Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan overeenkomst. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan :Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Batasan yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata menurut Mariam Darus
Badrulzaman adalah tidak lengkap dan terlampau luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan
itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan dikatakan terlampau luas karena dapat
mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga seperti janji kawin yang merupakan
perjanjian juga tapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III.
Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil.[1]
Secara rinci kelemahan-kelemahan yang ada dalam rumusan Pasal 1313 KUH Perdata
tersebut antara lain :
1.
2.
3.
4.
1. Suatu perbuatan
Yaitu : suatu perbuatan yang nyata, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan fisik dan tidak
hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.
2. Antara sekurang-kurangnya dua orang atau lebih
Hal ini menunjukkan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin di buat sendiri, setiap tindakan yang
dilakukan oleh orang perorang untuk kepentingannya sendiri tidak termasuk dalam kategori
perjanjian.
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara para pihak yang berjanji tersebut[2].
I.G. Rai Widjaya berpendapat rumusan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan
hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan, sehingga dalam suatu
perikatan terkandung hal-hal sebagai berikut :
- Adanya hubungan hukum.
pertama merupakan hak bagi pihak kedua, sebaliknya kewajiban dipihak kedua merupakan hak
bagi pihak pertama. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa : Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai
2.
3.
4.
1.
Pembayaran.
2.
3.
Pembaharuan utang.
4.
5.
Percampuran utang.
6.
Pembebasan utang.
7.
8.
9.
2.
1.
2.
3.
4.
Definisi pertama yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli angsuran.
2.
Definisi kedua yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan sewa menyewa.
3.
Definisi ketiga yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli.
Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP /
II / 1980 tentang Perijinan Beli Sewa (hire purchase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa
(renting), disebutkan pengertian sewa beli. Sewa Beli adalah : Jual Beli barang dimana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang
dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat
dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli
setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Definisi kedua, dapat diihat dari pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah:
Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima
tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar,
berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu
barangnya menjadi pemiliknya.[8]
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran antara jual beli dan
sewa menyewa. Pandangan ini dikemukakan oleh Soebekti[9]: Sewa beli adalah sebenarnya
suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun
ia merupakan campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa.
Dengan demikian, dari definisi yang dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para
ahli, dapat disimpulkan bahwa sewa beli sebagai gabungan antara sewa-menyewa dan jual beli.
Apabila barang yang dijadikan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat
ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah lunas, maka barang
itu menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak dapat mengurus balik nama dari obyek
sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum dituangkan dalam undang-undang, yang
menajdi landasan hukum perjanjian sewa beli adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan
Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan
angsuran dan sewa (renting)).
Menurut SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980, pasal 1 a
sewa beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara
memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga
barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas
barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas
oleh pembeli kepada penjual.
Subyek dalam perjanjian sewa beli ini adalah kreditur (penjual sewa) dan Debitur
(Pembeli Sewa). Yang dapat bertindak sebagai penjual sewa beli adalah perusahaan yang
menghasilkan barang sendiri atau usaha yang khusus bergerak dalam perjanjian sewa beli
sedangkan debitur adalah orang yang membeli barang dalam system sewa beli.
Obyek dalam perjanjian sewa beli itu sendiri adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape
recorder, mesin jahit, lemari es, AC, mesin cuci dan lain-lain.
Di dalam praktek bentuk perjanjian sewa beli ini dibuat dalam bentuk tertulis dan
dibawah tangan, artinya perjanjian itu hanya ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan
perjanjian sewa beli ini, yang mana dibuat secara sepihak oleh penjual sewa, juga penentuan
segala isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa sedangkan pembeli sewa hanya diminta untuk
menandatangani perjanjian tersebut.
Biasanya pihak pembeli sewa tidak memiliki keberanian untuk mengubah isi dan
persyaratan yang ditentukan oleh pembeli sewa karena posisi mereka berada pada pihak yang
lemah dari aspek ekonomi. Mereka tidak memiliki uang kontan untuk membayarnya. Isi dan
persyaratan perjanjian baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu membayar
angsuran, bunga dan denda.
