Anda di halaman 1dari 70

Maqamat Ajaran Thoriqoh

Amalan ini di dasari dengan jalan memelihara keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah
Swt, agar senantiasa tetap akan hadirnya Allah Swt pada masuk dan keluarnya nafas, dalam menarik dan
menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat serta hadir bersama Allah Swt di dalam hati sanubari,
ingat kepada Allah saat keluar masuknya nafas guna memudahkan jalan dekat kepada Allah Swt dan di
ridhaiNya.
Kajian ini sangat berguna untuk jalan atau membuat seorang anak manusia (hamba) supaya dapat
mengontrol dirinya agar jangan sampai lupa kepada Allah Swt, di samping dengan ibadah fardhu (wajib)
yang di lakukan sebagai sifat penghambaan dan pengabdian terhadap Allah Swt, amalan ini jika di lakukan
dengan rutin (istiqamah) dapat menjaga seorang hamba dari sifat lalai atau lupa kepada Allah Swt yang di
sebabkan oleh bisikan syetan pada jalan jalan atau pintu masuk yang halus daripada manusia, jadi inilah
upaya untuk jalan menuju kepada Allah Swt yang Maha Agung dan Maha Suci.
Penerapan dalam kesehariannya salah satunya menjaga jika ia (salik) berjalan, mestilah selalu
menundukkan kepalanya, kalau tidak dapat di khawatirkan membuat hati bimbang dan ragu, maka dari tu
kita harus memelihara hati.
Terjadinya perpindahan sifat sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat sifat kemalaikatan
yang bersih dan suci lagi penuh dengan ketaqwaan, karena itu wajiblah kita mengontrol hati, agar dalam hati
kita tidak ada rasa cinta kepada makhluk selain dari Allah Swt, setiap salik harus selalu menghadirkan hati
kepada Allah Swt dalam segala hal keadaan, baik di suasana sunyi maupun di tengah keramaian dunia.
Suluk dalam hal ini terbagi dari 2 (dua) bagian, yakni ; Khalwat Lahir, yaitu orang yang sunyi di tengah
keramaian, dan Khalwat Bathin, yaitu orang yang suluk senantiasa musyahadah kepada Allah Swt dan
menyaksikan rahasia rahasia Allah Swt, walaupun berada di tengah keramaian, dalam arti kata berkekalan
dzikir (ingat) kepada Allah Swt, baik dzikir izmu zat dengan membaca AllahAllahAllah maupun dengan
dzikir napi istbat menyebut La ilahaa illallah, sampai yang di sebut itu terlihat di dalam dzikir yang hadir
dan datang.
Di luar suluk yang resmi, seorang salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat
menggoda dan mengganggunya sedapat mungkin di dalam kesadarannya yang jernih, jika terjadi yang
demikian walaupun hanya sebentar dapat menjadi masaalah besar, hal ini tidak boleh terjadi dalam ajaran
ibadah cara thariqat.
Tawajjuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah yang menyaksikan keindahan kebesaran
dan kemuliaan Allah Swt terhadap Nur Zat Ahdiyah, cahaya yang maha esa dengan tiada seumpama
dengan apapun juga dan tanpa di sertai dengan kata kata, hal ini dapat di capai oleh seorang hamba
dalam menjalani ibadah cara suluk setelah dia mengalami fana dan baqo yang sempurna
Pelajaran dalam ajaran ini ada mempunyai beberapa tingkatan yang di sesuaikan dengan tahap kebersihan
jiwa dan hasil daripada pengamalan dzikirnya terhadap Allah Swt, dengan di bimbing oleh seorang guru
mursyid tentunya pada pembelajaran ini, semakin dekat seorang hamba dengan khalikNya, maka semakin
naik pulalah tahapan tingkatan kajiannya dalam memperdalam ajaran dzikir ini, tingkatan dari ajaran dzikir
ini terdiri sebagai berikut :
1. LATIFATUL QALBIY
Berhubungan dengan jantung jasmani, kira kira dua jari di bawah susu kiri, dzikirnya sekurang
kurangnya 5000 dalam sehari semalam, ini wilayahnya Nabi Adam As, cahayanya kuning dan berasal dari
tanah, angin dan api.
Wilayah ini tempatnya sifat buruk pada manusia, yakni ; hawa nafsu, Syetan dan Dunia, jika seorang
hamba lkhlas dzikirnya pada wilayah ini, maka hilanglah itu daripadanya dan paling tidak berkurang, jadi
sifat yang buruk pada wilayah ini jika di dzikirkan terus menerus, maka dapatlah menjelma atau masuklah
sifat yang baik dan berakhlak, yaitu ; Iman, Islam, Tauhid dan Marifat.
Uraian latifah ini adalah merupakan sentral daripada ruhaniah manusia, wilayah ini merupakan induk
dari latifah latifah lainnya, yaitu hati sanubari manusia itu sendiri. Madzmumahnya adalah hawa nafsu yang
buruk itu mengikut kepada kehendak iblis dan syetan, cinta dunia, kafir dan syirik bertempatkan pada
wilayah ini.

Madzmudahnya ialah Iman, Islam, Tauhid dan Marifat serta sifat sifat malaikat, melalui dzikir pada
latifatul qalbiy menjelmalah sifat madzmudah tadi kedalamnya, justru inilah di tuntut seorang hamba supaya
rajin rajin membersihkan wilayah ini dengan dzikrullah.
Jika seorang hamba betul betul ikhlas dan rajin berdzikir pada wilayah ini dan beristiqamah, maka
insya Allah Swt terbukalah rahasia gaib alam jabarud dan alam malakud dengan izin dan kehendakNya, dia
mendapatkan ilham dan karunia daripadaNya, dan itu ini di katakan sunah dan thariqat Nabi Adam As.
Puncaknya adalah fana pada Afal Allah Swt, munculnya mati tabii, mati yang di maksudkan di sini
adalah matinya hawa nafsu dan hiduplah hati sanubari.
Mati Tabii artinya perasaan lahiriah orang yang berdzikir menjadi hilang, fana pendengaran dan
penglihatan lahiriahnya, sehingga tidak berfungsi lagi, yang berfungsi adalah pendengaran dan penglihatan
bathinnya yang memancar dari lubuk hatinya, sehingga terdengar dan terlihat adalah lapzul jalalah, dalam
keadaan demikian akal dan pikiran tidak berjalan lagi, tetapi hanyalah ilham dari Allah Swt yang merupakan
nur illahi itulah yang terbit dari orang yang berdzikir, sehingga hatinya muhadharoh hadir bersama Allah Swt.
Mati Tabii juga merupakan lompatan dari pintu fana yang pertama, oleh sebab di terimanya dzikir
seorang hamba oleh Allah Swt, dan ini merupakan hasil dari mujahadahnya dan merupakan rahmat dan
karunia dari Allah Swt, juga merupakan fanafillah di mana gerak dan diam tidak ada kecuali dari Allah Swt.
2. LATIFATUL RUH
Berhubungan dengan rabu jasmani dua jari di bawah susu kanan, dzikirnya sekurang kurangnya
1000 kali dalam sehari semalam, ini adalah wilayahnya Nabi Ibrahim As dan bercahaya merah, maqam ini
berasal dari api.
Maqam ini adalah tempatnya sifat madzmumah yaitu tamak, rakus dan bakhil, jika ikhlas dzikirnya
maka masuklah dan berganti dengan sifat madzmudah, yaitu Khanaah dalam arti memadai ianya akan apa
ada adanya.
Sifat buruk ini seperti, loba, tamak, rakus dan bakhil adalah salah satu sifat yang tidak di sukai oleh
Allah Swt dan RasulNya, sifat bathiniah yang buruk seperti ini tidak ubahnya seperti binatang yang suka
menurut akan hawa nafsunya, jadi dengan rajinnya mengobati sifat ini dengan dzikir pada maqam tersebut
di atas adalah dapat berganti sifas yang di sukai Allah Swt dan RasulNya, seperti merasa selalu bersyukur
dan menerima apa adanya yang telah di tetapkan oleh Allah Swt, usaha untuk merubah sifat ini adalah
dengan cara yang wajar melalui dzikir kepada Allah Swt dengan seperti cara yang di ajarkan oleh Thariqat
An- Naqsyabandi.
Puncaknya pada dzikir adalah maqam fanafil asma dan mati manawi, artinya semua sifat keinsanan
manusia telah lebur dan lenyap di liputi oleh sifat ketuhanan yang di namakan dengan fanafisifattillah, sifat
yang baharu dan sifat yang kekurangan pada diri seseorang yang berdzikir jadi lenyap atau fana, yang
tinggal hanyalah sifat tuhan yang maha sempurna dan azali.
Pendengaran dan penglihatan lahir menjadi hilang lenyap, yang tinggal hanyalah pendengaran
bathin dan penglihatan bathin yang memancarkan nur illahi, yang terbit dari dalam hati yang dapat
memancarkan ilham dari Allah Swt, mati manawi ini merupakan pintu fana yang kedua dan di terima oleh
seseorang berdzikir, ini merupakan hasil mujahadahnya dan merupakan rahmat dan karunia dari Allah Swt
jika ikhlas dzikirnya.
3. LATHIFATUL SIRRI
Berhubungan dengan hati jasmani kira kira dua jari di atas susu kiri, dzikirnya dalam sehari semalam
sekurang kurangnya 1000 kali, ini wilayahnya Nabi Musa As dan bercahaya putih asalnya dari angin,
maqam ini tempatnya sifat madzmumah pada manusia, yaitu pemarah, pembengis, emosi tinggi dan penaik
darah dan pendendam, jadi kita harus berdzikir di tempat ini jika ingin menghilangkan sifat buruk tersebut
dari bathin kita, jika ikhlas dzikirnya pada tempat ini maka akan bergantilah sifat buruk tadi menjadi sifat
yang terpuji, seperti pengasih, penyayang, baik budi bahasa dan pekertinya.
Sifat ini di katakan seperti sifat binatang buas yang suka berbuat onar, kekejaman, penganiayaan,
penindasan, permusuhan dan pendzaliman sesama, dan sebagai madzmudahnya adalah manakala lenyap
sifat buruk di atas dan berganti dengan sifat kesempurnaan, terutama rahman dan rahim, ini di katakan
adalah sunah dan thariqatnya Nabi Musa As.
Puncaknya pada maqam ini adalah fanafisifattisubutiah dan mati sirri, mati sirri artinya segala sifat
keinsanan menjadi lenyap dan berganti fana, demikian juga dengan alam yang wujud ini menjadi lenyap dan

di telan oleh alam ghaib, alam malakul yang penuh dengan nur illahi, mendapat karunia mati sirri ini adalah
bergelimang baqa finurillah, yaitu nur afal Allah Swt, nur asma Allah Swt, nur zat Allah Swt dan nurron ala
nurrin, cahaya di atas cahaya Allah Swt, di mana Allah Swt memberikan karunia itu kepada siapa saja yang
dia kehendaki.
1.

LATHIFATUL KHAFI

Berhubungan dengan limpa jasmani kira kira dua jari di atas susu kanan, berdzikir pada maqam ini dalam
sehari semalam sekurang kurangnya 1000 kali, ini adalah wilayahnya Nabi Isa As dengan bercahayakan
hitam dan berasal dari air.
Ini adalah tempatnya sifat madzmumah pada manusia, seperti busuk hati, munafik, pendusta, mungkir janji,
penghianat dan tidak dapat di percaya, nah jika ikhlas dzikir pada tempat ini maka hilanglah sifat yang
demikian dan berganti dengan sifat yang terpuji, seperti ridha dan syukur, madzmumahnya lathifatul khafi ini
di katakan dengan sifat syetaniah yang menimbulkan was was, cemburu, dusta dan sebagainya yang
sejenis, dan mahmudahnya adalah sifat syukur dan ridha serta sabar dan tawakkal, ini di katakan dengan
sunahnya Nabi Isa As.
Puncaknya adalah fana fissifatis salbiyah dan mati hissi, mati hissi artinya segala sifat keinsanan yang baharu
menjadi lenyap atau fana dan yang tinggal hanyalah sifat tuhan yang qadim azali, ada tingkat ini tanjakan
bathin seorang yang berdzikir telah mencapai tingkat tertinggi, yaitu tingkat marifat, pada tingkat ini orang
yang berdzikir telah mengalami keadaan yang tidak pernah di lihat oleh mata zahir, tidak opernah di dengar
telinga zahir dan tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin pula bisa di sifati
oleh sifat manusia kecuali yang telah di karuniakan oleh Allah Swt dengan seperti pada jalan tersebut di
atas.
5. LATHIFATUL AKHFA
Berhubungan dengan empedu jasmani kira kira di tengah dada, dzikirnya sekurang kurangnya dalam
sehari semalam adalah 1000 kali, ini merupakan wilayahnya Nabi Muhammad Saw dan bercahaya hijau serta
berasal dari tanah, tempat sifat takbur, ria, ujub dan sumaah, ini harus kita hilangkan dengan berdzikir pada
maqam ini agar dapat berganti dengan sifat tawadduk, ikhlas, sabar dan tawakkal kepada Allah Swt.
Sifat segala keakuan seperti sombong, takbur, ria, loba, ujub dan tamak serta bersikap akulah yang
terpandai, akulah yang terkaya, akulah yang tergagah, tercantik dan lain sebagainya, maqam ini juga di
katakan dengan sifat rububiyah atau rabbaniyah dan hanya pantas bagi Allah Swt, sebab dialah yang pada
hakikatnya yang memiliki, mengatur alam semesta ini, sifat baik pada maqam di dapatkan jika berdzikir
dengan ikhlas adalah khusyu, tawadduk, tawakkal dan ikhlas sebenar ikhlas, selalu tafakkur akan
keagungan Allah Swt dan ini di katakan dengan sunahnya dan thariqatnya Nabi Muhammad Saw, puncaknya
adalah fana fidzzat, almuhallakah.
6. LATHIFATUL NAFSUN NATIKAH
Berhubungan dengan otak jasmani terletak di tengah tengah dahi, berdzikir pada maqam ini dalam sehari
semalam adalah sebanyak 1000 kali sekurang kurangnya, ini adalah wilayahnya Nabi Nuh As dan
bercahaya biru serta tempat sifat buruk pada manusia yaitu khayal dan angan angan, oleh karena itu
kikislah sifat tersebut dengan berdzikir secara ikhlas pada tempat ini, agar berganti dengan sifat
muthmainnah, yaitu sifat dan nafsu yang tenang.
Buruknya pada tempat ini adalah selalu panjang angan angan, banyak khayal dan selalu merencanakan
selalu yang jahat untuk memuaskan hawa nafsu, sifat baiknya adalah nafsu muthmainnah yaitu sifat yang
sakinah, aman, tenteram serta berpikiran yang tenang, ini di katakan dengan sunah thariqatnya Nabi Nuh
As, puncaknya adalah mati hissi.
7. LATHIFATUL KULLU JASAD
Berhubungan dengan selurh badan atau jasad zahir, berdzikir pada maqam ini dalam sehari semalam
sekurang kurangnya 11.000 kali, ini adalah tempatnya sifat buruk manusia, yaitu jahil dan lalai, seseorang
yang dzikirnya ikhlas pada tempat ini dapat menimbulkan ilmu dan amal yang di ridhai oleh Allah Swt.
Dzikir ini di sebut juga dengan dzikir sultan aulia Allah Swt, artinya raja sekalian dzikir dan di jalankan
melalui seluruh badan, tulang belulang, kulit, urat dan daging di luar maupun di dalam, di tempat ini dzikir
AllahAllahAllah pada penjuru anggota badan beserta ruas dari ujung rambut sampai ujung kaki hingga
tembus keluar yakni bulu roma pada sekujur tubuh atau badan, agar dapat menghilangkan sifat malas dan
lalai beribadah kepada Allah Swt.

Untuk menghantam seluruh sifat malas dan lalai tersebut haruslah di laksanakan dengan sepenuh hati yang
ikhlas, menurut kajian pengamal ajaran cara ibadah tasawwuf bahwa iblis dan syetan bisa masuk melalui
dan menetap pada seluruh bagian tubuh, karena itu perlu di getar dengan dzikirullah sehingga dzikirullah
menetap di tempat itu dengan sendirinya dan tentu saja tidak ada lagi jalan iblis atau syetan untuk dapat
memasuki tubuh zahir dan merasuk kedalam bathin manusia untuk membisikkan segala perbuatan jahat
yang tercela di hadapan Allah Swt.
Sifat yang masuk pada maqam ini setelah dzikir tersebut adalah ilmu dan amal yang di ridhai oleh Allah Swt,
dia berilmu sesuai dengan quran dan syariat serta sunnah Rasul Saw, hakikat cahaya pada maqam ini
adalah nuurus samawi dan di katakan dengan sunah dan thariqatnya orang alim dan marifat kepada Allah
Swt, puncak pada dzikir ini adalah mati hissi yang perupakan pokok dan mendasari dzikir dzikir yang lain di
atasnya, karena itu para pengamal ajaran ini harus mengkhatamkannya sekurang kurangnya 11.000 sehari
semalam.
Dzikir lathaif inilah merupakan senjata paling ampuh untuk mengusir dan membasmi sifat madzmumah yang
ada pada 7 (tujuh) lathaif tadi, segala sifat madzmumah atau sifat buruk ini di tunggangi oleh iblis dan
syetan.
WUKUF
Wukuf ini menurut ajaran Syeikh Muhammad Bukhari Bahauddin Naqsyabandi, pertama tama di dasari
dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu ;
1.

Wukuf Samani;
Artinya : Kontrol yang di lakukan oleh seorang salik terhadap ingat atau tidaknya dia kepada Allah Swt
sekurang kurangnya dua atau tiga jam, jika dia ternyata dalam keadaan ingat kepada Allah Swt dalam
pada waktu tersebut, ia harus bersyukur kepada Allah Swt, jika ternyata dia tidak ingat kepada Allah Swt, ia
harus banyak banyak melakukan taubat kepada Allah Swt dan usahakan dengan sekeras mungkin supaya
kembali ingat kepada Allah Swt.
2.

Wukuf Adadi;

Artinya : senantiasa memelihara bilangan ganjil dan menyelesaikan dzikir napi istbat pada setiap dzikir
tersebut di akhiri, jangan di akhiri dengan bilangan yang genap, tetapi mestilah bilangan yang ganjil,
seperti ; 3, 5 atau 7 dan seterusnya.
3.

Wukuf Qalby;

Artinya : Keadaan hati seorang yang suluk, selalu hadir kepada Allah Swt, pikiran yang ada terlebih dahulu di
hilangkan dari perasaan, kemudian sekalian panca indera yang lima tawajjuh dengan mata hati yang hakiki
untuk menyelami marifat kepada Allah swt, tidak ada luang sedikitpun di dalam hati selain kasih Allah
Dzikir wukuf menghadirkan seluruh lathaif dan seluruh anggota badan serta ruas ruasnya di hadirkan
kepada zat yang tanpa rupa dan bentuk, penghadiran tanpa menyertakan Dzikir ismu zat, tapi hadir di
haribaan zat yang di namai Allah, yaitu Allah Swt. Dzikir wukuf adalah Dzikir diam dengan semata mata
mengingat Allah, yaitu mengingat zat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan suci atau jauh
dari segala sefat kekurangan, segala sifat kesempurnaan hanya di miliki oleh Allah Swt, jadi sifat kekurangan
adalah milik kita dan untuk meningkatkan sifat yang kurang sempurna itu menjadi lebih sempurna, maka
inilah yang kita harapkan rahmat dan ridha Allah Swt.
Dzikir wukuf ini di rangkaikan setelah selesai melaksanakan Dzikir ismu zat atau Dzikir lathaif atau Dzikir
napi istbat, Dzikir wukuf ini di laksanakan dalam rangka menutup Dzikir yang lain sebelumnya.
PENGERTIAN MARKOBAH
Dzikir markobah ialah berkekalannya seorang hamba, ingat bahwa dirinya senantiasa di monitor oleh Allah
Swt dalam seluruh tingkah lakunya.
Markobah artinya saling mengawasi, saling mengintai dan saling memperhatikan, dalam kajian tasawwuf
atau thariqat, markobah dalam pengertian bahasa tersebut, yaitu terjadinya sesuatu antara hamba dengan
khalikNya. Tingkatan kajian Markobah ini dalam ajaran ibadah cara Thariqat Naqsyabandi ada 6 (enam) yang
akan di beri penjelasan secara umum berikut ini, kajian markobah ini di dasari dengan firman Allah Swt
dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagai berikut :
Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang).Al-Quran Surah Asy-Syuara Ayat
218.

Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang orang yang sujud. Al-Quran
Surah Asy-Syuara Ayat 219.
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di
langit. Al-Quran Surah Ali Imran Ayat 5.
Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu. Al-Quran Surah Al-Ahzab Ayat 52
Apakah Tuhan yang menjaga Setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang
tidak demikian sifatnya)?. Ar-Rad Ayat 33.
Tidaklah Dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?. Al-Alaq
Ayat 14.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. An-Nisa Ayat 1
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. Al-Bayyinah Ayat 8
Rasulullah Saw bersabda : Hendaklah engkau menyembah kepada Allah Swt seolah engkau melihat
Allah dan jika engkau tidak dapat melihat melihat Allah Swt, maka sesungguhnya Allah Swt
melihat akan kamu. Hadist riwayat Muslim.
Dari Abu Yala yaitu Syaddad bin Aus Ra, dari Nabi Saw, sabdanya :Orang yang cerdik -berakal ialah
orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah
matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya
dan mengharap harapkan kemurahan atas Allah, yakni mengharap harapkan kebahagiaan dan
pengampunan di akhirat, tanpa beramal shalih. Di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Dari Anas Ra katanya : Sesungguhnya engkau semua pasti melakukan berbagai amalan -yang di
remehkannya sebab di anggap dosa kecil kecil saja, yang amalan amalan itu adalah lebih
halus lebih kecil menurut pandangan matamu daripada sehelai rambut. Tetapi kita semua di
zaman Rasulullah Saw menganggapnya termasuk golongan dosa dosa yang merusakkan,
menyebabkan kecelakaan dan kesengsaraan. Di riwayatkan oleh Imam Bukhari.
Dari ayat dan hadist tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa markobah berarti mawas diri seorang
hamba terhadap khaliknya bahwasanya Allah Swt mengawasi, mengintai dan memperhatikan setiap niat dan
amalan hambanya, sebaliknya seorang hamba harus mawas diri terhadap hati, niat dan amal yang dia
kerjakan untuk melaksanakan perintah Allah Swt dan meninggalkan laranganNya.
Seorang hamba harus melaksanakan perhitungan terhadap dirinya sendiri tentang apa yang telah di
laksanakannya di masa yang telah lalu atau lampau dan karena itu harus bertekad merumuskan yang baik
dan meningkatkannya di masa mendatang semata mata karena Allah Swt serta mengharapkan ridha Allah
Swt.
Markobah juga mengevaluasi sehabis beramal guna memperbaiki dan meningkatkan amalan amalan yang
akan datang yang menyangkut dalam pelaksanaan istighfar dan taubat serta terhadap dosa dosa yang
telah terlanjur di laksanakan pada masa lampau dengan perasaan menyesal dan takut terulang lagi, begitu
juga orang yang belum mengukuhkan rasa takutnya kepada Allah Swt.
Mawas dirinya terhadap Allah Swt dapat membukakan atau mencapai kasyaf (terbuka tabir antara hamba
dengan tuhannya) dan syahadah (menyaksikan) akan keutamaan dan hikmah, markobah dari seseorang
hamba terlihat bahwa dia selalu dalam keadaan ridha dan ingin meningkatkan amal amal shalehnya.
Bentuk pelaksanaan Dzikir markobah di rangkaikan dengan akan selesainya atau ada hasil daripada Dzikir
sebelumnya, seperti ; Dzikir lathaif dan napi istbat.
1. DZIKIR MARKOBATUL ITHLAQ
Dzikir Markobatul Ithlaq adalah di mana seseorang berDzikir dan ingat kepada zat Allah Swt bahwa Allah
Swt mengetahui keadaan keadaanya, maka Allah Swt melihat perbuatan perbuatannya dan Allah Swt
mendengar perkataan perkataannya.
2. DZIKIR MARKOBAH AHDIYAH AFAL
Berkekalannya seorang hamba bertawajjuh serta memandang zat Allah Swt yang bersifat dengan segala sifat
yang sempurna serta suci bersih dari segala sifat kekurangan. Dzikir ini di mana seorang hamba berDzikir
dan ingat kepada zat Allah Swt, bahwa Allah Swt maha pencipta dan maha suci dan mengerjakan segala
sesuatu yang dia kehendaki.

