BAB III
YB MANGUNWIJAYA, KARYA, DAN PEMIKIRANYA
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosio Kultur
Sosok intelektual yang akrab disapa Romo Mangun, memiliki nama lengkap
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya1. Lahir di Ambarawa 6 Mei 1926, adalah anak sulung
dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah2.
Bilyarta adalah nama kecilnya. Nama Yusuf di depan Bilyarta adalah nama
permandian atau nama baptis. Sementara nama Mangunwijaya diambil dari nama
kakeknya, seorang petani tembakau3
Seperti sejarah banyak orang, sejarah YB Mangunwijaya juga ditentukan
oleh perjalanan hidup ayahnya. Semasa kecil, ayahnya diangkat anak oleh pakde
ayahnya sendiri yang menjabat sebagai lurah desa di daerah Parakan, Jawa Tengah.
Pengangkatan ayahnya sebagai anak lurah ini kelak
Ketika Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau akrab dipanggil Romo Mangun meninggal
dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya. Tidak hanya dari
kalangan rohaniawan dan Penganut agama Katholik atau masyarakat Yogyakarta saja, tetapi juga
masyarakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi dan lain-lain ( Simposium Sosok
YB Mangunwijaya, Sabtu, 28 Juni 2003 di Aula RS st Borromeus. File: http://www. Google.
Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm
2
Orang tua, khususnya ibunya, berharap agar anak sulung tersebut menjadi seseorang
imam, namun tidak demikian harapannya pada anak-anaknya yang lain. Oleh orang tuanya, Yusuf
kecil mendapat mainan untuk 'misa-misaan'. Dia memerankan imam dan adik-adiknya disuruh
menjadi umat. Semua adik-adiknya laki-laki tidak pernah memerankan imam seperti dia. Dan dalam
kenyataannya, memang hanya Yusuplah yang menjadi pelayan Tuhan dari keluarga besar tersebut.
file: http://www. Google..mangun.htm.14.02.04)
3
Willy Pramudya, sebuah Pengantar Perjalanan Hidup Seorang Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya dalam Mendidik Manusia Merdeka, Romo Y. B. Mangunwijaya 65 Tahun
(Yogyakarta: Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 3
4
Ibid
5
Mangun kecil jauh lebih beruntung dibanding anak-anak dari keluarga kebanyakan, sebab
boleh mengenyam pendidikan yang ketika itu hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat
52
memperoleh kesempatan itu. Melihat nasib seperti ini, gereja melalui para
misionaris atau zendingnya mendirikan sekolah swasta bagi golongan rakyat. Di
sekolah seperti inilah ayahnya mengenyam pendidikan dasar hingga pendidikan
lanjutannya sebaga calon guru SD. Ayahnya bahkan sempat menjadi pimpinan
asrama sekolah tempat mengajar. Di Muntilan, sekolah ayahnya ini pula, Mangun
kecil memulai pendidikan formalnya. Berbeda dengan teman-teman asramanya dari
berbagai daerah yang harus berpisah dengan orang tua dan lingkunganya (yang
merupakan sistim pendidikan waktu itu)6
Meski cukup lama hidup di Asrama, pribadi Mangun lebih banyak terbentuk
oleh keluarganya sendiri. Tetapi yang jelas masa kanak-kanak saat itu baginya
adalah masa yang penuh kenangan manis dan menguntungkannya. Sayang setelah
Jepang datang7, sekolah itu terpaksa bubar. Bahkan sebagian besar teman-temanya
itu tidak terdengar lagi kabar beritanya hingga kini8.
