Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus
ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan
yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, merupakan sinus yang paling
sering terinfeksi. Hal ini disebabkan karena ini merupakan sinus paranasal yang
terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah akar
gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksilaris. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Penyebab sinusitis dapat virus, bakteri atau jamur. Dapat disebabkan oleh
rinitis akut, infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas
M1, M2, M3, serta P1 dan P2), berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma.
Faktor predisposisi berupa obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain itu,
rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta
menghasilkan banyak sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan kuman.
Faktor predisposisi yang lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.

BAB II
PEMBAHASAN
1 | Page

A. Skenario

Nyeri Pipi
Sinisi 25 tahun ke praktek dokter keluarga mengeluhkan pipi kanan terasa
sakit dan berat bila menunduk, demam, serta keluar ingus berwarna kekuningan dan
berbau busuk sejak 4 hari yang lalu. Sejak 1 minggu yang lalu, Sinisi mengeluhkan
gigi geraham paling belakang kakan atas yang berlubang. Sinisi mengaku sejak kecil
memiliki riwayat alergi berupa bersin-bersin yang susah sembuh bila terkena debu,
ingus yang keluar encer dan bening, keluhan biasa disertai gatal di hidung dan hidung
terasa buntu.
Dokter melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior kanan dan mendapatkan
cavum nasi menyempit, konkha nasi inferior udem dan pucat, secret mukopurulen di
meatus medius. Rhinoskopi anterior kiri tidak didapatkan kelaianan. Pemeriksaan
rhinoskopi posterior terdapat post nasal drip. Tes penghidu didapatkan hiposmia dan
tes transluminasi sinus maksilaris gelap.
Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
Radiologi Waters untuk membantu diagnosis. Dokter memberikan obat berupa
antibiotik dan analgetik, serta rujukan ke poli gigi.
Bagaimana saudara menerangkan apa yang dialami Sinisi?

B. Terminologi
1. Rhinoskopi anterior

: Pemeriksaan lubang hidung menggunakan rhinoscope

melalui nares anterior(14)


2. Rhinoskopi posterior
: Pemeriksaan lubang hidung menggunakan rhinoscope
melalui nasofaring(14)
3. Post nasal drip
4. Hiposmia

: Akumulasi cairan di belakang hidung(14)


: Parosmia yang mencakup penurunan sensitivitas

penghidu(14)
5. Transluminasi Sinus Maksilaris
: Pemeriksaan sinus dengan cara melihat

2 | Page

lumen sinus yang diterangi oleh cahaya

6. Radiologi Waters

dalam ruangan gelap(15)


: Posisi pengambilan rontgen khusus untuk melihat

7. Cavum nasi
8. Konkha nasi

keadaan sinus paranasal(15)


: Rongga hidung(14)
: Struktur atau bagian dari hidung yang menyerupai

kulit
9. Sekret mukopurulen
10. Meatus medius

kerang(14)
: Keluaran yang mengandung mucus dan pus(14)
: Ruangan di bawah concha nasi media, yang
berhubungan dengan cellulae ethmoidales anteriores,
sinus frontalis dan sinus maksilaris(14)

C. Permasalahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jelaskan anatomi dan fisiologi hidung serta sinus paranasal!


Bagaimana korelasi antara gigi berlubang Sinisi dengan kondisinya sekarang?
Bagaimana korelasi antara alergi yang ia derita dengan kondisinya sekarang?
Pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan untuk menegakan diagnosis pasien?
Apa diagnosis sementara pada kasus di skenario?
Bagaimana penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien di skenario?

D. Pembahasan
1. Anatomi Hidung, Faring Dan Sinus Paranasal
a. Anatomi Hidung dan Faring2

3 | Page

Figure 1, Anatomi hidung (Martini, 2009)


Cavum nasal berisi:
a.
b.
c.
d.

