Anda di halaman 1dari 10

MANAJEMEN KONFLIK DALAM MENGEMBANGKAN

ATMOSFER AKADEMIK
Agung Widhi Kurniawan, Universitas Negeri Makassar, e-mail: agung234wk@yahoo.com
Abstrak
Tujuan paper ini ialah menelaah konflik antar kelompok mahasiswa khususnya yang
terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk dikembangkan ke arah yang positif,
yaitu mewujudkan atmosfer akademik. Mungkin masih jelas tergambar dalam benak kita,
konflik antar kelompok mahasiswa yang berakhir dengan tewasnya dua mahasiswa UNM
dan luka-luka puluhan mahasiswa sungguh sangat memprihatinkan. Tidak hanya sekali
peristiwa tawuran itu terjadi, disadari atau tidak konflik antar mahasiswa tersebut
berdampak negatif pada image mahasiswa UNM. Tawuran bukanlah budaya bangsa kita
dan ironisnya terjadi di universitas yang mencetak guru.
Konflik selalu terjadi di dalam aktivitas organisasi (lembaga), dan keberadaan konflik tidak
dapat dihindarkan. Sebab, konflik merupakan suatu kondisi yang alamiah dalam suatu
organisasi. Konflik dapat berdampak negatif dan positif. Konflik dapat berakibat negatif,
apabila tidak dapat dikendalikan. Namun, apabila konflik dikelola secara baik dapat
memberikan kepuasan bagi anggota dan bahkan dapat meningkatkan kinerja organisasi
(lembaga).
Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengelola konflik tersebut dan mengembangkannya
ke arah yang positif, yaitu terciptanya atmosfer akademik di lingkungan kampus? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, sebagai pembahasan paper ini akan menguraikan tentang
konflik dan faktor-faktor penyebabnya, konflik sebagai suatu proses, manajemen konflik
yang efektif, serta mengembangkan atmosfer akademik.
Perguruan tinggi (universitas) merupakan suatu organisasi pendidikan, dimana individuindividu saling berinteraksi dan bekerja sama guna menciptakan atmosfer akademik.
Bahwa, atmosfer akademik yang ideal tidak hanya mampu membangun intelektualitas
insan akademik, akan tetapi juga moralitas secara nyata. Perguruan tinggi sebagai jenjang
tertinggi pendidikan tidak hanya mengedepankan pendidikan, tetapi juga non akademik.
Kata kunci: manajemen konflik, atmosfer akademik
Abstract
The purpose of this paper is to examine the conflicts between groups of studentsparticularly in the Makassar State University (UNM) - to be developed in a positive
direction, which embodies the academic atmosphere. May still be clearly illustrated in our
minds, conflicts between groups of students who end up with the death of two students
UNM and dozens injured student is very worrying indeed. Not only once the brawl incident
occurred, whether consciously or not conflicts between students had a negative impact on
the image UNM students. Brawl is not the culture of our nation and ironically occurred on
university teachers scored.
Conflicts always occur in the activities of the institution, and the presence of conflict can
not be avoided. Therefore, conflict is a natural condition in an organization. Conflict can
be negative and positive impact. Conflict can be negative, if it can not be controlled.