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. As-Shaffaat Ayat 96.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.Huud Ayat 107.
3. DZIKIR MARKOBAH MAIYAH
Markobah Maiyah adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah
Swt, yang mengintai di mana saja hamba itu berada, sesuai dengan firman Allah Swt sebagai berikut :
Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.Al-Quran Surah Al-Hadid Ayat 4.
4. DZIKIR MARKOBAH AGHRABIYAH
Dalam kajian Thariqat Naqsyabandi, para salik di ajarkan Tahlil Lisan sebelum di ajarkankan Dzikir Markobah
Aghrabiyah, menurut Syeikh Sulaiman Zuhdi, Dzikir Markobah Aghrabiyah adalah berkekalannya seorang
hamba yang bertawajjuh serta memandang betapa dekatnya Allah Swt dengan hambaNya, yaitu sesuai
dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran :
Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.Al-Quran Surah Qaaf Ayat 16.
5. DZIKIR MARKOBAH AHDIYATUZZAT
Pengertian dzikir ini adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh, serta memandang kepada Allah
yang maha esa, dan zatNya yang bergantung kepadaNya segala sesuatu dan lagi iaNya berdiri sendiri.
Dzikir ini di mana seseorang hamba yang berdzikir dan dan ingat kepada zat Allah Swt, tiada sekutu
bagiNya, tiada zat yang maha esa kecuali Allah Swt itu sendiri, segala sesuatu itu tergantung kepada Allah
Swt.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Al-Quran Surah Al-Ikhlas
Ayat 2.
6. DZIKIR MARKOBATUZZ ZALISH SHARFI WAL BAHTI
Dzikir Markobatuzz Zalish Sharfi Wal Bahti adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta
memandang kepada Zat Allah Swt yang merupakan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan
dan ulul azmi, juga dzikir ini di mana seseorang yang berdzikir dan ingat kepada Allah Swt, bahwa Allah Swt
Maha Suci, Allah Swt sajalah yang menentukan dan mentasharuffkan segala sesuatu, Allah Swt menetapkan
kenabian, kerasulan, ulul azmi dan lain lain sebagainya. Firman Allah Swt :
Demikianlah, Allah berbuat apa yang di kehendaki-Nya. Al-Quran Surah Ali Imran Ayat 40.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Al-Quran Surah Al-Hajj Ayat 14.
Dalam kehidupan kita sehari hari di luar kegiatan suluk, kajian ini sangat penting di terapkan untuk
menjaga daripada nur (cahaya) keimanan hati kita kepada Allah Swt, agar senantiasa mendapatkan
ketetapan (istiqomah) dalam menetapkan ingat kepada Allah Swt. hal ini terdiri dari 8 (delapan) perkara,
yaitu :
1. Hush dar dam artinya : Menjaga napas secara sadar dan di sengaja.
Dalam setiap tarikan nafas yang naik turun kita senantiasa berpikir akan kebesaran Allah Swt, hamba yang
cerdas dan bijak harus selalu mengontrol napasnya terhadap kelalaian, dalam keadaan hal menarik dan
melepaskan nafas tersebut, dengan itulah selalu menjaga hatinya senantiasa hanya tertuju kepada Allah
Swt.
Kita harus selalu menjaga napas dengan ingat berkekalan kepada Allah Swt, sebab tiap tarikan dan
hembusan napas yang demikian itu adalah akan hidup dan menyambung dengan Allah Swt, tiap tarikan dan
hembusan napas dengan kelalaian adalah akan mati dan terputus hubungan dengan Allah Swt, ajaran ini di
bangun atas teori dasar napas, jadi suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga napasnya pada waktu
menarik dan menghembuskan, selalu menjaga napasnya dalam lingkungan ingat kepadaNYA di antara
menarik dan menghembuskan napas sepanjang hidupnya.
Nama Allah Swt terdiri dari empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Ha, dalam pengertian ini di nyatakan bahwa
zat Allah Swt yang sempurna di katakan pada huruf terakhir yakni Ha, huruf ini mewakili dialah yang maha
ghaib dan sempurna.
Lam adalah untuk (tacrif) menyatakan identitas yang di cari, sedangkan Lam yang kedua adalah untuk
mubalagha (penekanan) yang di cari, hal ini identik dengan dzikir napi istbat
Seharusnya hal di ketahui oleh kita semua, bahwa menjaga napas dari kelalaian ingat adalah suatu
pekerjaan yang susah bagi seseorang, sehingga kita harus melakukan hal itu dengan cara selalu mencari

ampunan (istighfar), karena mencari ampunan akan membersihkan dan mensucikan diri kita dan akan
menimbulkan keyakinan bahwa sesungguhnya Allah Swt yang memang nyata berada di mana mana.
2. Nazar bar qadam artinya : Mengintip dalam setiap langkah kemanapun.
Ini artinya bahwa kita dalam berjalan di kehidupan ini hendaknya pandangan mata hanya tertuju kepada
obyek (fokus), yaitu keridhaan Allah Swt. Kemanapun arah kakinya hendak dia tempatkan atau langkahkan,
maka pandangan mata kita hendaknya tertuju kesitu pula.
Jangan melemparkan pandangan kesana kemari, seperti melihat kekiri atau kekanan atau kedepan, agar
pandangan yang satu tidak menutupi hatinya, karena timbulnya hijab (dinding), kebanyakan di sebabkan
pada hati yang liar (tidak tetap), selama melangkah dalam perjalanan tersebut, karena berbagai macam
keinginan yang tercetak di dalam pikiran kita senantiasa di bisikkan oleh syetan dengan tiada henti
hentinya, berbagai macam gambaran dan khayalan itu, akan menjadi tabir yang akan menutup hati.
Hati yang telah di bersihkan melalui dzikir terus menerus, akan menjadi cermin untuk penglihatan mata hati,
maka dengan itulah kita di perintahkan untuk merendahkan pandangannya agar supaya tidak di serbu oleh
anak panah syetan.
Merendahkan dan menafikan pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati, orang yang bangga dan
sombong, tidak akan pernah melihat akan tujuan mereka, tetapi bila selalu melihat ke arah perjalanannya
dengan fokus dan mantap hanya kepada Allah Swt, maka gerak menuju arah tujuannya akan tercapai
dengan kehendakNya insya Allah Swt.
Jika ini sudah tercapai, maka kita secara otomatis tidak akan melihat kemana mana kecuali hanya kepada
Tuhan, laksana seseorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan cepat, demikian juga seseorang yang
menuju Allah Swt bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak berbilang bilang
dalam beribadah, tetapi selalu dan selalu terus menerus, tidak juga mudah terkagum kagum akan apa
yang di jumpainya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi hanya melihat kepada Allah Swt.
Pandangan mendahului langkah, dan langkah mengikuti pandangan.Ingatlah!!!!!!!!!!, untuk perjalanan
yang meningkat keatas (miraj) ini, atau ke maqam yang lebih tinggi, di mulai dengan pandangan yang satu,
di ikuti dengan langkah, apabila langkah mencapai level tinggi dari pandangan, maka pandangan akan naik
lagi ke tingkat berikutnya, atas itulah langkah juga mengikuti secara bergilir.
Pandangan akan di angkat ke tempat yang lebih tinggi lagi, dan langkah akan mengikutinya secara bergilir,
dan begitu seterusnya sampai pandangan mencapai tingkat kesempurnaan, ke arah itulah langkah akan di
tarik dan di lakukan.
PahamilahBila langkah mengikuti pandangan, maka kita telah mencapai tingkat kesiapan dalam
mendekati langkah yang lurus dan benar, maka langkah yang lurus dan benar itu di sebut juga
sebagai awal atau pertama dari semua langkah lainnya.
3. Syafar dar watan, artinya : Perjalanan kembali (pulang) dalam arti kata Hijrah.
Maknanya adalah kita selalu mengupayakan dalam kehidupan ini adalah berjalan atau hijrah, dari dunia yang
penuh dengan hawa, nafsu dan syahwat ini, menuju kepada dunia ibadah.
Rasulullah Saw mengatakan : Saya akan mengunjungi Tuhanku dari satu maqam ke maqam yang
lebih baik (tinggi) dan dari satu daerah ke daerah yang lebih tinggi. Artinya kita harus berjalan
untuk kembali dari keinginan hal terlarang kepada keinginan untuk Allah Swt. Di uraikan lagi
adalah sebagai berikut :
a. Perjalanan Luar
Artinya : Berjalan atau hijrah, dari satu tempat ketempat yang lain guna menambah suatu ilmu dan amal
(hijrah dari kebodohan kepada berilmu pengetahuan tentang ibadah), untuk lebih meningkatkan dan
mendekatkan kita kepada Allah Swt, guna mengangkat cara ibadah kita, dari yang kurang baik kepada yang
lebih baik, mengingat dalam ibadah banyak terselip hal hal yang dapat mengugurkan amal ibadah.
b. Perjalanan Dalam
Artinya : Untuk kemantapan dalam melakukan perjalanan luar di atas, dalam perjalanan luar terdapat
banyak sekali kesukaran yang berkemungkinan takkan sanggup di tanggung oleh kita, di khawatirkan malah
akan jatuh kepada tindakan terlarang, ini di sebabkan karena masih banyak kendala dalam tata cara
ibadahnya dalam praktek secara langsung, oleh karena itu alngkah baiknya jika dalam hijrah yang di atas
tadi, maka sebaiknya di laksanakan ibadah rutin (istiqamah) kepada Allah Swt tanpa mohon akan rahmat
dan karuniaNya, karena dalam mencari ilmu untuk beramal sangat besar faedahnya di sisi Allah Swt.

Jika dua hal di atas dapat kita laksanakan dengan baik, dan meninggalkan perilaku akhlaq yang buruk, tentu
akan dapat meningkat kepada akhlaq yang lebih tinggi, menguasai akan semua keinginan dunia dari hatinya
dan menafikannya dengan hanya untuk keperluan sekedarnya (qanaah), maka kita akan di angkat oleh
Allah Swt dari keadaan yang tidak bersih kepada keadaan bersih dan suci.
Apabila telah di sucikan olehNya hati kita, maka membuatnya jernih seperti air, transparan bak kaca,
mengkilap seperti cermin, di perlihatkan kebenaran dari semua hal dalam kehidupannya sehari hari, dalam
hatinya akan muncul semua hal yang di perlukan untuk kehidupannya dan untuk mereka yang berada di
sekelilingnya.
4. Khalwat dar anjuman artinya : Merasa sunyi dan sendiri dalam ramai.
Khalwat artinya menyendiri secara sendirian, artinya tampak dari luar bersama sama dengan manusia di
sekelilingnya, sementara secara bathin, atau dalam hatinya senantiasa selalu ingat dan bersama Allah Swt.
Terdapat juga dua kategori khalwat, yakni ;
Khalwat ini ada dua macam :
1. Khalwat pada suatu tempat yang tidak ada orang lain selain dari orang orang yang khalwat,
berkonsentrasi hati dengan dzikir kepada Allah Swt, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran Allah Swt
menjadi nyata kebesaranNYA (Tajalli).
2. Khalwat yang merasa sendiri di antara keramaian (dalam lingkungan manusia atau masyarakat), di sini
kita hendaknya selalu hadir dengan Allah Swt, sambil secara zahirnya berada di tengah tengah keramaian
tersebut, sementara di dalamnya selalu dzikir sir (tersembunyi) dalam hati sanubari, meskipun kita masuk
dalam kancah keramaian manusia, usahakan selalu mengekalkan ingat kepada Allah Swt, dalam keadaan ini
adalah posisi yang tertinggi pada apa yang di namakan khalwat atau suluk, hal ini adalah benar dan lurus,
sesuai dengan yang tersebut dalam Al-Quran Orang orang yang tak dapat di alihkan perhatinnya
dari mengingat Allah oleh bisnis maupun keuntungan.
Khalwat utama seorang penganut ajaran Thariqat adalah kesendirian dalam keramaian, mereka bersama
Allah Swt dan sekaligus bersama manusia, seperti kata Rasulullah Saw : Saya memiliki dua sisi, satu
muka menghadap Al Khaliq muka lainnya menghadap ciptaan (makhluq).
Penganut ajaran Thariqat, selalu menekankan kebaikan akan berjamaah, bermajelis (berkumpul) dalam
berdzikir, Thariqat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan adalah suatu kebaikan berada dalam
kebersamaan.
Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan karomah, tapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang
ramai (banyak), menjual dan membeli, menikah dan mempunyai anak, namun tak pernah meninggalkan
kehadiran Allah Swt dalam sekejap pun.
5. Yad kard, artinya : Dzikir yang paling utama di tuju (lakukan).
Kita hendaknya melakukan dzikir dengan penolakan dan penerimaan, pada lidahnya senantiasa dzikir kepada
Allah Swt sampai mencapai keadaan muraqabah, keadaan itu akan di capai pada tiap hari dengan
ucapan : AllahAllahAllah atau la ilaha illallah pada lidah di sertai hati (syir), minimal antara 5,000
dan 11,000 kali, yang akan mewakili (meliputi) semua asma dan sifatNya, membuang dari hatinya segala
unsur yang akan mengotori dan membuat hatinya berkarat.
Kita senantiasa hendaknya mengulang dzikir ini dalam setiap tarikan dan hembusan napas, menghirup dan
meniup, selalu membuatnya mencapai dan memukul hati, arti dari dzikir ini adalah membawa sasaran kita
hanya satu satunya kepada Allah Swt, dan tidak ada sasaran lain lagi bagi kita, hanya satu Allah Swt yang
Maha Esa.
6. Baz ghast, artinya : Pulang (kembali) dalam Keridhaan Allah Swt.
Keadaan ini, di mana yang melakukan dzikir dengan sampai kepada pengertian ungkapan Rasulullah
Saw, Illahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi artinya : Ya Allah, hanya engkaulah yang kumaksud
dan keridhoan engkaulah yang kutuju.
Munajat ini adalah dasar dan tujuan utama bagi ajaran Thariqat Naqsyabandiah, akan menambah kesadaran
dan pengakuan kita tentang Ke-Esa-an Allah Swt, sampai kita mencapai keadaan di mana keberadaan
semua ciptaan (makhluq) lenyap dari pandangan mata, semua yang kita lihat, kemanapun kita memandang,
adalah Allah Swt.
Kita melakukan dzikir macam ini, agar supaya menerangkan hati akan rahasia yang maha satu (Al Ahad),
dan untuk membuka diri kepada kenyataan (tajalli) Allah Swt, bagi salik yang pemula, tidak boleh

meninggalkan dzikir ini bila dia tidak mendapatkan hasil atau kekuatan itu muncul dalam hatinya, harus
tetap melaksanakan dzikir ini, karena Rasulullah Saw telah mengatakan : Barang siapa meniru suatu
golongan orang, dan akan menjadi bagian dari golongan itu.
Makna Baz Ghast adalah kembali kepada Allah Swt, dengan menunjukkan kepasrahan diri yang sempurna
dan tunduk kepada kehendakNYA, dan kerendahan diri ini akan sempurna dengan menyampaikan semua
pujian kepadaNYA, itulah alasan Rasulullah Saw menyebutkan dalam doanya : Ma dzakarnaka aqqa
dzikrika ya madzkar artinya : Kami tidak mengingat engkau sebagaimana seharusnya engkau di
ingat, Ya Allah.
Kita tidak akan dapat datang kepada hadhirat Allah Swt dalam dzikir, dan tidak dapat mengungkapkan
Rahasia dan Sifat Allah Swt dalam dzikir, bila tidak melaksanakan dzikir itu dengan dukungan Allah Swt dan
tanpa Allah Swt, mengingat hal ini balik jua faedahnya akan diri kita sendiri, singkatnya, kita tidak dapat
melakukan dzikir oleh atau dengan sendirinya, tanpa mengetahui bahwa Allah Swt adalah justru yang
sedang melakukan dzikir melalui diri hambaNYA.
7. Nighah dast, artinya : Perhatikan (instropeksi) diri dan sekitarnya.
Senantiasa membuat suatu pandangan, artinya kita hendaknya mengendalikan hati dan melindunginya
dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk, kecenderungan akan hal hal yang buruk, akan
menghalangi hati dari Allah Swt dan akan menjadi hijab (dinding) antara hamba dengan tuhannya, bagi
seseorang yang dapat melindungi hatinya dari kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah
merupakan sebuah hasil dan karunia yang besar dariNya jua.
Untuk ini saja dia sudah akan di akui sebagai seorang yang sampai, ajaran sufi atau tasawwuf, adalah
sebuah kekuatan untuk melindungi hati dari pemikiran buruk, dan menjaganya dari kecenderungan rendah,
barang siapa berhasil dengan di atas, dia tentu akan mengerti hatinya dan memancar cahaya akalnya, yang
tentu akan menimbulkan pikiran untuk selalu ingat akan kebesaran Allah Swt atas alam semesta ini, dan
barang siapa yang mengerti akan hatinya, tentu akan mengenali Tuhannya. Rasulullah Saw
mengatakan : Barang siapa mengenal dirinya sendiri, niscaya akan mengenal Tuhannya.
8. Yada dast, artinya : Ingatan
Membaca dzikir, tentu akan melindungi hatinya, dalam tiap hembusan napas tanpa meninggalkan ingat Allah
Swt, ini adalah karunia yang sangat besar di berikanNya kepada seseorang hamba, hendaknya kita
mempertahankan hati, supaya selalu berada dan dekat dengan Allah Swt, ini akan membuat kita menyadari
dan merasakan Cahaya (nur) dari Allah Sw, kita harus membuang tiga dari empat bentuk pikiran yang
terasa, yakni :

Pikiran egois;

Pikiran jahat, dan

Pikiran malaikat, sambil mempertahankan dan membenarkan, kita justru hanya boleh membentuk pikiran
keempat, yaitu;

Pikiran kebenaran, artinya suatu keyakinan, hal ini akan membimbing kita menuju ketingkat tinggi dari
kesempurnaan, dengan membuang semua khayalan dan hanya mengambil kebenaran, bahwa yang benar
adalah Esanya Allah Swt.
MAQAM MUSYAHADAH
Dzikir dalam maqam musyahadah aialah seseorang berdzikir seolah olah dalam tahap berpandang
pandangan dengan Allah Swt, di mana seorang hamba atau salik telah dapat konsep tiada hijab antara
dirinya dengan Allah Swt.
Dzikir maqam musyahadah ini di rangkaikan dengan dzikir lathaif, Allah Swt yang melihat kamu
ketika kamu berdiri shalat dan Allah Swt melihat pula kamu pada perubahan gerak badanmu (jasmani) di
antara orang orang yang sujud.
MAQAM MUKASYAFAH
Dzikir maqam mukasyafah adalah seseorang yang berdzikir di mana seolah olah terbuka rahasia
ketuhanan baginya, bila berdzikir maqam mukasyafah ini di laksanakan dengan baik, sempurna dan ikhlas,
maka seorang hamba akan tahkik, maka dia akan memperoleh hakikat kasyaf dan rahasiaNya.
Dan seseorang hamba tidak akan menghendaki menempuh jalan itu kecuali bila dia di kehendaki
Allah Swt, sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dialah Allah Swt yang hidupnya

kekal dan tiada tuhan melainkan Allah Swt, maka sembahlah Allah Swt dengan menunaikan ibadah kepada
Allah Swt, segala puja dan puji bagi Allah Swt Rahmat sekalian alam.
MAQAM MUKABALAH
Dzikir dalam maqam mukabalah adalah seseorang hamba berdzikir dalam tahap rohaninya berhadap
hadapan dengan zat Allah Swt yang Wajibul Ujud, dzikir ini di rangkaikan dengan dzikir lathaif dan hanya
kepunyaan Allah Swt barat dan timur, maka kemanapun muka kamu berhadap, maka di situlah wajah Allah
Swt.
MAQAM MUKAFAHAH
Berdzikir dalam maqam mukafahah ini, seseorang hamba dalam dzikir kepada Allah Swt, di mana
tahap ruhaniahnya berkasih sayang dengan Allah Swt, dzikir ini dengan semata mata mengingat zat Allah
Swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kecintaan dari yang selainNya sudah hilang sama sekali,
hanya tinggal kecintaan (muhibbah) kepada Allah Swt, dzikir ini di rangkaikan dengan dzikir ismu zat, lathaif
dan napi istbat serta dzikir wukuf, adapun orang orang yang sebenarnya beriman adalah sangat cintanya
kepada Allah Swt.
MAQAM FANAFILLAH
Dzikir dalam maqam fanafillah ini adalah seseorang hamba berdzikir dalam tahap telah lenyap dan
lebur rasa keinsanannya kedalam rasa ketuhanan, dia telah fana kedalam baqo Allah Swt, seorang hamba
yang telah melaksanakan perjuangan (riyadhah) serta mujahadah dan telah melepaskan dirinya dari
belenggu hawa nafsu, sehingga ingatannya kepada alam maujud ini telah hilang lenyap sama sekali dan dia
lebur kedalam kebaqoan Allah Swt, maka dia telah fanafillah, sesuai dengan firman Allah Swt dalam AlQuran :
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Al-Quran Surah Ar-Rahman Ayat 26.
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Al-Quran Surah ArRahman Ayat 27.
MAQAM BAQOBILLAH
Maqam baqobillah adalah seseorang yang berdzikir telah mencapai tahap dzikir, di mana kehadiran
hati bersama Allah Swt semata mata, artinya dengan fananya segala sesuatu termasuk dengan dirinya,
maka yang tinggal baqo hanyalah zat Allah Swt, seorang hamba pada ketika itu telah lebur dan fana dalam
kebaqoan Allah Swt. Sebagaimana pada firman Allah Swt dalam Al-Quran Surah Ar-Rahman Ayat 27.
Para sufi mengatakan, Fananya dalam kebaqoan Allah Swt, dan lenyapnya dalam kehadiran
Allah Swt.
Para guru sufi atau tasawwuf berkata : Siapa yang ingin sampai kaji ibadahnya sesuai dengan
kehendak Allah Swt, dia haruslah mengalami sekurang kurangnya :
Mati hakiki 4 kali;
Fana 4 kali;
Tajalli 4 kali.
Adapun mati tersebut terbagi dalam beberapa macam, yaitu :
Mati Thabii;
Mati Manawi;
Mati Syuri;
Mati Hissi.
Macam macam Fana :
Fana Fi Afal;
Fana Fi Asma;
Fana Fi Sifat;
Fana Fi Dzat.
Artinya : Setiap orang fana atasnya dan tetaplah wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemulyaan.
Macam macam Tajalli :
Tajalli Afalullah;
Tajalli Asmaullah;
Tajalli Sifatullah;

Tajalli Dzatullah bizdzauqi.


Keseluruhan maqamat atau lathaif dalam pelajaran kajian agama islam menurut cara sufiyah di atas adalah
yang di cantumkan hanya berupa yang ilmu di ilmukan, bukan pengungkapan yang bersifat rahasia daripada
hasil ibadah melalui cara tersebut, dan pelajatan ini hanya di sampaikan secara umum, mengenai tata cara
pelaksanaannya adalah semestinya melalui guru pembimbing yang mursyid dalam hal ini, guna untuk
mandapat penjelasan dan pemahaman yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan dan salah langkah yang
malah menimbulkan syirik dan kesesatan.
Diposkan oleh Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah di 23.12 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Link ke posting ini

Thoriqoh
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup Orang yang teguh pada pegangan yang genap Ia
waspada dalam ibadah yang mantap Bersikap wara' berperilaku dan sikap Dengan
riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati
ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam
menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat
berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat
(sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl
(wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba
atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shlihn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari
semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di
tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni
meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan,
atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang
suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan
barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan
9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari
sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai
saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng
rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya
obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh
memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab
"Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal
benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk
menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai
menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah
tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya.
Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya
menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan
rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu
pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya.
Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang
menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah.
Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata:
"Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua
bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua
untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan
membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan
setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang
bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama
menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?"
"yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan
sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".

Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang
melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan
sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu
mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan
melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan,
minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi
kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang
punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga
untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain
karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila
disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan
kesia-siaan".
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah,
seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan
kebahagiaan
1.

Tarekat Naqsyabandiyah
Tariqat Naqshbandi mempunyai sejarah yang panjang iaitu silsilah pemimpin ataupun imam-imam besar
bagi tariqat ini dapat dikesan sehingga ke Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah Ar-Rasyidun yang
pertama.Abu Bakar as-Siddiq menjadi pengganti pertama kepada Rasulullah (s.a.w) untuk memimpin Ummat
Islam pada masa itu dan mengukuhkan rohani dan iman mereka. Firman Allah didalam Al-quran yang mulia
"...sedang dia salah seorang dari 2 orang ketika keduanya berada dalam gua,di waktu dia berkata kepada
temannya,Janganlah kamu berdukacita sesungguhnya Allah beserta kita." (Al-Quran, 9:40)
Rasulullah (s.a.w) pernah memuji Abu Bakar as-Siddiq dengan sabdanya,"Dikala terbit atau terbenamnya
matahari, sinarnya yang memancar itu, tidak pernah menyinar pada seorang yang lebih baik selain Abu
Bakar melainkan para Nabi dan Rasul." (Tarikh al-Khulafa) Baginda (s.a.w) juga pernah bersabda,"Abu Bakar
lebih utama daripada kamu bukan kerana banyaknya solat atau puasa beliau melainkan kerana sesuatu
rahsia yang berakar umbi di dalam hatinya."(Manaqib as-Sahaba Imam Ahmad). Rasulullah (s.a.w) pernah
bersabda," Jika aku di kehendaki memilih teman yang kucintai,aku memilih Abu Bakr sebagai teman yang
kucintai;tetapi dia adalah saudara dan sahabatku."(Sahih Muslim)
Tariqat Naqshbandi terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah
(s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat
lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq
al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband Imam yang utama didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshband berasal daripada dua cetusan idea : naqsh yang bermaksud "ukiran" dan ini
diertikan sebagai mengukir nama Tuhan pada hati dan band pula bermaksud "ikatan" yang menunjukkan
ikatan antara insan dan Penciptanya. Oleh itu ini bermakna Tariqat Naqshbandi mengajak murid-muridnya
lelaki ataupun perempuan, agar melakukan solat dan menunaikan perkara yang wajib mengikut Al-Quran dan
As-sunnah Rasulullah (s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta dengan sifat Ihsan. Agar terus
bermujahadah dan dapat merasakan kehadiran Allah dan perasaan cinta kepada Allah didalam hati muridmurid tadi dan seterusnya terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara
seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah
di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam
bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti
perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah. Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat
Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri.
Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab
demikianlah makna asal dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun
mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan" tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam
abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila
warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya.
Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan
penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir
tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca
pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam
pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
a. Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh 'Abd
al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini
disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut
Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang
dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang
satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya,
dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din
Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas
dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khawajigan dan kebanyakan penganut
Naqsyabandiyah India).

b.
1.

2.
3.

4.

5.

6.

7.

8.

c.
1.

Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:


Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar
setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian
pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih
hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari
Allah (al-Kurdi).
Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya,
sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak
dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni
meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya
sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri,
untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan
menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran,
beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna
menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan
asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal
lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk
turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap
terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam
politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha
illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh
sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian
sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen.
Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang
menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di
antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku
memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah
senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir
tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan
Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. AlKurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku
selama dua puluh tahun."
Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang
berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan
beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam
keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:


Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika
seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji,
hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan
perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang
mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah
hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya
secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali
Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj
al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
d. Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai
kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah
membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,
"tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekattarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah
daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah
lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di
banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa;
di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah
dzikir ism al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat keesaan". Yang duluan terdiri dari
pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan
perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan
perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar
jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-

ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai
dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan
dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu
bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah
(jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua
jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman
tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan
nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan
titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan
lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik
dzikir yang didasarkan padanya -- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem
psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun
berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha'if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya
berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada
zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah
dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah
sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal
teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib,
sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau
memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan
dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat.
Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan
secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai
kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik.
Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat
yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di
Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang
tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
2.

Tarekat Qodiriyah
Sekilas Tarekat Qodiriyah. Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan
dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi
Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di
samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti
hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan
jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya
kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan
kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani,
sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah
yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi
Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di
Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah
meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah
Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid
al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf alHamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai
dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara
sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan
anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdadpada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan
umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak
abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah
Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w
1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri
sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan
modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani
sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allahlah yang menjadi walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori
Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah
(1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di
Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di
Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan
Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat
Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko
ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen
pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang
kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu
untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus
mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang
tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras
(dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina
Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan
shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih
, lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar
shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik
nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke
arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya
Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar
dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam
mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal
sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli
jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli
lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat
Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit,
ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli
berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.
Bai'at Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru
(syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan
membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di
depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru
mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian
guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut
benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena
murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi
segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah)
hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu
jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua
perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16," Kalau saja mereka berjalan
dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan
sejati) yang melimpah ruah".
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua
yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi
eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut
hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti.
Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang
mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat
pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi
di Indonesia.
Qodiriyah di Indonesia. Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia
juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa
Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,
merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal
dari Jawa dan Madura setelah pulang keIndonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan
Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of Islam"
hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi
kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan.
Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di
Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin
oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu
pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin
pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di

Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo
Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi
tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang
dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia. Juga pada organisasi
Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul
Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati
urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh
Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang
Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari
KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan
arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad
Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul
Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17.
Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul
Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27.
Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi,
31. Ma'ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja'far Shodiq, 35.
Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39.
Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang
berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda
pula guru di antara para kiai itu sendiri.
3. Tarekat Alawiyyah
Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan
itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah
(olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak,
dan beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa
saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang
diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan,
bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah
hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-abdan (olah fisik)].
Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mutabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat
ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India,
dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir -- , seorang tokoh sufi terkemuka asal
Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga
dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi
penerusnya. Sementara nama Alawiyyah berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih
dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW yang merupakan lapisan
paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan,
pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah
itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir
bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu dibaiat atau
ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat
Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula,
dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini
hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain,
biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad Tarekat
Alawiyyah yang diperbaharui tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia.
Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman.
Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat
Aidarusiyyah dan Tarekat Aththahisiyyah.
Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra
binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama
dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula
keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian
hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa
oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan
para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah
seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allahred).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan
yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal
shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya
oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan

gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk
berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab
binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian
hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah AlMunawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi
di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum
Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Kabah. Sehingga pada tahun 318 H,
tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya
mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah. Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa
Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama
yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan
mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki
kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu,
konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum
sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut:
(Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci). Pada
hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya
hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah.
Dalam keadaan fana seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: Segala sesuatu yang
mempunyai nafs (ruh) akan merasakan mati . Dia mengatakan, Aku tidak mempunyai nafs. Dikatakan lagi,
Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah. Dia menjawab, Aku tidak berada di atasnya. Dia
mengatakan lagi, Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia). Dia menjawab, Aku bagian dari
cahaya wajah-Nya. Setelah keadaan fana-nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk
makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, Al- mereka memaksakan untuk memasukkan makanan
ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). Kalian telah
bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan
tetap bersama kalian.
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh.
Di antaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar
al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-Aidarus bin Abu Bakar bin Abd alRahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai
terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para
tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa
ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai
Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk
Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini
untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah
mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jamu, al-farq, al-fana
bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh
Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan
tradisi tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga
mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabiah al-Adawiyah dengan
mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana-nya, al-Hallaj dengan wahdah alwujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan
al-khumul dan al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya dan ujub, yang juga
merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diri
seseorang sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk
sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut
dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai
kepedulian terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum
kelas bawah maupun kaum tertindas (mustadlafin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu
dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqaranya.
Syekh Abdullah al-Haddad dan Tarekat Alawiyyah. Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad
atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan,
karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masamasa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad
al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kotaTarim dan lebih
banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli marifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak
kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu
misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan,
bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan
waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi.
Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.

Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah,
mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala
perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua,
kelompok ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan
serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah
adalah tarekat ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid),
perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat
ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh
masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar
adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk
melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir
setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua,
sikap wara yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya.
Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya
4. Thariqat Ahmadiyah Badawiyah
Nama resminya ialah Ahmad ibn Aly (al-Husainy al-Badawy). Di antara nama-nama gelaran yang telah
diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin (bintang agama), al-Aqthab, Abu al-Fityah (bapa para kesateria),
Syaikh al-Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar
(laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama.
Keturunan serta Tarikh dan Tempat Kelahiran Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,Shahibul-Barakat
wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu alaihi wa
sallam, melalui Saiyidina al-Husain.
Menurut as-Saiyid Muhammad Murtadla az-Zabidy (meninggal dunia pada tahun 1205 Hijrah), silsilah
keturunan yang lengkap bagi asy-Syaikh Ahmad al-Badawy ialah Ahmad ibn Aly ibn Ibrahim ibn Muhammad
ibn Abi Bakr ibn Ismail ibn Umar ibn Aly ibn Uthaman ibn al-Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Asyhab ibn
Yahya ibn sa ibn Aly ibn Muhammad ibn Hasan ibn Jafar ibn Aly al-Hdy ibn Muhammad al-Jawad ibn Aly
ar-Ridlo ibn Musa al-Kadzim ibn Jafar as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Zain al-bidin Aly ibn al-Husain
ibn Aly ibn Abi ThaAlib.
Ibu kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Fathaiimah bint Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdullh ibn Musa ibn Syuaib juga adalah seorang keturunan Raslullh Sallallahu alaihi wa sallam. Dan
nenek (yakni ibu kepada ibu) kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Asma bint Uthaman pula,
adalah anak saudara kepada seorang raja yang pernah memerintah negara Moroko.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dilahirkan pada tahun 596 Hijrah di Fez (yang dieja juga sebagai Fs,
dan disebut Fas di dalam Bahasa Arab), yang menjadi ibu negara Moroko pada waktu itu. Dia telah meninggal
dunia pada hari Selasa, 12 haribulan Rabiulawal tahun 675 Hijrah, ketika berumur 79 tahun, di kota Thantha,
yang terletak di utara negara Mesir, dan berada lebih kurang 90 kilometer dari kota al-Qahirah. (Pada masa
dahulu, THantha pernah dikenali sebagai Thananditha).
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat luas kemasyhurannya dan telah
diberikan penghormatan yang istimewa. Karena itu, kuburnya sentiasa dikunjungi para pelawat pada setiap
hari. Mereka ini datang dari jauh dan dekat, dengan berbagai-bagai niat dan hajat. Dan Allah Taala selalu
memakbulkan doa-doa mereka di situ, karena memuliakan waliNya ini.
Orang-orang Mesir telah mengkhususkan tiga upacara tahunan untuk memperingati asy-Syaikh Ahmad
al-Badawy. Sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di Thantha ini dihadiri oleh ramai manusia,
sehingga kadangkala jumlah mereka mencecah angka tiga juta orang. Dan yang turut menghadiri sambutan
maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy, bukan saja mereka dari kalangan para pengamal ath-Thariqah alAhmadiyyah al-Badawiyyah, tetapi juga dari kalangan para pengamal tarekat-tarekat lain, dan termasuklah
juga beberapa orang pembesar negara Mesir. Malah, presiden negara Mesir sendiri telah menghantar
seorang menteri sebagai wakil peribadinya ke majlis-majlis maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy.
Kota Thantha adalah sebuah kota yang agak sederhana geografisnya.
Universiti al-Azhar juga mempunyai cabang di kota Thantha, di mana terdapat juga beberapa orang
penuntut dari Malaysia.) Tetapi, ketika sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy sedang diadakan,
jumlah penduduk kota Thantha akan menjadi berlipat ganda. Ia menjadi seakan-akan kota Makkah alMukarramah pada waktu musim haji. Ini adalah sebagai satu tanda yang asy-Syaikh Ahmad al-Badawy masih
popular di kalangan rakyat jelata, walaupun sudah lebih dari tujuh ratus tahun dia meninggal dunia.
Silsilah Tarekat dan Peninggalannya. Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat
terkenal di negara Mesir. Dia juga adalah pengasas ath-Thariqah al-Ahmadiyyah, yang dikenali juga sebagai
ath-Thariqah al-Badawiyyah. Dan ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pula, telah berpecah kepada beberapa cabang
dan ranting lain, seperti ath-Thariqah al-Anbabiyyah ath-Thariqah al-Bandariyyah, ath-Thariqah alBaiymiyyah, ath-Thariqah al-Halabiyyah, a ath-Thariqah al-Hammidiyyah, ath-Thariqah al-Kannasiyyah, athThariqah as-Salamiyyah, ath-Thariqah asy-Syinnawiyyah, ath-Thariqah as-Suthhiyyah, ath-Thariqah azZahidiyyah.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah menerima ijazah tarekat dari asy-Syaikh al-Birry, yang telah
menerima dari asy-Syaikh Abi Nuaim al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Abbas
Ahmad ibn Abi al-Hasan Aly ar-Rifay, yang telah menerima dari asy-Syaikh ManSr al-Bathaihy ar-Rabbany,
yang telah menerima dari asy-Syaikh Aly al-Qari al-Wasithy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi alFadhl ibn Kamikh, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Aly Ghulam ibn Tarakan, yang telah menerima
dari asy-Syaikh Aly ibn Barbary (yang disebut juga sebagai Ibn al-Baranbary), yang telah menerima dari asySyaikh Aly al-Ajamy (yang dikenali juga sebagai asy-Syaikh Mahally al-Ajamy), yang telah menerima dari
asy-Syaikh Abi Bakr Dulaf ibn Jahdar asy-Syibly, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Qasim al-Junaid
ibn Muhammad al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis asSaqathy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Maruf ibn Fairuz al-Karkhy, yang telah menerima dari asySyaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasirr ath-Thay, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Muhammad Habi
ibn sa al-Ajamy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Said al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Bashry,

yang telah menerima dari al-Imam al-Hasan ibn Aly, yang telah menerima dari bapanya yakni al-Imam Aly
ibn Ab Thalib, yang telah menerima dari sepupunya yang juga adalah bapa mertuanya yakni junjungan kita
Saiyidina Muhammad Raslullah SallAllahu alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy tidak pernah mengarang sebarang kitab. Cuma yang ada ialah sebuah
kitab yang telah ditulis oleh seorang muridnya, mengikut pengimlakan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Kitab ini
tersimpan di dalam masjid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di kota Thantha.
Di antara amalan-amalan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang masih popular dan diamalkan oleh umat
Islam di seluruh dunia ialah selawat an-Nur dan selawat al-Qabdlah (dikenali juga sebagai selawat arRaysiyyah). Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga meninggalkan beberapa Hizb ringkas yang diamalkan oleh
para pengikut ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pada waktu Subuh dan pada waktu Isyak.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diumpamakan oleh ahli-ahli sufi sebagai satu permata cemerlang dari
perbendaharaan Ahlul-Bait. Seperti keadaan beberapa orang wali Allah lain yang telah diberikan tugas untuk
mendidik, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga telah bertugas sebagai seorang guru dan pendakwah. Namun,
asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dipilih untuk mendidik kumpulan para petani di daerah pendalaman,
sebagaimana ada wali-wali Allah lain yang telah dipilih untuk mendidik para saudagar dan para cerdik pandai
di kota-kota besar.
5.

Tarekat Chisytiyyah

Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qodir Jaelani.


INDIA, negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film
yang populer diIndonesia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam
tarekat Chisytiyyah ini adalah Khwaja Muinuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga
dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang
miskin), Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam
Agung), Atha al Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer).
Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136
M di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya
dihabiskan di Sanjar, India.
Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20 tahun Chisyti hidup
bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja
Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan berbagai catatan
sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India.
Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah labih jauh kepada murid, ia
menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk
mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103: Maka ingatlah
Allah di waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring,
Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini: Murid mesti duduk bersila, dan
menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu.
Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia
duduk bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini bisa
membuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu
murid mulai melakukan zikir jali (keras) atau khafi (diam).
Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam tarekat Qodiriyah. Seperti
dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir)
mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam
keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan
ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu
meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sampil mengucapkan illallaahdengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan makna keagungan dan kebesaran
Allah swt. Sebagian orang mengucapkan Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta
mengetukkan kalimat illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada.
Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-paaya.Ada tiga rukun
dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha
Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanyamengucapkan Allaahu alimun, Allaahu bashirun, Allaahu samiun. Ini disebut nuzul atau tangga turun.
Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir yang terdiri atas uruj dan nuzul.
Rahasia uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan
jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan
pengetahuan.
Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang
diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami lebih
dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang luas, ia pun
menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban
dalam kegaiban yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan alim, dan kemudian ia kembali.
Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara
berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa
membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai
perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta Allah dan
keadaan fana (kesementaraan) diri bisa dikembangkan.
Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir menjaga napas sebagai
berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha dalam napas yang dihembuskan, dan illallaah dalam
napas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan
penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini pandangan diarahkan kepada
pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang
dzakir itu tidur maupun terbangun.

1.

2.

3.

4.
5.
6.

7.

8.

1.
2.
3.
4.
5.

Bahkan zikir di bawah ini sangat efektif untuk mengobati berbagai penyakit: yaitu sang dzakir memukul
sisi sebelah dada kiri dengan Ya Ahad (Wahai Yang Mahaesa), pada sisi sebelah kanan dengan Ya Shamad
(Wahai zat tempat meminta), dan Ya Witr (Wahai Yang Mahaganjil) pada hati. Para sufi terkemuka
berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud
bathiniyahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlan sebuah hubungan antara
dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat zat
Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan
batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual
batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.
Kontemplasi yang ditetapkan Sufi Chisytiyyah:
Kontemplasi atas nama diri Allah; Sang penempuh jalan spiritual pergi ke suatu tempat terpencil dan
merenungkan bahwa kata Allah tertulis dengan tinta emas di hatinya bahwa ia tengah membaca dengan
penuh gairah dan semangat, dan berada di hadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu sehingga kehilangan
kesadaran tentang dirinya sendiri.
Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah
berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya.
Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa
Allah bersamanya dan melihatnya.
Kontemplasi Nashirah; sang penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya
pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bagian hitam matanya sama sekali hilang (tidak terlihat), dan
yang tinggal hanya bagian putihnya. Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat
dirinya. Berbagai perasaan munafik bisa dihilangkan dengan kontemplasi ini serta kedamaian bias diraihnya.
Kontemplasi Mahmudah; dengan membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah
alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah.
Kontemplasi Aku tidak ada, yang ada hanya Allah; dilakukan dengan dia dan merenungkan hanya untuk
Allah.
Kontemplasi Miraj al-Arifin (kenaikan kaum arif). Di sini mesti menyadari bahwa segenap wujud yang
bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka yang bersifat material maupun spiritual di
dalamnya tidak lain kecuali cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. Seseorang mesti
membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap
nama dan sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl almusyahadah).
Kontemplasi Pendekatan (Muqarabah), Penyaksian (Musyahadah), Pengawasan (Muayanah); seseorang
duduk seperti salat, bersama syekhnya, merenungkan alim, sami, bashir (Maha Mengetahui, Maha
Mendengar, Maha Melihat). Kemudian mengarahkan pandangannya ke hati, lalu menutupnya. Dan lalu
melihat hatinya dengan mata batin dan berpikir bahwa ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian
menengadahkan tangannya ke langit dan tetap membuka tangannya. Lalu ia membayangkan bahwa ruhnya
telah meninggalkan tubuhnya dan, sambil menembus langit ia menyaksikan Allah secara bertatap-muka.
Kontemplasi atas Ayat al-Quran: Tidakkah engkau lihat Tuhanmu? (Al-Furqan; 45). Sesudah merenungkan
ayat ini, seseorang yang sedang mengalami ekstase (puncak spiritual) mengungkapkan keadaan mentalnya
dalam-bait syair: Engkaulah yang kucari, wahai kekasihku! Ke manapun kuedarkan pandangan, yang kucari
hanya diri-Mu! Mataku bermaksud mencar-iMu semata, Doa ungkapkan Diri-Mu kepadaku, siapapun yang
kulihat! Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu, Jendela mana saja yang kubuka, tujuanku hanya Diri-Mu!
Kematianlah jika aku tak melihat-Mu, Jauh lebih baik aku memandang-Mu daripada mati!
Kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat al-Quran ini untuk mengosongkan sirr
dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah:
ke mana pun engkau menghadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah,(Albaqarah: 115).
Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (Qaf;:16).
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat (Al-Waqiah: 85).
Dia bersamamu di mana pun kamu berada (Al-Hadid: 4).
Dan juga dalam dirimu, apakah tidak kamu perhatikan? (Adzdzaariyat:21). Dan lain sebagainya.
Syekh Kalimullah adalah seorang syekh berkedudukan tinggi dalam tarekat Chisytiyyah. Ia adalah
khalihah dan murid syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720
M.

6.

Tarekat Syadziliyah
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga
muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan
hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaranajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah
tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya
paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya,
bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar
sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap
merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai,
yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau
menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang
berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan
ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa
mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili
kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka
sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-

1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.

Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua
kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya
An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.
Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah
dalam menjalankan perintah Allah swt.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan
selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan
berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa
adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan
jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan
kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih
besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian
diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini
merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas
dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh
masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H),
salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan
dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa
kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan
yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir
tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau
bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus
mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus
mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap
akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap
orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut:
"Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha
mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh
semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan
semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi
hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai
negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang
memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib
mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak
diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol
dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari
tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn
Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang
diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah
psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan
Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum
penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas
lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti
ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan
senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di
Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang
pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara
individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis.
Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang
diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru
tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah
tareqat.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal
dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai
mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu
Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di
Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini
hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

1.

2.

3.
4.
5.
6.
7.

7.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk
memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di
Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan
tareqat Qadiriyah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu
mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan,
apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut
pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib
(Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi
mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut
sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara,
Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di
Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini
mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, alhandusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, alFaisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu,
memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar
doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa
yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia.
Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana
memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah
kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun
membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk
sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka
Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih
sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan
demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat
kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala'
yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah
kepadanya.
Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang
beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi
antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat
kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad
ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan
nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai
tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah
tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini
dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik
tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah
keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu
tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh
gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah
dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah
(itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang
kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah
Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan
Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini.
Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa
raga).
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan
malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim
ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu,
sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil
mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat
Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya
di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di Indiasampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama
Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan
dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah
Muhammad Ghaus dari Gwalior(w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus
mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang
penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati diGujarat, adalah seorang penulis
buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah
memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah,
Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka,
Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah.
Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya
Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab
lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang
kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad alQusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya
sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari
Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun
sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah
karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w.
1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika
martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen
menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat
Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani
lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku
ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh,
meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut
tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di
kalangan orang-orangIndonesia yang kembali dari Tanah Arab.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini,
menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun
1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat
ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan
tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi.
Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan
disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari
Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu
dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu
dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara berbagai tarekat
yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi
simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah. Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan
suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui
tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas
makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum
Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus
mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta
menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam
ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi
untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar
melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad.
Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan
ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar
memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum
Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk
masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh
macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan
mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan
mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu
mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu
kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha,
ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma
Allah.
Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat
bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke
dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya
Ilahi.
Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan
ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai
insan Cahaya Ilahi.
Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian
diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak
akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam
nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
Nafsu
Ammarah,
letaknya
di
dada
sebelah kiri.
Nafsu
ini
memiliki
sifat-sifat
berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak
mengetahui Tuhannya.
Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub,
ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan,
sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala
kesulitan.
Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang
bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa,
rela menghilangkan kegelapan makhluk.
Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan
haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam
tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti
al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT
yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga
jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam
berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik
yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir
hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing
spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak
bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang
tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap
berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi
Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin
mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun
(mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci,
persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai
berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati;
sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi
bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum
dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala
sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturanaturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian
berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah. Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad
atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini
meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk
mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian
Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya
sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi
lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh
sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW
sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid,
kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid alBusthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-

Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh
Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh
Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh
Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali,
kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi
(Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida'
(Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai
Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus
Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman
(Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan
Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun
Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
8.

Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar atTijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini
ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih
menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat
tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu
dengan Tuhan.
At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak
umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu
keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia
mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan
belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya.
Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.
Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar
di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada
banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya, misalnya
Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada
seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, yang
mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia menuju Kairo dan menetap
untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 - 1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru
dikenalinya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani
mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham
(fath/kasyf).
Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi
SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat mana
pun.
Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam bertarekat.
Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya
berkenaan dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri disertai wirid yang
mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak
100 kali.
Setelah kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani
tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir
(1200/1786).
Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100
kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah
yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan pindah ke Maroko
untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes. Di kota ini dia diterima baik oleh
penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam usia
80 tahun.
Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah
Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan
keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi SAW.
Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan tarekat-tarekat lain
terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas
jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan bait
'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari
tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak
seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.
Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan
pada waktu bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain? Sejak tinggal di kota Fes ini, atTijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri. Sebagai seorang syekh tarekat yang
berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun,
dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh
penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman,
meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.
Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya
terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan
untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai
muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum
dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh

lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah
sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Tarekat ini dengan segera menyebar
luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan Sudan.
Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut
tarekat Qadariyah dan Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai
kawasan Afrika.
Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraanpersaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi
kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di Republik
Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim pertama yang secara
terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.
Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh
seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima
ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada tahun-tahun berikutnya,
beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai'at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah
dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana.
Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain
tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama
tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh
generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari
pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para
pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam
pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski demikian, tarekat ini terus
berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat
peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan
keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan
ekstremnya tarekat ini bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.
Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur.
Respons terhadap perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan
para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid
dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat
Tijaniyah.
Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari
tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi
kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya Salahuddin Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah.
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaranajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir alMa'ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a at-Tijani min alAhzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh
murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam
Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan haii tertentu dan
bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali
(perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang
berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, "Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara
sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan
penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya
mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti
seluruh nasehat syekh dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya
terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua
kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim
alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala
sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila
shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha
illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari,
tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum'at membaca Hayhalah, yang terdiri
dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani
menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi
pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh
berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah -- yang membedakannya dengan tarekattarekat lain -- adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih
menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana
merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini
juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah alAhmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah
memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan
lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak
terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan
metafisis sufi.

Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan
dan dzikir dalam tarekat ini: "Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal
(awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil
thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang
telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik
dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab
Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus
disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuanketentuan syari'at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai
Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk
kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan
Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu
akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup
Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh
mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan
Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil
akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.
Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang
selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan
dzikir Jum'at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang
membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi SAW akan hadir dalam
pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab
interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula
menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang
mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan
pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal
itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda
dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah
salah satu pokok etika sains spiritual".
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat
Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik
Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini
adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya
telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu
dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima
kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan
6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang
panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang
lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak
pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak
awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang
kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala
dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota
tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan
sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian
pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat
kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab
wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia,
meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan
dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang
menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-Tijani
rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah "wafat" tanpa menyampaikan
secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud
membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu
berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada
perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari'at), dan bukan merupakan hal yang
baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari
kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga
akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna,
kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW?.
9.

Thoriqoh Shiddiqiyyah
Faham Shiddiqiyyah adalah faham Tasawuf, yang dimaksud faham tasawuf adalah
faham kebersihan jiwa. Orang-orang Shiddiqiyyah adalah orang-orang Tasawuf, orangorang yang selalu menjaga kebersihan jiwanya.
Jiwa harus dijaga dan dibersihkan dari sifat-sifat yang kotor, tercela, tak terpuji, dan
diisi dengan sifat-sifat suci, bersih, terpuji, sebagaimana perintah Rosululloh di dalam

Hadits yang berbunyi, "Takholakuu bi akhlaaqillaah" artinya: "Berakhlaklah kamu semua dengan akhlaqnya
Alloh"
Dan jiwa yang suci, bersih, terpuji itu harus dihayati, diresapi sampai menjadi kenyataan di dalam
pergaulan sehari-hari, dimasyarakat. Tanpa memiliki jiwa yang suci, bersih dan terpuji, tak mungkin kita bisa
dekat, kenal dan taqwa kepada Alloh, biarpun Dzikrulloh kita kerjakan sebanyak-banyaknya, tersebut di
dalam al Quran: "Maka diilhamkan kepadanya sifat Fujur dan sifat Taqwa, sungguh beruntung orang yang
membersihkan jiwanya". (QS: Assyamsi: 8).
Oleh sebab itu mudah-mudahan Alloh selalu melimpahkan Rohmat dan HidayahNya, sehingga kita warga
Shiddiqiyyah selalu dapat membersihkan dan menjaga, kebersihan Jiwa kita, serta akhirnya kita bisa dekat,
kenal dan Taqwa kepada Alloh SWT (bisa merasakan adanya Alloh, bisa merasakan limpahan rohmat, berkat
dan nikmat dari Alloh)
THORIQOH SHIDDIQIYYAH Apa artinya Thoriqoh Shiddiqiyyah itu ?
Thoriqoh berasal dari kata THORIQ artinya JALAN. Shiddiqiyyah berasal dari kata SHIDDIQ artinya BENAR.
Thoriqoh Shiddiqiyyah artinya Jalan yang Benar, bukan jalan yang salah.
Dan dikatakan Thoriqoh Shiddiqiyyah sebab :
Silsilahnya melalui Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a.
Ajarannya berdasarkan al-Quran dan Hadits Nabi Besar Muhammad SAW.
a.
1.

Tujuan Ajaran Thoriqoh Shiddiqiyyah


Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar dekat kepada Alloh yang sebenar-benarnya dekat (melalui praktek
Dzikir Jahar Nafi Itsbat)
2. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar kenal kepada Alloh yang sebenar-benarnya kenal (melalui praktek
Dzikir Sirri Ismu Dzat) Untuk tercapainya dekat dan kenal kepada Alloh, praktek Dzikir Jahar dan Sirri harus
selalu ditingkatkan secara istiqomah.
3. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar menjadi manusia Taqwalloh, taqwa yang sebenar-benarnya Taqwa.
Untuk mencapainya ada 3 jalan pokok yang harus dilaluinya (dikerjakan) :
a)
Lewat
Jalan
Ibadah
(Sholat)
Tersebut
di
dalam
al-Quran:
"Wahai seluruh manusia beribadahlah (Sholatlah) kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dan orang-orang
sebelum kamu, barangkali kamu menjadi taqwa". (QS: Al Baqoroh : 21)
b) Lewat Jalan Puasa Tersebut dalam al-Quran: "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, barangkali kamu menjadi Taqwa" (QS: Al
Baqoroh : 183)
c) Lewat
Jalan
Dzikir
Kalimat
Taqwa
Tersebut
dalam
al-Quran:
"Dan tetapkanlah (hubungkanlah) jiwamu dengan kalimah Taqwa". Untuk mencapai taqwa, Ibadah sholat,
Puasa, Dzikir kalimah Taqwa harus selalu ditingkatkan. (QS: Al Fath : 26). Apabila Taqwa telah tercapai tandatandanya diantaranya sebagaimana tersebut di dalam al-Quran : "Inna akromakum indalloohi atqookum".
"Sesungguhnya
karomahmu
bagi
Alloh
itu
karena
Taqwamu".
(QS.
Alhujurat:13)
"Sesungguhnya orang-orang yang taqwa itu berada dalam syurga" ( QS. Al Hijr : 45, Adz dzariat :15 )
4. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar menjadi Manusia yang berSyukur kepada Alloh, tersebut di dalam
al-Quran: "Dan bersyukurlah kamu kepadaKu (Allah) dan jangan kamu kufur" (QS: Al Baqoroh: 152). Apabila
kita
telah
menjadi
syukur,
Alloh
akan
meridhoinya,
tersebut
dalam
al-Quran:
"Dan sesungguhnya kalau kamu bersyukur, meridhoiNya (Alloh) kepada kamu". (QS: Azzumar: 7)
b. SILSILAH THORIQOH SHIDDIQIYYAH
Dalam kitab "Tanwirul Qulub Fi Mu'amalati 'allamil Ghuyub" karangan Syaih Muhammad Amin Kurdi Al
Arbili, pada bab "Faslun Fi Adaabil Murid Ma'a Ikhwanihi" halaman 539 disebutkan demikian: "Ketahuilah
bahwa sesungguhnya julukannya silsilah itu berbeda-beda, disebabkan perbedaannya kurun waktu, silsilah
dari sahabat Abu Bakar Shiddiq R.A sampai kepada syaih Thoifur bin Isa Abi Yazied Al Busthomi dinamakan
SHIDDIQIYYAH."
Silsilah Thoriqoh Shiddiqiyyah melalui Sahabat Salman Al Farisi sampai pada Syekh Muhammad Amin Al
Kurdi Al Irbil, dari Kitab Tanwirul Qulub.
1.
Alloh Taala.
2.
Jibril alaihi Salam.
3.
Muhammad Rosululloh SAW.
4.
Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A.
5.
Salman Al Farisi R.A.
6.
Qosim Bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A.
7.
Imam Jafar Shodiq Siwa Sayyidina Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq R.A. ( Silsilah ini
Dinamakan Thoriqoh Shiddiqiyyah).
8.
Syaikh Abi Yasid Thoifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan Al Busthomi.
9.
Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Jafar Al Khorqoni.
10.
Syaikh Abi Ali Al Fadlol bin Muhammad Ath Thusi Al Farmadi.
11.
Syaikh Abi Yaqub Yusuf Al Hamdani. ( Thoriqoh At Thoifuriyyah).
12.
Syaikh Abdul Kholiq Al-Ghojduwani Ibnul Imam Abdul Jalil.
13.
Syaikh Arif Arriwikari.
14.
Syaikh Mahmud Al-Anjari Faghnawi.
15.
Syaikh Ali Ar Rumaitani Al Mansyur BilAzizaani.
16.
Syaikh Muhammad Baabas Samaasi.
17.
Syaikh Amir Kullaali Ibnu Sayyid Hamzah, ( Thoriqoh Al Khuwaajikaaniyyah).
18.
Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi bin Muhammad bin Muhammad Syarif Al-Husain AlAusi Al-Bukhori.
19.
Syaikh Muhammad bin Alaaiddin Al Athori.
20.
Syaikh Yaqub Al Jarkhi, ( Dinamakan Thoriqoh An-Naqsyabandiyyah).
21.
Syaikh Nashiruddin Ubaidillah Al-Ahror As-Samarqondi bin Mahmud bin Syihabuddin.
22.
Syaikh Muhammad Azzaahid.
23.
Syaikh Darwis Muhammad As-Samarqondi.

