Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku pasien, yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. System
pasien berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. Definisi
keperawata jiwa menurut ANA: suatu bentuk praktik keperawatan yang menerapkan
teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaata sebagai
kiatnya.
Praktik keperawatan jiwa terjadi dalam konteks social dan ligkungan. Peran
keperawatan jiwa professional kini mencakup dimensi kompetensi klinis, advokasi pasien
keluarga, tanggung jawab fiscal, kolaborasi antar disiplin, akuntabilitas social, dan
parameter legal-etik.
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan
hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat, 1991). Perawat
memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses
keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan
praktik keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam
melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien secara
ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan
merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah.
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Klien
yang mengalami masalah pada psikososial akan berbeda dari klien yang mengalami
masalah fisik, karena masalah psikososial bersifat subjektif dan berbeda antara satu orang
dengan yang lainnya, dalam proses asuhan keperawatannya pun perlu pendekatan
psikososial.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk membahas mengenai
asuhan keperawatan dengan gangguan psikososial
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada kilen dengan gangguan psikososial ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan klien krisis
1

3.
4.
5.
6.
7.
8.
C.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bagaimana asuhan keperawatan klien kehilangan ?


Bagaimana asuhan keperawatan klien psikoseksual ?
Bagaimana asuhan keperawatan klien marah ?
Bagaimana asuhan keperawatan klien kecemasan ?
Bagaimana asuhan keperawatan PTSD ?
Bagaimana asuhan keperawatan klien insomnia ?
Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan kien krisis
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien kehilangan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien psikoseksual
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien marah
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien kecemasan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien PTSD
Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien insomnia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan pada Klien Krisis
Krisis adalah suatu kondisi dimana individu tak mampu mengatasi masalah dengan
cara (mekanisme koping) yang biasa dipakai. Krisis dapat terjadi akibat ketidakseimbangan
psikologis, yang merupakan hasil dari peristiwa menegangkan atau mengancam integritas

diri. Hal ini merupakan bagian dari kehidupan yang dapat terjadi dengan bentuk dan
penyebab yang bermacam-macam, dan dapat disebabkan karena factor eksternal maupun
internal. (Asuhan Keperawatan Jiwa, Sujono Riyadi & Teguh Purwanto, 2009)
Krisis adalah gangguan internal yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang dapat
menimbulkan stress, dan dirasakan sebagai ancaman bagi individu. Krisis terjadi jika
seseorang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan hidup yang penting, dan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan metode pemecahan masalah (koping) yang biasa
digunakan.
a. Penyebab
2. Kehilangan :
a. Kehilangan
yang penting
b. Perceraian
c. Pekerjaan

orang

3. Transisi :
a. Pindah rumah
b. Lulus sekolah
c. Perkawinan
d. Melahirkan

5.
6.

4. Tantangan :
a. Promosi
b. Perubahan
karir

b. Tipe Tipe Krisis


1. Krisis Maturasi
7. Perkembangan kepribadian merupakan suatu rentang yang setiap saat tahap mempunyai
tugas dan masalah yang harus diselesaikan untuk menuju kematangan pribadi individu.
Keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan masalahnya tiap tahap dipengaruhi
kemampuan individu mengatasi stress yang terjadi dalam kehidupannya. Krisis maturasi
terjadi dalam satu periode transisi masa perkembangan yang dapat mengganggu
keseimbangan psikologis, seperti pada masa pubertas, masa perkawinan, menjadi orang tua,
menopause, dan usia lanjut. Krisis maturasi memerlukan perubahan peran yang dipengaruhi
oleh peran yang memadai, sumber sumber interpersonal, dan tingkat penerimaan orang lain
terhadap peran baru.
2. Krisis Situasi
8. Krisis situasi terjadi apabila keseimbangan psikologis terganggu akibat dari suatu
kejadian yang spesifik, seperti kehilangan pekerjaan, kehamilan yang tidak diinginkan atau
kehamilan diluar nikah, penyakit akut, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan disekolah.
Peristiwa tersebut dapat berupa :
a) Peristiwa Dapat Diduga
9. Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam peristiwa hidup (misal : memulai sekolah,
gagal sekolah), hubungan dalam keluarga (misal : bertambah anggota keluarga, berpisah,
percereaian) dan diri sendiri (misal : putus pacar).
b) Peristiwa Tak Terduga
10.Peristiwa yang sangat traumatic dan tidak pernah diharapkan. Peristiwa tersebut
misalnya individu mengalami peristiwa seperti kematian orang yang dicintai akibat PHK,
diperkosa, dipenjara, kecelakaan atau bencana.
11.
c) Krisis Malapetaka ( Krisis Sosial )
12.Krisis ini disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak diharapkan serta
menyebabkan kehilangan ganda dan sejumlah perubahan di lingkungan seperti : gunung
meletus, kebakaran dan banjir. Krisis ini tidak dialami oleh setiap orang seperti halnya
pada krisis maturasi.
13.

c. Gejala Pasien Krisis


1. Gejala Fisik:
14. Keluhan somatik (sakit kepala, gastrointestinal, rasa sakit), gangguan nafsu makan
(peningkatan atau penurunan berat badan yang signifikan), gangguan tidur (insomnia,
mimpi buruk), gelisah, sering menangis, iritabilitas.
2. Gejala Kognitif
15. Konfusi, sulit berkonsentrasi, pikiran yang kejar-mengejar, ketidakmampuan mengambil
keputusan.
3. Gejala Perilaku
16. Disorganisasi, impulsive, ledakan kemarahan, sulit menjalankan tanggung jawab peran
yang biasa, menarik diri dari interaksi social.
4. Gejala Emosional
17. Ansietas, marah, merasa bersalah, sedih, depresi, paranoid, curiga, putus asa, tidak
berdaya.
d. Tahap Krisis
18.Dalam menjalani kehidupan individu akan berusaha memenuhi kebutuhan dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang hadapi. Pada tahap Pra Krisis, individu mampu
memenuhi kebutuhan dengan baik. Kemudian pada tahap berikutnya adalah Tahap Krisis.
Pada Tahap Krisis, individu mengalami ancaman atau bahaya yang menyebabkan
disorganisasi dan ketidak seimbangan. Individu mencoba menangani krisis dengan
berbagai cara yang dimiliki atau dengan bantuan orang lain. Tahap akhir adalah Post
Krisis, merupakan tahap penyelesaian masalah. Penyelesaian krisis dapat menghasilkan
keadaan individu yang sama dengan sebelum krisis karena hasil pemecahan masalah
efektif, lebih baik daripada sebelum krisis karena individu menemukan sumber dan cara
penanganan yang baru atau lebih rendah dari sebelum krisis karena masalah individu
menimbulkan prilaku yang maladaptive (individu dapat mengalami depresi, curiga, atau
agresif)
PRA KRISIS
19.
20.
1. Persepsi Ancaman / Bahaya
21.
e. Fase2. Sisi
FaseDisorganisasi
Terjadi Krisis
22. Fase 1

KRISIS
3. Ketidakseimbangan
4. Penyelesaian

POST KRISIS

a) Individu dihadapkan pada stressor pemicu.


b) Kecemasan meningkat, individu menggunakan teknik problem solving yang biasa
digunakan.
23. Fase 2
a) Kecemasan

makin

meningkat

karena

kegagalan

penggunan

teknik problem

solving sebelumnya.
b) Individu merasa tidak nyaman, tak ada harapan, bingung.
24. Fase 3
a) Untuk mengatasai krisis individu menggunakan semua sumber untuk memecahkan
masalah, baik internal maupun eksternal.
b) Mencoba menggunakan teknik problem solving baru, jika efektif terjadi resolusi.
25. Fase 4
a) Kegagalan resolusi
b) Kecemasan berubah menjadi kondisi panik, menurunnya fungsi kognitif, emosi labil,
perilaku yang merefleksikan pola pikir psikotik
26.
f. Pohon Masalah
27. Resiko Ansietas
28.
29. Krisis
30.
31. Stress
32.
33. Mekanisme Koping Tidak Efektif
34.
35. Peristiwa Kehilangan
g. Diagnosa Keperawatan
1. Peristiwa Kehilangan.
2. Mekanisme Koping Tidak Efektif.
3. Stress
4. Krisis
5. Resiko Ansietas
36.
37. ASUHAN KEPERAWATAN JIWA : KRISIS

a. Pengkajian
38.Dalam menangani masalah, harus mengingat waktu krisis dan penyelesaiannya.
Waktu tersebut sangat singkat (paling lama 6 minggu), maka pengkajiannya harus
dilaksanakan secara spesifik dan ditekankan pada masalah yang actual. Beberapa aspek
yang harus dikaji adalah :
1. Peristiwa Pencetus, termasuk kebutuhan yang terancam oleh kejadian dan gejala yang
timbul, misalnya :
a) Kehilangan orang yang dicintai, baik karena perpisahan maupun karena kematian.
b) Kehilangan bio-psiko-sosial, seperti kehilangan salah satu bagian tubuh karena
operasi, penyakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran social, dan lain-lain.
c) Kehilangan milik pribadi, misalnya kehilangan harta benda, kewarganegaraan,
rumah digusur.
d) Ancaman kehilangan, misalnya ada anggota keluarga yang sakit, perselisihan
yang hebat dengan pasangan hidup.
e) Perubahan-perubahan seperti pergantian pekerjaan, pindah rumah, garis kerja
yang berbeda.
f) Ancaman-ancaman lain yang dapat diidentifikasi, termasuk semua ancaman
terhadap pemenuhan kebutuhan.
2. Mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian. Persepsi terhadap kejadian yang
menimbulkan krisis, termasuk pokok-pokok pikiran dan ingatan yang berkaitan dengan
kejadian tersebut. Persepsi tersebut meliputi :
a) Apa makna / arti kejadian bagi individu
b) Pengaruh kejadian terhadap masa depan.
c) Apakah individu memandang kejadian tersebut secara realistic.
3. Mengidentifikasi sikap dan kekuatan dari system pendukung meliputi keluarga, sahabat
dan orang-orang penting yang mungkin dapat membantu pasien, seperti :
a) Dengan siapa pasien tinggal ?
b) Apakah punya teman tempat mengeluh / curhat ?
c) Apakah pasien dapat menceritakan masalah yang dihadapi bersama keluarga?
d) Apakah ada orang / lembaga yang dapat member bantuan ?

e) Apakah punya keterampilan untuk mengganti fungsi orang yang hilang, dan
sebagainya ?
4. Mengidentifikasikan kekuatan dan mekanisme koping sebelumnya :
a) Apa yang biasa dilakukan saat mengatasi masalah ?
b) Cara apa yang pernah berhasil dan tidak berhasil serta apa saja yang
menyebabkan kegagalan tersebut ?
c) Apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah sekarang ?
d) Apakah pasien suka menyendiri atau meninggalkan lingkungan agar dapat
berpikir dengan jernih ?
e) Apakah pasien suka mengikuti latihan olahraga untuk mengurangi ketegangan ?
f) Apakah pasien mencetuskan perasaannya dengan menangis ?
39.

Data yang dikumpulkan berkaitan dengan koping individu tak efektif ialah

sebagai berikut :
1. Mengungkapkan tentang kesulitan dengan stress kehidupan.
2. Perasaan tidak berdaya, kebingungan, putus asa.
3. Perasaan diasingkan oleh lingkungan.
4. Mengungkapkan ketidakmampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan.
5. Mengungkapkan ketidakpastian terhadap pilihan pilihan.
6. Mengungkapkan kurangnya dukungan dari orang yang berarti.
7. Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan.
8. Perasaan khawatir, ansietas.
9. Perubahan dalam partisipasi social.
10. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
11. Tampak pasif, ekspresi wajah tegang.
12. Perhatian menurun.
b. Perilaku
40.

Beberapa gejala yang sering ditunjukkan oleh individu dalam keadaan krisis

antara lain :
1. Perasaan tidak berdaya, kebingungan, depresi, menarik diri, keinginan bunuh diri atau
membunuh orang lain.
2. Perasaan diasingkan oleh lingkungannya.

