Anda di halaman 1dari 8

KETIKA WAKTU TELAH BERLALU

Karya Adeline Suriadi


Aku memandangi kamar ini untuk kesekian kalinya. Yang tergambar dalam benakku sangatlah
jelas dan tidak berubah. Aku teringat kenangan-kenangan bersamanya, kenangan yang tak akan
aku lupakan begitu saja. Aku teringat bagaimana ia selalu ada di sampingku saat senang maupun
susah,
karena
ia
selalu
mengerti
bagaimana
membuatku
tersenyum.
Aku seperti dihantam sesuatu. Aku tahu, ini menyakitkan, tetapi aku harus kuat sebagaimana ia
berpesan. Ya! Aku tidak akan lagi bertemu dengannya, dihibur olehnya. Bayangan singkat
kehidupanku dengannya kembali tergambar jelas, seperti di depanku terdapat sebuah proyektor
yang menampilkannya.

Ketika Waktu Telah Berlalu


Bayangan itu membawaku ke saat-saat dimana aku dan dia pertama kali berkenalan saat aku
keliru menaruh barang-barangku di dalam lokernya. Dia tertawa, aku tertawa. Aku menanyakan
namanya dan dia menanyakan namaku. Pada saat kenaikan kelas, kami memasuki kelas yang
sama.
Kami semakin akrab dengan tempat duduk kami yang diatur berdekatan. Baru aku tahu saat itu
bahwa rumahku dan rumahnya hanya berbeda beberapa gang. Ia pun tidak jarang datang ke
rumahku untuk mengerjakan tugas. Aku ingat sekali bagaimana saat itu, kami tidak mengerjakan
tugas melainkan ke taman dan mengukir nama kami berdua pada sebatang pohon. Kami
menambahkan
Best
Friend
Forever
di
bawah
nama
kami.
Saat lelaki yang sedang kusuka berpacaran dengan perempuan lain, ia menghiburku,
merangkulku dan melontarkan candaan-candaan yang membuatku tertawa. Ia tahu apa yang
kurasakan walaupun aku tidak mengatakannya. Ia bahkan tahu lelaki yang kusuka walaupun aku
tidak pernah menceritakan apapun kepadanya. Ialah yang menjadi alasan mengapa aku dapat
kuat
hingga
detik
ini.

Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan
tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat
menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan
membantuku membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami
menyelesaikannya tepat pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas,
ia juga sabar mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun
untuk
berbicara.
Aku kembali menyapukan pandanganku dan melihat satu lembar tiket konser Miley Cyrus,
penyanyi luar Indonesia yang paling kami kagumi. Aku mengambilnya dan lagi-lagi pikiranku
dipenuhi oleh bayang-bayang. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMA dan sedang menjalani
ulangan akhir semester I, lalu kami mendapat kabar bahwa Miley Cyrus akan mengadakan
konser di Jakarta. Kami sangat senang sekaligus bingung bagaimana caranya untuk menonton
konser
tersebut,
karena
pastinya
kami
tidak
diizinkan.
Aku ingat sekali bagaimana kami menyusun rencana hingga akhirnya kami mendapatkan
kesepakatan. Kami pun membeli tiket konser tersebut dengan uang hasil tabungan kami. Tetapi
saat hari konser, entah dorongan darimana, aku mengubah rencana dan bersikeras untuk tetap
menjalankan rencana yang kubuat. Ia pun dengan sabar menyetujuinya dan kami menjalankan
rencana
yang
kubuat.
Kau
mau
ke
mana?
tanya
papaku
saat
itu.
Aku
mau
ke
rumah
Iva,
Pa.
Jangan bohong, Ta, tadi waktu papa ke luar, papa lihat Iva dengan tasnya, kelihatannya dia mau
pergi.
Papa
tahu
kau
merencanakan
sesuatu.
Begitulah pada akhirnya, karena aku, kami tidak jadi menonton konser Miley. Aku tahu, Iva
sangat marah kepadaku. Aku tahu, ia akan benci sekali padaku dan tidak akan percaya pada katakataku
lagi.
Atau
mungkin,
itu
hanyalah
perkiraanku.
Nyatanya, setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku
karena ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin menonton konser tersebut.
Ta, sabar ya! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari konser Miley lagi, sampe ke luar kota
pasti
dibolehin
kok!
Sekalian
liburan,
sekalian
nonton
konser.
Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku
sangat
bahagia
telah
mengenalnya.
Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah
ditepatinya. Bukan, bukan karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
Ta, aku harus pergi ke Singapore, aku harus berobat ke sana. Aku sakit, kanker otak.
Kamu
pasti
bercanda
Aku serius. Tetapi, aku akan berusaha untuk kembali ke sini, kok. Aku janji kita bisa ketemu
lagi.
Sejak kepergiannya, kami rutin bertukar e-mail, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita
yang macam-macam. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu

