PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku pasien, yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. System
pasien berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. Definisi
keperawata jiwa menurut ANA: suatu bentuk praktik keperawatan yang menerapkan
teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaata sebagai
kiatnya.
Praktik keperawatan jiwa terjadi dalam konteks social dan ligkungan. Peran
keperawatan jiwa professional kini mencakup dimensi kompetensi klinis, advokasi pasien
keluarga, tanggung jawab fiscal, kolaborasi antar disiplin, akuntabilitas social, dan
parameter legal-etik.
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan
hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat, 1991). Perawat
memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses
keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan
praktik keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam
melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien secara
ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan
merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah.
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Klien
yang mengalami masalah pada psikososial akan berbeda dari klien yang mengalami
masalah fisik, karena masalah psikososial bersifat subjektif dan berbeda antara satu orang
dengan yang lainnya, dalam proses asuhan keperawatannya pun perlu pendekatan
psikososial.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk membahas mengenai
asuhan keperawatan dengan gangguan psikososial
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan pada kilen dengan gangguan psikososial ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan klien krisis
1
3.
4.
5.
6.
7.
8.
C.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan pada Klien Krisis
Krisis adalah suatu kondisi dimana individu tak mampu mengatasi masalah dengan
cara (mekanisme koping) yang biasa dipakai. Krisis dapat terjadi akibat ketidakseimbangan
psikologis, yang merupakan hasil dari peristiwa menegangkan atau mengancam integritas
diri. Hal ini merupakan bagian dari kehidupan yang dapat terjadi dengan bentuk dan
penyebab yang bermacam-macam, dan dapat disebabkan karena factor eksternal maupun
internal. (Asuhan Keperawatan Jiwa, Sujono Riyadi & Teguh Purwanto, 2009)
Krisis adalah gangguan internal yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang dapat
menimbulkan stress, dan dirasakan sebagai ancaman bagi individu. Krisis terjadi jika
seseorang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan hidup yang penting, dan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan metode pemecahan masalah (koping) yang biasa
digunakan.
a. Penyebab
2. Kehilangan :
a. Kehilangan
yang penting
b. Perceraian
c. Pekerjaan
orang
3. Transisi :
a. Pindah rumah
b. Lulus sekolah
c. Perkawinan
d. Melahirkan
5.
6.
4. Tantangan :
a. Promosi
b. Perubahan
karir
KRISIS
3. Ketidakseimbangan
4. Penyelesaian
POST KRISIS
makin
meningkat
karena
kegagalan
penggunan
teknik problem
solving sebelumnya.
b) Individu merasa tidak nyaman, tak ada harapan, bingung.
24. Fase 3
a) Untuk mengatasai krisis individu menggunakan semua sumber untuk memecahkan
masalah, baik internal maupun eksternal.
b) Mencoba menggunakan teknik problem solving baru, jika efektif terjadi resolusi.
25. Fase 4
a) Kegagalan resolusi
b) Kecemasan berubah menjadi kondisi panik, menurunnya fungsi kognitif, emosi labil,
perilaku yang merefleksikan pola pikir psikotik
26.
f. Pohon Masalah
27. Resiko Ansietas
28.
29. Krisis
30.
31. Stress
32.
33. Mekanisme Koping Tidak Efektif
34.
35. Peristiwa Kehilangan
g. Diagnosa Keperawatan
1. Peristiwa Kehilangan.
2. Mekanisme Koping Tidak Efektif.
3. Stress
4. Krisis
5. Resiko Ansietas
36.
37. ASUHAN KEPERAWATAN JIWA : KRISIS
a. Pengkajian
38.Dalam menangani masalah, harus mengingat waktu krisis dan penyelesaiannya.
Waktu tersebut sangat singkat (paling lama 6 minggu), maka pengkajiannya harus
dilaksanakan secara spesifik dan ditekankan pada masalah yang actual. Beberapa aspek
yang harus dikaji adalah :
1. Peristiwa Pencetus, termasuk kebutuhan yang terancam oleh kejadian dan gejala yang
timbul, misalnya :
a) Kehilangan orang yang dicintai, baik karena perpisahan maupun karena kematian.
b) Kehilangan bio-psiko-sosial, seperti kehilangan salah satu bagian tubuh karena
operasi, penyakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran social, dan lain-lain.
c) Kehilangan milik pribadi, misalnya kehilangan harta benda, kewarganegaraan,
rumah digusur.
d) Ancaman kehilangan, misalnya ada anggota keluarga yang sakit, perselisihan
yang hebat dengan pasangan hidup.
e) Perubahan-perubahan seperti pergantian pekerjaan, pindah rumah, garis kerja
yang berbeda.
f) Ancaman-ancaman lain yang dapat diidentifikasi, termasuk semua ancaman
terhadap pemenuhan kebutuhan.
2. Mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian. Persepsi terhadap kejadian yang
menimbulkan krisis, termasuk pokok-pokok pikiran dan ingatan yang berkaitan dengan
kejadian tersebut. Persepsi tersebut meliputi :
a) Apa makna / arti kejadian bagi individu
b) Pengaruh kejadian terhadap masa depan.
c) Apakah individu memandang kejadian tersebut secara realistic.
3. Mengidentifikasi sikap dan kekuatan dari system pendukung meliputi keluarga, sahabat
dan orang-orang penting yang mungkin dapat membantu pasien, seperti :
a) Dengan siapa pasien tinggal ?
b) Apakah punya teman tempat mengeluh / curhat ?
c) Apakah pasien dapat menceritakan masalah yang dihadapi bersama keluarga?
d) Apakah ada orang / lembaga yang dapat member bantuan ?
e) Apakah punya keterampilan untuk mengganti fungsi orang yang hilang, dan
sebagainya ?
4. Mengidentifikasikan kekuatan dan mekanisme koping sebelumnya :
a) Apa yang biasa dilakukan saat mengatasi masalah ?
b) Cara apa yang pernah berhasil dan tidak berhasil serta apa saja yang
menyebabkan kegagalan tersebut ?
c) Apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah sekarang ?
d) Apakah pasien suka menyendiri atau meninggalkan lingkungan agar dapat
berpikir dengan jernih ?
e) Apakah pasien suka mengikuti latihan olahraga untuk mengurangi ketegangan ?
f) Apakah pasien mencetuskan perasaannya dengan menangis ?
39.
Data yang dikumpulkan berkaitan dengan koping individu tak efektif ialah
sebagai berikut :
1. Mengungkapkan tentang kesulitan dengan stress kehidupan.
2. Perasaan tidak berdaya, kebingungan, putus asa.
3. Perasaan diasingkan oleh lingkungan.
4. Mengungkapkan ketidakmampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan.
5. Mengungkapkan ketidakpastian terhadap pilihan pilihan.
6. Mengungkapkan kurangnya dukungan dari orang yang berarti.
7. Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan.
8. Perasaan khawatir, ansietas.
9. Perubahan dalam partisipasi social.
10. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
11. Tampak pasif, ekspresi wajah tegang.
12. Perhatian menurun.
b. Perilaku
40.
Beberapa gejala yang sering ditunjukkan oleh individu dalam keadaan krisis
antara lain :
1. Perasaan tidak berdaya, kebingungan, depresi, menarik diri, keinginan bunuh diri atau
membunuh orang lain.
2. Perasaan diasingkan oleh lingkungannya.
f. Intervensi
50. Dengan Klien :
1. Membina hubungan saling percaya dengan lebih banyak memakai komunikasi non
verbal.