Di masa kanak-kanaknya, meski tidak pernah bergaul langsung dengan
Belanda atau Indo-Belanda, Mangun punya kenang-kenangan yang berkaitan
dengan suasana anak-anak Belanda dan Indo-Belanda. Salah satu kegemaranya
adalah mengintip para sinyo atau noni cilik Belanda yang mempunyai banyak
mainan asing yang membuatnya kagum. Mangun kecil suka melihat9 anak-anak
yang memiliki status sosial tertentu. Selain itu perjalanan hidup Mangun kecil juga sangat ditentukan
oleh hidup ayah dan ibunya yang berprofesi sebagai guru. Latar belakang sadar pendidikan inilah
yang mengantarnya kelak menjadi intelektual (Asyer Tandapai Gereja Dispiora Paguyuban
Kharismatik Sosio Religius file: http://www. Google..htm.28/02/25)
6
Willy Pramudya, Op Cit, hlm 4
7
Masa yang dirasakanya sangat mengerikan adalah saat Indonesia di bawah pendudukan
fasis militer Jepang. Ketika itu, keluarganya tinggal di kota Magelang, kota tangsi yang bersuasana
militer Belanda. Suasana pendidikan yang sangat memperihatinkan segi-segi penghalusan akal budi
dan pencerdasan akal sehat, digantikan dengan suasana militeristis yang memporak porandakan
ekonomi dan kebudayaan. Dunia fasis yang serba kasar sangat dibenciya (B. Rahmanto Y B.
Mangunwijaya karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 3
8
Singgih Nugroho Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, (Yogyakarta: Pondok Edukasi,
2003), Cet I Sep, hlm. 16
9
Melihat mereka, serasa mereka dalam suasana surgawi sebagaimana cerita-cerita yang
diajarkan dalam pelajaran agama. Mereka memiliki mainan lengkap dan menyenangkan yang tak
mungkin dibeli oleh orang tuaku kenangnya. Sebagai orang Jawa, Mangun kecil tidak merasa
terganggu, iri, atau cemburu melihat tingkah laku mereka meskipun sadar bahwa tidak mungkin
bermain bersama karena suasana zaman yang membedakan mereka secara sosial (Willy Pramudya,
Op Cit, hlm 5)
53
54
12
Ibid
Mata pelajaran SD zaman Belanda dibuat tidak untuk dihapalkan, abstrak, dan tidak
bersangkut paut dengan kehidupan riil, tetapi benar-benar berakar pada kebutuhan lokal serta
situasional si anak dengan dimensi pembukaan pintu gerbang masa depan. Disamping itu, guru-guru
Belanda itu sangat memperhatikan daya kreasi dan fantasi anak-anak. Jika anak-anak hanya
menirukan jawaban tanpa memahaminya, itulah dosa-dosa besar iklim pendidikan sekolah dasar
sekarang ini (B. Rahmanto Op Cit hlm 2)
14
Singgih Nugroho Op Cit, hlm 19
15
Y. B. Mangunwijaya Tumbal Kumpulan Tulisan YB Mangunwijaya (Yogyakarta :
Benteng Intervisi Utama, 1994), Cet II Juni, hlm. 441
13
55
Kami bukan pahlawan, kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat.