sangat berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena
aku tahu, itu semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan
matahari yang masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua
akan
indah
pada
waktunya.
Ta
Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Mario,
kakak laki-laki Iva yang belakangan menjadi sahabatku, lebih dari sahabatku lebih tepatnya. Ia
sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia pun sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri
setelah
ia
kehilangan
Iva.
Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Iva, kakak laki-lakinya-lah yang paling
kehilangan, karena ia dan Iva telah bersama sejak kecil. Mario, kakak yang tegar dan selalu
menemani Iva saat ia berobat. Mario, kakak yang setia sampai-sampai ia pindah kuliah ke
Singapore
untuk
mendampingi
Iva
dalam
menjalani
masa
kritisnya.
Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Mario harus menjalani cobaan yang begitu berat. Apakah
ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan
menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar
akan diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.
Ta, kangen sama Iva? kata Mario mencegah pikiranku untuk berkelana terlalu jauh.
Aku
hanya
tersenyum,
mewakili
perasaanku
sebenarnya.
Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang
menyiapkan sesuatu yang terbaik di atas sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang
disayanginya. Ia telah sampai di ujung dunia, Ta. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana
dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau
akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya abadi,
selamanya.
Aku
kembali
Kak,
Tentu.
Jangan

tersenyum
aku
pernah

dan

membiarkan
boleh
tinggalkan

diriku

dirangkul
minta
aku,

oleh

Mario.
sesuatu?
ya

Mario tersenyum dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi
orang-orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang
baru, lembaran pertama dalam sekuel buku yang berjudul kehidupan. Lembaran pada buku
pertama telah terisi sampai lembaran terakhir, dipenuhi tentang kenanganku dengan Iva. Saat ini,
aku siap memulai lembaran baru pada buku yang baru, dan aku sudah tidak sabar, apa yang akan
kuhadapi setelah ini. Aku akan menjalani lembar demi lembar dengan sikap yang baru, Tata yang
telah berubah.

