, sevofluran memiliki daya larut yang rendah akibat fluorinisasi pada
molekul eter. Perlu dicatat bahwa sevofluran melepaskan fluorida organik maupun inorganik
kepada manusia dan hewan; karenanya tidak dikembangkan dan dipasarkan besar-besaran.
Ketika hak patennya diberikan kepada Ohio Medical Products, penelitian lebih lanjut
menyibak adanya kerusakan senyawa sevofluran dalam soda kapur, sehingga pembahasannya
dibatasi dengan alasan keselamatan. Ketika masa berlaku hak paten berakhir, Maruishi
Pharmaceutcal di Jepang mengambil alih penelitian dan pengembangan sevofluran, dan pada
akhirnya dilepas untuk penggunaan umum pada bulan Juli 1990 di Jepang. Karena angka
penggunaannya meningkat dengan tingkat keamanan memadai di Jepang, Abbott
Laboratories mengikuti untuk mengembangkan sevofluran di Amerika Serikat. Setelah
tingkat keamanannya dapat ditegakkan, sevofluran mulai dipergunakan di AS tahun 1995.
Anastesi sevofluran tidak mensensitisasi jantung terhadap katekolamin.

Neuromuscular Blocking Agents


Relaksasi dari otot skelet dapat terjadi oleh anestesi dalam, regional blok, dan pelumpuh
otot. 1942, Harold Griffith mempublikasikan hasil dari ekstrak kurare (racun panah Amerika
Selatan) selama anesthesia. Setalah itu pelumpuh otot menjadi hal rutin. Tapi tidak
menyebabkan anesthesia. Dengan kata lain pelumpuh otot tidak membuat tidak sadar,
amnesia atau analgesia.
Berdasarkn perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot
dapat dibagi menjadi pelumpuh otot depolarisasi (meniru kerja Ach) dan nondepolarisasi
(mengganggu kerja Ach). Non depolarisasi dibagi kedalam 3 grup lagi, yaitu obat kerja lama,
sedang dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat-obat pelumuh otot membentuk blockade saraf otot fase I depolarisasi dan
blockade saraf otot fase II depolarisasi atau non-depolarisasi.
15

Depolarisasi
Golongan obat yang menimbulkan depolarisasi pelumpuh otot menyerupai
asetilkolin (Ach) sehingga akan terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan potensial aksi
dari otot skeletal karena terbukanya kanal natrium. Namun tidak seperti ACh obat ini tidak
langsung dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga konsentrasinya di celah sinap
akan menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng
pertemuan otot skeletal.
Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal ini akan menyebabkan
potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal sodium dalam waktu tertentu.
Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka kembali sebelum terjadi repolarisasi
dari lempeng motorik, yang disini tidak juga akan terjadi sebelum obat yang menyebabkan
depolarisasi meninggalkan reseptor yang didudukinya. Sementara itu setelah kanal sodium di
peri junctional tertutup, otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut sampai
obat golongan ini dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang terdapat di plasma dan
di hati. Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga tidak
dibutuhkan obat spesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi ini.
2) Non-depolarisasi
Pelumpuh otot Non-depolarisasi bekerja sebagai kompetitif antagonis. Sebagai
contoh pada kondisi dimana berhubungan dengan sedikit reseptor ACh (down regulasi
pada myasthenia gravis) menunjukan resistensi pada relaksan yang depolarisasi sedang
sensitivitas meningkan pada pelumpuh otot yang nondepolarisasi.
Obat golongan non-depolarisasi terikat juga pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal,
karena tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini akan
menetap pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai terjadi
redistribusi, metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat juga dengan
pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat ini. Cara melawannya dengan
menekan fungsi asetilkolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi ACh, untuk dapat
berkompetisi dalam menduduki reseptor ACh dan menghilangkan efek blok yang
ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.
Secara umum pemilihan pelumpuh otat berdasarkan hal berikut :
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium dan vekurorium
2. Ganggual faal hati

: atrakurium
16

3. Miastenia gravis

: dosis 1/10 atrakurium

c. Postoperatif
Ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi penting pada
periode pasca bedah dini yakni hipertensi, hipotensi dan hipoglikemi. Tingkat
katekolamin plasma kembali ke normal setelah beberapa hari, dan sekitar 75% pasien
menjadi normotensif dalam 10 hari.
d. MIBG radioterapi
Jika Feokromositoma telah menyebar, dokter Anda mungkin menawarkan radioterapi,
dengan menggunakan pengobatan yang disebut MIBG (Meta-LDO-Benzylguanidin). MIBG
adalah kimia mudah dijemput oleh phaeochromocytomas banyak. Untuk pengobatan ini,
MIBG terpasang ke bentuk radioaktif radioiod disebut yodium atau I-131. MIBG yang
beredar di seluruh tubuh Anda dalam aliran darah Anda. Sel-sel kanker Hanya yang
menghasilkan adrenalin dan noradrenalin akan mengambil kimia, dimanapun mereka berada
dalam tubuh Anda. Radiasi melekat pada 131 yodium kemudian membunuh mereka. Tidak
semua orang dengan Feokromositoma memiliki sel-sel yang membuat adrenalin terlalu
banyak dan noradrenalin. Jadi pengobatan ini tidak cocok untuk semua orang. Untuk melihat
apakah pengobatan ini dapat bekerja untuk Anda, Anda akan memiliki MIBG scan. Jika Anda
memiliki sel-sel yang membuat adrenalin dan noradrenalin, pemindaian akan menunjukkan
serapan MIBG.
Karena kelenjar tiroid Anda biasanya mengambil yodium, Anda perlu mengambil obat
yodium sebelum Anda mulai MIBG perawatan. Ini beban Facebook tiroid Anda dengan
yodium normal sehingga tidak mengambil terlalu banyak dari jenis radioaktif. Tapi tiroid
Anda mungkin mengambil beberapa radiasi. Jadi, setelah perawatan, tidak dapat bekerja
dengan baik seperti dulu. Anda akan memiliki obat yang disebut levothyroxine (hormone
pengganti thyroid) jika diperlukan. MIBG masih merupakan pengobatan eksperimental untuk
phaeochromocytomas.
e. Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan anti kanker (sitotoksik) obat untuk menghancurkan sel-sel
kanker. Anda mungkin hanya memiliki satu obat atau kombinasi lebih dari satu obat.
Kemoterapi tidak biasanya sangat berhasil dalam mengobati kanker kelenjar adrenal. Anda

