Anda di halaman 1dari 134

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN

KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK


GUIDEWAY MONOREL

TUGAS AKHIR
Karya tulis sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar Sarjana dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh
BRYAN MUSTIKA SURYAWIDJAJA
NIM : 150 11 108

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015

ABSTRAK
PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN
KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK
GUIDEWAY MONOREL
Oleh
Bryan Mustika Suryawidjaja
NIM : 150 11 108
(Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Program Studi Teknik Sipil)
Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat
setiap tahunnya. Hal tersebut membuat konstruksi infrastruktur di kota besar Indonesia
dituntut cepat, efisien, perawatan yang mudah, dan masa layan yang tinggi. Sedangkan,
konstruksi infrastruktur seperti jembatan perkotaan tidak dapat memenuhi kebutuhan
tersebut karena persyaratan detailing yang ketat untuk menahan beban gempa Indonesia.
Oleh karena itu, beton pracetak segmental menjadi pilihan konstruksi masa depan
Indonesia.
Beton pracetak segmental dengan sistem konvensional memiliki masalah utama,
yaitu disipasi energi tidak sebaik beton pengecoran cast-in-situ (Hewes and Priestley,
2002) dan permasalahan sambungan pada daerah join tempat disipasi energi gempa. Sistem
hybrid dikembangkan untuk mengatasi permasalahan sistem konvensional. Selain itu,
sistem hybrid memiliki model histeretik yang unik, yaitu model flag shape. Secara nyata,
model histeretik direpresentasikan oleh sifat self centering saat terjadi rocking mechanism
pada daerah join. Hasilnya, residual deformation pada sistem hybrid lebih kecil
dibandingkan sistem konvensional.
Model yang digunakan dalam analisis adalah struktur jembatan guideway monorel.
Hasil analisis pushover dan Non-Linier Time History (NLTH) membuktikan bahwa level
kinerja sistem hybrid dan sistem konvensional adalah sama. Sedangkan, untuk residual
deformation sistem hybrid untuk arah memanjang sekitar empat kali lebih rendah
dibandingkan sistem konvensional dan arah transversal sekitar tujuh kali lebih rendah.
Kata kunci: jembatan guideway monorel, sistem hybrid dan konvensional, self-centering,
residual deformation
II

ABSTRACT
PERFORMANCE COMPARISON OF HYBRID AND
CONVENTIONAL SYSTEM IN PRECAST GUIDEWAY
MONORAIL PIER STRUCTURE
Presented by
Bryan Mustika Suryawidjaja
NIM : 150 11 108
(Faculty of Civil and Environment Engineering, Civil Engineering)
Indonesia is one of the countries in the world with a rapidly growing economy
annually. It comes to the consequences that construction activity in major cities of
Indonesia should be fast, efficient, easy maintenance and have a long service cycle.
However, the existing construction of vital infrastructure such as city bridges do not meet
those criteria because of the complicated detailing requirement to withstand earthquake
forces. Therefore, segmental precast concrete is being an option for the future of
construction in Indonesia.
Segmental precast concrete of conventional system has two major problem which
are its energy dissipation is not as good as cast-in-situ method (Hewes and Priestley, 2002)
and connection problem at the join area where the earthquakes energy is dissipated.
Hybrid system was developed to solve the problems of conventional system. It also has a
unique hysteretic models, namely flag shape. Significantly, hysteretic model is represented
by self centering behavior when rocking mechanism of pier joint area occured. As a result,
residual deformation of hybrid system is smaller than conventional system.
The guideway monorail bridge is the model that will be used for the analysis. The
results of pushover and Non-Linear Time History (NLTH) analysis indicate that
performance level for hybrid and conventional system is similar. Whereas, residual
deformation of hybrid system for longitudinal direction is about four times lower than
conventional system and seven times lower for transversal direction.
Keywords: bridge monorail guideway, and a conventional hybrid systems, self-centering,
residual deformation

III

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN


KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK
GUIDEWAY MONOREL
TUGAS AKHIR
Oleh

Pas Foto
2 x 3 cm

BRYAN MUSTIKA SURYAWIJAYA


NIM : 150 11 108
Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Pembimbing Tugas Akhir,
Bandung,19 Juni 2015

Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D.

NIP. 196312061996031001
Mengetahui,
KK Rekayasa Struktur
Koordinator Tugas Akhir

Program Teknik Sipil


Ketua,

Ir. Made Suarjana, M.S.c., Ph.D.

Ir. Made Suarjana, M.S.c., Ph.D.

NIP. 196111231987031002

NIP. 196111231987031002
IV

PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR

Tugas Akhir yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut
Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada
pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi
Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau
peringkasan hanya dapat dilakukan seijin pengarang dan harus disertai dengan
kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh Tugas Akhir haruslah seijin
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Didedikasikan untuk keluarga dan orang-orang yang mendukung dan


mengasihi,
Nurnawati Lie yang memberikan dukungan moral dan materil,
Bambang Mustika Suryawidjaja,,
Jane Stephanie Suryawijaya dan James Mustika Suryawijaya

VI

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya selama
penulis menyelesaikan karya tulis Perbandingan Kinerja Sistem Hibrid Dengan
Konvensional pada Struktur Pilar Pracetak Guideway Monorel. Tugas akhir ini
diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Institut Teknologi
Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam proses penyusunan karya tulis ini, antara lain:
1. Kedua orangtua, yaitu Bambang Mustika Suryawidjaja dan Nurnawati Lie, serta
kedua adik, yaitu Jane Stephanie Suryawijaya dan James Mustika Suryawijaya,
yang telah mendoakan, mendukung, dan membantu penulis;
2. Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D., selaku dosen pembimbing tugas akhir.
Terima kasih atas ilmu, pembelajaran, dan pengalaman selama ini;
3. Ir. Indra Djati Sidi, MSc, Ph.D. dan Dr-Ing. Ediansjah Zulkifli, ST., MT. yang telah
berkenan menjadi dosen penguji seminar dan sidang tugas akhir;
4. Gabriella Amperianto, Brenda Gusanto, Gabriel Steven, Frans Tandeas, Jessen
Purwa Harianto, Klara Karlina, Claudia Calista, Yoshiana Maria, Liana Wiryawan,
Elizabeth Amanda, Jonathan Budianto, William Tasdir, Ivan Gunardi, Kevin
Metthew, Kevin Andrea, dan Ryan Hardika sebagai sahabat yang telah
memberikan semangat, kekuatan, bantuan, dan berbagi suka-duka. I LOVE YOU.
5. Ray Grimaldi Erwin, Joseph Christian, Nicho Liang, Ravend Tandera, Leonardo
Hendriono, dan Afrizal Dwi Putranto sebagai teman satu bimbingan yang telah
memberikan bantuan moral, ilmu, tenaga, dan materil selama tugas akhir.
6. Keluarga Mahasiswa Cina Sipil 2011 sebagai tempat untuk melepas penat tugas
akhir.

VII

7. SIPIL ITB (angkatan 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013) dan orang-orang lain yang
turut membantu, baik secara langsung maupun tidak, dalam proses penyusunan
karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
penulis menerima kritik dan saran yang membangun sebagai pembelajaran di masa
depan. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa Teknik
Sipil Institut Teknologi Bandung dan pembaca pada umumnya.

Bandung, 19 Juni 2015

Penulis

VIII

DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... iv
PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR .......................................................... v
PRAKATA .................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xv
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
I.1

Latar Belakang ............................................................................................... 1

I.2

Tujuan............................................................................................................. 4

I.3

Rumusan Masalah .......................................................................................... 5

I.4

Ruang Lingkup ............................................................................................... 5

I.5

Metodologi Pembahasan ................................................................................ 6

I.6

Sistematika Penulisan ..................................................................................... 8

KAJIAN LITERATUR ............................................................................................... 11


II.1.

Perkembangan Keilmuan Pilar Jembatan Terhadap Beban Gempa ............. 11

II.1.1.

Perilaku Pilar Jembatan Monolit dan Pracetak Terhadap Beban Lateral


12

II.1.2.

Contoh Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid ...................................... 16

II.2.

Konsep Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid ............................................. 19

II.2.1.

Konsep Desain Jembatan Seismik Berbasis Kinerja (PBSD) ............... 19

II.2.2.

Berbagai Tipe Analisis Struktur............................................................ 27

II.2.3.

Pembebanan Monorel ........................................................................... 30

II.2.4.

Perencanaan Pilar Jembatan Pracetak Sistem Hybrid ........................... 36

IX

METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 39


III.1. Umum ........................................................................................................... 39
III.2. Prosedur Studi .............................................................................................. 40
III.3. Metode Analisis............................................................................................ 43
PEMODELAN STRUKTUR ...................................................................................... 45
IV.1. Deskripsi Umum .......................................................................................... 45
IV.2. Pemodelan Struktur ...................................................................................... 45
IV.2.1. Elemen Struktur Jembatan .................................................................... 47
IV.2.2. Pembebanan dan Kombinasinya dalam Model Struktur ....................... 51
IV.2.3. Pemodelan Sendi Plastis ....................................................................... 63
HASIL PERHITUNGAN ........................................................................................... 65
V.1.

Model Struktur Jembatan ............................................................................. 65

V.1.1.

Periode dan Modal Participation Masses (MPM) ................................ 65

V.1.2.

Serviceability Jembatan......................................................................... 66

V.1.3.

Detailing dan Efek P- Pilar Jembatan ................................................ 72

V.2.

Model Sendi Plastis ...................................................................................... 74

V.2.1.

Tegangan dan Regangan Material ........................................................ 75

V.2.2.

Properti Sendi Plastis ............................................................................ 77

ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 84


VI.1. Analisis Statik Non-Linier (Pushover) ......................................................... 84
VI.2. Analisis Dinamik Non-Linier (Non-Linier Time History / NLTH) .............. 96
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................. 103
VII.1.

Kesimpulan ............................................................................................. 103

VII.2.

SARAN ................................................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ xvi


LAMPIRAN ............................................................................................................. xviii
LAMPIRAN A ........................................................................................................... xix

DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A : Detailing Pilar Sistem Konvensional ............................................. xix

XI

DAFTAR GAMBAR
Gambar I. 1 Peta tektonik Indonesia .......................................................................... 1
Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010) ............................. 4
Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir .................................. 8
Gambar II. 1 Jalan Layang Louetta, Houston, Texas dengan sistem post-tensioned
..................................................................................................................................... 11
Gambar II. 2 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja (Heiber et al.,
2005) ........................................................................................................................... 13
Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et
al.) ............................................................................................................................... 13
Gambar II. 4 Perilaku pilar jembatan pracetak terhadap beban lateral (Hewes
and Priestly, 2002) ..................................................................................................... 14
Gambar II. 5 Konsep sistem hybrid (Guerra et al.) ................................................. 14
Gambar II. 6 Perilaku histeretik sistem hybrid (Guerra et al.) .............................. 15
Gambar II. 7 Mekanisme yang dihindari dalam pendesainan sistem hybrid ........ 15
Gambar II. 8 Contoh desain tampak pilar jembatan sistem hybrid (Hieber et al.,
2005) ........................................................................................................................... 16
Gambar II. 9 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja dan tendon
prategang tanpa lekatan (Heiber et al., 2005) ........................................................ 17
Gambar II. 10 Metode konstruksi pilar jembatan dengan tendon tanpa lekatan
post-tensioned ............................................................................................................. 18
Gambar II. 11 Ilustrasi tiga buah komponen penting pada metode berbasis
perpindahan (NCHRP 440, 2013) ............................................................................ 20
Gambar II. 12 Kurva perpindahan terhadap base shear didapatkan dari analisis
pushover (Moehle dan Deierlein, 2004) ................................................................... 22
Gambar II. 13 Diagram alir PBSD ............................................................................ 23
Gambar II. 14 Hubungan level kinerja dengan kurva deformasi terhadap base
shear (FEMA-356) ..................................................................................................... 25
Gambar II. 15 Skema penentuan performance point untuk prosedur A (ATC-40)
..................................................................................................................................... 29
Gambar II. 16 Diagram alir analisis statik non-linear (FEMA 440)...................... 29
Gambar II. 17 Konfigurasi sistem hybrid pada dinding geser ................................ 37
Gambar II. 18 Kurva perilaku dinding geser antara perpindahan dan beban
lateral ......................................................................................................................... 38
Gambar III. 1 Diagram alur pembentukan metodologi penelitian ........................ 39
Gambar III. 2 Diagram alir pendesainan sistem hybrid dan konvensional ........... 40

XII

Gambar IV. 1 Tampak depan (atas), tampak samping (tengah), dan 3D (bawah)
dari jembatan guideway monorel............................................................................. 46
Gambar IV. 2 Tampak depan kepala pilar .............................................................. 48
Gambar IV. 3 Contoh layout tendon pada satu guideway beam ............................. 50
Gambar IV. 4 Contoh layout tendon sepanjang guideway beam ............................ 50
Gambar IV. 5 Spesifikasi monorel ............................................................................ 53
Gambar IV. 6 Tampak atak pemodelan beban rem untuk guideway beam kanan
(Lfe Right).................................................................................................................. 56
Gambar IV. 7 Tampak atas pemodelan beban hunting untuk guideway beam
kanan (HF Right) ...................................................................................................... 57
Gambar IV. 8 Tampak atas pemodelan beban angin pada monorel (atas) dan
struktur jembatan (bawah) ...................................................................................... 57
Gambar IV. 9 Tampak depan pemodelan beban angin pada struktur jembatan
(kiri) dan monorel (kanan) ....................................................................................... 58
Gambar IV. 10 Interface untuk mendefinisikan properti material dan lingkungan
MIDAS CIVIL 2011 .................................................................................................. 59
Gambar IV. 11 Respons spektra jakarta tanah lunak situs SE ............................. 60
Gambar IV. 12 Pemberian sendi plastis pada MIDAS CIVIL 2011 ...................... 63
Gambar IV. 13 Pemodelan penampang sistem hybrid (kiri) dan sistem
konvensional (kanan) pada XTRACT .................................................................... 64
Gambar V. 1 Grafik defleksi pada guideway beam right (atas) dan left (bawah) . 68
Gambar V. 2 Pengecekan efek P- ........................................................................... 74
Gambar V. 3 Model Hognestad untuk tegangan dan regangan beton tidak
terkekang ................................................................................................................... 75
Gambar V. 4 Model Mander et.al untuk tegangan dan regangan beton terkekang
..................................................................................................................................... 76
Gambar V. 5 Kurva momen-kurvatur sistem hybrid .............................................. 78
Gambar V. 6 Diagram interaksi sistem hybrid ........................................................ 78
Gambar V. 7 Kurva backbone sistem hybrid............................................................ 79
Gambar V. 8 Perbandingan model histeretik model clough dan flag shape ......... 80
Gambar V. 9 Kurva momen-kurvatur sistem konvensional .................................. 81
Gambar V. 10 Diagram interaksi sistem konvensional .......................................... 82
Gambar V. 11 Kurva backbone sistem konvensional .............................................. 83
Gambar V. 12 Kurva histeretik model normal bilinier .......................................... 83
Gambar VI. 1 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_X) ....................................... 85
Gambar VI. 2 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_Y) ....................................... 85
Gambar VI. 3 Kurva kapasitas sistem konvensional (PUSH_X) ........................... 86
Gambar VI. 4 Kurva kapasitas sistem konvensional (PUSH_Y) ........................... 86

XIII

Gambar VI. 5 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional


(PUSH_X) .................................................................................................................. 87
Gambar VI. 6 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional
(PUSH_Y) .................................................................................................................. 87
Gambar VI. 7 Perbandingan base shear yield .......................................................... 88
Gambar VI. 8 Perbandingan displacement yield ...................................................... 89
Gambar VI. 9 Perbandingan base shear ultimate .................................................... 89
Gambar VI. 10 Perbandingan displacement yield .................................................... 90
Gambar VI. 11 Perbandingan base shear linier time history .................................. 90
Gambar VI. 12 Perbandingan displacement linier time history .............................. 91
Gambar VI. 13 Perbandingan base shear performance point ................................. 91
Gambar VI. 14 Perbandingan displacement performance point ............................. 92
Gambar VI. 15 Perbandingan daktilitas demand (D) ............................................ 92
Gambar VI. 16 Perbandingan overstrength demand (D) ....................................... 93
Gambar VI. 17 Perbandingan drift demand ............................................................. 93
Gambar VI. 18 Perbandingan kapasitas drift .......................................................... 94
Gambar VI. 19 Perbandingan daktilitas struktur () ............................................. 95
Gambar VI. 20 Perbandingan overstrength struktur () ....................................... 95
Gambar VI. 22 Kalibrasi percepatan batuan dasar El Centro arah X (atas) dan
arah Y (bawah) .......................................................................................................... 97
Gambar VI. 23 Keterangan gambar nomor elemen ................................................ 98
Gambar VI. 24 Kurva histeretik sistem hybrid arah X ........................................... 99
Gambar VI. 25 Kurva histeretik sistem hybrid arah Y ......................................... 100
Gambar VI. 26 Kurva histeretik sistem konvensional arah X ............................. 100
Gambar VI. 27 Kurva histeretik sistem konvensional arah Y ............................. 101
Gambar VI. 28 Jembatan pada kondisi initial (atas), sistem hybrid setelah gempa
(tengah), dan sistem konvensional setelah gempa (bawah) ................................. 102

XIV

DAFTAR TABEL
Tabel II. 1 Kriteria penggolongan kategori jembatan terhadap level kinerja
jembatan .................................................................................................................... 21
Tabel II. 2 Minimum level kinerja untuk jembatan (FHWA, 2006) ..................... 24
Tabel II. 3 Parameter level kinerja atau desain jembatan SRPH-1 (Hose dan
Seible 1999) ................................................................................................................ 26
Tabel II. 4 Perkiraan hubungan kerusakan dan kinerja jembatan ...................... 26
Tabel II. 5 Tipe analisis struktur .............................................................................. 27
Tabel II. 6 Beban dinamik minimum (ACI 343.1R-12) .......................................... 32
Tabel II. 7 Beban rem (LF) (ACI 343.1R-12) .......................................................... 32
Tabel II. 8 Beban hunting (HF) (ACI 343.1R-12) ................................................... 32
Tabel II. 9 Kombinasi pembebanan service (atas) dan ultimate (bawah) ............. 35
Tabel IV. 1 Material elemen struktur ...................................................................... 47
Tabel IV. 2 Data tambahan untuk material beton, tulangan baja, dan tendon ... 48
Tabel IV. 3 Properti tendon pada jembatan guideway monorel ............................ 49
Tabel IV. 4 Berat jenis berbagai material (AASHTO LRFD 2012) ...................... 52
Tabel IV. 5 Beban Dinamik Minimum (ACI 343.1R-12) ....................................... 55
Tabel IV. 6 Beban Rem (LF) (ACI 343.1R-12) ....................................................... 56
Tabel IV. 7 Beban Hunting (HF) (ACI 343.1R-12) ................................................. 56
Tabel IV. 8 Nilai R (AASHTO LRFD 2012) ............................................................ 61
Tabel V. 1 Periode dan MPM dari MIDAS CIVIL 2011 ....................................... 66
Tabel V. 2 Batas tegangan tekan beton prategang setelah loss pada kondisi
service (AASHTO LRFD 2012) ................................................................................ 68
Tabel V. 3 Batas tegangan tarik beton prategang sebelum loss pada kondisi
service (AASHTO LRFD 2012) ................................................................................ 69
Tabel VI. 1 Level kinerja jembatan berdasarkan analisis pushover ..................... 94
Tabel VI. 2 Level kinierja struktur saat terjadi gempa El Centro dengan
NLTHA ...................................................................................................................... 97

XV

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan aktivitas gempa yang tinggi. Hal
ini disebabkan lokasi Indonesia yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik
utama, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipine. Akibatnya, pada
proses pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya pada wilayah kategori
desain seismik D, E, dan F, menjadi lebih rumit dan diawasi dengan ketat oleh institusi
negara. Tingkat desain dengan kerumitan yang tinggi membuat periode konstruksi
lebih panjang. Akan tetapi, wilayah-wilayah dengan aktivitas perekonomian yang
padat, seperti perkotaan besar, bandara, pelabuhan, dan lain-lain, periode konstruksi
harus seminimal mungkin agar aktivitas perekonomian tidak mengalami gangguan
yang signifikan.