Berpisah Bukan Berarti Berakhir


Siang itu, jalanan lumayan sepi. Doni mengayuh sepedanya dengan cepat, diikuti oleh Rahma
yang sedikit tertinggal di belakang, namun berusaha agar posisinya sejajar dengan Doni, hingga
akhirnya mereka bersebelahan. Dengan perasaan bangga, karena lulus dengan nilai yang sangat
memuaskan, kedua orang sahabat ini berteriak kegirangan sambil sesekali tertawa dengan sepeda
yang masih melaju tidak terkendali, dan..
Brukkk!
Rahma tidak sengaja menabrak sebuah kayu yang tergeletak di jalan hingga membuat sepedanya
tidak seimbang dan malah membelok ke arah Doni yang membuat mereka berdua jatuh
tersungkur.
Doni meringis kesakitan. Tadi mereka terjatuh cukup parah. Doni mendapati lecet di kedua
kakinya, dan seragam sekolahnya sedikit berlepotan merah, lengannya mengeluarkan darah,
terluka. Sambil berusaha bangkit, matanya tertuju pada Rahma yang masih tergeletak di
depannya.
Kamu baik-baik saja? Doni bertanya khawatir.
Oh, hanya lecet Jawab Rahma, seraya menunjukkan lengannya. Maaf, aku ceroboh. Kamu..
Hah lenganmu mengeluarkan darah! Lanjutnya kaget melihat lengan kiri Doni.
Hanya luka kecil Jawab Doni enteng sambil membantu Rahma untuk berdiri.
Tidak, kita harus segera mengobatinya Tegas Rahma.
Doni merasa geli melihat wajah Rahma yang berubah panik. Ini bukan sepenuhnya salah Rahma
yang menabraknya, tapi juga karena dirinya yang membuat Rahma ikut mengayuh sepeda
dengan kencang. Tentu saja juga karena mereka bersepeda tidak memperhatikan jalan karena
sedang tertawa kegirangan.
Aaau.. Perih.. Jangan kasar! Ringis Doni yang sedang dibersihkan lukanya oleh Rahma ketika
mereka sampai di rumahnya.
Diam, Bawel. Lukamu ini cukup dalam, bisa infeksi Katanya sok tahu tetapi dengan tampang
serius.
Dan aku akan menyalahkanmu, Cerewet Balasnya.
Aku? Bukankah kamu yang mengajakku ngebut? Protes Rahma.
Tapi, kamu yang menabrakku Protes Doni balik.
Hehee.. Oke, maaf. Aku tadi terlalu lepas, sangking bahagianya bisa lulus dengan nilai IPA yang
wow. Dan.. Tentu saja, sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa Ucap Rahma dengan
bangga.
Doni tidak menanggapi. Dia terdiam. Ada yang aneh dengannya saat mendengar Rahma
menyebut akan menjadi seorang mahasiswa. Tentu saja dia juga senang, tapi sesuatu seperti
mengganjal perasaannya. Doni melamun.

Hei, Kenapa? Bukankah nilai matematika kamu juga wow? Bahkan nilai lainnya cukup
memuaskan? Tanya Rahma heran melihat sahabatnya ini menjadi seperti orang patah semangat.
Tidak ada jawaban dari Doni. Dia masih melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Wajahnya jadi muram. Dia memang lulus dengan nilai yang memuaskan, bahkan sangat-sangat
memuaskan. Namun, justru karena itulah masalahnya. Tapi, entahlah.
Rahma telah selesai membalut luka Doni, namun bingung masih menggeliat ketika melihat Doni
yang sedari tadi hanya diam. Akhirnya, Rahma memutuskan untuk..
Aaauuu.. Teriak Doni meringis lebih kencang dari ringisan sebelumnya. Sakit, Bawel nakal!
Lanjutnya tetap dengan suara yang kencang karena kaget. Rahma telah memukul pelan lukanya,
tapi menimbulkan sakit yang luar biasa.
Hahaha.. Rahma terbahak melihat reaksi Doni yang tidak disangkanya akan kesakitan
berlebihan seperti itu. Siapa suruh, orang ngomong tidak dihiraukan? Lanjutnya ketika
tawanya sudah reda.
Tapi tidak perlu memukul lukaku, Bawel nakal! Kesalnya.
Dasar, Cerewet payah! Rahma membalas. Sore nanti, kutunggu di taman. Kita merayakan
kelulusan ini Lanjutnya. Aku pulang dulu ya, bye Lanjutnya lagi dan berlalu keluar.
Doni menurut saja dengan ajakan sahabatnya itu. Mereka sangat akrab dan memang sudah
menjadi sahabat baik sejak kecil karena rumah mereka yang dekat, berhadapan. Orangtua mereka
juga saling kenal baik.
Kamu yang mengajak, kamu yang telat. Dasar, Bawel payah! Cetus Doni kesal saat Rahma
datang, ketika mereka sudah bertemu di taman.
Payah? Itu kan gelarmu? Ralat Rahma sambil memarkirkan sepedanya di samping kursi
tempat Doni duduk menunggunya. Doni hanya tertawa kecil.
Oh, iya. Kamu.. Hmm.. Uhhh Ucapan Rahma terputus, dia sibuk dengan matanya yang tibatiba kelilipan.
Jangan dikucek, nanti matamu malah merah. Sini! Sergah Doni.
Doni meraih tangan Rahma yang masih sibuk mengucek matanya. Kemudian kedua tangannya
berpindah ke kepala Rahma dan mendekatkan ke depan wajahnya. Dekat sekali. Kemudian, Doni
meniup mata Rahma pelan, beberapa kali hingga Rahma merasa matanya sudah normal.
Bagaimana? Tanya Doni akhirnya.
Su-sudah enakan, terimakasih Jawabnya sedikit terbata.
Rahma jadi salah tingkah. Dia mengucek matanya kembali yang sudah tidak kenapa-napa untuk
menutupi kecanggungannya. Baru kali ini dirinya merasa canggung pada Doni yang merupakan
sahabatnya sendiri, bahkan sudah sejak kecil.
Jangan dikucek lagi, Bawel nakal! Sergah Doni kembali. Kali ini, dengan mencubit kedua pipi
Rahma, gemas.
Sakit, Cerewet payah! Kesal Rahma.
Eh, Tadi mau bilang apa? Tanya Doni kemudian.
Oh, iya. Hampir lupa Ucap Rahma. Aku cuma mau nanya, kamu mau lanjutin sekolah

