Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam
yang pertama dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan agar
memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika
selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga
telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah
mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum
berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah
dilaksanakan sejak al-Quran diturunkan hingga saat ini.
Salah satu bentuk upaya untuk memahami Al-Quran adalah melalui Asbabun
Nuzul. Yakni sebelum seseorang berusaha menafsirkan sebuah ayat, maka terlebih
dahulu ia mengetahui mengenai peristiwa maupun kejadian atau pertanyaan yang
diajukan kepada rasul shingga menjadi sebab turunnya ayat tersebut, sehingga ketika
ayat itu ditafsirkan, seorang mufassir telah memahami maksud dan tujuan ayat itu
diturunkan sesuai dengan konteknya. Dengan demikian sudut pandang mufassir tidak
menjadi sempit yakni hanya memandang dari sudut tekstualnya semata. Walaupuun
demikian besarnya pengaruh asbabun nuzul terhadap pemaknaan ayat Al-Quran,
banyak pula ulama yang memandang asbabun nuzul tidak terlalu penting karena tidak
semua ayat Al-Quran tidak memilki asbabun nuzul.
Makalah ini membahas mengenai Asbabun Nuzul, bagaimana signifikansinya,
cara-cara mengetahuinya dan bagaimana hubungan kontekstualitas dengan asbanbun
nuzul itu sendiri
B. Rumusan Masalah
1. Apakah devinisi Asbabun Nuzul?
2. Bagaimanakah signifikansi Asbabun Nuzul?
3. Apasajakah cara-cara mengetahui Asbabun Nuzul?
4. Bagaimana hubungan kontekstualitas dengan Asbabun Nuzul?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui devinisi Asbabun Nuzul
2. Untuk mengetahui signifikansi Asbabun Nuzul

3. Untuk mengetahui cara-cara mengetahui Asbabun Nuzul


4. Untuk mengetahui hubungan kontekstualitas dengan Asbabun Nuzul

BAB II
PEMBAHASAN
ASBABUN NUZUL

A. PENGERTIAN ASBABUN NUZUL


Banyak para Ulama yang merumuskan tentang pengertian Asbab An-Nuzul. Di
antaranya; Menurut Az-Zarqoni:Asbab An-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu
yang terjadi serta hubungan dengan Al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas
hukum pada saat peristiwa itu terjadi. Sedang menurut Ash-Shabuni:Asbab AnNuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa
ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan
agama. Menurut ulama yang lain yaitu Shubbi Sholih: Asbab An-Nuzul adalah
suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat Al-Quran yang terkadang
menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap
hukum-hukum peristiwa itu terjadi. Sedang menurut Mana Al-Qattaan:Asbab
An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Quran,
berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau
berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.1
Menurut Hasbi Ash-shidiqy makna asbab al-nuzul adalah kejadian yang
karenanya diturunkan Al-quran untuk menerangkan hukumnya dari hari timbul
kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalam suasana itu Al-quran di turunkan
serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah
terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.2
Dengan demikian Asbab al Nuzul adalah suatu konsep, teori, atau berita tentang
sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Quran kepada nabi Muhammad, baik
berupa satu ayat maupun rangkaian ayat, berupa suatu kejadian atau berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, dan diturunkan secara langsung sesudah
terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.
Para ulama salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun
nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak
berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin
mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ubaidah mengetahui satu ayat quran,