2. Mengizinkan pasien untuk menangis.
3. Menunjukkan sikap empati.
4. Menyediakan kertas dan alat tulis jika pasien belum mau berbicara.
5. Mengatakan kepada pasien bahwa perawat dapat mengerti apabila dia belum siap untuk
membicarakan perasaannya dan mungkin pasien merasa bahwa nanti perawat akan
mendengarkan jika dia sudah bersedia berbicara.
6. Membantu pasien menggali perasaan serta gejala gejala yang berkaitan dengan
perasaan kehilangan.
51.
1. Melakukan pendekatan kepada anggota keluarga dengan sikap yang hangat, empati dan
memberi dukungan.
2. Menanyakan
kepada
keluarga
tentang
penyakit
yang
diderita
oleh
anggota
keluarganya, seperti timbulnya penyakit, beban yang dirasakan, akibat yang diduga
timbul karena penyakit yang didertita oleh anggota keluarga tersebut.
3. Menanyakan tentang perilaku keluarga yang sakit.
4. Menanyakan tentang sikap keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi keluarga
yang sakit.
5. Mendiskusikan dengan keluarga apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi perasan
cemas, takut, dan rasa bersalah.
g. Evaluasi
1. Dapatkah individu menjalankan fungsinya kembali seperti sebelum krisis terjadi ?
2. Sudah ditemukan kebutuhan utama yang dirasakan tercantum oleh kejadian yang menjadi
factor pencetus ?
3. Apakah perilaku maladaptif atau symptom yang ditunjukkan telah berkurang ?
4. Apakah mekanisme koping yang adaptif sudah berfungsi kembali ?
5. Apakah individu telah mempunyai pendukung sebagai tempat ia bertumpu/berpegang ?
6. Pengalaman apa yang diperoleh oleh individu yang mungkin dapat membantunya dalam
menghadapi keadaan krisis dikemudian hari ?
52.
53.
54.
55.
56.
B. Asuhan Keperawatan Klien Kehilangan
1. Pengertian Kehilangan (Loss)
57.Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu
keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
3. Bentuk-Bentuk Kehilangan
1) Kehilangan orang yang berarti.
2) Kehilangan kesejahteraan.
3) Kehilangan milik pribadi.
4. Sifat Kehilangan
1) Tiba tiba (Tidak dapat diramalkan)
62.Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan
dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau
pelalaian diri akan sulit diterima.
2) Berangsur angsur (Dapat Diramalkan)
63.Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang
ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984).
64.
65.
5. Tipe Kehilangan
1) Actual Loss
66.Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan
individu yang mengalami kehilangan. Contoh : kehilangan anggota badan, uang, pekerjaan,
anggota keluarga.
5) Kehilangan hidup
76.Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang
tersebut akan meninggal.
7. Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
77.
1) Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan Tidak, saya tidak
percaya bahwa itu terjadi, itu tidak mungkin.
Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus
mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat
apa.
2) Anger ( Marah )
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan.
Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang
yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan
menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Fase ini merupakan fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata kalau saja kejadian itu bisa ditunda
maka saya akan sering berdoa.
Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut
sering dijumpai kalau yang sakit bukan anak saya.
Klien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia akan mati dan hal itu tidak bias di tolak.
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah
bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau
dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga.
Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih,
dorongan libido menurun.
5) . Acceptance (menerima)
Menerima kenyataan kehilangan, berpartisipasi aktif, klien merasa damai dan tenang,
serta menyiapkan dirinya menerima kematian.
Klien tampak sering berdoa, duduk diam dengan satu focus pandang, kadang klien ingin
ditemani keluarga / perawat.
Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti saya betul-betul
menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga, atau Sekarang saya
telah siap untuk pergi dengan tenang setelah saya tahu semuanya baik.
78.
79.
a. Repudiation ( Penolakan )
b.
Recognition ( Pengenalan )
c.
80.
Closed Awareness
81.Klien dan keluarga tidak menyadari akan kemunkinan dan tidak mengerti
mengapa klien sakit dan mereka merasa seolah-olah klien bias sembuh.
Mutual Pretence
82.
Klien dan keluarga mengetahui bahwa prognosa penyakit klien adalah penyakit
terminal, namun berupaya untuk tidak menyinggung atau membicarakan hal tersebut
secara terbuka.
Open Awarenes
83.
Klien dan keluarga menyadari dan mengetahui akan adanya kematian dan merasa
Pengkajian
87.Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien: apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku.
88.
1) Faktor predisposisi
89.
Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik
Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang
berarti pada masa kana-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan
kehilangan pada masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991).
Struktur Kepribadian
90.
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan
rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
2) Faktor presipitasi
91.Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psikososial antara lain meliputi;
Kehilangan kesehatan
Kehilangan kewarganegaraan
3) Mekanisme koping
92.Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang digunakan
untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis
mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.
4) Respon Spiritual
5) Respon Fisiologis
Tidak bertenaga
6) Respon Emosional
. Kebencian
. Merasa bersalah
Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang
hilang
7) Respon Kognitif
Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
93.
8) Perilaku
Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah
meninggal.
Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin membuangnya
2. Analisa Data
1) Data subjektif:
Merasa sedih
Konsentrasi menurun
2) Data objektif:
Menangis
Mengingkari kehilangan
3. Diagnosa keperawatan
94.Lynda Carpenito (1995), dalam Nursing Diagnostic Application to Clinicsl
Pratice, menjelaskan tiga diagnosis keperawatan untuk proses berduka yang berdasarkan
pada pada tipe kehilangan.
4. Intervensi
95.
Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan penyangkalan yang adaptif.
Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi kehilangan masa lalu saat ini.
a.
97.
Fase Pengingkaran
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
Dorong pasien untuk berbagi rasa, menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan memberikan
jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.
b. Fase marah
Beri dukungan pada pasien untuk mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa
melawan dengan kemarahan.
c. Fase tawar menawar
Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d. Fase depresi
Identifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
Bantu pasien mengurangi rasa bersalah.
e. Fase penerimaan
Bantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dihindari.
98.
Beri dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan serta menjaga anak selama
masa berduka.
Gali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan konsepnya yang salah.
Bantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan perilaku yang diperhatikan
oleh orang lain.
(Kematian Anak)
Menjelaskan kepada pasien/ keluarga ciri-ciri respon yang patologis serta tempat mereka
minta bantuan bila diperlukan.
5. Evaluasi
Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat kehilangan
100.
101.
102.
103.
104.
C. Asuhan Keperawatan Klien dengan Masalah Psikoseksual
a) Pengertian psikoseksual
105.
Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah, psikologik dan
kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks dan hubungan seks manusia. Seksologi
ialah ilmu yang mempelajari segala aspek ini. Seksualitas adalah keinginan untuk
berhubungan, kehangatan, kemesraan dan cinta, termasuk di dalamnya memandang,
berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas mengandung arti yang luas bagi manusia, karena
sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal tersebut sudah menyertainya.
106. Dengan demikian, maka seks juga bio-psiko-sosial, karena itu pendidikan
mengenai seks harus holistik pula. Bila dititikberatkan pada salah satu aspek saja, maka akan
terjadi gangguan keseimbangan dalam hal ini pada individu atau pada masyarakat dalam
jangka pendek atau jangka panjang, umpamanya hanya aspek biologi saja yang diperhatikan
atau hanya aspek psikologik ataupun sosial saja yang dipertimbangkan.