Karena, kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan
melakukan hal-hal yang kejam. Karenanya, kami minta tolong agar kami yang menjadi manusia
normal kembali. Inilah jasa yang dapat anda berikan kepada kami yang menjadi korban revolusi,
yang terpaksa membela tanah air dengan senjata (YB Mangunwijaya Saya Ingin Membayar Utang
kepada Rakyat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), Cet V, hlm. 59
17
Singgih Nugroho Op Cit, hlm 20
56
membalas budi kepada rakyat yang paling besar jasa dan pengorbanannya selama
perang-perang kemerdekaan. Ia ingin menjadi rohaniawan yang bekerja tidak demi
harta dan kekuasaan, apalagi dengan tangan-tangan berlumuran darah yang
mengorbankan
Mangun menerima pentahbisan sebagai imam untuk keuskupan (Agung) Semarang dari
Mgr. A. Soegijapranata (1959). Sejak tahun itu ia resmi menjadi pastur (Ibid hlm 22)
19
Willy Pramudya, Op Cit hlm 10
20
YB Mngunwihaya, Tumbal Op Cit hlm 443
21
Willy Pramudya, Loc Cit hlm 15
57
22
58
25
25
Dalam novel ini, Mangunwijaya menyuguhkan tafsirannya atas suatu peristiwa sejarah
yang pernah melanda masyarakat Halmahera dan sekitarnya pada abad ke-17. menurut pengakuanya,
novel ini diilhami setelah membaca suatu monografi A. Hueting tahun 1912 tentang adat istiadat dan
riwayat suku Tobelo Halmahera. B. Rahmanto Op Cit hlm 30
26
Singgih Nugroho Loc Cit, hlm 26
27
Mudji Sutrisno, Benang-Benang Merah Pemikiran Mangunwijaya dalam Mendidik
Manusia Merdeka (Yogyakarta : Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 89
28
Terdapat dalam novel Burung-Burung Manyar, struktur bangunan luar novel ini mirip
arsitektur gedung. Lantai pertama (bagian I: 1934-1944, masa sepuluh tahun), lantai kedua (bagian
II: 1945-1950, masa lima tahun, dan lantai ketiga (bagian III:1968-1978, masa sepuluh tahun. Lantai
pertama itu, seperti halnya menonton pertunjukan wayang kulit (Mangunwijaya sendiri selalu
mengatakan bahwa novel BBM sebenarnya wayang dalam bentuk novel modern) membaca novel
ini tidak boleh meloncat, tetapi urut. B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya 2001,
Op Cit hlm 23
59
29
60
arsitek. Sebagai arsitek, selain berkarya nyata, Romo Mangun juga berteori melalui
penulisan buku. Semua karyanya, baik karya arsitektur rumah tinggal, bangunan
peribadatan, kampus, kantor, lingkungan perumahan, rancangan kota maupun dua
buku yang dikarang-Pasal-pasal Penghantar Fisika Bangunan dan Wusthu Citra
(PT Gramedia)-adalah karya arsitektural yang monumental. Buat saya, Romo
Mangun adalah seoarang arsitek modern dan pascamodernis yang paling terampil
sekaligus paling intelektual yang pernah dimiliki Indonesia sampai saat ini.
Bahkan, tidaklah berlebihan bila F. Silaban kita katakan sebagai salah
seoarang Bapak Arsitektur Modern Indonesia, maka YB Mangunwijaya adalah
seorang Bapak Arsitektur Pasca Modernisme Indonesia32
Diantara karya-karyanya antara lain: Gedung Bentara Budaya Jakarta,
rumah kediaman Arief Budiman di Salatiga, Gedung Gereja Katholik di Klaten,
Salam, Jetis dan sebagainya. Rancangan khas Mangun biasanya berciri dari bahan
kayu dan bambu, yang diakui arsitektur berkepribadian Nusantara. Karya-karya
arsitekturnya mendapat berbagai penghargaan. Diantaranya dari Badan Lingkungan
Dunia di Vancouver (1977), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berturut-turut pada
tahun 1991 dan 1993 memberikan IAI Award untuk sumbangan pada usaha
penataan lingkungan komplek ziarah, Sendang Seno, Kulon Progo Yogyakarta. Ia
pun meraih penghargaan Aga Khan Award For Architecture in The Muslim Word
(1992) atas keberhasilanya membenahi kampung di pinggir Kali Code yang semula
kumuh menjadi artistik, indah dipandang meski sederhana33
Demikian YB Mangunwijaya, seorang yang maminjam istilah Arief
Budiman adalah sosok yang multidimensional34. Romo Mangun biasa dilihat dari
banyak segi. Bisa dilihat sebagai budayawan, rohaniawan, arsitektur dan pejuang
32
61
kemanusiaan, tidak sedikit pula yang menyebutnya seniman. Dan barangkali yang
tak terlupakan adalah dia juga seorang pendidik35
Sebagai seorang pendidik, pendidikan dimaknainya sebagai upaya
pemerdekaan manusia. Dia berusaha mengembangkan pola pendidikan yang
memberikan ruang kesetaraan antara murid dan guru. Baginya kebodohan tidak
selalu dibawa semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke
dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah
masyarakatnya. Pendidikan berfungsi antara lain, mengurangi dan menyingkirkan
halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan
intelegensinya yang sederhana dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang
mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri atas tindakan yang dilakukannya36
Kecintaannya pada anak-anak membuatnya berpikir sistem pendidikan yang
mampu memberdayakan muridnya. Dan menurutnya, hal itu bisa terlaksana ketika
pendidikan dasar sudah kuat. Asumsi itulah yang membuatnya dirinya concern pada
sekolah dasar (SD). Sebab baginya SD adalah modal dasar bagi pembentukan
seseorang, baru kemudian revolusi dan sebaginya merupakan sekolah kedua.
