RETENSIO PLASENTA
Disusun Oleh:
Izdaharra Mutia Ulfah
1302101010178
Kelas 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi
ternak. Namun saat ini masih banyak kasus gangguan reproduksi yang ditandai
dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan
dan jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi populasi ternak dan produksi
(daging dan susu). Gangguan yang umum terjadi salah satunya adalah retensi
plasenta atau retensi sekundinae.
Gangguan reproduksi seperti retensi plasenta menyebabkan kerugian
ekonomi yang relatif besar bagi peternak. Meskipun sebenarnya hal ini bisa
disebabkan karena buruknya sistem pemeliharaan di peternakan itu sendiri.
Penanganan oleh peternak masih kurang, bahkan beberapa peternak terpaksa
menjual sapinya dengan harga murah karena tidak tau cara menanganinya.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 apa yag dimaksud dengan retensi plasenta?
1.2.2 Apa etiologi terjadinya retensio plasenta?
1.2.3 Apa saja gejala yang muncul pada kasus retensio plasenta?
1.2.4 Apa prognosa untuk kasus retensio plasenta?
1.2.5 Bagaimana mendiagnosa terjadinya retensio plasenta?
1.2.6 Bagaimana pengobatan untuk retensio plasenta?
BAB II
ISI
2.1 Definisi retensi plasenta
Retensi plasenta erupakan suatu kondisi selaput fetus menetap lebih lama
dari 8 12 jam di dalam uterus setelah kelahiran (Ratnawaty, dkk., 2007).
Pengeluaran selaput fetus lebih dari 12 jam harus diwaspadai sebagai
keadaan patologis yang disebut retensi plasenta atau retensi sekundinae. Secara
fisiologik selaput fetus keluar dalam waktu 3 sampai 8 jam postpartum. Apabila
selaput tersebut menetap lebih lama dari 8 sampai 12 jam, kondisi ini dianggap
patologik dan terjadilah retensio secundinae (Toelihere, 1985).
Pada sapi retensi plasenta dapat berlangsung selama 4 8 hari atau bahkan
lebih, bila tidak ada pertolongan. dalam keadaan demikian maka selaput fetus
sudah mengalami
perubahan-perubahan
berupa pembusukan,
dan dapat
plasenta. Retensi plasenta terjadi pada 69% sapi dari suatu kelompok ternak yang
diberikan makanan dengan kadar karoten yang rendah.
2.3 Gejala
Gejala yang cukup jelas yaitu sebagian selaput fetus menggantung keluar
dari vulva selama 12 jam atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus atau
distokia. Sekitar 20 sampai 25 persen memperlihatkan gejala-gejala metritis
dengan suhu badan yang tinggi, produksi susu dan berat badan menurun. Pada
kasus ini angka kematian sangat sedikit dan tidak melebihi satu sampai dua
persen. Apabila ditangani dengan cepat dan baik maka kesuburan sapi tidak
banyak terganggu. Pada kasus ini kerugian yang diderita peternak bersifat
ekonomis (Karo, 2008).
Sekitar 7580% sapi dengan retensi sekundinae tidak menunjukkan tanda
tanda sakit. Sekitar 20-25% memperlihatkan gejalagejala metritis, anorexia,
depresi, suhu badan tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun (Anonim,
2012).
Dua hingga tiga hari setelah partus, servik akan menutup rapat sehingga
sisa sekundinarum masuk ke dalam uterus. Sekundinarum dapat menutupi saluran
kemih sehingga induk mengalami kesulitan urinasi. Kadang terdapat rasa nyeri
pada abdomen dan ekor digerak-gerakkan. Alat kelamin mengeluarkan bau busuk.
Kotoran yang dikeluarkan berwarna coklat. Kesehatan induk mulai terganggu dan
terlihat depresi, produksi susu menurun, respirasi cepat, dan temperatur tubuh
meningkat (Saputra, 2013).
2.4 Prognosa
Pada kasus tanpa komplikasi, angka kematian sangat sedikit dan tidak
melebihi 1-2%. Apabila ditangani dengan baik dan cepat, maka kesuburan sapi
yang bersangkutan tidak terganggu (Kora, 2008). Pada kasus retensi ini kerugian
peternak bersifat ekonomis karena produksi susu yang menurun, kelambatan
involusi dan konsepsi (Anonim, 2012).
2.5 Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan adanya sekundinae yang keluar dari alat
kelamin. Bila sekundinae hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dapat
dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dan dengan terabanya sisa
sekundinae atau kotiledon. Karunkula yang sudah terbebas dari lapisan
sekundinae, akan teraba seperti beludru. Kalau tidak ada sekundinae yang
menggantung diluar kelamin, jangan dikatakan tidak ada retensi sekundinarium.
Mungkin sekundinae masih tersisa dan tersembunyi didalam rongga uterus
(Anonim, 2012).
2.6 Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mendorong terjadi kontraksi uterus
sehingga menyebabkan keluarnya plasenta. Penyuntikan sub kutan atau intra
muskuler hormon oksitosin dengan dosis 100 IU adalah untuk pengobatan pada
hewan besar domba, kambing, dan babi dosisnya 30-50 IU, disuntikkan subkutan
(Anonim, 2012). Untuk keadaan dimana uterus tidak berkontraksi dan menjadi
alternatif terakhir karena ditakutkan akan menjadi prolapsus uteri.
Pertolongan lain dapat dilakukan dengan pengeluaran plasenta secara
manual. Pelepasan plasenta dilakukan bila hubungan antara selaput fetus dan
karunkula mudah dipisahkan. Dianjurkan pelepesan dilakukan sebelum 48 jam
pasca lahir (Anonim, 2012).
Penanganan yang dapat dilakukan dengan pelepasan selaput fetus secara
manual,
pemberian
preparat
antibiotika
spektrum
luas
(oxytetracyclin,
BAB III
KESIMPULAN
Retensio plasenta adalah kondisi dimana plasenta tidak keluar dari saluran
kelahiran dalam waktu lebih dari 12 jam. Penyebabnya bisa karena infeksi, nutrisi,
kurangnya ternak digembalakan.
Gejala yang muncul pertama adalah plasenta yang menggantung selama 12
jam atau lebih pasca partus, jika terjadi infeksi (terjadi 20-25%) dapat
mengakibatkan metritis, suhu meningkat, anoreksia, depresi. 75-80% nya, ternak
yang mengalami retensi plasenta tidak mengalami sakit.
Pengobatan terutama yang populer dengan manual dan pemberian
antibiotik spektrum luas (oxytetracyclin, Chlortetracyclin atau Tetracyclin)
intrauterine. Prognosa untuk kasus retensi plasenta adalah fausta. Karena jarang
terjadi kematian akibat penyakit ini, terutama jika ditangani dengan baik dan
cepat.