107. Kita membedakan beberapa pengertian yang berkaitan dengan psikoseksual yang
meliputi:
108.
b) Sexual identity (identitas kelamin)
109.
kewanitaan tubuhnya. Hal ini tergantung pada ciri-ciri seksual biologiknya, yaitu kromosom,
genitalia interna dan eksterna, komposisi hormonal, tetstis dan ovaria serta ciri-ciri sex
sekunder. Dalam perkembangan yang normal, maka pola ini bersatu padu sehingga seorang
individu sejak umur 2 atau 3 tahun sudah tidak ragu-ragu lagi tentang jenis seksnya.
c) Gender identity (identitas jenis kelamin)
110.
merupakan hasil isyarat dan petunjuk yang tak terhitung banyaknya dari pengalaman dengan
anggota keluarga, guru, kawan, teman sekerja, dan dari fenomena kebudayaan. Identitas jenis
kelamin dibentuk oleh ciri-ciri fisik yang diperoleh dari seks biologik yang saling
berhubungan dengan suatu sistem rangsangan yang berbelit-belit, termasuk pemberian hadiah
dan hukuman berkenaan dengan hal seks serta sebutan dan petunjuk orangtua mengenai jenis
kelamin. Faktor kebudayaan dapat mengakibatkan konflik tentang identitas jenis kelamin
dengan secara ikut-ikutan memberi cap maskulin atau feminim pada perilaku nonseksual
tertentu.
d) Gender role behaviour (Perilaku peranan jenis kelamin)
111. Perilaku peranan jenis kelamin ialah semua yang dikatakan dan dilakukan
seseorang yang menyatakan bahwa dirinya itu seorang pria atau wanita, meskipun faktor
biologik penting dalam mencapai peranan yang sesuai dengan jenis kelaminnya, faktor utama
ialah faktor belajar. Bila suami-istri menjadi tua, maka hubungan seks memegang peranan
penting dalam mempertahankan kestabilan perkawinan. Dorongan seksual wanita meningkat
antara umur 30-40 tahun dan orgasme dapat saja dicapai sampai pada usia tua. Seorang pria
dapat melakukan aktivitas seksual sampai umur tua juga.
e) Teori Psikoseksual
1. Menurut Teori Libido Freud
112.
Intinsting dalam perkembangan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa
melalui beberapa fase: oral, anal, falik, dan genital. Tiap fase didominasi oleh sebuah
organ somatic.
2. Teori interpersonal
113. Memandang gangguan seksual sebagai manifestasi kekacauan hubungan
atara manusia yang dinyatakan dalam bidang seksual. Teori kebudayaan mengangga
bahwa kepercayaan adat, istiadat dan norma yang khas bagi suatu masyarakat terceminkan
dalam psikologi dan psikopatologi seseorang juga dalam bidang seksual.
3. Teori biologis
114.
Beberapa factor organic telah diimplikasikan dalam etiologi dari
paraphilia. Hal ini mencakup abnormalitas dalam system limbic otak, epilepsy lobus
temporal, tumor lobus temporal, dan kadar androgen abnormal (Bradford dan
McLean, 1984).
4. Teori Psikoanalitik
115.
Normal dalam hal ini diartikan sehat atau tidak patologik dalam hal fungsi
keseluruhan. Perilaku seksual yang normal ialah yang dapat menyesuaikan diri, bukan saja
dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan
dan pertumbuhan, yaitu perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu
untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.
117.
Penyesuaian diri seksual yang sehat ialah kemampuan memperoleh
penagalaman seksual tanpa rasa takut dan salah, jatuh cinta pada waktu yang cocok dan
menikah dengan partner yang dipilihnya serta mempertahankan rasa cinta kasih dan daya
tarik seksual terhadap partner-nya. Partnernya itu tidak mempunyai gangguan atau
kesukaran yang serius yang dapat mengganggu, merusak atau meniadakan suatu hubungan
bahagia.
g) Rentang Respon
118.
Para pakar yang mendalami masalah seksual tidak setuju dengan tipe
perilaku seksual yang disebut normal. Ekspresi seksual merupakan rentang adaptif dan
maladaptif.
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Perilaku seksual yang memuaskan dengan menghargai pihak lain
Gangguan perilaku seksual karena kecemasan yang disebabkan oleh penilaian pribadi
atau masyarakat
Disfungsi penampilan seksual
Perilaku seksual yang berbahaya, tidak dilakukan di tempat tertutup atau tidak dilakukan
Respon seksual yang paling adaptif terlihat dari perilaku yang memenuhi
kriteria sebagaiberikut:
120.
121.
122.
123.
i) Disfungsi Seksual
124.
suatu perubahan dalam fungsi seksual yang digambarkan sebagai setidakpuasan, merasa
tidak dihargai, tidak adekuat. Disfungsi seksual mungkin terjadi pada beberapa fase dalam
siklus respon seksual.
125. Jenis-jenis dari disfungsi seksual mencakup :
1. Penyimpangan seksual Hipo dan Hiperseksualitas
126.
Pada kedua-duanya, pria dan wanita, mungkin keinginan atau dorongan
seksual itu hanya kecil ataupun sebaliknya besar.
2. Penyimpangan hasrat
127.
Merupakan suatu defisiensi menetap atau berulang tak adanya fantasi
seksual dan hasrat untuk beraktifitas seksual.
3. Penyimpangan getaran seksual
Pada wanita : kegagalan parsial atau komplit yang menetap atau berulang untuk
mempertahankan atau mencapai respon pelumasan pembengkakakan dari kenikmatan
selesai.
4. Penyimpangan nyeri seksual
128.
Dispareunia, nyeri genital berulang atau menetap pada pria maupun
wanita sebelum, selama atau setelah coitus.
5. Masturbasi kompulsif
129.
Adalah menimbulkan rangsangan dan kepuasan seksual pada diri sendiri.
2) KONSEP TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
130.
4. Menggunakan pertanyaan yang terbuka, umum dan luas untuk mendapatkan informasi
mengenai pengetahuan, persepsi dan dampak penyakit berkaitan dengan seksualitas
5. Jangan mendesak klien untuk membicarakan mengenai seksualitas, biarkan terbuka untuk
dibicarakan pada waktu yang akan datang
6. Masalah citra diri, kegiatan hidup sehari-hari dan fungsi sebelum sakit dapat dipakai untuk
mulai membahas masalah seksual
7. Amati klien selama interaksi, dapat memberikan informasi tentang masalah apa yang
dibahas, begitu pula masalah apa yang dihindari klien
8. Minta klien untuk mengklarifikasi komunikasi verbal dan nonverbal yang belum jelas
9. Berinisiatif untuk membahas masalah seksual berarti menghargai klien sebagai makhluk
seksual, memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang masalah seksual.
131.
132.
seksual.
Rasionalisasi, digunakan untuk mendapatkan pembenaran atau penerimaan tentang
133.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan pola seksualitas b.d rasa malu setelah mastektomi, di tandai oleh tidak
adanya keinginan seks.
b. Perubahan pola seksualitas b.d ketidakmampuan untuk mencapai orgasme, ditandai
oleh tidak adanya kepuasan seksual
c. Perubahan pola seksualitas b.d konflik perkawinan, ditandai dengan tidak timbulnya
gairah pada saat pemanasan sebelum berhubungan intim.
d. Disfungsi seksual b.d meminum alcohol yang berlebihan, ditandai oleh
ketidakmampuan untuk mempertahankan ereksi.
e. Disfungsi seksual b.d rasa takut terhadap penetrasi, ditandai oleh rasa sakit ketika
berhubungan intim.
134.
3. Ringkasan Rencana Asuhan Keperawatan
135.
Diagnose keperawatan : perubahan pola seksualitas.
136.
Hasil yang diharapkan : pasien akan mencapai tingkat respon seksual adaptif
Tujuan Jangka
Panjang
140. Klien akan
menguraikan nilai, keyakinan,
pertanyaan, dan masalah yang
berkaitan dengan seksualitas
138.
Intervensi
1. Dengarkan masalah
139.