Pendidikan dasar sangatlah fundamental bagi eksistensi dan hancurnya sebuah
bangsa37
Demikianlah sekilas tentang Romo Mangun. Rakyat kecil adalah pilihan
awal dan akhir Romo Mangunwijaya. Dengan segala kelabihan dan kekuranganya,
dia telah memberikan warisan yang terbaik bagi bangsa ini. Dia memang bukanlah
sosok yang lengkap pemikiranya. Pemikiranya memang amat subur tetapi, ia
bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikiranya adalah respon
spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat
dipegang secara konseptual
35
62
38
63
manusia yang dalam mempergunakan haknya untuk mengatur dirinya sendiri selalu
mengingat tertib damainya masyarakat39
Cita-cita kemerdekaan dengan tonggak historis Proklamasi Kemerdekaan
ialah pemerdekaan/pembebasan bangsa kita, baik secara kolektif maupun personal,
dari pembelengguan dari bentuk apapun dan oleh siapapun. Jadi tidak cuman
pemerdekaan/pembebasan dari Belanda. Inti cita-cita kemerdekaan bangsa kita ialah
pencapaian suatu tata masyarakat, tata negara dan pergaulan antar manusia di
negeri ini yang bebas dari exploitation de lhomme par I home. Ini perumusan
Soekarno yang sulit mendapat tandingan dalam kejelasan dan bobot isinya. Secara
positif dikatakan membangun masyarakat yang adil dan makmur dalam dimensi
manusia yang seutuh-utuhnya40
Paradigma Pendidikan pemerdekaan Mangun - secara makro - dimaknainya
sebagai proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap
manusia sebagai pelaku sejarah. Sebab kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai
apabila seseorang telah berhasil membaca realitas dan belajar memahami
lingkungan mereka dengan perantaraan dunia di sekitar mereka. Proses yang paling
tepat untuk pencapaian kesadaran tersebut adalah lewat pendidikan41
Walau seseorang tanpa pendidikanpun dapat belajar dan memahami realitas
di sekitarnya, pemahamanya tidak bisa utuh dan menyentuh, sebab persoalan yang
ada, karena tidak mempunyai perangkat analisis yang sistimatis. Dalam konteks
inilah seseorang memerlukan sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan
kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama dengan metode
dan analisis yang tepat, sehingga menemukan sebuah akar dari permasalahan yang
ada.