However, if managed well, conflict can provide satisfaction for members and can even
improve the performance of the organization institution.
The question is, how do we manage conflict and develop in a positive direction, namely the
creation of an academic atmosphere on campus? To answer these questions, as the
discussion of this paper will elaborate on the conflict and its causes, the conflict as a
process, effective conflict management, as well as develop the academic atmosphere.
University is an educational organization, in which individuals interact with each other
and work together to create an academic atmosphere. That, the ideal academic
atmosphere is not only able to build academic human intellect, but also the real morality.
College as the highest level of education is not the only educational, but also nonacademic.
Keywords: conflict management, academic atmosphere
Pendahuluan
Tujuan paper ini ialah menelaah konflik antar kelompok mahasiswa khususnya
yang terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM)- untuk dikembangkan ke arah yang
positif, yaitu mewujudkan atmosfer akademik (academic atmosphere). Mungkin masih
jelas tergambar dalam benak kita, konflik antar kelompok mahasiswa (yaitu, terjadinya
tawuran dengan kekerasan) yang berakhir dengan tewasnya dua mahasiswa UNM dan
luka-luka puluhan mahasiswa sungguh sangat memprihatinkan. Tidak hanya sekali
peristiwa tawuran itu terjadi, disadari atau tidak konflik antar mahasiswa tersebut
berdampak negatif pada image mahasiswa UNM. Tawuran bukanlah budaya bangsa kita
dan ironisnya terjadi di universitas yang mencetak guru.
Satu pertanyaan, apa sebenarnya pemicu konflik antar mahasiswa tersebut?
Sebab, seringkali permasalahan yang menyebabkan tawuran di UNM sebenarnya hanya
masalah individu salah satu mahasiswa yang disangkut-pautkan dengan kelompok
mahasiswa. Ketika salah satu anggota kelompok yang bermasalah mulai menceritakan
masalahnya kepada anggota kelompok yang lain, maka masalah tersebut dianggap menjadi
masalah yang melibatkan kelompok. Karena didorong oleh rasa solidaritas antar anggota
kelompok yang kuat dan tanpa batas, akibatnya masalah tersebut menjadi masalah dalam
skala antar kelompok mahasiswa (antar fakultas). Ini sebuah ciri solidaritas kelompok yang
membela salah satu anggotanya.
Jika kita telaah, sebenarnya ada sisi positif yang bisa kita manfaatkan. Tidak
semua konflik merugikan. Konflik yang dikelola dan dikendalikan dengan baik dapat
menguntungkan

organisasi

(lembaga)

sebagai

suatu

kesatuan.

Bisakah

kita

mengembangkan rasa solidaritas yang kuat antar anggota kelompok tersebut menuju ke

arah yang positif. Persaingan antar kelompok mahasiswa kita dorong menuju persaingan
prestasi. Dengan kata lain, konflik yang terjadi kita kelola untuk mengembangkan atmosfer
akademik. Melalui manajemen konflik, kita membangun karakter mahasiswa menjadi
insan akademik yang cerdas dan bermartabat. Sebagai insan akademik, seharusnya kita
memperkuat tradisi budaya saling menghargai dan menghormati orang lain. Perbedaan
yang terjadi harus disikapi dengan kemajuan berpikir, tidak dengan menggunakan budaya
kekerasan. Hal ini menjadi tanggung jawab seluruh civitas akademica.
Mengelola konflik dalam suatu organisasi (lembaga) diperlukan keterbukaan,
kesabaran serta kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan
konflik yang terjadi didalamnya. Lalu, bagaimana cara kita mengelola konflik tersebut?
Paper ini akan menguraikan tentang konflik dan faktor-faktor penyebabnya, konflik
sebagai suatu proses, manajemen konflik yang efektif, serta mengembangkan atmosfer
akademik.
Kajian Pustaka dan Pembahasan
Konflik dan Faktor-faktor Penyebabnya
Konflik selalu terjadi di dalam aktivitas organisasi (lembaga), dan keberadaan
konflik tidak dapat dihindarkan. Sebab, konflik merupakan suatu kondisi yang alamiah
dalam suatu oraganisasi. Konflik dapat berdampak negatif dan positif (Udiyana dan Astini,
2012). Konflik dapat berakibat negatif, apabila tidak dapat dikendalikan. Namun, apabila
konflik dikelola secara baik dapat memberikan kepuasan bagi anggota dan bahkan dapat
meningkatkan kinerja organisasi (lembaga).
Konflik terjadi dalam situasi dimana kepentingan antar pihak (kelompok) berbeda
dan terdapat usaha untuk saling menghalangi kepentingan masing-masing. Konflik
merupakan sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapanharapan yang tidak terealisasi (Constantino dan Merchant dalam Sriati, 2008). Sriati (2008)
mengungkapkan bahwa konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau
lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena
mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau
menjalankan kegiatan bersama-sama dan/ atau karena mereka mempunyai status, tujuan,
nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami
ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan permasalahan dari sudut