Kapan terjadinya perjanjian sewa beli ini tidak ditentukan dengan tegas. Namun apabila
melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, saat terjadinya perjanjian sewa beli ini adalah pada saat
terjadinya persamaan kehendak antara penjual sewa dan pembeli sewa. Dari sisi perjanjian
formal terjadinya perjanjian sewa beli adalah pada saat ditandatanganinya perjanjian sewa beli
oleh para pihak.
Sejak terjadinya perjanjian tersebut maka timbulah hak dan kewajiban dari para pihak,
hak penjual sewa adalah menerima uang pokok beserta angsuran setiap bulannya dari pembeli
sewa sedangkan kewajiban penjual sewa adalah menyerahkan obyek sewa beli tersebut dan
mengurus surat-surat yang berkaitan dengan obyek sewa tersebut. Hak pembeli sewa adalah
menerima barang yang disewabelikan setelah pelunasan terakhir sedangkan kewajiban pembeli
sewa adalah membayar uang pokok, uang angsuran setiap bulannya dan merawat barang yang
disewabelikan tersebut. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini adalah:
1.
2.
Meninggalnya pembeli sewa namun tidak ada ahli waris yang melanjutkan.
3.
4.
Dilakukan perampasan oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lain, hal ini terjadi karena
pembeli sewa telah mengalihkan obyek sewa beli kepada pihak lain.
5.
6.
3.
Memberikan sesuatu.
2.
Berbuat sesuatu
3.
1.
2.
3.
a.
b.
Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik menuntut
pembatalan perikatan.
c.
d.
e.
Hak untuk menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pasal 1266 KUH
Perdata menyebutkan :
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hokum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan,
hakim adalah leluasa untuk menuntut keadaan atas permintaan tergugat memberikan sesuatu
jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak
boleh lebih dari satu bulan.
Dengan demikian menurut Pasal 1266 KUH Perdata tersebut dengan alasan salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lainnya dalam perjanjian tersebut tidak
dapat membatalkan perjanjian yang bersangkutan, akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh
dilakukan begitu saja melainkan haruslah dilakukan lewat pengadilan.
Menurut Munir Fuady, ada salah satu prinsip yang mendasar dalam perjanjian
yaitu prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak
lainnya. Berdasarkan prinsip perlindungan pihak yang dirugikan maka apabila terjadi
wanprestasi terhadap suatu perjanjian kepada pihak lainnya diberikan hak sebagai berikut :[13]
a. Exception non adimpleti contractus
Berdasarkan prinsip exeptio non adimpleti contractus maka pihak yang dirugikan akibat adanya
suatu wanprestasi dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi
selanjutnya manakala pihak lainnya melakukan wanprestasi.
b. Penolakan prestasi selanjutnya dari pihak lawan.
Apabila pihak lawan telah melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang rusak
dalam suatu perjanjian jual beli maka pihak yang dirugikan berhak menolak pelaksanaan prestasi
selanjutnya dari pihak lawan tersebut, misalnya menolak menerima barang selanjutnya yang
akan dikirim oleh phak lawan dalam perjanjian jual beli tersebut.
c. Menuntut restitusi
Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai atau
telah mulai melakukan prestasinya seperti yang diperjanjikan, maka pihak yang melakukan
prestasi tersebut berhak untuk menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap
prestasi yang telah dilakukannya.
[1] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2001),
Halaman 65
[2] Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT. RajaGratindo
Persada 2002) halaman 7.
[3] I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract drafting), (Jakarta : Kesain Blanc 2004),
halaman 21
[4] Mariam Darus Badrulzaman.Op. Cit, Halaman 84
[5] Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti
2001), halaman 33
[6] R. Subekti, Op. Cit, halaman 52
[7] Salim HS. Perkembangan Hukum KontraknInnominat, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2004), Halaman
128
[8] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur 1981),
Halaman 65
[9] Soebekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni 1986), Halaman 33
[10] Salim H.S. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia (Jakarta: PT. Sinar Grafika 2003),
Halaman 137
[11] Mariam D badrulzaman, Op Cit, Halaman 18
[12] Ibid
[13] Munir Fuady, Op Cit. Halaman 96