3. Kadang-kadang menunjukka gejala somatic.


41.Pada krisis akibat bencana, perilaku individu dapat diidentifikasi berdasarkan 5
fase respon. Fase respon tersebut yaitu :
1. Dampak Emosional.
42. Fase ini termasuk dampak dari kejadian itu sendiri, dengan karakteristik sebagai
berikut : shock, panic, takut yang berlebihan, ketidakmampuan mengambil keputusan,
dan memulai realitas serta mungkin terjadi perilaku merusak diri.
2. Pemberani (heroine).
43. Terjadi suatu semangat kerja sama yang tinggi antara teman, tetangga dan tim
kedaruratan mengatasi kecemasan dan depresi namun tindakan yang terlalu
berlebihan dapat menyebabkan keletihan
3. Honey Moon (Bulan Madu).
44. Fase ini mulai terlihat satu minggu sampai beberapa bulan setelah terjadi bencana.
Bantuan orang lain berupa uang, sumber daya serta dukungan dari berbagai pihak
terkumpulkan, akan membantu masyarakat baru. Masalah psikologis dan masalah
perilaku mungkin terselubung.
4. Kekecewaan.
45. Fase ini berakhir dua bulan sampai satu tahun. Pada saat ini individu merasa
sangat kecewa, timbul kebencian, frustasi, dan perasaan marah. Individu sering
membandingkan keadaan tetangganya dengan dirinya dan mulai tumbuh rasa benci
atau bermusuhan terhadap orang lain.
5. Rekonstruksi Reorganisasi.
46. Individu mulai menyadari bahwa ia harus menghadapi dan mengatasi masalahnya.
Mereka mulai membangun rumah, bisnis dan hidupnya. Fase ini akan berakhir dalam
beberapa tahun setelah terjadinya bencana.
47.
c. Tindakan Keperawatan
48.Tindakan keperawatan yang utama dapat dibagi menjadi 4 tingkatan dari urutan
yang paling dangkal sampai paling dalam, yaitu :

1) Manipulasi lingkungan. Ini adalah intervensi dengan merubah secara langsung


lingkungan fisik individu atau situasi interpersonalnya, untuk memisahkan individu
dengan stressor yang menyebabkan krisis.
2) Dukungan umum (general support). Tindakan ini dilakukan dengan membuat pasien
merasa bahwa perawat ada disampingnya dan siap untuk membantu, sikap perawat yang
hangat, menerima, empati, serta penuh perhatian merupakan dukungan bagi pasien.
3) Pendekatan genetic (genetic approach). Tindakan ini digunakan untuk sejumlah besar
individu yang mempunyai resiko tinggi, sesegera mungkin. Tindakan ini dilakukan
dengan metode spesifik untuk individu individu yang menghadapi tipe krisis dan
kombinasi krisis atau jika ada resiko bunh diri / membunuh orang lain.
4) Pendekatan individual (individual approach). Tindakan ini meliputi penentuan diagnose,
dan terapi terhadap masalah spesifik pada pasien tertentu. Pendekatan individual ini
efektif untuk semua tipe krisis dan kombinasi krisis atau jika ada resiko bunuh
diri/membunuh orang lain.
d. Diagnosa Keperawatan
1. Peristiwa Kehilangan.
2. Mekanisme Koping Tidak Efektif.
3. Stress
4. Krisis
5. Resiko Ansietas
e. Tujuan
49.

Pasien dapat mengungkapkan perasaan secara bebas.

f. Intervensi
50. Dengan Klien :
1. Membina hubungan saling percaya dengan lebih banyak memakai komunikasi non
verbal.
2. Mengizinkan pasien untuk menangis.
3. Menunjukkan sikap empati.
4. Menyediakan kertas dan alat tulis jika pasien belum mau berbicara.
5. Mengatakan kepada pasien bahwa perawat dapat mengerti apabila dia belum siap untuk
membicarakan perasaannya dan mungkin pasien merasa bahwa nanti perawat akan
mendengarkan jika dia sudah bersedia berbicara.
6. Membantu pasien menggali perasaan serta gejala gejala yang berkaitan dengan
perasaan kehilangan.

51.

Dengan Keluarga Klien :

1. Melakukan pendekatan kepada anggota keluarga dengan sikap yang hangat, empati dan
memberi dukungan.
2. Menanyakan

kepada

keluarga

tentang

penyakit

yang

diderita

oleh

anggota

keluarganya, seperti timbulnya penyakit, beban yang dirasakan, akibat yang diduga
timbul karena penyakit yang didertita oleh anggota keluarga tersebut.
3. Menanyakan tentang perilaku keluarga yang sakit.
4. Menanyakan tentang sikap keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi keluarga
yang sakit.
5. Mendiskusikan dengan keluarga apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi perasan
cemas, takut, dan rasa bersalah.
g. Evaluasi
1. Dapatkah individu menjalankan fungsinya kembali seperti sebelum krisis terjadi ?
2. Sudah ditemukan kebutuhan utama yang dirasakan tercantum oleh kejadian yang menjadi
factor pencetus ?
3. Apakah perilaku maladaptif atau symptom yang ditunjukkan telah berkurang ?
4. Apakah mekanisme koping yang adaptif sudah berfungsi kembali ?
5. Apakah individu telah mempunyai pendukung sebagai tempat ia bertumpu/berpegang ?
6. Pengalaman apa yang diperoleh oleh individu yang mungkin dapat membantunya dalam
menghadapi keadaan krisis dikemudian hari ?
52.
53.
54.
55.
56.
B. Asuhan Keperawatan Klien Kehilangan
1. Pengertian Kehilangan (Loss)
57.Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu
keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.

58.Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu


selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
59.Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan
suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu
keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak
ada).
2.

Pengertian Berduka Cita (Grieving)


60.Grieving adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan
kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian.
61.Bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama individu melewati
rekasi

3. Bentuk-Bentuk Kehilangan
1) Kehilangan orang yang berarti.
2) Kehilangan kesejahteraan.
3) Kehilangan milik pribadi.
4. Sifat Kehilangan
1) Tiba tiba (Tidak dapat diramalkan)
62.Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan
dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau
pelalaian diri akan sulit diterima.
2) Berangsur angsur (Dapat Diramalkan)
63.Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang
ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984).
64.
65.
5. Tipe Kehilangan
1) Actual Loss
66.Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan
individu yang mengalami kehilangan. Contoh : kehilangan anggota badan, uang, pekerjaan,
anggota keluarga.

2) Perceived Loss ( Psikologis )


67.Kehilangan Sesuatu yang dirasakan oleh individu bersangkutan namun tidak
dapat dirasakan / dilihat oleh orang lain. Contoh : Kehilanga masa remaja, lingkungan yang
berharga.
3) Anticipatory Loss
68.Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan
perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering
terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
6. Lima Kategori Kehilangan
1) Kehilangan objek eksternal.
69.Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang
dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng
tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
70.Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal
mencakup lingkungan yang telah dikenal Selama periode tertentu atau kepindahan secara
permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit.
3) Kehilangan orang terdekat
71.Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung,
guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang
terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan
peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau
kematian.
72.
73.
74.
4) Kehilangan aspek diri
75.Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau
psikologis. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga
dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.

5) Kehilangan hidup
76.Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang
tersebut akan meninggal.
7. Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
77.

Menurut Kubler Ross ( 1969 ) terdapat 5 tahapan proses kehilangan:

1) Denial ( Mengingkari )

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan Tidak, saya tidak
percaya bahwa itu terjadi, itu tidak mungkin.

Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus
mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat
apa.

2) Anger ( Marah )

Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan.

Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang
yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri.

Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan
menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.

Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

3) Bergaining ( Tawar Menawar )

Fase ini merupakan fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata kalau saja kejadian itu bisa ditunda
maka saya akan sering berdoa.

Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut
sering dijumpai kalau yang sakit bukan anak saya.

Cenderung menyelesaikan urusan yang bersifat pribadi, membuat surat warisan,


mengunjungi keluarga dsb.

4) Depression ( Bersedih yang mendalam)

Klien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia akan mati dan hal itu tidak bias di tolak.

Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah
bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau
dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga.

Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih,
dorongan libido menurun.

5) . Acceptance (menerima)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.

Menerima kenyataan kehilangan, berpartisipasi aktif, klien merasa damai dan tenang,
serta menyiapkan dirinya menerima kematian.

Klien tampak sering berdoa, duduk diam dengan satu focus pandang, kadang klien ingin
ditemani keluarga / perawat.

Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti saya betul-betul
menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga, atau Sekarang saya
telah siap untuk pergi dengan tenang setelah saya tahu semuanya baik.

78.
79.

Menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) 3 fase :

a. Repudiation ( Penolakan )
b.

Recognition ( Pengenalan )

c.

Reconciliation (Pemulihan /reorganisasi )

80.

Menurut Stuart and Sunden ( 1991 ) 3 fase :

Closed Awareness
81.Klien dan keluarga tidak menyadari akan kemunkinan dan tidak mengerti
mengapa klien sakit dan mereka merasa seolah-olah klien bias sembuh.

Mutual Pretence
82.

Klien dan keluarga mengetahui bahwa prognosa penyakit klien adalah penyakit

terminal, namun berupaya untuk tidak menyinggung atau membicarakan hal tersebut
secara terbuka.

Open Awarenes

83.

Klien dan keluarga menyadari dan mengetahui akan adanya kematian dan merasa

perlu untuk mendiskusikannya.


8. Prespektif Agama Terhadap Kehilangan
84.Dilihat dari perpektif agama hal-hal yang harus diperhatikan oleh individu untuk
mengatasi kehilangan yang dialaminya adalah sabar, berserah diri, menerima dan
mengembalikannya pada Allah SWT.
85.
86.
1.

Teori Askep pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka

Pengkajian
87.Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien: apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku.
88.

Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian gar mengetahui apa

yang mereka pikir dan rasakan adalah :

Persepsi yang adekuat tentang kehilangan

Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan

Perilaku koping yang adekuat selama proses

1) Faktor predisposisi
89.

Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:

Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik

Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.

Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang
berarti pada masa kana-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan
kehilangan pada masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991).

Struktur Kepribadian
90.

Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan

rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
2) Faktor presipitasi
91.Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psikososial antara lain meliputi;

Kehilangan kesehatan

Kehilangan fungsi seksualitas

Kehilangan peran dalam keluarga

Kehilangan posisi di masyarakat

Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai

Kehilangan kewarganegaraan

3) Mekanisme koping
92.Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang digunakan
untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis
mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.
4) Respon Spiritual

Kecewa dan marah terhadap Tuhan

Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan

Tidak memilki harapan; kehilangan makna

5) Respon Fisiologis

Sakit kepala, insomnia

Gangguan nafsu makan

Berat badan turun

Tidak bertenaga

Palpitasi, gangguan pencernaan

Perubahan sistem imune dan endokrin

6) Respon Emosional

Merasa sedih, cemas

. Kebencian

. Merasa bersalah

Perasaan mati rasa

. Emosi yang berubah-ubah

Penderitaan dan kesepian yang berat

Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang
hilang

Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusasaan

Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri

7) Respon Kognitif

Gangguan asumsi dan keyakinan

Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan

Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal

Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.

93.
8) Perilaku

Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti :

Menangis tidak terkontrol

. Sangat gelisah; perilaku mencari

Iritabilitas dan sikap bermusuhan

Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah
meninggal.

Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin membuangnya

Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol

Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau pembunuhan

Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase reorganisasi

2. Analisa Data
1) Data subjektif:

Merasa sedih

Merasa putus asa dan kesepian

Kesulitan mengekspresikan perasaan

Konsentrasi menurun

2) Data objektif:

Menangis

Mengingkari kehilangan

Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain

Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan

Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

3. Diagnosa keperawatan
94.Lynda Carpenito (1995), dalam Nursing Diagnostic Application to Clinicsl
Pratice, menjelaskan tiga diagnosis keperawatan untuk proses berduka yang berdasarkan
pada pada tipe kehilangan.
4. Intervensi
95.

Intervensi untuk klien yang berduka

Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan penyangkalan yang adaptif.

Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima dukungan.

Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi kehilangan masa lalu saat ini.

Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan personal.

Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.

Tawarkan makanan kepada klien tanpa memaksanya untuk makan.

Gunakan komunikasi yang efektif.

1) Tawarkan kehadiran dan berikan pertanyaan terbuka


2) Dorong penjelasan
3) Ungkapkan hasil observasi
4) Gunakan refleksi
5) Cari validasi persepsi
6) Berikan informasi
7) Nyatakan keraguan
8) Gunakan teknik menfokuskan
9) Berupaya menerjemahkan dalam bentuk perasaan atau menyatakan hal yang tersirat

Bina hubungan dan pertahankan keterampilan interpersonal seperti :

1) Kehadiran yang penuh perhatian


2) Menghormati proses berduka klien yang unik
3) Menghormati keyakinan personal klien
4) Menunjukan sikap dapat dipercaya, jujur, dapat diandalkan, konsisten
5) nventori diri secara periodik akan sikap dan masalah yang berhubungan dengan
kehilangan
96.