1 Rosibon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 60-70.
2 http://mulianinst.blogspot.co.id/Makalah Asbab an Nuzul, diakses pada tanggal 27 maret 2016

dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang
mengetahui mengenai apa quran itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang
termasuk tokoh tabiin terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai
riwayat dan kata kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang
harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat dijadikan
pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang
bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. 3
B. PERDEBATAN SEKITAR SIGNIFIKANSI ASBABUN NUZUL
Dalam kitab-kitab Ulum Al-Quran atau UlumAl-Tafsir, hampir semua ulama
sepakat tentang pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbab An-Nuzul dalam
rangka memahami atau menafsirkan Al-Quran. Hal ini karena begitu besar dan
banyaknya manfaat Asbab An-Nuzul untuk mengantarkan seseorang pada penafsiran
dan pemahaman Al-Quan. Al-Wahidi berpendapat bahwa tidak akan mungkin bisa
menafsirkan ayat Al-Quran dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan
sebab turunnya,4 hal ini senada dengan pendapatnya Al-Suyuti. Di samping itu ia juga
menyertakan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa penguasaan Asbab
An-Nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami sebuah ayat, karena
sesungguhnya pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuan tentang
akibat.5
Az-Zarqoni dan As-Suyuti mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat
bahwa mengetahui Asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami
Al-Quran. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Quran dengan
meletakkannya dalam kontek historis itu sama halnya dengan membatasi pesanpesan pada ruang dan waktu tertentu.6
Dalam memahami makna berbeda ayat al-Quran yang mengandung lafal umum
dan dikaitkan dengan sebab turunnya, para ulama pendapat dalam menetapkan dasar
3 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, terj. Mudzakir A.S (Bogor: Litera AntarNusa, 2011),
h. 107-108.
4 http://jendelaakhirat.blogspot.co.id/ makalah Asbab An-Nuzul, diakses pada tanggal 27 maret 2016
5 Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Quran (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979) h. 29.
6 Rosibon Anwar, Ulum Al-Quran, h. 62.

pemahaman. Karena itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaidah yang bertolak
belakang.
Kaidah pertama menyatakan: penetapan makna suatu ayat didasarkan pada
bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus. Kaidah kedua
menyatakan sebaliknya : penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya
yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).7
Contoh penerapan kaidah pertama: Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6: Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orangorang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].
Jika dilakukan pemahaman berdasarkan bentuk umumnya lafal terhadap surat
An-Nur ayat 6 di atas, maka keharusan mengucapkan sumpah dengan nama Allah
sebanyak empat kali bahwa tuduhannya adalah benar, berlaku bagi siapa saja (suami)
yang menuduh isterinya berzina. Pemahaman yang demikian ini (berdasarkan
umumnya lafal) tidak bertentangan dengan ayat lain atau hadits atau ketentuan
hukum yang lainnya.
Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:
Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di
situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaidah pertama, maka dapat
disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja,
tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita
shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang
menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah MasjidilHaram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah: Dan dari mana saja kamu
keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan
dengan asbabun nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa
menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di
7 http://mulianinst.blogspot.co.id/Makalah Asbab an Nuzul, diakses pada tanggal 27 maret 2016

atas kendaraan yang sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah
kiblat (Masjidil-Haram). Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus
didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh
berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.8
Meskipun asbab al nuzul sangat penting dalam menyingkapkan makna teks,
namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab sejumlah besar teks
Alquran diturunkan tidak selalu mudah. Sebab, terkadang kita dapatkan banyak
riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu
sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid), dan terkadang sebab yang sama
berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud alnazil wa al sabab wahid).
Apakah asbab al nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang
spesifik atau dapat digeneralisasikan. Dikalangan mufassirin terjadi ikhtilaf apakah
pelajaran (al 'ibrah) itu bersifat spesifik (bi khusus al sabab) atau umum (bi umum al
lafdz). Masalah yang lain adalah dalam hal kebahasaan, kalimat istifham (kalimat
Tanya) umpamanya, adalah sekedar suatu kalimat. Namun ia bisa mempunyai
pengertian yang lain, seperti taqrir (penegasan), nafi (penafian) dan pengertianpengertian yang lainnya.9
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, memang patut dipertanyakan lagi
pendapat yang menyatakan bahwa tidak mungkin memahami Alquran tanpa
mengetahui tentang asbab al nuzulnya. Sejalan dengan pendapat ini, berpendapat
bahwa pernyataan seperti di atas terkesan memutlakkan posisi asbab al nuzul dalam
pemahaman Alquran. Padahal kalau diteliti secara seksama, hanya sebagian kecil
saja diantara ayat-ayat Alquran yang tidak bisa dipahami secara akurat kecuali
dengan mengetahui sebab turunnya. Adapun sebagian besar lainnya tetap bisa
dipahami meskipun tidak memakai asbab al nuzul-nya, baik itu dengan pendekatan
kebahasaan dengan sesama ayat, konteks ayat dan cara-cara lainnya.
Dalam kitab Asbab al Nuzul karya Al wahidi jumlah ayat yang memiliki
asbab al nuzul sebanyak 715 ayat / 11,46 % dari keseluruhan ayat Alquran. Dalam
kitab Lubab al nuqul fi asbab al nuzul karya Al suyuti terdapat 711 ayat/ 11,40 %.
Sedangkan dalam kitab Al musnad al shahih min asbab al nuzul karya Muqbil bin
8 http://mulianinst.blogspot.co.id/Makalah Asbab an Nuzul, diakses pada tanggal 27 maret 2016
9 Ibid