Gambar I. 1 Peta tektonik Indonesia

Pada tahun 2009, Pemerintah mencanangkan program Masterplan Percepatan


dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berdampak pada
pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata di seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu infrastrukturnya adalah jembatan. Pada saat ini, sistem pilar (pier) jembatan
dengan menggunakan tendon prategang tanpa lekatan (unbonded prestressed system)
dengan post-tensioned menyedot perhatian berbagai peneliti maupun komunitas
rekayasawan jembatan di dunia. Sistem ini dapat mempercepat proses konstruksi,
mengurangi biaya pemeliharaan dan dampak lingkungan, meningkatkan keselamatan
kerja, dan menjaga kualitas konstruksi (Kwan dan Billing, 2003 ; TRB 2003). Sistem
ini umumnya diterapkan pada badan pilar jembatan segmental (prefabricated bridge
atau segmental bridge column)
Filosofi untuk pendesainan struktur jembatan pada daerah rawan gempa adalah
daerah join antara bagian bawah pilar dan muka fondasi menjadi daerah plastis yang
diharapkan menjadi tempat disipasi energi gempa. Akibatnya, daerah join tersebut akan
menjadi daerah kritis yang mengalami gaya dalam lebih besar dari daerah lain.
Awalnya, perkembangan desain pilar jembatan konvensional hanya menggandalkan
tulangan baja saja. Akan tetapi, desain tersebut apabila diimplementasikan pada beton
segmental atau precast, sistem tidak memiliki kemampuan disipasi energi sebaik pilar
konvensional dengan pengecoran monolit di tempat atau cast-in-situ (Chang et al.,
2002 ; Hewes dan Priestley, 2002). Hal ini dikarenakan kecenderungan daerah join
pada beton segmental lebih mudah terbuka saat mengalami gempa utama (main shock).
Hal ini menyebabkan bertambahnya beban pada tulangan baja yang berdampak pada
plastifikasi tulangan baja tidak terkontrol sehingga kekakuan sistem berkurang drastis.
Sistem hybrid menjadi trobosan untuk mengatasi masalah pada pilar jembatan
segmental. Sistem hybrid merupakan sistem kombinasi tendon post-tensioned tanpa
lekatan (unbonded post-tensioned tendons) dan reinforcement steel (tulangan baja
dengan mutu fy=400 MPa) pada daerah join antara bagian bawah pilar dan muka
fondasi. Sistem hybrid diperkenalkan pertama kali oleh Stone et al. (1995). Gaya yang

berasal dari tendon prategang akan menjaga beton segmental tetap satu kesatuan.
Perilaku histeretik sistem ini berbentuk bendera (flag shape) yang menunjukan adanya
sifat self-centering dan regangan sisa (residual displacement) yang minimum.
Walaupun histeretik berbentuk bendera, sistem ini diyakini dapat menghasilkan energi
disipasi yang lebih baik dari desain pilar jembatan konvensional (Chang et al., 2002).
Pilar jembatan yang menggunakan sistem segmental akan mengalami mekanisme
goyang (rocking mechanism), khususnya pada daerah join. Untuk mengatasi
mekanisme goyang, dilakukan metode controlled rocking, yaitu pilar jembatan
disengaja untuk mengalami deformasi (retak) akibat lentur dengan nilai tertentu pada
daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi. Selama tendon tanpa lekatan
dipasang sepanjang pilar jembatan, tidak akan terjadi konsentrasi penambahan
tegangan dan regangan secara teratur pada daerah join yang retak. Selain itu, pada
sistem ini, tendon prategang didesain tidak boleh mengalami kelelehan sedangkan baja
tulangan harus didesain leleh saat terjadi gempa utama (ACI ITG-5.2-09). Kelelehan
tulangan merupakan komponen utama dalam mendisipasi energi gempa. Sedangkan,
bila tendon prategang mengalami regangan inelastik (tendon leleh) maka sifat-sifat
yang dihasilkan tendon prategang (self-centering, gaya tekan akibat tendon, dan lainlain) akan hilang. Oleh karena itu, pemberian gaya prategang awal sangat berpengaruh
dengan beberapa alasan.
Pertama, kemampuan untuk mentransfer gaya geser ke sepanjang muka segmen
pilar bergantung pada gaya jepit yang diakomodasi oleh tendon prategang. Kekakuan
pilar jembatan bergantung pada gaya tendon prategang dan tidak akan berkurang secara
drastis apabila gaya tendon prategang relatif tetap. Kedua, kemampuan self-centering
diakomodasi oleh tendon prategang. Apabila gaya tendon dijaga selama dan setelah
gaya gempa terjadi maka pilar jembatan akan kembali ke posisi semula.

Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010)

Pada tugas akhir ini akan berfokus pada pendesainan pilar pracetak guideway
sistem hybrid terhadap beban monorel APMS yang berlokasi di Bandara SoekarnoHatta, Tangerang. Struktur ini berfungsi sebagai fasilitas angkutan internal bandara
untuk perpindahan orang dari satu terminal ke terminal lainnya. Selanjutnya, desain
tersebut akan dilakukan analisis statik dan dinamik terhadap beban seismik untuk
mengetahui perilaku pilar pracetak guideway sistem hybrid. Hasil analisis tersebut akan
dibandingkan dengan hasil analisis pilar dengan sistem konvensional yang
menggunakan perkuatan tulangan baja saja.

I.2 Tujuan
Tujuan tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:
a. Melakukan pendesain tendon tanpa lekatan dan baja tulangan pada pilar pracetak
sistem hybrid yang optimal terhadap beban monorel dan gempa yang berada di
kawasan Bandara Soekarno-Hatta

b. Mengetahui level kinerja dan perilaku pilar pracetak sistem hybrid yang didesain
menggunakan metode performance-based terhadap beban monorel dan gempa,
kemudian dianalisis pada kondisi statik (pushover) dan dinamik (time-history
analysis)
c. Membandingkan hasil desain dan analisis (contoh : perilaku, level kinerja, dan lainlain) pilar pracetak sistem hybrid dengan sistem konvensional yang menggunakan
perkuatan tulangan baja.

I.3 Rumusan Masalah


Permasalahan yang melatar-belakangi penulisan tugas akhir ini antara lain:
1. Bagaimana konsep utama dalam mendesain pilar pracetak sistem hybrid di daerah
rawan gempa?
2. Apa saja parameter desain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pilar
pracetak sistem hybrid di daerah rawan gempa?
3. Apa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan sistem hybrid pada pilar
pracetak guideway monorel bila terkena beban gempa?
4. Bagaimana cara mendesain pilar pracetak sistem hybrid pada daerah rawan gempa?
5. Bagaimana level kinerja dan perilaku pilar pracetak sistem hybrid saat menahan
beban gempa?
6. Kenapa sistem hybrid diyakini dapat menggantikan sistem konvensional pada
daerah rawan gempa?

I.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup pada tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:
1. Dimensi (badan, guideway beam, pier head, dan lain-lain) dan sistem struktur
guideway monorel diambil dari spesifikasi yang sudah ada
2. Struktur guideway monorel berfungsi sebagai angkutan internal Bandara SoekarnoHatta, Tangerang yang melayani perpindahan orang dari satu terminal ke terminal
lainnya

3. Pembebanan struktur guideway monorel mengacu pada ACI 343.1R-12 dan SNI
2833-2013. Kelas situs pada lokasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang
diasumsikan SE (tanah lunak)
4. Jenis struktur jembatan guideway monorel adalah integrated and continuous span
(sistem portal) dimana tendon prategang menyatukan lima bentang. Jarak antar
pilar adalah 20 meter
5. Lintasan jembatan yang didesain dan dianalisis hanya bagian lintasan yang lurus
dan bertipe single pier
6. Lingkup peninjauan studi hanya sebatas tendon tanpa lekatan dan tulangan baja
pada pilar struktur jembatan guideway monorel (Substructure).

I.5 Metodologi Pembahasan


Metodologi pembahasan pada tugas akhir ini adalah, antara lain:
1. Pemilihan topik tugas akhir
Topik tugas akhir ini dipilih karena sistem hybrid pada pilar guideway monorel
dapat dikategorikan sebagai sistem yang masih baru di Indonesia. Sedangkan,
sudah banyak penelitian yang meyakinkan bahwa sistem ini memiliki berbagai
keuntungan untuk diterapkan pada daerah rawan gempa, seperti Indonesia.
Penggunaan sistem ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan
periode konstruksi yang panjang dan kerusakan akibat regangan sisa yang besar
pada pilar guideway monorel.
2. Penentuan parameter desain
Penentuan beban hidup merupakan salah satu parameter yang penting dalam
desain. Beban pada struktur guideway monorel berkaitan dengan fungsi struktur
tersebut. Dalam hal ini, beban yang diperhitungkan adalah beban monorail pada
lintasan lurus. Besarnya beban gempa juga harus diperhitungkan agar desain yang
dilakukan dapat menahan base shear yang terjadi. Selain beban, penentuan besar
bukaan pada daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi serta gaya jacking

merupakan hal yang penting. Tendon prategang tanpa lekatan didesain tidak
mengalami kelelehan pada saat gempa utama terjadi.
3. Kajian literatur terkait topik tugas akhir
Literatur yang digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini berkaitan dengan desain
dan analisis pilar pracetak dengan sistem hybrid. Perilaku pilar pracetak
menyerupai dinding geser (shearwall) sehingga terdapat beberapa literatur dinding
geser dengan tendon tanpa lekatan yang digunakan sebagai referensi.
4. Perencanaan dan pemodelan struktur
Pemodelan struktur guideway monorel menggunakan program MIDAS/Civil 2011.
Struktur guideway monorel dimodelkan berbentuk portal lintasan lurus lima
bentang dengan panjang per bentang sebesar 20 meter.
Dalam pemodelan ini, beban yang diperhitungkan adalah beban gempa dan beban
monorel. Beban monorail pada lintasan lurus meliputi berat monorail saat terisi
penuh, faktor kejut, beban rem, beban angin, dan lain-lain.
5. Analisis kinerja struktur
Struktur jembatan guideway monorel yang sudah didesain dengan beban-beban
rencana, akan dianalisis dengan pushover sehingga dapat diketahui kinerjanya. Bila
terjadi beban ultimate, diharapkan struktur jembatan guideway monorel berada
pada kinerja immediate occupancy (IO) atau Life Safety (LS). Selain analisis nonlinier statik, dilakukan juga analisis non-linier dinamik menggunakan analisis nonlinier time-history (NLTHA). NLTHA diharapkan dapat memberikan hasil analisis
tambahan yang menjadi keterbatasan pada analisis pushover, seperti perilaku
sistem struktur pada saat terjadi beban bolak-balik. Hasil yang didapat dari NLTHA
dapat menghasilkan perilaku sistem hybrid yang terjadi pada struktur jembatan
guideway monorel sehingga efek self-centering dapat terlihat.

6. Kesimpulan
Ringkasan hasil akhir dari analisis pushover dan NLTHA dapat menjawab tujuantujuan yang sudah didefinisikan disebelumnya.

Pemilihan
Topik

Perencanaan
dan
Pemodelan
Struktur

Analisis
Kinerja
Struktur

Penentuan
Parameter
Desain

Kajian
Literatur

Kesimpulan

Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir

I.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada proposal tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, rumusan masalah, ruang
lingkup, metodologi pembahasan, dan sistematika penulisan proposal tugas akhir.

BAB II KAJIAN LITERATUR


Menjelaskan perkembangan keilmuan mengenai topik yang diangkat, terutama
berkaitan dengan perencanaan dan analisis pilar jembatan sistem hybrid, meliputi
konsep, kriteria, dan perilaku terhadap beban gempa. Selain itu, terdapat juga
penjelasan singkat mengenai parameter-parameter yang diperhatikan dalam
menganalisis sistem struktur.
BAB III METODOLOGI PENULISAN
Memaparkan tahap-tahap prosedur studi yang dilakukan selama tugas akhir ini. Selain
tahapan, terdapat juga penjelasan dari tahapan dan proses yang dilakukan serta
parameter yang didapatkan pada tahap tersebut. Pada bab ini juga di bahas metode
analisis yang digunakan pada tugas akhir ini.
BAB IV PEMODELAN STRUKTUR
Memaparkan perencanaan dan pemodelan struktur jembatan guideway monorel,
termasuk pembebanan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama pemodelan
dilakukan. Pada bab ini juga dipaparkan pemodelan dari sendi plastis kedua sistem
yang digunakan sebagai input dalam program MIDAS CIVIL 2011. Selain itu, terdapat
juga berbagai peraturan yang digunakan sebagai acuan desain dan pemodelan.
BAB V HASIL PERHITUNGAN
Memaparkan hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway monorel
dan model sendi plastis. Hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway
monorel adalah periode, modal participation masses, defleksi guideway beam,
tegangan beton pada guideway beam, detailing, dan pengecekan efek P-. Sedangkan,
hasil perhitungan dari model sendi plastis adalah tegangan dan regangan material dan
properti sendi plastis.

BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Menguraikan hasil analisis dan pembahasan dari dua macam analisis yang dilakukan.
Analisis yang pertama adalah analisis statik non-linier (pushover) dan yang kedua
adalah analisis dinamik non-linier (Non-Linier Time History atau NLTHA). Fokus
pembahasan pada analisis pushover adalah daktilitas, kapasitas drift, overstrength,
level kinerja struktur dan lain-lain. Sedangkan untuk NLTHA, fokus pembahasan
adalah perilaku struktur yang dihasilkan dari model histeretik yang di-input ke dalam
program MIDAS CIVIL 2011. Pada NLTHA juga dibahas mengenai perbandingan
level kinerja struktur dan sifat self-centering dari sistem hybrid.
BAB VII PENUTUP
Memaparkan simpulan dan saran dari pengerjaan tugas akhir sesuai dengan tujuan yang
telah diharapkan.

10

BAB II
KAJIAN LITERATUR
II.1. Perkembangan Keilmuan Pilar Jembatan Terhadap Beban
Gempa
Pilar jembatan merupakan bagian dari struktur bawah jembatan (substructure).
Fungsinya adalah memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang
ditimbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada
tumpuan, dan lain-lain. Selanjutnya, beban dari struktur bawah jembatan akan
disalurkan ke fondasi lalu ke tanah dasar. Bagian-bagian pilar jembatan adalah kepala
pilar (pier-head), pilar (pier), konsol pendek untuk jacking (corbel), dan tumpuan
(bearing). Bentuk pilar jembatan dapat berupa dinding, pilar, atau portal.
Seiring dengan kebutuhan proses konstruksi yang singkat, sistem konstruksi
jembatan banyak dikembangkan. Berbagai percobaan eksperimental dan studi
analitikal dilakukan untuk menyempurnakan sistem pilar jembatan pracetak.
Alasannya, sistem pracetak menjadi terobosan masa depan yang dapat mengatasi
masalah konstruksi. Berikut adalah contoh jembatan yang menggunakan pilar pracetak.

Gambar II. 1 Jalan Layang Louetta, Houston, Texas dengan sistem post-tensioned

11

Hewes dan Priestly (2001) melakukan percobaan eksperimental dengan empat


buah beton pracetak skala besar untuk pilar jembatan. Tendon post-tensioned tanpa
lekatan diangkur dari fondasi pilar jembatan sampai sambungan cap-beam pada kepala
pilar. Model eksperimental ini dibebani dengan beban seismik. Hasilnya tidak terjadi
slip antara segmen pracetak dan regangan sisa yang minimum.
Mandawe et al. (2002) melakukan percobaan untuk mengetahui perilaku siklik
pada enam buah pilar dengan sambungan cap-beam yang tidak terdapat tendon posttensioned. Sambungan tersebut dipasang tulangan baja dilapisi epoksi yang di-grout ke
dalam duct. Penelitian ini menghasilkan bahwa sambungan tulangan baja dapat
digunakan untuk pilar jembatan pracetak pada daerah rawan gempa. Akan tetapi,
kerusakan akibat tarik yang berat pada daerah sendi plastis.
Sakai dan Mahin (2004) serta Kwan dan Billington (2003) melakukan studi
analitikal pilar jembatan pracetak dengan berbagai proporsi tulangan baja dan tendon
prategang tanpa lekatan. Hasilnya, bila proporsi tendon prategang bertambah, maka
disipasi energi dan regangan sisa akan berkurang.
Billington dan Yoon (2004) mengusulkan untuk menggunakan material ductile
fiber-reinforced cement-based composite (DRFCC) untuk pilar jembatan pracetak pada
daerah join dimana plastifikasi atau perilaku inelastik terjadi. Berdasarkan
eksperimental, DRFCC dapat menghasilkan tambahan energi disipasi, tetapi
meningkatkan regangan sisa.

II.1.1. Perilaku Pilar Jembatan Monolit dan Pracetak Terhadap Beban


Lateral
Pada perkembangan awal, pilar jembatan didesain monolit dengan tulangan baja
sebagai perkuatan utama. Dampaknya, pemilihan lokasi terjadinya perilaku inelastik
sangat penting. Umumnya, lokasi terjadinya perilaku inelastik pada pilar jembatan
akan terbentuk sendi plastis. Tulangan baja leleh dan regangan plastis beton bekerja
bersama-sama menghasilkan disipasi energi gempa. Deformasi material tersebut yang
menyebabkan rotasi dan perpindahan di pilar bagian atas.

12

Gambar II. 2 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja (Heiber et al., 2005)

Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et al.)

Berbeda untuk pilar jembatan pracetak (precast), deformasi pada pilar tidak
hanya disebabkan deformasi plastis pada daerah join di dasar pilar. Akan tetapi,
deformasi disebabkan oleh rotasi keseluruhan segmen pilar terhadap dasarnya. Perilaku
pada pilar pracetak menyerupai fondasi goyang (rocking foundation), yaitu fondasi
akan terangkat dari tanah ketika momen tahanan dari gravitasi sudah terlampaui oleh
beban. Prinsipnya, beban vertikal (berat sendiri pilar dan beban lain di atas pilar
jembatan) yang terjadi pada pilar jembatan akan menghasilkan momen tahanan
terhadap beban lateral sehingga mencegah pilar jembatan guling. Akan tetapi pada
kenyataannya, beban vertikal tidak dapat menghasilkan momen tahanan yang cukup
untuk menahan beban lateral yang dihasilkan oleh gempa, maka tendon prategang
adalah salah satu solusinya. Gaya tekan yang dihasilkan dari tendon prategang akan

13

menambah momen tahanan cukup signifikan. Hanya saja, energi disipasi dari kurva
histeretik beton pracetak yang menggunakan tendon prategang relatif lebih rendah
dibandingkan beton monolit yang menggunakan tulangan baja (Hewes and Priestly,
2002).

Gambar II. 4 Perilaku pilar jembatan pracetak terhadap beban lateral (Hewes and Priestly, 2002)

Ide dari penggunaan pilar jembatan sistem hybrid pada pilar pracetak dapat
digambarkan sebagai berikut.

