Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang
memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang
dipantulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak,
yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa yang kuat untuk
mempertahankan bentuknya, suatu sistem lensa untuk memfokuskan bayangan,
selapis sel fotosensitif, dan suatu sistem sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan,
memproses, dan meneruskan informasi visual ke otak (Junqueira, 2007).

Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya
karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur seperti
cincin di dalam aqueous humour. Lubang bundar di bagian tengah iris tempat
masuknya cahaya ke bagian dalam mata adalah pupil. Iris mengandung dua kelompok
jaringan otot polos, satu sirkuler dan yang lain radial. Karena serat-serat otot
memendek jika berkontraksi, pupil mengecil apabila otot sirkuler berkontraksi yang
terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata.
Apabila otot radialis memendek, ukuran pupil meningkat yang terjadi pada cahaya
temaram untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 2001). Oleh

sebab

inilah

kami

sebagai

mahasiswa

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Muhammadiyah Purwokerto angkatan 2014 bermaksud untuk melakukan kegiatan


Penyuluhan dan Pemeriksaan Refraksi Mata yang merupakan kegiatan sosial
pengabdian

masyarakat sebagai wujud kepedulian kami akan kesehatan mata

khusunya anak-anak sekolah dasar yang sangat perlu diperhatikan serta

juga

dilaksanakan sehubungan dengan Kegiatan Field Lab yang rutin kami laksanakan
setiap blok pembelajaran.

I.2. Tujuan Pembelajaran


1. Merupakan wujud pengamalan dari salah satu tri dharma perguruan tinggi yaitu
pengabdian.
2. Menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama
3. Memberikan sosialisasi dan bantuan mengenai oftamolagi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pemeriksaan Pada Media Refraksi Mata
a. Snellen chart
Mata yang tidak dapat membaca satu huruf pun pada kartu Snellen diuji
dengan cara menghitung jari. Jika tidak bisa menghitung jari, mata tersebut mungkin

masih dapat mendeteksi tangan yang digerakkan secara vertikal atau horizontal.
Tingkat penglihatan yang lebih rendah lagi adalah kesanggupan mempersepsi cahaya.
Mata yang tidak dapat mempersepsi cahaya dianggap buta total (Riordan-Eva, 2009).
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti:
- Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enam
meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
- Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam
meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
- Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan
uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
- Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan
pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam
penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung
jari pada jarak 1 meter.
- Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang
lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan
pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu
meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.
- Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat
melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang
normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
- Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).
b. Pemeriksaan trial and error
Cara melakukan pemeriksaan trial and error pada pasien adalah sebagai berikut :
-

Pasien tetap duduk pada jarak 5 atau 6 meter dari Snellen chart.

Pada mata dipasang trial frame.

Satu mata ditutup dengan okluder.

Dimulai pada mata sebelah kanan terlebih dahulu

Dipasang trial lens, tergantung dari jarak berapa pasien mulai tidak bisa
membaca Snellen chart (+/- 2, +/- 1, +/- 0.5, +/- 0.25) dan dari kejernihan
pasien melihat tulisan Snellen chart (lensa +/-)

Pasien membaca mulai dari huruf terbesar sampai terkecil, ubah lensa sampai
huruf pada jarak 5/5 dapat dibaca dengan jelas, jika lensa negatif (-) pilih lensa
yang negatif terkecil yang dapat melihat huruf pada jarak 5/5, dan jika lensa
positif, maka di pilih positif yang terbesar yang bisa melihat huruf pada jarak
5/5.

Lakukan hal yang sama pada mata kiri

Interpretasikan atau catat hasil pada rekam medis pasien

c. Tes Buta Warna


Uji Ishihara merupakan uji untuk mengetahui adanya defek penglihatan warna,
didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan
berbagai ragam warna (Ilyas, 2008). Metode Ishihara yaitu metode yang dapat
dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna didasarkan
pada pengunaan kartu bertitik-titik yang disusun menjadi buku. Lembaran dalam
buku ini disusun dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacammacam warna (Guyton, 2011).

II.2. Kelainan Pada Media Refraksi Mata


Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh
dibiaskan atau difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea
tanpa melakukan akomodasi. Pada mata emetropia, terdapat keseimbangan antara
kekuatan pembiasan sinar dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam
pembiasan sebagin besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea
serta panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat
dibanding media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama
pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat (Ilyas, 2006).
Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana
mata yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan
sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat

ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan seperti miopia (rabun jauh),


hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisme (silinder) (Ilyas, 2006).
Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan
kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa
sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada
usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Ilyas, 2006).

Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan


sinar yang berlebihan sehingga sinar yang datang dibiaskan di depan retina
(bintik kuning) (Ilyas, 2001).
Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan
makula lutea. Hal ini disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia
refraktif atau bola mata yang terlalu panjang, miopia aksial atau sumbu (Ilyas,
2004).
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana

sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang makula lutea (Ilyas, 2004).
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan dfokuskan di
belakang retina (Ilyas, 2006).
Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak
dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga
fokus pada retina tidak pada satu titik (Ilyas, 2004). Umumnya setiap orang
memiliki astigmatisme ringan (Ilyas, 2006).
Pada astigmatisme dapat dilihat berbagai faktor di bawah ini (Yani, 2008):
1) Lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang dibanding jarijari meridian yang tegak lurus padanya.
2) Pembiasan sinar pada mata tidak sama pada semua bidang atau meridian.
3) Astigmatisme disebabkan karena pembiasan sinar yang tidak sama pada
berbagai sumbu penglihatan mata.
4) Keadaan dimana terjadi mata lebih rabun jauh pada salah satu sumbu (misal 90
derajat) dibanding sumbu lainnya (180 derajat).
Astigmatisme merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur,
makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmatisme mata tersebut.
Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan
dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada
retina tidak pada satu titik (Ilyas, 2004). Umumnya setiap orang memiliki
astigmatisme ringan (Ilyas, 2006).

Anda mungkin juga menyukai