24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.

Syaikh Muhammad Al-Khowaajaki Al-Amkani As Samarqondi.


Asy-Syaikh Muhammad Albaaqi Billah, (Dinamakan Thoriqoh Ahroriyyah).
Asy-Syaikh Ahmad Al Faruqi As-Sirhindi.
Asy-Syaikh Muhammad Mashum.
Asy-Syaikh Muhammad Syaifuddien.
Asy-Syaikh Muhammad Nurul Badwani.
Asy-Syaikh Habibulloh Jaanijanaani Munthohir.
Asy-Syaikh Abdillah Addahlawi, ( Thoriqoh Mujaddadiyyah).
Asy-Syaikh Kholid Dliyaauddien.
Asy-Syaikh Utsman Sirojul Millah.
Asy-Syaikh Umar Al-Qothbul Irsyad.
Asy-Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbil, ( Thoriqoh Kholidiyyah).

1.

BEBERAPA MANAQIB AULIYA


Manakib Ibnu Atho'illah al-Sakandari
Kelahiran dan keluarganya Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer
di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin
Abd al-Karim bin Atho' al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia
berasal dari bangsa Arab.
Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Ya'rib bin Qohton, bangsa Arab yang
terkenal
dengan
Arab
al-Aa'ribah.
Kota
Iskandariah
merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana
keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun
kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani
bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyahsebagaimana diceritakan Ibnu Atho' dalam kitabnya "Lathoiful Minan " : "Ayahku bercerita kepadaku, suatu
ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi
Allah... kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku
temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding".
Keluarga Ibnu Atho' adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab
ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi
di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho'
memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama
dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh
tasawwuf dan para Auliya' Sholihin.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho'illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana
harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana
membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho' menceritakan dalam kitabnya "Lathoiful minan" : "Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak
setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho' yaitu
Abul Abbas al-Mursy mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho'illah) datang ke
sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: "Malaikat jibril telah datang kepada
Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat
penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: " Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku
akan timpakan dua gunung pada mereka". Dengan bijak Nabi mengatakan : " Tidak... aku mengharap agar
kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka". Begitu juga, kita harus sabar
akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho'illah) demi orang yang alim fiqih ini".
Pada akhirnya Ibn Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga
perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu
buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho'illah menjadi tiga masa :
Masa pertama.
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih,
usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiranpemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal
ini Ibnu Atho'illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu
sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi
mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya".
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa
ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan alMursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami
goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci
tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku
merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi
sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan
kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan
tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalahmasalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi
yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia
telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk
ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati
kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan
meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada
keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku
ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kotaQous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi'. Dulu dia adalah
pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia
menghadapku dan berkata : "Tuanku... apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan
berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis
tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: "Beginilah
keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam
itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus
angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela
tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan
kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan
kesempurnaan Ibnu Atho'illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan
kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk,
yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki
tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah
perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho'illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang
yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu
tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada
dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho'illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam
mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka
ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho'illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan
memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai
macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan". Hal senada
diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho'illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar,
dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai
pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah". Termasuk tempat
mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik
yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki,
pengarang
kitab
"Tobaqoh
al-syafi'iyyah
al-Kubro".
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai
dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah Al-Munawi dalam kitabnya "Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: "Syaikh Kamal
Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya:
"Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia...". Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn
Athoillah dengan keras: "Wahai Kamal... tidak ada diantara kita yang celaka". Demi menyaksikan karomah
agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho'illah ketika meninggal
kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji.
Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam
Ibrahim, di Mas'aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi
haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang
puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya :
"Siapa saja yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku... saya melihat tuanku disana ". Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb
di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya".
Ibn Atho'illah wafat Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali
besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang
Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya
berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk
dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

2.

Manakib Junaidi Al Bagdadi


Junaid Al-Baghdadi (maqamnya gambar di sebelah)adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling
menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak
banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal
menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang
menerangkan tentang ilmu tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.
Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan
di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan
menguruskan perniagaannya sebagaimana sesetengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.
Waktu perniagaannya sering disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak
muridnya yang dahagakan ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup
kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti
solat, membaca al-Quran dan berzikir.
Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai
penduduk Baghdad datang masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala
nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi
dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.
Beliau akan membahagi-bahagikan sebahagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir
miskin,
peminta
dan
orang-orang
tua
yang
lemah.

Bertasauf Ikut Sunnah Rasulullah saw. Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan asSunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata: "Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan
Rasulullah saw. Sesiapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan
ikutan dalam bidang tasawuf ini." Memiliki Beberapa Kelebihan dan Karamah Imam Junaid mempunyai
beberapa kelebihan dan karamah. Antaranya ialah berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya.
Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri daripada orang-orang biasa malah semua golongan
meminatinya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fekah, ahli politik dan sebagainya.
Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik. Setiap insan yang ingin mencapai keredhaan Allah selalunya
menerima ujian dan cabaran. Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah
pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan imej Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid.
Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang boleh memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari,
mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid
yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat
kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau
tidak suka ibadahnya diganggu oleh sesiapa. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita
itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat tahu kematian wanita itu telah memarahi Imam Junaid kerana menganggapnya
sebagai suatu perbuatan jenayah.
Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. "Mengapa
engkau telah membunuh wanita ini?" tanya khalifah.
"Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai
pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan
selama 40 tahun," jawab Imam Junaid.
Wafatnya
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi
As-Syibli, seorang daripada muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya
dan berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata."
3.

Manakib Rabi'ah al-Adawiyah


Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan
sekitar awal kurun kedua Hijrah berhampiran kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang
miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja
mengangkut
penumpang
menyeberangi
Sungai
Dijlah
dengan
menggunakan
sampan.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang
sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai
berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi,
menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara'
serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah
tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh
Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga
untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah
sebagai hamba yang benar-benar taat.
Bapa Rabi'ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak
pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa
bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi'ah sendiri begitu
gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran. Sejak kecil
lagi Rabi'ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang
mendalam.
Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah
beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi'ah juga tidak terkecuali daripada ujian yang bertujuan
membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat.
Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia
dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat
menyedar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap kepada
belas ihsan Tuhannya.
Marilah kita teliti ucapan Rabi'ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada
Allah: "Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh
memesongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan
Engkau! "Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah
menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
"Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada
desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi,
tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu
menjadi bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.

"Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya
Rabi'ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan
kepadanya yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu."
Rabi'ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT: "Tuhanku! Engkau akan mendekatkan
orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan
yang mendalam dan kerana kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud
kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang menerangi, bintang yang
berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha
Perkasa."
Setiap malam begitulah keadaan Rabi'ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi'ah terus juga bermunajat
dengan ungkapan seperti: "Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai
malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau
akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama
Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku
daripada pintu-Mu itu, nescaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta
kepada-Mu."
Seperkara menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk berkahwin dengan alasan:
"Perkahwinan itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai
pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa
pun."
Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah
semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredaan Allah. Rabi'ah telah
mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa
meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
"Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat
memalingkan aku daripada-Mu."
Antara syairnya yang masyhur berbunyi:
"Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai
tempat manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak
pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun."
Rabi'ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan
pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan
menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:
"Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang
menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?"
Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.
"Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika
aku menyembah-Mu kerana tamak kepada syurga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku
menyembah-Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat
wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu."
Begitulah keadaan kehidupan Rabi'ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta
kecintaan kepada-Nya. Rabi'ah meninggal dunia pada 135 Hijrah iaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun.
Moga-moga Allah meredainya.
4. Manakib Jalaludin Rumi

Mawlana Jalaludin Rumi


Oleh
Mawlana
Syaikh
Nazim
Adil
al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi ) Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya
memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya,
kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah
yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak
pernah
sekarat.
Dia
adalah
dia
dan
dia
dan
mereka
adalah
dia.
Ini
adalah
sebuah
rahasia,
jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang
berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah
thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat
Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran.
Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap
benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal,
dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu
yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak
kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah
gagasan yang dipelopori kelompok Mutazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada
panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama
sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala
atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir,
seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan

adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang
bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya? tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5
tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang
nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena
sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya(kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan
karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya
gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan
mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus
meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin
bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di
Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Irantenggara)
dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai
penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di
ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin
wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping
sebagai guru, beliau juga menjadi dai dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul
di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai
penjuru
dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang.
Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan
mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang
sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di
hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asingyakni
Syamsi Tabrizikut bertanya, Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu? Mendengar pertanyaan seperti
itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan denganTabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum
kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu,
Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus
menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam
diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya
untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau
menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair,
yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejanganwejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat
sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu,
selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan
mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam
karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel,
legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Quran Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Rubaiyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya
tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya) .
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar) . Nama itu muncul
karenapara penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah
menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendoakan, Semoga Allah berkenan memberi ketenangan
kepadamu dengan kesembuhan. Rumi sempat menyahut, Jika engkau beriman dan bersikap manis,
kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit. Pada tanggal 5 Jumadil Akhir
672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya
hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam
wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat
Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
SAMA, Tarian Darwis yang Berputar Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam
tarian Sama ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud music cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan

gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju
sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian Sama sering dilakukan secara spontan disertai jamuan
makanan
dan
minuman.
Rumi
bersama
teman
darwisnya
selepas
solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya. Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang
memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi,
Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan extase
merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh
Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah
bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani. Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam
raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam
penataan
khusus
pada
abad
ke
tujuh
belas.
Perayaan
ini
untuk
menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah
yang menyenangkan. Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan
Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan
Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah
hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian
balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja
merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk
Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik, gendang, marawis dan seruling ney. Peniup
seruling dan penabuh gendang memulai musiknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya.
Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang
menyimbulkan kuburan untuk mengalami mati sebelum mati, kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan
para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran
planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan
musik
penutup
danpembacaan
ayat
suci
Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika
Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan
penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan
para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta
untuk tidak bertepuk tangan karena Sama adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah
Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi
perlindungan Sang Raja menungkinkan Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan
memperkenalkan
kepada
banyak
orang
tentang
tatanan
musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi
anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki
dan sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja
mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka
dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah
Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi diKonya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi
museum Negara. Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan
guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.
Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim mulai
menyebarkan
bimbingan
spiritual
dan
mengajar agama Islam di Siprus, Turki. Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani.
Banyak
murid
yang
mendatangi
Mawlana
Syaikh
Nazim
dan
menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah
Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun sayang,
waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di
Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan. Langkah Syaikh
Nazim yang pertama ketika itu adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan
di sana, segera beliau dimasukkan penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim pergi
menuju masjid besar di Nikosia dan melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan
beliau dituntut atas pelanggaran hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di
seluruh
Nikosia.
Sehingga
tuntutannya
pun
terus
bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan
azan,
namun
Syaikh
Nazim mengatakan,

Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus mendengar panggilan azan untuk shalat.
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan
diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi
pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.

Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika
terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan
dalam bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh Nazim. Hingga saat ini
makam Rumi di Konya tetap terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun
demikian pengunjung yang dating kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan.
Melalui sebuah kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian Sama Tariqah
Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural untuk para
wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional. Meskipun demikian secara
keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu
sejak Ataturk melarang agama mereka. Wa min Allah at Tawfiq.
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan AKAN tiba saatnya, ketika Konyamenjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita. Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu
pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah.
Tetapi,kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi, tulis Talat Said Halman,
peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan
yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang
menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan
penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah
keagamaan Islam dan silang sengketa paham? Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman, kata
orientalis Inggris Reynold A Nicholson. Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci, seru Jami, penyair
Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi. Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt
mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,
Maulana mengubah tanah menjadi madu. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya. Bahkan,
Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan
kepala penuh hormat mengenang Rumi. Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di
Balkh,
kini
wilayah
Afganistan.
Ia
Putra
Bahauddin
Walad,
ulama
dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut
perbedaan
pendapat
antara
Sultan
dan
Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah,
atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad. Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada
Walad, Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
pengikut setia Anda. Di kota ini ibu Jalaluddin, Mumin Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam
usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian,
keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di
madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin
Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
tradisional,
tanpa
menyentuh
mistik.
Setahun
setelah
kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.
Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad
terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun
menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama
di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris
ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis
pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal.
Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan! Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu
bertanya, Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, Kami tak mengenal-Mu seperti
seharusnya atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, Subhani, mahasuci diriku, betapa
agungnya kekuasaanku. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabrizitu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak
lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh
gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan
menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams
pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia
gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin
menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisipuisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan
Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil
memadahkan syair-syair cinta Ilahi. Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams, jelas Talat. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak
pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.
5.

Manakib Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi, Sanusiyah

Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia


adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya adalah
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.
Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin
12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang
bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas
dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai
kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada
ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki,
akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih
mendekati kepada kebenaran.
Antara bintang dari tarekat ini adalah Umar Mukhtar sang Singa
Padang Pasir yang terkenal itu. Berikut ini adalah ringkasan dari Tarekat
As-Sanusiyah:
Sanusiyah merupakan gerakan dakwah Islam, islah dan tajdid.
Secara umumnya mereka berpegang dengan al-Quran dan al-Sunnah dengan pengaruh tasawuf.
Ia muncul di Libya pada kurun ke-13 H.
Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian egara Arab.
Gerakan ini terpengaruh dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Abu Hamid alGhazali.
Gerakan ini juga terpengaruh dengan tasauf yang bersih dari syirik dan khurafat seperti bertawassul dengan
orang mati dan orang soleh.
Pengasas gerakan ini adalah Muhammad bin Ali as-Sanusi yang bermazhab Maliki, namun beliau akan
menyalahi mazhab berkenaan jika di sana ada kebenaran bersama mazhab lain.
Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah.
Mereka menekankan dalam kerja-kerja tangan dan sentiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi
dan sebagainya.
Kalaulah Tarekat As-Sanusiyah ini masih wujud lagi, kita tidak tahu apakah jalan yang ditempuh masih lagi
sebening jalan yang telah dirintis oleh pengasasnya Syeikh as-Sanusi dan Umar Mukhtar? Atau hanya
sekadar mengambil sempena namanya sahaja, sedangkan yang lain sama sahaja dengan jalan yang
ditempuh oleh tarekat-tarekat lain..? Allah Maha Mengetahui
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berkata, "Hamba-hamba Allah ini telah memberikan kami
satu tugas yang amat berat sekali sehingga andaikata ia diletakkan di atas gunung, ia tidak akan sanggup
untuk memikulnya." Yang dimaksudkan oleh beliau ialah menjaga amanah Allah.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi telah meninggal dunia pada bulan Safar tahun 1276H/1859M di alJaghbub, Libya.

6.

Manakib Syeikh Ahmad Al Badawi


Kota Fas rupanya beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang
namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama
lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi ini ternyata
termasuk zurriyyah baginda Nabi, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin
Husain bin Ali bin Abi Talib, suami sayyidah Fatimah binti sayyidina Nabi Muhammad
SAW.
Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di
Maroko). Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya
tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal al-Qur'an
mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fikih madzhab syafi'i. Pada tahun 609 H ayahnya
membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan
ibadah haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun
627 H dan dimakamkan di Ma'la.
Badawi masuk Mesir Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama
empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya
bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah !" begitu suara itu terus
menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat
terbenamnya matahari. Kemudian...beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah,
Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda".
Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang
terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad " begitu kedua orang itu berkata
kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. " Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, asSyarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka ". Tanpa disangka-sangka alBadawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.
Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H.
Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang
wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud
oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para
wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I, Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia
menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.
Badawi yang alim Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang
yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan
berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah bahkan
menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam,

menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak
mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian
tangan-tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan
melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.
Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi. Matbuli dalam hal
ini memberi kesaksian, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, " Setelah Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak
ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi
kemudian al-Manufi.
Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi dalam
berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam
kitab "Syajaratul Ma'arif" karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.
Karomah Ahmad Badawi Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang,
tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali
yang satu ini. Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta
pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah, dan tawakkallah
kepada Allah SWT"tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh Badawi. Syaikh Sya'roni berkomentar,
"Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri ".
Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam
berdagang. "Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi
ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin". Demikian nasehat Syekh Badawi yang benar-benar
dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.
Syekh Badawi wafat Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak
tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini
beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia meninggal, tugas
dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H.
Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran,
petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi. Orang-orang datang mengalir
bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada
hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada
yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh
Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak
berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang
7. Manakib Syeikh Abu Hasan Assazili
Nama lengkap Syeikh Abu Hasan As-Syazili ialah as-Syadzili Ali bin Abdillah
bin Abdul-Jabbar, yang kalau diteruskan nasabnya akan sampai pada Hasan
bin Ali bin Abu Talib dan puteranya Fatimah al-Zahra', puteri Nabi s.a.w.
Syeikh Abu Hasan dilahirkan di Maroko tahun 593 H di desa yang
bernama Ghimaroh di dekat kota Sabtah (dekat kota Thonjah sekarang).
Imam Syadzili dan kelimuan. Di kota kelahirannya itu Syadzili pertama
kali menghafal Alquran dan menerima pelajaran ilmi-ilmu agama, termasuk
mempelajari fikih madzhab Imam Malik. Beliau berhasil memperoleh ilmu
yang bersumber pada Alquran dan Sunnah demikian juga ilmu yang
bersumber dari akal yang jernih. Berkat ilmu yang dimilikinya, banyak para
ulama yang berguru kepadanya. Sebagian mereka ada yang ingin menguji kepandaian Syekh Abu al-Hasan.
Setelah diadakan dialog ilmiah akhirnya mereka mengakui bahwa beliau mempunyai ilmu yang luas,
sehingga untuk menguras ilmunya seakan-akan merupakan hal yang cukup susah. Memang sebelum beliau
menjalani ilmu thariqah, ia telah membekali dirinya dengan ilmu syariat yang memadahi.
Imam Syadzili dan Tariqah. Hijrah atau berkelana bisa jadi merupakan sarana paling efektif untuk
menemukan jati diri. Tak terkecuali Imam Syadzili. Orang yang lebih dikenal sebagai sufi agung pendiri
thariqah Syadziliyah ini juga menapaki masa hijrah dan berkelana. Asal muasal beliau ingin mencari jalan
thariqah adalah ketika masuk negaraTunis sufi besar ini ingin bertemu dengan para syekh yang ada di negeri
itu. Di antara Syekh-syekh yang bisa membuat hatinya mantap dan berkenan adalah Syekh Abi Said al-Baji.
Keistimewaan syekh ini adalah sebelum Abu al-Hasan berbicara mengutarakannya, dia telah mengetahui isi
hatinya. Akhirnya Abu al-Hasan mantap bahwa dia adalah seorang wali. Selanjutnya dia berguru dan
menimba ilmu darinya. Dari situ, mulailah Syekh Abu al-Hasan menekuni ilmu thariqah.
Beliau pernah berguru pada Syeikh Ibnu Basyisy dan kemudian mendirikan tarekat yang dikenal dengan
Tariqat Syaziliyyah di Mesir.
Untuk menekuni tekad ini, beliau bertandang ke berbagai negara, baik negara kawasan timur maupun
negara kawasan barat. Setiap derap langkahnya, hatinya selalu bertanya, "Di tempat mana aku bisa
menjumpai seorang syekh (mursyid)?". Memang benar, seorang murid dalam langkahnya untuk sampai dekat
kepada Allah itu bagaikan kapal yang mengarungi lautan luas. Apakah kapal tersebut bisa berjalan dengan
baik tanpa seorang nahkoda (mursyid). Dan inilah yang dialami oleh syekh Abu al-Hasan.
Dalam pengembaraannya Imam Syadzili akhirnya sampai di Iraq, yaitu kawasan orang-orang sufi dan
orang-orang shalih. Di Iraq beliau bertemu dengan Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi, yaitu syekh yang
paling berkesan dalam hatinya dibandingkan dengan syekh di Iraq lainnya. Syekh Abu al-Fath berkata kepada
Syekh Abu al-Hasan, "Hai Abu al-Hasan engkau ini mencari Wali Qutb di sini, padahal dia berada di
negaramu? kembalilah, maka kamu akan menemukannya".
Akhirnya, beliau kembali lagi ke Maroko, dan bertemu dengan Syekh al-Shiddiq al-Qutb al-Ghauts Abi
Muhammad Abdussalam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani. Syekh tersebut tinggal di puncak gunung.
Sebelum menemuinya, beliau membersihkan badan (mandi) di bawah gunung dan beliau datang laksana
orang hina dina dan penuh dosa. Sebelum beliau naik gunung ternyata Syekh Abdussalam telah turun
menemuinya dan berkata, "Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar". Begitu sambutan
syekh tersebut sembari menuturkan nasabnya sampai Rasulullah SAW. Kemudia dia berkata, "Kamu datang

kepadaku laksana orang yang hina dina dan merasa tidak mempunyai amal baik, maka bersamaku kamu
akan memperoleh kekayaan dunia dan akhirat.
Akhirnya beliau tinggal bersamanya untuk beberapa hari, sampai hatinya mendapatkan pancaran ilahi.
Selama bersama Syekh Abdussalam, beliau melihat beberapa keramat yang dimilikinya. Pertemuan antara
Syekh Abdussalam dan Syekh Abu al-Hasan benar-benar merupakan pertemuan antara mursyid dan murid,
atau antara muwarrits dan waarits. Banyak sekali futuhat ilahiyyah yang diperoleh Syekh Abu al-Hasan dari
guru agung ini.
Di antara wasiat Syekh Abdussalam kepada Syadzili adalah, "Pertajam penglihatan keimanan, maka
kamu akan menemukan Allah pada setiap sesuatu".
Tentang nama Syadzili
Kalau dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati sebuah nama yang
memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut adalah nama yang dia peroleh dalam
perjalanan ruhaniah.
Dalam hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : "Ketika saya duduk di hadapan Syekh, di dalam ruang kecil, di
sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan
tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata, "Wahai, Abu al
Hasan, kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama
yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya Syekh tersenyum dan berkata,
"Dia telah menjawab pertanyaanmu".
Selanjutnya Syekh Abdussalam
memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah,
karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili padahal pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal
dengan nama tersebut.
Sebelum berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata, "Ingatlah Allah,
bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat,
kerjakanlah amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap
Allah, maka kamu akan memperoleh derajat orang yang wara'. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan
doa, "Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal 'awaaridhi min qibalihim wanajjinii min syarrihim wa aghninii
bi khairika 'an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati min bainihim innaka 'alaa kulli syai'in qadiir".
Selanjutnya sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk
mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniah kali ini dia banyak
mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan
cobaan tersebut justru semakin menambah tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih.
Sesampainya di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan muridnya menuju
gua yang berada di Gunung Za'faran untuk munajat dan beribadah kepada Allah SWT. Selama beribadah di
tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki keramat dan
tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan yang tinggi.
Pada akhir munajat-nya ada bisikan suara , "Wahai Abu al-Hasan turunlah dan bergaul-lah bersama
orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu, kemudian beliau berkata: "Ya Allah,
mengapa Engkau perintahkan aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu" kemudian dijawab:
"Sudahlah, turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka"
kemudian beliau berkata lagi: "Kalau aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka?
Suara itu kembali menjawab : "Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizik dari usahamu juga
dari rizki yang Aku berikan secara gaib.
Dalam dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili padahal dia bukan
berasal dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: "Aku tidak mnyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu
adalah syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan mencintaiku.
Imam Syadzili menyebarkan Tariqah Syadziliyah. Dialog ilahiyah yang sarat makna dan misi ini
membuatnya semakin mantap menapaki dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama
masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan
ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang dituju wali agung ini.
Di Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut banyak para ulama dan para
sufi. Di antara mereka adalah karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan alShaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.
Popularitas Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai terdengar di telinga
Qadhi al-Jama'ah Abu al-Qasim bin Barra'. Namun aroma ini perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri
dan hasud muncul di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan
kepada Sultan Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi.
Sultan meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan dan Qadhi
Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa kemampuan
Syekh
Abu
al-Hasan.
Banyak pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan di depan umum.
Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi'I, dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia.
Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru semakin
semerbak memenuhi berbagai lapisan masyarakat.
Qadhi Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban asSyadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan
adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin
bertambah, kemudian dia berusaha membujuk Sultan dan berkata: "Jika tuan membiarkan dia, maka
penduduk Tunis akan menurunkanmu dari singgasana".
Ada pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari singgasana. Sultan demi
mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama' fikih untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh
Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam istana.