Prinsip Intervensi Keperawatan pada Pasien dengan Respon Kehilangan

Bina dan jalin hubungan saling percaya

Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang menyakitkan


dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya

Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses berduka

Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka

Beri dukungan terhadap repon kehilangan pasien

Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga

Ajarkan teknik logotherapy dan psychoreligious therapy

Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut :

a.
97.

Fase Pengingkaran
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.

Dorong pasien untuk berbagi rasa, menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan memberikan
jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.
b. Fase marah
Beri dukungan pada pasien untuk mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa
melawan dengan kemarahan.
c. Fase tawar menawar
Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d. Fase depresi
Identifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
Bantu pasien mengurangi rasa bersalah.
e. Fase penerimaan
Bantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dihindari.
98.

Prinsip Intervensi Keperawatan pada Anak dengan Respon Kehilangan

Beri dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan serta menjaga anak selama
masa berduka.

Gali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan konsepnya yang salah.

Bantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan perilaku yang diperhatikan
oleh orang lain.

Ikutsertakan anak dalam upacara pemakaman atau pergi ke rumah duka.


99.

Prinsip Intervensi Keperawatan pada Orangtua dengan Respon Kehilangan

(Kematian Anak)

Bantu untuk diakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama.

Menganjurkan pasien untuk memegang/ melihat jenasah anaknya.

Menyiapkan perangkat kenangan.

Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila diperlukan.

Menjelaskan kepada pasien/ keluarga ciri-ciri respon yang patologis serta tempat mereka
minta bantuan bila diperlukan.

5. Evaluasi

Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan

. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan

Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain

Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat kehilangan

Klien mampu minum obat dengan cara yang benar

100.
101.
102.
103.
104.
C. Asuhan Keperawatan Klien dengan Masalah Psikoseksual
a) Pengertian psikoseksual
105.

Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah, psikologik dan

kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks dan hubungan seks manusia. Seksologi
ialah ilmu yang mempelajari segala aspek ini. Seksualitas adalah keinginan untuk
berhubungan, kehangatan, kemesraan dan cinta, termasuk di dalamnya memandang,
berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas mengandung arti yang luas bagi manusia, karena
sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal tersebut sudah menyertainya.
106. Dengan demikian, maka seks juga bio-psiko-sosial, karena itu pendidikan
mengenai seks harus holistik pula. Bila dititikberatkan pada salah satu aspek saja, maka akan
terjadi gangguan keseimbangan dalam hal ini pada individu atau pada masyarakat dalam
jangka pendek atau jangka panjang, umpamanya hanya aspek biologi saja yang diperhatikan
atau hanya aspek psikologik ataupun sosial saja yang dipertimbangkan.
107. Kita membedakan beberapa pengertian yang berkaitan dengan psikoseksual yang
meliputi:
108.
b) Sexual identity (identitas kelamin)
109.

Identitas kelamin adalah kesadaran individu akan kelaki-lakiannya atau

kewanitaan tubuhnya. Hal ini tergantung pada ciri-ciri seksual biologiknya, yaitu kromosom,
genitalia interna dan eksterna, komposisi hormonal, tetstis dan ovaria serta ciri-ciri sex
sekunder. Dalam perkembangan yang normal, maka pola ini bersatu padu sehingga seorang
individu sejak umur 2 atau 3 tahun sudah tidak ragu-ragu lagi tentang jenis seksnya.
c) Gender identity (identitas jenis kelamin)

110.

Identitas jenis kelamin atau kesadaran akan jenis kelamin kepribadiannya

merupakan hasil isyarat dan petunjuk yang tak terhitung banyaknya dari pengalaman dengan
anggota keluarga, guru, kawan, teman sekerja, dan dari fenomena kebudayaan. Identitas jenis
kelamin dibentuk oleh ciri-ciri fisik yang diperoleh dari seks biologik yang saling
berhubungan dengan suatu sistem rangsangan yang berbelit-belit, termasuk pemberian hadiah
dan hukuman berkenaan dengan hal seks serta sebutan dan petunjuk orangtua mengenai jenis
kelamin. Faktor kebudayaan dapat mengakibatkan konflik tentang identitas jenis kelamin
dengan secara ikut-ikutan memberi cap maskulin atau feminim pada perilaku nonseksual
tertentu.
d) Gender role behaviour (Perilaku peranan jenis kelamin)
111. Perilaku peranan jenis kelamin ialah semua yang dikatakan dan dilakukan
seseorang yang menyatakan bahwa dirinya itu seorang pria atau wanita, meskipun faktor
biologik penting dalam mencapai peranan yang sesuai dengan jenis kelaminnya, faktor utama
ialah faktor belajar. Bila suami-istri menjadi tua, maka hubungan seks memegang peranan
penting dalam mempertahankan kestabilan perkawinan. Dorongan seksual wanita meningkat
antara umur 30-40 tahun dan orgasme dapat saja dicapai sampai pada usia tua. Seorang pria
dapat melakukan aktivitas seksual sampai umur tua juga.
e) Teori Psikoseksual
1. Menurut Teori Libido Freud
112.
Intinsting dalam perkembangan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa
melalui beberapa fase: oral, anal, falik, dan genital. Tiap fase didominasi oleh sebuah
organ somatic.
2. Teori interpersonal
113. Memandang gangguan seksual sebagai manifestasi kekacauan hubungan
atara manusia yang dinyatakan dalam bidang seksual. Teori kebudayaan mengangga
bahwa kepercayaan adat, istiadat dan norma yang khas bagi suatu masyarakat terceminkan
dalam psikologi dan psikopatologi seseorang juga dalam bidang seksual.
3. Teori biologis
114.
Beberapa factor organic telah diimplikasikan dalam etiologi dari
paraphilia. Hal ini mencakup abnormalitas dalam system limbic otak, epilepsy lobus
temporal, tumor lobus temporal, dan kadar androgen abnormal (Bradford dan
McLean, 1984).
4. Teori Psikoanalitik

115.

Pendekatan psikoanalitik mendifinisikan parafiilia sebagai seseorang yang

telah gagal dalam proses perkembangan normal ke arah penilaian heteroseksual


(Abel, 1989).
f) Seksualitas Normal dan Penyesuaian Seks Sehat
116.

Normal dalam hal ini diartikan sehat atau tidak patologik dalam hal fungsi

keseluruhan. Perilaku seksual yang normal ialah yang dapat menyesuaikan diri, bukan saja
dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan
dan pertumbuhan, yaitu perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu
untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.
117.
Penyesuaian diri seksual yang sehat ialah kemampuan memperoleh
penagalaman seksual tanpa rasa takut dan salah, jatuh cinta pada waktu yang cocok dan
menikah dengan partner yang dipilihnya serta mempertahankan rasa cinta kasih dan daya
tarik seksual terhadap partner-nya. Partnernya itu tidak mempunyai gangguan atau
kesukaran yang serius yang dapat mengganggu, merusak atau meniadakan suatu hubungan
bahagia.
g) Rentang Respon
118.

Para pakar yang mendalami masalah seksual tidak setuju dengan tipe

perilaku seksual yang disebut normal. Ekspresi seksual merupakan rentang adaptif dan
maladaptif.

Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Perilaku seksual yang memuaskan dengan menghargai pihak lain
Gangguan perilaku seksual karena kecemasan yang disebabkan oleh penilaian pribadi

atau masyarakat
Disfungsi penampilan seksual
Perilaku seksual yang berbahaya, tidak dilakukan di tempat tertutup atau tidak dilakukan

antara orang dewasa


h) Rentang Perilaku Seksual
119.

Respon seksual yang paling adaptif terlihat dari perilaku yang memenuhi

kriteria sebagaiberikut:

Terjadinya antara dua orang dewasa.


Memberikan kepuasan timbal balik bagi pihak yang terlibat.
Tidak membahayakan kedua belah pihak baik secara psikologis maupun fisik
Tidak ada paksaan.

Tidak dilakukan di tempat umum.

120.
121.
122.
123.
i) Disfungsi Seksual
124.

Disfungsi seksual adalah suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami

suatu perubahan dalam fungsi seksual yang digambarkan sebagai setidakpuasan, merasa
tidak dihargai, tidak adekuat. Disfungsi seksual mungkin terjadi pada beberapa fase dalam
siklus respon seksual.
125. Jenis-jenis dari disfungsi seksual mencakup :
1. Penyimpangan seksual Hipo dan Hiperseksualitas
126.
Pada kedua-duanya, pria dan wanita, mungkin keinginan atau dorongan
seksual itu hanya kecil ataupun sebaliknya besar.
2. Penyimpangan hasrat
127.
Merupakan suatu defisiensi menetap atau berulang tak adanya fantasi
seksual dan hasrat untuk beraktifitas seksual.
3. Penyimpangan getaran seksual
Pada wanita : kegagalan parsial atau komplit yang menetap atau berulang untuk
mempertahankan atau mencapai respon pelumasan pembengkakakan dari kenikmatan

seksual sampai selesai cooitus.


Pada pria : kegagalan parsial atau komplit yang menetap atau berulang pada
seseorang pria untuk mencapai mempertahankan eksresi sampai aktivitas seksual

selesai.
4. Penyimpangan nyeri seksual
128.
Dispareunia, nyeri genital berulang atau menetap pada pria maupun
wanita sebelum, selama atau setelah coitus.
5. Masturbasi kompulsif
129.
Adalah menimbulkan rangsangan dan kepuasan seksual pada diri sendiri.
2) KONSEP TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
130.

Berikut ini pedoman wawancara yang baik dalam mengumpulkan data

yang berkaitan dengan aspek psikoseksual :


1. Menggunakan pendekatan yang jujur dan berdasarkan fakta yang menyadari bahwa klien
sedang mempunyai pertanyaan atau masalah seksual
2. Mempertahankan kontak mata dan duduk dekat klien
3. Memberikan waktu yang memadai untuk membahas masalah seksual, jangan terburu-buru

4. Menggunakan pertanyaan yang terbuka, umum dan luas untuk mendapatkan informasi
mengenai pengetahuan, persepsi dan dampak penyakit berkaitan dengan seksualitas
5. Jangan mendesak klien untuk membicarakan mengenai seksualitas, biarkan terbuka untuk
dibicarakan pada waktu yang akan datang
6. Masalah citra diri, kegiatan hidup sehari-hari dan fungsi sebelum sakit dapat dipakai untuk
mulai membahas masalah seksual
7. Amati klien selama interaksi, dapat memberikan informasi tentang masalah apa yang
dibahas, begitu pula masalah apa yang dihindari klien
8. Minta klien untuk mengklarifikasi komunikasi verbal dan nonverbal yang belum jelas
9. Berinisiatif untuk membahas masalah seksual berarti menghargai klien sebagai makhluk
seksual, memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang masalah seksual.
131.
132.

Perlu dikaji berbagai mekanisme koping yang mungkin digunakan klien

untuk mengekspresikan masalah seksualnya, antara lain :

Fantasi, digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual .


Denial, digunakan untuk menolak pengakuan terhadap konflik atau ketidakpuasan

seksual.
Rasionalisasi, digunakan untuk mendapatkan pembenaran atau penerimaan tentang

motif perilaku, perasaan dan impuls seksual.


Menarik diri, dilakukan untuk mengatasi perasaan llemah, perasaan ambivalen
terhadap hubungan intim yang belum terselesaikan secara tuntas.

133.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan pola seksualitas b.d rasa malu setelah mastektomi, di tandai oleh tidak
adanya keinginan seks.
b. Perubahan pola seksualitas b.d ketidakmampuan untuk mencapai orgasme, ditandai
oleh tidak adanya kepuasan seksual
c. Perubahan pola seksualitas b.d konflik perkawinan, ditandai dengan tidak timbulnya
gairah pada saat pemanasan sebelum berhubungan intim.
d. Disfungsi seksual b.d meminum alcohol yang berlebihan, ditandai oleh
ketidakmampuan untuk mempertahankan ereksi.
e. Disfungsi seksual b.d rasa takut terhadap penetrasi, ditandai oleh rasa sakit ketika
berhubungan intim.
134.
3. Ringkasan Rencana Asuhan Keperawatan
135.
Diagnose keperawatan : perubahan pola seksualitas.