Nares anterior
Concha superior, media, inferior
Meatus superior, media, inferior
Nares posterior

Faring terbagi atas 3 bagian:


a. Nasofaring (atap nares posterior sampai uvula)
b. Orofaring (uvula sampai epiglotis)
c. Laringofaring (epiglottis sampai kartilago cricoid)

b. Fisiologi Hidung1
Fungsi hidung secara umum yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)

Jalan napas
Melembabkan dan menghangatkan udara
Menyaring dan membersihkan udara
Tempat bergemanya suara
Organ penghidu
Di dalam rongga hidung terdapat vibrissae atau rambut-rambut hidung yang
berfungsi untuk menyaring partikel yang kasar (debu dan serbuk bunga). Selain
itu, terdapat 2 macam mucosa di dalam cavum nasi yaitu :

4 | Page

1) Mucosa olfactorius, yang berfungsi sebagai tempat reseptor bau


2) Mucosa respiratorius, yang tersusun dari epitel respirasi (kolumner
pseudokompleks bersilia) dengan sel goblet. Sel goblet ini berfungsi untuk
menyuplai

glandula-glandula

mucus

dan

serus.

Sel-sel

mucus

menghasilkan mucus yang berfungsi menjebak debu, bakteri, dan berbagai


benda asing lain. Sementara itu, sel-sel serus berfungsi menghasilkan
cairan yang mengandung enzim (lysozim) yang berfungsi sebagai zat
antibakteri. Epitel respirasi sendiri menghasilkan defensin, yakni sejenis
antibiotik alami. Silia yang terletak di apical sel epitel berfungsi
mendorong mucus yang sudah menangkap benda-benda asing ke faring,
kemudian tertelan dan dicerna oleh cairan lambung. Proses ini tidak
disadari saat kita sedang sehat. Dalam sehari, cairan mucus dan serus yang
dihasilkan cavum nasi mencapai sekitar 1 L.
Saat lapisan mucosa cavum nasi terserang virus, bakteri, atau allergen,
hal tersebut akan menimbulkan rhinitis atau inflamasi pada mukosa cavum
nasi. Rhinitis ditandai oleh 3 hal : produksi mucus berlebih, congesti nasal,
dan postnasal drip. Karena lapisan mukosa bersambung sampai ke ductus
nasolakrimalis dan sinus-sinus paranasal yang lain, akhirnya rhinitis juga
bisa

menyebar

ke

wilayah-wilayah

tersebut.

Banyaknya

mucus

menghambat saluran-saluran penghubung sinus dengan cavum nasi


sehingga udara yang seharusnya mengisi sinus akan diserap. Hal ini
menimbulkan keadaan yang disebut partial vacuum (ruang hampa udara)
di dalam sinus sehingga menyebabkan sakit kepala pada sinus yang
terlokalisir di daerah inflamasi.
Adanya serabut saraf sensoris pada cavum nasi membuat suatu reflek bersin
apabila mucosa cavum nasi kontak dengan benda asing. Plexus-plexus kapiler
dan vena berdinding tipis berfungsi untuk menghangatkan udara yang lewat.
Karena letak plexus-plexus ini agak ke permukaan dan ukurannya kecil, maka
jika terkena sedikit saja trauma atau perubahan lingkungan fisik (suhu) maka
mudah sekali mengalami epistaksis.
Di dalam cavum nasi terdapat conchae dan meatus nasi yang berfungsi
sebagai tempat perputaran udara (turbulensi). Partikel gas selanjutnya akan
masuk ke faring, sedangkan partikel non-gas akan berbelok ke permukaan
mukosa dan ditangkap oleh cairan mucus.

5 | Page

Selain pada saat inspirasi, cavum nasi juga berfungsi pada saat ekspirasi. Saat
kita menghirup udara yang dingin, maka plexus-plexus di dekat conchae akan
menghangatkan udara tersebut sebelum masuk ke paru. Hal itu menyebabkan
area conchae akan kehilangan panasnya dan menjadi dingin. Maka, saat ekspirasi
berlangsung, udara yang telah dihangatkan tadi akan kembali melewati conchae
dan membuat conchae menjadi hangat lagi. Hal ini-lah yang membuat manusia
mampu bertahan di cuaca panas atau dingin.

c. Fisiologi Faring1
1) Nasofaring
Nasofaring berfungsi sebagai jalan nafas. Pada saat menelan, pallatum
mole dan uvula terangkat untuk menutup nasofaring sehingga makanan
tidak akan masuk ke cavum nasi. Namun, jika kita tertawa, proses
fisiologis tersebut akan gagal dan mengakibatkan makanan bisa keluar dari
hidung. Epitel bersilia yang ada di nasofaring berfungsi mendorong
mucus. Selain itu, ada juga tonsila faringeal atau adenoid yang bertugas
menangkap patogen dari udara. Jika adenoid bengkak atau terinfeksi, maka
jalan masuk udara ke nasofaring akan terhambat sehingga harus bernafas
lewat mulut. Jika hal ini berlangsung lama, dapat menimbulkan gangguan
tidur dan berbicara.