Hadi al wadiI terdapat 333 ayat/ 5,34 %. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
ayat-ayat yang mempunyai asbab al nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah
ayat Alquran secara keseluruhan.10
Sedangkan jumlah hadis yang membuat asbab al nuzul menurut Al wahidi
memuat 885 hadis dari 715 ayat yang dijelaskan, sedangkan as suyuti menyatakan
994 hadis dari 711 ayat. Akan tetapi sebagian hadis-hadis tersebut tidak secara
spesifik menceritakan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, karena hanya bersifat
menjelaskan tentang posisi Makki dan Madani ayat dan sebagian hadis yang lain,
lebih tepat diistilahkan dengan: Ma ruwiya min al hadis bi sabab al hayah
.Dengan kata lain, tidak semua sahabat menyaksikan turunnya ayat dalam berbagai
waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ibn Taimiyah menyadari bahwa kita harus
membedakan riwayat-riwayat sahabat antara riwayat yang memastikan sebab
turunnya ayat dengan riwayat yang menunjukkan hukumnya (ayat).11
Dari perspektif kuantitatif di atas bisa disimpulkan bahwa sebetulnya dalam
memahami ataupun menafsirkan Alquran, faktor pengetahuan asbab al nuzul bukan
segala-galanya, apalagi di anggap sebagai sesuatu yang mutlak, yang seakan-akan
tidak mungkin bisa memahami Alquran tanpa asbab al nuzul. Atau dengan kata lain
bisa dinyatakan bahwa, penggunaan asbab al nuzul hanya diperlukan pada ayat-ayat
yang tidak dapat dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Diantaranya adalah
ayat :
(158: ) ......
" Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari syiar Allah, maka barang
siapa beribadah haji ke baitullah atau berumah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya(QS. Al baqarah: 158).
Dalam redaksi ayat tersebut terdapat kalimat la junaha (tidak ada dosa besar)
yang memberikan pengertian menafikan kewajiban sa'i. kemudian Zubair bertanya
kepada kepada Aisyah ra, tentang hal tersebut yang kemudian diterangkan bahwa
kalimat la junaha tidak berarti menafikan kewajiban, melainkan berarti
menghilangkan perasaan berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika
melaksanakan sa'i antara shafa dan marwa, sebab perbuatan itu termasuk tradisi
10 Ibid
11 Ibid