Rasional
141.
Hubungan teurapeutik
Pasien akan
menghubungkan informasi
yang akurat tentang perhatian
seksual.
tertentu.
kesehatan, perilaku, dan 144.
145. Pemberian ijin
masalah seksual.
3. Berikan ijin
memperkenankan seseorang
professional untuk
untukmeneruskan perilaku
melanjutkanperilaku
Pasien akan
mengimplementasikan
perilaku baru untuk
meningkatkan respon.
dilaksanakan dengan
memusatkan pada
peningkatan konsep
diri, fungsi peran dan
seksualitas.
3. Anjurkan klien tektik
150.
151.
Sementara semua
relaksasi, pengalihan,
alternative eekspresi
seksual yang sesuai.
4. Rujuk pasien pada
terapi seks yang
professional
sebagaimana
diperlukan
152.
5. Pengkajian Karakteristik
153.
Data 1
Klien mengatakan
Tidak adanya hasrat untuk aktifitas
Ada perasaan jijik, ansietas, panic, sebagai respon terhadap kontak genital
Tidak adanya pelumas atau sensasi subjektif dari rangsangan seksual.
Gagal untuk mencapai atau mempertahankan ereksi selama aktivitas seksual.
Nyeri genital selama coitus.
154.
155.
156.
157.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan disfungsi seksual
Tujuan
Tupen :
Tupan :
Pasien akan mendapatkan kembali aktivitas seksual pada tingkat yang
1. Kaji riwayat seksual dan tingkat kepuasaan sebelumnya dalam hubungan seksual.
161.
R/ hal ini menetapkan suatu data dasar untuk bekerja dan memberikan
dasar untuk tujuan.
2. Kaji persepsi pasien terhadap masalah
162.
R/ide pasien tentang apa yang merupakan suatu masalah mungkin berbeda
dari ide perawat.
3. Kaji alam perasaan dan tingkat energy klien
163.
R/ depresi kelelahan menurunkan hasrat dalam seksual.
4. Tinjau aturan pengobatan dan observasi efek samping obat
164.
R/ banyak obat-obatan dapat mempengaruhi fungsi seksual.
5. Anjurkan pasien untuk mendiskusikan proses penyakit yang mungkin menambah
disfungsi seksual.
165.
R/ Pastikan bahwa pasien menyadari ada alternative metode pencapaian
kepuasaan seksual dan dapat dipelajari melalui konseling seks jika pasien dan
pasangannya berhasrat untuk melakukannya juga. Pasien mungkin tidak menyadari
bahwa kepuasan perubahan dapat dibuat dalam kehidupan seksnya.
6. Buat rujukan ke terapi seks jika dibutuhkan .
166.
R/ masalah kompleks mungkin membutuhkan dari seseorang individu
yang dilatih khusus untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
seksualitas.
167.
Data 2
Klien mengatakan adanya kesukaran, pembatasan atas perubahan dalam perilaku dan
aktivitas seksual.
Klien mengeluh tidak mampu mengekspresikan perilaku seksual
Klien merasakan hasrat untuk mengalami hubungan seksual yang memuaskan dengan
individu lain.
170.
171.
Diagnosa Keperawatan
172.
PErubahan Pola Seksualitas.
173.
174.
Tupen :
1. Klien akan mengatakan aspek-aspek seksualitasnya yang ingin di ubah.
2. Klien dan pasngannya akan saling berkomunikasi.
175.
Tupen :
Intervensi
Evaluasi/hasil kriteria :
Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari iritabilitas
sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,kemarahan adalah reaksi
terhadap
stimulus
yang
tidak
menyenangkan
atau
mengancam
(Widjaya
Kusuma,1992:423).
186. Kemarahan menurut Stuart dan Sunden (1987:363) adalah peasaan jengkel yang
timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Budi Ana
Keliat,1996:5).
2. Rentang Respon Kemarahan
187.
gambar berikut).
188.
189.
Respon adaptif
Respon
maladaptif
190.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------191.
Pernyataan
192.
(assertion)
Frustasi
Pasif
Agresif
Ngamuk
-
Assertion adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan
menimbulkan masalah.
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak
realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak
ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu mengungkapkan
Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak
dalam bentuk destruktif dan masih tekontrol. Prilaku yang tampak dapat berupa:muka
Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara
lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan,dan bila cara ini dipakai terus-menerus,maka kemarahan dapat di
ekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psikomatik atau agresif dan ngamuk.
200.
b. Peran Perawat pada Klien Marah
1. Pengkajian
201.
Pada dasarnya pengkajian pada klien marah ditujukan pada semua aspek,yaitu
biopsikososial-kultural-spiritual.
Aspek Biologi
202.
Aspek Emosional
203.
seperti
melarikan
diri,bolos
dari
sekolah,mencuri,menimbulkan
kebakaran,dan
penyimpangan seksual.
Aspek Intelektual
204.Sebagian besar pengalaman kehidupan individu didapatkan melalui proses
intelektual. Peran pacaindra sangat penting untuk beradaptasi pada lingkungan yang
selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman.
Aspek Sosial
205.
Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang lai. Dan menimbulkan penolakan
dari orang lain. Sebagian klien menyalurkan kemarahan dengan nilai dan mengkritik
tingkah laku orang lain,sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri menjauhkan diri dari orang lain.
Aspek Spiritual
206.
Kepercayaan,nilai,dan
moral
mempengaruhi
ungkapan
marah
5. Mempunyai potensi untuk mengamuk pada orang lain sehubungan dengan keinginan
yang bertolak belakang dengan perawatan rumah sakit,dimanifestasikan dengan menolak
mengikuti peraturan rumah sakit dan ingin memukul orang lain.
6. Mempunyai potensi untuk mengamuk pada orang lain yang berhubungan dengan fungsi
kontrol otak yang terganggu akibat ada gangguan neurologis otak yang dimanifestasikan
dengan bingung dan hipersensitif terhadap orang sangat interpersonal.
7. Kekuatan marah yang berkepanjangan sehubungan dengan diagnosa baru,situasi baru dan
informasi yang kurang.
3. Intervensi dan implementasi keperawatan
- Kesadaran Diri Merawat
208.
baginya bila klien marah. Bagi perawat yang mengetahui pengetahuan tentang kemarahan
akan dapat membantu klien untuk mengatasi kemarahan. Bagi staf harus menyadari bahwa
klien dapat mengungkapkan marah dengan tidak bermusuhan dan memberi dukungan atas
ungkapan tersebut. Perawat perlu memahami perasaan sendiri dan reaksi terhadap kemarahan
klien.
209.
210.
klien yang tidak terkontrol. Dengan empati dan pengamatan yang cermat dan tingkah laku
klien,perawat dapat mengantisipasi ledakan kemarahan klien.
213.
-
Aspek Biologis
214.
konstruktif melalui aktivitas fisik seperti: lari pagi,angkat berat,dan aktivitas lain yang
membantu relaksasi otot seperti olahraga. Di rumah sakit dapat dimodifikasi dengan
mobilitas baik pasif maupun aktif misalnya dengan jalan-jalan di taman,latihan pergerakan
tungkai,mendorong kursi roda.
215.
216.
-
Aspek Emosional
217.
menyatakan seperti Bapak tidak tenang atau ibu marah. Hal ini menolong klien mengenal
perasaan marahnya.
218.
-
Aspek Intelektual
219.
Ketika seseorang tiba-tiba marah,ia perlu diarahkan pada batas orientasi kini dan
melakukan :
1. Mengkaji pengalaman masa lalu.
2. Bermain peran dalam mengungkapkan marah.
3. Mengembangkan cara pengungkapan rasa marah yang konstruktif
4. Mempelajari cara mengintegrasikan pengalaman.
5. Membagi perasaan dengan anggota kelompok bermain.
222.