Gambar II. 5 Konsep sistem hybrid (Guerra et al.)

14

Sistem hybrid diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai kendala-kendala dalam
penerapan pilar pracetak di daerah seismik. Berikut adalah perilaku dari pilar pracetak
sistem hybrid.

Gambar II. 6 Perilaku histeretik sistem hybrid (Guerra et al.)

Selain itu, terdapat juga mekanisme yang dihindari dalam pendesainan pilar pracetak
sistem hybrid pada saat terjadi beban seismik, sebagai berikut.

Gambar II. 7 Mekanisme yang dihindari dalam pendesainan sistem hybrid

15

II.1.2. Contoh Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid


Hieber et al. (2005) mengusulkan desain antara pilar jembatan pracetak dan capbeam dengan sistem hybrid. Tendon prategang dan tulangan baja diangkur dari fondasi
pilar sampai kepala pilar dan berada di tengah sumbu netral pilar. Sistem ini juga dapat
diaplikasikan pada fondasi yang dicor ditempat. Berikut adalah sketsa desainnya.

Gambar II. 8 Contoh desain tampak pilar jembatan sistem hybrid (Hieber et al., 2005)

Pilar Jembatan pracetak didesain dapat bergoyang saat terjadi gempa. Rotasi pilar
akibat perpindahan lateral relatif antara cap-beam dan fondasi yang mengakomodasi
terbentuknya bukaan pada muka atas dan bawah pilar. Selama beban gempa terjadi,
disipasi energi terjadi akibat perilaku histeretik dari tulangan baja. Tendon prategang
tanpa lekatan didesain tidak mengalami kelelehan selama gempa terjadi. Tendon
prategang tanpa lekatan tidak mengalami kelelehan dikarenakan kenaikan regangan,
selama pilar bergoyang, didistribusikan keseluruh panjang tendon. Oleh karena tetap
elastik, tendon prategang tidak menghasilkan disipasi energi, tetapi menghasilkan sifat
self-centering. Sifat ini yang menyebabkan sistem hybrid memiliki regangan sisa yang
kecil setelah gempa terjadi.

16

Tulangan baja perlu diberikan panjang penyaluran agar tidak patah akibat
regangan yang besar pada bukaan daerah join. Berikut merupakan ilustrasi sambungan
pada daerah join bawah pilar. Satu hal yang tidak kalah penting adalah proteksi tendon
prategang terhadap korosi. Korosi dapat menyebabkan kehilangan gaya prategang
sehingga menyebabkan kehilangan sifat self-centering. Akibatnya, regangan yang
lebih besar akan terjadi pada tulangan baja.

Gambar II. 9 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja dan tendon prategang tanpa lekatan
(Heiber et al., 2005)

17

Berikut contoh metode konstruksi untuk pilar jembatan sistem hybrid:

1). Buat fondasi bor dengan sistem cor

2). Posisikan pilar jembatan pracetak

3). Sambungkan pilar jembatan

ditempat dengan metode konvensional

dan sambungkan ke fondasi

dan kepala pilar

4). Tempatkan girder diatas

5). Cor diafragma jembatan (sisakan

6). Buat dek jembatan diatas

kepala pilar

bagian atas diafragma) dan jacking tendon

girder

7). Cor sisa diafragma jembatan

8). Lakukan Finishing jembatan

Gambar II. 10 Metode konstruksi pilar jembatan dengan tendon tanpa lekatan post-tensioned

18

II.2. Konsep Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid


II.2.1. Konsep Desain Jembatan Seismik Berbasis Kinerja (PBSD)
Dalam pendesainan jembatan di daerah seismik, AASHTO membagi dua buah
metode desain yaitu desain berbasis kekuatan (force-based method) dan berbasis
perpindahan (displacement-based method). Desain berbasisi kekuatan (AASHTO
LRFD) merupakan suatu metode desain gempa yang didasarkan pada gaya yang
dikenakan pada struktur. Desain berbasis perpindahan (AASHTO SGS) merupakan
suatu metode perencanaan gempa untuk menentukan kekuatan sendi plastis yang
dibutuhkan dalam memenuhi syarat batas kinerja dengan mengetahui batas regangan
dan pergeseran horizontal (Ellys Lim, 2012).
Filosofi desain metode berbasis kekuatan adalah desain elastik yang
membutuhkan informasi mengenai kinerja struktur dan gaya dalam yang terjadi pada
struktur saat gempa. Kekuatan desain didapatkan dari gaya dalam akibat gempa yang
direduksi dengan faktor R ditambah dengan gaya dalam akibat beban non-seismik.
Pada umumnya, kekuatan desain didapatkan pada lokasi terjadinya sendi plastis.
AASHTO LRFD membagi tiga klasifikasi operasional untuk jembatan, yaitu critical,
essential, dan other.
Pada kondisi essential, jembatan harus dapat melayani kendaraan darurat (polisi,
pemadam kebakaran, dan lain-lain) walaupun terkena beban gempa ulang 1000 tahun.
Pada kondisi critical, jembatan harus dapat melayani seluruh kendaraan walaupun
terkena beban gempa ulang 2500 tahun. Sedangkan, untuk kondisi other, tidak diatur
lebih lanjut.
Kesulitan pada metode berbasis kekuatan adalah satu nilai R tidak dapat
mencerminkan kinerja daktilitas dari konfigurasi struktur tertentu. Contohnya,
konfigurasi dengan dua buah pilar tulangan baja yang berbeda tingginya akan memiliki
daktilitas yang berbeda. Pilar yang lebih panjang akan memiliki daktilitas yang lebih
rendah. Pada kasus ini, lebih relevan untuk menggunakan metode desain berbasis
perpindahan.
19

Metode desain berbasis perpindahan berfokus pada pengecekan kapasitas


deformasi sistem dibandingkan pemilihan kekuatan leleh atau elemen pendisipasi
energi. Pendesainan metode ini dilakukan trial and error dengan mengasumsikan nilai
kapasitas deformasi yang ingin dicapai dan pada akhirnya akan dicek apakah struktur
yang didesain mencapai kapasitas deformasi yang diasumsikan pada awal desain.
Seluruh parameter desain, seperti sengkang, sudah diperhitungkan pada asumsi nilai
kapasitas deformasi. Metode desain ini dapat dilakukan dengan mencari hubungan dari
kurvatur elemen, kemudian rotasi elemen, dan terkahir dengan perpindahan elemen dan
sistem .

Gambar II. 11 Ilustrasi tiga buah komponen penting pada metode berbasis perpindahan (NCHRP 440,
2013)

20

Kriteria penggolongan kinerja metode berbasis perpindahan mengacu pada


CALTRANS, 2010b.
Tabel II. 1 Kriteria penggolongan kategori jembatan terhadap level kinerja jembatan

Kriteria Kinerja Seismik Berdasarkan CALTRANS (CALTRANS, 2010b)


Oleh karena berbagai perbedaan antara metode desain berbasis kekuatan dan
perpindahan, desain berbasis perpindahan lebih cocok diterapkan dengan metode
desain berbasis kinerja untuk penyempurnaan desain. Hal ini dikarenakan pada

21

metode desain berbasis kekuatan tidak dilakukan pengecekan terhadap kecukupan


deformasi yang dibutuhkan pada saat terjadi gempa.
Konsep desain berbasis kinerja (PBSD) adalah suatu proses yang berhubungan
dengan pengambilan keputusan desain infrastruktur secara rasional dan ilmiah dengan
mempertimbangkan beban seismik, perilaku, dan kerusakan potensial infrastruktur
(Krawinkler dan Miranda, 2004 ; Moehle dan Deierlein, 2004). Dengan PBSD, dapat
diketahui tingkat keamanan infrastruktur, kerugian ekonomi dan kerusakan
infrastruktur setelah gempa terjadi.

Gambar II. 12 Kurva perpindahan terhadap base shear didapatkan dari analisis pushover (Moehle dan
Deierlein, 2004)

22

Berdasarkan kurva diatas, didapatkan informasi, sebagai berikut :

Ilustrasi kerusakan jembatan yang tergambar diatas kurva

Level kinerja jembatan : Fully Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse

Biaya perbaikan kerusakan terhadap biaya penggantian jembatan baru

Potensi gangguan keselamatan jiwa pada berbagai level kinerja jembatan

Estimasi waktu jembatan tidak dapat digunakan.

Secara singkat, PBSD dibagi menjadi empat tahap desain sederhana berdasarkan
Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER), sebagai berikut :
1. Analisis bahaya seismik dengan memperkirakan beban seismik yang akan terjadi
pada daerah akan dibangun jembatan berdasarkan pengukuran intensitas (IM).
Contohnya adalah spektra percepatan (SA)
2. Analisis struktur berdasarkan dengan perilaku struktur terhadap beban seismik
yang terkait kebutuhan parameter rekayasawan (EDPs), seperti regangan, rotasi,
perpindahan, drift, atau gaya dalam
3. Analisis kerusakan berdasarkan perilaku struktur terhadap pengukuran kerusakan
(DMs) yang menggambarkan kondisi struktur, seperti level kinerja : Fully
Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse
4. Analisis kerugian berdasarkan kerusakan infrastruktur terhadap beberapa tipe
variable keputusan (DV), seperti biaya perbaikan, tingkat gangguan keselamatan
jiwa, maupun lamanya jembatan tidak dapat digunakan.

Gambar II. 13 Diagram alir PBSD

23

Lebih rinci, PBSD juga memiliki level kinerja jembatan (PLs) yang harus dipenuhi
berdasarkan kemungkinan bahaya gempa yang akan dialami jembatan dan umur
jembatan yang diinginkan (ASL). Kemungkinan bahaya gempa dibagi menjadi dua,
yaitu gempa dengan periode ulang 100 tahun dan 1000 tahun.
Tabel II. 2 Minimum level kinerja untuk jembatan (FHWA, 2006)

Umur jembatan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

ASL 1 : 0-15 tahun

ASL 2 : 16-50 tahun

ASL 3 : >50 tahun

Level kinerja jembatan dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

PL0 : No minimum, yaitu tidak ada minimum level kinerja jembatan yang diatur

PL1 : Life safety, yaitu terdapat kerusakan utama pada jembatan, operasional
jembatan terganggu, tetapi keselamatan jiwa terjamin. Terdapat kemungkinan
jembatan harus diganti sesudah terjadi gempa rencana.

PL2 : Operational, yaitu kerusakan pada jembatan minimum dan kendaraan darurat
dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan pembersihan puing. Jembatan dapat
diperbaiki dengan atau tanpa rekayasa lalu lintas.

PL3 : Fully operational, yaitu tidak terdapat kerusakan pada jembatan dan seluruh
kendaraan yang direncanakan dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan
pembersihan puing. Jembatan dapat diperbaiki tanpa mengganggu lalu lintas.

24

Dalam melakukan desain terhadap level kinerja yang diinginkan, dapat melihat dengan
beberapa hubungan. Salah satunya hubungan deformasi terhadap base shear

Gambar II. 14 Hubungan level kinerja dengan kurva deformasi terhadap base shear (FEMA-356)

Keterangan :

Immediate Occupancy (IO) : terdapat deformasi permanen, kerusakan yang dapat


dilihat dengan kasat mata, tetapi deformasi tidak lebih besar dari 0,67 deformasi
maksimum life safety.

Life Safety (LS) : deformasi maksimum adalah 0,75 deformasi point C.

Collapse Prevention (CP) : deformasi yang lebih besar dari deformasi point C,
tetapi tidak lebih besar dari 0,75 deformasi point E.

Hubungan lainnya, level kinerja jembatan dapat diketahui dengan melihat batas-batas
parameter yang terdapat pada jembatan.

25

Berikut adalah kriteria kerusakan berdasarkan parameter jembatan untuk mengetahui


level kinerja jembatan.
Tabel II. 3 Parameter level kinerja atau desain jembatan SRPH-1 (Hose dan Seible 1999)

Tabel II. 4 Perkiraan hubungan kerusakan dan kinerja jembatan

26

II.2.2. Berbagai Tipe Analisis Struktur


Dalam melakukan desain menggunakan PBSD, sangat penting untuk menganalisis
perilaku struktur terhadap gempa secara akurat. Pada umumnya, analisis struktur dibagi
menjadi empat, sebagai berikut.
Tabel II. 5 Tipe analisis struktur

Analisis Statik Linear


Prinsip analisis ini adalah menggunakan beban ekivalen statik yang merepresentasikan
distribusi gaya akibat gempa pada struktur. Analisis ini cocok digunakan untuk struktur
yang sederhana dan didominasi oleh mode pertamanya. Analisis ini memprediksi
perilaku elastik linear dan perilaku inelastiknya harus dianalisis terpisah. Contoh
metode ini adalah dalam mendesain kinerja struktur, diperbolehkan menggunakan
faktor R yang sesuai dengan kategori keutamaan jembatan untuk mereduksi kekuatan
desain sehingga terjadi deformasi plastis. Analisis ini diadopsi pada metode desain
berbasis kekuatan (AASHTO LRFD), hanya saja tidak cocok untuk digunakan pada
PBSD.
Analisis Dinamik Linear
Prinsip analisis ini adalah penggunaan analisis respons spektra (RSA) untuk
mengetahui besarnya perilaku (seperti perpindahan, momen, dan geser) berdasarkan
faktor partisipasi, perilaku, dan redaman tiap mode. Pada umumnya, modal partisipasi
massa pada mode satu dan dua adalah dominan (paling sedikit 90%). Walaupun
analisis ini dapat memprediksi perilaku elastik dinamik untuk struktur sederhana dan
kompleks, analisis ini memiliki keterbatasan untuk memprediksi perpindahan inelastik,
deformasi plastis, maupun gaya dalam ketika terjadi kelelehan dalam sistem struktur.

27

Analisis ini cocok untuk PBSD apabila struktur sengaja didesain elastik selama gempa
terjadi. Analisis ini diadopsi pada metode desain berbasis perpindahan (AASHTO
SGS).
Analisis Statik Non-Linear
Analisis ini biasanya dikenal dengan nama analisis pushover. Analisis Pushover
menghasilkan kurva kapasitas yang dapat diolah untuk mengetahui kapasitas gaya dan
deformasi non-linear dari struktur. Perilaku struktur juga dapat diamati dari kurva
kapasitas, seperti daktilitas, koefisien modifikasi, dan over-strength. Terdapat dua tipe
pushover, yaitu kontrol gaya dan kontrol perpindahan. Pada dasarnya, gaya atau
perpindahan akan bertambah secara terus-menerus (monoton) sampai batas yang ingin
diamati selama analisis ini. Besarnya gaya atau perpindahan yang diberikan hingga
membuat struktur gagal. Selain kapasitas, analisis pushover dapat menghasilkan
kinerja struktur bila terjadi gempa. Kurva kapasitas yang didapatkan diplot secara
ADRS (acceleration displacement response spectra) dan dibandingkan dengan respons
spektra gempa yang terjadi pada struktur. Titik perpotongan kedua kurva adalah
performance point. Evaluasi kinerja dan desain struktur dapat diketahui dari hasil
performance point.

28

Gambar II. 15 Skema penentuan performance point untuk prosedur A (ATC-40)

Gambar II. 16 Diagram alir analisis statik non-linear (FEMA 440)

Analisis statik non-linear dibagi menjadi dua, yaitu satu derajat kebebasan (SDOF) dan
banyak derajat kebebasan (MDOF). Pada SDOF, terdapat dua metode, yaitu metode

29

koefisien dan linearisasi ekivalen. Sedangkan MDOF, memiliki dua metode, yaitu
analisis modal pushover dan prosedur kombinasi modal adaptif. Untuk pendesainan
jembatan, cukup dengan menggunakan SDOF untuk analisis statik non-linear,
sedangkan MDOF untuk gedung tinggi.
Analisis Dinamik Non-Linear
Analisis ini dinamakan non linier time-history, merupakan tambahan dari analisis
linear responsse history dengan material dan perilaku geometri non-linear. Untuk
melakukan analisis dengan hasil yang optimal, diperlukan beberapa data ground
motion. Setiap ground motion mengandung komponen goyang dua arah horizontal dan
komponen goyang arah vertikal. Kesulitan dalam analisis ini adalah pemilihan dan
kalibrasi skala dalam memasukan gound motion (NEHRP, 2011), kalibrasi dan validasi
perilaku histeretik elemen, perilaku redaman elastik (Charney, 2008), dan
permasalahan komputasi (waktu proses). Pada analisis ini juga terdapat metode
simplifikasi yang disebut respons spektra daktilitas konstan atau inelastik. Metode ini
merupakan tambahan dari respons spektra elastik.

II.2.3. Pembebanan Monorel


Pembebanan monorel yang digunakan tugas besar ini mengacu pada ACI 343.1R-12
dan SNI 2833-2013. Beban-beban dan kombinasinya yang didefinisikan adalah,
sebagai berikut :
Beban Tetap (Sustained Loads)
Beban tetap yang ditetapkan pada ACI 343.1R-12, sebagai berikut :

Beban mati, seperti berat elemen prefabrikasi, berat elemen yang dicor ditempat,
berat lintasan dan perlengkapannya (lintasan monorel, dinding penahan, panel
peredam suara, dan lain-lain)

Beban tetap lainnya, seperti beban akibat perbedaan settlement (SE), tekanan tanah
(EH), efek dari gaya prategang (PS), atau kekangan struktur eksternal (ER). Selain
itu, dapat diperhitungkan juga gaya akibat buoyancy (B).

30

Beban Sementara (Transient Loads)

Beban hidup dan turunannya

Beban vertikal dari monorel (LL)


Beban ini diambil sesuai dengan jenis monorel yang beroperasi diatas
jembatan.

Faktor kejut (IM)


Merupakan beban dinamik minimum yang diperhitungkan. Beberapa parameter
yang harus diperhitungkan, sebagai berikut.
= =

()
()

1 () = =

2 2

Keterangan:
l

= panjang bentang, dari as ke as perletakkan, (m)

= masa per unit panjang dari guideway, termasuk seluruh beban mati
yang dipikul dan berat sendiri guideway, (kg/m)

Ec

= modulus elastisitas dari guideway, (Pa)

Ig

= momen inersia dari guideway, (m4)

VCF

= frekuensi monorel (Vehicle Crossing Frequency), Hz

31

Tabel II. 6 Beban dinamik minimum (ACI 343.1R-12)

Beban Rem (LFe dan LFn)


Beban rem bekerja bersama-sama dengan LL pada semua roda dan dapat
diberikan ke depan bila terjadi pengereman atau perlambatan dan ke belakang
bila terjadi percepatan.
Tabel II. 7 Beban rem (LF) (ACI 343.1R-12)

Beban Hunting atau Nosing (HF)


Monorel yang terdiri dari beberapa gerbong memiliki pergerakan yang tidak
selalu menetap pada rel seperti pergerakan ular. Akibatnya, interaksi lateral
antara monorel dan balok guideway menimbulkan beban hunting. Beban ini
diberikan dengan arah lateral pada titik kontak antara roda-roda monorel dan
guideway.
Tabel II. 8 Beban hunting (HF) (ACI 343.1R-12)

32

Bila beban sentrifugal dan hunting bekerja bersama-sama, maka diambil beban
yang nilainya lebih besar saja. Bila jenis roda monorel yang digunakan
berbahan karet, maka nilai friksi tidak perlu diperhitungkan.

Beban angin (WL)


Perencanaan beban angin untuk daerah Jakarta dan sekitarnya diambil sebesar 90
km/jam kecuali diberikan secara khusus. Berdasarkan ACI 343.1R-12, beban angin
yang diberikan pada pemodelan adalah, sebagai berikut:
a. Pada struktur guideway, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu
netral dari struktur guideway.
b. Pada monorel, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu netral dari
monorel atau 1,822 m diatas struktur guideway.

