Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan
tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat
menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan
membantuku membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami
menyelesaikannya tepat pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas,
ia juga sabar mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun
untuk
berbicara.
Aku kembali menyapukan pandanganku dan melihat satu lembar tiket konser Miley Cyrus,
penyanyi luar Indonesia yang paling kami kagumi. Aku mengambilnya dan lagi-lagi pikiranku
dipenuhi oleh bayang-bayang. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMA dan sedang menjalani
ulangan akhir semester I, lalu kami mendapat kabar bahwa Miley Cyrus akan mengadakan
konser di Jakarta. Kami sangat senang sekaligus bingung bagaimana caranya untuk menonton
konser
tersebut,
karena
pastinya
kami
tidak
diizinkan.
Aku ingat sekali bagaimana kami menyusun rencana hingga akhirnya kami mendapatkan
kesepakatan. Kami pun membeli tiket konser tersebut dengan uang hasil tabungan kami. Tetapi
saat hari konser, entah dorongan darimana, aku mengubah rencana dan bersikeras untuk tetap
menjalankan rencana yang kubuat. Ia pun dengan sabar menyetujuinya dan kami menjalankan
rencana
yang
kubuat.
Kau
mau
ke
mana?
tanya
papaku
saat
itu.
Aku
mau
ke
rumah
Iva,
Pa.
Jangan bohong, Ta, tadi waktu papa ke luar, papa lihat Iva dengan tasnya, kelihatannya dia mau
pergi.
Papa
tahu
kau
merencanakan
sesuatu.
Begitulah pada akhirnya, karena aku, kami tidak jadi menonton konser Miley. Aku tahu, Iva
sangat marah kepadaku. Aku tahu, ia akan benci sekali padaku dan tidak akan percaya pada katakataku
lagi.
Atau
mungkin,
itu
hanyalah
perkiraanku.
Nyatanya, setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku
karena ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin menonton konser tersebut.
Ta, sabar ya! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari konser Miley lagi, sampe ke luar kota
pasti
dibolehin
kok!
Sekalian
liburan,
sekalian
nonton
konser.
Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku
sangat
bahagia
telah
mengenalnya.
Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah
ditepatinya. Bukan, bukan karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
Ta, aku harus pergi ke Singapore, aku harus berobat ke sana. Aku sakit, kanker otak.
Kamu
pasti
bercanda
Aku serius. Tetapi, aku akan berusaha untuk kembali ke sini, kok. Aku janji kita bisa ketemu
lagi.
Sejak kepergiannya, kami rutin bertukar e-mail, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita
yang macam-macam. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu
sangat berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena
aku tahu, itu semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan
matahari yang masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua
akan
indah
pada
waktunya.
Ta
Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Mario,
kakak laki-laki Iva yang belakangan menjadi sahabatku, lebih dari sahabatku lebih tepatnya. Ia
sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia pun sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri
setelah
ia
kehilangan
Iva.
Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Iva, kakak laki-lakinya-lah yang paling
kehilangan, karena ia dan Iva telah bersama sejak kecil. Mario, kakak yang tegar dan selalu
menemani Iva saat ia berobat. Mario, kakak yang setia sampai-sampai ia pindah kuliah ke
Singapore
untuk
mendampingi
Iva
dalam
menjalani
masa
kritisnya.
Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Mario harus menjalani cobaan yang begitu berat. Apakah
ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan
menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar
akan diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.
Ta, kangen sama Iva? kata Mario mencegah pikiranku untuk berkelana terlalu jauh.
Aku
hanya
tersenyum,
mewakili
perasaanku
sebenarnya.
Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang
menyiapkan sesuatu yang terbaik di atas sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang
disayanginya. Ia telah sampai di ujung dunia, Ta. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana
dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau
akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya abadi,
selamanya.
Aku
kembali
Kak,
Tentu.