pandang mereka. Diasumsikan pula bahwa ada dua pihak atau lebih tersebut memiliki
tujuan atau kepentingan yang tidak saling menunjang.
Sriati (2008) menyebutkan bahwa konflik merupakan proses pertikaian yang
terjadi, sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya merupakan salah satu
manifestasinya. Terdapat empat jenis konflik (Dalimunthe, 2003), yaitu: (1) konflik dalam
diri individu, merupakan konflik yang timbul dalam diri individu karena dibebani tugas
dan tanggungjawab yang terlalu banyak, dan dapat pula terjadi ketika individu dihadapkan
kepada suatu titik dimana individu tersebut harus membuat keputusan yang melibatkan
pemilihan alternatif yang terbaik; (2) konflik interpersonal, merupakan konflik yang terjadi
antar individu karena adanya perbedaan kepentingan dan nilai; (3) konflik intergroup,
merupakan konflik yang terjadi antar dua kelompok atau lebih dalam suatu organisasi; dan
(4) konflik interorganisasional, merupakan konflik yang terjadi antar organisasi.
Berdasarkan keempat jenis konflik tersebut, konflik antar kelompok mahasiswa
(khususnya yang terjadi di UNM), dapat dikategorikan sebagai konflik interpersonal.
Konflik interpersonal merupakan suatu konflik yang terjadi apabila sekurang-kurangnya
dua individu yang berada pada sudut pandang bertentangan, dimana masing-masing tidak
memiliki toleransi terhadap perbedaan, serta mengabaikan kemungkinan adanya wilayah
titik temu, kemudian secara cepat meloncat pada kesimpulan (Kelly dalam Wasistiono,
2012).
Terdapat beberapa anggapan dasar berkenaan dengan konflik, antara lain: (1) setiap
individu senantiasa berada dalam proses perubahan yang tiada akhir; (2) setiap individu
menyimpan konflik-konflik di dalam dirinya. Dengan kata lain, konflik merupakan gejala
yang melekat di dalam setiap masyarakat; (3) setiap unsur di dalam suatu masyarakat
memberingan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial; dan (4) setiap
individu terintergrasi di atas penguasaannya atau dominasi sejumlah orang yang lain.
Selanjutnya, untuk mengetahui penyebab timbulnya konflik, dapat diidentifikasi dari
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik, antara lain: (1) adanya benturan kepentingan dari berbagai pihak; (2)
terjadinya perubahan sosial yang terlalu cepat; (3) timbulnya rasa benci dan dendam
terhadap orang lain (sebagai pesaing); (4) adanya pemaksaan dari yang kuat terhadap pihak
yang lemah; (5) timbulnya anarki yang sulit dikendalikan; dan (6) meletusnya revolusi
politik yang menjurus pada perubahan kekuasaan.

Dalimunthe

(2003)