136.

Hasil yang diharapkan : pasien akan mencapai tingkat respon seksual adaptif

maksimal untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan,


137.

Tujuan Jangka

Panjang
140. Klien akan
menguraikan nilai, keyakinan,
pertanyaan, dan masalah yang
berkaitan dengan seksualitas

138.

Intervensi

1. Dengarkan masalah

139.

Rasional

141.

Hubungan teurapeutik

seksualitan yang tersirat yang penuh penerimaan


dan di ekspresikan
2. Bantu klien menggali
keyakinan, nilai, dan
pertanyaan tentang
seksual.
3. Dukung komunikasi

memungkinkan pasien untuk


secara bebas bertanya, dan
mencari bantuan yang
berkaitan dengan masalah
seksualitas

yang terbuka antara


142.

Pasien akan

menghubungkan informasi
yang akurat tentang perhatian
seksual.

pasien dan pasangannya


1. Klarifikasi informasi
143.
yang salah tentang
seksual.
2. Berikan penyuluhan

Informasi akurat akan

membantu dalam mengubah


pikiran dan sikap negative
tentang aspek seksualitas

tertentu tentang praktik

tertentu.
kesehatan, perilaku, dan 144.
145. Pemberian ijin
masalah seksual.
3. Berikan ijin
memperkenankan seseorang
professional untuk

untukmeneruskan perilaku

melanjutkanperilaku

dan mengurangi tentang

seksual yang tidak

sesuatu yang normal.


146.
147. Memungkinkan

berbahaya secara fisik


maupun emosional
4. Dukung sikap positif
pasien
148.

Pasien akan

mengimplementasikan
perilaku baru untuk
meningkatkan respon.

1. Rumuskan tujuan yang


jelas berssama pasien
2. Indentifikasi perilaku
spesifik yang dapat

pasien untuk mengganungkan


perilaku seksual yang positif
dan penerimaan konsep diri.
149. Pemberian saran
langsung terhadap pasien
untuk mengurangi masalah
seksualitas

dilaksanakan dengan
memusatkan pada
peningkatan konsep
diri, fungsi peran dan
seksualitas.
3. Anjurkan klien tektik

150.
151.

Sementara semua

perawata perlu mengkaji


responseksual yang
maladaptive dan memberikan
asuhan , masakah yang

relaksasi, pengalihan,

komlek terapi seks untuk

perhatian, dan cara

penanganan lebih lanjut.

alternative eekspresi
seksual yang sesuai.
4. Rujuk pasien pada
terapi seks yang
professional
sebagaimana
diperlukan
152.
5. Pengkajian Karakteristik
153.
Data 1
Klien mengatakan
Tidak adanya hasrat untuk aktifitas
Ada perasaan jijik, ansietas, panic, sebagai respon terhadap kontak genital
Tidak adanya pelumas atau sensasi subjektif dari rangsangan seksual.
Gagal untuk mencapai atau mempertahankan ereksi selama aktivitas seksual.
Nyeri genital selama coitus.
154.
155.
156.
157.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan disfungsi seksual
Tujuan
Tupen :

1. Pasien akan mengidentifikasikan stressor yang berperan dalam penurunan fungsi


seksualdalam satu minggu
2. Pasien akang lebih mendiskusikan patifisiologi prosespenyakitnya yang
menimbulkan disfungsi seksual
158.
159.

Tupan :
Pasien akan mendapatkan kembali aktivitas seksual pada tingkat yang

memuaskan untuk dirinya dan pasanganya .


160. Intervensi dan Rasional Tertentu

1. Kaji riwayat seksual dan tingkat kepuasaan sebelumnya dalam hubungan seksual.
161.
R/ hal ini menetapkan suatu data dasar untuk bekerja dan memberikan
dasar untuk tujuan.
2. Kaji persepsi pasien terhadap masalah
162.
R/ide pasien tentang apa yang merupakan suatu masalah mungkin berbeda
dari ide perawat.
3. Kaji alam perasaan dan tingkat energy klien
163.
R/ depresi kelelahan menurunkan hasrat dalam seksual.
4. Tinjau aturan pengobatan dan observasi efek samping obat
164.
R/ banyak obat-obatan dapat mempengaruhi fungsi seksual.
5. Anjurkan pasien untuk mendiskusikan proses penyakit yang mungkin menambah
disfungsi seksual.
165.
R/ Pastikan bahwa pasien menyadari ada alternative metode pencapaian
kepuasaan seksual dan dapat dipelajari melalui konseling seks jika pasien dan
pasangannya berhasrat untuk melakukannya juga. Pasien mungkin tidak menyadari
bahwa kepuasan perubahan dapat dibuat dalam kehidupan seksnya.
6. Buat rujukan ke terapi seks jika dibutuhkan .
166.
R/ masalah kompleks mungkin membutuhkan dari seseorang individu
yang dilatih khusus untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
seksualitas.
167.

Evaluasi berdasarkan kriteria hasil/pasien pulang :

1. Pasien mampu menghubungkan factor-faktor fisik atau psikososial yang mengganggu


fungsi seksual
2. Pasien mampu berkomunikasi dengan pasangannya tentang hubungan seksual mereka
tanpa merasa tidak nyaman.
3. Pasien dan pasanganya mengatakan keinginan dan hasrat untuk mencari bantuan dan
terapi seks professional.
168.
169.

Data 2

Klien mengatakan adanya kesukaran, pembatasan atas perubahan dalam perilaku dan

aktivitas seksual.
Klien mengeluh tidak mampu mengekspresikan perilaku seksual
Klien merasakan hasrat untuk mengalami hubungan seksual yang memuaskan dengan

individu lain.
170.
171.
Diagnosa Keperawatan
172.
PErubahan Pola Seksualitas.
173.

174.
Tupen :
1. Klien akan mengatakan aspek-aspek seksualitasnya yang ingin di ubah.
2. Klien dan pasngannya akan saling berkomunikasi.
175.

Tupen :

1. Klien dapat memperlihatkan kepuasaan denganpola seksualitas


2. Klien dan pasngannya akan memperlihatkan kepuasaan dengan hubungannya
seksualitas
176.

Intervensi

1. Kaji riwayat seksual, perhatikan area ketidakpuasaan dalam pola seksual.


177.
R/ pengetahuan tentang apa yang klien terima sebagai masalah adalah
utama untuk memberikan jenis bantuan yang mungkin dibutuhkan klien.
2. Kaji area-area stress dalam kehidupan dan periksa hubungan dengan pasangan
seksualnya.
178.
R/ perilaku seksual yang berbeda seringkali dihubungkan dengan
pasangan nya mungkin sebagai pencapaian akhir kepuasan seksual individu hanya
dari praktik yang berbeda
3. Catat factor-faktor budaya, social, etnik, rasial dan religious yang mungkin
menambah konflik yang berkenaan dengan prektik sekseual yang berbeda.
179.
R/ klien tidak menyadari pengarus factor-faktor ini mendesak dalam
menghasikan perasaan-perasaan tidak nyaman, malu dan bersalah.
4. Bantu therapist dengan perencanaan modifikasi perilaku untuk membantu klien
180.
R/ individu dengan paraphilia ditangani oleh spesialis yang memiliki
pengalaman dalam memodifikasi perilaku seksual yang berbeda. Perawat
mengintervensi bantuan melalui implementasi perencanaan modifikasi perilaku.
181.
yangberhasrat perilaku sekseual yang berbeda.
5. Jelaskan kepada klien bahwa seksualitas suatu respon manusiawi yang normal dan
tidaklah sinonim dengan tindakan seksual seorangpun.
182.
R/ jika klien merasa abnormar atau sangat tidak menyukai orang lain,
konsep diri mungkin sangat rendah, mungkin tetap merasa tidak berhargauntuk
meningkatkan harga diri dan hasrat untuk mengubah perilaku. Bantu klien untuk
melihat bahwa meskipun perilaku berbeda, perasaan dan motivasinya adalah umum.
183.

Evaluasi/hasil kriteria :

1. Klien mampu mengatakan rasa takutnya akan abnormalistas dan ketidaksesuaian


prilaku seksual.
2. Klien mengekspresikan hasrat untuk mengubah perilaku seksual yang berbeda dan
kooperatif dengan rencana modifikasi perilaku.

3. Klien mengekspresikan kepuasan dengan pola seksualitasnya sendiri atau kepuasan


hubungan seksual dengan orang lain.
184.
D. Asuhan keperawatan pada klien dengan ekspresi marah
a. Konsep Marah
1. Pengertian
185.

Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari iritabilitas

sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,kemarahan adalah reaksi
terhadap

stimulus

yang

tidak

menyenangkan

atau

mengancam

(Widjaya

Kusuma,1992:423).
186. Kemarahan menurut Stuart dan Sunden (1987:363) adalah peasaan jengkel yang
timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Budi Ana
Keliat,1996:5).
2. Rentang Respon Kemarahan
187.

Respon kemarahan dapat berfluktasi dalam rentang adaptif maladaptif (lihat

gambar berikut).
188.
189.
Respon adaptif

Respon

maladaptif
190.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------191.
Pernyataan
192.
(assertion)

Frustasi

Pasif

Agresif

Ngamuk
-

Assertion adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan

menimbulkan masalah.
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak
realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak
ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu mengungkapkan

perasaan dan terllihat pasif.


Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasannya,klien tampak
pemalu,pendiam,sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.

Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak
dalam bentuk destruktif dan masih tekontrol. Prilaku yang tampak dapat berupa:muka

masam,bicara kasar,menuntut,kasar disertai kekerasan.


Ngamuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.


3. Proses Kemarahan
193.
Stress,cemas,marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi
194.
oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan dan terancam, Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
195.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :
196.
1). Mengungkapkan secara verbal;
197.
2). Menekan;dan
198.
3). Menantang
199.

Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara

lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan,dan bila cara ini dipakai terus-menerus,maka kemarahan dapat di
ekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psikomatik atau agresif dan ngamuk.
200.
b. Peran Perawat pada Klien Marah
1. Pengkajian
201.

Pada dasarnya pengkajian pada klien marah ditujukan pada semua aspek,yaitu

biopsikososial-kultural-spiritual.

Aspek Biologi
202.

Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi

terhadap sekresi epineprin,sehingga tekanan darah meningkat,takhi kardi,wajah


merah,pupil melebar,dan frekuensi pengeluaran urin meningkat. Ada gejala yang sama
dengan kecemasan seperti meningkatkan kewaspadaan,ketegangan otot seperti rahang
terkatup,tangan dikepal,tubuh kaku,dan reflek cepat. Hal ini disebabkan energi yang
dikeluarkan saat marah bertambah.

Aspek Emosional
203.

Individu yang marah merasa tidak nyaman,merasa tidak berdaya, jengkel,

frustasi,dendam,ingin berkelahi,ngamuk,bermusuhan,sakit hati, menyalagunakan dan


menuntut. Prilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri sendiri perlu dikaji

seperti

melarikan

diri,bolos

dari

sekolah,mencuri,menimbulkan

kebakaran,dan

penyimpangan seksual.

Aspek Intelektual
204.Sebagian besar pengalaman kehidupan individu didapatkan melalui proses
intelektual. Peran pacaindra sangat penting untuk beradaptasi pada lingkungan yang
selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman.

Aspek Sosial
205.

Meliputi interaksi sosial,budaya,konsep rasa percaya dan ketergantungan.

Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang lai. Dan menimbulkan penolakan
dari orang lain. Sebagian klien menyalurkan kemarahan dengan nilai dan mengkritik
tingkah laku orang lain,sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri menjauhkan diri dari orang lain.

Aspek Spiritual
206.

Kepercayaan,nilai,dan

moral

mempengaruhi

ungkapan

marah

individu.Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal ini


bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa,selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepada-Nya.
2. Diagnosa Keperawatan
207.

Beberapa kemungkinan diagnosis keperawatan :

1. Kesulitan mengungkapkan kemarahan tanpa menyakiti orang lain,sehubungan dengan


tidak mengetahui cara ungkapan yang dapat diterima,dimanifestasikan dengan marah
disertai suara keras pada orang sekitar.
2. Gangguan komunikasi sehubungan dengan

perasaan marah terhadap situasi dan

pelayanan yang diterimanya yang dimanifestasikan dengan menghina tau menyalahkan


perawat,seperti Anda seharusnya di sini sejak 1 jam lau.
3. Penyesuaian yang tidak efektif sehubungan denga tidak mampu mengkonfrontasikan
kemarahan,dimanifestasikan dengan mengucapkan kata-kata berlebihan.
4. Penyesuaian yang tidak efektifsehubungan dengan penolakan rasa marah yang
dimanifestasikan dengan kata-kata:Saya tidak bisa marah.