jahiliyah. Dalam riwayat disebutkan bahwa di daerah shafa terdapat patung yang
dinamakan ishaf , dan di atas marwa ada patung lain yang bernama nailah. Jauh
sebelum islam datang, ketika orang musyrik mengerjakan sa'i, mereka melakukannya
sambil mengusap kedua patung tersebut. Setelah islam datang dan kedua patung itu
dihancurkan, kaum muslimin masih merasa keberatan untuk melakukan sa'i,
sehingga turunlah ayat tersebut.12
C. CARA-CARA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL
Asbab al-Nuzul merupakan peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman
Rasulullah Saw selaku pengemban al-Quran. Oleh karenanya, tidak ada cara lain
untuk mengetahuinya, selain merujuk kepada periwayatan yang diakui keabsahannya
dari orang-orang yang memiliki integritas kepribadian yang dipercaya selaku
pengemban dalam periwayatan tersebut. Orang-orang tersebut menegaskan
keberadaan dirinya yang mendengar langsung tentang turunnya al-Quran. Hal ini
menuntut kehati-hatian dalam menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan
asbab al-Nuzul.
Para ulama umumnya, baik dulu maupun sekarang tetap bersikap ekstra hati-hati
dan ketat dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab al-Nuzul. Ketetatan
dan ketelitian mereka difokuskan kepada seleksi pribadi orang yang membawa
riwayat (ruwwat), sumber riwayat (isnad) dan redaksi riwayat (matan). Al-Wahidi
misalnya, dengan tegas menyatakan: Tidak halal mengemukakan pandangan terkait
dengan Asbab Nuzul al-Quran, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang
didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa
turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam
mencarinya.13
Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang asbab al-Nuzul yang
dikemukakan oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan
penelitian lebih cermat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang
asbab al-Nuzul suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang beberapa riwayat
yang terkait dengannya.
12 Manna Khalil al-Qattan, Studi, h. 113.
13 Manna Khalil al-Qattan, Studi, h. 109.

Untuk mengetahu Asbab An-Nuzul, dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu
dari redaksi yang dipergunakan dalam riwayat, dari berbilangnya Asbab An-Nuzul
untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab An-Nuzul, dan dari waktu
turunnya ayat daripada hukumnya.
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat
Asbab An-Nuzul 14
Menurut Syaikh Manna Al-Qattaan ada dua:
a) Sarih (jelas). artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan
asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).

...
Sebab turun ayat ini adalah .....

...
Telah terjadi maka turunlah ayat

...
Rasulullah pernah kiranya tentang maka turunlah ayat.
b) Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti). Riwayat belum
dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.

...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)

...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan )

...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan )
Sedang menurut Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat
asbab al-Nuzul, yaitu:15
a) Adakalanya kalangan sahabat atau tabiin mengemukakan suatu kisah ketika
menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah
itu merupakan asbab al-Nuzul. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu
merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
b) Adakalanya kalangan sahabat dan tabiin mengemukakan hukum suatu kasus
dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan
14 Rosibon Anwar, Ulum Al-Quran,h. 67.
15 http://mulianinst.blogspot.co.id/Makalah Asbab an Nuzul, diakses pada tanggal 27 maret 2016

10

kalimat: seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu


merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu
sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Oleh karena itu, para ulama seperti Imam al-Hakim al-Naysaburi, Ibn al-Shalah,
dan ulama hadits lainnya menegaskan bahwa hadits yang menjadi sumber dalam
riwayat asbab al-Nuzul harus merupakan hadits marfu, bersambung sanadnya,
dan shahhih dari sisi sanad maupun matan-nya. Sedangkan susunan atau bentuk
redaksi dalam pengungkapan riwayat asbab al-Nuzul, secara garis besar ada tiga
macam, yaitu:
a) Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada
asbab al-Nuzul (al-muttafaq ala al-itidad bihi). Bentuk ini mengandung
tiga unsur utama, yaitu: 16
1) pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu
kisah atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat;
2) Kedua, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan dengan
redaksi yang jelas (bi al- lafzhi al-sharih) menunjukkan kepada pengertian
turunnya ayat; dan
3) Ketiga, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan
riwayatnya dengan pola bahasa yang bersifat pasti, seperti ungkapan:
, atau .
b) Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama
untuk menunjukkan kepada asbab al-Nuzul (al-mukhtalaf fi al-itidad
bihi wa adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat
muhtamilah (mengandung kemungkinan). Dalam bentuk ini, perawi tidak
menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa yang
melatar belakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu riwayat
dengan ungkapan:
... ... , atau ... , atau
.... Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam memahami bentuk redaksi
seperti ini, diantaranya adalah:17