39
64
42
65
45
66
cosmosentris yaitu alam sekitar atau alam sekeliling menjadi pusat pembicaraan
sehingga menjadi theoantro cosmosentris karena pancasila memandang manusia
mempunyai tiga hubungan yaitu: Hubungan manusia dengan Tuhanya terkait
dengan sila I, hubungan manusia dengan manusia yang lain terkait dengan sila ke II,
serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya atau alam sekelilingnya terkait
dengan sila III, IV dan V. 49
Pada prinsipnya sila ini menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan dan sikap saling menghargai antara sesama
manusia tepa selira atau besar rasa tengang rasa50. Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan
kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela bangsa Indonesia merasa
dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.51
Keseluruhan pengertian tentang sila kedua dari pancasila52 ini jelaslah
merupakan suatu kebulatan pengertian yang lengkap tentang manusia. Manusia utuh
dilihat dari kacamata sila kedua adalah yang sadar akan dirinya sebagai manusia,
yaitu yang berkepribadian luhur. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan,
manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh karena itu manusia utuh adalah
yang berbuat sesuai dengan nilai-nilai kejiwaannya.53
Manusia dapat dikatakan memiliki kebebasan dalam hal keinginannya,
tetapi terikat oleh keterbatasan dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan
49
Bambang Daroeso dan Suyamo, Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Liberty, tt.), hlm. 62
Krissantono (Ed) Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS,
1976) Cet I Maret hlm 39
51
Achmad Fauzi dkk, Pancasila ditinjau Dari Segi Sejarah, Yuridis Konstitusional, dan
Segi Filosofis( Malang: Lembaga Penerbitan Brawijaya, 1983),. hlm 102
52
Sebagai bentuk pengamalan sila kedua antara lain, Mengakui persamaan derajat, saling
mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap
orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani
membela kebenaran dan keadilan, bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia. Ibid
53
H. Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila; Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, Edisi
3, (Yogyakarta: Andi Offset, tt. ), hlm. 21
50
67
Negara, dibatasi juga oleh lingkungan yang itu semua karena manusia tidak hidup
sendiri. Walaupun dia ingin hidup sendiri, tetapi hal itu tidaklah mungkin54
Dengan begitu manusia secara alamiah merdeka, dan secara alamiah pula ia
memiliki sifat sosial. Untuk bisa menggunakanya kebebasanya secara tepat ia butuh
disiplin. Untuk hidup dalam masyarakat ia perlu kebajikan-kebajikan moral. Moral
yang baik serta kebiasaan intelektual dibutuhkan demi pengembangan hakikat
manusia seutuhnya.
Lebih lanjut Omar al Tomy sebagaimana dikutip Syamsul Maarif
mengatakan kebebasan/kemerdekaan adalah jalan-jalan yang betul ke arah
kebahagiaan individu, keselarasan sosial dan psikologinya yang baik, pencapaian
sendirinya, menyadarkan akan hakikat manusia, kehormatan, kebanggaan, dan
kekuatannya. Juga ke arah peningkatan semangat produktifitasnya, membuka bakatbakat,
minat
dan
mengembangkan
kebolehan-kebolehannya.
Jadi
54
Kansil (Ed) Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(Jakarta: Balai Pustaka, 1979) Cet
III Januari, hlm 26
55
Syamsul Maarif Mengembalikan Fungsi Sekolah Untuk Proyek KemanusiaanJurnal
Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 286
56
Yb Mangunwijaya Impian Dari Yogyakarta, Kumpulan Esai Masalah Pendidikan,
(Jakarta: Kompas, 2003) Cet I, hlm 272
68
69
60
70
juga mampu membayar untuk bekerja di kantor atau perusahaan yang baik. Artinya
lingkaran kemiskinan terus membelit.61
Dengan kata lain pendidikan Formal justru melahirkan stratifikasi sosial dan
makin mempertajam kesenjangan. Mahalnya biaya sekolah justru diikuti pula oleh
kemerosotan dunia ekonomi. Pengangguran terselubung makin banyak jumlahnya
dan pertumbuhan penduduk tetap tinggi. Dari titik inilah muncul keresahan sosial,
dan berbagai konflik yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial 62
Menurut Mangun fungsi esensial dunia pendidikan63 demi kehidupan real
kini dan mendatang ialah bagimana jalan-jalan persekolahan formal maupun
nonformal dan informal, ketiganya berpadu secara bagus agar peserta didikan
semakin cerdas memakai daya intelegensinya mereka.