Kabar penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya. Dengan
penuh rasa prihatin si karib berkata, "Orang-orang membicarakanmu bahwa kamu telah melakukan ini dan
itu". Sahabat tadi menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan kemantapan yang
tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, "Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan adab syara'
maka aku akan keluar dari sini seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya mengisyaratkan ke
dinding maka dinding tersebut langsung terbelah, kemudian Syekh berkata kepadaku: "Ambilkan aku satu
teko air, sajadah dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa hanya sehari
saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan bertemu lagi".
Syeikh as-Syadzili tiba di Mesir Tunis, kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan
thariqah Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu al-Hasan menuju
negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi.
Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar mencerminkan antara seorang mursyid dan murid.
Adapun sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, "Aku bermimpi bertemu
baginda Nabi, beliau bersabda padaku : "Hai Ali pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benarbenar takut kepadaku.
Di Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Semasa di
Mesir beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung
ini. Di antara mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri,
Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak di jalan Almuiz li Dinillah.
Karamah Imam Syadzili
Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan yang paling
disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk
memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala di dalam
gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan
lainnya yang tidak bisa terhitung nilainya. Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan
yang pernah menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian ini
karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan 'kutukan' ini saudara Sultan yang
termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya.
Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta
maupun agamanya.
Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, "Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, "Wahai
Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau
mendengar suara , "Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali
hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa
berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama' dan para
penguasa.
Suara itu berkata kepadaku, "Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk,
andaikata tidak ada para ulama', maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada
para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku
berikan untukmu".
Di antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang Hizib Bahr, Syekh
Syadzili berkata, "Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin
(setiap
huruf)".
Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis beliau menerangkan bab
zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis
tersebut dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata, "Bagaimana seorang Syekh
menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud
di dunia".
Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, "Pakaian kamu ini adalah pakaian untuk menarik
simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan
menaruh iba padamu. Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan
terjaga dari meminta-minta".
Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili seraya berkata, "Demi
Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh".
Rupanya hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya
ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, "Semoga Allah memberikan kasih
sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan
khusnul khatimah".
Syeikh Syadzili Wafat
Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa
gurunya setiap tahun menunaikan ibdah haji, kemudian tinggal di kotasuci mulai bulan Rajab sampai masa
haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang
terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa kapak minyak
wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya
bertanya untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, "Di Jurang
Humaistara (di propinsi Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti.
maka di sanalah beliau meninggal.
8. Imam Tarekat Muhammad Baha-uddin Syah Naqsyband q.s.
Kidung subuh sang merpati hutan, haru sendu membirukan Air mataku
membangunkan lelapnya, tidurku pun tergugah tangisnya Tak saling
kami
mengerti,
tatkala
saling
mengeluhkan

Tetapi ku tahu duka hatinya dan dukaku pun telah dipahaminya. Syah Naqsyband q.s. adalah Samudra Ilmu
yang tak bertepi. Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau menjernihkan kemanusiaan dengan
Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan
spiritualnya. Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau adalah bintang
yang berhiaskan Mahkota Petunjuk.
Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya. Beliau menghiasi bahkan
setiap sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasulullah saw.. Cahayanya menembus
setiap lapisan ketidakpedulian. Keluarbiasaannya melahirkan bukti terhempasnya asa tertepis dari keraguan
hati kemanusiaan. Keajaibannya yang penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah
kematiannya dan menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa
mendatang.
Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih dalam buaian. Beliau menghisap nektar
ilmu ghaib secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Jika Muhammad saw. bukanlah Rasul yang
terakhir, mungkin beliau akan menjadi Rasul. Segala Puji bagi Allah swt. yang telah mengirimkan seorang
mujaddid (yang menghidupkan agama Islam). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka
mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan
petunjuknya dari Utara hingga Selatan, dan dari Timur hingga ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang
pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba raya. Beliau adalah Ghawts teragung,
Busur Perantara, Sultannya para Awliya, Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam
semesta ini oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allah swt. membuat yang baik menjadi yang
terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik.
Beliau adalah Guru dari tarekat ini dan syekh dari Mata Rantai Emas serta merupakan pembawa alur
Khwajagan yang terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-`Arifan, dekat Bukhara.
Allah swt. menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia
tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi q.s. Kemudian beliau diberikan rahasia
dan kemampuan dari tarekat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal q.s. Beliau juga merupakan Uwaysi
dalam hubungannya dengan Rasulullah saw., karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq
al-Ghujdawani q.s., yang telah mendahuluinya selama 200 tahun.
Muhammad Bahauddin Uways al-Bukhari dikenali sebagai Shah Naqshband, Imam Tariqat Naqshbandi
yang tiada tandingannya. Dilahirkan pada tahun 1317 masihi di sebuah kampung yang bernama Qasr alArifin terletak dekat dengan Bukhara. Dalam usia muda 18 tahun beliau telah mahir dan mempunyai
pemahaman yang mendalam tentang 'Ilmu Shariah. Seterusnya beliau sentiasa bersama Shaykh Muhammad
Baba as-Samasi, yang merupakan Imam al-Muhaddithin (ilmu hadith) di Asia Tengah pada zaman itu. Selepas
kemangkatan beliau, Shah Naqshband bersama pula dengan Shaykh Amir Kulal. Shaykh Amir Kulal
meneruskan dan menyempurnakan pendidikan Shah Naqshband didalam 'Ilmu al-Quran dan 'Ilmu adz-dzikr
yang diwarisinya daripada Nabi Muhammad (s.a.w), Abu Bakr as-Siddiq, Salman al-Farisi sehinggalah ke
zamannya.
Anak-anak murid Shaykh Amir Kulal biasa berdzikir dengan suara yang kuat semasa berdzikir beramairamai. Apabila berseorangan mereka berdzikir secara senyap. Shah Naqshband pernah berkata, "Ada dua
kaedah berdzikir iaitu yang kuat dan yang senyap. Saya memilih yang senyap kerana ia mempunyai kesan
yang lebih mendalam." Kerana inilah, kaedah dzikir secara senyap merupakan ciri yang khusus bagi Tariqat
Naqshbandiyya yang membezakannya daripada lain-lain tariqat. Walaupun Abu Bakr as-Siddiq dan Shah
Naqshband memilih dan cenderung kepada kaedah dzikir secara senyap, mereka tidak pernah mengkritik
kaedah dzikir secara kuat. Shah Naqshband telah menunaikan fardhu haji sebanyak 3 kali. Selepas itu beliau
menetap di Merv dan Bukhara. Di penghujung hidupnya dia kembali ke tempat kelahirannya, kota Qasr alArifin. Ajarannya menjadi buah mulut orang ramai dan dan namanya meniti dari bibir ke bibir. Pelawat
daripada jauh datang untuk menziarahi dan belajar dan mendapatkan nasihat daripada beliau. Muridmuridnya menimba ilmu didalam madrasah dan masjid yang dapat memuatkan 5000 orang dalam satu-satu
masa yang dibina oleh beliau. Madrasah ini merupakan pusat pengajian Islam yang terbesar di Asia Tengah.
Bangunan ini terus berdiri tegak hingga sekarang walaupun telah melalui zaman pemerintahan Komunis
selama 70 tahun. Sekarang kerajaan tempatan mula memperbaiki dan menjaga bangunan tersebut.
Ajaran Shah Naqshband telah memberi cahaya kedalam hati-hati murid-muridnya yang selama ini berada
di dalam kegelapan. Beliau mengajar anak muridnya mengenai Keesaan Allah yang mana bidang ini menjadi
bidang kepakaran Imam-imam Tariqat ini yang datang sebelum beliau. Beliau menekankan kepada anak
muridnya tentang peri pentingnya untuk merealisasikan maqam al-Ihsan berdasarkan kepada hadith
Rasulullah (s.a.w), "Ihsan ialah menyembah Allah seperti kita dapat melihatNya..."
Semasa beliau sakit di saat-saat penghujung hidupnya, beliau mengunci dirinya didalam sebuah bilik.
Murid-muridnya datang menziarahi beliau tanpa henti-hentinya dan beliau memberi kepada mereka apa yang
mereka perlukan. Pada satu ketika beliau telah menyuruh anak-anak muridnya membaca surah Yaasin.
Setelah mereka selesai membacanya, beliau mengangkat tangan dan terus berdoa.Seterusnya beliau
mengangkat jarinya sambil membaca kalimah syahadah. Setelah selesai membaca kalimah tersebut, ruh
beliau pergi meninggalkan jasad untuk kembali ke hadrat ilahi,pada malam Isnin tahun 1388 masihi. Beliau
dikebumikan didalam tamannya, seperti yang beliau wasiatkan. Raja-raja yang memerintah Bukahara selepas
itu, menjaga serta membesarkan madrasah dan masjid yang telah beliau bina dan menambahkan jumlah
wang waqaf bagi pemeliharaan dan kegunaan madrasah tersebut.
Shaykh-shaykh Tariqat Naqshbandi yang datang selepas Shah Naqshband telah banyak menulis tentang
riwayat hidup beliau. Antaranya ialah Masoud al-Bukhari dan Sharif al-Jurjani yang menulis Risala Bahaiyya
yang menerangkan secara terperinci mengenai kehidupan dan ajaran serta fatwa-fatwa yang telah di
keluarkan oleh Shah Naqshband. Shaykh Muhammad Parsa yang meniggal di Madinah pada tahun 1419
menulis Risala Qudsiyya. Karya ini menceritakan mengenai kelebihan dan kesolehan serta ajaran-ajaran Shah
Naqshband.
Banyak karya-karya yang telah ditinggalkan oleh Shah Naqsband untuk generasi selepas beliau.
Antaranya termasuklah, al-Awrad al-Bahaiyya, Amalan-amalan Shah Naqshband, Tanbih al-Ghafilin Maslakul
Anwar dan Hadiyyatus Salikin wa Tuhfat at-Talibeen. Dia juga telah menulis puji-pujian buat Rasulullah (s.a.w)

dan mengeluarkan banyak fatwa pada zamannya. Antara pendapat beliau ialah, kesemua amalan dan
kaedah penyembahan, samaada yang wajib ataupaun yang sunat, adalah dibenarkan untuk dilakukan bagi
mencari dan mencapai haqiqat. Solat, puasa, zakat dan sedekah,berdzikir dan mnyebut nama-nama Allah,
memerangi nafsu (mujahadatunnafs)dan kehidupan zuhud, merupakan kaedah-kaedah yang diutamakan
agar seseorang murid itu, dapat sampai ke hadrat Ilahi. (Lihat 11 rukun Tariqat Nashbandi).
[Image] Shaykh Nazim al-Haqqani, Pemimpin Tariqat Naqshbandi pada masa ini, semasa menziarahi
makam Shah Naqsband. Mufti Uzbekistan sedang memberi beliau segelas air daripada telaga air Shah
Naqshband.Shah Naqshband telah membina madrasah beliau untuk memperbaharui dan mengembalikan
obor Islam bagi ummat Islam dizamannya untuk menghayati ajaran Islam sebagai cara hidup mereka. Beliau
menekankan tentang pentingnya berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah (s.a.w). Anak
muridnya
pernah
bertanya
kepada
beliau,
"Apakah yang kami perlukan untuk mengikuti jalan Tuan?" Beliau menjawab, "Mematuhi dan menghayati
jalan dan cara hidup Rasulullah (s.a.w) dengan penuh kecintaan."
Beliau menyambung lagi, "Jalan kita merupakan jalan yang jarang ditemui, kerana ia berpegang kepada
Al-Urwatul Wuthqa, iaitu ikatan yang tidak boleh diputuskan. Jalan ini,tariqat ini hanya menghendaki
pengikutnya, memegang pada jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah (s.a.w) - jalan yang suci lagi terpelihara
- dan jalan yang dilalui oleh pengikut dan para sahabat baginda (s.a.w) di dalam perjuangan kita untuk
menuju ke hadrat ilahi - mengenal hakihat ketuhanan."
Kehidupan Shah Naqshband amatlah zuhud. Beliau amat mementingkan kehalalan makan yang beliau
makan. Beliau memakan roti daripada barli yang beliau tanam dan tuai sendiri. Beliau amat mencintai para
fakir miskin dan selalu memasak dan melayan mereka serta menziarahi mereka apabila mereka sakit.
Sebenarnya beliau seorang yang kaya dan suka membelanjakan hartanya semata-mata pada jalan Allah,
bukan untuk diri atau keluarga. Sifat beliau yang pemurah itulah yang menyebabkan beliau amat dicintai dan
sifat kedermawanannya sentiasa menjadi buah mulut orang ramai.
Shah Naqsband pernah berkata: "Tariqat Naqshbandi ini, merupakan jalan yang paling mudah dan senang
bagi seorang murid untuk memahami tentang Tauhid.Ia bebas daripada bida'ah ataupun sebarang
peyimpangan dan perbuatan yang ekstrim (shaathiyyat) ataupun tarian dan sebutan yang sukar untuk
difahami (sama'a). Ia tidak meminta muridnya untuk sentiasa berlapar ataupun berjaga sepanjang
malam.Oleh kerana sifat-sifat inilah, Tariqat Naqshbandiyya tetap bebas daripada mereka yang jahil ataupun
penipuan (mushawazeen). Kesimpulannya, kita pula mengatakan bahawa tariqat kita ini merupakan ibu bagi
tariqat-tariqat lain dan penjaga amanah kerohanian. Jalan ini adalah jalan yang paling selamat, berhikmah,
dan jelas. Ia umpama telaga air yang daripadanya dapat diminum air yang suci dan amat bersih. Sehingga
kini Tariqat Naqshbandiyya bebas daripada ancaman ataupun serangan daripada mana-mana pihak keran ia
berpegang teguh pada As-sunnah Rasulullah (s.a.w)- jalan yang terpelihara lagi diredhai.
Mursyid dalam thareqat
Mursyid
adalah
orang
yang
membimbing
atau
Pembimbing
jalan
ruhani
Ayat al-Quran berbunyi:
May yahdillaahu fahuwal muhtad; wa may yudhlil falan tajida lahuu waliy-yam mursyidaa.
Artinya: Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang
dibiarkan-Nya sesat, maka tidak ada seorang Pemimpin pun yang memberinya petunjuk. (surah al-Kahf ayat
17).
Mursyid sebagai pembimbing dalam ber-zikirullah pada HAKIKATNYA adalah SAHABAT (Rohani) yang sangat
akrab sekali dengan (Rohani) kita, yang bersama-sama, tak bercerai-cerai, beriring-iringan, berimam-imam
melaksanakan Zikirullah, menuju kehadirath Allah SWT guna memperoleh keridhaan Allah SWT.
1. Ayat Quran: Wamayyuthiillaha warrasuula Fauulaaaika maalladziina an amallahu alaihim minannabiyyina
wasshiddiqiina wassyuhadaa-I wasshaalihiina, wahasuna ulaaaika rafiiqan.
Artinya: Barang siapa mentaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama-sama dalam deretan orang-orang
yang diberikan ALLAH kurnia kepada mereka yaitu Nabi-Nabi, orang-orang yang benar, orang-orang syahid
dan orang-orang yang shaleh. Adalah sebaik-baiknya bersahabat dengan mereka. (surah an-Nisa ayat 69).
Komentar: Bersahabat dalam arti bukan saja semasa hidup didunia yaitu antara jasmani dengan jasmani,
tetapi yang lebih penting, yang selalu dilupakan, adalah bersahabat antara rohani dengan rohani, yang
merupakan persahabatan yang tidak akan bercerai-cerai dan akan tetap bersahabat, walaupun mungkin
yang seorang telah mendahului berpulang kealam baka dan telah menjadi penghuni Syorga pada sisi Allah
SWT. Karena mereka yang sederetan duduknya dengan para Nabi, Syuhada, Sholihin pastilah pada akhir
katanya tak mungkin lupa menyebut/mengingat akan ALLAH, karena semasa hayatnya didunia zikirullah itu
telah dilatihnya sedemikian rupa, sebanyak-banyaknya dan tak henti-hentinya/istiqamah, dengan methodik
yang tepat, sehingga zikirullah itu telah meraga sukma dalam dirinya, tembus hingga kealam dibawah sadar
dan
alam
diatas
sadarnya!!
Sesuai Hadis Qudsi: Man kaana akhiru kalamihi laa ilaaha ilallah, dakhalal jannah.
Artinya: Barang siapa yang pada akhir katanya Laa ilaaha ilallah, masuklah ia kedalam syorga.
2. Ayat Quran: Walamuu annallaaha maal muttaqiin.
Artinya: Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang taqwa. (surah at-Taubah
ayat 36).
Kesimpulan:
1.
Besertalah selalu dengan orang taqwa, karena ALLAH beserta dia.
2.
Orang taqwa selalu dipelihara ALLAH dari segala bala dan bencana. Kalau kita masih kalang kabut,
tandanya kita belum taqwa, belum disertai ALLAH.
3.
Hadis Nabi: Kun maallahi fain lam takun maallahi fakun maa man maallahi fainnahu yushiluka
ilallahi. (Rawahu Abu Daud).
Artinya: Adakanlah! (jadikanlah!) dirimu itu beserta Allah, jika engkau (belum bisa) menjadikan dirimu
beserta Allah, maka adakanlah (jadikanlah) beserta dengan orang-orang yang beserta Allah, maka
sesungguhnya, (orang itulah) yang menghubungkan engkau kepada Allah (yaitu Rohaninya). (Hadis Riwayat
Abu Daud).

4.
Ayat Quran: May-yadhillaahu fahuwal muhtad; wa may yudhil falan tajida lahuu waliy-yam mursyiida.
(surah al-Kahf ayat 17).
Artinya: Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang
dibiarkan-Nya sesat, maka tidak ada Seorang pemimpinpun yang memberinya petunjuk. (Siapa yang tak
mempunyai Mursyid, berarti dia tidak akan dapat petunjuk/jalan pada Allah SWT).
SYARAT-SYARAT SEBAGAI MURSYID
Syarat-syarat atau kriteria bagi seorang Mursyid adalah amat berat sekali; kalau saya ditanya, apakah
saya telah memenuhi syarat-syarat untuk Mursyid itu, maka jawabannya adalah amat berat sekali untuk
mengatakan ya, atau kalau mau jawaban yang murah saja: tidak tahu, karena bukanlah saya yang harus
menilai kwalitas saya sendiri; begitulah beratnya kriteria untuk Mursyid itu. Namun, saya melaksanakan
tugas saya dengan sepenuh tenaga, dengan sepenuh jiwa raga, dengan hati yang sebulat-bulatnya, saya
laksanakan suruh dari pada para Guru saya, yang juga merupakan suruh dari pada Allah dan Rasul, yaitu
untuk menegakkan zikirullah, dalam diri pribadi saya dan dalam diri ummat; jadi, Beliau-Beliau yang
diataslah yang menilai akan diri saya.
Nah, dibawah ini kita lukiskan syarat-syarat yang diperlukan untuk seorang Mursyid, agar supaya kita
secara garis besar mempunyai pedoman ala kadarnya untuk itu, sebagai gambaran yang agak rieel, yaitu:
1.
Pilih Guru kamu yang Mursyid, (dicerdikkan Allah SWT) bukan dicerdikkan oleh yang lain-lain dengan
idzin dan ridha Allah, karena Allah.
2.
Yang Kamil Mukamil (sempurna dan menyempurnakan), diberi kurnia oleh Allah, karena Allah.
3.
Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada simurid, simurid
berobah kearah kebaikan) berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allah, Biiznillah).
4.
Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
5.
Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh
Hadis dan Quran dan oleh Ilmu Pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan Hadis, Quran dan akal).
6.
Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.
7.
Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulat hatinya, kasih kepada Allah. Ia ada giat bergelora
dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena
prestasinya itu adalah sebagai abdinya pada Allah SWT dalam hidupnya.
8.
Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai taliyang nyata kepada Allah
dan Rasul dengan Silsilah yang nyata.

1.
2.

3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.

Inilah dia 8 (delapan) syarat yang sangat berat bagi seorang Mursyid. Kemudian dibawah ini, kita turunkan
beberapa ayat dan hadis-hadis Rasulullah SAW, yang dapat juga dipakai sebagai gambaran atau petunjuk
bagi kita mengenai kwalifikasi seorang Mursyid.
Yang sudah jelas, Ianya haruslah seorang Mukmin Sejati. Dibawah ini kita lihat: Kalau seorang Mursyid itu
telah memenuhi syarat-syaratnya, maka sudah jelaslah, segala janji-janji Allah terhadapnya pasti dipenuhi
Allah SWT, umpamanya antara lain Hadis Nabi: Yasyfau yaumal qiyaamatil ambiya u thummal Ulamaa u
thummasy syuhadaa u.
Artinya: Yang memberi Syafaat dihari qiamat ialah : AMBIYA, ULAMA dan para SYUHADA (Hadis yang
dirawikan Ibnu Majah).
Juga ia telah menerima seperti difirmankan Allah didalam al-Quran: Nuurun alaa nuurin, yahdillahu
linuurihii man yasyaau.
Artinya: .....Nur Illahi berdampingan Nur Muhammad, itulah diberikan-Nya kepada Manusia yang
dikehendaki-Nya.....(surah an-Nur ayat 35).
Kemudian kita lihat lagi apa-apa yang tertulis dibawah ini untuk mengetahui kwalitas-kwalitas seorang
Mukmin/Mursyid, sesuai dengan Ayat-ayat al-Quran dan Hadis Rasulullah:
Wanuriidu anamunna aladziinas tudhiffu fir ardhi wa najalahum aimmatawwamanajalahumul waaritsin.
Artinya: Dan Kami kehendaki dengan nikmat Kami kepada hamba-hamba Kami, dimuka bumi lalu Kami
jadikan mereka menjadi ikutan dan orang penerima warisan. (surah al-Qashash ayat 5 juz 20).
Fauulaaika maalladziina an amallaahu alaihim minannabiyyiina washshiddiiqiina, wasysyuhadaa-i
washshaalihiin.
Artinya: Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah seperti para Nabi-Nabi, Siddiqin (Ulama),
Syuhada dan Syalihin (Ulama). (surah an-Nisa ayat 69 juz 5).
Wajaalnaa minhum aimmatay yahduuna biamrina lamaa shabaruu: Wakaanuu biaayaatinaa yuuqinuun.
Artinya: Dan Kami jadikan mereka menjadi ikutan untuk menunjuki manusia dari perintah Kami dengan sabar
serta yakin dengan keterangan Kami. (surah as-Sajadah ayat 24 juz 21).
Ulaaikal ladziina hadallaahufabihudaa humuq tadih.
Artinya: Mereka itulah orang yang telah diberi Allah petunjuk, maka ikutlah Dia dengan petunjuk itu. (surah
an-Nam ayat 90 juz 7).
Ya qaumanaa ajiibuu daaiyallaahi waaaminuu bihii yaghfirlakum min dzunubikum wayujirkum min adzaabin
aliim.
Artinya: Wahai kaum Kami ikutlah (kata-katanya) orang yang menyeru kamu kepada Allah, dan percayalah
kepada-Nya, niscaya Allah mengampuni dosamu dan melepaskan kamu dari pada azab yang pedih. (surah alAhqaf ayat 31 juz 26).
U laaika humul mukminuuna haqaa. Lahum darajaatun inda rabbihim wamaghfiratun warizqun kariim.
Artinya: Mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya ber-Iman. Mereka mendapat derajat yang tinggi
dari Tuhan-Nya, dan ampunan serta rezeki yang mulia. (surah al-Anfal ayat 4 juz 9).
Innaladziina yubaayiuunaka inamma yubaayiuunallaaha, yadullahi fauqa aidiihim.
Artinya: Barang siapa berjanji teguh dengan engkau (Dia) sebenarnya mereka berjanji teguh dengan Allah;
Tangan Allahdiatas tangan mereka. (surah al-Fathu ayat 10 juz 26).
Ittabiuu malla yasalukum ajran wahum muhtaduun.
Artinya: Ikutlah orang yang tiada meminta upah kepadamu itu, karena mereka mendapat pimpinan yang
benar. (surah Yasin ayat 21 juz 23).
Wamay yatawallallaaha warasuulahu walladziina aamanuu fainna hizballaahihumul ghaalibuun.

Artinya: Barang siapa yang mengangkat Allah dan Rasul-Nya dan orang yang beriman menjadi pemimpinnya,
maka ia masuk partai Allah itulah yang mendapat kemenangan. (surah al-Maidah ayat 56 juz 6).
10. Qaalallahu taaalaa: Lam yasanii ardhii walaa sammaaii wawassianii. Qalbu abdiil Mukminuun layyinul
waadi.
Artinya: Allah Taala berfirman: Tak dapat memuat Zat-Ku, bumi dan langit-Ku; yang dapat memuat Zat-Ku,
ialah hati hamba-Ku yang Mukmin, lunak dan tenang. (Hadis Qudsi).
11. Inna
haadzihi
tadzkiratun
faman
syaaat
takhadza
ilaa
rabbihi
sabiilaa.
Artinya: Sesungguhnya ini menjadi peringatan. Barang siapa yang hendak mendapat pengajaran, niscaya
diambilnya methode untuk menyampaikannya kepada Tuhan. (surah al-Muzamil ayat 19 juz 20).
12. Innallaha qaala: man aadalii walyyan faqad aazantuhu bil harbi wamaa taqarraba ilayya abdii bisyaiin
ahahbu ilayya mimmaf taradh tuhu alaihi wamaa yazaalu abdii ya taqorrobu ilayya binnawaafiili hatta
uhibbahuu faizaa ahbabtuhuu. Kuntu samahul lazii yasmau bihii wabashara hulladzii yubshiru bihii
wayadaahul latii yabthusyu bihaa warujlahullahtii yamsyii bihaa walain saalanii uthiyannahuu walainnis
taaadzanii lauii dzannahuu.
Artinya: Barang siapa yang memusuhi seorang penolong-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya,
dan apabila hamba-hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan, tanda lebih kasih ia
kepada-Ku, dari pada hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah Ku-wajibkan atasnya.
Kemudian itu ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang
baik), hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia
mendengar, dan Aku-lah penglihatannya bila ia melihat, dan adalah Aku tangannya bila ia mengambil
(melakukan sesuatu), dan adalah Aku kakinya bila ia berjalan; demi jika ia memohon niscaya Aku
perkenankan permohonannya, demi jika ia meminta perlindungan pastilah Aku lindungi dia. (Hadis Qudsi,
diriwayatkan Imam Buchari, dikutip dari al-Islam halaman 362).