16 Ibid
17 Ibid

11

1) Imam al-Bukhari dan Ibn al-Shalah memandang redaksi tersebut selaku


riwayat yang menunjukkan kepada asbab al-Nuzul suatu ayat.
2) Imam al-Zarkasyi dan al-Sayuthi menilai bahwa redaksi tersebut
menunjukkan kepada penafsiran dan penjelasan yang terkait dengan
ketentuan suatu hukum yang disinggung dalam pembahasan ayat (shigat
tafsir wa istidlal bi al-ayat ala al-hukmi), bukan sebagai riwayat yang
menunjukkan kepada sebab turunnya ayat (shigat al-naql).
3) Ibnu Taimiyah menilai bentuk redaksi tersebut mengandung

dua

kemungkinan, yaitu: pertama, sebagai riwayat yang menunjukkan kepada


sebab turunnya ayat; dan kedua, sebagai keterangan tentang maksud ayat dan
bukan sebagai riwayat tentang sebab turunnya. Ungkapan redaksi tersebut
sama dengan pernyataan yang berbunyi: ... (yang dimaksud
dengan ayat ini adalah ...).
4) Al-Qasimi menilai redaksi tersebut selaku pernyataan yang diungkapkan
oleh para sahabat dan tabiin dengan tujuan untuk memberikan gambaran
tentang apa yang dibenarkan oleh ayat. Dalam hal ini perlu dilakukan
langkah ijtihad guna menentukan apakah riwayat tersebut sebagai asbab alNuzul ayat atau hanya sekedar penjelasan tentang kandungan suatu ayat.
5) Al-Zarqani menilai bahwa bentuk redaksi seperti ini bukanlah serta merta
secara pasti menunjukkan kepada riwayat sebab turunnya ayat, karena dapat
saja menunjukkan kepada penjelasan tentang kandungan ayat. Dalam hal ini
harus diteliti lebih cermat indikator (qarinah) yang menunjukkan ke salah
satu dari kedua kemungkinan tersebut. Jika ada indikator yang menguatkan
arah tunjukannya selaku riwayat sebab turunnya ayat, maka barulah
dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan kepada peristiwa yang melatar
belakangi turunnya ayat.
c) Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan
kepada asbab al-Nuzul (al-muttafaq ala adami al-itidad bihi). Bentuk
susunan redaksi ini ada dua macam, yaitu:18
1) Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan
redaksi yang jelas menunjukkan kepada pengertian turun (shigat al-Nuzul),
namun mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qiraah atau
tilawah. Misalnya, si Perawi mengatakan: ...
18 Ibid

12

.... Para ulama menilai bahwa pengungkapan


qiraah atau tilawah setelah penyebutan adanya suatu kejadian (alhaditsah) jelas menunjukkan bahwa suatu ayat pasti turun mengiringi
kejadian atau peristiwa tersebut. Padahal dalam kenyataan berdasarkan
ungkapan redaksi itu sendiri, jelas menunjukkan ayat yang dibaca oleh Nabi
Saw sudah turun sebelum terjadinya peristiwa dimaksud. Atau bisa jadi
pembacaan Nabi Saw akan ayat tersebut sebagai penjelasan penguat dari
ayat yang turun lebih dahulu yang memiliki hubungan yang kuat dengan ayat
yang dibacakan Nabi Saw ketika ada suatu kejadian.
2) Kedua, adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan
pola bahasa yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya
ayat, namun mempergunakan pola bahasa yang mengandung dugaan atau
perkiraan semata. Misalnya, si Perawi mengatakan:
..., atau , atau
.... Pola redaksi semacam ini menunjukkan bahwa si
Perawi memahami suatu riwayat yang menunjukkan kepada sebab turunnya
ayat hanya berdasarkan indikator berupa situasi dan kondisi konteks semata
(qarain al-ahwal) yang bersifat sangat spekulatif (dugaan). Dan hal itu jelas
tidak menunjukkan kepada keterlibatan si Perawi dalam menyaksikan
langsung peristiwa turunnya ayat (musyahadah) atau mendengarkan
informasinya dari orang yang menyaksikan secara langsung tersebut
(simai). Para ulama memberikan catatan bahwa redaksi seperti ini dapat
diterima apabila ada riwayat lain yang menunjukkan hal yang sama, tapi
dengan lafaz redaksi yang bersifat pasti (bukan dugaan dan persangkaan
semata) sebagaimana dalam bentuk yang disepakati oleh para ulama untuk
menunjukkan kepada sebab turunnya ayat.
2. Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat
atau berbilangnya ayat untuk satu Asbab An-Nuzul
Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat (Taadud As-Sabab wa
Nizil Al-Wahid)
Bila sebab nuzul suatu ayat itu banyak maka terkadang semuanya tidak
tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas
sedang sebagian lain tegas dalam menunjukkan sebab. Maka dapat dilakukan
langkah berikut