kemana? Lanjutnya mulai serius.


Doni seketika terdiam, lagi-lagi sesuatu sedang dipikirkan olehnya. Pertanyaan Rahma membuat
perasaannya kacau. Entah apa, tapi terasa berat bagi Doni untuk menjawab pertanyaan ini.
A-aku.. Suara Doni keluar, tapi terbata.
Kenapa? Tanya Rahma merasa aneh.
Aku.. Tidak bi-bisa.. Lagi Jawabnya pelan masih terbata. Doni menunduk.
Tidak bisa apa? Rahma sama sekali tidak mengerti. Cerewet Payah, ada apa? Kok kamu jadi
aneh gitu? Desak Rahma, sementara Doni masih membisu namun berusaha menyusun katakatanya yang berserakan.
Kita tidak.. Tidak bisa lagi.. Bersama. Maafkan aku, Cerewet Payah-mu ini Jawab Doni
akhirnya, lirih.
Apa maksudmu? Aku.. Aku masih belum mengerti Rahma bingung.
Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku.. Aku telah mengambil keputusan menerima beasiswa untuk
melanjutkan sekolah ke Amerika. Dan dua hari lagi, keberangkatanku Jawabnya berat, masih
dengan nada lirih yang dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, tatapnya kosong entah kemana.
Hening, tidak bergeming. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Doni merasa bersalah
dan sangat berat meninggalkan sahabatnya, sulit untuk mereka nantinya. Bahkan, tidak dalam
cakupan yang mudah untuk selalu bersama lagi.
Sementara, Rahma, tidak tahu kenapa, perasaannya seperti dirampas. Dia tidak menyangka
kegembiraannya setelah lulus SMA dan akan menjadi seorang mahasiswa, akan berubah menjadi
sesuatu yang amat sulit dia terima. Ternyata, inilah kenyataan pahit dibalik diamnya Doni yang
mengganjal sedari siang tadi, sebuah perpisahan.
Sejak kejadian itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Rahma memilih untuk mengasingkan diri
dari Doni yang akan meninggalkannya. Dia selalu berusaha untuk tidak memikirkan hal yang
akan membuatnya kehilangan itu. Bahkan, mungkin, dia berusaha untuk lupa dan meyakinkan
hal itu tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi padanya.
Kenyataannya, itu semua bertolak belakang dengan apa yang akan tetap harus Rahma tempuhi.
Sungguh dirinya tidak bisa. Tidak sanggup.
Doni sendiri tidak merasa aneh dengan reaksi Rahma yang tentu saja sedikit menyiksa ini. Tidak
terlalu banyak bertindak seakan tidak peduli. Tapi, bukan itulah maksudnya. Hanya saja, Doni
mengerti sahabatnya itu, sangat paham. Pikirnya, dia tidak ingin menambah tekanan rasa kecewa
itu pada Rahma.
Hingga akhirnya tibalah saat dimana Doni, akan meninggalkan kepingan-kepingan cerita
bersama Rahma yang kini sudah jatuh berserakan diterpa hembusan kehilangan. Dari awal
kejujurannya yang ternyata tindakan salah itu, hingga sekarang, Doni tengah mendapati dirinya
yang hanya sendirian di antara gemuruh pinggiran jauh bibir landasan pesawat yang akan
membawanya meninggalkan kepingan cerita bersama Rahma itu.