Efek Temperatur
Pengaruh temperature akan mempengaruhi perubahan volume dan pergerakan pada
guideway yang menyebabkan adanya beban tambahan sehingga untuk pemodelan
struktur yang akan mengalami kekangan harus dikaji lebih teliti. Terdapat dua
bagian yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
a. Kisaran Temperatur
Untuk Jakarta dan sekitarnya, perbedaan temperature untuk periode ulang 75
tahun berkisar antara 23oC sampai dengan 37oC atau dapat juga diambil 7oC
dari rata-rata temperatur 30oC.
b. Koefisien Perbesaran Termal
6
Koefisien untuk setiap perubahan suhu 1oC diambil sebesar 12 10

untuk baja dan beton.

Rangkak Beton (CR)


Rangkak merupakan fungsi kelembaban relatif, rasio volume-luas permukaan, dan
lamanya pembebanan. Rangkak juga dipengaruhi oleh jumlah tulangan, besarnya
gaya prategang, umur beton ketika pembebanan dimulai, dan spesifikasi beton.

33

Besarnya rangkak pada r-hari pembebanan dapat dihitung dengan rumus, sebagai
berikut:
=
Dengan merupakan tegangan elastik awal sedangkan , , dan merupakan
faktor koreksi terhadap kelembaban, rasio volume-luas, dan waktu yang nilainya
dihitung sebagai berikut:
= 4,25 0,25

Untuk 0 250 = [1 250


] + 0,7

Untuk > 250 = 0,7


= 1 0,08
= 0,08%
Keterangan :
rv = rasio volume luas permukaan
t = waktu setelah pembebanan bekerja atau gaya prategang (hari)
H = kelembaban relatif (85%)

Susut Beton (SH)


Susut merupakan perubahan volume yang dialami beton sehingga volume beton
mengecil akibat beton kehilangan kandungan air selama masa pengerasan (efek
hidrasi beton). Besar susut dapat diperhitungkan dengan rumus, sebagai berikut:
=
Dengan merupakan tegangan susut ultimate sedangkan dan merupakan
faktor koreksi terhadap rasio volume-luas dan waktu yang nilainya dihitung sebagai
berikut:

2
= 550 [1 (
) ] 106
100

Untuk 0 300 = [1 300


] + 0,5

Untuk > 300 = 0,5

34

= 1 0,1
:
rv = rasio volume luas permukaan
t = waktu setelah (7 hari)
H = kelembaban relatif (85%)

Beban Seismik
Struktur monorel didesain untuk dapat menahan beban gempa dengan kinerja yang
memuaskan. Beban seismik dalam pemodelan akan diberikan sesuai dengan SNI
2833-2013 menggunakan respons spektra.

Kombinasi Pembebanan
Kombinasi pembebanan yang digunakan adalah pada kondisi service untuk mendesain
guideway beam dan ultimate untuk mendesain pilar jembatan. Kombinasi pembebanan
dapat menggunakan sesuai pada peraturan atau ditentukan sesuai dengan pertimbangan
dari pendesain. Pada tugas besar ini, kombinasi pembebanan berdasarkan ACI 343.1R12. Berikut adalah kombinasi pembebanannya.
Tabel II. 9 Kombinasi pembebanan service (atas) dan ultimate (bawah)

Group DL SDL LL+I PS LFn WS WL CF or


HF
S1

S2

0.3 0.3 1

S3

0.3 0.3

S4

S4-1

SH+CR Diff

35

EQ

1
1

0.67

Group DL* SDL LL+I PS LFe WL+ WS CL


WS
U0

1.3

1.3

1.7

U1

1.3

1.3

1.4

U2

1.3

1.3

1.4

U3

1.3

1.3

1.4

U3-1

1.3

1.3

1.4

U4

1.3

1.3

1.4

U6

1.3

1.3

1.5
1
1.4

CF or
HF

SH+C Diff EQ
R

1.7

1.4

1.4

1.4

1.4

1.4

1.5

1.3

Keterangan :
DL

= beban mati

HF

= beban hunting

Sdl

= beban mati tambahan

CL

= collision force

LL+I = beban hidup dan impak

= beban temperatur

PS

= efek gaya prategang

SH

= susut pada beton

WS

= beban angin pada struktur

CR

= rangkak pada beton

WL

= beban angin pada monorel

Diff

= perbedaan penurunan

LFn

= beban rem normal

EQ

= beban gempa

LFe

= beban rem darurat

*Pada kombinasi U3-1, beban gempa untuk arah x dan y dikombinasikan 1 untuk suatu arah dan 0.3
untuk arah lainnya, serta dikombinasikan nilai positif dan negatif.

II.2.4. Perencanaan Pilar Jembatan Pracetak Sistem Hybrid


Belum adanya suatu peraturan khusus mengenai perencanaan pilar jembatan pracetak
tendon prategang tanpa lekatan post-tensioned pada daerah seismik. Karya ilmiah,
studi analitis, dan percobaan eksperimental masih dilakukan untuk mengetahui
perilaku sistem ini terhadap gaya gempa. Oleh karena itu, acuan peraturan yang relevan
adalah ACI ITG-5.2-09 Requirement for Design of a Special Unbonded PostTensioned Precast Shear Wall Satisfying ACI ITG-5.1-07 and Commentary. Terdapat
beberapa spesifikasi yang harus dipenuhi bila mengacu pada ACI ITG-5.2-09, yaitu :

36

1. Pada arah vertikal, tidak boleh ada diskontinuitas sistem peredam gaya lateral (gaya
gempa) yang signifikan dan sistem didesain hanya memiliki satu daerah kritis
untuk menahan gaya aksial dan lentur, yaitu di bawah pilar.
2. Tendon post-tensioned tanpa lekatan diangkur dari ujung ke ujung pilar dan lokasi
duct tunggal berada di sumbu netral dari potongan melintang pilar. Bila duct
berjumlah dua atau lebih, harus diletakan secara simetris di sisi-sisi sumbu netral
dan tidak lebih dari 10% panjang dari sumbu netral ke tepi potongan melintang.
3. Disipasi energi diakomodasi oleh tulangan baja yang berada di daerah join antara
muka pilar bawah dan atas fondasi. Tulangan baja pada daerah ini disebut (tulangan
pendisipasi energi atau energy-dissipating energy)
4. Tendon tanpa lekatan didesain tidak mengalami kelelehan saat daerah join terbuka
dan struktur mencapai perpindahan desain. Sedangkan, tulangan pendisipasi energi
didesain leleh pada kondisi tersebut.

Gambar II. 17 Konfigurasi sistem hybrid pada dinding geser

37

Dalam perencanaan yang lebih mendetail, maksimum drift ( ) yang dijinkan tidak
melebihi nilai yang dihitung dengan formula berikut.
0,9 0,8[ ] + 0,5 3,0, [ ] 0,5
= 23
Berdasarkan percobaan eksperimental, nilai [ ] 0,5 akan memberikan
perilaku dominan perpindahan akibat lentur. Bila [ ] < 0,5, akan memberikan
perilaku dominan perpindahan akibat geser. Untuk menghitung minimum gaya
prategang mengacu pada formula berikut.
+ 0,9 =
Dengan merupakan kekuatan tarik dari tulangan pendisipasi energi,
merupakan berat sendiri ditambah dengan seluruh beban tambahan, dan adalah
kekuatan gaya prategang.

Gambar II. 18 Kurva perilaku dinding geser antara perpindahan dan beban lateral

Untuk memenuhi spesifikasi pada poin keempat, tulangan pendisipasi energi


diharuskan sudah leleh sebelum nilai mencapai 0,95 . Tulangan pendisipasi
energi harus memiliki kekuatan yang dapat memikul paling sedikit 25% dari
kekuatan lentur sistem pada daerah join. Tulangan pendisipasi energi juga diharuskan
untuk diberikan panjang pengangkuran sebesar 25 bila diangkur pada metal duct
yang bergelombang.
38

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Umum
Metodologi penelitian merupakan pemaparkan dari tahapan-tahapan studi dan analisis
selama pengerjaan tugas akhir. Secara umum, metodologi penelitian pada tugas akhir
ini dapat dibedakan menjadi dua bagian utama, yaitu :
1. Prosedur studi
2. Metode analisis

Pendahuluan

Menguraikan latar belakang, tujuan


yang ingin dicapai dan batasan-batasan
pada tugas akhir
Dibutuhkan kajian literatur untuk
menjawab latar belakang dan mencapai
tujuan dari tugas akhir

Kajian
Literatur

Memaparkan kajian literatur dari berbagai


sumber, seperti peraturan, jurnal ilmiah,
maupun buku-buku.
Dibutuhkan metodologi penelitian untuk
mengaplikasikan kajian literatur ke dalam
tugas besar

Metodologi
Penelitian

Penerapan
kajian
literatur
dilakukan dengan penyusunan
suatu prosedur untuk mencapai
tujuan
berdasarkan
metode
analisis yang sudah ditentukan

Gambar III. 1 Diagram alur pembentukan metodologi penelitian

39

III.2. Prosedur Studi

Gambar III. 2 Diagram alir pendesainan sistem hybrid dan konvensional

40

Berikut adalah penjelasan mengenai tahapan-tahapan yang terdapat pada diagram alir
diatas:
1. Penentuan Parameter Jembatan
Dalam mendesain suatu jembatan, penentuan berbagai parameter merupakan hal
yang penting, seperti fungsi, material, dimensi dan jumlah bentang jembatan, tipe
struktur jembatan, lokasi, dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk menentukan
berbagai besaran desain pada tahap preliminary design. Berbagai parameter
jembatan sudah disebutkan pada bab I
2. Pembebanan Jembatan
Pembebanan jembatan yang digunakan pada tugas akhir ini mengacu pada ACI
343.1R-12 untuk beban-beban pada jembatan guideway monorel dan SNI 28332013 untuk beban seismik, yaitu gempa. Beban-beban non-seismik pada tugas
akhir ini adalah beban tetap, monorel dan kejut, rem, efek temperatur, rangkak dan
susut, hunting, prategang dari guideway beam tendon, dan angin
3. Preliminary Design Struktur
Tahap preliminary design merupakan tahap perencanaan awal pada proses desain
suatu struktur. Tujuannya adalah memperkirakan model struktur yang paling sesuai
dengan kondisi di lapangan. Hasilnya adalah dimensi dan desain dari elemenelemen pemikul beban, seperti pilar jembatan, guideway beam, pier head,
kebutuhan jacking stress untuk guideway beam tendon, dan lain-lain. Pendesainan
pada tahap ini berdasarkan AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Specification 6th
Edition dan AASHTO LRFD 2011 Seismic Bridge Design Specification 2th Edition
4. Pemodelan Struktur
Pemodelan struktur pada tugas akhir ini menggunakan MIDAS CIVIL 2011.
MIDAS CIVIL 2011 dipilih karena dapat memodelkan tendon prategang dan
memasukan parameter-parameter untuk kebutuhan non-linier, seperti kurva
backbone monotonik, diagram interaksi, hingga model histeretik. Pada sistem yang
akan ditinjau memiliki karakteristik tersendiri untuk perilaku non-liniernya

41

sehingga diperlukan user input pada sendi plastisnya. Diperlukan dua buah model
struktur dengan sistem yang berbeda, yaitu sistem konvensional dengan tulangan
biasa dan sistem hybrid dengan tambahan tendon prategang unbonded. Kedua
model memiliki kesamaan pemodelan struktur, tetapi memiliki perbedaan dalam
detailing dan parameter-parameter sendi plastis
5. Pengecekan Persyaratan Struktur
Pengecekan persyaratan struktur pada jembatan tidak sebanyak dibandingkan pada
bangunan. Pada jembatan, persyaratan-persyaratan desain mengarah pada
pembebanan, metode desain, dan detailing dibandingkan persyaratan hasil desain
struktur, seperti periode dan drift struktur. Pengecekan persyaratan struktur
mengacu pada AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Specification 6th Edition dan
AASHTO LRFD 2011 Seismic Bridge Design Specification 2th Edition.
Pengecekan struktur dalam tugas akhir ini adalah pengecekan deformasi (chamber)
dari guideway beam, kelangsingan pilar, dan besarnya stress pada guideway beam
tendon.
6. Detailing Pilar
Detailing pilar merupakan tahap pendesainan tulangan longitudinal, sengkang
(confinement), panjang penyaluran, dan lain-lain, pada daerah dan diluar daerah
sendi plastis. Pada sistem hybrid, tahap detailing mencangkup desain jumlah
tendon dan besarnya stress pada tendon unbonded. AASHTO LRFD 2012 Bridge
Design Specification 6th Edition, CALTRANS Seismic Design Criteria SDC 1.7,
SNI 2847-2013 dan SNI 2833-2013 digunakan sebagai acuan dalam melakukan
detailing pilar. Selain itu, program SP Column digunakan untuk membantu dalam
pendesainan tulangan longitudinal yang sesuai dengan persyaratan untuk sistem
konvensional. Sedangkan, untuk detailing sistem hybrid dibuat menyerupai
kapasitas sistem konvensional.

42

7. Pengecekan Efek P-
Pengecekan Efek P- dari struktur jembatan guideway monorel dapat dilakukan
setelah tahap detailing pilar sudah dilakukan. Persyaratan efek P- diatur pada
AASHTO LRFD 2012 yang membutuhkan hasil dari detailing pilar. Efek P-
harus dipenuhi agar tidak terjadi penurunan kekuatan saat plastifikasi terjadi
8. Pemodelan Sendi Plastis dan Perhitungan Properti Sendi Plastsis.
Sebelum melakukan pemodelan sendi plastis dan perhitungan properti sendi plastis
pada MIDAS CIVIL 2011, diperlukan membuat diagram interaksi dan properti
sendi plastis, khususnya untuk sistem hybrid. EXTRACT adalah program yang
digunakan untuk membantu dalam membuat kurva momen-kurvatur sistem hybrid
maupun konvensional dan diagram interaksi untuk sistem hybrid. Selanjutnya,
hasil dari EXTRACT diolah menjadi kurva monotonik backbone dan model
histeretik sesuai ketentuan ASCE 41-13 sebagai input pada MIDAS CIVIL 2011
untuk mendefinisikan parameter non-linier pada pushover analysis dan non-linier
time history analysis.
9. Analisis Perbandingan Sistem Konvensional dan Hybrid
Setelah melakukan analisis pushover dan non-linier time history, maka dapat
dilakukan analisis perbandingan untuk kedua sistem. Beberapa parameter yang
ditinjau pada studi ini adalah residual drift, level kinerja struktur, daktilitas,
overstrength, kapasitas drift, dan lain-lain.

III.3. Metode Analisis


Secara umum, terdapat dua metode analisis dalam mengevaluasi kinerja struktur secara
non-linier, yaitu:
a. Analisis statik non-linier (pushover analysis)
b. Analisis riwayat waktu non-linier (NLTHA)

43

Metode analisis statik non-linier yang digunakan pada tugas akhir ini adalah analisis
pushover dengan jenis modal pushover. Analisis pushover untuk melakukan evaluasi
terhadap preliminary design dan sistem struktur untuk daktilitas, overstrength, dan
kapasitas drift. Sedangkan, metode analisis riwayat waktu non-linier (NLTHA) untuk
melakukan evaluasi terhadap perilaku sistem struktur sistem hybrid. Perilaku sistem
hybrid yang ditinjau adalah sifat self-centering akibat mekanisme goyang (rocking
mechanism) dari model histeretik flag shape. Selanjutnya, perilaku sistem hybrid
dibandingkan dengan sistem konvensional.

44

BAB IV
PEMODELAN STRUKTUR
IV.1. Deskripsi Umum
Pada tugas akhir ini dimodelkan dua buah jembatan yang tipikal satu sama lain
dalam berbagai hal, hanya memiliki perbedaan pada detailing pilar. Perbedaan pada
detailing pilar disebabkan oleh perbedaan sistem pendisipasi energi beban seismik.
Pada model jembatan pertama, sistem pendisipasi energinya adalah beton bertulang
biasa (sistem konvensional). Sedangkan, model jembatan kedua menggunakan beton
bertulang yang diberikan tendon prategang unbonded (sistem hybrid).
Jembatan yang akan dikaji pada tugas akhir ini diperuntukan sebagai jembatan
guideway monorel berlokasi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Tipe struktur
jembatan adalah integrated and continuous span (sistem portal) dengan jalur lurus.
Panjang jembatan adalah 100 meter yang dibagi menjadi lima bentang sehingga
panjang jembatan per bentang adalah 20 meter. Kelas situs tanah diasumsikan adalah
tanah lunak (SE). Model jembatan akan dimodelkan pada program MIDAS CIVIL
2011.

IV.2. Pemodelan Struktur


Pemodelan struktur jembatan guideway monorel untuk kedua sistem adalah sama.
Perbedaan hanya terletak pada detailing pilar sehingga pada MIDAS CIVIL 2011 akan
terdapat perbedaan pada input diagram interaksi dan kurva monotonik backbone.
Acuan yang digunakan untuk berbagai aturan dan batasan desain jembatan adalah
AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Specification 6th Edition dan AASHTO LRFD
2011 Seismic Bridge Design Specification 2th Edition. Berikut adalah pemodelan
struktur pada MIDAS CIVIL 2011:

45

Gambar IV. 1 Tampak depan (atas), tampak samping (tengah), dan 3D (bawah) dari jembatan guideway
monorel

46

Material struktur jembatan guideway monorel adalah beton. Mutu beton yang
digunakan berbeda-beda pada masing-masing komponen. Secara ringkas dapat dilihat
pada tabel berikut:
Mutu Beton
(Mpa)
37
37
50

Komponen
Pilar
Pier Head
Guideway Beam

Material tulangan baja pada pemodelan struktur menggunakan kekuatan baja ASTM
A-615 Grade 60 yang setara dengan kuat tarik leleh sebesar 410 MPa. Tipe strand
menggunakan ASTM A-416 Grade 270 low relaxation strand yang memiliki tegangan
ultimate 1860 MPa.

IV.2.1. Elemen Struktur Jembatan


Pemodelan jembatan guideway monorel menggunakan MIDAS CIVIL 2011. Jenis
elemen jembatan yang dimodelkan adalah pilar, kepala pilar, guideway beam, dan
tendon prategang.

Material
Untuk melakukan pemodelan struktur, diperlukan mendefinisikan material terlebih
dahulu. Berikut adalah data material elemen struktur jembatan yang digunakan:
Tabel IV. 1 Material elemen struktur

Element

fc' (N/mm2)

Ec (N/mm2)

Guideway beam

50

33230

Kepala Pilar

37

28580

Pilar

37

28580

Keterangan: = 4700
Selain itu, terdapat data tambahan untuk material beton dan tulangan baja untuk
input pada MIDAS CIVIL 2011:

47

Tabel IV. 2 Data tambahan untuk material beton, tulangan baja, dan tendon

Material

Beton

Tulangan Baja

Tendon

Es

200000 MPa

196500 MPa

fy

400 MPa

1675.427 MPa

Berat

2400 kg/m3

Poisson ratio

0.2

0.3

0.3

Koefisien termal

12E-06/1C0

12E-06/1C0

12E-06/1C0

Tidak
diperhitungkan

7850 kg/m3

Guideway beam
Guideway beam merupakan komponen pemikul momen dan penyalur beban ke
struktur bawah (substructure) akibat beban-beban sementara. Guideway beam juga
sebagai lintasan monorel. Pada jembatan ini, pendisipasi energi gempa hanya pilar
jembatan saja. Oleh karena itu, guideway beam tidak diberikan sendi plastis. Pada
subbab I.4 sudah dijabarkan bentuk dan dimensi guideway beam mengikuti gambar
kerja yang sudah ada, yaitu bentuk persegi panjang dengan dimensi 800 x 1800
mm.