- Aspek Spiritual
223.
Bila klien marah kepada Tuhan atau kekuatan supranatural karena yakin
bahwa penyakitnya adalah hukuman dari Tuhan,maka perawat memberi dorongan agar
klien mengungkapkan perasaanya atau memanggil pemimpin agama bila perawat merasa
tidak adekuat. Perawat dapat mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga
memungkinkan terjadi diskusi tentang nilai-nilai spiritual yang meliputi beberapa jauh
klien telah mencapai tujuan hidupnya tentang kehilangan orang terdekat dan kematian
seseorang.
224.
4. Evaluasi
225.
Evaluasi pada klien marah harus berdasarkan observasi perubahan tingkah laku
dan respons subjek klien. Maynard dan Vhitty,1979 (dikutip dari Stuart dan
Sundeen,1987:582) menganjurkan beberapa pertanyaan pada evaluasi :
1. Bagaimana perasaan tentang pengalamannya ?
2. Bagaimana respon orang lain terhadapnya ?
3. Apakah ada kesempatan konfrontasi baginya ?
226.
objek,kesamaan derajat ungkapan marah dengan faktor pencetus dan kesadaran klien
terhadap proses yang dialami,sehingga jika fase marah telah selesai klien dapat melalui jika
fase berikut sampai dapat menerima keadaan penyakitnya dan dapat menggunakan
penyesuaian yang efektif.
227.
E. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cemas
228.
1. DEFINISI
229.
Ansietas adalah keadaan dimana individu/kelompok mengalami perasaan
gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam merespon terhadap
ancaman yang tidak jelas, non spesifik (Linda Juall Carpenito, Edisi 8).
230.
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas menyebar dialam dan
terkait dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan perasaan isolasi,
keterasingan dan ketidakamanan juga hadir (Stuart dan Laraia, 2005). Ansietas
merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu.
231.
Sisi negatif ansietas atau sisi yang membahayakan ialah rasa khawatir
yang berlebihan tentang masalah yang nyata atau potensial. Hal ini menghabiskan tenaga,
menimbulkan rasa takut, dan menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat
dalam situasi interpersonal, situasi kerja, dan situasi sosial. Diagnosis gangguan ansietas
ditegakkan ketika ansietas tidak lagi berfungsi sebagai tanda bahaya, melainkan menjadi
kronis dan mempengaruhi sebagian besar kehidupan individu sehingga menyebabkan
perilaku maladaptif dan disabilitas emosional. Misalnya, diagnosis gangguan ansietas
umum ditegakkan ketika individu selalu khawatir tentang sesuatu atau semua hal tanpa
alasan yang nyata, merasa gelisah, lelah, dan tegang, serta sulit berkonsentrasi selama
sekurang-kurangnya enam bulan terakhir. Makalah ini berfokus pada gangguan ansietas
yang menyebabkan ansietas yang ekstrenm dan melemahkan, yang mengganggu
kehidupan sehari-hari individu.
232.
2. TANDA DAN GEJALA
233.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami
ansietas (Hawari, 2008), sebagai berikut:
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.
b. Merasa tegang, tidak senang, gelisah, mudah terkejut
c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
f. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan
perkemihan, sakit kepala dan sebagainya.
3. Gejala umum kecemasan
b. Gejala psikologik:
234. Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut gila, takut
kehilangan kontrol dan sebagainya.
c. Gejala fisik:
235. Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan
otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung dan lainlain. Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak
nafas; rasa sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam; ada sesuatu
yang menekan dada; jantung berdebar; mual; vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa
kesemutan; kaki dan tangan tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus
menerus; kaki merasa lemah, sehingga berjalan dirasakan beret; kadang- kadang ada
gagap dan banyak lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan
yang dikemukakan disini tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan anxietas
kronik, melainkan seseorang dapat saja mengalami hanya beberapa gejala 1 keluhan
saja. Tetapi pengalaman penderitaan dan gejata ini oleh pasien yang bersangkutan
biasanya dirasakan cukup gawat.
236.
4. TINGKATAN
237.
Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek
membahayakan, yang bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan
seberapa baik individu melakukan koping terhadap ansietas. Menurut Peplau (dalam,
Videbeck, 2008) ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan,
sedang, berat dan panik :
a. Ansietas ringan
238.
Perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan perhatian
khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu individu memfokuskan perhatian
untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan
melindungi diri sendiri. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah
sebagai berikut:
1) Respons fisik
Ketegangan otot ringan
Sadar akan lingkungan
Rileks atau sedikit gelisah
Penuh perhatian
Rajin
2) Respon kognitif
Lapang persepsi luas
Terlihat tenang, percaya diri
Perasaan gagal sedikit
Waspada dan memperhatikan banyak hal
Mempertimbangkan informasi
Tingkat pembelajaran optimal
3) Respons emosional
Perilaku otomatis
Sedikit tidak sadar
Aktivitas menyendiri
Terstimulasi
Tenang
b. Ansietas sedang
239.
Merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benarbenar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Memusatkan pada hal yang
penting dan mengesapingkan yang lain, sehinggga seseorang mengalami perhatian
yang selektif. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas sedang adalah sebagai
berikut :
1) Respon fisik :
Ketegangan otot sedang
Tanda-tanda vital meningkat
Pupil dilatasi, mulai berkeringat
Sering mondar-mandir, memukul tangan
Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi
Kewaspadaan dan ketegangan menigkat
Sangat cemas
Agitasi
Takut
Bingung
Merasa tidak adekuat
Menarik diri
Penyangkalan
Ingin bebas
d. Tingkat panik
243.
Individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena hilangnya
kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
Peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang
lain, persepsi menyimpang, kehilangan pemikiran rasional. Menurut Videbeck (2008),
respons dari panik adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
Flight, fight, atau freeze
Ketegangan otot sangat berat
Agitasi motorik kasar
Pupil dilatasi
Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun
Tidak dapat tidur
Hormon stress dan neurotransmiter berkurang
Wajah menyeringai, mulut ternganga
2) Respons kognitif
Persepsi sangat sempit
Pikiran tidak logis, terganggu
Kepribadian kacau
Tidak dapat menyelesaikan masalah
Fokus pada pikiran sendiri
Tidak rasional
Sulit memahami stimulus eksternal
Halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi
3) Respon emosional
Merasa terbebani
Merasa tidak mampu, tidak berdaya
Lepas kendali
Mengamuk, putus asa
Marah, sangat takut
Mengharapkan hasil yang buruk
Kaget, takut
Lelah
244.
5. RENTANG RESPON
245.
246.
247.
6. FAKTOR PREDISPOSISI
248.
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam
kehidupan tersebut dapat berupa:
a. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan
krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
b. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara
realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
d. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
berdampak terhadap ego.
e. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap
integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
f. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola
mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons individu
dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
h. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodizepin, karena benzodiazepine dapat menekan neurotransmiter
gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
249.
7. FAKTOR PRESIPITASI
250.
dan
kecemasan
dengan
menggunakan atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial,
intrapersonal dan interpersonal. Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi,
kemampuan memecahkan masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini. Dengan
integrasi sumber-sumber koping tersebut individu dapat mengadopsi strategi koping
yang efektif (Suliswati, 2005).
252.
9
MEKANISME KOPING
253.