Jangan
tersenyum
aku
pernah
dan
membiarkan
boleh
tinggalkan
diriku
dirangkul
minta
aku,
oleh
Mario.
sesuatu?
ya
Mario tersenyum dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi
orang-orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang
baru, lembaran pertama dalam sekuel buku yang berjudul kehidupan. Lembaran pada buku
pertama telah terisi sampai lembaran terakhir, dipenuhi tentang kenanganku dengan Iva. Saat ini,
aku siap memulai lembaran baru pada buku yang baru, dan aku sudah tidak sabar, apa yang akan
kuhadapi setelah ini. Aku akan menjalani lembar demi lembar dengan sikap yang baru, Tata yang
telah berubah.
Hei, Kenapa? Bukankah nilai matematika kamu juga wow? Bahkan nilai lainnya cukup
memuaskan? Tanya Rahma heran melihat sahabatnya ini menjadi seperti orang patah semangat.
Tidak ada jawaban dari Doni. Dia masih melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Wajahnya jadi muram. Dia memang lulus dengan nilai yang memuaskan, bahkan sangat-sangat
memuaskan. Namun, justru karena itulah masalahnya. Tapi, entahlah.
Rahma telah selesai membalut luka Doni, namun bingung masih menggeliat ketika melihat Doni
yang sedari tadi hanya diam. Akhirnya, Rahma memutuskan untuk..
Aaauuu.. Teriak Doni meringis lebih kencang dari ringisan sebelumnya. Sakit, Bawel nakal!
Lanjutnya tetap dengan suara yang kencang karena kaget. Rahma telah memukul pelan lukanya,
tapi menimbulkan sakit yang luar biasa.
Hahaha.. Rahma terbahak melihat reaksi Doni yang tidak disangkanya akan kesakitan
berlebihan seperti itu. Siapa suruh, orang ngomong tidak dihiraukan? Lanjutnya ketika
tawanya sudah reda.
Tapi tidak perlu memukul lukaku, Bawel nakal! Kesalnya.
Dasar, Cerewet payah! Rahma membalas. Sore nanti, kutunggu di taman. Kita merayakan
kelulusan ini Lanjutnya. Aku pulang dulu ya, bye Lanjutnya lagi dan berlalu keluar.
Doni menurut saja dengan ajakan sahabatnya itu. Mereka sangat akrab dan memang sudah
menjadi sahabat baik sejak kecil karena rumah mereka yang dekat, berhadapan. Orangtua mereka
juga saling kenal baik.
Kamu yang mengajak, kamu yang telat. Dasar, Bawel payah! Cetus Doni kesal saat Rahma
datang, ketika mereka sudah bertemu di taman.
Payah? Itu kan gelarmu? Ralat Rahma sambil memarkirkan sepedanya di samping kursi
tempat Doni duduk menunggunya. Doni hanya tertawa kecil.
Oh, iya. Kamu.. Hmm.. Uhhh Ucapan Rahma terputus, dia sibuk dengan matanya yang tibatiba kelilipan.
Jangan dikucek, nanti matamu malah merah. Sini! Sergah Doni.
Doni meraih tangan Rahma yang masih sibuk mengucek matanya. Kemudian kedua tangannya
berpindah ke kepala Rahma dan mendekatkan ke depan wajahnya. Dekat sekali. Kemudian, Doni
meniup mata Rahma pelan, beberapa kali hingga Rahma merasa matanya sudah normal.
Bagaimana? Tanya Doni akhirnya.
Su-sudah enakan, terimakasih Jawabnya sedikit terbata.
Rahma jadi salah tingkah. Dia mengucek matanya kembali yang sudah tidak kenapa-napa untuk
menutupi kecanggungannya. Baru kali ini dirinya merasa canggung pada Doni yang merupakan
sahabatnya sendiri, bahkan sudah sejak kecil.
Jangan dikucek lagi, Bawel nakal! Sergah Doni kembali. Kali ini, dengan mencubit kedua pipi
Rahma, gemas.
Sakit, Cerewet payah! Kesal Rahma.
Eh, Tadi mau bilang apa? Tanya Doni kemudian.