13

o Bila semuanya tidak tegas maka tidak ada salahnya dibawa atau
o
o
o
o
o

dipandang sebagai tafsir atau kandungan ayat


Bila tidak tegas sebagian, maka diambil yang tegas
Bila semuanya tegas, maka diambil yang lebih sahih
Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
Bila tidak mungkin, maka dipadukan
Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu

diturunkan beberapa kali dan berulang.19


Berbilangnya ayat untuk satu Asbab An-Nuzul (Taadud Nazil wa AsSabab Al-Wahid)
Terkadang suatu kejadian dapat menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau
lebih. Sebagaimana contoh adalah apa yang diriwayatkan Bukhori dari
perkataan Zaid bin Sabit bahwa Rosulullah membacakan kepadanya ayat 9596 surat An-Nisa. Lalu datang Ibnu Ummi Maktum dan berkata, Wahai
rosulullah , andai aku bisa berjihad maka aku akan berjihad, padahal dia

adalah seorang yang buta.maka Allah menurunkan ayat An-Nisa tersebut.


3. Dilihat dari sudut pandang waktu turunnya ayat lebih dulu daripada
hukumnya.
Az-Zarkasyi

mencontohkan

mengenai

ayat

yang

memiliki

makna

mujmal/global yang mengandung arti lebih dari satu kemudian penfsirannya


dihubungkan dengan salah satu arti dari arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi
mengacu pada hukum yang datang kemudian. Di dalam Al-Burhan disebutkan:
ketahuilah bahwa nuzul atau penurunan sesuatu ayat itu terkadang mendahului
hukum. Seperti surat al-Alaa Ayat 4 yang artinya : sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan diri (dengan beriman). Diriwayatkan oleh baihaqi dengan
dinisbahkan kepada Ibnu Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat
Ramadhan kemudian Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama:
sebagian mereka berkata aku tidak mengerti pentakwilan yang seperti ini sebab
surah itu makki, sedang di makkah belum ada Idul Fitri dan Zakat. 20
D. HUBUNGAN KONTEKSTUALITAS DENGAN ASBABUN NUZUL