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi
merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila
individu sedang mengalami kecemasan ia mencoba menetralisasi, mengingkari atau
meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan,
mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa,
berkhayal, memaki, merokok, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain,
membatasi diri pada orang lain (Suliswati, 2005). Mekanisme koping untuk mengatasi
kecemasan sedang, berat dan panik membutuhkan banyak energi. Menurut Suliswati
(2005), mekanisme koping yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu:
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas. Tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
koping ini adalah individu mencoba menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan
menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik dan
memenuhi kebutuhan.
1) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan.
2) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
3) Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan,
mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
b. Reaksi berorientasi pada ego. Koping ini tidak selalu sukses dalam mengatasi
masalah. Mekanisme ini seringkali digunakan untuk melindungi diri, sehingga
disebut mekanisme pertahanan ego diri biasanya mekanisme ini tidak membantu
untuk mengatasi masalah secara realita. Untuk menilai penggunaan makanisme
pertahanan individu apakah adaptif atau tidak adaptif, perlu di evaluasi hal-hal berikut
:
1) Perawat dapat mengenali secara akurat penggunaan mekanisme pertahanan klien.
2) Tingkat penggunaan mekanisme pertahanan diri terebut apa pengaruhnya
terhadap disorganisasi kepribadian.
3) Pengaruh penggunaan mekanisme pertahanan terhadap kemajuan kesehatan klien.
4) Alasan klien menggunakan mekanisme pertahanan.
9. Penatalaksanaan Ansietas
254.
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan asietas pada tahap pencegahaan
dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu
mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius.
Selengkpanya seperti pada uraian berikut :
255. 1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :
256.
a. Makan makan yang bergizi dan seimbang.
257.
b. Tidur yang cukup.
258.
c. Cukup olahraga.
259.
d. Tidak merokok.
260.
e. Tidak meminum minuman keras.
261. 2. Terapi psikofarmaka.
262. Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan
memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system).
Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic), yaitu
2. PENGKAJIAN
278.
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis
dan perilaku. Secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping
sebagai upaya untuk melawan ansietas. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan
dengan peningkatan tingkat ansietas. Masalah yang sering muncul pada gangguan
ansietas adalah sebagai berikut:
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Gangguan perilaku; kecemasan
c. Koping individu tak efektif
279.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
280.
Ansietas (Kecemasan)
3. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
281.
282.
STRATEGI
283.
KETERANGAN
PELAKSANAAN
O
284. SP 1 PASIEN: Asessmen Ansietas dan Latihan Relaksasi
285. 286. Bina hubungan saling a. Mengucapkan
salam
1.
percaya
terapeutik,
288. 289.
2.
Membuat
(Inform
Consent)
ansietas
agar
proses
kali
ansietas:
295. 296.
4.
298.
ansietas
294.
a. Tarik napas dalam
b. Mengerutkan dan mengendurkan otot-
otot
297.
SP 2 PASIEN: Evaluasi asessmen ansietas, manfaat teknik relaksasi dan
299. 300.
1.
pasien
301.
motivasi
b. Asesmen
ulang
kemampuan
303. 304.
ansietas
melakukan
dan
teknik
relaksasi
302.
306.
2.
3.
310.
spiritual
309.
311. SP 1 KELUARGA: Penjelasan kondisi pasien dan cara merawat
312. 313. Bina hubungan saling
a. Mengucapkan
salam
terapeutik,
1.
percaya
314.
memperkenalkan diri
b. Menjelaskan tujuan interaksi: menjelaskan
ansietas pasien dan cara merawat agar
315. 316.
2.
Membuat
(inform
consent)
kontrak
dua
kali
ansietas
terjadi,
tahap
dan
gejala,
serta
akibatnya
b. Menjelaskan cara merawat ansietas pasien:
tidak
menambah
masalah
(stres)
dan follow up
322. 323. Pertahankan rasa percaya
1.
325.
kondisi pasien
324.
326. 327. Membuat kontrak ulang:
2.
dan follow up
328.
330. 332. Menyertakan
3.
329.
keluarga
334.
spiritual
333.
335. 336. Diskusikan
4.
dengan
338.
yang
perlu
(lapang persepsi
tidak
mampu
informasi,
dirujuk
menyempit,
menerima
tanda-tanda
fisik
benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Ps 1). Bencana
menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.
343. Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan
yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD
dapat terjadi secara akut (gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3
bulan), atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
344. Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera sesudah
terjadinya bencana, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa
bulan ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi
suatu gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur
hidup.
b. Faktor Penyebab
345.
ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat
yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan
individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Dapat menjadi dominan,
menyebabkan perilaku implusif tidak terkendali.
b) Biologis
350.
eliminasi katekolamin yang mempengarui fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala
dan hipokampus. Hipersensivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak
dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpanan memori. Hipokampus menimbulkan koheren
naratif serta lokasi wakt dan runang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat
otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan mamori
disimpan dalam bentuk mimoi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
c) Dinamika Keluarga
351.
perkiraan yang signifikan terjadi PTSD. Pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku
orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan
PTSD.
352.
Ada lima fase respons tingkah laku terhadap kejadian traumatik :
1. Fase impact (dampak emosional), meliputi respons shock, panik, takut yang berlebihan
(ekstrem), self destructive behavior.
2. Fase heroik, terjadi suatu semangat kerjasama yang tinggi antara teman, tetangga, dalam
kedaruratan.
3. Fase Honeymoon (1 minggu sampai dengan beberapa bulan setelah bencana)., klien
biasanya butuh bantuan orang lain.
4. Fase kekecewaan (berkhir 2 bulan sampai dengan 1 tahun), timbul kekecewaan, benci,
frustasi, marah, bermusuhan dengan orang lain, mulai membandingkan diri dengan orang
lain/tetangga.
5. Fase rekonstruksi dan reorganisasi, individu mulai menyadari bahwa ia harus menghadapi
dan mengatasi masalahya, mulai membangun rumah, bisnis, bekerja, fase ini berakhir
beberapa tahun setelah musibah.
353.
d. PATOFISIOLOGI
1. Biologis
354. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah
kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang
bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi
yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala
dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan
nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormonehormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal)
sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada
penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami
kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
355. Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini
kemudian memicu respon emosional termasuk fight, flight, or freezing" dan
perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal
medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir.
Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight
or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu
mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang
cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan
merasakan efek stress dari adrenalin.
356. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki
hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal.
Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi
kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan
menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.
2. Psikososial
357.
Pengalaman hidup yang dialami seseorang sepanjang hidupnya
juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini
mencakup pengalaman yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa. Selain
itu pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik
yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh. Smith dan Segal
PATHWAY
365.
Post-Traumatic Stress Disorder
367.
366.
368.
Biologis
Psikososial
369.
370.
mencakup
371.
Pengalaman hidup
Sindrom Pascatrauma
pengalaman yang
dialami
Ketakutan
372. Perubahan Fisik
373.
374.
Trauma
376.
377.
Bencana alam
support sosial
dini
Amigdala yg over reaktif
Kurangnya
378.
379.
Keluarga
380. situasi yg terjadi setelah trauma
381.
382. Keputusasaan
Ketakutan
Disfungsi
Ketidakberdayaan
Ancaman
terganggu
Ansietas
383.
384. Gangguan hubungan sosial
385.
386.
387.
Koping defensif
388.
Komunikasi
Koping keluarga
tidak efektif
peristiwa traumatic.
Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti
kasih sayang.
f. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan,
keluarga atau kehidupan jangka panjang.
3. Symptoms of increased arousal: peningkatan gejala distress
390. Adapun kriterianya adalah :
a. Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius
termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri
maupun orang lain.
b. Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh
peristiwa tersebut. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau
agitasi. Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan
gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
391.
392.
393.
394.
395.
396.