5. Mempunyai potensi untuk mengamuk pada orang lain sehubungan dengan keinginan
yang bertolak belakang dengan perawatan rumah sakit,dimanifestasikan dengan menolak
mengikuti peraturan rumah sakit dan ingin memukul orang lain.
6. Mempunyai potensi untuk mengamuk pada orang lain yang berhubungan dengan fungsi
kontrol otak yang terganggu akibat ada gangguan neurologis otak yang dimanifestasikan
dengan bingung dan hipersensitif terhadap orang sangat interpersonal.
7. Kekuatan marah yang berkepanjangan sehubungan dengan diagnosa baru,situasi baru dan
informasi yang kurang.
3. Intervensi dan implementasi keperawatan
- Kesadaran Diri Merawat
208.

Perawat sering menganggap bahwa klien merupakan sumber masalah

baginya bila klien marah. Bagi perawat yang mengetahui pengetahuan tentang kemarahan
akan dapat membantu klien untuk mengatasi kemarahan. Bagi staf harus menyadari bahwa
klien dapat mengungkapkan marah dengan tidak bermusuhan dan memberi dukungan atas
ungkapan tersebut. Perawat perlu memahami perasaan sendiri dan reaksi terhadap kemarahan
klien.
209.
210.

Batasan Ungkapan Marah


Loomis (1970),dikutipkan dari Stuart dan Sundeen (1987:579)

menetapkan 3 batasan ungkapan marah :


1. Menyatakan harapan pada klien dengan cara yang positif
2. Membantu klien menggali alasan dan maksud tingkah laku klien
3. Bersama klien menetapkan alternatif cara mengungkapkan marah
211.
- Kontrol Terhadap Kekerasan
212.

Perawat perlu mengembangkan kemampuannya mengatasi tingkah laku

klien yang tidak terkontrol. Dengan empati dan pengamatan yang cermat dan tingkah laku
klien,perawat dapat mengantisipasi ledakan kemarahan klien.
213.
-

Aspek Biologis

214.

Memberi cara menyalurkan energi kemarahan dengan cara yang

konstruktif melalui aktivitas fisik seperti: lari pagi,angkat berat,dan aktivitas lain yang
membantu relaksasi otot seperti olahraga. Di rumah sakit dapat dimodifikasi dengan
mobilitas baik pasif maupun aktif misalnya dengan jalan-jalan di taman,latihan pergerakan
tungkai,mendorong kursi roda.
215.

216.
-

Aspek Emosional
217.

Perawat dapat membantu klien yang belum mengenal kemarahannya dengan

menyatakan seperti Bapak tidak tenang atau ibu marah. Hal ini menolong klien mengenal
perasaan marahnya.
218.
-

Aspek Intelektual
219.

Ketika seseorang tiba-tiba marah,ia perlu diarahkan pada batas orientasi kini dan

di sini,pada posisi ini perawat dapat :


1. Menghadapi intensitas kemarahan klien.
2. Mendorong ungkapan rasa marah klien.
3. Membuat kontak fisik dengan klien.
4. Menyertakan klien dalam kelompok.
5. Memeriksa keadaan fisik klien.
6. Kalau perlu jaga jarak untuk menjaga diri.
7. Memberikan laporan kepada perawat yang bertugas berikutnya.
220.
- Aspek Sosial
221.

Bermain peran memungkinkan klien mengeksplorasi perasaan marah dengan

melakukan :
1. Mengkaji pengalaman masa lalu.
2. Bermain peran dalam mengungkapkan marah.
3. Mengembangkan cara pengungkapan rasa marah yang konstruktif
4. Mempelajari cara mengintegrasikan pengalaman.
5. Membagi perasaan dengan anggota kelompok bermain.
222.
- Aspek Spiritual
223.

Bila klien marah kepada Tuhan atau kekuatan supranatural karena yakin

bahwa penyakitnya adalah hukuman dari Tuhan,maka perawat memberi dorongan agar
klien mengungkapkan perasaanya atau memanggil pemimpin agama bila perawat merasa
tidak adekuat. Perawat dapat mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga
memungkinkan terjadi diskusi tentang nilai-nilai spiritual yang meliputi beberapa jauh
klien telah mencapai tujuan hidupnya tentang kehilangan orang terdekat dan kematian
seseorang.
224.
4. Evaluasi

225.

Evaluasi pada klien marah harus berdasarkan observasi perubahan tingkah laku

dan respons subjek klien. Maynard dan Vhitty,1979 (dikutip dari Stuart dan
Sundeen,1987:582) menganjurkan beberapa pertanyaan pada evaluasi :
1. Bagaimana perasaan tentang pengalamannya ?
2. Bagaimana respon orang lain terhadapnya ?
3. Apakah ada kesempatan konfrontasi baginya ?
226.

Fokus evaluasi adalah cara ungkapan kemarahan,ketepatan marah,kesesuaian

objek,kesamaan derajat ungkapan marah dengan faktor pencetus dan kesadaran klien
terhadap proses yang dialami,sehingga jika fase marah telah selesai klien dapat melalui jika
fase berikut sampai dapat menerima keadaan penyakitnya dan dapat menggunakan
penyesuaian yang efektif.
227.
E. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cemas
228.
1. DEFINISI
229.
Ansietas adalah keadaan dimana individu/kelompok mengalami perasaan
gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam merespon terhadap
ancaman yang tidak jelas, non spesifik (Linda Juall Carpenito, Edisi 8).
230.
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas menyebar dialam dan
terkait dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan perasaan isolasi,
keterasingan dan ketidakamanan juga hadir (Stuart dan Laraia, 2005). Ansietas
merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu.
231.
Sisi negatif ansietas atau sisi yang membahayakan ialah rasa khawatir
yang berlebihan tentang masalah yang nyata atau potensial. Hal ini menghabiskan tenaga,
menimbulkan rasa takut, dan menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat
dalam situasi interpersonal, situasi kerja, dan situasi sosial. Diagnosis gangguan ansietas
ditegakkan ketika ansietas tidak lagi berfungsi sebagai tanda bahaya, melainkan menjadi
kronis dan mempengaruhi sebagian besar kehidupan individu sehingga menyebabkan
perilaku maladaptif dan disabilitas emosional. Misalnya, diagnosis gangguan ansietas
umum ditegakkan ketika individu selalu khawatir tentang sesuatu atau semua hal tanpa
alasan yang nyata, merasa gelisah, lelah, dan tegang, serta sulit berkonsentrasi selama
sekurang-kurangnya enam bulan terakhir. Makalah ini berfokus pada gangguan ansietas
yang menyebabkan ansietas yang ekstrenm dan melemahkan, yang mengganggu
kehidupan sehari-hari individu.

232.
2. TANDA DAN GEJALA
233.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami
ansietas (Hawari, 2008), sebagai berikut:
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.
b. Merasa tegang, tidak senang, gelisah, mudah terkejut
c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
f. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan
perkemihan, sakit kepala dan sebagainya.
3. Gejala umum kecemasan
b. Gejala psikologik:
234. Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut gila, takut
kehilangan kontrol dan sebagainya.
c. Gejala fisik:
235. Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan
otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung dan lainlain. Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak
nafas; rasa sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam; ada sesuatu
yang menekan dada; jantung berdebar; mual; vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa
kesemutan; kaki dan tangan tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus
menerus; kaki merasa lemah, sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada
gagap dan banyak lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan
yang dikemukakan disini tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan anxietas
kronik, melainkan seseorang dapat saja mengalami hanya beberapa gejala 1 keluhan
saja. Tetapi pengalaman penderitaan dan gejata ini oleh pasien yang bersangkutan
biasanya dirasakan cukup gawat.
236.
4. TINGKATAN
237.
Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek
membahayakan, yang bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan
seberapa baik individu melakukan koping terhadap ansietas. Menurut Peplau (dalam,

Videbeck, 2008) ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan,
sedang, berat dan panik :
a. Ansietas ringan
238.
Perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan perhatian
khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu individu memfokuskan perhatian
untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan
melindungi diri sendiri. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah
sebagai berikut:
1) Respons fisik
Ketegangan otot ringan
Sadar akan lingkungan
Rileks atau sedikit gelisah
Penuh perhatian
Rajin
2) Respon kognitif
Lapang persepsi luas
Terlihat tenang, percaya diri
Perasaan gagal sedikit
Waspada dan memperhatikan banyak hal
Mempertimbangkan informasi
Tingkat pembelajaran optimal
3) Respons emosional
Perilaku otomatis
Sedikit tidak sadar
Aktivitas menyendiri
Terstimulasi
Tenang
b. Ansietas sedang
239.
Merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benarbenar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Memusatkan pada hal yang
penting dan mengesapingkan yang lain, sehinggga seseorang mengalami perhatian
yang selektif. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas sedang adalah sebagai
berikut :
1) Respon fisik :
Ketegangan otot sedang
Tanda-tanda vital meningkat
Pupil dilatasi, mulai berkeringat
Sering mondar-mandir, memukul tangan
Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi
Kewaspadaan dan ketegangan menigkat

Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung


2) Respons kognitif
Lapang persepsi menurun
Tidak perhatian secara selektif
Fokus terhadap stimulus meningkat
Rentang perhatian menurun
Penyelesaian masalah menurun
Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan
3) Respons emosional
Tidak nyaman
Mudah tersinggung
Kepercayaan diri goyah
Tidak sabar
Gembira
240.
241.
c. Ansietas berat
242.
Cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak
dapat berpikir tentang hal lain. Ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman,
memperlihatkan respons takut dan distress. Menurut Videbeck (2008), respons dari
ansietas berat adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
Ketegangan otot berat
Hiperventilasi
Kontak mata buruk
Pengeluaran keringat meningkat
Bicara cepat, nada suara tinggi
Tindakan tanpa tujuan dan serampangan
Rahang menegang, mengertakan gigi
Mondar-mandir, berteriak
Meremas tangan, gemetar
2) Respons kognitif
Lapang persepsi terbatas
Proses berpikir terpecah-pecah
Sulit berpikir
Penyelesaian masalah buruk
Tidak mampu mempertimbangkan informasi
Hanya memerhatikan ancaman
Preokupasi dengan pikiran sendiri
Egosentris
3) Respons emosional

Sangat cemas
Agitasi
Takut
Bingung
Merasa tidak adekuat
Menarik diri
Penyangkalan
Ingin bebas
d. Tingkat panik
243.
Individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena hilangnya
kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
Peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang
lain, persepsi menyimpang, kehilangan pemikiran rasional. Menurut Videbeck (2008),
respons dari panik adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
Flight, fight, atau freeze
Ketegangan otot sangat berat
Agitasi motorik kasar
Pupil dilatasi
Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun
Tidak dapat tidur
Hormon stress dan neurotransmiter berkurang
Wajah menyeringai, mulut ternganga
2) Respons kognitif
Persepsi sangat sempit
Pikiran tidak logis, terganggu
Kepribadian kacau
Tidak dapat menyelesaikan masalah
Fokus pada pikiran sendiri
Tidak rasional
Sulit memahami stimulus eksternal
Halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi
3) Respon emosional
Merasa terbebani
Merasa tidak mampu, tidak berdaya
Lepas kendali
Mengamuk, putus asa
Marah, sangat takut
Mengharapkan hasil yang buruk
Kaget, takut
Lelah

244.
5. RENTANG RESPON
245.

246.
247.
6. FAKTOR PREDISPOSISI
248.
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam
kehidupan tersebut dapat berupa:
a. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan
krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
b. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara
realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
d. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
berdampak terhadap ego.
e. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap
integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
f. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola
mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons individu
dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
h. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodizepin, karena benzodiazepine dapat menekan neurotransmiter
gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
249.
7. FAKTOR PRESIPITASI

250.

Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat

mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi kecemasan


dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang
meliputi :
1) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi
suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil).
2) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan
lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
b. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
1) Sumber internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan tempat
kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas
fisik juga dapat mengancam harga diri.
2) Sumber eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status
pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
8. Sumber Koping
251.
Individu dapat menanggulangi stress

dan

kecemasan

dengan

menggunakan atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial,
intrapersonal dan interpersonal. Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi,
kemampuan memecahkan masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini. Dengan
integrasi sumber-sumber koping tersebut individu dapat mengadopsi strategi koping
yang efektif (Suliswati, 2005).
252.
9

MEKANISME KOPING
253.
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi
merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila
individu sedang mengalami kecemasan ia mencoba menetralisasi, mengingkari atau
meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan,
mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa,
berkhayal, memaki, merokok, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain,
membatasi diri pada orang lain (Suliswati, 2005). Mekanisme koping untuk mengatasi
kecemasan sedang, berat dan panik membutuhkan banyak energi. Menurut Suliswati
(2005), mekanisme koping yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu:

a. Reaksi yang berorientasi pada tugas. Tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
koping ini adalah individu mencoba menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan
menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik dan
memenuhi kebutuhan.
1) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan.
2) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
3) Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan,
mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
b. Reaksi berorientasi pada ego. Koping ini tidak selalu sukses dalam mengatasi
masalah. Mekanisme ini seringkali digunakan untuk melindungi diri, sehingga
disebut mekanisme pertahanan ego diri biasanya mekanisme ini tidak membantu
untuk mengatasi masalah secara realita. Untuk menilai penggunaan makanisme
pertahanan individu apakah adaptif atau tidak adaptif, perlu di evaluasi hal-hal berikut
:
1) Perawat dapat mengenali secara akurat penggunaan mekanisme pertahanan klien.
2) Tingkat penggunaan mekanisme pertahanan diri terebut apa pengaruhnya
terhadap disorganisasi kepribadian.
3) Pengaruh penggunaan mekanisme pertahanan terhadap kemajuan kesehatan klien.
4) Alasan klien menggunakan mekanisme pertahanan.
9. Penatalaksanaan Ansietas
254.
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan asietas pada tahap pencegahaan
dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu
mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius.
Selengkpanya seperti pada uraian berikut :
255. 1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :
256.
a. Makan makan yang bergizi dan seimbang.
257.
b. Tidur yang cukup.
258.
c. Cukup olahraga.
259.
d. Tidak merokok.
260.
e. Tidak meminum minuman keras.
261. 2. Terapi psikofarmaka.
262. Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan
memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system).
Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic), yaitu

seperti diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl, meprobamate


dan alprazolam.
263. 3. Terapi somatik
264. Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan
atau akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk menghilangkan keluhankeluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ
tubuh yang bersangkutan.
265. 4. Psikoterapi
266.
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :
267.
a. Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan
dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan diberi
keyakinan serta percaya diri.
268.
b. Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila
dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.
269.
c. Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali
(re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stressor.
270.
d. Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu
kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan daya ingat.
271.
e. Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu
menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan.
272.
f. Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar
faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat
dijadikan sebagai faktor pendukung.
273.
5. Terapi psikoreligius
274. Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang
merupakan stressor psikososial.
275.
276.
277.

MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

2. PENGKAJIAN
278.
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis
dan perilaku. Secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping
sebagai upaya untuk melawan ansietas. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan

dengan peningkatan tingkat ansietas. Masalah yang sering muncul pada gangguan
ansietas adalah sebagai berikut:
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Gangguan perilaku; kecemasan
c. Koping individu tak efektif
279.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
280.
Ansietas (Kecemasan)
3. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
281.

282.

STRATEGI

283.

KETERANGAN

PELAKSANAAN

O
284. SP 1 PASIEN: Asessmen Ansietas dan Latihan Relaksasi
285. 286. Bina hubungan saling a. Mengucapkan
salam
1.

percaya

terapeutik,

memperkenalkan diri, panggil pasien


sesuai nama panggilan yang disukai
b. Menjelaskan tujuan interaksi: melatih
pengendalian

288. 289.
2.

Membuat

(Inform

Consent)

ansietas

agar

proses

penyembuhan lebih cepat


287.
kontrak
291.
dua

kali

pertemuan latihan pengendalian


ansietas
290.
292. 293. Bantu pasien mengenal a. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
3.

ansietas:

dan menguraikan perasaannya.


b. Bantu pasien mengenal penyebab
ansietas
c. Bantu klien menyadari perilaku akibat

295. 296.
4.
298.

Latih teknik relaksasi

ansietas
294.
a. Tarik napas dalam
b. Mengerutkan dan mengendurkan otot-

otot
297.
SP 2 PASIEN: Evaluasi asessmen ansietas, manfaat teknik relaksasi dan

latihan hipnotis diri sendiri (latihan 5 jari) dan kegiatan spiritual

299. 300.
1.

Pertahankan rasa percaya a. Mengucapkan salam dan memberi

pasien
301.

motivasi
b. Asesmen

ulang

kemampuan

303. 304.

Membuat kontrak ulang:

latihan pengendalian ansietas


305.
307. 308. Latihan hipnotis diri

ansietas

melakukan

dan
teknik

relaksasi
302.
306.

2.

3.

310.

sendiri (lima jari) dan kegiatan

spiritual
309.
311. SP 1 KELUARGA: Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat
312. 313. Bina hubungan saling
a. Mengucapkan
salam
terapeutik,
1.

percaya
314.

memperkenalkan diri
b. Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
ansietas pasien dan cara merawat agar

315. 316.
2.

Membuat

(inform

consent)

kontrak
dua

proses penyembuhan lebih cepat


318.

kali

pertemuan latihan cara merawat


ansietas pasien
317.
319. 320. Bantu keluarga mengenal
a. Menjelaskan ansietas, penyebab, proses
3.

ansietas

terjadi,

tahap

dan

gejala,

serta

akibatnya
b. Menjelaskan cara merawat ansietas pasien:
tidak

menambah

masalah

(stres)

dengan sikap positif, memotivasi cara


relaksasi yg telah dilatih perawat pada
pasien
c. Sertakan keluarga saat melatih teknik
relaksasi pada pasien dan minta untuk
321.

memotivasi pasien melakukannya


SP 2 KELUARGA : Evaluasi peran keluarga merawat pasien, cara merawat

dan follow up
322. 323. Pertahankan rasa percaya
1.

325.

keluarga dengan mengucapkan


salam, menanyakan peran
keluarga merawat pasien &

kondisi pasien
324.
326. 327. Membuat kontrak ulang:
2.

latihan lanjutan cara merawat

dan follow up
328.
330. 332. Menyertakan
3.

329.

keluarga

334.

saat melatih pasien hipnotis diri


331.
sendiri (lima jari) dan kegiatan

spiritual
333.
335. 336. Diskusikan
4.

dengan

338.

keluarga follow up dan kondisi


pasien

yang

perlu

(lapang persepsi
tidak

mampu

informasi,

dirujuk

menyempit,
menerima

tanda-tanda

fisik

semakin meningkat) dan cara


merujuk pasien
337.
339.
340.
F. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PTSD
341.
a. DEFINISI
342.

Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan


baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non- alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta

benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Ps 1). Bencana
menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.
343. Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan
yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD
dapat terjadi secara akut (gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3
bulan), atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
344. Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera sesudah
terjadinya bencana, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa
bulan ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi
suatu gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur
hidup.
b. Faktor Penyebab
345.

Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa

bumi,banjir,topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri,


kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
346.
Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal
attack seperti : korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau
pemeriksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan
menyaksikan peristiwa penembakan atau tertembak.
347.
Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara
yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang, atau yang
diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang),
sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
348.
Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti
knker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan
penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.
c. Teori-teori Penyebab PTSD
a) Psikodinamika
349.

Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai

ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat
yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan

individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Dapat menjadi dominan,
menyebabkan perilaku implusif tidak terkendali.
b) Biologis
350.

Dalam hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan,pe;epasan, dan

eliminasi katekolamin yang mempengarui fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala
dan hipokampus. Hipersensivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak
dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpanan memori. Hipokampus menimbulkan koheren
naratif serta lokasi wakt dan runang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat
otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan mamori
disimpan dalam bentuk mimoi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
c) Dinamika Keluarga
351.

Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan

perkiraan yang signifikan terjadi PTSD. Pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku
orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan
PTSD.
352.
Ada lima fase respons tingkah laku terhadap kejadian traumatik :
1. Fase impact (dampak emosional), meliputi respons shock, panik, takut yang berlebihan
(ekstrem), self destructive behavior.
2. Fase heroik, terjadi suatu semangat kerjasama yang tinggi antara teman, tetangga, dalam
kedaruratan.
3. Fase Honeymoon (1 minggu sampai dengan beberapa bulan setelah bencana)., klien
biasanya butuh bantuan orang lain.
4. Fase kekecewaan (berkhir 2 bulan sampai dengan 1 tahun), timbul kekecewaan, benci,
frustasi, marah, bermusuhan dengan orang lain, mulai membandingkan diri dengan orang
lain/tetangga.
5. Fase rekonstruksi dan reorganisasi, individu mulai menyadari bahwa ia harus menghadapi
dan mengatasi masalahya, mulai membangun rumah, bisnis, bekerja, fase ini berakhir
beberapa tahun setelah musibah.
353.
d. PATOFISIOLOGI
1. Biologis
354. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah
kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang

bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi
yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala
dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan
nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormonehormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal)
sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada
penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami
kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
355. Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini
kemudian memicu respon emosional termasuk fight, flight, or freezing" dan
perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal
medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir.
Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight
or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu
mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang
cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan
merasakan efek stress dari adrenalin.
356. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki
hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal.
Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi
kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan
menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.
2. Psikososial
357.
Pengalaman hidup yang dialami seseorang sepanjang hidupnya
juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini
mencakup pengalaman yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa. Selain
itu pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik
yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh. Smith dan Segal

menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD


termasuk bencana alam ( natural disaster ), kecelakaan mobil atau pesawat,
penyerangan fisik, prosedur medikal terutama pada anak anak.
358.
Faktor psikologis lain yang ikut berkontribusi adalah faktor yang
dibawa oleh individu dari lahir, yaitu sifat bawaan atau yang sering disebut dengan
kepribadian seseorang juga merupakan penyebab terjadinya PTSD.
359.
Pengalaman pada masa lalu bisa menyebabkan seseorang
menderita PTSD. Pengalaman masa lalu terkait pengalaman pada masa anak-anak,
seperti menjadi korban kekerasan seksual, perpisahan dengan orang tua pada usia
dini, perceraian, bahkan kemiskinan. Kurangnya support sosial juga salah satu faktor
yang bisa menimbulkan PTSD, disfungsi keluarga merupakan faktor yang
menyebabkan terjadinya PTSD.
360.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek
psikososial yang menyebabkan terjadinya PTSD adalah pengalaman hidup yang
terkait dengan trauma, sifat bawaan atau kepribadian individu tersebut, dan
kurangnya support sosial. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab timbulnya
PTSD jika dilihat dari faktor psikososial dari in dividu yang mengalami trauma
361.
362.
363.
364.

PATHWAY
365.
Post-Traumatic Stress Disorder
367.

366.
368.

Biologis

Psikososial
369.

370.

Terjadi proses biologis di otak

mencakup
371.

Pengalaman hidup

Sindrom Pascatrauma
pengalaman yang

dialami
Ketakutan
372. Perubahan Fisik
373.
374.

Trauma

Mempengaruhi SSP & SSO


375.

376.
377.

Bencana alam

Penurunan ukuran hipokampus

support sosial

Perpisahan dg ortu pada usia

dini
Amigdala yg over reaktif
Kurangnya

378.
379.

Mengalami kesulitan untuk belajar


harapan-harapan baru untuk berbagai

Keluarga
380. situasi yg terjadi setelah trauma
381.
382. Keputusasaan

Ketakutan
Disfungsi

Ketidakberdayaan
Ancaman

terganggu
Ansietas
383.
384. Gangguan hubungan sosial
385.
386.
387.
Koping defensif
388.

Komunikasi

Koping keluarga
tidak efektif

G. Gejala Utama PTSD


389. Gejala utama PTSD terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Re-experience phenomena
a. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi,
pikiran ataupun persepsi.
b. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
c. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa
trauma.
d. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
2. Avoidance or numbing reaction
a. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan
b.
c.
d.
e.

peristiwa traumatic.
Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti

kasih sayang.
f. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan,
keluarga atau kehidupan jangka panjang.
3. Symptoms of increased arousal: peningkatan gejala distress
390. Adapun kriterianya adalah :
a. Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius
termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri
maupun orang lain.

b. Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh
peristiwa tersebut. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau
agitasi. Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan
gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
391.
392.
393.
394.
395.
396.
H. Fase-fase PTSD
397. Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
1. Fase Kritis
398.
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat)
yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana.
Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti
keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga
menimbulkan berbagai gejala psikotik.
2. Fase setelah kritis
399.
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami
dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah
bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu
phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut
terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman
terdahulunya.
3. Fase stressor
400.

Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan

(dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma
semua telah berubah.
401.
Periode bencana menurut Rice (1999):
a. Periode Impak.
402. Hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,
korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini
selalu berlangsung singkat.
b. Periode penyejukan suasana (Recoil period)
403. Berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini,
tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal

makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus


memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang.
c. Periode post traumatic (Recovery period)
404. Berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode

ini

berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang


terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang
mereka alami.
I. Periode bencana menurut Rice (1999):
405.

a. Periode impak hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,

korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu
berlangsung singkat.
406. b. Periode penyejukan suasana (Recoil period) berlangsung beberapa hari
selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri
mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami
bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang
hilang.
407. c.

Periode post traumatic (Recovery period) berlangsung lama, bahkan

sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk
melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi
akibat bencana yang mereka alami.
408.
J. Dampak PTSD
409. Gangguan stress pasca traumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan sosial.
1. Gejala gangguan fisik :
a. Pusing.
b. Gangguan pencernaan.
c. Sesak napas.
d. Tidak bisa tidur.
e. Kehilangan selera makan.
f. Impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif :
a. Gangguan pikiran seperti disorientasi.
b. Mengingkari kenyataan.
c. Linglung.
d. Melamun berkepanjangan.
e. Lupa.
f. Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan.

g. Tidak fokus dan tidak konsentrasi.


h. Tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana.
i. Tidak mampu mengambil keputusan.
3. Gangguan emosi :
1. Halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan
perawatan aktif yang dini).
2. Mimpi buruk.
3. Marah.
4. Merasa bersalah.
5. Malu.
6. Kesedihan yang berlarut-larut.
7. Kecemasan dan ketakutan.
410.
4. Gangguan perilaku :
411. Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk
berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
412.
5. Gangguan sosial:
1. Memisahkan diri dari lingkungan
2. Menyepi
3. Agresif
4. Prasangka
5. Konflik dengan lingkungan
6. Merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
413.
g. Penatalaksanaan Medis
a. Farmakologi
1. Terapi anti depresan: Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium,
camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin.
Dosis contoh, estazolam 0,5-1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam
(valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1-2 mg
per os atau IM.
2. Antiansietas: alprazolam digunakan untuk mengatasi depresi dan panik pada pasien
PTSD, buspirone dapat meningkatkan serotonin.
414.
b. Non- farmakologi
415.
Psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD
yaitu dengan Anxiety Management diamana terapis akan mengajarkan beberapa
keterampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:

1. Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara


sistematis dan merelaksasikan nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti
jantung berdebar dan sakit kepala.
2. Breathing retraining, belajar bernafas dengan perut secara perlahan, santai.
Menghindari bernafas tergesa-gesa yang merasakan tidak nyaman.
3. Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal hal yang membuat stress
(stresor).
4. Assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
5. Thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.
6. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional
yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran- pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang.
7. Exposure therapy: para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara:
exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita
secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality,
yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
8. Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini
dapat membantu anak lebih merasa nyaman.
416.

h. Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana


417. Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat
dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana.
418. Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar
praktek keperawatan saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di
butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa
terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
419. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak
melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu
dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.
420.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
421.
1. Pengkajian
422. Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan bereaksi
terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu :
a. Pengkajian Perilaku ( Behavioral Assessment )
423. Yang dikaji adalah :
1. Dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan.
2. Dalam keadan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan.
3. Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktifitas yang akan
mengingatkan klien terhadap trauma.
4. Seberapa sering klien terlibat aktivitas sosial.
5. Apakah klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian
traumatis.
424.
b. Pengkajian Afektif ( Affective Assessment )
1. Berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin
cepat marah.
Apakah klien pernah mengalami perasaan panik.
Apakah klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan trauma.
Tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan.
Apa saja sumber - sumber kesenangan dalam hidup klien.
Bagaima hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain.
425.
c. Pengkajian Intelektual ( Intellectual Assessment )
1. Kesulitan dalam hal konsentrasi.
2. Kesulitan dalam hal memori.
3. Berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan
2.
3.
4.
5.
6.

dengan trauma.

4. Apakah klien bisa mengontrol pikiran pikiran berulang tersebut


5. Mimpi buruk yang dialami klien.
6. Apa yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien terhadap
dirinya.
426.
d. Pengkajian Sosiokultural ( Sociocultural Assessment )
1. Bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku klien yang
menjauh dari mereka.
2. Pola komunikasi antara klien dengan keluarga dan teman.
3. Apa yang terjadi jika klien kehilangan kontrol terhadap rasa marahnya.
4. Bagaimana klien mengontrol kekerasan terhadap sistem keluarganya.
427.
2. Diagnosa Keperawatan untuk PTSD
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas
sebelumnya.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya..
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
6. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada
usia dini.
428.
a. Tujuan
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
429. Tujuan :
430. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu merespon adaptif terhadap
peristiwa trauma yang ia alami.
431. NOC :
1. Pemulihan dari trauma.
2. Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari perilaku impulsive.
432.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas
sebelumnya.
433. Tujuan :
434. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu melaksanakan aktifitas
sebelumnya dengan kriteria hasil sebagai berikut :
435. NOC : Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan ketidakberdayaan.

2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya.


3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk melakukan tindakan yang
diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat, teman-teman dan tetangga.
436.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
437. Tujuan :
438. Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan ketakutan yang
dialami klien menurun atau menghilang.
439. NOC : Kontrol ketakutan
1.
2.
3.
4.

Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan


Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
Kilin mamapu mengendalikan respon ketakutan
Klien mamapu mempertahankan penampilan peran dan hubungan social

440.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
441. Tujuan :
442. Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan cemas dan stress
yang dialami klien menurun atau menghilang.
443. NOC : Kontrol cemas
1.
2.
3.
4.

Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.


Tidak ditemukan tanda tanda kecemasa.
Menunjukkan relaksasi.
Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber secara efektif.

444.
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
445. Tujuan :
446. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien diharapkan terbentuk koping yang
efektif.
447. NOC: Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4. Menyadari masalah atau konflik spesifik yang mempengaruhi interaksi atau hubungan
sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
448.

6. Koping Keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada
usia dini.
449. Tujuan :
450. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien diharapkan koping
efektif, dengan kriteria hasil sebagai berikut:
451. NOC : Koping Keluarga
1. Menyadarkan kebutuhan unit keluarga
2. Menyadari kebutuhan pasien
3. Mulai menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4. Menunjukan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
6. Mengidentifikasi gaya koping yang bertentangan
7. Berpartisipasi dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan

keluarga

b. Intervensi
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
452. NIC :
453. Konseling : penggunaan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada
kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien dengan orang yang berarti bagi pasien untuk
meningkatkan atau mendukung koping, pnyelesaian masalah dan hubungan interpersonal.
454. Aktivitas keperawatan:
1. BHSP
2. Tunjukkan empati, kehangatan dan kesejatian
3. Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi pengungkapan perasaan.
4. Hindari membuat keputusan pada saat pasien berada dalam keadaan stress.
455.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas
sebelumnya.
456. NIC I :
1. Eksplorasi pencapaian keberhasilan sebelumnya.
2. Dukung kekuatan- kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh pasien.
3. Sampaikan kepercayaan diri terhadap kemampuan pasien untuk menangani keadaan.
457. NIC II : Fasilitasi Tanggung Jawab Diri
1. Dorong pengungkapan perasaan, persepsi, dan ketakutan tentang rasa tanggung jawab
2. Dorong kemandirian, tetapi bantu pasein jika tidak dapat melakukan.
458.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
459. NIC 1 : Pengurangan ansietas
1.

Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang


dapat menurunkan/ mengurangi takut
Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru
Gendong atau ayun-ayun anak
Sering berikan penguatan verbal/ non verbal yang dapat membantu menurunkan

2.
3.
4.

ketakutan pasien
460.
461. NIC 2 : Peningkatan koping
1.
Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
2.
Bantu pasien dalam membangun pemikiran yang objektif terhadap suatu peristiwa
3.
Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat
4.
Dukung untuk menyatakan perasaan, persepsi, dan ketakutan secara verbal
5.
Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah interpretasikan sebagai
ancaman
462.

4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
463. NIC : Penurunan kecemasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tenangkan klien
Berusaha memahami keadan klien
Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkn rasa takut
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menciptakan cemas
Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
Gunakan pendekatan dan sentuhan, verbalissi untuk meyakinkan pasien tidak
sendiri dan mengajukan pertanyaaan.
Sediakan aktivitas untuk menurunkan ketegangan.
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.

8.
9.

464.
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
465. NIC : Pencapaian Kesadaran Diri
1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi dampak penyakit terhadap konsep diri
2. Ungkapkan secara verbal mengenai pengingkaran pasien terhadap kenyataanb dengan
tepat.
3. Bantu pasien untuk mendidentifikasi prioritas kehidupan
4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aspek positif pada dirinya.
466.
6. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada
usia dini.
467. NIC : Dukungan Keluarga
1. Tingkatkan harapan yang realistis
2. Dengarkan keluhan, perasaan , dan pertanyaan keluarga
3. Fasilitasi pengkomunikasian keluhan/persaan antra pasien dan keluarga atau antar
anggota keluarga
4. Berikan perawatan kepada pasien selain keluarga untuk mengurangi beban mereka
dab/ atau saat keluarga tidak mampu untuk memberikan perawatan
5. Berikan umpan balik kepada keluarga yang berkaitan dengan koping mereka
468.
c. Evaluasi
469.
Skala :
1. Tidak pernah dilakukan/menunjukan.
2. Jarang dilakukan/menunjukan.
3. Kadang dilakukan/menunjukan.
4. Sering dilakukan/menunjukan.
5. Selalu dilkukan/menunjukan

470.
471.
472.

DP 1 :
Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap

peristiwa traumatik yang penuh tekanan.


473.
NOC :
1. Pemulihan dari trauma.
2. Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari perilaku impulsive.

474.
475.

DP 2 :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan

aktifitas sebelumnya.
476.
NOC : Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan ketidakberdayaan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya.
3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk melakukan tindakan yang
diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat, teman-teman dan tetangga.
477.
478.
479.
480.
1.
2.
3.
4.

DP 3 :
Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
NOC : Ketakutan dapat di kontrol

Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan


Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
Kilin mamapu mengendalikan respon ketakutan
Klien mamapu mempertahankan penampilan peran dan hubungan social
481.
482.
483.

DP 4 :
Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi

terhadap bahaya.
484.
NOC : Kecemasan dapat di kontrol
1.
2.
3.
4.

Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.


Tidak ditemukan tanda tanda kecemasa.
Menunjukkan relaksasi.
Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber secara efektif.
485.
486.
DP 5 :
487.
Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
488.
NOC: Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4. Menyadari masalah atau konflik spesifik yang mempengaruhi interaksi atau hubungan
sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
489.
490.
DP 6 :
491.
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua
pada usia dini.

492.
NOC : Koping Keluarga
1. Menyadarkan kebutuhan unit keluarga
2. Menyadari kebutuhan pasien
3. Mulai menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4. Menunjukan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
6. Mengidentifikasi gaya koping yang bertentangan
7. Berpartisipasi dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
493.
494.
495.
K. ASUHAN KEPERAWATAN PADA INSOMNIA
A. DEFINISI
496.

