Anda di halaman 1dari 3

BAB III

STURTUR PERTUNJUKAN
A. Tehnik pementasan.
1. Deskripsi pementasan Sanghyang Sampat
Pada umumnya setiap pertunjukan yang dilangsungkan di Bali, sebelum
pertunjukan itu dimulai terlebih dahulu diadakan upacara menghaturkan sesajen sesuai
dengan besar kecilnya pertunjukan tersebut. Hal ini selalu diadakan baik pertunjukan yang
bersifat ritual maupun pada pertunjukan hiburan biasa. Begitu pula halnya dengan
pertunjukan Sanghyang Sampat di Puluk-Puluk.
Sanghyang Sampat di Puluk-Puluk dipertunjukkan pada hari-hari tertentu yaitu
biasanya pada waktu padi mulai menguning. Lama pertunjukan paling minim satu hari dan
maksimal tiga hari. Adapun tehnik pementasan adalah sebagai berikut :
Sebelum penari Sanghyang memegang pratima Sanghyang tersebut, penari
Sanghyang itu diupacarai dulu yang disebut dengan istilah matapung tawar (udakan jali
pembersih) maksudnya adalah untuk mebersihkan segala kotoran yang melekat pada diri
penari. Setelah upacara matapung tawar kemudian dilanjutkan dengan upacara
pendudusan, di mana penari itu diasapi dan mendekap pasepan maksudnya adalh
membakar seluruh kotoran yang melekat pada badan penari tersebut. Dengan selesainya
upacara tersebut baru kemudian penari sanghyang mengambil pratima yang dibuat dari
sampat. Kemudian dilanjutkan dengan nusdus Sanghyang. Upacara ini maksudnya adalah
upacara sajian yang dilakukan di luar arena pementasan yang maksudnya mengupacarai
penari Sanghyang yang dilakukan sedemikian rupa, masing-masing penari Sanghyang
diberika pasepan (semacam dulang kecil yang dibuat dari tanah liat yang diisi kemenyan
dan irisan kayu dapdap yang sudah dibakar sehingga menimbulkan kepulan asap yang sangat
harum baunya). Para penari memegang pratima di atas pasepan sementara itu para
penyanyi Sanghyang yang duduk disekitarnya menyanyikan gending-gending panusdusan
dan para pemangku mengucapkan mantra-mantra secukupnya. Setelah Sanghyang tersebut
nadi maka penari Sanghyang akan terus menari-nari, mengelilingi arena pementasan.
Kalau kami perhatikan gerakan tari Sanghyang tersebut sangat polos sekali dan bebas. Boleh
dikatakan tidak mempunyai komposisi tertentu. Mungkin tarian semacam itulah yang

dimaksud dengan corak tari primitif. Dalam pementasan itu sering terjadi pergantian penari.
Pergantian penari itu ditentukan oleh Sanghyang itu sendiri, jadi siapa yang dijawat itulah
penggantinya. Seperti ibing-ibingan dalam tari joged. Siapa yang dijawat oleh joged
tersebut itulah yang ngibing. Setelah beberapa lama menari di halaman pura, akhirnya
Sanghyang itu pergi ngunya ke sawah atau ke pura-pura tri kayangan milik masyarakat
Puluk-Puluk. Apabila Sanghyang tersebut kembali ke tempat pementasan maka dilanjutkan
dengan upacara ngelinggihang. Yang dimaksud dengan upacara ngelinggihang adalah
upacara penutup dengan tujuan untuk mengembalikan kesadaran penari seperti keadaan
semula. Pada waktu ngelinggihang ini diikuti dengan gending ngelinggihang (simpingsimping), serta mantra-mantra dari pemangku secukupnya.
Adapun upakara yang disiapkan pada waktu ngelinggihang adalah canang,
segehan manca warne, tetabuhan arak berem. Selanjutnya para pemangku membagikan
tirta kepada para pendukungnya yang hadir pada waktu tersebut. Dan terakhir Sanghyang
tersebut disimpan di pura Baleagung.

3. Ciri-ciri khas Sanghyang Sampat di Puluk-Puluk.


Pertama, sesuai dengan nama Sanghyang tersebut di mana pretima Sanghyang itu
dibuat dari sampat(sapu). Sampat itu diikat sedemikian rupa dan ujungnya dibuat
berbentuk capah . Capah itu dibuat dari daun rontal atau daun kelapa muda yang
diberi warna yang berbentuk segitiga. Pretima tersebut dihias dengan tujuh buah bunga
cempaka putih dan ditambah dengan bunga-bunga lainnya. Di samping itu juga
dibungkus dengan kain putih dan kuning.

Kedua, pergantian penari sangat unik sekali. Dalam waktu pergantian penari, siapa
yang dijawat (disentuh) merekalah yang menggantinya. Kemudian penari pertama
setelah diganti, seketika itu pula ia sadarkan diri tanpa diupacarai apa-apa lagi.
Ketiga, setelah beberapa lama Sanghyang tersebut menari di halaman pura akhirnya
Sanghyang tersebut berlari-lari ketempat-tempat ibadah lainnya dan kesawah-sawah di
mana penyakit itu berada. Hal seperti tersebut di atas disebut dengan istilah ngunya.
Keempat, pada waktu ngunya itu penari Sanghyang tidak mengenal lelah, sakit,
apakah ada ranjau, duri, curam, semuanya itu ditabrak saja. Betul-betul kekuatan
gaib(magic) itu ada pada penari Sanghyang Sampat tersebut. Selesai ngunya
Sanghyang tersebut akan kembali lagi ke tempat pementasan semula. Kemudian diakhiri
dengan upacara ngelinggihang adalah upacara penutup yang maksudnya untuk
mengembalikan kesadaran penari kepada keadaan kesadarannya seperti semula.

Anda mungkin juga menyukai