H. Fase-fase PTSD
397. Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
1. Fase Kritis
398.
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat)
yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana.
Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti
keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga
menimbulkan berbagai gejala psikotik.
2. Fase setelah kritis
399.
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami
dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah
bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu
phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut
terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman
terdahulunya.
3. Fase stressor
400.
(dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma
semua telah berubah.
401.
Periode bencana menurut Rice (1999):
a. Periode Impak.
402. Hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,
korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini
selalu berlangsung singkat.
b. Periode penyejukan suasana (Recoil period)
403. Berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini,
tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal
ini
a. Periode impak hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,
korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu
berlangsung singkat.
406. b. Periode penyejukan suasana (Recoil period) berlangsung beberapa hari
selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri
mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami
bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang
hilang.
407. c.
sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk
melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi
akibat bencana yang mereka alami.
408.
J. Dampak PTSD
409. Gangguan stress pasca traumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan sosial.
1. Gejala gangguan fisik :
a. Pusing.
b. Gangguan pencernaan.
c. Sesak napas.
d. Tidak bisa tidur.
e. Kehilangan selera makan.
f. Impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif :
a. Gangguan pikiran seperti disorientasi.
b. Mengingkari kenyataan.
c. Linglung.
d. Melamun berkepanjangan.
e. Lupa.
f. Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan.
dengan trauma.
440.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
441. Tujuan :
442. Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan cemas dan stress
yang dialami klien menurun atau menghilang.
443. NOC : Kontrol cemas
1.
2.
3.
4.
444.
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
445. Tujuan :
446. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien diharapkan terbentuk koping yang
efektif.
447. NOC: Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4. Menyadari masalah atau konflik spesifik yang mempengaruhi interaksi atau hubungan
sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
448.
6. Koping Keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada
usia dini.
449. Tujuan :
450. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien diharapkan koping
efektif, dengan kriteria hasil sebagai berikut:
451. NOC : Koping Keluarga
1. Menyadarkan kebutuhan unit keluarga
2. Menyadari kebutuhan pasien
3. Mulai menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4. Menunjukan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
6. Mengidentifikasi gaya koping yang bertentangan
7. Berpartisipasi dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
keluarga
b. Intervensi
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
452. NIC :
453. Konseling : penggunaan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada
kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien dengan orang yang berarti bagi pasien untuk
meningkatkan atau mendukung koping, pnyelesaian masalah dan hubungan interpersonal.
454. Aktivitas keperawatan:
1. BHSP
2. Tunjukkan empati, kehangatan dan kesejatian
3. Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi pengungkapan perasaan.
4. Hindari membuat keputusan pada saat pasien berada dalam keadaan stress.
455.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas
sebelumnya.
456. NIC I :
1. Eksplorasi pencapaian keberhasilan sebelumnya.
2. Dukung kekuatan- kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh pasien.
3. Sampaikan kepercayaan diri terhadap kemampuan pasien untuk menangani keadaan.
457. NIC II : Fasilitasi Tanggung Jawab Diri
1. Dorong pengungkapan perasaan, persepsi, dan ketakutan tentang rasa tanggung jawab
2. Dorong kemandirian, tetapi bantu pasein jika tidak dapat melakukan.
458.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
459. NIC 1 : Pengurangan ansietas
1.
2.
3.
4.
ketakutan pasien
460.
461. NIC 2 : Peningkatan koping
1.
Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
2.
Bantu pasien dalam membangun pemikiran yang objektif terhadap suatu peristiwa
3.
Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat
4.
Dukung untuk menyatakan perasaan, persepsi, dan ketakutan secara verbal
5.
Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah interpretasikan sebagai
ancaman
462.
4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
463. NIC : Penurunan kecemasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tenangkan klien
Berusaha memahami keadan klien
Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkn rasa takut
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menciptakan cemas
Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
Gunakan pendekatan dan sentuhan, verbalissi untuk meyakinkan pasien tidak
sendiri dan mengajukan pertanyaaan.
Sediakan aktivitas untuk menurunkan ketegangan.
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.
8.
9.
464.
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
465. NIC : Pencapaian Kesadaran Diri
1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi dampak penyakit terhadap konsep diri
2. Ungkapkan secara verbal mengenai pengingkaran pasien terhadap kenyataanb dengan
tepat.
3. Bantu pasien untuk mendidentifikasi prioritas kehidupan
4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aspek positif pada dirinya.
466.
6. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada
usia dini.
467. NIC : Dukungan Keluarga
1. Tingkatkan harapan yang realistis
2. Dengarkan keluhan, perasaan , dan pertanyaan keluarga
3. Fasilitasi pengkomunikasian keluhan/persaan antra pasien dan keluarga atau antar
anggota keluarga
4. Berikan perawatan kepada pasien selain keluarga untuk mengurangi beban mereka
dab/ atau saat keluarga tidak mampu untuk memberikan perawatan
5. Berikan umpan balik kepada keluarga yang berkaitan dengan koping mereka
468.
c. Evaluasi
469.
Skala :
1. Tidak pernah dilakukan/menunjukan.
2. Jarang dilakukan/menunjukan.
3. Kadang dilakukan/menunjukan.
4. Sering dilakukan/menunjukan.
5. Selalu dilkukan/menunjukan
470.
471.
472.
DP 1 :
Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap
474.
475.
DP 2 :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan
aktifitas sebelumnya.
476.
NOC : Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan ketidakberdayaan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya.
3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk melakukan tindakan yang
diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat, teman-teman dan tetangga.
477.
478.
479.
480.
1.
2.
3.
4.
DP 3 :
Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
NOC : Ketakutan dapat di kontrol
DP 4 :
Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi
terhadap bahaya.
484.
NOC : Kecemasan dapat di kontrol
1.
2.
3.
4.
492.
NOC : Koping Keluarga
1. Menyadarkan kebutuhan unit keluarga
2. Menyadari kebutuhan pasien
3. Mulai menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4. Menunjukan kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
6. Mengidentifikasi gaya koping yang bertentangan
7. Berpartisipasi dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
493.
494.
495.
K. ASUHAN KEPERAWATAN PADA INSOMNIA
A. DEFINISI
496.
tidak cukup tidur atau merasakan kualitas tidur yang buruk walaupun orang tersebut
sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup, sehingga mengakibatkan perasaan
yang tidak bugar sewaktu atau setelah terbangun dari tidur .
497. Penderita insomnia berbeda dengan orang yang memang waktu tidurnya
pendek ( short sleepers ), dimana pada short sleepers meskipun waktu tidur mereka
pendek, mereka tetap merasa bugar sewaktu bangun tidur, berfungsi secara normal di
siang hari, dan mereka tidak mengeluh tentang tidur mereka di malam hari.
498. Tidur tidak sekadar mengistirahatkan tubuh, tapi juga mengistirahatkan
otak, khususnya serebral korteks, yakni bagian otak terpenting atau fungsi mental
tertinggi, yang digunakan untuk mengingat, memvisualkan serta membayangkan, menilai
dan memberikan alasan sesuatu.
499. Tes yang pernah dilakukan terhadap beberapa ratus pria yang bersedia
menjadi sukarelawan untuk tidak tidur selama berhari-hari menunjukkan, setelah 4 - 8
hari, memang tidak terjadi kemerosotan fisik yang berarti. Namun dalam 24 jam saja
tidak tidur, gejala gangguan mental serius sudah terlihat, seperti cepat marah, memori
hilang, timbul halusinasi, ilusi, dll. Meski begitu, dengan tidur kembali keesokan harinya
semua gangguan itu hilang. Malah ada ahli menyatakan, mendingan orang tidak makan
dan minum daripada tidak tidur. Tes laboratorium pada hewan menunjukkan, mereka bisa
bertahan hidup tanpa makan dan minum sampai 20 hari, tapi tidak tidur hanya bertahan
tidak lebih dari lima hari.