Tuba auditiva yang berfungsi menghubungkan

nasofaring dengan telinga tengah berfungsi untuk menyeimbangkan


tekanan supaya sama dengan tekanan di atmosfer.
2) Orofaring
Orofaring berfungsi sebagai jalan nafas dan makanan. Karena itulah sel
epitel penyusunnya berubah menjadi epitel skuamous komplek sebagai
cara beradaptasi menghadapi substansi yang melewatinya. Di dalam
orofaring juga terdapat tonsila palatina dan sublingual yang juga berfungsi
untuk menangkap patogen.
3) Laringofaring
Laringofaring berfungsi sebagai jalan nafas dan makanan.
d. Anatomi Sinus
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian
lateral kavum nasi. Sinussinus ini membentuk rongga di dalam beberapa
tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus
maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh
sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang

6 | Page

mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan


ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi
bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat,
yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya
tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme
patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus
yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.

Figure 2, Anatomi Sinus

1. Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa.(3)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak

sebagai

cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior,


yang terlihat

berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini

kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di


meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah
lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang
merupakan rongga sinus maksila.

Perluasan rongga

tersebut akan

berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm


7 | Page

anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada


dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan
turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke
bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan
berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai
antara usia 15 dan 18 tahun.(4)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis
os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut
Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila
pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20
x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di
meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di
bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (4)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah :
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan
dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi
8 | Page

ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.(4)
2. Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun.(4)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali
juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk

sinus frontal

kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi
3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.(4)
Sinus frontalis berhubungan dengan cavum orbita, dibatasi oleh
dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka
dapat menjalar ke mata dan gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada
9 | Page

daerah P2 Mo1ar serta ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum


nasi.(5)
3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya.(4)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan,
berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok selsel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi
lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai
mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan
1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.(4)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada
bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila(4)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
(2)

4. Sinus sphenoid
10 | P a g e

Sinus sfenoid

terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai

pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.


Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih
kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun.
Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya
bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu
sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.(3)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. (4)
e. Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacammacam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa rongarongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat
bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh
karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar.
Teori ini dipatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang
kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan
teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada
organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum
ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang
11 | P a g e

berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena


terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.(4)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain adalah(4):
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus
berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal
berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi.
(3) Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan
kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam
sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
(4) Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi
ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan
bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.
(6) Membantu produksi mucus Mukus yang dihasilkan oleh sinus
paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga
hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan
udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang
paling strategis(4).
2. Korelasi antara riwayat alergi dan gigi berlubang dengan kondisi pasien
12 | P a g e

Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum
unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab.
Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada
infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya
menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan
memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh
oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka.
Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai
dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan
mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke
sinus dapat terjadi.
Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut
sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza
A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus.
Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan
terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga menyebabkan
terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada
mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma,
scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya
patensi sinus ostia.
Virus yang menginfeksi

tersebut

dapat

memproduksi

enzim

dan

neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus


pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya
tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya
13 | P a g e

fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang
tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
3. Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke
dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan
tahap efektor.(6)
Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi
udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut
kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan
sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam
amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas
II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada
penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Th0 bersama molekul CD4
dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak
simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR) bersama molekul CD4 dengan
MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada
sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel,
sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.(6)
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji
antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B
untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi
berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan
reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast.
14 | P a g e

Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar
dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa
hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau
sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala
rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat
memberikan hasil yang positif.
Fase elisitasi
Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan
ulang dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada
mukosa hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang
berdekatan pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen
tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada
permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu
aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan
enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat
(PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada
membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel
(Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung
mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca+
+ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein
kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang
tergolong dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2),
leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan exositosis granula sel
mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator
seperti histamin, tryptase dan bradikinin.(6)
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena
histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin,
rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung
pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses
transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf
nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa
gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada
kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi
15 | P a g e

kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga
menyebabkan gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul
setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS).
Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamine
N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel.20
Tahap efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah
mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan
berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi
endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi
pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan
alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya
berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang
merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma
bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/
lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari
tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel
dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti perlekatan pada
dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel
seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi
molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel
eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1.
ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang
mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep
adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi
terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku
spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan
peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan
merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum
tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan
di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan
sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam).
Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan
16 | P a g e

patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor


basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived
neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek
menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf
mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.(6)
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis
alergi. Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada
rhinitis alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu
hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai
mediator lain.15
1. Bersin-bersin (sneezing)
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya
merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan
alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan

Figure 3, Diagram terjadinya rinitis alergika

hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi


17 | P a g e

reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida


endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.(7)
2. Gatal-gatal (pruritus)
Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya
diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf
halus C tak bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau
mukosa, yang Dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang disalurkan secara
lambat sepanjang neuron sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke
thalamus dan korteks sensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang
RAFC dan pada rhinitis alergi secara khas menimbulkan gatal palatum. Gatalgatal terjadi pada saat histamin berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung
serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi langsung pasca provokasi histamine.
Mungkin juga prostatglandin berperan namun hanya kecil saja disalurkan
secara lamba.(7)
3. Beringus (rhinorrhea)
Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane
mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan
allergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus
merupakan gejala dominan

sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang

RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf


parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan molekul-molekul protein
besar melewati dinding kapiler pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepas
mastosit

penyebab

utama

beringus,

yang

diduga

karena

histamin

meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor


H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada
hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan
sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh atrophin
pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat kombinasi
proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung
ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral. Pacuan
hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus melalui
mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar.
Mediator lain yang juga berperan pada proses beringus (ECP, PAF, LTC4,
Substance P dan VIP).(7)
4. Buntu hidung (nasal congestion)
18 | P a g e

Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak
menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1,
yang berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka,
sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret
dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan aktivitas
parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu hidung,
namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi
oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4,
PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat
saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran
histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran
leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat
dibanding

histamin.

Provokasi

hidung

dengan

LTD4

menyebabkan

peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan
tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan
buntu hidung. Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene
related dapat menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya
buntu hidung. (7)
Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang menghasilkan
edema dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini
menyebabkan blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan membuat daerah
yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus.
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi
disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga
menyebabkan

timbulnya

infeksi,

selanjutnya

menghancurkan

epitel

permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis


kronis.
4. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis pasien:
a. Laboratorium
Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis
akut, tapi harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan

19 | P a g e

intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak
adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.(5)
b. Imaging
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa
sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.

Figure 4, Posisi Caldwell

b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua
sinus paranasal.(Alford,

20 | P a g e

Figure 5, Gambar rontgen posisi


waters dengan mulut terbuka

c. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,


menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
d. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis
akut.(5)
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya
adalah sebagai berikut :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7
hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa
lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang
berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala
yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta
kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan
sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus
paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya
tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
21 | P a g e

menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di


meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga
mudah tersumbat.(9)
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri
biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila
nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke
alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan
depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk.
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.(9)
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitis ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding
leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah
dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis
maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang
tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan
kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya,
terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip
dan sumbatan hidung (Arif et all, 2001).
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri
kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada
pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex,
oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun

22 | P a g e

penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga


gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.(9)
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit
yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi
seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo
& Nusjirwan, 2002). Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak
mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali
bila ada komplikasi.(9)
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema.
Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis
ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus
superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun
komplikasi

sinusitis.Jika

ditemukan

maka

kita

harus

melakukan

penatalaksanaan yang sesuai.(9)


Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip). Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama
kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada
hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh
menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis
maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan
udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.(9)
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam
bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen,
seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus
influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.(9)
23 | P a g e

b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Pada
rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.(9)
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja.
Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh
alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya
infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak
sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan
sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen
-

dan hidung biasanya sedikit tersumbat.


Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di

tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi

sumbatan tuba eustachius.


Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran

nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa

bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.


Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi

infeksi

melalui

duktus

gastroenteritis.
2.

Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan
tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior
dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus
superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis.