Eksistensi mursyid dalam thariqat


Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak
lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang
mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun,
syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.
Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu
kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syariat yang telah ditentukan. Hanya saja
keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak
sesuai dengan kebenaran.
Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial.
Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang
mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.
Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju
wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi,
thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan
dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.
Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah
mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok
atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan
pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya
kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh
dijalankan oleh orang-orang tua saja.
Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat
wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.
Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul
(sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat
tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satusatunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.
Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang
syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini
dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan
membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang
akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.
Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi
orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru
setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil
membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk
melanjutkan shalatnya.
Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus
melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau
menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada
yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan
disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan,
mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.
Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari
kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan
membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.
Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan
dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera,
dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu
bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma Allah atau pelaksanaan dzikir
yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang
bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.
Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan
yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbedabeda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah
sama, yaitu al-wushul ila-Allah.
Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun
kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid
memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah
lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti
beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi
kemampuan maupuan pengetahuannya.
(Penulis artikel diatas adalah pengasuh Ponpes al-Maruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga
sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggot

Ulama Mursyid

1)
2)
3)
4)

5)
6)

Pengertian Kedudukan mursyid atau pemimpin peramalan dalam suatu tarikat


menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya
memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah
dan pergaulan sehari-hari supaya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan
terjerumus kedalam maksiat seperti berbuat dosa besar atau dosa kecil, tetapi juga
memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban
yang ditetapkan oleh syara dan melaksanakan amal-amal sunnah untuk
bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Disamping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid adalah
juga pemimpin kerohanian bagi murid-muridnya, menuntun dan membawa muridmuridnya kepada tujuan tarikat guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu
seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali
dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring- iringan,
berimam-imaman melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat
Allah SWT. Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap
berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah
sederetan duduknya dengan para wali Allah yang saleh.(Kadirun Yahya,1982 : 15-16).
As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam bukunya yang terkenal Tanwirul Qulub menjelaskan bahwa
seorang murid/salik dalam usahanya menuju ke hadirat Allah SWT yang didahului dengan tobat,
membersihkan diri rohani, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh haruslah mempunyai Syekh yang
sempurna pada zamannya, yang melaksanakan ketentuan syariat berdasarkan Al Quran dan Al Hadis, dan
mengikuti peramalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara berkesinambungan yang diteruskan oleh
para ahli silsilah sampai pada zamannya. Seorang mursyid yang silsilahnya berkesinambungan sampai
dengan Nabi Muhammad SAW, haruslah mendapatkan izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Dengan
demikian seorang mursyid haruslah telah mendapatkan pendidikan yang sempurna, sudah arif billah,
seorang wali yang mendapat izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Seorang murid/salik yang bertarikat
tanpa Syekh maka mursyidnya adalah syetan. (Amin Al Kurdi, 1994 : 353). Syekh Abu Yazid Al Busthami,
Artinya : Orang yang tidak mempunyai Syekh Mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan. Pengertian
Mursyid dijelaskan oleh Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya dalam beberapa buku dan ceramahnya bahwa
Mursyid itu bukan wasilah, tapi Mursyid itu adalah pembawa wasilah atau hamilul wasilahatau wasilah
carrier,menggabungkan wasilah itu kepada wasilah yang telah ada pada rohaniah Rasulullah SAW. Sebagai
pemimpin rohani mursyid mempunyai sifat-sifat kerohanian yang sempurna, bersih dan kehidupan batin yang
murni. Mursyid adalah orang yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempunyai
kemampuan makrifat. Mursyid merupakan kekasih Tuhan. Secara khusus mendapat berkah daripada-Nya,
dan sekaligus menjadi pembawa wasilah dari hamba kepada Tuhannya. Pada dirinya terkumpul makrifat
sempurna tentang syariat Tuhan, mengetahui berbagai penyakit rohani dan tahu cara pengobatannya.
Sebagai kekasih Allah, Mursyid mendapat anugerah kemampuan untuk mendatangkan maunah-maunah atau
karamah-karamah. Syekh Mursyid dalam melaksanakan tugasnya mempunyai predikat-predikat sesuai
dengan tingkat dan bentuk pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Predikat-predikat itu dapat
saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain :
Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan
bergabung dengan hukum Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta
petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
Syaikh al-Iqtida, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan
dan perbuatannya seyogyanya diikuti.
Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga
berkahnya melimpah kepada mereka.
Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta
petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi
khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan
tugas-tugas keduniaan.
Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarikat dengan berbagai
doa atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dalam suatu lembaga
tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam
dalam menjalankan tugasnya(Ensiklopedi Islam 3, 1994 : 303). B. Dalil-Dalil Banyak dalil naqli Al Quran
maupun Al Hadis, yang menjelaskan tentang fungsi dan kedudukan Mursyid. Menjelaskan dalil naqli tersebut
kita temui pula Qaulul Arifin yaitu kata-kata mutiara sufi yang telah arif billah menjelaskan fungsi dan
kedudukan mursyid tersebut dalam suatu tarikatullah. Firman Allah SWT, Artinya : Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkan-Nya sesat, maka tidak
ada seorang pemimpin (Wailyyam Mursyida) pun yang memberinya petunjuk (Q.S. Al Kahfi 18 : 17). Firman
Allah SWT, Artinya : Barang siapa mentaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama-sama dalam deretan
orang- orang yang diberikan Allah kurnia pada mereka yaitu para Nabi, para shidiqin, orang-orang syahid dan
orang-orang yang saleh. Adalah sebaik-baiknya bersahabat dengan mereka (Q.S. An Nisa 4 : 69). Firman
Allah SWT, Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan
orang- orang yang benar (Q.S. At Taubah 9 : 119). Dari Q.S Al Kahfi 18 : 17 tersebut dapat disimpulkan bahwa
Mursyid itu adalah seorang wali yang berfungsi sebagai pembimbing rohani dari seorang yang mendapat
hidayah dari Allah SWT. Dari Q.S. An Nisa 4 : 69 juga Q.S. At Taubah 9 : 119 Mursyid itu termasuk kelompok
orang- orang yang benar dan orang-orang yang saleh. Tafsir Al Maraghi V : 128, menjelaskan tentang tafsir
Q.S. Al Kahfi 18 : 17bahwa Ashabul Kahfi adalah contoh orang yang mendapat petunjuk, memperoleh jalan
yang benar dan mendapat kemenangan dunia akhirat. Mereka itu adalah orang yang mendapat
irsyad/petunjuk dari Allah SWT, sedangkan orang yang sesat adalah orang yang tidak mendapatkan hidayah
irsyad/petunjuk itu dan tidak pula mendapatkan seseorang yang menunjukinya (mursyid) maka larutlah dia
dalam keadaan sesat itu.

Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Usman bin Affan r.a. d ia berkata, Rasulullah bersabda, Di hari
kiamat, yang memberi syafaat ada tiga golongan yaitu para nabi, para ulama, dan para syuhada. (H.R. Ibnu
Majah).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Abu Said, sesungguhnya Rasulullah bersabda, Sesungguhnya
sebagian dari umatku ada yang memberi syafaat kepada golongan besar dari manusia, sebagian dari mereka
ada yang memberi syafaat kepada satu suku, sebagian dari mereka ada yang memberi syafaat kepada satu
orang, sehingga mereka masuk surga semuanya. (H.R. Tarmizi).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa
menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta
dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah.
(H.R. Abu Daud) Yang dimaksud dengan ulama dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan orang yang memberi
syafaat dalam hadis riwayat Tarmizi termasuk para Mursyid. Dalam sabda Rasulullah orang yang telah
beserta dengan Allah itu termasuk para wali mursyid.
Syarat-syarat Berdasarkan pengertian tentang Mursyid dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa
menjadi mursyid. Walaupun fungsi Mursyid itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan
membina murid-muridnya, tapi bidangnya adalah rohani yang sangat halus yang berpusat pada lubuk hati
sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, ghaib atau metafisika. Pelajaran yang diberikan mursyid kepada
muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Adapun fungsi guru yang kita kenal
adalah transfer of knowledge. Dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Menurut Al Mukarram Saidi Syekh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya ada delapan syarat utama bagi seorang mursyid
itu, yaitu :
1). Pilihlah guru yang mursyid, yang dicerdikkan Allah SWT dengan izin dan ridho-Nya bukan dicerdikkan oleh
yang lain-lain.
2). Kamil lagi Mukammil (sempurna dan menyempurnakan), yang diberi kurnia oleh Allah, karena Allah.
3). Memberi bekas pengajarannya (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berubah
ke arah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridla Allah, Biiznillaahi.
4). Masyhur ke sana ke mari, kawan dan lawan mengakui, ia seorang guru besar.
5). Tidak dapat dicela pengajarannyaoleh orang yang berakal, karena tidak bertentangan dengan Al Quran, Al
Hadis dan akal/ilmu pengetahuan.
6). Tidak mengerjakan hal yang sia-sia, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.
7). Tidak setengah kasih kepada dunia, karena hatinya telah bulat penuh kasih kepada Allah. Dia ada giat
bergelora dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi tidak karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena
prestasinya itu adalah sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah SWT. 8). Mengambil ilmu dari Polan yang
tertentu ; Gurunya harus mempunyai tali ruhaniah yang nyata kepada Allah dan Rasul dengan silsilah yang
nyata. Di kalangan sufi atau tarikat, berguru itu yang penting tidak hanya mendapatkan pelajaran atau ilmu
pengajaran, tetapi yang lebih penting lagi dalam belajar dengan Syekh Mursyid itu adalah beramal intensif
dan berkesinambungan, serta memelihara adab dengan Syekh Mursyid sebaik-baiknya. Dengan cara ini
seseorang murid antara lain akan mendapatkan Ilmu Ladunni langsung dari Allah SWT yang berbentuk
makrifah karena terbukanya hijab. Inilah yang dimaksud dengan syarat nomor satu tersebut. Syarat yang
terpenting lainnya bahwa seseorang mursyid itu harus mempunyai silsilah dan statuta yang jelas dari
gurunya, seperti yang tersebut pada syarat nomor delapan. As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam buku
Tanwirul Qulubnya ada 24(duapuluh empat) syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mursyid yaitu :
1) Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Syariah dan Akidah yang dapat menjawab, dan memberikan
penjelasan bila mereka bertanya tentang itu.
2) Mengenal dan arif tentang seluk beluk kesempurnaan dan peranan hati serta mengetahui pula penyakitpenyakit, kegelisahan-kegelisahannya dan mengetahui pula cara-cara mengobatinya.
3) Bersifat kasih sayang sesama muslim terutama kepada muridnya. Apabila seorang mursyid melihat
muridnya tidak sanggup meninggalkan kebiasaan-kebiasaan jeleknya maka ia harus bersabar dan tidak
mencemarkan nama baiknya. Dia juga harus terus menerus memberi nasehat, memberi petunjuk sampai
muridnya itu kembali menjadi orang baik.
4) Mursyid harus menyembunyikan atau merahasiakan aib dari murid-muridnya.
5) Tidak tersangkut hatinya kepada harta muridnya dan tidak pula bermaksud untuk memilikinya.
6) Memerintahkan kepada murid apa yang harus dilaksanakan dan melarang apa yang harus ditinggalkan.
Untuk itu Mursyid harus memberi contoh sehingga ucapannya menjadi berwibawa.
7) Tidak duduk terus menerus bersama dengan muridnya kecuali sekedar hajat yang diperlukan. Kalau dia
bermuzakarah memberi pelajaran kepada murid-muridnya haruslah memakai kitab-kitab yang
muktabarsupaya mereka bersih dari kotoran yang terlintas dalam hati, dan supaya mereka dapat
melaksanakan ibadat yang sah dan sempurna.
8) Ucapannya hendaklah bersih dari senda gurau dan olok-olok, tidak mengucapkan sesuatu yang tidak perlu.
9) Hendaklah selalu bijaksana dan lapang dada terhadap haknya. Tidak boleh minta dihormati, dipuji atau
disanjung-sanjung dan tidak membebani murid dengan sesuatu yang tidak sanggup dilaksanakannya dan
tidak menyusahkan mereka.
10) Apabila dia melihat seorang murid yang kalau banyak duduk semajelis dengannya, bisa mengurangi
kewibawaan dan kebesarannya, hendaklah si murid itu segera disuruh berkhalwat yang tidak begitu jauh
darinya.
11) Apabila ia melihat kehormatan terhadap dirinya sudah berkurang dalam anggapan hati murid- muridnya,
hendaklah ia segera mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk mencegahnya, sebab yang demikian
ini adalah musuh yang terbesar.
12) Tidak lalai untuk memberi petunjuk kepada mereka, tentang hal-hal untuk kebaikan murid- muridnya.
13) Apabila murid menyampaikan sesuatu yang dilihatnya dalam mukasyafah maka hendaklah ia tidak
memperpanjang percakapan tentang itu. Karena kalau mursyid memperpanjang pembicaraannya tentang
penglihatan murid tadi, mungkin murid itu akan merasa martabatnya sudah tinggi dan ini akan merusak
citranya.
14) Mursyid wajib melarang murid-muridnya membicarakan rahasia tarikat kepada orang yang bukan ikhwannya
kecuali terpaksa. Mursyid juga mencegah pembicaraan tentang sesuatu yang luar biasa yang dialaminya

walaupun dengan sesama ikhwan, sebab yang demikian ini akan menimbulkan rasa sombong dan takabur
atau menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.
15) Mursyid hendaklah berkhalwat pada tempat yang khusus dan tidak memperkenankan orang lain masuk
kecuali orang-orang yang telah ditentukan.
16) Mursyid hendaklah menjaga agar muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidurnya, makan dan
minumnya, sebab yang demikian bisa mengurangi penghormatan murid terhadap syekh yang bercerita dan
mempergunjingkannya yang merusak kemaslahatan murid itu sendiri.
17) Tidak membiarkan murid terlalu banyak makan, karena banyak makan itu memperlambat tercapainya
latihan yang diberikan oleh Mursyid, dan banyak makan itu menjadikan murid itu budak perut.
18) Melarang murid-muridnya semajelis dengan mursyid lain, sebab yang demikian membahayakan keadaan
murid itu sendiri. Tetapi apabila dia melihat pergaulan itu tidak akan mengurangi kecintaan dan tidak pula
akan menggoyahkan pendirian muridnya, maka boleh saja mursyid membiarkan muridnya semajelis dengan
syekh lain.
19) Harus mencegah muridnya sering mengunjungi pejabat-pejabat atau para hakim, supaya murid jangan
terpengaruh, dan bisa menghambat tujuannya untuk menuju akhirat.
20) Tutur kata dan tegur sapa hendaklah dilaksanakan dengan sopan santun dan lemah lembut dan tidak boleh
berbicara kasar atau memaki-maki.
21) Apabila seorang murid mengundangnya maka hendaklah dia menerima undangan itu dengan penuh
penghormatan dan penghargaan.
22) Apabila mursyid duduk bersama muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang, sopan, tertib dan tidak
gelisah dan tidak banyak menoleh kepada mereka. Tidak tidur bersama mereka, tidak melunjurkan kaki. Para
murid harus percaya bahwa mursyid itu mempunyai sifat-sifat terpuji yang menjadi ikutan dan panutan
mereka.
23) Apabila mursyid menerima kedatangan murid, hendaklah dia menerimanya dengan senang hati, tidak
dengan muka yang masam dan apabila murid meninggalkannya hendaklah mursyid mendoakannya tanpa
diminta. Apabila Mursyid datang kepada muridnya, hendaklah ia berpakaian rapi, bersih dan bersikap yang
sebaik-baiknya.
24) Apabila seorang murid tidak hadir di majelis zikir, hendaklah ia bertanya dan meneliti apa sebabnya. Kalau
dia sakit, hendaklah dia jenguk atau ada keperluan hendaklah ia bantu atau karena ada suatu halangan
hendaklah dia mendoakannya.
As Syekh Amin Al Kurdi berkesimpulan bahwa sifat mursyid harus meneladani sifat-sifat Rasulullah
menghadapi sahabat-sahabatnya sesuai dengan kemam-puannya (Amin Al Kurdi, 1994 : 453-455). Imam Al
Ghazalimenyatakan bahwa murid tak boleh tidak harus mempunyai syekh yang memimpinnya, sebab jalan
iman adalah samar, sedangkan jalan Iblis itu banyak dan terang. Barang siapa yang tak mempunyai syekh
sebagai petunjuk jalan dia pasti akan dituntun oleh Iblis dalam perjalanannya itu. D. Menghadirkan Mursyid
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya dalam fatwanya pada peringatan Hari Guru dan Hari Silsilah tanggal 20
Juni 1996, menegaskan tentang menghadirkan mursyid. Dalam fatwa itu beliau mengatakan salah satu
metode berzikir dan beramal dalam tarikatullah Naqsyabandiyah adalah menghadirkan Syekh Mursyid
sebagai imam rohani. Dengan hal ini akan mendapatkan konsentrasi penuh dalam berzikir dan beribadat.
Sesungguhnya menghadirkan (menyertakan) Syekh Mursyid dalam berzikir dan beribadat tidak hanya
terdapat dalam Tarikatullah Naqsyabandiyah saja, tetapi juga terdapat pada seluruh lembaga tarikat-tarikat
muktabarah.
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Menceritakan kepada kami Sofian bin Wakik, mengabarkan kepada kami
Bapakku dari Sofian, dari Asyim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa
sesungguhnya Umar bin Khattab pada waktu minta ijin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah,
maka Nabi bersabda, Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan aku, pada waktu engkau berdoa
nanti, dan jangan engkau lupakan aku. Hadis ini adalah hadis Hasan Sahih. (H.R. Abu Daud dan Turmuzi).
Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali r.a. menyampaikan kepada
Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa, tapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap
melaksanakan ibadat bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa yang telah
mereka alami itu. Para pakar Tarikat Naqsyabandiah sepakat membolehkan dan membenarkan untuk
menghadirkan Syekh Mursyid karena fungsinya sebagai ulama pewaris Nabi, sebagai imam/pembimbing
rohani, dengan tujuan agar orang yang berzikir dan beribadat itu terhindar dari segala was-was, ruparupa/pandangan-pandangan lain, bisikan-bisikan lain, perasaan-perasaan lain, yang diciptakan oleh iblis dan
syetan yang selalu mengganggu orang-orang yang berzikir dan beribadat itu, padahal yang bersangkutan
belum tinggi kualitas Iman dan Takwanya.
Rasulullah SAW bersabda, Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan
dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah,
maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah (H.R. Abu Daud).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Dari Abdullah bin Busrin r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW, Sangat
beruntunglah bagi orang yang melihat aku dan beriman kepadaku, sangat beruntung pula orang yang
melihat orang yang telah melihat aku, demikian juga seterusnya orang yang telah melihat orang yang telah
melihat aku tadi dan beriman kepadaku, dan beruntunglah kesemuanya dan bagi mereka semua
mendapatkan sebaik- baik tempat kembali kepada Allah. (H.R. Ath-Thabrani).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Ya Ali, orang mumin senantiasa tambah dalam agamanya selama tidak
makan barang haram, dan barang siapa mencerai (menjauhi) ulama (jasmani dan rohani) maka matilah
hatinya dan buta dari taat kepada Allah SWT (Syekh Abdul Wahhab Asy-Syarani, Washiyyatul Musthafa lil
Imam Ali : 3). Sayyid Al Bakri dalam buku Kifayatul Atqiyahmengatakan, Artinya : Dan menyatakan pula
kepada (zikir Allah, Allah) itu menghadirkan gurunya yang mursyid, agar menjadi teman dalam perjalanan
menuju kepada Allah taala (Sayyid Al Bakri, Kifayatul Atqiyah : 107).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Barangsiapa melihat aku, maka betul-betul dia telah melihat aku.
Sesungguhnya aku bisa menzahir dalam tiap-tiap rupa. (Sayyid Ahmad bin Idris, kitab Ruhus Sunnah
Warauqun Nufusil .Mutmainnah : 147). Sabda Rasulullah SAW : Artinya : Barangsiapa memuliakan orang
alim, maka sesungguhnya dia telah memuliakan aku. Barangsiapa memuliakan aku, sesungguhnya dia telah

1.
2.
3.
4.

5.
1.
2.

memuliakan Allah dan barangsiapa yang memuliakan Allah maka surgalah tempatnya (Jalaluddin
Abdurrahman bin Abu Bakar as Suyuti, kitab Lubabul Hadis : 8).
Sabda Rasulullah SAW, Artinya : Barangsiapa melihat wajah orang alim (jasmani dan rohani) satu kali,
dan dia bergembira, senang, menghayati dengan penglihatan itu, maka Allah taala akan menjadikan dengan
melihatnya itu, malaikat-malaikat yang memintakan ampun untuknya sampai hari kiamat. (Kitab Lubabul
Hadis : 8).
Syekh Amin Al Kurdi menjadikan kisah Yusuf dengan Siti Zulaikha yang tidak jadi melaksanakan
hubungan seksual, karena terbayang atau hadirnya dalam rohani ingatan Yusuf, yaitu ayahnya sendiri dan
suami Zulaikha (Al Aziz, Perdana Menteri Mesir), betapa murkanya mereka ini nanti kalau terjadi perbuatan
yang tidak susila itu. Syekh Amin Al Kurdi dan tokoh-tokoh sufi lainnya menjadikan Q.S. Yusuf 12 : 23 dan 24
ini sebagai dalil boleh dan perlunya menghadirkan mursyid supaya terhindar dari was-was iblis dan syetan.
Yusuf menghadirkan ayahnya yitu Nabi Yacubdalam ingatan, sekaligus tersambung kepada Allah SWT,
sehingga tercegahlah perbuatan tidak susila itu. Firman Allah SWT , Artinya : Dan wanita (Zulaikha) yang
Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintupintu, seraya berkata, Marilah ke sini. Yusuf berkata, Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku
(Qithfir) telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf. Dan Yusuf
pun tentu akan bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya
Yusuf itu termasuk hamba- hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf 12 : 23 - 24). Prof.Dr. H. Saidi Syekh Kadirun
Yahya selanjutnya memfatwakan dan menegaskan kepada murid- murid beliau bahwa tidak boleh
menjadikan foto Syekh Mursyid sebagai perantara, apalagi disembah atau disyarikatkan bersama-sama
dengan Allah SWT. Jangankan fotonya, Syekh Mursyid pun bukan perantara dan bukan yang disembah atau
disyarikatkan dengan Allah SWT. Syekh Mursyid tidak memberi bekas karena yang memberi bekas hanya
Allah SWT saja. Yang memberi bekas adalah kudrat dan iradat Allah SWT yang merupakan power dan
frekuensi tak terhingga ( ), langsung dari Allah SWT, yang tersalur melalui Arwahul Muqaddasah para Nabi
dan para RasulAllah, serta para Wali Allah dan kepada orang-orang saleh yang berzikir, baik lahir maupun
batin bersama-sama dengan mereka. Syekh Mursyidsebagaimana halnya wali-wali Allah yang lain, bukan
juga wasilah, tetapi pembawa wasilah atau wasilah carrieratau hamilul wasilah yang menyalurkan wasilah,
power dan frekuensi tak terhingga ( ) dari Allah SWT. Orang yang merabithkan rohaniahnya kepada rohaniah
wali-wali yang ada padanya wasilah, maka dia akan langsung juga mendapatkan power dan frekuensi wasilah
yang tak terhingga itu, sehingga faktor tak terhingga menjelma padanya yang disebut khariqul adah, yang
berbentuk maunah-maunah ataupun kekeramatan-kekeramatan. Prof. Dr. H. Kadirun Yahya menjelaskan
selanjutnya sebagai pedoman dari Tarikat Naqsyabandiyah adalah sebagai berikut :
Tarikat ini adalah Tarikat Naqsyabandiah berdasarkan dalil Al Quran, Al Hadis, Ijma dan Qiyas.
Bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Bermazhab Syafiiah dalam bidang fikih.
Pengamal tarikat tidak boleh mengabaikan atau meninggalkan syariat, sebab antara keduanya merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Antara syariat dan tarikat adalah ibarat bawang. Kulit bawang itu
sendiri sekaligus adalah isinya dari lapisan pertama sampai dengan lapisan terakhir. Kulit bawang adalah
hakikat bawang itu sendiri dan sebaliknya, hakikat bawang adalah kulitnya itu sendiri. Begitu pulalah halnya
antara syariat dan tarikat, antara syariat dan hakikat. Tarikat itu adalah pengamalan syariat itu sendiri.
Buat Usaha Dakwah
Di Indonesia anda bisa belajar ilmu tasauf dan juga ilmu tentang islam (ahlusunnah) kepada ulama
-ulama mursyid , diantaranya (yang saya tahu betul akan kedua mursyid ini) :
KH Uzairon Pondok Pesantren Al - Fatah (pondok pesantren alim, hafidz, tharekat, dakwah) Manis Rejo,
Temboro, Kabupaten (district) Magetan, jawa timur (east java) Indonesia
KH Mushlihun Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin (pondok pesantren alim, hafidz, tharekat, dakwah)
Pendapat Imam Al Ghazali Tentang Pentingnya Mursyid
Ditulis pada Februari 5, 2009 oleh SufiMuda
Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ain. Sebab tidak seorangpun terbebas dari aib dan
kesalahan kecuali para Nabi. (Imam Al-Ghazali)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-SyafiI dikenal dengan nama Imam al Ghazali
lahir tahun 450 H/1058 M di propinsi Khurasan Irak. Beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam
berhujjah sehingga digelar sebagaihujjatul Islam. Diantara banyak karya tasawuf yang beliau karang yang
sangat terkenal sampai sekarang adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama).
Imam al Gahazali pada mulanya bukanlah pengamal tasawuf bahkan beliau tidak begitu mempercayai
penomena-penomena kekeramatan yang di alami oleh orang-orang shaleh sampai Allah memberikan
petunjuk kepada beliau sebagai mana yang beliau ceritakan berikut yang kami kutip dari buku Abdul Qadir
Isa, Hakikat Tasawuf:
Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang shaleh dan derajat-derajat yang
dicapai oleh para ahli makrifat. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan Mursyid-ku, Yusuf
an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karuniakarunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, wahai Abu Hamid,
tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan tempat untuk
pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena
mencintai Aku. Aku berkata, Demi kemulyaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali Engkau
membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka kepada mereka. Allah berfirman, Sungguh Aku
telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai
dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia
dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci. Aku
bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syekh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang

mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang
pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka matahati mu
akan semakin tajam.
Pengalaman Imam Al Ghazali berjumpa dengan Allah dalam mimpi atas bimbingan Guru Mursyidnya
menyebabkan beliau sangat yakin dengan ilmu tasawuf yang selama ini tidak menjadi perhatiannya.
Pengalaman yang tidak pernah Beliau alami sebelumnya walaupun telah hapal Al Quran, ribuan hadist dan
berbagai karya ulama-ulama besar. Dan dari keterangan Guru Mursyid beliau ternyata perjumpaa dengan
Allah dalam mimpi yang dialami oleh Imam Al Ghazali itu hanyalah fase awal dari perjalanan rohani. Tentu
saja pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh Imam al Ghazali bisa juga dialami oleh orang lain
asal memenuhi rukun dan syaratnya.
Imam al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang menempuh perjalan rohani
mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau
kemukakan :
Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia haru
mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam
perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud pendidikan di sini, hendaknya
seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali melihat batu atau
tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga
selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari
tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau
akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul
kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah SAW`wafat, Beliau
telah menetapkan para Khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah
seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang Mursyid.
Menurut Imam al Gahazali, pada umumnya manusia tidak bisa melihat penyakit-penyakit jiwa mereka
sendiri kecuali orang-orang yang telah terbuka hijabnya dan telah tercerahkan lewat bimbingan Mursyid.
Seseorang hanya dapat melihat korotan saudaranya tapi dia tidak bisa melihat kotorannya sendiri. Seorang
Mursyid atas karunia Allah mengetahui penyakit-penyakit hati manusia. Oleh karenanya kata Imam Al Ghazali
apabila menusia ingin mengetahui penyakit-penyakit jiwanya hendaknya dia duduk dihadapan Mursyid yang
mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan
hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk Mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang
murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, Mursyid atau
gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara
mengobatinya.
Zaman sekarang orang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tidak berhubungan dengan
dirinya sendiri dan melupakan tentang ilmu mengenal diri. Tasawuf adalah ilmu untuk penyucian hati dan
ilmu untuk mengenal diri agar bisa mengenal Tuhan. Tasawuf bukan sekedar ilmu yang dibaca dan dihapal
lalu dipraktekkan menurut selera masing-masing. Tasawuf pada intinya adalah ilmu kerohanian yang
membutuhkan seorang Master yang ahli untuk membimbing manusia kepada Tuhan. Dialah Mursyid yang
bukan hanya mengatakan bahwa Allah itu Esa dengan segala sifat-sifat-Nya tapi juga bisa mengantarkan
muridnya langsung bertemu dengan Allah sebagaimana pengalaman Imam Al Ghazali diantarkan kehadirat
Allah oleh Guru Mursyidnya.
Saya selalu bersyukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya yang tidak terhingga dengan diperkenalkan
saya dengan salah seorang Auliya-Nya. Beliau lah yang membimbing saya kehadirat Allah SWT menemukan
cahaya dalam kegelapan hati. Tanpa Mursyid, sungguh saya hanyalah seorang hamba baca yang merasa
tahu tanpa bisa merasakan apa-apa.
Semoga Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim akan selalu mengekalkan kita dalam karunia-Nya
bersama dengan kekasih-Nya di muka bumi, memberikan kesempatan untuk terus menyaksikan keindahan
wajah-Nya, mengizinkan kita untuk terus mendengar firman-Nya yang Maha Menggetarkan. Semoga!
MUROQOBAH
Sasaran dan maksud dari muraqabah/meditasi/rabithah syarif adalah untuk memperagakan kehadiran terusmenerus ke dalam realitas syekh. Semakin seseorang memelihara pelatihan ini, semakin terungkapkan
manfaatnya dalam kehidupan sehari-harinya sampai pada titik dia mencapai tataran fana dalam hadirat
Syekh. Orang harus tahu betul bahwa syekh adalah jembatan antara ilusi dan realitas dan dia berada di
dunia ini hanya untuk tujuan itu. Jadi syekh adalah seutas tali yang khas yang diulurkan kepada setiap orang
yang mencari kebebasan (dari ilusi), karena hanya syekh yang dapat memberikan layanan sebagai
penghubung antara seseorang yang masih terikat kepada dunia dengan Hadirat Ilahi. Agar menjadi fana di
hadapan dan keberadaan syekh adalah menjadi fana dalam kenyataan, dalam Hadirat Ilahi, karena memang
sesungguhnya di situlah dia berada.
Langkah 1
Bayangkan dirimu berada di hadapan syekh.
Sampaikan salammu. Tutup matamu. Pandanglah
melalui mata hatimu. Jangan mencari raut muka,
melainkan hanya auranya saja, ruhaniah.
Sebagai awal murid dapat memulai praktik muraqabah
ini untuk jangka waktu pendek, antara 5 sampai 15
menit, dan secara bertahap menjalaninya menuju
jangka waktu yang lebih panjang, bahkan merentang
hingga berjam-jam sekali sesi. Yang terpenting adalah
bahwa seseorang mempertahankan sebuah praktik
yang konsisten untuk mendapatkan manfaat dari
praktik tersebut. Jauh lebih baik dan bijaksana untuk

bertahap pada sesi yang pendek secara harian daripada disiplin dan praktik yang acak. Sebuah upaya kecil
yang dilakukan secara konsisten akan menghasilkan kemajuan luar biasa dalam waktu yang singkat.
Istighfar Ambillah wudhu dan shalat 2 rakaat (tahiyatul wudhu).
Ucapkan Kalimat Syahadat (3 kali): Asy-hadu an laa ilaaha illa-llah wa asy-hadu anna Muhammadan `abduhu
wa rasuuluh
(100-200 kali): Astaghfirullah al `Azhiim wa atuubu ilayh