61
71
masyarakat, baik pendidikan dalam bentuk formal maupun pendidikan dalam bentuk
non formal, agar masyarakat dapat sadar terhadap barbagai permasalahan yang
menimpa mereka sebagai masyarakat66
Dalam RUU-PN - ketika Mangun menulis ini belum ada UUSPN 2003- pun
sudah menegaskan bahwa selain jalur sekolah formal, masih ada dua jalur yang
sangat penting dan menentukan perkembangan nasion, yakni jalur nonformal (NF)
dan informal (IF). Banyak yang beranggapan bahwa jalur NF dan IF hanya untuk
kaum berekonomi lemah atau yang bodoh, dan memang kenyataanya RUU-PN pun
praktis hanya menggarap hal-hal yang berhubungan dengan persekolahan formal,
dan hanya menyinggung sebentar bahwa jalur NF dan IF itu ada. Sebenarnya
pembagian pendidikan formal, nonformal, dan informal oleh UNESCO bermaksud
baik, tetapi dalam praktiknya pembagian itu ditafsiri keliru, seolah-olah pendidikan
formal itu normative, standar dan sempurna, sehingga pendidikan kelas dua tidak
normal, dan hanya ditoleransi, mengingat mereka yang bodoh, yang miskin, yang
seharusnya mengikuti pendidikan formal tetapi tidak mampu.67
Di dalam hampir semua seminar atau tanggapan mengenai RUU-PN salah
kaprah itu melayang. Khususnya kalau orang berbicara tentang pendidikan dasar,
selalu saja orang masih saja terkurung pada gagasan sempit, seolah-olah pendidikan
dasar itu sama sebatas dengan sekolah formal SD dan SMP. Apalagi SD dan SMP
praktis hanya dilihat melulu sebagai jenjang untuk meneruskan pelajaran ke sekolah
(formal lagi). Suatu nasion yang begitu melekat dan mendewakan sekolah formal
dalam pancaroba Revolusi Industri ke II yang melejit cepat masa kini ini- padahal
masih harus mengejar banyak segi keterbelakangan dengan penduduk yang sebentar
lagi melebihi 200 juta orang, dengan segala kendala geografis dan cultural, dengan
semakin manganganya jurang antara kaya dan miskin, antara yang melimpah
informasi dan yang kekurangan-tidak akan mungkin akan lepas landas, apalagi
makmur adil merata. Sehebat-hebatnya sekolah formal, jumlah dan kualitasnya tidak
terhadap masyarakat, sehingga wewenang untuk mencerdaskan bangsa adalah tanggung jawab
berasama
66
Firdaus M. Yunus, Op Cit hlm 81
67
YB Mangunwijaya, Impian Dari Yogyakarta,Op Cit, hlm 163
72
mungkin menangani sendiri masalah abad ke-21 yang semakin menggunung dan
semakin berubah, serba kejutan-kejutan baru. Kita akan terbelenggu tak ketolongan
oleh keahlian-keahlian semu si Hasil Sekolah, yang
68
73
bentuk formal, maupun pendidikan dalam bentuk non formal sebagai upaya dalam
menggugah kesadaran kritis manusia
Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk membuka tabirtabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia. Kesadaran sosial
dalam proses pemerdekaan manusia begitu penting, karena hanya kesadaran dan
mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam melihat realitas dan wawasan
kemanusiaan yang baru, yang menentukan terjadinya transformasi sosial. Dengan
kesadaran kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi penentu atas terciptanya
struktur hidup yang harmonis
Proses penyadaran yang dilakukan oleh Mangunwijaya terhadap masyarakat
bersifat ganda, yaitu makro dan mikro69. Aspek makro meliputi aspek
structural masyarakat yang meliputi, struktur sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
pendidikan. Sementara persoalan mikro berkaitan dengan kemiskinan masyarakat
itu sendiri yang diwarnai oleh corak kehidupan mereka sehari-hari, terutama
kecenderungan menjadi apatis dan mereproduksi struktur makro yang menindas
dalam skala mikro.
69
Salah satu ajaran dasar nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada
umat dalam pelbagai dimensi,baik dalam dimensi pendidikan, sosial politik dan kebudayaan. (Alquran 16:25). Prof. Dr. Abdurrahman Masud Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan
dalam Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IAIN dan Pustaka Pelajar, 2001), Cet I Mei, hlm 7