24 | P a g e

Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau


turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat
ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis
frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai
poliposis hidung kronis.
Pemeriksaan Mikrobiologi didapatkan infeksi campuran oleh
bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans,
H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso
bakterium.(9)
5. Rhinosinusitis
Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.Sinusitis dikarakteristikkan sebagai
suatu peradangan pada sinus paranasal.Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus
yang terkena. Bila mengenai beberap asinus disebut multisinusitis. Bila mengenai
semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat
empatsinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata),
sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi).
Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps 2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology
(BSACI) Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters
(JTFPP), dan Clinical Practice Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4
diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai pengganti
sinusitis, sementara 1 pedoman yakni JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan
istilah tersebut. Istilah rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan
mengingat konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam
sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis media dapat terlihat pula pada sinus
ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang terjadi
tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para ahli yang
mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah rinosinusitis
maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat istilah
rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade terakhir.(10)
25 | P a g e

Klasifikasi
Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling
sederhana adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala.
Rinosinusitis didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI,
JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung selama 4
minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan sebagai subakut
apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan definisi
dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu.
Lebih jauh lagi CPG:AS mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent)
sebagai 4 episode atau lebih rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa
gejala menetap di antara episode, sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis
akut berulang sebagai 3 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk
rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa rinosinusitis kronik
merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu atau lebih,
kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang menetap selama 8
minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.(10)
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.(11)
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya.Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto
polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.(11)
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
26 | P a g e

Penyebab kelainan atau masalah di hidung.Segala sesuatu yang


menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.Contohnya
rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.Alergi juga
merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan
hipersekresi.Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih
lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus
seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi.Sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).Bakteri
penyebab

adalah

Streptococcus

pneumoniae,

Hemophilus

influenza,

Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan


lain-lain. Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah
disebabkan oleh adanya kerusakan pada gigi.(11)
Sinusitis dentogen merupakan penyebab paling sering terjadinya
sinusitis kronik.Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar
gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan
limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik
yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau
busuk.Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan
dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali
juga diperlukan irigasi sinus maksila.(11)
3. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan

yang

jarang

ditemukan.Angka

kejadian

meningkat

dengan

meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan


dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya
sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan
perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan
infeksi sinus paranasal ialah spesis Aspergillus dan Candida.(11)
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti
berikut :Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik.
Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran
berwarna putih keabu-abu
27 | P a g e

pada irigasi antrum. Para ahli membagikan

sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan non-invasif.Sinusitis


jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik
indolen.Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama
dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding
sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka
dan septum warna biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang
nekrotik.Sering kali berakhir dengan kematian.(11)
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes.Bersifat kronik progresif
dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya
tidak sehebat gejala klinis pada fulminan karena perjalanan penyakitnya
berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret
hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan
mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau
misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam ronggasinus tanpa invasi ke
mukosa dan tidak mendestruksi tulang.Sering mengenai sinus maksila. Gejala
klinik merupai sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal drip, dan
napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa
ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau
tanpa pus di dalam sinus.(11)
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteo-meatal.Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius.Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda.Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.(11)

28 | P a g e

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya


sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium

sinus

akan

menyebabkan

terjadinya

hipooksigenasi,

yang

menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan


mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh
dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
waktu beberapa hari tanpa pengobatan.(11)
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa
patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi
ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari
faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.(11)
Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor
a. Sekret nasal yang purulent
b. Drainase faring yang purulen
c. Purulent Post Nasaldrip
d. Batuk
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau

Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum
h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
Table 1, Kriteria Internasional Untuk Diagnosis Sinusitis (Pletcher & Goldberg,
2003)

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1


minor dan 2 kriteria minor.
Diagnosis lainnya sudah terjawab pada pertanyaan nomor 4
29 | P a g e

Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering
terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali
dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya
terutama orbital dan otak.
Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering
adalah selulitis atau abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal
diobati dengan antibiotik dan tidak diperlukan pembedahan. Komplikasi yang
lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan segera. Perluasan pada
postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina papyracea
(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid.Sinus yang paling
sering terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan
maksila.Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid yang mengakibatkan
terjadinya thrombosis. Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang progresif,
eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang
menjadi oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk
terjadinya meningitis, abses epidural atau subdural, abses otak atau sagital,
atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien dengan sejarah rinosinusitis
dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan status
mental harus dicurigai memiliki komplikasi intracranial.(11)
Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott
bengkak (Potts puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang
frontal menyebabkan dahi edema. Hal ini merupakan komplikasi akut yang
membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses subperiostal paling
sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi.(11)
Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles.
Mereka merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus.Sinus
frontal adalah yang paling sering terlibat.Mereka lambat tumbuh dan mungkin
memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum gejala terjadi.Keterlibatan sinus
frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata, mengakibatkan diplopia.
30 | P a g e