Insomnia didefinisikan sebagai suatu persepsi dimana seseorang merasa

tidak cukup tidur atau merasakan kualitas tidur yang buruk walaupun orang tersebut
sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup, sehingga mengakibatkan perasaan
yang tidak bugar sewaktu atau setelah terbangun dari tidur .
497. Penderita insomnia berbeda dengan orang yang memang waktu tidurnya
pendek ( short sleepers ), dimana pada short sleepers meskipun waktu tidur mereka
pendek, mereka tetap merasa bugar sewaktu bangun tidur, berfungsi secara normal di
siang hari, dan mereka tidak mengeluh tentang tidur mereka di malam hari.
498. Tidur tidak sekadar mengistirahatkan tubuh, tapi juga mengistirahatkan
otak, khususnya serebral korteks, yakni bagian otak terpenting atau fungsi mental
tertinggi, yang digunakan untuk mengingat, memvisualkan serta membayangkan, menilai
dan memberikan alasan sesuatu.
499. Tes yang pernah dilakukan terhadap beberapa ratus pria yang bersedia
menjadi sukarelawan untuk tidak tidur selama berhari-hari menunjukkan, setelah 4 - 8
hari, memang tidak terjadi kemerosotan fisik yang berarti. Namun dalam 24 jam saja
tidak tidur, gejala gangguan mental serius sudah terlihat, seperti cepat marah, memori
hilang, timbul halusinasi, ilusi, dll. Meski begitu, dengan tidur kembali keesokan harinya
semua gangguan itu hilang. Malah ada ahli menyatakan, mendingan orang tidak makan
dan minum daripada tidak tidur. Tes laboratorium pada hewan menunjukkan, mereka bisa
bertahan hidup tanpa makan dan minum sampai 20 hari, tapi tidak tidur hanya bertahan
tidak lebih dari lima hari.

500.

Sejumlah

ahli

yang

memonitor

aktivitas

tubuh

menuju

tidur

menambahkan, saat tidur pikiran dan otot-otot kita saling merangsang. Ketegangan otot
menyebabkan korteks terus aktif sedangkan ketegangan otak menyebabkan otot terus
aktif. Kelelahan akan mengurangi irama kerja otot, demikian juga di kala beristirahat,
sehingga semua ini akan menurunkan kegiatan dalam korteks.
501. Menurunnya aktivitas dalam korteks akan membiarkan otot-otot kita
semakin rileks. Begitu rangsangan antara pikiran dan otot menurun, kita akan mengantuk
lalu tertidur. Selagi tidur, jantung kita akan berdetak lebih lamban, tekanan darah
menurun, dan pembuluh-pembuluh darah melebar. Suhu badan turun sekitar 0,5oF (17,5oC) tetapi perut dan usus tetap bekerja. Sementara tidur, tubuh sekali-kali bergerak.
Gerakan sebanyak 20 - 40 kali masih dianggap normal. Terganggu insomnia berarti kerja
pikiran dan otot tidak berjalan seiring. Pikiran kita akan sulit tertidur bila otot masih
tegang. Sebaliknya, akan sulit bagi otot untuk tertidur jika pikiran masih terjaga, tegang,
dsb.
502.
A. ETIOLOGI
503.

Beberapa factor yang merupakan penyebab Insomnia yaitu :

1. Faktor Psikologi :
504.

Stres yang berkepanjangan paling sering menjadi penyabab dari

Insomnia jenis kronis, sedangkan berita-berita buruk gagal rencana dapat menjadi
penyebab insomnia transient.
2. Problem Psikiatri
505.

Depresi paling sering ditemukan. Jika bangun lebih pagi dari

biasanya yang tidak diingininkan, adalah gejala paling umum dari awal depresi,
Cemas, Neorosa, dan gangguan psikologi lainnya sering menjadi penyebab dari
gangguan tidur.
3. Sakit Fisik
506.

Sesak nafas pada orang yang terserang asma, sinus, flu sehingga

hidung yang tersumbat dapat merupakan penyebab gangguan tidur. Selama penyebab
fisik atau sakit fisik tersebut belum dapat ditanggulangi dengan baik, gangguan tidur
atau sulit tidur akan dapat tetap dapat terjadi.
4. Faktor Lingkungan

507.

Lingkungan yang bising seperti lingkungan lintasan pesawat jet,

lintasan kereta api, pabrik atau bahkan TV tetangga dapat menjadi faktor penyebab
susah tidur.
5. Gaya Hidup
508.

Alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja yang

tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur.


B. KLASIFIKASI INSOMNIA
509.

Adapun macam-macam dari tipe insomnia yaitu :

1. Insomnia sementara (transient)


510.

Yakni insomnia yang berlangsung beberapa malam dan biasanya

berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung sementara dan


biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri.
Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat secara retrospektif setelah keluhan
pasien sudah hilang. Keluhan ini kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita
dan episode berulang juga cukup sering ditemukan, faktor yang memicu antara lain
akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian sementara akibat jet
lag atau rotasi waktu kerja, stress situasional akibat lingkungan kerja baru, dan lainlainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan terapi khusus dan jarang
membawa pasien ke dokter.
2. Insomnia jangka pendek
511.

Yakni gangguan tidur yang terjadi dalam jangka waktu dua sampai

tiga minggu. Kedua jenis insomnia ini biasanya menyerang orang yang sedang
mengalami stress, berada di lingkungan yang ribut-ramai, berada di lingkungan yang
mengalami perubahan temperatur ekstrim, masalah dengan jadwal tidur-bangun
seperti yang terjadi saat jetlag, efek samping pengobatan.
3. Insomnia kronis

512.

Kesulitan tidur yang dialami hampir setiap malam selama sebulan

atau lebih. Salah satu penyebab chronic insomnia yang paling umum adalah depresi.
Penyebab lainnya bisa berupa arthritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea,
sindrom restless legs, Parkinson, dan hyperthyroidism. Namun demikian, insomnia
kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku, termasuk penyalahgunaan kafein,
alkohol, dan substansi lain, siklus tidur/bangun yang disebabkan oleh kerja lembur
dan kegiatan malam hari lainnya, dan stres kronis.
C. MANIFESTASI INSOMNIA
1. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
2. Wajah kelihatan kusam
3. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
4. Lemas, mudah mengantuk
5. Resah dan mudah cemas
6. Sulit berkonsentrasi, depresi, gangguan memori, dan gampang tersinggung.
513.
D. KOMPLIKASI INSOMNIA
1. Efek fisiologis. Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress, terdapat
peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan
produksi melatonin.
2. Efek psikologis. Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi , irritable,
kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.
3. Efek fisik/somatik. Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.
4. Efek sosial. Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat
promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan
keluarga.
5. Kematian. Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan
hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin
disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang memperpendek angka
harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia
mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit.
Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar
untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang normal.
E. PENATALAKSANAAN

514.

Prinsip penanganan gangguan tidur selain menjelaskan, memastikan dan

memberikan saran juga mengoptimalkan pola tidur yang sehat, baik dari segi kualitas
ataupun waktunya. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan menggunakan obat ataupun
tanpa obat. Terapi tersebut dapat berupa :
1. Psikoterapi
515.

Keberhasilan mengatasi insomnia, sangat tergantung dari kemampuan

pasien untuk santai dan belajar bagaimana cara-cara tidur yang benar. Terapi perilaku bisa
menyembuhkan insomnia kronik dan terapi ini efektif untuk segala usia, terutama pada
pasien usia tua.
2. Herbal
516.

Bahan-bahan seperti valerian (untuk relaksasi otot), melatonin (untuk

gangguan irama sirkadian seperti jetlag). Melatonin menurunkan fase tidur laten,
meningkatkan efisiensi tidur, dan meningkatkan persentasi tidur REM (Rapid Eye
Movement), dan chamomile (untuk mengurangi kecemasan) banyak dipakai untuk terapi
insomnia.
3. Terapi cahaya
517.

Prinsip terapi ini adalah bahwa cahaya terang dapat mengurangi rasa

mengantuk dan kegelapan bisa menyebabkan mengantuk.


4. Farmakoterapi
518.

Tujuan pengobatan dengan obat-obatan hipnotik bukan hanya untuk

meningkatkan kualitas dan durasi tidur, tapi juga untuk meningkatkan derajat
kewaspadaan pada siang harinya dan untuk menghilangkan hyperarousal state.
Sayangnya, banyak dosis obat hipnotik yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas
tidur pada malam hari juga menyebabkan sedasi pada siang harinya. Untuk menghindari
komplikasi ini, short acting benzodiazepine dapat digunakan. Obat hipnotik long acting
bisa mengganggu kualitas psikomotorik yang bisa menyebabkan kecelakaan yang
berhubungan dengan kendaraan bermotor Terapi dengan obat-obatan hipnotik sedatif
harus dimulai dengan dosis kecil dan untuk maintenancenya menggunakan dosis efektif
yang terkecil. Efek toleransi terjadi pada penggunaan kebanyakan obat hipnotik, karena
itu penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 1 bulan. . Rebound insomnia bisa terjadi

jika penghentian obat dilakukan secara mendadak. Untuk menghindari efek ini,
digunakan obat dengan dosis kecil dan tappering off.
519.
520.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MASALAH GANGGUAN
521.

TIDUR : INSOMNIA
A. PENGKAJIAN
522.
1. Kaji riwayat tidur klien
a.
b.
c.
d.
e.
523.

Apakah anda mengalami sakit kepala ketika bangun?


Kapan pertama kali anda menyadari masalah ini?
Sudah berapa lama masalah ini terjadi?
Berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk tertidur?
Bagaimana pengaruh kurang tidur bagi anda?
2. Kaji pola tidur biasa
524.

Seberapa jauh perbedaan tidur anda saat ini dari tidur anda yang dulu?

525.

3. Kaji penyakit fisik, TTV


526.
Apakah anda menderita penyakit fisik yang dapat mengganggu tidur anda?
527.
4. Kaji terhadap peristiwa hidup yang baru terjadi
528.
5. Kaji status emosional dan mental
529.
6. Kaji rutinitas menjelang tidur
530.
Seberapa jauh perbedaan tidur anda saat ini dari tidur anda yang dulu?
531.
7. Kaji lingkungan tidur
532. B. DIAGNOSA
533.
1. Gangguan pola tidur (kesulitan tertidur) b.d kekhawatiran kehilangan pekerjaan
(Potter & Perry, 2005)
534.
2. Kemampuan koping keluarga tidak efektif b.d pemahaman klien dan pasangan
yang buruk tentang insomnia (Potter & Perry, 2005)
535. C. INTERVENSI
536.
1. Gangguan pola tidur (kesulitan tertidur) b.d kekhawatiran kehilangan pekerjaan
537. a. Anjurkan agar kafein dan alcohol dihilangkan dari diet klien di malam hari
538. b. Minta klien mengikuti ritual tidur, naik ke tempat tidur pada jam yang sama
setiap malam, dan meminum segelas susu
539. c. Tentukan waktu sebelum klien pergi tidur untuk latihan relaksasi yang tenang,
dan mandi
540. d. Kendalikan sumber-sumber kebisingan di lingkungan dan pastikan bahwa
kamar tidur sudah digelapkan dan memiliki ventilasi yang baik

541.

2. Kemampuan koping keluarga tidak efektif b.d pemahaman klien dan pasangan

yang buruk tentang insomnia


542. a. Minta klien dan pasangan untuk menjelaskan sifat dari masalah tidur
543. b. Tanyakan pada klien dan pasangan apakah masalah tidur mempengaruhi
hubungan mereka
544. c. Buat catatan tidur bangn selama seminggu
545. d. Berikan pendidikan kesehatan mengenai gangguan tidur
546.
547.
548.

BAB III
PENUTUP

549.
A. Kesimpulan
550.

Krisis adalah suatu kondisi dimana individu tak mampu mengatasi

masalah dengan cara (mekanisme koping) yang biasa dipakai. Krisis dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan psikologis, yang merupakan hasil dari peristiwa menegangkan atau
mengancam integritas diri
551.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
552.
Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan
dan cinta, termasuk di dalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas
mengandung arti yang luas bagi manusia, karena sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal
tersebut sudah menyertainya.
553.
Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari
iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,kemarahan adalah
reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau mengancam (Widjaya
Kusuma,1992:423).
554.
Kemarahan menurut Stuart dan Sunden (1987:363) adalah peasaan jengkel
yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Budi
Ana Keliat,1996:5).
555.

Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas menyebar dialam dan

terkait dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan perasaan isolasi,


keterasingan dan ketidakamanan juga hadir (Stuart dan Laraia, 2005). Ansietas
merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu.

556.

Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan

yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD
dapat terjadi secara akut (gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3
bulan), atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
557. Insomnia didefinisikan sebagai suatu persepsi dimana seseorang merasa
tidak cukup tidur atau merasakan kualitas tidur yang buruk walaupun orang tersebut
sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup, sehingga mengakibatkan perasaan
yang tidak bugar sewaktu atau setelah terbangun dari tidur .
558.

561.

559.
560.

Anda mungkin juga menyukai