mengungkapkan

bahwa

penyebab

terjadinya

konflik

dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) karakteristik individual, meliputi: nilai sikap
dan kepercayaan (value, attitude, dan beliefs), kebutuhan dan kepribadian (needs and
personality), dan perbedaan persepsi (perseptual difference); dan (2) faktor situasi,
meliputi: kesempatan dan kebutuhan berinteraksi (opportunity and need to interact),
kebutuhan untuk berkonsensus (need for consensus), ketergantungan satu pihak kepada
pihak lain (dependency of one party to another), perbedaan status (status differences),
rintangan komunikasi (communication barriers), dan batas-batas tanggungjawab dan
jurisdiksi yang tidak jelas (ambiguous responsibilities and jurisdictions).
Konflik Sebagai Suatu Proses
Konflik merupakan suatu proses yang dinamis, dan bukan suatu kondisi yang statis.
Berikut adalah beberapa pendekatan yang menggambarkan proses suatu konflik
(Dalimunthe, 2003):
1. Antecedent condition atau latent condition. Merupakan kondisi yang berpeotensi
untuk menyebabkan, atau mengawali sebuah episode konflik.
2. Perceived conflict. Suatu kondisi dimana pihak-pihak yang terlibat menyadari
bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu. Tanpa rasa
terancam, salah satu pihak dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif
bagi pihak lain, namun tidak disadari sebagai ancaman.
3. Felt conflict. Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah, jika seseorang
merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan,
frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah. Disinilah mulai
diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu dianggap
sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir bagaimana untuk mengatasi situasi dan
ancaman tersebut.
4. Manifest conflict. Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi
terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada
tahap ini, seperti: argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik
yang menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.
5. Conflict Resolution atau suppression. Hasil suatu konflik dapat muncul dalam
berbagai cara. Pihak-pihak yang terlibat mungkin mencapai persetujuan yang
mengakhiri konflik tersebut. Mereka bahkan mungkin mulai mengambil langkahlangkah untuk mencegah terulangnya konflik di masa yang akan datang. Tetapi

terkadang terjadi pengacauan (suppression) dari konflik tersebut. Hal ini terjadi jika
pihak-pihak yang terlibat menghindari terjadinya reaksi yang keras, atau mencoba
nengacuhkan begitu saja ketika terjadi perselisihan. Konflik juga dapat dikatakan
selesai, apabila satu pihak berhasil mengalahkan pihak yang lain.
6. Conflict alternatif. Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal.
Terkadang perasaan lega dan harmoni yang terjadi, seperti ketika kebijaksanaan
baru yang dihasilkan dapat menjernihkan persoalan di antara pihak-pihak dan
minimalisasi konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Tetapi, jika yang tertinggal adalah perasaan todak enak dan ketidakpuasan, maka
hal ini dapat menjadi kondisi yang potensial untuk episode konflik yang
selanjutnya. Pertanyaan kuncinya adalah apakah pihak-pihak yang terlibat lebih
dapat bekerjasama atau justru semakin jauh akibat terjadinya konflik.
Sebagai suatu proses, terjadinya konflik justru berdampak pada perubahan dan
kemajuan. Tanpa konflik organisasi tidak mengalami perubahan dan kemajuan, yang
artinya organisasi tersebut tidak produktif. Alasanya, dengan terjadinya konflik seperti
adanya perbedaan pendapat- justru dapat memperjelas masalah yang terjadi di dalam
organisasi, serta sebagai wujud kreativitas anggota organisasi. Selain itu, konflik dapat
menjadi bagian kontrol kualitas (quality control), dimana terjadinya konflik dapat
menumbuhkan iklim keterbukaan dalam pengelolaan sumberdaya organisasi (lembaga).
Manajemen Konflik yang Efektif
Berbagai bentuk konflik di dalam organisasi (lembaga) merupakan sesuatu yang
tidak perlu dihindari, sebab dengan konflik menjadikan individu lebih dinamis. Organisasi
yang dinamis membutuhkan konflik pada tingkat yang optimal guna meningkatkan
pemahaman terhadap masalah-masalah yang muncul dalam setiap aktivitas individu dan
kelompok. Konflik seringkali diperlukan (Namara, 2007), antara lain untuk: (1) membantu
untuk memunculkan dan mengarahkan masalah, (2) memacu kerja menjadi isu yang snagat
diminati, (3) membantu individu menjadi lebih nyata dan mendorongnya untuk
berpartisipasi, dan (4) membantu individu belajar tentang bagaimana mengakui dan
memperoleh manfaat dari adanya perbedaan. Namara (2007) juga mengungkapkan bahwa
konflik akan menjadi masalah, apabila: (1) menghambat produktivitas, (2) menurunkan
moralitas, (3) menyebabkan konflik lain dan berkelanjutan, dan (4) menyebabkan perilaku
yang tidak menyenangkan. Disinilah peran manajemen konflik diperlukan.