Dekompresi sering menyebabkan hilangnya gejala. Erosi posterior oleh


mucopyocele dapat menyebabkan infeksi. Mucoceles terlihat pada anak-anak
dengan cystic fibrosis.
Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru
disebut sinobronkitis. Selain itu juga dapat menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.(11)
6. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan pencegahan
infeksi, memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar, dan menekan proses
inflamasi pada mukosa saluran nafas. Pada kasus-kasus kronis atau rekuren
penting juga menyingkirkan faktor-faktor iritan lingkungan.
Antibiotik merupakan modalitas terapi primer pada rhinosinusitis . Setelah
diagnosa ditegakkan dapat diberikan antibiotik lini pertama berdasarkan
pengalaman empirik, sambil menunggu hasil kultur. Berdsasarkan efektivitas
potensi dan biaya, jenis antibiotik yang banyak digunakan adalah sefalosporin dan
amoksisilin. Untuk kasus akut diberikan selama 14 hari, sedangkan untuk kasus
kronik diberikan sampai 7 hari bebas gejala. Lamanya terapi biasanya 3-6 minggu.
Terapi tambahan untuk mengurangi gejala adalah kortikosteroid intranasal,
mukolitik dan dekongestan. Antihistamin hanya hanya efektif untuk kasus kasus
alergi yang merupakan penyakit dasar rhinosinusitis pada beberapa pasien.
Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam hipertonik (3 %,
pH 7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam hipertonik baik digunakan
pada sinusitis kronis atau pasca operasi karena dapat mengurangi edema melalui
difusi osmolaritas (Talbot, 1997) Selain terapi medikamentosa yang dijelaskan
diatas, rinosinusitis rekuren atau kronis memerlukan tindakan bedah. Pada saat ini
tindakan bedah yang palling direkomendasi adalah bedah sinus endoskopi
fungsional (BSEF) atau sering disebut dengan Fungsional endoskopi sinus surgery
(FESS).
Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya
histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H1receptor agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi
oleh histamine dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk

31 | P a g e

menghilangkan gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin


pada RA.(13)
Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat
efektif mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping
yang kurang menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat
tersebut masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang
menggunakan obat ini dianjurkan untuk tidak mengendarai mobil atau
mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan. Secara klinis antihistamin
generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena mempunyai efek
antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap reseptor yang
tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik. Kekurangan lain
dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil dengan
reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :
mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang
antihistamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan
murah. Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini masih
popular adalah : klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin.(13)
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin
lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif,
sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat
dalam melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah
mempunyai masa kerja yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis
karena cukup diberikan sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah :
astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin. Beberapa antihistamin baru kemudian
dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang
(astemizol, terfenadin), sehingga dibeberapa negara obat obat tersebut tidak
digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat dengan
waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik
terhadap jantung.(13)
Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam
mencegah dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan
keamanan obat. Akhir akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan
mempunyai aktivitas mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan
mastosit. Aktifitas ini berbeda ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya.
Beberapa antihistamin dapat mencegah terlepasnya mediator lain seperti platelet
32 | P a g e

activating factor (PAF), prostaglandin serta mencegah migrasi eosinofil, basofil


dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten (RAP) buntu hidung merupakan gejala
yang paling menonjol terutama karena banyaknya infiltrasi sel radang pada
mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru inilah yang dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan akhir-akhir
ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai turunan
loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin. Desloratadin adalah
antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik untuk
rinitis alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah metabolit aktif
dari loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja yang lama
sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga
bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja sel inflamasi dalam
melepaskan mediator-mediator seperti sitokin, kemokin dan molekul adesi yang
merupakan komponen pengatur respon alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di
dalam penelitian klinik dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang
sangat baik pada pengobatan rinits alergi persisten (RAP) dan rinitis alergi
intermiten (RAI) serta keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya.
Dilaporkan pula bahwa obat ini juga mempunyai khasiat mengurangi buntu
hidung. (13)
Pembedahan
Radikal
a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka
dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.(12)

33 | P a g e

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi, berdasarkan hasil dari anamnesa dan pemeriksaan yang telah didapatkan pada
skenario, dapat disimpulkan bahwa Sinisi mengalami rhinosinusitis eksaserbasi akut dengan
sinusitis terjadi pada sinus maksilarisnya. Selain pemberian pengobatan simptomatik, dan
pembersihan mucus, diperlukan pula edukasi untuk menghindari alergi serta konsultasi ke
dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi berlubang yang menjadi factor predisposisi dari
kondisi pasien.