Oh, iya. Hampir lupa Ucap Rahma. Aku cuma mau nanya, kamu mau lanjutin sekolah
Beberapa orang mulai sibuk berlalu melintasinya yang masih berdiri tegak merendam diri dalam
kenyataan pahit ini. Sebelum berangkat ke Bandara, Doni tidak menampakkan dirinya pada
Rahma yang sudah terlanjur kecewa padanya. Masih pada alasan yang sama, dia tidak ingin
menambah tekanan rasa kecewa itu. Dia ingin rasa kecewa itu tidak akan lama melekat pada jiwa
Rahma, dia ingin rasa kecewa itu mendarat hilang bersamaan dengan mendaratnya pesawat yang
akan membawanya menjauh dari kebersamaan yang mungkin tidak akan terjadi lagi.
Beberapa orang masih berlalu melintasinya. Namun, Doni masih tidak bisa menggerakan
kakinya untuk melangkah meninggalkan bercak kepedihan ini. Rasanya, tidak ingin dirinya
beranjak, membiarkan semua berlalu, agar dirinya dapat memungut kepingan cerita bersama
Rahma yang sudah jatuh berserakan itu.
Masih dalam kesendirian diri yang didapatinya hingga saat ini, Doni terlarut. Pandangannya
kosong lurus menatap ke depan. Pikirannya entah kemana. Perasaannya remuk, hancur.
Wet..
Panggilan lirih membuyarkan pikiran Doni yang sempat melayang. Suara itu, suara yang tidak
asing lagi baginya, suara yang selama ini mengalun bersama hidupnya, suara orang yang sudah
menjadi belahan jiwanya. Pemilik suara itu, tentu saja sungguh dikenalnya.
Bawel? Benarkah itu kamu? Sontak, Doni segera menuju sumber suara. Kakinya terhenti
dengan segera pula dalam jarak yang terjaga di hadapan seseorang yang terlihat tengah berat
memikul perih hati.
Maafkan.. Akuuu.. Suara itu terdengar pasrah. Rahma menunduk lemah, tidak kuat menatap
seseorang yang akan jauh meninggalkannya.
Ucapan itu seakan menggores dinding pertahanan Doni. Didekapnya segera dalam pelukan,
orang yang sedari tadi tidak disangkanya akan hadir di tengah kegelisahannya yang sedang
seorang diri mengahadapi kenyataan berat ini. Rahma terisak-isak dalam dekapannya. Tidak kuat
lagi dirinya menyembunyikan air mata yang sudah membendung.
Aku memang egois, tidak seharusnya aku begini Sesal Rahma, mulai melepas dekapannya dari
pelukan hangat kasih sayang seorang sahabat.
Maafkan aku, Bawel Nakal. Aku memang seorang sahabat yang jahat, aku..
Sudahlah Potong Rahma. Akulah yang nyata jahatnya, menghalangi sahabatnya sendiri untuk
memilih jalan hidup. Memang gila, egois Lanjutnya.
Bawel.. Desis Doni lemah.
Sudah! Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan menjadi penghalangmu lagi. Kejarlah mimpimu
disana. Aku akan baik disini Rahma mulai mengembangkan senyumnya.
Inilah Bawel Nakal-ku! Balas Doni juga tersenyum. Kamu memang terbaik bagiku
Lanjutnya sambil menyeka air mata yang masih tersisa di kedua pipi Rahma.
Pergilah! Hingga aku tidak bisa bernafas sekalipun, aku akan selalu setia menunggumu untuk
membawa mimpimu itu Tutur Rahma meyakinkan. Doni merekahkan senyum lega.
Pesawat akan segera berangkat. Dengan setengah berlari, Doni meninggalkan Rahma yang masih
tersenyum padanya. Aku pegang janjimu, Bawel Nakal Teriaknya sebelum benar-benar
menghilang dari pandangan Rahma. Tentu, Cerewet Payah! Berpisah bukan berarti berakhir..
Kita akan bersama lagi suatu saat nanti, entah dimana. Hati Rahma berucap.