17

hanya cenderung memiliki perawatan ini jika Anda memiliki Feokromositoma yang belum
menanggapi MIBG dan telah menyebar ke bagian lain dari tubuh.
f. Radioterapi
Radioterapi berkas eksternal dapat membantu dengan MIBG yang telah menyebar.
Pengobatan Ini adalah biasa dilakukan dalam pengobatan radioterapi. Radiasi, balok
ditujukan pada daerah perawatan dari mesin besar. Jenis pengobatan sangat membantu jika
kanker telah menyebar ke tulang. Hal ini dapat membunuh sel-sel di tulang, mengurangi rasa
sakit, dan menurunkan resiko fraktur.
g. Check up setelah pengobatan
Setelah pengobatan, Anda akan memiliki jadwal check-up rutin. Jika Anda tidak
memiliki tanda-tanda Feokromositoma pada MIBG Anda scan, itu berarti Anda tidak
memiliki sel yang membuat adrenalin dan noradrenalin. Namun sel-sel dapat mulai membuat
hormon-hormon ini di masa mendatang. Rokok mensekresi Sel yang bisa memicu aktif nya
Feokromositoma selama berbulan-bulan atau tahun. Dokter Anda dapat mengulang scan
MIBG dari waktu ke waktu dan memperlakukan Anda lagi jika ada serapan. Kebanyakan,
dokter akan bergantung pada tes urine untuk memeriksa adrenalin dan tingkat noradrenalin.
Pemeriksaan rutin ini harus dilakukan untuk seumur hidup. Sayangnya di sejumlah kecil
orang, kanker ini dapat kembali beberapa tahun kemudian. Tapi di sekitar 9 dari 10 orang
(90%) kanker tidak akan kembali.
h. Manajemen phaeochromocytomas ganas
Phaeochromocytomas umumnya radioresistant, dan kemoterapi paling sering hanya
menghasilkan perbaikan sementara. Dengan demikian, manajemen Feokromositoma ganas
telah berpusat pada perawatan paliatif, seperti : kontrol hipertensi, bedah, debulking dan
kombinasi. Kemoterapi medis yang dilakukan Sejak 1980-an, beberapa pusat khusus telah
memperlakukan pasien dengan terapi radionuklida dosis tinggi 131 I-MIBG, dengan
keseluruhan awal perbaikan dalam gejala (75%), respon hormonal (45%) dan ukuran tumor
(30%). Namun, keuntungan jangka panjang adalah jarang atau kemungkinan sembuh total
sangat sulit, tumor dapat tumbuh kembali. Pada tahun 1999, sebuah penelitian di enam pasien
menunjukkan bahwa terapi bimodal dengan 131 MIBG I-dan sitotoksik kemoterapi
kombinasi yang dihasilkan efek aditif dalam mengurangi volume dan fungsi tumor. 3

18

K. Prognosis
Tingkat ketahanan hidup 5 tahun untuk Feokromositoma non-ganas lebih dari 95%,
tetapi untuk phaeochromocytomas ganas kurang dari 50%. Risiko keganasan agak lebih
tinggi bila masih anak-anak. Kebanyakan paraganglionomas timbul dari jaringan chromaffin,
sepanjang rantai simpatik para-aorta, atau dalam organ-organ Zuckerkandl pada asal
mesenterika arteri inferior, dinding kandung kemih dan rantai simpatis di leher atau
mediastinum. Mereka biasanya jinak dan penata laksanaanya cukup dengan reseksi bedah.3

Daftar Pustaka

1. Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi.Edisi. 6. Jakara : EGC. 2005


2. Aru W. Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing. 2011
3. www.mdguidelines.com, diunduh pada tanggal 13 Januari 2013 pukul 19:43
4. Barash PG, Cullen FB, Stoelting RK. Section V Management Of Anesthesia In
Handbook Of Clinical Anesthesia. 4th Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And
Wilkins Company. p:593-606
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th Ed, McGrawHills
6. Melissa Conrad. Pheochromocytoma. 2010.
7. http://www.medicinenet.com/pheochromocytoma/page4.htm#how_is_a_pheochromoc
ytoma_treated
8. Mayo Foundation for Medical Education adn Research. Pheochromocytoma. 2011.

19

9. http://www.mayoclinic.com/health/pheochromocytoma/DS00569
10. David C Douglas. Pheochromocytoma. 2012.
11. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000340.htm
12. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan
Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
13. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83,
161.
14. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian
farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
15. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit
salemba medika ; hal : 138-143.

20

Anda mungkin juga menyukai