19 Manna Khalil al-Qattan, Studi, h. 131-132.


20 Ibid, h. 133-134

14

Diantara karakteristik Al-Quran adalah ia kitab suci bagi seluruh zaman, kitab
bagi kemanusiaan seluruhnya, kitab suci agama seluruhnya, dan kitab hakikat
seluruhnya.
Makna Al-Quran sebagai kitab keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab
yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa tertentu, atau kitab bagi seluruh generasi
tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum AlQuran, perintah & larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu kurun
waktu tertentu, kemudian habis masanya.21
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Al-Qur;an adalah ajaran-ajaran yang kekal dan
terus berlaku, selama ada kehidupan ini dan adanya manusia. Tidak boleh ada
seorang pun yang berkata bahwa hukum-hukum Al-Quran ini hanya bagi masa saat
diturunkannya artinya masa kenabian atau masa sahabat, atau masa-masa Islam
pertama. Sedangkan era temporer inidan masa setelah ini tidak terikat dengan
hukum-hukum itu lagi. mengingat bentangan sejarah yang cukup panjang antara
masa turunnya al-Quran di padang pasir yang tandus dan latar belakang sosial
masyarakat yang primitif jahiliyah di satu pihak dan realitas persoalan saat ini
dipihak lain.
Teks al-Quran bukanlah monumen mati yang untouchable, yang tidak dapat
disentuh oleh tangan sejarah. Sebaliknya ia lahir di ruang tidak hampa untuk
merespon segala persoalan kemanusiaan yang terus bergerak dinamis. Ia selalu
muncul seiring konteks sosiologis yang terus berkembang. Sudah barang tentu teks
dalam hal ini memiliki pemaknaan luas menyangkut teks yang terintegrasi dengan
konteks pengalaman sejarah umat manusia. Integrasi teks & konteks ini perlu di
elaborasi secara sistematik karena sejatinya hukum Tuhan tidak lahir kecuali untuk
konteks kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia sepanjang sejarahnya.
Dalam komposisi ayat ditemukan dua term yang saling melengkapi, term ayat
quraaniyyah dan ayat kauniyah. Jenis pertama adalah ayat-ayat dalam al-Quran
yang secara verbal dan tersurat diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara jenis ayat
kedua merupakan ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya.
Jika jenis ayat pertama dapat ditelusuri pemaknaanya secara semantic dan verbal,
21https://docs.google.com/presentation/d/1JbrQ9rdm0MXDLxZHDS37qcrWOFTNplYYhxaNaKM6DE8
/edit?usp=sharing, diakses pada tanggal 27 maret 2016

15

maka jenis ayat kedua memerlukan daya nalar & tafakkur (perenungan) tentang
kebesaran Tuhan dengan segala ciptaan-Nya. Dengan kata lain, ayat kauniyyah
dalam al-Quran dapat memantulkan daya kreativitas nalar manusia untuk selalu
berfikir logis menyikapi realitas hidup.22
Untuk menelusuri konteks yang melatar belakangi pewahyuan terdapat asbbun
nuzl

(sebab musabab turunya al-Quran), yang tidak serta merta dapat

menyelesaikan persoalan interaksi teks dengan konteks realitas, tapi sekurangkurangnya dapat mengantarkan kesadaran akan pentingnya menyingkap kaitan
inheren antara teks wahyu dengan konteks sosiologis umat manusia. Kajian
historisitas memiliki peran yang cukup sentral dalam memperdekat bentangan jarak
historisitas antara masa teks diproduksi dengan realitas sosiologis masyarakat
sekarang. dengan kajian asbbun nuzl dapat mereproduksi makna dalam menyikapi
persoalan-persoalan hukum.
Asbbun nuzl sebagai bagian dari ilmu-ilmu Al-Quran, adalah bertujuan untuk
menjelaskan sebagian makna-makna ayat-ayat yang termaktub didalamnya dengan
menjelaskan latar belakang diturunkannya. Tentu dalam memaknai beberapa ayat
dari Al-Quran tersebut, tetap dibutuhkan menafsiran bahkan mungkin pen-takwilan,
walaupun bahan-bahan tafsirnya, pada mulanya diambil dengan jalan periwayatan.
Dari periwayatan ini, beberapa cara atau metodologi-pendekatan yang ditemukan
lalu berkembang dan dirumuskan oleh para pakar yang bergiat dibidang keilmuan ini.
Masa khalifah, sesudah nabi Muhammad SAW, adalah era dimana digambarkan,
sebagai awal dari zaman interpretasi kaum muslimin terhadap kitab suci Al-Quran.
Yang terkenal sebagai penafsir masyhur pertama adalah empat orang khalifah,
kemudian Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubai bin Kaab, Zaid bin Zabit, Abu Musa alAsyari dan Abdullah bin Zubair. Metodologi yang dikembangkan, terbatas pada
makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan
menjelaskan

apa

yang

masih

global.