Beberapa orang mulai sibuk berlalu melintasinya yang masih berdiri tegak merendam diri dalam
kenyataan pahit ini. Sebelum berangkat ke Bandara, Doni tidak menampakkan dirinya pada
Rahma yang sudah terlanjur kecewa padanya. Masih pada alasan yang sama, dia tidak ingin
menambah tekanan rasa kecewa itu. Dia ingin rasa kecewa itu tidak akan lama melekat pada jiwa
Rahma, dia ingin rasa kecewa itu mendarat hilang bersamaan dengan mendaratnya pesawat yang
akan membawanya menjauh dari kebersamaan yang mungkin tidak akan terjadi lagi.
Beberapa orang masih berlalu melintasinya. Namun, Doni masih tidak bisa menggerakan
kakinya untuk melangkah meninggalkan bercak kepedihan ini. Rasanya, tidak ingin dirinya
beranjak, membiarkan semua berlalu, agar dirinya dapat memungut kepingan cerita bersama
Rahma yang sudah jatuh berserakan itu.
Masih dalam kesendirian diri yang didapatinya hingga saat ini, Doni terlarut. Pandangannya
kosong lurus menatap ke depan. Pikirannya entah kemana. Perasaannya remuk, hancur.
Wet..
Panggilan lirih membuyarkan pikiran Doni yang sempat melayang. Suara itu, suara yang tidak
asing lagi baginya, suara yang selama ini mengalun bersama hidupnya, suara orang yang sudah
menjadi belahan jiwanya. Pemilik suara itu, tentu saja sungguh dikenalnya.
Bawel? Benarkah itu kamu? Sontak, Doni segera menuju sumber suara. Kakinya terhenti
dengan segera pula dalam jarak yang terjaga di hadapan seseorang yang terlihat tengah berat
memikul perih hati.
Maafkan.. Akuuu.. Suara itu terdengar pasrah. Rahma menunduk lemah, tidak kuat menatap
seseorang yang akan jauh meninggalkannya.
Ucapan itu seakan menggores dinding pertahanan Doni. Didekapnya segera dalam pelukan,
orang yang sedari tadi tidak disangkanya akan hadir di tengah kegelisahannya yang sedang
seorang diri mengahadapi kenyataan berat ini. Rahma terisak-isak dalam dekapannya. Tidak kuat
lagi dirinya menyembunyikan air mata yang sudah membendung.
Aku memang egois, tidak seharusnya aku begini Sesal Rahma, mulai melepas dekapannya dari
pelukan hangat kasih sayang seorang sahabat.
Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku memang seorang sahabat yang jahat, aku..
Sudahlah Potong Rahma. Akulah yang nyata jahatnya, menghalangi sahabatnya sendiri untuk
memilih jalan hidup. Memang gila, egois Lanjutnya.
Bawel.. Desis Doni lemah.
Sudah! Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan menjadi penghalangmu lagi. Kejarlah mimpimu
disana. Aku akan baik disini Rahma mulai mengembangkan senyumnya.
Inilah Bawel Nakal-ku! Balas Doni juga tersenyum. Kamu memang terbaik bagiku
Lanjutnya sambil menyeka air mata yang masih tersisa di kedua pipi Rahma.
Pergilah! Hingga aku tidak bisa bernafas sekalipun, aku akan selalu setia menunggumu untuk
membawa mimpimu itu Tutur Rahma meyakinkan. Doni merekahkan senyum lega.
Pesawat akan segera berangkat. Dengan setengah berlari, Doni meninggalkan Rahma yang masih
tersenyum padanya. Aku pegang janjimu, Bawel Nakal Teriaknya sebelum benar-benar

menghilang dari pandangan Rahma. Tentu, Cerewet Payah! Berpisah bukan berarti berakhir..
Kita akan bersama lagi suatu saat nanti, entah dimana. Hati Rahma berucap.

Anda mungkin juga menyukai