500.
Sejumlah
ahli
yang
memonitor
aktivitas
tubuh
menuju
tidur
menambahkan, saat tidur pikiran dan otot-otot kita saling merangsang. Ketegangan otot
menyebabkan korteks terus aktif sedangkan ketegangan otak menyebabkan otot terus
aktif. Kelelahan akan mengurangi irama kerja otot, demikian juga di kala beristirahat,
sehingga semua ini akan menurunkan kegiatan dalam korteks.
501. Menurunnya aktivitas dalam korteks akan membiarkan otot-otot kita
semakin rileks. Begitu rangsangan antara pikiran dan otot menurun, kita akan mengantuk
lalu tertidur. Selagi tidur, jantung kita akan berdetak lebih lamban, tekanan darah
menurun, dan pembuluh-pembuluh darah melebar. Suhu badan turun sekitar 0,5oF (17,5oC) tetapi perut dan usus tetap bekerja. Sementara tidur, tubuh sekali-kali bergerak.
Gerakan sebanyak 20 - 40 kali masih dianggap normal. Terganggu insomnia berarti kerja
pikiran dan otot tidak berjalan seiring. Pikiran kita akan sulit tertidur bila otot masih
tegang. Sebaliknya, akan sulit bagi otot untuk tertidur jika pikiran masih terjaga, tegang,
dsb.
502.
A. ETIOLOGI
503.
1. Faktor Psikologi :
504.
Insomnia jenis kronis, sedangkan berita-berita buruk gagal rencana dapat menjadi
penyebab insomnia transient.
2. Problem Psikiatri
505.
biasanya yang tidak diingininkan, adalah gejala paling umum dari awal depresi,
Cemas, Neorosa, dan gangguan psikologi lainnya sering menjadi penyebab dari
gangguan tidur.
3. Sakit Fisik
506.
Sesak nafas pada orang yang terserang asma, sinus, flu sehingga
hidung yang tersumbat dapat merupakan penyebab gangguan tidur. Selama penyebab
fisik atau sakit fisik tersebut belum dapat ditanggulangi dengan baik, gangguan tidur
atau sulit tidur akan dapat tetap dapat terjadi.
4. Faktor Lingkungan
507.
lintasan kereta api, pabrik atau bahkan TV tetangga dapat menjadi faktor penyebab
susah tidur.
5. Gaya Hidup
508.
Alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja yang
Yakni gangguan tidur yang terjadi dalam jangka waktu dua sampai
tiga minggu. Kedua jenis insomnia ini biasanya menyerang orang yang sedang
mengalami stress, berada di lingkungan yang ribut-ramai, berada di lingkungan yang
mengalami perubahan temperatur ekstrim, masalah dengan jadwal tidur-bangun
seperti yang terjadi saat jetlag, efek samping pengobatan.
3. Insomnia kronis
512.
atau lebih. Salah satu penyebab chronic insomnia yang paling umum adalah depresi.
Penyebab lainnya bisa berupa arthritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea,
sindrom restless legs, Parkinson, dan hyperthyroidism. Namun demikian, insomnia
kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku, termasuk penyalahgunaan kafein,
alkohol, dan substansi lain, siklus tidur/bangun yang disebabkan oleh kerja lembur
dan kegiatan malam hari lainnya, dan stres kronis.
C. MANIFESTASI INSOMNIA
1. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
2. Wajah kelihatan kusam
3. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
4. Lemas, mudah mengantuk
5. Resah dan mudah cemas
6. Sulit berkonsentrasi, depresi, gangguan memori, dan gampang tersinggung.
513.
D. KOMPLIKASI INSOMNIA
1. Efek fisiologis. Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress, terdapat
peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan
produksi melatonin.
2. Efek psikologis. Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi , irritable,
kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.
3. Efek fisik/somatik. Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.
4. Efek sosial. Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat
promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan
keluarga.
5. Kematian. Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan
hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin
disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang memperpendek angka
harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia
mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit.
Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar
untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang normal.
E. PENATALAKSANAAN
514.
memberikan saran juga mengoptimalkan pola tidur yang sehat, baik dari segi kualitas
ataupun waktunya. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan menggunakan obat ataupun
tanpa obat. Terapi tersebut dapat berupa :
1. Psikoterapi
515.
pasien untuk santai dan belajar bagaimana cara-cara tidur yang benar. Terapi perilaku bisa
menyembuhkan insomnia kronik dan terapi ini efektif untuk segala usia, terutama pada
pasien usia tua.
2. Herbal
516.
gangguan irama sirkadian seperti jetlag). Melatonin menurunkan fase tidur laten,
meningkatkan efisiensi tidur, dan meningkatkan persentasi tidur REM (Rapid Eye
Movement), dan chamomile (untuk mengurangi kecemasan) banyak dipakai untuk terapi
insomnia.
3. Terapi cahaya
517.
Prinsip terapi ini adalah bahwa cahaya terang dapat mengurangi rasa
meningkatkan kualitas dan durasi tidur, tapi juga untuk meningkatkan derajat
kewaspadaan pada siang harinya dan untuk menghilangkan hyperarousal state.
Sayangnya, banyak dosis obat hipnotik yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas
tidur pada malam hari juga menyebabkan sedasi pada siang harinya. Untuk menghindari
komplikasi ini, short acting benzodiazepine dapat digunakan. Obat hipnotik long acting
bisa mengganggu kualitas psikomotorik yang bisa menyebabkan kecelakaan yang
berhubungan dengan kendaraan bermotor Terapi dengan obat-obatan hipnotik sedatif
harus dimulai dengan dosis kecil dan untuk maintenancenya menggunakan dosis efektif
yang terkecil. Efek toleransi terjadi pada penggunaan kebanyakan obat hipnotik, karena
itu penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 1 bulan. . Rebound insomnia bisa terjadi
jika penghentian obat dilakukan secara mendadak. Untuk menghindari efek ini,
digunakan obat dengan dosis kecil dan tappering off.
519.
520.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MASALAH GANGGUAN
521.
TIDUR : INSOMNIA
A. PENGKAJIAN
522.
1. Kaji riwayat tidur klien
a.
b.
c.
d.
e.
523.
Seberapa jauh perbedaan tidur anda saat ini dari tidur anda yang dulu?
525.
541.
2. Kemampuan koping keluarga tidak efektif b.d pemahaman klien dan pasangan
BAB III
PENUTUP
549.
A. Kesimpulan
550.
masalah dengan cara (mekanisme koping) yang biasa dipakai. Krisis dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan psikologis, yang merupakan hasil dari peristiwa menegangkan atau
mengancam integritas diri
551.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
552.
Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan
dan cinta, termasuk di dalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas
mengandung arti yang luas bagi manusia, karena sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal
tersebut sudah menyertainya.
553.
Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari
iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,kemarahan adalah
reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau mengancam (Widjaya
Kusuma,1992:423).
554.
Kemarahan menurut Stuart dan Sunden (1987:363) adalah peasaan jengkel
yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Budi
Ana Keliat,1996:5).
555.
556.
yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD
dapat terjadi secara akut (gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3
bulan), atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
557. Insomnia didefinisikan sebagai suatu persepsi dimana seseorang merasa
tidak cukup tidur atau merasakan kualitas tidur yang buruk walaupun orang tersebut
sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup, sehingga mengakibatkan perasaan
yang tidak bugar sewaktu atau setelah terbangun dari tidur .
558.
561.
559.
560.