Dalam

menafsirkan

ayat,

mereka

menguatkannya dengan riwayat yang disandarkan oleh nabi Muhammad (hadis).


Penafsiran Al-Quran terus berkembang hingga abad II H dan pada abad ke III H
Jarir Attabari (310 H) berhasil menyusun tafsir Al-Quran, dengan metodologi
berdasarkan susunan ayat. Disamping ilmu tafsir murni tersebut, secara paralel,
22 Ibid

16

lahirlah pembahasan-pembahasan tertentu yang menopang ilmu tafsir itu sendiri.


Antara lain Ilmu-ilmu ini adalah pembahasan mengenai Asbbun nuzl. Ali bin alMadini (w.234 H) adalah orang pertama yang menyusun kitab yang membahas
tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat tertentu.
Yang pasti, bahwa perlunya konsep asbbun nuzl dalam memahami ayat-ayat
Al-Quran, tidak terlepas dari keharusan penafsir memahami realitas yang terjadi,
seputar penurunan wahyu. Ini kelihatan lebih kontekstual, seiring dengan
pemahaman kontemporer yang menghendaki konsepsi sejarah dan humanitas lebih
dikedepankan.
Jika unsur realitas diobyektivikasi kedalam bacaan teks, maka sangat mungkin
kandungan Al-Quran ditafsirkan dengan mengikuti zaman ; dan dikatakan, dapat
berdialog, bersinergis dengan sejarah. Sebaliknya jika teks-teks al-Quran dibaca
sebagai subyek yang otoriter dan menjustivikasi realitas, maka besar kemungkinan
terjadi pendiskripsian terhadap kenyataan. Atau lebih radikal dapat dikatakan bahwa
keadaan seperti ini membawa pemahaman kandungan Al-Quran berada diruang
hampa.
Jika demikian seharusnya seluruh ayat-ayat Al-Quran memiliki latar belakang
yang pasti, sebagai tujuan diturunkannya. Dalam artian bahwa latar belakang yang
pasti pada ayat-ayat Al-Quran, mengisyaratkan kepada manusia adanya ruang
kesejarahan yang tak pernah putus, sepanjang sejarah manusia itu sendiri.23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mempelajari asbab an-nuzul tidak diragukan lagi bahwa ia sangat penting bagi
yang ingin mengkaji ilmu tafsir, bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir, meskipun ada
ulama yang menganggapnya tidak penting. Namun dapat dibayangkan bila penafsiran
ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul ditafsirkan dengan tidak memahami mengapa
ayat tersebut diturunkan.
Semakin banyaknya masalah kontemporer seperti saat ini, banyak ulama yang
berusaha memaknai Al-Quran untuk disesuaikan dengan konteksnya. Mengingat AlQuran adalah kitab suci yang tidak bisa dibatasi oleh waktu dan tempat, tidak bisa
23 Ibid

17

hanya dimaknai untuk masa saat dimana dan kapan ayat itu turun. Dan yang pasti,
bahwa perlunya konsep asbbun nuzl dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, tidak
terlepas dari keharusan penafsir memahami realitas yang terjadi, seputar penurunan
wahyu

DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Quran, Beirut: Dar Al-Fikr, 1979
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, terj. Mudzakir A.S, Bogor: Litera
AntarNusa, 2011
Rosibon Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
http://mulianinst.blogspot.co.id/Makalah Asbab an Nuzul, diakses pada tanggal 27
maret 2016
http://jendelaakhirat.blogspot.co.id/ makalah Asbab An-Nuzul, diakses pada tanggal 27
maret 2016
presentation/d/1JbrQ9rdm0MXDLxZHDS37qcrWOFTNplYYhxaNaKM6DE8/edit?
usp=sharing, diakses pada tanggal 27 maret 2016

Anda mungkin juga menyukai