Lalu, bagaimana upaya kita menghadapi konflik tersebut? Kita perlu memahami
makna dari manajemen konflik. Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses
terpadu (integrated) dan menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam
penanganan konflik, serta menetapkan cara-cara pencegahannya (Sriati, 2008). Manajemen
konflik merupakan manajemen jangka panjang yang bertujuan untuk menyelesaikan
konflik yang mendasar. Istilah manajemen konflik diberikan untuk menggambarkan
berbagai cara orang menyelesaikan keluhan tentang hak untuk melawan sesuatu yang
dianggapnya salah. Dengan demikian, manajemen konflik tidak sama dengan pemecahan
konflik. Pemecahan konflik merujuk pada upaya memecahkan perselisihan dengan
persetujuan satu atau kedua belah pihak (Wasistiono, 2012).
Manajemen konflik yang efektif menekankan pada empat hal berikut (Sriati, 2008):
1. Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai (kultur)
organisasi.
2. Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan.
Apabila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusi-solusi untuk setiap
konflik yang muncul, maka usaha tersebut merupakan usaha penanganan konflik,
bukan manajemen konflik.
3. Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan
melibatkan semua anggota organisasi.
4. Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik
juga akan bersifat pencegahan dan penanganan.
Cara individu bertingkah laku dalam menghadapi konflik dengan orang lain akan
ditentukan oleh seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain
yang dirasakan sehingga ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian
masalah, yaitu: (1) tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat
penting, sehingga harus dipertahankan atau tidak penting dan bisa dikorbankan; dan (2)
hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan dengan pihak
lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama sekali tidak penting
(Thontowi, 2012).
Terdapat beberapa metode penanganan konflik (Sriati, 2008), antara lain: (1)
metode pengurangan konflik. Salah satu cara yang seringkali digunakan adalah dengan
mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian, cara
semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah
dengan membuat musuh bersama, sehingga para anggota di dalam kelompok bersatu

untuk menghadapi musuh tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya
mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik; dan (2)
metode penyelesaian konflik. Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau
menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara intergratif.
Sriati (2008) menjelaskan bahwa dominasi dan penekanan mempunyai persamaan
makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan
memaksanya tenggelam ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang
menang dan yang kalah. Kompromi, mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan
dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik (win-win solution). Cara ini cenderung
lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua
belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah.
Selanjutnya, dengan menyelesaikan konflik secara integratif, maka konflik antar kelompok
diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan
bantuan teknik-teknik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang
bertentangan bersama-sama mencoba untuk memecahkan masalah, dan bukan hanya
menekan konflik atau berkompromi.
Mengembangkan Atmosfer Akademik
Perguruan tinggi (universitas) merupakan suatu organisasi pendidikan, dimana
individu-individu saling berinteraksi dan bekerja sama guna menciptakan atmosfer
akademik. Atmosfer akademik merupakan faktor penting dalam menunjang performansi
atau kinerja sebuah perguruan tinggi. Performansi tim menjadi suatu hal yang penting,
terutama dalam konteks budaya kolektivistik, karena individu hidup bersama dengan
kelompok sosial, dan sering berhadapan dengan tugas-tugas kelompok. Hasil yang dicapai
dalam kelompok merupakan representatif dan prestasi anggota-anggota tim yang terlibat
didalamnya (Moordiningsih dkk., 2010).
Secara umum kita perlu membayangkan atmosfer akademik yang ideal. Atmosfer
akademik yang ideal bisa kita gambarkan dengan berbagai aktivitas (kegiatan) di
lingkungan kampus yang ditandai oleh interaksi harmonis antara dosen-mahasiswa,
mahasiswa-mahasiswa, dan dosen-dosen yang berlandaskan nilai-nilai akademis.
Misalnya: diskusi, seminar, penelitian, pembuatan karya ilmiah, debat, mimbar bebas, dan
berbagai kegiatan kompetisi.