Kepala pilar
Kepala pilar (pier head) merupakan bagian struktur bawah jembatan yang
berfungsi menyalurkan beban dari balok atau pelat diatasnya ke pilar jembatan.
Bila dilihat pada tampak depan (transversal), kepala pilar memiliki bentuk nonprismatik. Kepala pilar pada bagian tengah memiliki tinggi 1800 mm, kemudian
berubah menjadi 1200 mm, dan pada bagian tepi memiliki tinggi 1000 mm. Pada
tampak memanjang (longitudinal), kepala pilar memiliki tebal 1600 mm.

Gambar IV. 2 Tampak depan kepala pilar

48

Pilar
Pilar merupakan komponen pemikul aksial dan momen serta penyalur beban dari
guideway beam ke fondasi. Pilar merupakan bagian vital pada jembatan ini karena
merupakan satu-satunya komponen pendisipasi energi gempa. Pemodelan pilar
untuk sistem hybrid dan konvensional tidak memiliki perbedaan. Kedua sistem ini
akan memiliki perbedaan pada pemodelan sendi plastid an detailing. Pilar memiliki
bentuk lingkaran dengan diameter 1100 mm dan tinggi 10 m. Pemodelan pilar
setinggi 10 m pada MIDAS CIVIL 2011 dengan partisi setiap 2,5 m disebabkan
pilar jembatan adalah pracetak. Oleh karena pilar merupakan komponen
pendisipasi energi, momen inersia pilar wajib diberikan reduksi dalam
pendesainan. Pada saat pilar mengalami keretakan akibat mendisipasi energi
gempa, momen inersia pilar menjadi momen inersia efektif. Momen inersia efektif
pilar adalah 70% dari momen inersia awal pilar.

Tendon prategang
Tendon prategang dipasang pada guideway beam dan khusus untuk sistem hybrid,
tendon juga dipasang pada pilar. Pendefinisian properti tendon diperlukan sehingga
pemodelan dapat dilakukan dengan baik. Berikut adalah properti dari tendon
ASTM A-416 Grade 270 low relaxation strand yang digunakan dalam desain:
Tabel IV. 3 Properti tendon pada jembatan guideway monorel

Guideway Beam

Unbonded

Diameter (nominal)

12.7 mm

12.7 mm

Nominal area

98.7 mm

98.7 mm

Load at 1% extension

165.3 kN

165.3 kN

Min. breaking load, Pu

183.7 kN

183.7 kN

Ultimate strength (fu)

1860 MPa

1860 MPa

Yield strength (0,9 fu)

1675,426 MPa

1675,426 MPa

0.2/rad

0.07/rad

0.0026 /m

0.0033 /m

6 mm

6 mm

Low 2.5% - 3.5

Low 2.5% - 3.5

Standard (ASTM A416-74)

Frictional coefficient
Wobble coefficient
Wedge draw-in
Relaxation

49

Untuk nilai koefisien relaksasi pada MIDAS CIVIL 2011, digunakan metode
pendekatan magura dengan nilai 45 (low relaxation strand).
Pemasangan tendon pada guideway beam bertujuan untuk mengakomodir
persyaratan defleksi kondisi service. Tendon-tendon pada guideway beam
mengunakan sistem bonded prestressed. Terdapat dua jenis peletakan tendon yang
dipasang pada guideway beam.
Pertama diletakkan pada setiap guideway beam berjumlah dua buah pada masingmasing sisi kiri dan kanan. Bentuk layout tendonnya adalah parabolik. Tujuannya
agar pada saat konstruksi di lapangan, tendon tidak mengalami defleksi berlebihan
akibat beban sendiri dan beban konstruksi.

Gambar IV. 3 Contoh layout tendon pada satu guideway beam

Pemodelan partisi pada guideway beam diatas dikarenakan guideway beam


merupakan beton pracetak. Pada masing-masing tendon diisi sembilan buah strand
dengan diameter duct adalah 63 mm.
Kedua diletakkan pada sepanjang guideway beam berjumlah dua buah pada
masing-masing sisi kiri dan kanan. Bentuk layout tendonnya adalah parabolik pada
setiap bentang. Peletakkan tendon ini bertujuan untuk mengakomodasi defleksi
yang berlebihan dan memberikan gaya angkat (uplift force) terhadap beban-beban
yang bekerja disepanjang guideway beam.

Gambar IV. 4 Contoh layout tendon sepanjang guideway beam

Pada masing-masing tendon diisi Sembilan buah strand dengan diameter duct
adalah 63 mm. Referensi besarnya duct yang diperlukan berdasarkan brosur PT.
VSL International.

50

Untuk sistem hybrid, tendon tanpa lekatan yang terdapat di pilar tidak dimodelkan
pada MIDAS CIVIL 2011 karena keterbatasan program MIDAS CIVIL. Bila
tendon tanpa lekatan dimodelkan pada pilar, maka pengaruhnya hanya sebatas pada
gaya dalam yang diterima oleh pilar meningkat tanpa menghasilkan perilaku atau
kinerja dari sistem hybrid. Oleh karena itu, pemodelan tendon tanpa lekatan pada
pilar dilakukan menggunakan program XTRACT untuk mendapatkan perilaku dari
pilar sistem hybrid dan MIDAS CIVIL 2011 hanya digunakan untuk mengetahui
gaya prategang efektif akibat kehilangan gaya pratekan. Gaya prategang efektif
tersebut digunakan sebagai input gaya tendon prategang pada pemodelan di
XTRACT. Hasil perilaku yang sudah diolah, selanjutnya di-input secara manual ke
dalam MIDAS CIVIL 2011 sehingga analisis dari perilaku dan kinerja sistem
hybrid dapat dilakukan oleh MIDAS CIVIL. Pemodelan ini akan lebih lanjut
dibahas pada subbab IV.2.3.

IV.2.2. Pembebanan dan Kombinasinya dalam Model Struktur


Pembebanan pada jembatan guideway monorel mengacu pada ACI 343.1R-12. Berikut
merupakan penjabaran dari beban-beban yang diaplikasikan pada model struktur:
Beban Tetap (Sustained Loads)

Beban mati
Besarnya gaya dalam akibat beban mati merupakan fungsi dari berat jenis dari
material yang digunakan.

51

Berdasarkan AASHTO 2012, berat jenis berbagai jenis material adalah sebagai
berikut:
Tabel IV. 4 Berat jenis berbagai material (AASHTO LRFD 2012)

Berat jenis material beton untuk = 37 adalah = 2284


= 50 adalah = 2313
sebesar = 2400

3 dan

3 . Secara konservatif dapat diambil

Beban akibat tendon prategang (PS)


Besarnya gaya dalam yang diakibatkan dari tendon prategang merupakan fungsi
dari jumlah strand dan besarnya tegangan yang diberikan. Pada SNI 2847-2013,
besarnya gaya jacking yang diberikan tidak boleh melebihi 80% tegangan ultimate
tendon. Sehingga, gaya jacking yang diberikan adalah 75% dari tegangan ultimate,
yaitu 1396.189 MPa.

52

Beban Sementara (Transient Loads)

Beban hidup dan turunannya

Beban vertikal dari monorel (LL)


Beban monorel memiliki spesifikasi sesuai dengan monorel yang direncanakan.
Berikut adalah spesifikasi monorel yang direncanakan:
12.053

917

1.500

12.053

900

12.053

5.700 1.500

1.500

917

12.053

5.700 1.500

Gambar IV. 5 Spesifikasi monorel

Data dimensi tambahan monorel, sebagai berikut:

Panjang

: 12053 mm

Tinggi

: 2700 mm

Lebar

: 3837 mm diukur dari permukaan lintasan


sampai bagian atas monorel
53

Jarak antara 2 kereta

: 917 mm

Jarak antara 2 bogie

: 7200 mm

Jarak as bogie

: 1500 mm

Kecepatan maksimum

: 60 km/jam (lintasan lurus)

Percepatan

: 3,6 km/jam/det

Perlambatan

: 3,6 km/jam/det

Beban monorel dimodelkan sebagai moving load pada MIDAS CIVIL 2011.

Faktor kejut (IM)


Tipe struktur jembatan guideway monorel adalah integrated and continuous
span dan jointed rail. Oleh karena itu, faktor kejut monorel dapat dihitung
dengan rumus berikut:
54

1 =

() 16,667
=
= 0,167
()
100

33234018716 0,3888

=
= 0,301
2 2

2 1002
3523,68

0,167
=
= 0,177 < 0,3 ( . 5)
21
2 0,301

Keterangan:
l

= panjang bentang, dari as ke as perletakkan, (m)

= masa per unit panjang dari guideway, termasuk seluruh beban mati
yang dipikul dan berat sendiri guideway, (kg/m)

Ec

= modulus elastisitas dari guideway, (Pa)

Ig

= momen inersia dari guideway, (m4)

VCF

= frekuensi monorel (Vehicle Crossing Frequency), Hz


Tabel IV. 5 Beban Dinamik Minimum (ACI 343.1R-12)

Oleh karena nilai perhitungan faktor kejut (IM) kurang dari faktor kejut
minimum, maka digunakan faktor kejut (IM) minimum, yaitu 0,3. Faktor kejut
dikalikan dengan masing-masing axle load pada pemodelan moving load beban
monorel.

55

Beban Rem (Lfe dan LFn)


Beban rem bekerja pada pusat masa monorel, sehingga pemodelan akan lebih
mudah dengan mengubah beban aksial rem pada pusat masa monorel menjadi
beban aksial dan momen rem pada guideway beam. Beban rem direncanakan
dengan mengambil kondisi ekstrim selama pengereman. Kondisi tersebut
adalah emergency braking.
Tabel IV. 6 Beban Rem (LF) (ACI 343.1R-12)

= = 8

= 0.3 = 0.3 8 = 2.4


= = 1.822

= = 2.4 1.822 = 4.373

Gambar IV. 6 Tampak atak pemodelan beban rem untuk guideway beam kanan (Lfe Right)

Beban Hunting atau Nosing (HF)


Tipe bogie Monorel diasumsikan nonsteerable karena tidak ada keterangan.
Tabel IV. 7 Beban Hunting (HF) (ACI 343.1R-12)

= = 8
= 0.08 = 0.08 8 = 0.64

56

Gambar IV. 7 Tampak atas pemodelan beban hunting untuk guideway beam kanan (HF Right)

Beban angin (WL)


Perencanaan beban angin untuk daerah Jakarta dan sekitarnya diambil sebesar 90
km/jam kecuali diberikan secara khusus. Berdasarkan ACI 343.1R-12, beban angin
yang diberikan pada pemodelan adalah, sebagai berikut:
a. Pada struktur guideway, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu
netral dari struktur guideway.
= = 1.8
= 0.4 = 0.4 1.8 = 0.72
b. Pada monorel, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu netral dari
monorel atau 1,822 m diatas struktur guideway.
= = 1.822
= = 2.7
= 0.4 = 0.4 2.7 = 1.08
= 1.08 = 1.08 1.822 = 1.968

Gambar IV. 8 Tampak atas pemodelan beban angin pada monorel (atas) dan struktur jembatan (bawah)

57

Gambar IV. 9 Tampak depan pemodelan beban angin pada struktur jembatan (kiri) dan monorel (kanan)

Efek Temperatur, Rangkak Beton (CR), Susut Beton (SH)


Ketiga beban ini diaplikasikan pada model jembatan dengan memasukan berbagai
properti material dan lingkungan, seperti koefisien termal material dan rentang
suhu lingkungan di lokasi jembatan dibangun. MIDAS CIVIL 2011 akan
menghitung rangkak dan susut beton berdasarkan properti yang user definisikan.

58

Gambar IV. 10 Interface untuk mendefinisikan properti material dan lingkungan MIDAS CIVIL 2011

Beban Seismik
Pada tugas akhir ini, digunakan dua jenis analisis gempa pada model jembatan
guideway monorel. Jenis pertama adalah analisis respons spektra dan yang kedua
adalah analisis riwayat waktu (THA). Analisis riwayat waktu membutuhkan data
percepatan batuan dasar (ground motion) yang sudah diskalakan dengan respons
spektra desain, sebagai beban seismik gempa.
Pada analisis respons spektra, beban seismik dari respons spektra dibuat
berdasarkan peta gempa propabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun di SNI 28332013.

59

Sehingga, didapatkan data-data berikut:


a. Lokasi

= Jakarta

b. Kelas situs

= SE

c. Sds

= 0.837 g

d. Sd1

= 0.7975 g

e. PGAm

= 0.364 g

f. =

0.7975
0.837

= 0.953

g. 0 = 0.2 = 0.2 0.953 = 0.191


Berikut adalah kurva respons spektra yang digunakan dalam desain jembatan:

Percepatan Respon Spectra, Sa(g)

Respons Spektra Jakarta Tanah Lunak


0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

Periode, T (detik)
Gambar IV. 11 Respons spektra jakarta tanah lunak situs SE

Beban seismik dari respons spektra perlu diskalakan sesuai dengan klasifikasi
operasi jembatan dan jenis substructure pendisipasi energi gempa.

60

AASHTO LRFD 2012 memberikan nilai R sebagai berikut:


Tabel IV. 8 Nilai R (AASHTO LRFD 2012)

Klasifikasi operasi jembatan guideway monorel adalah other karena jembatan ini
tidak diharuskan dapat beroperasi pada keadaan emergency sekalipun setelah
gempa rencana terjadi. Faktor skala dapat dihitung dengan rumus berikut:

=
Dimana :
g

= percepatan gravitasi (m/s2)

R = faktor modifikasi respons (dapat dilihat pada Tabel IV.2)


= 5 (untuk arah longitudinal atau arah X)
= 3 (untuk arah transversal atau arah Y)
Maka,

= 0.2
5

= = 0.333
3
=

Meskipun dalam pendesainan jembatan ini menggunakan respons spektra, wajib


dilakukan pengecekan beban seismik dari respons spektra sebagai kalibrasi faktor
skala gempa. Parameter struktur yang dicek adalah gaya geser dasar (base shear)
akibat respons spektra dan statik ekivalen. Pengecekan ini bertujuan agar besarnya
beban seismik dari respons spektra tidak lebih kecil dari analisis statik ekivalen.

61

Perhitungan gaya statik ekivalen dapat menggunakan formula yang terdapat pada
SNI 2833-2013, sebagai berikut:

Secara matematis pengecekan dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:


=


Persamaan diatas cukup berbeda untuk melakukan pengecekan struktur gedung.
Umumnya jembatan didesain menggunakan metode statik ekivalen karena metode
statik pada jembatan memberikan gaya desain yang cukup besar. Didapatkan hasil
perhitungan, gaya geser dasar akibat beban seismik dari respons spektra sudah
sama dengan gaya geser dasar akibat beban statik ekivalen. Oleh karena itu, faktor
skala untuk arah X dan Y sudah memadai.
Pada analisis riwayat waktu (THA), Riwayat percepatan batuan dasar yang
digunakan adalah El Centro 140o untuk arah X dan El Centro 230o untuk arah Y
selama 36,82 detik yang sudah diskalakan dengan respon spektra Jakarta sesuai
dengan SNI 1726-2012.
Beban-beban diatas diaplikasikan kepada model struktur dengan dua jenis kombinasi.
Hasil analisis dari kombinasi pembebanan dapat digunakan sebagai acuan untuk
desain. Jenis kombinasi pertama adalah service dan jenis kedua adalah ultimate.
Kombinasi service digunakan untuk melakukan pengecekan dan evaluasi desain
berdasarkan kenyamanan (serviceability) dari jembatan, seperti defleksi (chamber)
jembatan dan tegangan pada beton. Sedangkan, kombinasi ultimate digunakan untuk
mendesain detailing dari jembatan. Kombinasi pembebanan service dan ultimate sudah
dibahas pada subbab II.2.3 berdasarkan ACI 343.1R-12.

62

IV.2.3. Pemodelan Sendi Plastis


Pada analisis non-linier, elemen pendisipasi energi gempa memiliki karakteristik
perilaku tersendiri, yaitu plastifikasi. Sedangkan, elemen yang tidak mendisipasi energi
gempa

didesain

tetap

linier

sepanjang

beban

rencana.

Kurva

backbone

merepresentasikan perilaku dan properti penampang pendisipasi energi selama tahap


plastifikasi berlangsung. Contohnya perilaku dan properti plastis adalah kekakuan
plastis, kapasitas dan deformasi ultimate, daktilitas, bentuk kurva monotonik, dan lainlain. Kurva backbone tersebut merupakan fungsi dari detailing, DOF elemen, dan
bentuk histeretik elemen. Oleh karena itu, sistem hybrid dan konvensional akan
memiliki perbedaan pada pemodelan sendi plastis dan kurva backbone.
Sendi plastis pada jembatan guideway monorel akan diberikan pada ujung-ujung
pilar jembatan. Pemodelan sendi plastis hanya dapat dilakukan apabila detailing pilar
sudah selesai.

Gambar IV. 12 Pemberian sendi plastis pada MIDAS CIVIL 2011

Sendi plastis penampang sistem hybrid dan konvensional dimodelkan menggunakan


program XTRACT. Hasil dari XTRACT adalah kurva momen-kurvatur dan diagram
interaksi penampang.

63

Contoh pemodelan pada XTRACT sebagai berikut:

Gambar IV. 13 Pemodelan penampang sistem hybrid (kiri) dan sistem konvensional (kanan) pada XTRACT

Setelah didapatkan kurva momen-kurvatur dan diagram interaksi dari penampang


kedua sistem, maka kurva momen-kurvatur diolah untuk mendapatkan kurva backbone
kedua sistem. Dalam mendefinisikan sendi plastis pilar pada MIDAS CIVIL, derajat
kebebasan pilar harus dipilih P-Mx-My dan tipe kurva skeleton adalah FEMA.
Pengolahan kurva backbone akan dijabarkan lebih lanjut pada bab V. Sedangkan,
diagram interaksi diolah agar dapat di-input sesuai dengan interface MIDAS CIVIL
2011 sebagai properti sendi plastis untuk analisis pushover maupun non-linier time
history (NLTHA).

64

BAB V
HASIL PERHITUNGAN
V.1. Model Struktur Jembatan
Sebelum melakukan analisis non-linier dan perilaku plastis terhadap sistem hybrid dan
konvensional, pemodelan dan perhitungan model jembatan harus dipastikan sudah
benar. Model jembatan untuk kedua sistem ini adalah sama, hanya berbeda pada
detailing dan pemodelan plastisnya. Pada subbab ini, seluruh penjabaran perhitungan
berlaku untuk kedua model sistem jembatan.

V.1.1. Periode dan Modal Participation Masses (MPM)


Periode dan MPM adalah karakteristik struktur yang merupakan fungsi dari
properti alami struktur. Properti tersebut dipengaruhi oleh seluruh aspek kecuali bebanbeban yang diberikan kepada struktur, seperti bentuk struktur, kekakuan, massa,
material, dan lain-lain.
MIDAS CIVIL 2011 dapat membantu untuk memberikan periode dan MPM dari
struktur dengan dasarnya adalah analisis getaran bebas (free vibration). Jumlah mode
yang wajib di analisis pada jembatan adalah paling sedikit tiga kali dari jumlah bentang
dari jembatan untuk metode multimode spectral. Selain itu, perhitungan gaya dalam
dan perpindahan struktur harus menggunakan metode complete quadratic combination
(CQC) pada setiap individual mode (AASHTO LRFD 2012).