34 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. 1997. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company.
2. Martini, Frederich H. Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology,
8th edition. San Fransisco: Pearson International Education.
3. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper Airway.
Available at: http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html. Accessed
on: 30/06/2015
4. Soepardi EA, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung,Tenggorok,
Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9
35 | P a g e

6. Suprihati. 2006. Patofisiologi Rinitis Alergi dalam : Kumpulan Naskah Simposium


Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta
Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,
Malang.
7. Irawati N. 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium Current Opinion In Allergy and Clinical
Immunology, Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
8. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies
LR Jr. Hilger P. (Eds). 1989. Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed.
Philadelphia
9. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki. Sinusitis dalam Efiaty, Nurbaiti, (ed).
2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai
Penerbit FK UI, Jakarta
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the
clinician: a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5):
427-43
11. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. 2012. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;
12. Kennedy DW, Lee JT. 2006. Endoscopic Sinus Surgery in Head and Neck SurgeryOtolaryngology, Vol I, Fourth Edition, Byron J.Bailey Lippincott Wiliams and
Wilkins, Philadelphia, 459-75
13. Mulyarjo. 2006. Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada
Simtom Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini
Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo
Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti, Malang
14. Dorland,

W.A.

Newman.

2012.

Kamus

Kedokteran

Dorland,

Edisi

31.

Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC


15. Soedjak S., Suksesi S., Herawati S., et al. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung,
& Tenggorok. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

36 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai

  • Pemeriksaan Telinga
    Pemeriksaan Telinga
    Dokumen12 halaman
    Pemeriksaan Telinga
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • FIK
    FIK
    Dokumen67 halaman
    FIK
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Modul Repro Mahasiswa 14
    Modul Repro Mahasiswa 14
    Dokumen14 halaman
    Modul Repro Mahasiswa 14
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • LBM 1
    LBM 1
    Dokumen23 halaman
    LBM 1
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Telinga
    Pemeriksaan Telinga
    Dokumen12 halaman
    Pemeriksaan Telinga
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen45 halaman
    Bab I
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Tumor Wilms
    Tumor Wilms
    Dokumen6 halaman
    Tumor Wilms
    galuhrj
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen45 halaman
    Bab I
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan: A. Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan: A. Latar Belakang
    Dokumen25 halaman
    Bab I Pendahuluan: A. Latar Belakang
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Isi 2
    Isi 2
    Dokumen36 halaman
    Isi 2
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • LBM 1
    LBM 1
    Dokumen23 halaman
    LBM 1
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Telinga
    Pemeriksaan Telinga
    Dokumen12 halaman
    Pemeriksaan Telinga
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen45 halaman
    Bab I
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Laporan TR Kel 27
    Laporan TR Kel 27
    Dokumen29 halaman
    Laporan TR Kel 27
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Wilms Tumor
    Wilms Tumor
    Dokumen29 halaman
    Wilms Tumor
    Okky Hartanto
    100% (2)
  • Laporan TR Kel 27
    Laporan TR Kel 27
    Dokumen28 halaman
    Laporan TR Kel 27
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Makalah Sifilis
    Makalah Sifilis
    Dokumen5 halaman
    Makalah Sifilis
    lilisfasliah
    Belum ada peringkat
  • Wilms Tumor
    Wilms Tumor
    Dokumen29 halaman
    Wilms Tumor
    Okky Hartanto
    100% (2)
  • Tumor Wilms
    Tumor Wilms
    Dokumen6 halaman
    Tumor Wilms
    galuhrj
    Belum ada peringkat
  • Makalah Tumor Wilms
    Makalah Tumor Wilms
    Dokumen22 halaman
    Makalah Tumor Wilms
    Husnaruna
    69% (13)