Sejatinya, dunia akademik menghargai perbedaan pendapat. Meskipun kompetisi


memposisikan dua kutub yang berlawanan, namun seharusnya kita bisa menerimanya
sebagai aktivitas yang menunjang terciptanya atmosfer akademik. Kritik terhadap suatu
pemikiran atau kebijakan, seharusnya dihadapi dan dilayani secara akademik pula. Dunia
akademik adalah ajang adu argumentasi dan data, bukan ajang adu otot (menggunakan
pendekatan fisik). Begitulah seharusnya cara kita mengembangkan atmosfer akademik.
Mahasiswa sebagai komunitas intelektual tidak seharusnya melakukan tawuran. Konflik
antar kelompok mahasiswa seharusnya diselesaikan secara komprehensif, bukan dengan
tindakan reaktif dan parsial, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip solidaritas
kelompok.
Perlu kita pahami bersama, bahwa atmosfer akademik yang ideal tidak hanya
mampu membangun intelektualitas insan akademik, akan tetapi juga moralitas secara
nyata. Perguruan tinggi sebagai jenjang tertinggi pendidikan tidak hanya mengedepankan
pendidikan, tetapi juga non akademik. Kita harus mampu menyelami dinamika kehidupan
mahasiswa. Misalnya dengan memberikan ruang publik atau kegiatan yang luas untuk
meyalurkan ekspresi mahasiswa, perlu juga dilakukan pendampingan oleh para dosen.
Civitas academica harus berkomitmen untuk menghentikan aksi kekerasan antar
mahasiswa di kampus.
Penutup
Konflik senantiasa terjadi dalam kehidupan kita. Sebab, setiap individu mewarisi
nilai-nilai berdasarkan latar belakang kehidupannya, dimana sistem nilai merupakan
pandangan hidup yang diyakini individu sehingga mempengaruhi perilakunya. Demikian
halnya, cara setiap individu menafsirkan, mempersepsikan, dan memberikan tanggapan
terhadap hasil interaksi dalam lingkungannya berpeluang menimbulkan perbedaanperbedaan.
Namun demikian, berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan, konflik antar
mahasiswa yang terjadi diharapkan dapat berdampak positif, yaitu mengembangkan
atmosfer akademik di lingkungan kampus. Dampak positif tersebut, antara lain:
meningkatkan pemahaman terhadap berbagai masalah, memperjelas masalah, memperkaya
gagasan, menumbuhkan saling pengertian yang lebih mendalam terhadap pendapat orang
lain, mencari pemecahan masalah bersama, orientasi pada prestasi, serta mempersatukan
individu-individu sebagai anggota organisasi (kelompok). Kita perlu memberikan motivasi

kepada mahasiswa untuk berprestasi, serta memberikan pendampingan pada kegiatan


mahasiswa baik kegiatan akademik maupun non akademik. Diharapkan interaksi dosenmahasiswa tidak hanya terjadi di dalam kampus, tunjukan kepedulian kita dengan mampu
menyelami dinamika kehidupan mahasiswa.
Daftar Pustaka
Dalimunthe RF, 2003. Peranan Manajemen Konflik Pada Suatu Organisasi. Digitized by
USU digital library.
Moordiningsih, WD Prastiti, WS Hertinjung, 2010. Model Pengaruh Atmosfer Akademik
Psikologis Terhadap Performasi Tim Belajar Di Perguruan Tinggi. Jurnal
Penelitian Humaniora, 11 (2): 111-124.
Namara, 2007. Manajemen Konflik. Http://www.managementhelp.org/intrpsnl/basics.htlm
Sriati AAT, 2008. Manajemen Konflik Dalam Organisasi. Universitas Padjadjaran.
Thontowi A, 2012. Manajemen Konflik. Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan
Palembang.
Udiyana IBG, Ni NS Astini, 2012. Antisipasi Konflik Terkendali Menjadi Konflik Radikal
Pda Desa Pekraman.
Wasistiono S, 2012. Manajemen Konflik: Apa Yang Dimaksud Dengan Konflik.
Http://www.yahoo.co.id.

Anda mungkin juga menyukai