65

Berikut adalah hasil periode dan MPM dari MIDAS CIVIL 2011:
Tabel V. 1 Periode dan MPM dari MIDAS CIVIL 2011

EIGENVALUE ANALYSIS
Mode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Period (sec)
1.544
1.143
0.686
0.564
0.487
0.370
0.322
0.162
0.159
0.156
0.155
0.152
0.151
0.148
0.144

MODAL PARTICIPATION MASSES


TRAN-X
TRAN-Y
ROTN-Z
MASS(%) SUM(%) MASS(%) SUM(%) MASS(%) SUM(%)
0
0
87.57
87.57
0
0
0
0
0
87.57
85.37
85.37
0
0
0.39
87.96
0
85.37
96.12
96.12
0
87.96
0
85.37
0
96.12
0
87.96
1.53
86.91
0
96.12
0.07
88.03
0
86.91
0
96.12
0
88.03
0.23
87.14
0
96.12
0
88.03
0
87.14
0
96.12
0
88.03
0
87.14
0
96.12
0.13
88.17
0
87.14
0
96.12
0
88.17
0
87.14
0
96.12
7.65
95.81
0
87.14
0
96.12
0
95.81
0
87.14
0
96.12
0
95.81
0
87.14
0
96.12
0
95.81
7.44
94.57

Maka dapat disimpulkan, periode getar alami struktur untuk arah X terdapat pada mode
keempat dengan nilai 0,564 detik dan arah Y terdapat pada mode kesatu dengan nilai
1,544 detik. Oleh karena pada mode kedua MPM jembatan didominasi oleh rotasi Z,
maka pada jembatan terjadi gaya dalam torsi yang cukup besar saat terkena gaya
gempa. Detailing pada pilar jembatan wajib didesain untuk mampu mengakomodasi
gaya torsi yang akan terjadi.

V.1.2. Serviceability Jembatan


Serviceability jembatan merupakan tolak ukur kenyamanan suatu jembatan.
Pengecekan serviceability jembatan meliputi pengecekan defleksi (chamber) dan
tegangan beton pada guideway beam terhadap kombinasi beban service. Defleksi yang
terlalu besar akan menyebabkan lintasan monorel bergelombang, sedangkan tegangan
beton yang terlampau besar akan menyebabkan beton menjadi retak-retak.

66

Defleksi dan tegangan beton pada guideway beam dipengaruhi oleh beban-beban
desain, khususnya gaya jacking dan banyaknya strand pada suatu tendon. Oleh karena
pada tugas akhir ini tidak berfokus pada pendesainan guideway beam jembatan
monorel, banyaknya strand pada tendon diiterasi oleh MIDAS CIVIL 2011 sehingga
menghasilkan defleksi dan tegangan beton yang maksimum. Besarnya gaya jacking
dan properti tendon sudah didefinisikan pada bab IV.
Defleksi jembatan
Untuk jembatan baja, alumunium, atau beton yang dilalui kendaraan, terdapat batas
defleksi yang harus dipenuhi (AASHTO LRFD 2012). Secara matematis, untuk
jembatan umum (general bridge) dengan beban kendaraan dapat dituliskan sebagai
berikut:
=


800

Panjang per bentang jembatan guideway monorel adalah 20 m. Sehingga, batas


defleksinya sebesar 25 mm. Berikut merupakan grafik defleksi untuk masingmasing guideway beam:

Defleksi Guideway Beam Right


30

Defleksi Arah Z (mm)

20
10
0
-10

73

78

83

88

93

98

103

-20
-30

Nomor Node
Service 1

Service 2

Service 3

Service 5

Defleksi Ijin

Defleksi Ijin

67

Service 4

108

Defleksi Guideway Beam Left


Defleksi Arah Z (mm)

30
20
10
0
-10

108

113

118

123

128

133

138

-20
-30

Nomor Node
Service 1

Service 2

Service 3

Service 5

Defleksi Ijin

Defleksi Ijin

Service 4

Gambar V. 1 Grafik defleksi pada guideway beam right (atas) dan left (bawah)

Tegangan beton
Tegangan pada beton menjadi parameter yang penting untuk balok prategang. Hal
ini disebabkan apabila gaya tekan stressing tendon terlampau besar, beton dapat
mengalami spalling atau bursting. Syarat batas untuk tegangan tarik dan tekan
beton diatur pada AASHTO LRFD 2012.

Tabel V. 2 Batas tegangan tekan beton prategang setelah loss pada kondisi service (AASHTO LRFD 2012)

68

Tabel V. 3 Batas tegangan tarik beton prategang sebelum loss pada kondisi service (AASHTO LRFD 2012)

Maka, berikut besarnya batas tegangan tekan dan tarik beton dihitung berdasarkan
tabel diatas:
= 22,5
= 3,53

69

Berdasarkan hasil perhitungan MIDAS CIVIL 2011, didapatkan tegangan beton pada kondisi service adalah sebagai
berikut:

*keterangan: garis merah merupakan batas limit untuk tegangan tarik

70

*keterangan: garis merah merupakan batas limit untuk tegangan tarik

71

Berdasarkan hasil dari defleksi dan tegangan beton pada guideway beam, desain
jembatan sudah memenuhi persyaratan serviceability.

V.1.3. Detailing dan Efek P- Pilar Jembatan


Pada tugas akhir ini, detailing elemen struktur hanya dilakukan pada elemen
pendisipasi energi gempa, yaitu pilar. Dalam mendesain detailing pilar, digunakan
program SP Column. SP Column dapat membantu mendesain tulangan longitudinal
pilar berdasarkan gaya dalam pilar.
Hasil detailing pilar dari SP Column akan digunakan untuk pemodelan perilaku
plastis untuk sistem konvensional. Sedangkan untuk sistem hybrid, detailing didesain
sedemikian rupa agar memiliki kapasitas yang sama dengan sistem konvensional.
Detailing pilar mengacu pada AASHTO LRFD 2012, Caltrans 2013, SNI 2833-2013,
dan SNI 2847-2013. Berikut adalah rangkuman hasil perhitungan detailing pilar
jembatan untuk sistem konvensional:
Properti beton untuk kedua sistem
= 1,1

= 37

= 10

= 28588,984

= 50

= 0,003

= 800
Properti tulangan baja untuk kedua sistem
= 706 60
= 420

= 200000

= 620

= 0,002

Tulangan longitudinal (lentur dan torsi) untuk sistem konvensional


= 43
= 23
= 1,3
= 3,51%

72

Tulangan longitudinal (lentur dan torsi) untuk sistem hybrid


= 43
= 16
= 1,3
= 2,44%
Tulangan Sengkang (Geser) untuk sistem konvensional
=
= 16
= 1
= 50
= 150
Tulangan Sengkang (Geser) untuk sistem hybrid
=
= 16
= 1
= 75
= 150
Tulangan Sengkang (Torsi) untuk kedua sistem
=
= 16
= 1
= 150
Setelah mendesain detailing pilar jembatan, pengecekan terhadap efek P- dapat
dilakukan sesuai dengan ketentuan AASHTO LRFD 2012. Efek P- membuat
jembatan menjadi tidak stabil saat terjadi kelelehan. Desain kekuatan yang tidak
mencukupi dapat menyebabkan perpindahan struktur yang besar sehingga berdampak
pada kebutuhan daktilitas yang tinggi di daerah sendi plastis, deformasi sisa yang besar,

73

dan kemungkinan untuk runtuh. Selain itu, efek P- menyebabkan kehilangan


kekakuan struktur saat terjadi kelelehan.
Kehilangan kekakuan dapat diamati pada kurva base shear terhadap perpindahan
yang memiliki kemiringan negatif. Pilar jembatan harus memenuhi persyaratan
dibawah ini agar tidak terjadi efek P-:

<1
0,25
Berikut adalah hasil dari perhitungan efek P-:

P-

Rasio

1.00
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00

Hybrid (Arah X)

0.575

Hybrid (Arah Y)

0.921

Konvensional (Arah X)

0.577

Konvensional (Arah Y)

0.924

Gambar V. 2 Pengecekan efek P-

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pilar jembatan yang didesain tidak mengalami efek
P- saat terjadi beban seismik gempa.

V.2. Model Sendi Plastis


Pemodelan sendi plastis untuk sistem hybrid dan konvensional menggunakan program
XTRACT. Hasil dari pemodelannya diolah untuk mendapatkan properti sendi plastis
sehingga MIDAS CIVIL dapat melakukan analisis pushover dan NLTHA

74

V.2.1. Tegangan dan Regangan Material


Untuk memodelkan sendi plastis dari kedua sistem, perlu didefinisikan tegangan
dan regangan material sebagai input pada XTRACT. Tegangan dan regangan beton
sangat dipengaruhi oleh kekangannya. Kekuatan tekan (fc) beton dapat bertambah
besar dengan memberikan kekangan sesuai dengan yang disyaratkan.
Tegangan dan regangan beton yang tidak terkekang menggunakan model
Hognestad. Sedangkan, untuk beton terkekang menggunakan model Mander et. al.
Cover beton dimodelkan sebagai beton tidak terkekang dan beton yang berada di dalam
sengkang spiral dimodelkan sebagai beton terkekang. Berikut adalah model pengaruh
kekangan beton:

BETON TIDAK TERKEKANG (MODEL


HOGNESTAD)
Elastik

Elastik-Peak

Peak-Failure

FC' (MPA)

40
30
20
10
0
0

0.0005

0.001

0.0015

0.002

0.0025

0.003

0.0035

0.004

0.0045

REGANGAN
Gambar V. 3 Model Hognestad untuk tegangan dan regangan beton tidak terkekang

75

TEGANGAN DAN REGANGAN BETON


TERKEKANG (MODEL MANDER ET.
AL) SISTEM HYBRID
Model Mander
60

FC' (MPA)

50
40
30
20
10
0
0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0.03

REGANGAN

TEGANGAN DAN REGANGAN BETON


TERKEKANG (MODEL MANDER ET. AL)
SISTEM KONVENSIONAL
Model Mander
60

FC' (MPA)

50
40
30
20
10
0
0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0.03

REGANGAN

Gambar V. 4 Model Mander et.al untuk tegangan dan regangan beton terkekang

Tegangan dan regangan tulangan baja serta tendon prategang menggunakan model
yang sudah ada pada XTRACT. Untuk tegangan dan regangan tulangan baja, acuan
yang digunakan adalah ASTM 706 Grade 60 dengan model bilinier with strain
hardening. Sedangkan untuk tendon prategang, acuan yang digunakan adalah ASTM
76

A-416 Grade 270 low relaxation strand dengan model prestressing steel yang sudah
ada di dalam program.

V.2.2. Properti Sendi Plastis


Properti sendi plastis didapatkan setelah memodelkan dan mengolah hasil dari
XTRACT.

Sistem hybrid
Untuk sistem hybrid, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk menghitung
banyaknya strand yang dibutuhkan dalam ACI ITG-5.2-09. Secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
+ 0,9 =
Keterangan:
= ()
=
=
=
=
Berdasarkan persamaan diatas, didapatkan jumlah strand yang dibutuhkan untuk
sistem hybrid adalah 118 buah dengan gaya prategang efektif setelah loss adalah
1018.142 MPa (27,08% loss dari gaya jacking). Pemodelan sistem hybrid pada
XTRACT dapat dilihat pada bab IV. Berikut momen-kurvatur dan diagram
interaksi dari sistem hybrid:

77

MOMEN-KURVATUR SISTEM HYBRID


Hasil XTRACT

Bilinearisasi

8000
7000

MOMEN (KN-M)

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0.03

0.035

0.04

KURVATUR (1/M)

Gambar V. 5 Kurva momen-kurvatur sistem hybrid

Diagram Interaksi Sistem Hybrid


50000
40000

Gaya Aksial (kN)

30000
20000
10000
5750, 2114.25

0
-8000

-6000

-4000

-2000

2000

4000

-10000
-20000
-30000
-40000

Momen (kN-m)
Diagram Interaksi

Gaya Aksial

Gambar V. 6 Diagram interaksi sistem hybrid

78

6000

8000

Setelah didapatkan momen-kurvatur, nilai momen-rotasi dapat dihitung untuk


mendapatkan kurva backbone untuk sistem hybrid. Kurva backbone dibagi menjadi
dua, yaitu kurva monotonik dan model histeretik. Kurva monotonik digunakan
pada analisis pushover dan kurva histeretik digunakan pada analisis NLTH. ASCE
41-13 dan FEMA 356 digunakan sebagai acuan untuk membuat kurva backbone
monotonik. Berikut hasil perhitungan kurva backbone monotonik:
= 6847

= 0,0396

= 6175,352

= 0,0136

M/My

Kurva Backbone Sistem Hybrid


1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0

/y
Backbone Sistem Hybrid

Immediate Occupancy

Life Safety

Collapse Prevention

Gambar V. 7 Kurva backbone sistem hybrid

Kurva backbone histeretik sistem hybrid dapat dihitung dengan mengambil model
histeretik acuan berdasarkan eksperimen yang sudah ada. Model histeretik
eksperimen dinormalisasi sehingga berlaku untuk secara umum untuk sistem
hybrid dengan properti penampang yang berbeda-beda pada kelas yang sama.
Model histeretik eksperimen diambil dari paper yang berjudul Design, Modeling,
and Experimental Testing of a Seismic Resistant Bridge Column with PostTensioned Connection (Guerra, et. al). Program MIDAS CIVIL 2011 tidak dapat
mendefinisikan model histeretik secara manual. Namun, program ini menyediakan
beberapa model histeretik yang dapat diubah propertinya secara manual. Oleh

79

karena keterbatasan program, maka dilakukan analogi model histeretik eksperimen


yang berbentuk flag shape dengan model histeretik clough. Pemilihan model
clough didasari kemiripan model tersebut dengan model flag shape dan dapat
ditentukan besarnya penurunan kekakuan pada saat terjadi pembebanan dengan
arah yang berbeda. Untuk dapat menganalogikan model flag shape, energi disipasi
dari model clough harus sama dengan model flag shape. Berikut adalah hasil
perhitungan model histeretik sistem hybrid:

Model Histeretik Sistem Hybrid


8000
7000
6000

Momen (kN-m)

5000
4000
3000
2000
1000
0
0

0.02

0.04

0.06

Model Flag Shape

0.08

Rotasi

0.1

0.12

0.14

Model Clough

Gambar V. 8 Perbandingan model histeretik model clough dan flag shape

= 366,105
Pada pendefinisian properti sendi plastis untuk model histeretik pada MIDAS
CIVIL 2011, perlu dihitung koefisien dan . Koefisien adalah rasio kekakuan
tepat setelah leleh dibandingkan dengan kekakuan elastik, sedangkan koefisien
adalah koefisien pangkat dalam persamaan kekakuan saat unloading.

80

Berikut nilai dan yang didapatkan dari perhitungan:


= 0,0143
= 0,385
Sistem Konvensional
Pemodelan plastis untuk sistem konvensional pada program XTRACT dapat dilihat
pada bab IV. Berikut adalah momen-kurvatur dan diagram interaksi dari sistem
konvensional:

MOMEN-KURVATUR SISTEM
KONVENSIONAL
8000
7000
6000

Momen (kN-m)

5000
4000
3000
2000
1000
0
0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

Kurvatur (1/m)
Hasil XTRACT

Bilinearisasi

Gambar V. 9 Kurva momen-kurvatur sistem konvensional

81

0.07

0.08

0.09

Diagram Interaksi Sistem Konvensional


60000
50000

Gaya Aksial (kN)

40000
30000
20000
10000
5730, 2114.25

0
-8000

-6000

-4000

-2000

2000

4000

6000

8000

-10000
-20000

Momen (kN-m)
Diagram Interaksi

Gaya Dalam P

Gambar V. 10 Diagram interaksi sistem konvensional

Setelah didapatkan momen-kurvatur, maka dapat dihitung kurva backbone


monotonik untuk sistem konvensional. Berikut hasil perhitungan kurva backbone
monotonik:
= 7162

= 0,076

= 5652,715

= 0,011

82

M/My

Kurva Backbone Sistem Konvensional


1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

IO

LS

CP
C

B
D

A
0

10

12

/y
Backbone (Kolom)

Immediate Occupancy

Life Safety

Collapse Prevention

Gambar V. 11 Kurva backbone sistem konvensional

Model histeretik sistem konvensional menggunakan model normal bilinier. Model


normal bilinier memiliki kekakuan unloading yang sama dengan kekakuan elastik.
Model ini merupakan model histeretik yang umumnya terjadi pada sistem
konvensional. Berikut hasil perhitungan kurva histeretik sistem konvensional:

Momen (kN-m)

Kurva Histeretik Sistem Konvensional


8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

Rotasi
Idealized
Gambar V. 12 Kurva histeretik model normal bilinier

Berikut nilai yang didapatkan dari perhitungan:


= 0,044
83

0.08

0.09

BAB VI
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
VI.1. Analisis Statik Non-Linier (Pushover)
Jenis analisis statik non-linier (pushover) yang dilakukan pada jembatan
guideway monorel adalah pushover modal. Melalui analisis pushover, didapatkan
daktilitas (), overstrength (), kapasitas drift, performance point, yield point, dan
ultimate point struktur. Dalam melakukan desain berbasis gaya (force based) sesuai
dengan peraturan SNI atau AASHTO LRFD, prinsip yang digunakan adalah equal
displacement. Untuk mendapatkan nilai kekuatan elastik desain gempa sebenarnya,
diperlukan analisis riwayat waktu linier atau linier time history (LTHA).
Dalam LTHA, jembatan dipaksa berperilaku tetap linier selama percepatan
batuan dasar (ground motion) terjadi. Hasil dari LTHA adalah base shear dan
displacement struktur yang kemudian digunakan hanya sebagai perbandingan terhadap
kurva kapasitas dan base shear design. Percepatan batuan dasar yang digunakan dalam
LTHA harus yang sudah diskalakan dengan respons spektra desain. Hasil perhitungan
kalibrasi gempa dibahas pada subbab VI.2.
Pada analisis pushover, diperlukan mendefinisikan structural behavior type atau
tipe perilaku struktur berdasarkan model histeretik atau perilaku penyerapan energi
(ATC 40-96). Pendefinisian tipe perilaku struktur berfungsi untuk perhitungan reduksi
respons spektra demand oleh damping dari struktur. Sistem hybrid memiliki model
histeretik flag shape dan sistem konvensional memiliki bentuk histeretik yang fat. Oleh
karena itu, sistem hybrid menggunakan tipe perilaku struktur C dan sistem
konvensional tipe A.
Analisis pushover memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi perilaku dan
kinerja sistem hybrid. Hal ini disebabkan analisis pushover menggunakan kurva

84

backbone monotonik saja, sedangkan perilaku sistem hybrid cukup unik pada daerah
unloading.
Berikut adalah hasil dari analisis pushover:
*keterangan: arah X adalah longitudinal atau memanjang dan arah Y adalah transversal atau tampak depan.
Demand adalah perbandingan dengan performance point.

Base Shear (kN)

Kurva Kapasitas Sistem Hybrid (PUSH_X)


18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
0.00%

0.50%

1.00%

1.50%

2.00%

2.50%

3.00%

3.50%

Drift (%)
Performance Point

Kurva Kapasitas

V Base Design

V Yield

Linier Time History

Gambar VI. 1 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_X)

Kurva Kapasitas SIstem Hybrid (PUSH_Y)


Base Shear (kN)

6000
5000
4000

3000
2000
1000
0
0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

Drift (%)
Performance Point

Kurva Kapasitas

V Base Design

V Yield

Linier Time History

Gambar VI. 2 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_Y)

85

6.00%

Titik performance point memotong kurva kapasitas sistem hybrid pada daerah leleh
struktur sehingga desain untuk sistem hybrid sudah optimal.

Base Shear (kN)

Kurva Kapasitas Sistem Konvensional (PUSH_X)


18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

Drift (%)
Performance Point

Kurva Kapasitas

V Base Design

V Yield

Linier Time History

Gambar VI. 3 Kurva kapasitas sistem konvensional (PUSH_X)

Kurva Kapasitas Sistem Konvensional (PUSH_Y)


6000

Base Shear (kN)

5000
4000

3000
2000
1000
0
0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

8.00%

9.00% 10.00%

Drift (%)
Performance Point

Kurva Kapasitas

V Base Design

V Yield

Linier Time History

Gambar VI. 4 Kurva kapasitas sistem konvensional (PUSH_Y)

86

Titik performance point memotong kurva kapasitas sistem konvensional pada daerah
leleh struktur sehingga desain untuk sistem konvensional sudah optimal.

Perbandingan Sistem Hybrid dan Konvensional


(PUSH_X)
Base Shear (kN)

10000
8000
6000
4000
2000
0
0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

Drift (%)
Hybrid

Konvensional

V Base Design

Gambar VI. 5 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional (PUSH_X)

Base Shear (kN)

Perbandingan Sistem Hybrid dan Konvensional


(PUSH_Y)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

8.00%

9.00% 10.00%

Drift (%)
Hybrid

Konvensional

V Base Design

Gambar VI. 6 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional (PUSH_Y)

Berdasarkan kurva perbandingan diatas, dapat dilihat kurva kapasitas dari sistem
konvensional lebih daktail dibandingkan sistem hybrid. Hal ini disebabkan oleh
sebagian besar mekanisme disipasi energi beban gempa oleh sistem hybrid
mengandalkan sifat self centering pada saat terjadi mekanisme goyang (rocking

87

mechanism). Sedangkan pada analisis pushover, mekanisme goyang tidak dapat terjadi
karena prinsip dari analisis ini adalah memberikan gaya dorong statik hingga struktur
mencapai kegagalan. Selain itu, disipasi energi melalui mekanisme goyang tidak dapat
digambarkan pada kurva histeretik monotonik. Melalui analisis pushover, mekanisme
disipasi energi berdasarkan kelelehan dari struktur sehingga analisis pushover tidak
dapat menonjolkan keunggulan dan perilaku dari sistem hybrid sesungguhnya.

Base Shear (kN)

Base Shear Yield


8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

Sistem Label

Hybrid (PUSH_X)

6585.37

Hybrid (PUSH_Y)

2489.70

Konvensional (PUSH_X)

6586.64

Konvensional (PUSH_Y)

2419.53

Gambar VI. 7 Perbandingan base shear yield

88

Displacement Yield
0.30

Displacement (m)

0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00

Hybrid (PUSH_X)

0.08

Hybrid (PUSH_Y)

0.24

Konvensional (PUSH_X)

0.08

Konvensional (PUSH_Y)

0.23

Gambar VI. 8 Perbandingan displacement yield

Base Shear (kN)

Base Shear Ultimate


9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

Hybrid (PUSH_X)

7482.20

Hybrid (PUSH_Y)

2688.92

Konvensional (PUSH_X)

7744.98

Konvensional (PUSH_Y)

2671.99

Gambar VI. 9 Perbandingan base shear ultimate

89

Displacement Ultimate
1.20

Displacement (m)

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00

Hybrid (PUSH_X)

0.309

Hybrid (PUSH_Y)

0.570

Konvensional (PUSH_X)

0.653

Konvensional (PUSH_Y)

1.112

Gambar VI. 10 Perbandingan displacement yield

Base Shear (kN)

Base Shear LTH


18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0

Hybrid (PUSH_X)

16414.31

Hybrid (PUSH_Y)

5254.54

Konvensional (PUSH_X)

16414.31

Konvensional (PUSH_Y)

5254.54

Gambar VI. 11 Perbandingan base shear linier time history

90

Displacement LTH
0.60

Displacement (m)

0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00

Hybrid (PUSH_X)

0.186

Hybrid (PUSH_Y)

0.563

Konvensional (PUSH_X)

0.186

Konvensional (PUSH_Y)

0.563

Gambar VI. 12 Perbandingan displacement linier time history

Base Shear (kN)

Base Shear Performance Point


8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

Hybrid (PUSH_X)

7008.020

Hybrid (PUSH_Y)

2633.684

Konvensional (PUSH_X)

6619.328

Konvensional (PUSH_Y)

2525.195

Gambar VI. 13 Perbandingan base shear performance point

91

Displacement Performance Point


Displacement (m)

0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00

Hybrid (PUSH_X)

0.099

Hybrid (PUSH_Y)

0.372

Konvensional (PUSH_X)

0.083

Konvensional (PUSH_Y)

0.299

Gambar VI. 14 Perbandingan displacement performance point

Daktilitas Demand (D)

1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0

Hybrid (PUSH_X)

1.308

Hybrid (PUSH_Y)

1.552

Konvensional (PUSH_X)

1.032

Konvensional (PUSH_Y)

1.300

Gambar VI. 15 Perbandingan daktilitas demand (D)

92

Overstrength Demand (D)

4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0

Hybrid (PUSH_X)

4.133

Hybrid (PUSH_Y)

1.913

Konvensional (PUSH_X)

3.904

Konvensional (PUSH_Y)

1.835

Gambar VI. 16 Perbandingan overstrength demand (D)

Daktilitas demand merupakan perbandingan perpindahan performance point dengan


perpindahan saat leleh. Sedangkan, overstrength demand adalah perbandingan antara
base shear performance point dengan base shear design.

Drift Demand
3.5%
3.0%

Drift (%)

2.5%
2.0%
1.5%
1.0%
0.5%
0.0%

Hybrid (PUSH_X)

0.81%

Hybrid (PUSH_Y)

2.99%

Konvensional (PUSH_X)

0.68%

Konvensional (PUSH_Y)

2.45%

Gambar VI. 17 Perbandingan drift demand

93

Drift demand adalah perbandingan perpindahan performance point terhadap ketinggian


pilar jembatan. Berdasarkan grafik VI.17 dibandingkan pada tabel II.3, level kinerja
jembatan guideway monorel adalah sebagai berikut:
Tabel VI. 1 Level kinerja jembatan berdasarkan analisis pushover

Level Kinerja Jembatan


Sistem

Arah X

Arah Y

Hybrid

Fully Operational

Life Safety

Konvensional

Fully Operational

Life Safety

Drift (%)

Kapasitas Drift
10.0%
9.0%
8.0%
7.0%
6.0%
5.0%
4.0%
3.0%
2.0%
1.0%
0.0%

Hybrid (PUSH_X)

2.53%

Hybrid (PUSH_Y)

4.67%

Konvensional (PUSH_X)

5.36%

Konvensional (PUSH_Y)

9.11%

Gambar VI. 18 Perbandingan kapasitas drift

94

Daktilitas Struktur ()

9.0
8.0
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0

Hybrid (PUSH_X)

4.08

Hybrid (PUSH_Y)

2.375

Konvensional (PUSH_X)

8.167

Konvensional (PUSH_Y)

4.833

Gambar VI. 19 Perbandingan daktilitas struktur ()

Kapasitas drift merupakan perbandingan antara perpindahan ultimate dengan


ketinggian pilar jembatan. Sedangkan, daktilitas struktur adalah perbandingan antara
perpindahan ultimate dengan perpindahan saat leleh. Berdasarkan grafik kapasitas drift
dan daktilitas struktur, sistem hybrid memiliki kapasitas drift dan daktilitas struktur
yang lebih rendah dibandingkan sistem konvensional.

Overstrength Struktur ()

5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0

Hybrid (PUSH_X)

4.413

Hybrid (PUSH_Y)

1.953

Konvensional (PUSH_X)

4.568

Konvensional (PUSH_Y)

1.941

Gambar VI. 20 Perbandingan overstrength struktur ()

95

Overstrength struktur adalah nilai perbandingan antara base shear ultimate dengan
base shear design. Berdasatkan grafik diatas, sistem hybrid memiliki cadangan
kekuatan yang sama dengan sistem konvensional.

VI.2. Analisis Dinamik Non-Linier (Non-Linier Time History / NLTH)


NLTHA dilakukan untuk melihat perilaku dari sistem hybrid yang tidak bisa
dilakukan oleh analisis pushover. Sistem hybrid memiliki keunikan pada mekanisme
disipasi energinya, yaitu berdasarkan sifat self centering pada saat terjadi mekanisme
goyang. Pada sistem konvensional, disipasi energi terjadi pada saat struktur mengalami
kelelehan.
Sebelum melakukan analisis riwayat waktu, terlebih dahulu diperlukan kalibrasi
terhadap percepatan batuan dasar (ground motion) sesuai dengan respons spektra
desain (respons spektra target). Umumnya, kalibrasi percepatan batuan dasar minimal
menggunakan tiga buah gempa. Akan tetapi, pada tugas akhir ini hanya digunakan satu
buah gempa. Percepatan batuan dasar yang digunakan adalah El Centro. Sebelum
dikalibrasi, data gempa El Centro diubah menjadi respons spektra percepatan
menggunakan program NONLIN versi 8.0. Kalibrasi percepatan batuan dasar harus
sesuai dengan SNI 1726-2012 dan ASCe 7-05.
Berikut adalah hasil kalibrasi gempa El Centro dengan respons spektra target :

EL CENTRO ARAH X
Target

Sebelum Kalibrasi

Sesudah Kalibrasi

SA (G)

1.5
1
0.5
0
0

0.2

0.4

0.6

PERIODE (DETIK)

96

0.8

EL CENTRO ARAH Y
Target

Sebelum Kalibrasi

Sesudah Kalibrasi

SA (G)

1.5
1
0.5
0
0

0.5

1.5

2.5

PERIODE (DETIK)

Gambar VI. 21 Kalibrasi percepatan batuan dasar El Centro arah X (atas) dan arah Y (bawah)

Besarnya perbesaran percepatan batuan dasar El Centro pada arah X adalah 2,08 dan
untuk arah Y adalah 1,25 dari percepatan batuan dasar aslinya.
Setelah mendapatkan percepatan batuan dasar yang sudah dikalibrasi, dapat dilakukan
analisis non-linier riwayat waktu.
Berikut adalah hasil yang didapatkan:
Tabel VI. 2 Level kinierja struktur saat terjadi gempa El Centro dengan NLTHA

Hybrid
Elemen
1
4
5
8
9
12
13
16
17
20
21
24

Arah X
/y
Status
2.13
IO
1.954
IO
2.145
IO
2.016
IO
2.144
IO
1.999
IO
2.142
IO
1.997
IO
2.153
IO
2.035
IO
2.105
IO
1.849
IO

Konvensional

Arah Y
/y
Status
2.360
LS
0.398
Elastik
2.742
LS
0.344
Elastik
2.951
LS
0.402
Elastik
2.951
LS
0.402
Elastik
2.742
LS
0.369
Elastik
2.360
LS
0.398
Elastik

97

Arah X
/y
Status
3.236
IO
2.837
IO
3.283
IO
3.148
IO
3.279
IO
3.079
IO
3.286
IO
3.100
IO
3.281
IO
3.092
IO
3.276
IO
3.084
IO

Arah Y
/y
Status
6.927
LS
0.455
Elastik
6.999
LS
0.449
Elastik
6.907
LS
0.515
Elastik
6.889
LS
0.514
Elastik
6.951
LS
0.448
Elastik
6.865
LS
0.462
Elastik

Gambar VI. 22 Keterangan gambar nomor elemen

Level kinerja jembatan antara analisis pushover dan NLTHA tidak memiliki perbedaan
yang besar. Perbedaan terletak pada level kinerja arah longitudinal jembatan (arah X).
Hasil NLTHA lebih akurat dan merepresentasikan keadaan nyata yang akan terjadi
karena terdapat keterbatasan pada analysis pushover (NCHRP SYNTHESIS 440). Oleh
karena itu, level kinerja jembatan guideway monorel adalah immediate occupancy pada
arah X dan life safety pada arah Y untuk kedua sistem yang dibandingkan.
Berdasarkan hasil perhitungan, elemen 9 terjadi gaya dan perpindahan yang mewakili
struktur jembatan guideway monorel sehingga elemen 9 dapat dijadikan tinjauan.

98

Berikut adalah hasil dari kurva base shear terhadap drift dari elemen 9 selama gempa
El Centro berlangsung:

Hybrid Arah X
1500

1000

Base Shear (kN)

500

-0.50%

-0.1797157%,
32.45615
-0.40%

-0.30%

-0.20%

-0.10%

0
0.00%

0.10%

-500

-1000

Drift (%)

-1500

Hybrid Arah X
Gambar VI. 23 Kurva histeretik sistem hybrid arah X

99

0.20%

0.30%

Hybrid Arah Y
600
400

Base Shear (kN)

200

-0.40%

-0.20%

0.4383725%, 4.559932

0
0.00%

0.20%

0.40%

0.60%

0.80%

-200
-400
-600
-800

Drift (%)
Hybrid Arah Y

Gambar VI. 24 Kurva histeretik sistem hybrid arah Y

Konvensional Arah X
1000
800
600

Base Shear (kN)

400

-0.40%

200

-0.30%

-0.20%

0
-0.10% 0.00%
-200

0.2572655%,
20.97419
0.10%

0.20%

0.30%

-400
-600
-800
Drift (%)
Konvensional Arah X
Gambar VI. 25 Kurva histeretik sistem konvensional arah X

100

0.40%

Konvensional Arah Y
400
300
200

Base Shear (kN)

100

-0.80%

-0.6674429%,
9.255363

-0.60%

-0.40%

0
0.00%

-0.20%

0.20%

0.40%

0.60%

-100
-200
-300
-400
Drift (%)
Konvensional Arah Y
Gambar VI. 26 Kurva histeretik sistem konvensional arah Y

Berdasarkan kurva histeretik diatas, dapat terlihat mekanisme disipasi energi


gempa sistem hybrid oleh sifat self centering pada saat mekanisme goyang. Sedangkan,
untuk sistem konvensional mekanisme disipasi energi gempa mengandalkan kelelehan
struktur. Sistem hybrid memiliki kinerja struktur setelah gempa (post-earthquake) yang
lebih baik dari sistem konvensional. Sistem hybrid membentuk suatu mekanisme
gerakan untuk kembali ke posisi initial struktur yang membuat deformasi sisa (residual
deformation) pilar kecil. Fenomena tersebut dapat terjadi karena sifat self-centering
dari sistem hybrid saat mekanisme goyang (rocking mechanism) terjadi.
Berdasarkan kurva diatas, sistem hybrid memiliki residual drift sebesar 0,18%
pada arah X dan 0,438% pada arah Y saat beban berbalik arah. Sedangkan, sistem
konvensional memiliki residual drift sebesar 0.257% pada arah X dan 0,667% saat

101

beban berbalik arah. Efek self-centering dapat terlihat dari kurva histeretik diatas,
sehingga penggunaan analogi model clough cukup baik.
Berikut ilustrasi deformasi sisa pada sistem hybrid dan konvensional:

Gambar VI. 27 Jembatan pada kondisi initial (atas), sistem hybrid setelah gempa (tengah), dan sistem
konvensional setelah gempa (bawah)

102

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Kesimpulan
Pendesainan jembatan menggunakan sistem hybrid tidak terdapat perbedaan
secara struktural dan pembebanan dengan sistem konvensional. Pendesainan struktur
dan pembebanan jembatan guideway monorel terlebih dahulu dilakukan berdasarkan
ketentuan yang terdapat pada AASHTO LRFD 2011 Seismic Bridge Design
Spesification, AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Spesification, SNI 2833-2013, dan
ACI 343.1R-12. Jenis beban yang dipilih untuk jembatan guideway monorel SoekarnoHatta adalah beban mati, beban akibat prategang, beban monorel, beban kejut, beban
rem, beban hunting, beban angin, efek temperatur, susut dan rangkak beton, dan beban
gempa dengan probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.
Selanjutnya, pendesainan detailing untuk sistem konvensional mengacu pada
AASHTO LRFD 2011, AASHTO LRFD 2012, CALTRANS v1.7 2013, SNI 28332013, dan SNI 2847-2013. Desain jembatan guideway monorel Soekarno-Hatta harus
memenuhi ketentuan serviceability atau kenyamanan dan efek P-. Detailing pada
sistem hybrid didesain dengan menyamakan kapasitas sistem konvensional.
Pendesainan tendon pada sistem hybrid mengacu pada ACI ITG-5.1-07 dan ACI ITG5.2-09.
Perbedaan pendesainan sistem hybrid dan konvensional juga terletak pada
pemodelan properti sendi plastis, seperti diagram interaksi dan kurva backbone.
Pemodelan dan pengolahan data properti sendi plastis dari sistem hybrid sangat penting
karena akan mempengaruhi perilaku dan kinerja saat terjadi plastifikasi struktur.
Pemodelan dan pengolahan data properti sendi plastis mengacu pada ASCE 41-13 dan
FEMA 356, serta beberapa paper eksperimen.

103

Level kinerja jembatan guideway monorel dengan sistem hybrid dan


konvensional untuk menahan gaya gempa dievaluasi menggunakan dua analisis, yaitu
pushover dan NLTH. Level kinerja yang dihasilkan dari kedua sistem tidak berbeda.
Berdasarkan analisis pushover, level kinerja dari sistem hybrid dan konvensional untuk
arah memanjang (arah X) adalah fully operational. Sedangkan untuk arah transversal
(arah Y), kedua sistem berada pada level kinerja life safety.
Berdasarkan NLTHA, level level kinerja dari sistem hybrid dan konvensional
untuk arah memanjang (arah X) adalah immediate occupancy. Sedangkan untuk arah
transversal (arah Y), kedua sistem berada pada level kinerja life safety. Jembatan
guideway monorel Bandara Soekarno-Hatta memiliki level kinerja life safety bila
menggunakan sistem hybrid maupun sistem konvensional.
Analisis pushover menghasilkan perilaku sistem hybrid yang lebih getas
dibandingkan sistem konvensional. Hal ini disebabkan terdapat keterbatasan pada
analisis pushover. Sistem hybrid memiliki mekanisme disipasi energi melalui
mekanisme goyang bukan mekanisme kelelehan. Pada analisis pushover, seluruh
parameter struktur dihasilkan berdasarkan mekanisme kelelehan sehingga sistem
hybrid memiliki daktilitas yang lebih rendah akibat prategang.
Analisis NLTH dapat membuktikan sifat self-centering dari sistem hybrid. Sifat
self-centering aktif saat mekanisme goyang (rocking mechanism) terjadi pada pilar
jembatan akibat gaya gempa. Sifat self-centering ini yang membuat sistem hybrid
memiliki kinerja yang lebih baik setelah gempa terjadi (post-earthquake). Deformasi
sisa (residual deformation) dari sistem hybrid untuk arah memanjang dan arah
transversal sekitar 1,5 kali lebih rendah dibandingkan sistem konvensional. Sehingga,
jembatan guideway monorel dengan sistem hybrid dapat meminimumkan kerusakan
permanen yang terjadi pada pilar jembatan. Selain keunggulan, sistem hybrid memiliki
kelemahan yaitu bila tendon mengalami kelelehan maka sifat self centering dari sistem
hybrid tidak terjadi. Dampaknya, disipasi energi dari sistem hybrid akan bergantung

104

pada mekanisme kelelehan yang membuat sistem hybrid menjadi lebih getas dari
sistem konvensional hingga dua kalinya.

VII.2. SARAN
Dalam pengerjaan tugas akhir ini, model histeretik sistem hybrid menggunakan
analogi dengan model histeretik clough akibat keterbatasan program MIDAS CIVIL
2011. Analogi model histeretik dapat menyebabkan tidak akuratnya hasil analisis dari
NLTH sehingga perilaku dan level kinerja struktur dapat berpengaruh. Selanjutnya,
disarankan terdapat studi perbandingan kinerja sistem hybrid dapat menggunakan
program yang mampu meng-input model histeretik secara manual.
Selain itu, jembatan-jembatan perkotaan tidak hanya memiliki bagian lintasan
atau bentuk yang lurus saja, tetapi terdapat bagian yang memiliki kelengkungan. Pada
tugas akhir ini, studi perbandingan hanya pada lintasan atau bentuk jembatan yang
lurus. Studi perbandingan selanjutnya disarankan mampu membandingkan sistem
hybrid dan sistem konvensional pada lintasan atau bentuk jembatan yang memiliki
kelengkungan sehingga variabel yang berpengaruh akan lebih banyak.

105

DAFTAR PUSTAKA
ADAPT Technical Note. 2004. Prestressing Losses and Elongation Calculations.
United States of America.
American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO).
2011. AASHTO LRFD 2011. Seismic Bridge Design Spesification 2nd Edtion.
United States of America.
American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO).
2012. AASHTO LRFD 2012. Bridge Design Spesification 6th Edtion. United
States of America.
American Concrete Institute (ACI). 2007. ACI ITG-5.1-07. Acceptance Criteria for
Special Unbonded Post-Tensioned Precast Structural Walls Based on Validation
Testing and Commentary. United States of America.
American Concrete Institute (ACI). 2009. ACI ITG-5.2-09. Requirements for Design
of a Special Unbonded Post-Tensioned Precast Shear Wall Satisfying ACI ITG5.1. United States of America.
American Concrete Institute (ACI). 2012. ACI 343.1R-12. Guide for The Analysis and
Design of Reinforced and Prestressed Concrete Guideway Structures. United
States of America
American Society of Civil Engineers. 2005. ASCe 7-05. Minimum Design Loads for
Buildings and Other Structures. United States of America.
American Society of Civil Engineers. 2013. ASCe 41-13. Seismic Evaluation and
Retrofit of Existing Buildings. United States of America.
Badan Standarisasi Nasional. 2012. SNI 1726-2012. Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Nongedung.
Indonesia.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. SNI 2833-2013. Perancangan Jembatan Terhadap
Beban Gempa. Indonesia.

xvi

Badan Standarisasi Nasional. 2013. SNI 2847-2013. Persyaratan Beton Struktural


Untuk Bangunan Gedung. Indonesia.
California Seismic Safety Commission. ATC 40-96. Seismic Evaluation and Retrofit
of Concrete Buildings. United States of America.
California Transportation. 2013. CALTRANS v1.7-2013. Seismic Design Criteria
(SDC). United States of America.
Guerra, Luigi. Design, Modeling, and Experimental Testing of a Seismic Resistant
Bridge Column with Post-Tensioned Connection. Italy.
Heiber, et. al. 2005. Precast Concrete Pier Systems for Rapid Construction of Bridges
in Seismic Regions. United States of America.
Hewes, et.al. 2002. Seismic Design and Performance of Precast Concrete Segmental
Bridge Columns. United States of America.
Mohamed, Haitham. 2010. Seismic Behavior and Design of Segmental Precast PostTensioned. United States of America.
National Cooperative Highway Research Program (NCHRP). 2013. NCHRP Synthesis
440. Performance-Based Seismic Bridge Design. United States of America.

xvii

LAMPIRAN

xviii

LAMPIRAN A
Detailing Pilar Sistem Konvensional
*warna merah = bagian yang di-input
Properti Penampang
Bentuk Pier
D pier
diameter pier
t pier
tebal pier head
head 1
t pier
tebal pier head 2
head 2
L pier
tinggi pier
Ag pier luas gross pier

=
=
=

Silinder
1100 mm
1800 mm

1000 mm

Cover beton
fc' Pier
kekuatan tekan beton
Ec Pier Modulus Elastisitas
dbl
diameter tulangan
longitudinal
cu
failure strain of concrete in
compression
dbt
diameter tulangan transversal
Es
modulus elastisitas tulangan
baja
n
jumlah tulangan
tulangan
As
luas tulangan

=
=
=
=

50
37
28588.98389
43

0.003

fyh
fu
s
Ep
fpu
fpy

=
=

10000 mm
950331.778 mm2
mm
MPa
MPa
mm

=
=

16 mm
200000 MPa

19 buah

-->

27591.82288 mm2

-->

tegangan leleh tulangan spiral


tegangan ultimate baja
regangan baja

=
=
=

400 MPa
600 MPa
0.002

modulus elastisitas tendon


kekuatan ultimate tendon
kekuatan leleh tendon

=
=
=

196500.634 MPa
1861.585 MPa
1675.426 MPa

xix

dari
SPCOLUMN
dari
SPCOLUMN

Gaya Dalam
Nu max
Nu min
Mx max
Mx min
My max
My min
Fx max
Fx min
Fy max
Fy min
T max
T min

axial
axial
moment sb. X
moment sb. X
moment sb. Y
moment sb. Y
geser sb. X
geser sb. X
geser sb. Y
geser sb. Y
torsi
torsi

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

4496.670
714.820
4337.260
-4325.570
1696.970
-1702.550
332.490
-325.410
350.050
-348.090
74.440
17.410

kN
kN
kN*m
kN*m
kN*m
kN*m
kN
kN
kN
kN
kN*m
kN*m

Perhitungan Detailing
axial

resistance factor

geser
lentur
Torsi

resistance factor
resistance factor
resistance factor

=
=
=

0.9 -->

AASHTO LRFD 2012


Bridge Design Page 5-26

0.75
0.9
0.75

Dimensi Pier
Caltrans 2013 Page 7-33
Dc
Ds
1-1
Ds
1-2
Dfg
fye

lebar kolom pada arah yang


ditinjau
tebal superstructure pada head
pier
tebal superstructure pada head
pier
kedalaman footing
kuat tarik leleh tulangan
minimum aktual

ratio Dc/Ds 1-1


ratio Dc/Ds 1-2
ratio Dc/Ds 1
ratio Dc/Dfg

1100 mm

1800 mm

1000 mm

=
=

2000 mm
400 MPa

=
=

0.611
1.1
0.856
1.818

xx

-->
-->

OK!
OK!

AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Page 5-149


Dc
L pier

lebar kolom maksimum


tinggi pier bersih (dibawah
flared)

rasio

=
=

1100 mm
10000 mm

9.091

-->

Perilaku
Kolom

Plastic Hinge
Panjang Plastic Hinge (Caltrans 2013 Page 7-34)
Case plastic hinge
Kantilever
L pier
Member length from the point of maximum
moment to the point of contra flexure
cgc pier head
L
Member length from the point of maximum
moment to the point of contra flexure

10000 mm

=
=

1036.937 mm
11036.937 mm

5000 mm

Sistem Pier
L terpilih Member length from the point of maximum
moment to the point of contra flexure
fye
kuat tarik leleh tulangan minimum aktual
dbl
diameter nominal tulangan longitudinal

=
=

Jepit-Jepit
5000 mm

Lp

Jepit-Jepit
L
Member length from the point of maximum
moment to the point of contra flexure

panjang plastic hinge

=
=

400 MPa
43 mm
778.4 mm
>=

-->

800
mm

756.8 mm

Tulangan Longitudinal
Minimum Panjang Penyaluran Tulangan Longitudinal ke Cap Beam (Caltrans 2013
Page 8-2)
dbl

diameter nominal tulangan longitudinal =

lac
panjang penyaluran ke cap beam
lac dengan epoxy coated

xxi

=
=

43 mm
1032 mm
1238.4 mm

-->

1300 mm

Panjang Penyaluran Agar Sampai Ke Shaft Type II (Caltrans 2013 Page 8-3 ; AASHTO
LRFD 2012 Bridge Design Page 5-160)
Dc
lebar kolom pada arah yang ditinjau
dbl
diameter tulangan longitudinal
As 1 tulangan
fyh
tegangan leleh tulangan spiral
fc' Pier
kekuatan tekan beton
ldb
panjang penyaluran

=
=
=
=
=
=

1100
43
1452.201
400
37
177.551

mm
mm
mm2
MPa
MPa
mm

epoxy
coated
nonepoxy
coated
ld

koefisien

0.9

koefisien

0.6

panjang penyaluran Shaft

159.796 mm

syarat 1
syarat 2
Panjang Penyaluran sampai ke Shaft Type II

=
=
=

1259.796 mm
1419.592 mm
1259.796 mm

min 1
min 2
min

=
=
=

1259.796 mm
1401.8 mm
1259.796 mm
<=
6096 mm

Maximum Longitudinal Bar Diameter (Caltrans 2013 Page 8-3)


fc' pier
L

Dc
fye

dbl max

kuat tekan beton pier


Member length from the point of
maximum moment to the point of
contra flexure
lebar kolom pada arah yang ditinjau
kuat tarik leleh tulangan minimum
aktual

=
=

37 MPa
5000 mm

=
=

1100 mm
400 MPa

diameter longitudinal max

=
xxii

142.109 mm

-->

AASHTO
LRFD 2012
Bridge
Design Page
5-160

-->

1300 mm

-->

1300 mm

dbl

diameter nominal tulangan longitudinal =

43 mm

-->

OK!

Batas Rasio Tulangan Longitudinal (AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Page 5-149)
D pier
Ag pier
As

dimensi pier
luas gross pier
luas tulangan

=
=
=

1100 mm
950331.7777 mm2
27591.82288 mm2

min rasio
max rasio

=
=

1.00%
4.00%

rasio tulangan terpasang

2.90%

-->

Cek Rasio
Longitudinal
di sub-Torsi

Sambungan Lewatan (SNI 2833-201X Page 36 ; Caltrans 2013 Page 8-1)


tidak di izinkan sambungan lewatan
L tulangan panjang tulangan yang ada di pasar
indonesia
L pier
tinggi pier

12000 mm

10000 mm

-->

Tidak Perlu
Spliced

Spasi antar Tulangan Longitudinal Min Tidak Boleh Kurang (SNI 2847-2013 Page 50)
dbl
diameter tulangan longitudinal
syarat 1
1.5db
syarat 2
spasi terpilih

=
=
=
=

43
64.5
40
64.5

mm
mm
mm
mm

-->

CEK
PCACOL

Tulangan Sengkang
Maximum Spacing untuk Tulangan Sengkang (Caltrans 2013 Page 8-4)
dbl
D pier

diameter nominal tulangan longitudinal


diameter pier

=
=

43 mm
1100 mm

syarat 1
syarat 2
syarat 3

=
=
=

550 mm
258 mm
203.2 mm

Max spacing

203.2 mm

xxiii

-->

200 mm

Tulangan Sengkang Daerah Sendi Plastis (AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Page
5-69 ; 5-150 dan SNI 2833-201x Page 33)
D pier
Cover beton
dbt
dbl
L pier
Es
fyh
As
Ag pier
fc' pier
bv
Dr pier
de
dv
Aps
fpu
fpo
Ep
Vp
Nu max
Mu max

diameter pier
diameter tulangan transversal
diameter tulangan longitudinal
tinggi pier
modulus elastisitas tulangan baja
tegangan leleh tulangan spiral
luas tulangan
luas gross pier
kekuatan tekan beton
lebar efektif penampang
Jarak dari serat tertekan ke pusat tulangan
longitudinal
kedalaman geser efektif
luas prestress pada daerah tarik
kekuatan ultimate tendon
0.7*fpu
modulus elastisitas prestress
gaya geser akibat prestress
=
714.82 kN
=
4337.26 kN*m

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

= 12140402066 N*mm
= 2428080.413 N
-->

Vu max

Vu design
0.1*fc'*Ag

=
=

2428.080413 kN
3516.227578 kN

resistance factor

-->
-->
-->
=

xxiv

mm
mm
mm
mm
mm
MPa
MPa
mm2
mm2
MPa
mm
mm

=
851.280 mm
=
766.152 mm
=
0 mm2
= 1861.584953 MPa
=
1303.109 MPa
=
196500.634 MPa
=
0 kN
-->
714820 N
--> 4337260000 N*mm

Mpr
Ve

350.05 kN

1100
50
16
43
10000
200000
400
27591.82288
950331.7777
37
1100
946.5

2428.08041 kN
350050 kN
2428080.41 N
3516227.58 N
0.75

AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Page 5-69


asumsi
s

Vc saat
Vu>=0.1*fc'*Ag

regangan tarik tulangan longitudinal


faktor yang menunjukkan kemampuan beton
dengan retak diagonal untuk mentransfer tarik
dan geser
kontribusi beton menahan geser

X
950.8215
0
Vc saat Vu
kontribusi beton menahan geser
Cek Vc dengan cara konvensional
Vc konvensional
Vc terpilih
Vs
Vs max

kontribusi sengkang
kontribusi sengkang max

SNI 2833-201X Page 35 ; Caltrans 2013 Page 8-3


bentuk penulangan sengkang
n
jumlah penampang inti spiral melingkar
interlocking
Asp
luas tulangan sengkang
fyh
tegangan leleh tulangan spiral melingkar
D'
diameter inti kolom yang diukur dari pusat
spiral melingkar
S
jarak antar sengkang
Asv min
luas tulangan sengkang melingkar minimum

= section containing at least


the minimum amount of
transverse reinforcement
=
0.002
=
2.235

950.821 kN

Y
3516.228
0
875.435 kN

854.392 kN

=
=
=

854.392 kN
2383.048 kN -->
3098424.395 kN

= melingkar
= 1

-->

OK!

= 201.062
= 400
= 984

mm2
MPa
mm

-->

OK!

= 52.164
= 20.91

mm
mm2

-->

50 mm

Syarat spasi tulangan transversal Pada Sendi Plastis (SNI 2833-201X Page 36 dan SNI 28472013 Page 55)
syarat 1 (sengkang harus terpasang di bagian atas dan bawah kolom sepanjang tidak kurang dari)
D max kolom
penampang terbesar kolom
=
1100 mm
1/6*L pier
=
1666.667 mm
450 mm
=
450 mm
=
1666.667 mm
xxv

OK

syarat 2 --> di perpanjang ke atas dan bawah sambungan


syarat 3
S max 1
1/4*dimensi terkecil
S max 2
100 mm dari pusat ke pusat
S max

=
=
=

275 mm
100 mm
100 mm

S max SNI 2847


S min SNI 2847

=
=

75 mm
25 mm

S terpasang

50 mm

Cek Syarat Tulangan Sengkang Daerah Sendi Plastis (AASHTO LRFD 2012 Bridge
Design Page 5-151 ; Caltrans 2013 Page 3-18)
fc' pier
fyh
n
Asp
S terpasang
D'
Ac

kekuatan tekan beton


tegangan leleh tulangan spiral melingkar
jumlah penampang inti spiral melingkar
interlocking
luas tulangan sengkang
diameter inti kolom yang diukur dari pusat
spiral melingkar
luas inti beton

=
=
=

37 MPa
400 MPa
1

=
=
=

201.062 mm2
50 mm
984 mm

760466.484 mm2

bentuk penulangan sengkang


s
rasio volumentric penulangan spiral
syarat 1
syarat 2

= melingkar
=
0.016
=
0.011
=
0.010

syarat terpilih

-->

0.011

Syarat spasi tulangan transversal Diluar Sendi Plastis (SNI 2847-2013 Page 55)
dbl
diameter tulangan longitudinal
=
43 mm
S min 1
S min 2
S terpilih

=
=
=

xxvi

150 mm
258 mm
150 mm

OK!

Torsi
Cek Torsi (AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Page 5-58)
D pier
Acp

=
=

1100
950331.778

mm
mm2

3455.752

mm

fc' pier

diameter pier
total area enclosed by outside
perimeter of concrete cross-section
the length of the outside perimeter
of the concrete section
kekuatan tekan beton

37

MPa

Tcr

torsional cracking moment

198709586.9 N*mm -- 198.709 kN*m


>
0.75
37.258
kN*m -->
Torsi
Diperhitungkan
74.44
kN*m

pc

torsi
resistance factor
0.25 * Tcr

=
=

Tu max

Dimensi Penampang (SNI 2847-2013 Page 96)


Jenis penampang
Vu design
Vc
kontribusi beton dalam menahan geser
Tu max
fc' pier
kekuatan tekan beton
D pier
diameter pier
Cover beton
dbl
diameter tulangan longitudinal
dbt
diameter tulangan transversal
D oh
diameter dari luar sengkang
torsi
resistance factor

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

solid
2428080.413
854392.433
74440000
37
1100
50
43
16
1050
0.75

Aoh
ph
bv
Dr pier

=
=
=
=

865901.475
3298.672
1100
946.5

=
=

2.340
3.626

luas area dari sengkang terluar kedalam


keliling dari sengkang terluar kedalam
lebar efektif penampang
Jarak dari serat tertekan ke pusat
tulangan longitudinal

ruas kiri
ruas kanan

xxvii

N
N
N*mm
MPa
mm
mm
mm
mm
mm

mm2
mm
mm
mm

-->

OK!

Kebutuhan Tulangan Sengkang (SNI 2847-2013 Page 96)


Aoh
Ao
n

luas area dari sengkang terluar kedalam


jumlah penampang inti spiral
melingkar interlocking
luas tulangan sengkang

=
=
=

865901.475 mm2
736016.254 mm2
1

=
=
=
=
=
=
=
=
=

16 mm
1100 mm

At/s
At/s
min
At/s terpilih
S torsi
S min 1
Smin 2
Smin 3

=
=

0.169 mm
0.481 mm

St terpilih
db tor
n

=
=
=

=
=
=
=
=

201.062
74440000
0.75
99253333.33
3298.672
50
400

mm2
N*mm

Asp
Tu max
torsi
resistance factor
Tn
ph
keliling dari sengkang terluar kedalam
S terpasang
fyh
tegangan leleh tulangan spiral
melingkar
dbt
diameter tulangan transversal
bv
lebar efektif penampang

0.481
417.791
412.334
300
150

N*mm
mm
mm
MPa

mm
mm
mm
mm

150 mm
16 mm
1

Kebutuhan Tulangan Longitudinal (SNI 2847-2013 Page 97)


Acp
ph
fc' Pier
fyh
fyl
At/s
torsi

total area enclosed by outside perimeter


of concrete cross-section
keliling dari sengkang terluar kedalam
kekuatan tekan beton
tegangan leleh tulangan spiral
melingkar
tegangan leleh tulangan longitudinal

xxviii

950331.778 mm2

=
=
=

3298.672 mm
37 MPa
400 MPa

=
=

400 MPa
0.481

St
dbl
diameter tulangan longitudinal
dbl min diameter tulangan longitudinal
1
kebutuhan torsi min
dbl min diameter tulangan longitudinal
2
kebutuhan torsi min
dbl terpilih

=
=
=

150 mm
43 mm
6.25 mm

10 mm

43 mm

Al

1587.486 mm2

4482.189 mm2

Al terpasang
n
jumlah tulangan

=
=

4482.189 mm2
3.086

n
jumlah tulangan
tulangan
n longitudinal terpasang

19

23

Al min

luas tulangan longitudinal kebutuhan


torsi
luas tulangan longitudinal minimum

cek rasio tulangan


D pier
dimensi pier
Ag pier luas gross pier
As
luas tulangan

=
=
=

4 buah

1100 mm
950331.778 mm2
33400.628 mm2

min
rasio
max
rasio

1.00%

4.00%

rasio tulangan terpasang

3.51%

xxix

-->

-->

OK!

Anda mungkin juga menyukai