Surat al-Ikhlash (3 kali): Qul huwa-llaahu ahad/ Allaahu


Shamad/ Lam yalid wal lam yuulad/ wa lam yakul- lahuu kufuwan
ahad

Surat al-Fatiha

Mencari dukungan dan kehadiran Mawlana Syaikh Hisyam


Kabbani k dengan mengucapkan: Madad ya Sayyidi, MadadulHaqq

Minimal 200 kali mengulang kalimat dzikir, Madadul-Haqq,


Madadul-Haqq

Mata tertutup, mohon izin untuk menyambung cahaya beliau


kepada hatimu dan cahayamu kepada hati beliau. Bayangkan
sebuah kontak dua arah dan kemudian, baca awrad pada
langkah 1.
Ketika seseorang duduk bermeditasi dan menutup matanya, dia memfokuskan pikirannya pada satu titik
tunggal. Dalam hal ini titik itu biasanya adalah konsep dari mentor spiritualnya; dus dia memfokuskan
seluruh kemampuan kesaksiannya memikirkan dengan konsentrasi penuh tentang guru spiritualnya agar
mendapatkan gambaran atau citra mentornya pada layar mental, selama dia masih berada dalam status
meditasi itu. Sifat, karakteristik dan potensi yang terkait dengan sebuah citra juga dipindahkan pada layar
pikiran ketika citra itu terbentuk pada layar mental dan pikiran menerimanya sesuai dengan itu.
Sebagai contoh, seseorang sedang memperhatikan api. Ketika gambaran tantang api itu dipindahlan ke layar
pikiran, suhu dan panas api itu terekam oleh pikiran. Seseorang yang hadir dalam sebuah taman menikmati
kesegaran dan kesejukan pepohonan dan tanaman dalam taman itu untuk menciptakan gambaran itu semua
pada layar pikirannya. Begitu juga ketika gambaran mentor spiritual dipindahkan pada layar pikiran, Ilmu
yang Dihadirkan yang beroperasi dalam diri guru spiritual, juga ikut dipindahkan dengan gambaran itu dan
pikiran murid secara bertahap menyerap hal yang sama.
Langkah 2
Duduk bersimpuh, yang rapi, tetap bersimpuh, mata tertutup, tangan di tempat, mulut tertutup, lidah
ditekuk ke atas, napas terkendali, telinga mendengar al-Quran, Shalawat atau suara sendu. Ruang gelap.
Meditasi, memikirkan tentang mentor spiritual, sebuah upaya untuk memfokuskan
dengan konsentrasi pikiran kita kepada seseorang, sehingga citranya dapat dipantulkan
secara berulang pada layar pikiran kita, (maka) kita terbebaskan dari keterbatasan
indera. Makin sering sebutir pikiran di tayangkan pada layar mental, makin jelas pula
formasi (pembentukan) sebuah pola dalam pikiran itu. Dan, pola pikiran demikian ini,
dalam istilah spiritualitas disebut 'pendekatan pikiran.
Ketika kita membayangkan mentor spiritual atau Syaikh, sebagai sebuah hal dari hukum
eternal, ilmu Elohistic Attributes yang beroperasi dalam Syaikh dipantulkan pada pikiran
kita dengan ulangan yang berkali-kali menghasilkan pencerahan pikiran dari murid
dengan cahaya yang berfungsi dalam diri Syaikh dan dilimpahkan kepadanya. Pencerahan
hati murid berusaha mencapai tataran atau tahap Syaikhnya. Dalam Sufisme, keadaan ini
disebut 'kedekatan, afinitas' (nisbat). Cara terbaik dan telah teruji untuk menikmati kedekatan, menurut
spiritualitas, adalah hasrat kerinduan dari cinta.
Pikiran Syaikh terus-menerus mentransfer kepada murid spiritualnya sesuai dengan kobaran cinta dan rindu
akan Syaikh, yang mengalir di dalam diri murid dan datang suatu saat ketika cahaya beroperasi dalam diri
Syaikh yang sesungguhnya adalah pantulan Tampilan Ilahiah yang Indah yang dipindahkan kepada murid
spiritual itu. Hal ini memungkinkan murid spiritual untuk membiasakan diri dengan Cahaya Gemilang dan
Tampilan Indah. Keadaan ini, dalam istilah sufisme disebut 'Menyatu dengan Syaikh (Fana fi Shaykh).
Cahaya Syaikh dan Tampilan Indah gemilang yang beroperasi dalam diri Syaikh bukanlah ciri pribadi Syaikh.
Sebagaimana halnya murid spiritual, yang dengan perhatian dan konsentrasi penuh dedikasi, menyerap
(asimilasi) ilmu dan ciri khas Syaikhnya, maka Syaikh juga menyerap ilmu dan busana Nabi e dengan
dedikasi pikiran dan konsentrasi penuh.
Langkah 3a
Posisi duduk: Posisi Teratai (yoga Lotus), Wudhu adalah kunci sukses. Kapal Nabi Nuh as. melawan banjir
kelalaian. Kebersihan adalah dekat dengan iman (ilahiah). Ingat bahwa bukanlah saya yang menghitung
bahwa saya adalah bukan apa-apa, saya dan aku harus melebur kedalam dia. Syaikhku, Rasulku, menggiring
kepada Rabbku.
Dzikir dengan penolakan (laa ilaaha) dan pembenaran (illa Allah), dalam tradisi Masyaikh
Naqsybandi ?, mensyratkan bahwa murid (sang pejalan) menutup matanya, menutup
mulutnya, menekan giginya, melekatkan lidahnya ke langit-langit mulutnya, dan
menahan (mengatur) napasnya. Dia harus membaca dzikir itu melalui hatinya, dengan
penolakan dan pembenaran, memulainya dengan kata LAA ("Tidak"). Dia mengangkat
"Tidak" ini dari titik (dua jari) di bawah pusar kepada otaknya. Ketika mencapai otaknya
kata "Tidak" mengeluarkan kata ILAAHA ("sesembahan"), bergerak dari otaknya ke bahu
Kanan, dan kemudian ke bahu Kiri di mana dia menabrak hatinya dengan ILLALLAH
("kecuali Allah"). Ketika kata itu mengenai hatinya energi dan panasnya
menjalar/memancar ke sekujur tubuhnya. Sang pejalan yang telah menyangkal semua
yang berada di dunia ini dengan kata-kata LAA ILAAHA, membenarkan dengan kata-kata
ILLALLAH bahwa semua yang ada telah dilenyapkan di Hadirat Ilahi.
Langkah 3b

Posisi Mulut dan Lidah


Menutup matanya,
Menutup mulutnya,
Menekan giginya,
Melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napas.
(Secara perlahan-lahan memperlambat napas dan getaran jantungnya).
Tangan membawa rahasia yang dahsyat, mereka itu seperti antena parabolamu,
pastikan bahwa mereka itu bersih dan berada dalam posisi yang semestinya. Jadi
ketika kamu memulai dengan tangnmu itu, menggosok-gosoknya, ketika mencucinya
dan menggosok gosoknya untuk mengaktifkan mereka, itu adalah tanda dari (angka)
1 dan 0, dan kamu sedang mengaktifkan proses kode yang diberikan Allah I melalui
tangan itu. Kamu mengaktifkan mereka.
1. Mereka memiliki titik sembilan peluru yang terdiri dari keseluruhan sistem,
seluruh tubuh. Ketika kamu menggosok jari-jari itu, sesungguhnya kamu
mengaktifkan 99 Asma-ul-husna Allah I.
2. Dengan mengaktifkan mereka, kamu mengaktifkan 9 titik dalam tubuhmu.
3. Dan ketika mengaktifkan mereka, itu adalah seperti menghidupkan receiver
(pada radio/tv), energi mengalir masuk, itu mulai berfungsi untuk dapat menerima, memecahnya dalam
bentuk kode digital yang dipancarkan keluar seperti gambar atau suara sebagaimana kita kenal di zaman ini
(radio dan tv).
4.
Demikian juga halnya dengan tangan yang saling mengelilingi, itulah mengapa ketika kita
menggosok-gosokkan dan membuka mereka, mereka mulai bertindak seperti lingkaran satu terhadap
lainnya, menampung apapun energi yang datang, dan mereka ini mengelolanya. Lihatlah pada bagian
Rahasia Tangan.
Langkah 4
Posisi Tangan:
Jempol dan telunjuk memperagakan posisi "Allah Hu" untuk kuasa/kekuatan terbesar. Tangan diberi kode
dengan kode angka, tangan kanan "18", tangan kiri "81" masing-masing dijumlahkan keduanya menjadi 9
dan dua 9 menjadi 99. Tangan diberi karakter dengan Asma-ulhusna Allah. Dan nama ke-99 dari Rasul
adalah Mustafa..(lebih banyak lagi di depan)...
Bernapas dengan Sadar ("Hosh dar dam")
5. Hosh artinya "pikiran" Dar artinya "dalam" Dam artinya "Napas"
Itu artinya, menurut Mawlana Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),
bahwa "Misi paling penting bagi pejalan dalam thariqat ini adalah
menjaga napasnya, dan dia yang tidak dapat menjaga napasnya,
akan dikatakan tentang orang itu, 'dia telah tersesat/kehilangan
dirinya.'"
6. Syah Naqsyband k berkata, "Thariqat ini dibangun di atas
(dengan pondasi) napas. Jadi adalah sebuah keharusan untuk
semua orang menjaga napasnya di kala menghirup dan membuang napas, dan selanjutnya untuk menjaga
napasnya dalam jangka waktu antara menghirup dan membuang napasnya."
7. "Dzikir mengalir dalam tubuh setiap makhluk hidup oleh keharusan (kebutuhan) napas mereka bahkan
tanpa kehendak sebagai sebuah tanda/peragaan ketaatan, yang adalah bagian dari penciptaan mereka.
Melalui napas mereka, bunyi huruf "Ha" dari Nama Ilahiah Allah dibuat setiap kali membuang dan menghirup
napas dan itu adalah sebuah tanda dari Jati Diri (Dzat) Gaib yang berfungsi untuk menekankan Kekhasan
Allahu Shamad. Maka adalah penting untuk hadir dengan napas seperti itu, agar supaya menyadari
(merasakan) Jati Diri (Dzat) Maha Pencipta."
8. Nama 'Allah' yang meliputi sembilan puluh sembilan Asma-ulhusna terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam
dan Ha yang sama dengan suara napas - (ALLAH I). Kaum Sufisme mengatakan bahwa Dzat Allah I yang
paling gaib mutlak dinyatakan oleh huruf terakhir itu yang dibunyikan dengan vokal Alif, "Ha". Ini mewakili
Gaib Absolut Dzat-Nya Allah I.
9. Memelihara napasmu dari kelalaian akan membawa mu kepada Hadirat sempurna, dan Hadirat sempurna
akan membawamu kepada Penampakan (Visi) sempurna, dan Penampakan sempurna akan membawamu
kepada Hadirat (Manifestasi) Asma-ul-husna Allah I yang sempurna. Allah I membimbingmu kepada Hadirat
Asma-ul-husna-Nya, karena dikatakan bahwa, "Asma Allah I adalah sebanyak napas makhluk".
10. Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa melindungi napas terhadap kelalaian sungguh sukar bagi
para pejalan. Maka mereka harus menjaganya dengan memohon ampunan (istighfar) karena memohon
ampunan akan membersihkannya dan mensucikannya dan mempersiapkan sang pejalan untuk (menjumpai)
Hadirat Benar (Haqq) Allah I di setiap tempat.
Langkah 5
Bernapas,
Menghirup melalui hidung - Dzikir = "Hu Allah", bayangkan cahaya putih memasuki
tubuh melalui perut.
Menghembus melalui hidung - Dzikir= "Hu", bayangkan hitamnya karbon
monoksida, semua perbuatan dosamu dikuras / didorong keluar dari dirimu.
11. "Pejalan yang bijak harus menjaga napasnya dari kelalaian, seiring dengan
masuk dan keluarnya napas, dengan demikian menjaga hatinya selalu dalam
Hadirat Ilahi; dan dia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan
pengabdian dan mempersembahkankan pengabdiannya itu kepada Rabbnya
dengan segenap hidupnya, karena setiap napas yang dihisap dan dihembuskan
dengan Hadirat adalah hidup dan tersambung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang dihirup dan
dihembuskan dengan kelalaian adalah mati dan terputus dari Hadirat Ilahi."

12. Untuk mendaki gunung, sang pejalan harus melintas dari dunia Bawah menuju Hadirat Ilahi. Dia harus
melintas dari dunia ego keberadaan sensual (sensasi) menuju kesadaran jiwa terhadap Al Haqq.
13. Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, sang pejalan harus membawa gambaran Syaikhnya
(tasawwur) ke dalam hatinya karena itu adalah cara paling kuat untuk melepaskan diri dari cengkeraman
sensualnya. Dalam hatinya Syaikh menjadi cermin dari Dzat Absolut. Jika dia berhasil, kondisi penisbian diri
(ghayba) atau "absensi" dari dunia sensasi muncul dalam dirinya. Sampai kepada tahap bahwa keadaan ini
menguat dalam dirinya dan keterikatannya kepada dunia sensasi melemah dan menghilang, dan fajar dari
Level Hilang Mutlak- Tidak Merasa- Selain Allah I mulai menyinari dirinya.
14. Derajat tertinggi dari maqam ini disebut fana'. Demikianlah Syah Naqsyband k berkata, "Jalan terpendek
kepada sasaran kita, yaitu Allah I mengangkat tabir dari Dzat Wajah-Nya Yang Ahad yang berada dalam
semua makhluk ciptaan-Nya. Dia melakukan itu dengan (melalui) maqam ghayba dan fana', sampai Dzat
Agung (Majestic Essence) menyelimutinya dan melenyapkan kesadarannya akan segala sesuatu selain Dia.
Inilah akhir perjalanan untuk mencari Allah I dan awal dari perjalanan lainnya."
15. "Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Level Ketertarikan datanglah Level Perendahan Diri dan Penihilan.
Sasaran ini adalah untuk segenap ummat manusia sebagaimana disebut Allah I dalam al-Qur'an, 'Aku tidak
menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.' Beribadah di sini berarti Ilmu Sempurna
(Ma`rifat)."
Langka 6
Mengenakan busana Syaikh:
3 tahap perjuangan yang berkesinambungan:
Memelihara Cintanya (Muhabbat),
Memelihara Kehadirannya (Hudur),
Melaksanakan Kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau Fana).
16. Kita memiliki cinta kepadanya, jadi kini kenakanlah Cahayanya dan
selanjutnya bayangkan segala sesuatunya dari titik (sudut) ini, dengan
busana yang kita kenakan itu. Ini adalah penopang hidup kita. Kamu tidak
boleh makan, minum, shalat, dzikir atau melakukan apapun tanpa
membayangkan bayangan Syaikh pada kita. Cinta ini akan menyatu dengan
Hadirat Ilahi, dan ini akan membuka pintu Penihilan ke dalam-Nya.
17. Semakin seseorang menjaga ingatan untuk mengenakan busana dengan
dia (Syaikh) semakin meningkatlah proses penihilan itu berlangsung.
Kemudian penuntun itu akan meninggalkan dirimu di hadirat Rasul Allah
Sayyidina Muhammad ?. Di mana sekali lagi kamu akan menjaga cinta kepada
Rasul ??(Muhabbat), menjaga Hadiratnya (Hudur). Laksanakan kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau
Fana).
18. Fana fi Syaikh ?, Rasulullah ?, Allah ?.

Penihilan Fana
19. Dalam keadaan spirit murid menyatu dengan spirit Syaikhnya, kemampuan Syaikh akan diaktifkan dalam
diri muridnya, karena itu Syaikh menikmati kedekatan Nabi ?. Dalam situasi ini, dalam istilah sufisme disebut
Penyatuan dengan Rasul ? (Fana fi Rasul). Ini adalah pernyataan Nabi ?, "Aku seorang manusia seperti kamu,
namun aku menerima wahyu'. Jika pernyataan ini dicermati, kita melihat bahwa kemuliaan Nabi ??terakhir ini
adalah bahwa beliau menerima wahyu dari Allah ?, yang mencerminkan Ilmu-ladduni, ilmu yang diilhamkan
langsung oleh Allah ?, Pandangan yang Indah dari Allah ??dan Cahaya Gemilang ke dalam hati Nabi ?.
20. Dalam keadaan 'Penyatuan dengan Nabi ?' seorang murid karena emosinya, kerinduannya dan cintanya
secara sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, berasimilasi dan mengenali ilmu Nabi Suci ?. Kemudian
datanglah saat paling berharga, saat yang ditunggu-tunggu, ketika ilmu dan pelajaran ditransfer dari Nabi
Suci ??kepadanya sesuai dengan kapasitasnya.
21. Murid itu menyerap karakter Nabi Suci ? sesuai dengan kemampuan dan
kapasitasnya dan karena kedekatannya dengan Nabi Suci ??dan dukungannya dia
dapat mencapai keadaan ketika dia mengenali Rabbil Alamin, ketika Dia
menguraikan dalam al-Quran, Ya, sesungguhnya Engkau adalah Rabbi! Kedekatan
ini, dalam sufisme disebut Penyatuan dengan Allah ?' (Fana fi-llah) atau singkatnya
wahdat. Setelah itu, jika seseorang dikaruniai dengan kemampuan, dia akan
membuat eksplorasi di daerah yang tentangnya cerita (narasi) tidak lagi memiliki
kata-kata untuk menjelaskannya, karena kepekaan dan kehalusan situasinya.
22. Menjadi sesuatu yang tidak ada, kendaraan sebening kristal untuk siapa pun
yang ingin mengisi keberadaanmu dari Allah swt. Malikul Mulk.
23. Dalam keadaan 'Penyatuan dengan Nabi Suci saw. seorang murid karena
emosinya, kerinduannya dan cintanya secara bertahap, langkah demi
langkah, berasimilasi dan mengenali ilmu dari Nabi Suci saw.
Tentang Martabat Tujuh
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacammacam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui
kearifan,
kecintaan
dan
tapa
brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu
faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Taala.
Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah ain dari segala sesuatu. Wujud
alam adalah ain wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya,
tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut
dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada

rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu
hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi
kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang
tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau
1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya
alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan
fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori
oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (-1629M). Di dalam karangannya,
kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan
manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah
bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan
segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau
penurunan di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu
faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal.
Allah Taala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid
Hidayat Jati menyatakan; Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui
tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Quran. Sebab dalam Islam tak
dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan
Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan
kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat
tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh terutama yang
dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam
perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran
tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat
Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa
Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat
Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an
telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah
bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan
empat aspek lahir. Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah
(kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan
dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam
Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam
(alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil
(bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa
Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Taala yang pertama adalah dalam alam
Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil
di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa
perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lataayyun, atau al-Ama
(tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam
terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), alDhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya
zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al Nat (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub
(gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
1.1 ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada
ada asma',belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas
menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di
tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan
jasmani.Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama
iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat
ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri
Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi KhodimPada masa ini tida sifat,tida
Asma dan tida Afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan
Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di
namakan KUNNAH ZAT.
1.2 ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah
mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu "La Tak Yin Sani" - sabit nyata yang pertama atau disebut juga
martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau
dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat
Wahdah yang terkandung ia pada ayat "Allahus Shomad" iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit

pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah
sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam
dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama
martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahirMaka
pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras'ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat
Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan
apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al
Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi
di samping telah zahir pada hakikinya.
1.3 ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka Empunya Diri kepada
Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As'ma yak ini pada martabat segala
Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di
namakan "Hakikat Insan."Martabat ini terkandung ia didalam "Lam yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa,
tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada
hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin.Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada
peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di
dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan "Ainul Sabithaah". Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia
Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi.Dinamakan juga martabat ini
wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan
Zat Allah Dan Ilmu Allah.Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin
iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.
1.4 ALAM ROH
Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk
satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam
Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan
Afa'alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela
dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini
dinamakan ia "Jisim Latiff" iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat
cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan
"KholidTullah."Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli
Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang
mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah
dalam Diri Manusia.
1.5 ALAM MISAL
Alam Misal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia
diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah S.W.T., terus menyatakan diriNya
melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa
iaitu dinamakan Alam Misal.Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia
Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan.Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan
peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana
proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.Diri
rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari
alam roh ke alam Bapa (misal).Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam surah AlIkhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi "DI", "Wadi", "Mani" yang
kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar
Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan "Maknikam" ketika
berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)Perlu diingat tubuh rahsia pada
masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan
belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.
1.6 ALAM AJSAM
Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka
berpindah pula diri rahsia ini melalui "Mani" Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.Pada
martabat ini dinamakan ia pada martabat "InssanulKamil" iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan
dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi "KamilulKamil". Iaitu menjadi satu pada zahirnya keduadua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya
martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan
"InnsanulKamil".Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Kuffuan" iaitu bersekutu dalam keadaan
"KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.Selepas cukup tempuhnya dan ketikanya
maka diri rahsia Allah yang menjadi "KamilulKamil" itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini
sampailah ia Martabat Alam Insan.
1.7 ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad" iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini,
maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan
Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini.Maka pada alam Insan ini dapatlah di
katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh
alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu
martabat.Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang
fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya
Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu

persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah lengah lagi.
Mantiq Al-Tayr (Musawarah burung) Tujuh Tahapan Menuju Hakikat
Mantiq Al-Tayr (Musyawarah Burung) merupakan karya yang paling fenomenal
dari Fariduddin Attar. Kitab itu berisi pengalaman spiritual yang pernah
dilaluinya untuk mencari makan dan hakikat hidup. Attar menuangkan
pengalamannya itu melalui sebuah cerita perjalanan sekawanan burung agar
lebih mudah dimengerti.
Dengan gaya bertutur, kitab itu mengisahkan perjalanan sekawanan burung
untuk mencari raja burung yang disebut sebagai Simurgh di puncak Gunung
Kaf yang agung. Sebelum menempuh perjalanan berkumpulah segala burung
di dunia untuk bermusyawarah. Tujuan mereka hanya satu yakni mencari raja.
Dalam perjalanan itu, para burung yang dipimpin oleh Hud-hud harus melalui
tujuh lembah.
Ribuan burung sedunia pun berangkat. Namun yang berhasil bertemu denga sang raja
hanyalah 30 ekor saja. Tujuh lembah yang dikisahkan dalam cerita itu melambangkan
tingkatan-tingkatan keruhanian yang telah dilalui Attar selama berkelana mencari hakikat
hidup.
Ketujuh lembah yang harus ditempuh untuk dapat bertemu dengan Sang Khalik itu adalah
lembah pencarian, lembah cinta, lembah keinsyafan, lembah kebebasan dan kelepasan,
lembah keesaan murni, lembah keheranan, lembah ketiadaan, dan keterampasan.
Lembah pencarian
Inilah lembah pertama yang harus dilalui seorang pencari dalam menjalani kehidupan
spiritualnya. Aneka ragam godaan duniawi akan menghampiri dan itu harus bisa
ditaklukkan. Para pencari diharuskan berjuang dengan gigih untuk mendapatkan cahaya ilahi yang
didambanya dengan menghilangkan hasrat-hasrat duniawinya. Hasrat duniawi ini jangan diartikan dengan
meninggalkan dunia sepenuhnya
Lembah Cinta
Setelah melalui lembah pertama, sang pencari harus menemukan cinta sejati dalam dirinya untuk dapat
menghalau tangan hitam akal yang menutupi ketajaman mata batin. Hanya dengan mata batinlah para
pencari kebenaran ini dapat melihat realita apa adanya. Mata hati tidak dapat dibohongi. Dalam
kecintaannya, seorang pencari haruslah memiliki kesudian untuk mengorbankan apa-apa darinya demi yang
diharapkannya yang dicintanya. Keikhlasan dalam berkurban menunjukkan seberapa besar cintanya pada
kekasihnya.
Lembah Kearifan
Dengan mata hati yang terbuka, seorang pencari dapat melihat jelas realita ciptaanNya. Dengan begitu
kearifan akan menyertai kehidupannya. Jalan makrifat dapat dilalui dengan cara tata cara ibadah yang
khusuk, dan latihan-latihan penempaan diri dalam. Tentu setelah melalui jalan cinta.
Lembah Kebebasan
Lembah ini merupakan tahapan yang harus dilalui para pencari yang sudah mampu menghilangkan nafsu
untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah atau dengan ikhtiar biasa. Dalam tingkatan ini kesibukan
seorang pencari akan fokus pada hal-hal yang utama dan hakiki. Dia melihat segala seakan biasa, tanpa ada
yang menakjubkan.
Lembah Keesaan Murni
Lembah keesaan murni sebuah lambang wujud, di mana dalam jagat raya ini hanya ada satu wujud yaitu
wujud Tuhan.
Lembah Ketakjuban
Di lembah ini sang pencari akan mengalami ketakjuban luar biasa karena semua menjadi serba terbalik.
Siang jadi malam, malam jadi siang, semuanya serba berubah.

Lembah ketiadaan
Inilah lembah terakhir dari sebuah pencarian. Ketika sampai pada level ini, sang pencari akan menemukan
dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya. Setelah tahap inipun sang
pencari akan menemukan simurgh yang tak lain adalah hakikat dirinya sendiri.
Attar Pewangi Para Penyair
Bait demi bait puisi sufistik yang dirangkainya begitu melegenda. Sosok dan karya sastra yang
ditorehkannya telah menjadi inspirasi bagi para pujangga di tanah Persia, salah satunya penyair termashur
sekelas Jalaluddin Rumi. Penyair sufi legendaris yang masih berpengaruh hingga abad ke-21 itu dikenal
dengan nama pena Fariduddin Attar, si penyebar wangi yang dalam bahasa Persia disebut Attar.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim. Jejak hidupnya tak terlalu banyak terungkap.
Syahdan, Attar terlahir di Nishapur, sebelah barat laut Persia. Ia dijuluki dengan nama Attar lantaran
profesinya sebagai seorang ahli farmasi. Attar adalah seorang anak ahli farmasi di kota Nishapur yang
terbilang cukup kaya.

Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan teosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi)
yang terletak di sekitar tempat suci Imam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku yang
ditulisnya Mosibat Nameh (Buku Penderitaan), pada saat remaja dia bekerja di toko obat atau apotek milik
sang ayah. Attar bertugas untuk meracik obat dan mengurus pasien.
Ia lalu mewarisi toko obat itu, setelah sang ayah wafat. Setiap hari Attar harus berhadapan dan melayani
pasien yang berasal dari kaum tak berpunya. Suatu hari seorang fakir berpakaian jubah singgah ke
apoteknya. Konon, si fakir itu lalu menangis begitu menghirup aroma wewangian yang menebar di apotek
milik Attar.
Menduga si fakir akan meminta-minta, Attar pun mencoba mengusirnya. Namun, si fakir berkukuh tak
mau pergi dari tempat usaha Attar. Lalu si fakir berkata pada Attar, ''Tak sulit bagiku untuk meninggalkan
apotekmu ini dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Yang melekat di badanku
hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu meninggalkan dunia
ini dengan harta yang kamu miliki.''
Sesaat setelah melontarkan kata-kata yang menghujam di hati Attar, si fakir itu lalu meninggal dunia di
depan kios obat. Pertemuannya dengan si fakir kemudian mengubah garis kehidupannya. Ia memutuskan
menutup kios obatnya dan memilih berkelana mencari guru-guru sufi. Yang dicarinya hanya satu, yakni
hakikat kehidupan.
Laiknya si fakir yang singgah di toko obatnya, Attar berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya untuk
bertemu dengan syekh - pemimpin tarekat sufi. Beberapa negeri yang disinggahinya antara lain, Ray, Kufah,
Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India. Di setiap syekh yang ditemuinya, Attar mempelajari tarekat dan
menjalani kehidupan di khaniqah (tempat-tempat berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual).
Setelah menemukan hakikat hidup yang dicarinya melalui sebuah perjalanan panjang, Attar memutuskan
kembali ke kota kelahirannya Nishapur dan membuka kembali toko obat yang sempat ditutupnya.
Pengalaman pencarian makna dan hakikat hidup yang dilakoninya itu dituangkan dalam Mantiq al-Tayr
(Musyawarah Burung). Sebuah karya yang fenomenal.
Di kota kelahirannya, Attar berupaya untuk menyebarkan ajaran sufi. Ia pun memberi sumbangan yang
amat besar pada dunia sufi dengan menuliskan kumpulan kisah para sufi sebelumnya dalam kitab Tadzkiratul
Awliya. Karya yang ditulisnya itu sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran Attar. Ia pun getol menulis
puisi-puisi sufi. Begitu banyak puisi yang berhasil dituliskan sang penyair sufi legendaris itu. Namun, ada
beragam versi mengenai jumlah pasti puisi yang dibuat sang penyair. Reza Gholikan Hedayat, misalnya,
menyebutkan jumlah buku puisi yang dihasilkan Attar mencapai 190 dan berisi 100 ribu sajak dua baris
(distich). Sedangkan Firdowsi Shahname menyebutkan jumlah puisi yang ditulis Attar mencapai 60 ribu bait.
Ada pula sumber yang menyebutkan jumlah buku puisi yang ditulis Attar mencapai 114 atau sama
dengan jumlah surat dalam Alquran. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi yang ditulis Attar
mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya Attar dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf atau sufistik yang menggambarkan
keseimbangan yang sempurna. Kategori pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur. Kedua, puisi-puisi
yang ditulisnya bertujuan untuk menyangkal kegiatan panteisme. Ketiga, puisi-puisi yang berisi sanjungan
terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Salah satu karya yang utama dari Attar berjudul Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya yang
terkenal dari Attar adalah Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh itu konon
dihadiahkan kepada Maulana Jalaludin Rumi ketika keluarganya tinggal di Nishapur dalam sebuah perjalanan
menuju Konya.
Syahdan, dalam pertemuan dengan Rumi yang saat itu masih kecil, Attar meramalkan bahwa Rumi akan
menjadi seorang tokoh besar dan terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar terbukti. Attar meninggal dunia
di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian dieksekusi oleh pasukan Tentara Mongol yang
melakukan invasi ke wilayah Nishapur pada 1221 M. Kisah kematian seorang Attar bercampur antara legenda
dan spekulasi.
Menurut sebuah cerita, Attar dipenjara oleh tentara Mongol. Lalu seseorang datang dan mencoba
menebusnya dengan ribuan batang perak. Namun, Attar menyarankan agar Mongol tak melepaskannya.
Tentara Mongol mengira penolakan itu dilakukan agar tebusan yang diberikan lebih besar. Setelah itu datang
lagi orang lain yang membawa sekarung jerami untuk menebus Attar. Kali ini Attar meminta agar Mongol
melepaskannya. Tentara Mongol pun marah besar dan lalu memotong kepala Attar.
Attar dimakamkan di Shadyakh. Makamnya yang megah dibangun Ali-Shir Nava'i pada abad ke-16. Sosok
Attar hingga kini masih tenar dan populer di Iran. Tak heran, bila makamnya banyak dikunjungi para peziarah.
Tujuh Mata Air
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa
Shahbihi ajma'iin
A`udzu billahi min asy-Syaythaanir-rajiim. Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Destuur ya sayyidi madad.
Nawaytul arba`iin, nawaytul itikaf, nawaytul khalwa, nawaytul `uzla, nawatul riyaadha, nawaytus suluk, fii
hadzal masjid lillahi ta`ala al-`azhiim.
Al-hal adalah kondisi rohaniah seseorang, yang menentukan sampai ke level mana ia akan diangkat dan
bagaimana ia mengalami (menangani?) inspirasi melalui hatinya. Sebagian besar, hal adalah hasil olah
amalnya.
Al-fayd adalah pancaran (emanasi) luar (yang nampak) atau pancaran cahaya surgawi yang dikirim
langsung oleh Allah SWT, yang turun kepada seseorang tanpa upaya atau interferensi orang tersebut.
Keduanya menimbulkan rasa yang berbeda dalam diri pribadi tadi.
Grandsyekh `Abdullah Fa`iz ad-Daghestani QS mengatakan bahwa karakteristik yang bermacam-macam
ini datang kepada seseorang dari tujuh mata air yang berbeda, masing-masing mengalir dari sumber yang
khas (unik). Kondisi yang beragam yang dialami seseorang dipengaruhi oleh jenis malaikat khusus yang
ditugasi Allah SWT untuk membantu mereka berproses dari level rohaniah satu ke level berikutnya.

Level mata air surgawi pertama di antara tujuh mata air itu diselenggarakan oleh malaikat yang
khusus diciptakan dan ditugaskan Allah SWT untuk mengilhami tindakan para hamba-Nya. Para malaikat ini
mengirimkan pikiran, ilham atau inspirasi dan kuasa, yang kesemuanya itu merubah seseorang yang secara
visual nampak. Para malaikat ini sesungguhnya memberi petunjuk kepadanya melalui inspirasi. Ia mengalami
perasaan lega, bahagia dan melayang, atau sesak karena gangguan atau distraksi dan ketidakbahagiaan.
Seseorang pada level (maqam) ini, kalau tidak dalam keadaan merasa lega, ya dalam keadaan merasa
sempit. Itu semua tergantung bagaimana hatinya mengolah inspirasi yang menggerakkannya melalui
keadaan (rasa) yang berbeda itu, kalau ia tidak tertawa, ya ia menangis, atau dalam keadaan bingung. Juga,
bagaimana hatinya mengolah inspirasi ini tergantung amalnya.
Jika ia melakukan kesalahan, ia mungkin menangis dan merasa jera (tobat). Jika ia melakukan kebaikan,
ia mungkin merasa bahagia atau sukacita (rida) bahwa Allah SWT rida kepadanya. Jika ia bersikap baik dalam
segala situasi dan keadaan, masya Allah, melakukan zikir, sukacita, menerima tajalli Allah SWT, ia akan
berada dalam keadaan melayang-layang (ekstasi), tersenyum, atau menangis karena cintanya kepada Allah
SWT atau karena rasa takut kepada-Nya.
Kesemua ragam rasa (situasi batin) ini diilhami oleh malaikat tadi, dan disebut sebagai hal: situasi batin
yang dialami oleh hamba Allah SWT. Segala sesuatu di dunia ini dijaga dan diawasi oleh malaikat yang telah
ditugaskan Allah SWT dengan kewajiban dan tanggung jawab khusus.
Mata air kedua yang mencapai hamba Allah SWT dilaksanakan oleh jenis malaikat yang lain lagi, yang
membuatnya menyadari apa saja yang telah dicapainya, agar maju ke level rohaniah yang lebih tinggi. Inilah
sebabnya mengapa kadang-kadang seseorang mendapati dirinya dalam keadaan buruk yang sangat ia sesali,
dan sekonyong-konyong keadaan itu menuju kepada keadaan yang kita sebut faraj, sebuah bukaan
(kesempatan) positif untuk mereka dalam kehidupan mereka, yang membawa mereka kepada kebahagiaan.
Jenis manusia yang menjadi diri kita bergantung pada amal kita, yang baik dan buruk; pada posisi baik
dan buruk yang kita ambil dalam hidup ini, dan pengaruh baik dan buruk yang kita miliki di sekitar kita. Ini
adalah dasar bagi ilmu psikologi (`amal al-nafs), yang mengungkapkan psikologi dan kepribadian seseorang.
Tetapi, ilmu seperti itu tidak dapat menentukan level rohaniah seseorang.
Sementara level pertama dan kedua diselenggarakan kepada masing-masing orang oleh malaikat, mata
air ketiga berbeda. Pada Hari Perjanjian, ketika semua hanyalah atom di Hadirat Ilahi, ketika Allah SWT
menciptakan jati diri Anda, rahasia Anda, dzat Anda, Dia juga menetapkan Anda dalam asuhan Mursyid Anda,
yang membimbing Anda melalui tataran jiwa Anda kepada peran yang ditakdirkan bagi Anda dalam hidup ini,
dan dalam cara-cara untuk meningkatkan diri Anda.
Mursyid ini tahu ilham apa yang dibawa para malaikat ke dalam hati Anda, membimbing Anda kepada
hasil yang terbaik, dan menyingkirkan kebimbangan Anda. Ketika fayd itu turun kepada Anda, Mursyid ini
menyalurkannya melalui suatu cara yang akan mengangkat diri Anda ke level rohaniah yang lebih tinggi.
Jadi, untuk kepentingan murid, Mursyid itu menyeimbangkan hal dan fayd, kondisi di dalam (rohaniah)
bersama-sama dengan kucuran (emanasi) surgawi. Meskipun terdapat ratusan Mursyid at-Tabarruk, Mursyid
at-Tazkiyyah, dan Mursyid at-Tasfiyya, dalam setiap abad hanya ada seorang Mursyid at-Tarbiyya: seseorang
yang membawa Bendera Irsyad(petunjuk).
Ia adalah sumber, mata air yang mengalir dari jantungnya ilmu. Ia menerima petunjuk langsung dari Nabi
SAW dan menyalurkannya kepada semua awliya lainnya. Sementara terdapat 124.000 awliya yang berbedabeda pada setiap saat, hanya ada satu pewaris Nabi SAW. Ia memiliki kemampuan dan izin untuk
mengangkat para awliya, dan (pada gilirannya) mereka ini dapat mengangkat kita semua.
Ketika Mursyid at-Tarbiyya meninggalkan dunia ini, ia menyerahkan warisan yang diterimanya dari Nabi
SAW kepada wali lainnya. Dengan cara ini, pada setiap saat hanya ada seorang Mursyid at-Tarbiyya di dunia
ini. Allah SWT memberikan izin kepada Nabi SAW--dan dari Nabi SAW kepada Mursyid itu-untuk memiliki
kontak dengan semua awliya, bahkan yang telah berada dalam hayyat al-Barzakh.
Untuk mengambil manfaat dari para awliya (dalam hayyat al-Barzakh), Mursyid at-Tarbiyya itu
mengidentifikasi kekuatan dan hal khas apa saja yang mereka miliki masing-masing, yang diambilnya dari
mereka dan menyalurkannya kepada Mursyid at-Tabarruk,Mursyid at-Tazkiyyah, Mursyid at-Tasfiyya, dan
kepada para pengikutnya.
Namun, hanya mereka yang telah mencapai level murid dalam Tarekat Naqsybandi, yang mencapai level
tertinggi dari bimbingan dan yang merupakan pencari pada jalan itu, dapat menuai keuntungan
dari Awliya Barzakh, dan bahkan itu pun, hanya melalui Mursyidnya.
Untuk betul-betul berkomunikasi dengan dan menyerap manfaat dari roh dalam kubur, seseorang harus
sudah menguasai egonya, dan sasaran satu-satunya haruslah Hadirat Ilahi. Orang khusus ini berada di bawah
bimbingan Mursyid at-Tazkiyya dan mereka telah mencapai sebuah keadaan keberadaan yang peka di dunia
ini.
Makhluk umum (awam) tidak dapat menyerap manfaat dari orang Barzakh karena mereka tidak memiliki
koneksi itu, dan karena itu tidak dapat menerima ilham atau bimbingan dari awliya yang telah pergi ke alam
berikutnya, yang tidak lagi menggunakan kekuatan fisik mereka.
Namun orang kebanyakan dapat menyerap manfaat dari awliya yang masih hidup, karena mereka
menyadari hidupnya melalui domain (wilayah) fisik. Sedemikian rupa, awliya hidup dapat mencapai mereka
(orang awam) pada kedua tataran fisik dan rohaniah.
Jika seseorang mencari jalan menuju Allah SWT dalam cara manapun dari empat puluh satu tarekat, dan
tidak mencapai level wali bertaraf tinggi, akan datang kepadanya perintah untuk menyelesaikan itikafnya itu
di alam kubur. Jangka waktu itikaf tersebut bervariasi dari empat puluh hari sampai lima atau tujuh tahun,
dan itu adalah 70.000 kali lebih sukar dibandingkan itikaf di dunia ini. Seseorang yang telah menyelesaikan
itikafnya di dunia ini dan yang telah mencapai keadaan keberadaan yang peka di sini di dunia ini,akan lebih
tinggi level rohaniahnya dibanding dengan mereka yang mencapainya saat dalam kubur.
Mata air ketiga datang kepada kita jika kita tetap mematuhi perintah Mursyid at-Tazkiyya, mengikuti
bimbingannya, mengikuti jejak langkah Sayyidina Muhammad SAW, melaksanakan awrad harian khusus yang
ditugaskan kepada kita, mempersembahkandzikrullah dan semua salat pada waktunya, menjalani
semua sunnah Nabi SAW. Ketika amalan dzahir (lahiriah) ini telah dicapai, hati kita mulai tergerak, seperti
seseorang yang bernapas cepat. Jantung bergetar dan murid tersengat api.

Pada tataran ini, mata air keempat mendatanginya dan ia mulai menerima barakah surgawi, karena ia
menerima
dari
malaikat
pada
mata
air
pertama
dan
kedua,
dariMursyid
at-Tazkiyya,
mengikuti awrad dan sunnah, mengakibatkan turunnya Rahmat Allah SWT kepadanya. Kini jantung mulai
tergetar, dan mata air kelima mendatanginya.
Setiap Kamis dan Senin, di dalam Majelis Awliya, setiap Mursyid secara rohaniah mempersembahkan
pengikutnya dan amal mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Para murid yang jantungnya tergetarkan
dibawa ke hadirat Nabi SAW, sementara Mursyid sekedar berkata, Ya Sayyidi, ini adalah muridku dari
umatmu. Ia mematuhi perintahmu dan mencari Shirat al-Mustaqiim, mengikuti jejak langkah para awliya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, Pertama mereka beriman, kemudian mereka ingkar (kufra),
kemudian mereka jatuh sempurna. Kufra di sini bukan masuk kepada keadaan kufr, tetapi lebih kepada arti
jatuh kepada dosa. Summa amanu di sini berarti bahwa ia mulai melakukan amal baik, dan kemudian
mengikuti jejak Setan, lalu jatuh sempurna. Ia adalah Muslim, namun masih jatuh kepada dosa. Pada titik
ini, Mursyid at-Tazkiyya berfokus mendalam kepada hati para pengikutnya, mempersiapkan mereka dan
membangun mereka agar mereka tidak jatuh kepada perbuatan mungkar.
Itulah sebabnya ia mempersembahkan mereka kepada Nabi SAW setiap Kamis dan Senin dalam Majelis
Awliya, di mana Nabi SAW memeriksa apa yang berhasil dilakukan masing-masing Mursyid terhadap diri
murid-murid mereka. Jadi jika Nabi SAW mengamati bahwa murid itu mengikuti sunnah-nya, menjalankan
cara-cara para awliya, beliau menjadi amat bahagia dan menerima amal murid itu dan mulai mengarahkan
pandangannya kepada murid itu.
Dari kebahagiaan Nabi SAW, fayd-suka cita Allah SWT, Barakah, Cahaya Ilahi-mulai sampai pada
murid itu. Itulah sebabnya Muslim mengatakan (dalam doa), Unzur Alayna Ya Rasulallah Ya Rasulallah SAW,
pandanglah kami, berilah kami sebuah pandangan, sebuah lirikan! Kami berada di bawah tajallimu, dengarlah permintaan kami, doa kami, karena kami memujimu, dan kami tenggelam dalam kesukaran
dan kami minta engkau mengangkatnya.
Bila Nabi SAW suka cita dengan murid Syaikh itu, beliau akan memandang orang itu, mengangkatnya,
dan barakah Allah SWT mendatangi murid itu. Ketika ia diangkat, jantung murid itu akan berdegup dalam
ekstasi, berputar, berputar-melayang-bentuk-spiral dalam cinta Allah SWT secara penuh.
Kemudian Allah SWT mengilhami murid itu untuk mencapai mata air keenam. Pada tataran ini, apabila
murid itu mulai membaca Al-Quran-kalimat Allah SWT yang berusia ribuan tahunAllah SWT menugaskan
sebuah tajalli untuk setiap huruf, kata dan ayat, yang secara diam-diam menuju sasarannya, yaitu hati
murid tersebut, di mana (tajalli) itu memberikan efek perubahan. Tanpa tajalli tersebut, tak ada perubahan.
Seseorang dapat saja membaca Al-Quran siang-malam, dan memberi penafsiran apa yang dibacanya
sesuai dengan pemahaman terbatasnya, mendapatkan hikmah darinya, dan bahkan menjadi tercerahkan.
Tetapi seseorang tidak dapat memiliki penglihatan (penampakan, visi) kecuali tajalli itu datang bersamaan
dengan bacaan, yang akan mendatangi Anda bila Nabi SAW bersuka cita kepada Anda, yang menyebabkan
Allah SWT membuka tajalli itu.
Setelah seseorang memasuki enam mata air dengan tataran yang berbeda ini, AllahSWT
memperkenankan mereka untuk mencapai mata air ketujuh, di mana Dia membuka rahasia jati diri
kelahiran mereka.
Mata Air Kesucian
Nabi SAW bersabda: Seorang bayi terlahir dalam kesucian (fitrah). Nabi SAW juga bersabda bahwa jika
pipa seorang hamba masih tersambung dengan asal-muasalnya, dengan sumber surgawinya, Allah SWT akan
membuka baginya Sumber Kesucian, fitrat al-Islam, mata air ketujuh.
Saluran ini adalah seperti pipa, air mengalir langsung dari sumber asalnya sampai ke ujung cabang pipa,
yang menyambungkan murid itu dengan alam al-arwah. Pipa itu masih tetap di sana.
Kebenaran khas kita datang dari esensi ( dzat) kita, atom yang diciptakan Allah SWT pada Hari
Perjanjian, hari alastu bi rabbikum qaalu bala, ketika Allah SWT bertanya kepada setiap diri kita, Bukankah
Aku Rabb-mu dan engkau adalah hamba-Ku? dan kita menjawab, Ya! Sejak saat itu, ibadullah, hamba
Allah SWT, telah berada dalam keadaan beribadah sampai roh mereka mencapai rahim ibu mereka. Sejak
hari itu setiap roh tetap berada dalam keadaan beribadah berkesinambungan, tanpa henti. Pada peristiwa
surgawi tersebut, Allah SWT menetapkan tugas bagi setiap roh, dan malaikat yang akan membantu mereka
dalam ibadah mereka.
Dalam keadaan peribadatan seperti itu, setiap roh terlibat dalam peribadatan murni
kepada Rabb mereka, tanpa syirik. Allah SWT boleh memilih untuk mengangkat siapapun dan
memberikan fayd-Nya pada mereka.
Dalam setiap saat, Allah SWT memakaikan hamba-Nya busana anwar al-nabi yang pertama kali
dipakaikan-Nya kepada Nabi SAW, dan dari Nabi SAW kepada para anbiya dan awliya, dan dari awliya kepada
orang-orang lainnya.
Persis sebagaimana Sayyidina Adam AS dipakaikan busana oleh Allah SWT di Surga, setiap saat Allah
SWT memakaikan busana pada hamba-Nya yang sedang berada di Hadirat Ilahi-Nya dengan
70.000 tajalli yang berbeda-beda.
Surga adalah keberadaan yang selalu hidup, di mana tidak terdapat sakit dan bahaya. Semua hamba
Allah SWT, semua roh, tinggal di Surga sebelum mereka dilahirkan ke dunia ini. Di sana Allah SWT
memahkotai semua orang dengan Keceriaan Ilahi, dan dengan Sifat al-Jamaal.
Mereka secara sempurna murni berada dalam keceriaan itu, dan dari kedalaman keadaan demikian itu
mereka menginginkan cinta dan keindahan yang puncak, yaitu dari busana Sifat al-Jamaal lillahi taala. Setiap
orang yang lahir ke dunia, awalnya lahir di Surga. Ketika saatnya tiba, ia muncul ke dunia melalui rahim
ibunya. Itulah sebabnya setiap bayi menangis ketika dilahirkan, oleh kesakitan dan kejutan akibat berpisah
dari Hadirat Suci. Pada saat kelahiran ke dunia ini, semua bayi memanjatkan doa, memohon kepada Allah
SWT agar membolehkan mereka untuk kembali ke tempat Hadirat Suci itu.
Beberapa bayi langsung meninggal begitu dilahirkan, karena Allah SWT menerima doa mereka dan
mengambil mereka kembali! Tidak satu pun bayi yang datang ke dunia dengan tertawa atau tersenyum;
mereka menangis! Hanya Nabi SAW yang tidak menangis ketika beliau datang ke dunia; beliau langsung
menyebutkan ummati ummati, Ummatku, ummatku, dan langsung bersujud (sajdah), memohon Allah SWT

untuk melindungi ummatnya. Sayyidina Isa AS juga tidak menangis ketika datang ke dunia; beliau
berkata,inni `abdullah! Aku adalah hamba Allah SWT!
Bayi menangis ketika dilahirkan, karena mereka takut bahwa sekarang mereka tergoda kepada dosa dan
tidak tahu harus berbuat apa. Nabi SAW berkata bahwa ketika seorang bayi terlahir, orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani atau seorang pemuja api (Zoroastrian), padahal
sesungguhnya ia sudah seorang Muslim, karena `ilm dan ibadah surgawi yang telah melekat padanya tidak
dapat digelapkan. Jadi, jika bayi itu datang ke dunia dan mulai menyimpang dari apa yang dipelajari
sebelumnya di Surga, ia menjadi terhijab dengan kekuatan surgawi. Jika orang tuanya tidak mengamati
(melaksanakan) tahap-tahap tuntunan ritual kemurnian dan peribadatan, jika mereka diperkenalkan kepada
perilaku buruk yang berbeda-beda, ia akan terhijab dari Kebenaran Ilahi.
Pada saat terlahir ia masih dapat melihat, ia masih memiliki kaitan secara samar-samar dengan Surga,
namun ketika ia telah terhijab dari penampakan itu, seluruhnya akan tertutup. Tetapi, dengan Rahmat-Nya,
Allah SWT mengawetkan (menyimpan) semua berkah dan cahaya yang terkait dengan ibadah bayi itu di
Surga! Jadi ketika ia mencapai usia dewasa, Allah SWT mengembalikan kepadanya manfaat dari semua
ibadahnya yang dilakukan di kehidupan rouhaniah di Hadirat Ilahi.
Boleh jadi orang itu berbuat dosa dan tobat, berdosa lagi dan bertobat lagi, tetapi ia masih memiliki
kredit ibadah yang dilakukan di alam sebelumnya itu. Itulah sebabnya jika seseorang dikembalikan kepada
hati mereka, mereka merasa bahagia. Kadang-kadang Anda merasa begitu bahagia dan Anda tidak
mengetahui apa sebabnya. Tidak ada alasan atau penjelasan, bahagia begitu saja. Anda merasa ringan,
tanpa masalah. Allah SWT tahu bahwa Anda adalah seorang hamba yang taat, dan Dia membuka lebih
banyak untuk Anda dari Hadirat Surgawi itu, yang mengisi hati Anda, maka Anda mendapati diri Anda berada
dalam keadaan puas. Tentang hal ini Allah SWT berfirman, ala bi dzikr-ullahi tatma-innul qulub, Dalam
mengingat Allah SWT, hati menemukan kepuasan, rileks!
Raga manusia adalah sebuah bentuk fisik yang tunduk kepada hukum fisik. Ia itu padat dan gaya tarik
bumi menariknya ke bawah, mengekangnya ke bumi. Jika kita menggunakan contoh sebuah silinder metal
yang diisi dengan gas helium, awalnya silinder itu berat. Namun, dengan mengganti isi silinder yang tadinya
metal dengan helium, silinder itu menjadi seperti balon yang diisi helium, yang akan mengangkatnya ke atas,
ke atmosfer. Ketika Allah SWT memulihkan semua zikir Anda yang dilakukan sebelumnya, itu akan mengisi
Anda seperti halnya sebuah balon helium, dan Anda akan merasa ringan. Ketika ibadah dan zikir Anda
sebelum ini mengisi penjara raga Anda dan Allah SWT melepaskan energi suci itu, itu akan menyeimbangkan
diri Anda antara kedua dunia dan membuat Anda merasa bahagia.
Dengan perintah Allah SWT kepada Nabi SAW, dan dari Nabi SAW kepada awliya yang bertanggung jawab
sebagai Mursyid at-Tarbiyya Anda, energi itu dilepaskan. Dia mengangkat Anda ke atas dan merubah sistem
Anda, membebaskan Anda secara sempurna dari segala macam depresi sehingga Anda merasa rileks. Anda
tersambung kembali dengan jati-diri Anda sebelumnya, yang karena (ulah) diri sendiri dan kegelapan dunia
ini, menyebabkan Anda tidak dapat melihatnya, dan Anda akan mulai melihat sesuatu, yang orang lain tidak
dapat melihatnya.
Mengikuti jejak Sayyidina Jalaluddin Rumi QS, Tarekat Mevlevi (Mawlawiyyah) mempraktikkan sebuah
bentuk gerak berputar yang mendorong mereka kepada keadaan santai (ekstasi), ketika Allah SWT
melepaskan energi suci itu kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW melepasnya kepada para awliya. Inilah yang
dialami oleh Sayyidina Jalaluddin Rumi QS. Ketika Anda ke atas, Anda tidak bergerak lurus--Anda berputar!
Ketika helikopter naik, baling-balingnya berputar, menimbulkan tenaga yang mengangkatnya lepas
landas. Pengikut Jalaluddin Rumi QS tidaklah sedang menari, melainkan berputar mengikuti energi yang
membawanya ke atas.
Kebenaran tentang putaran adalah seperti elektron berputar mengelilingi inti atom (nukleus). Ketika Allah
SWT melepaskan energi itu, Jalaluddin Rumi QS berputar mengelilingi jati diri (esensi)-nya, diri yang
sesungguhnya. Itu menghubungkan dirinya langsung kepada jati dirinya yang berada di Hadirat Ilahi (pada
masa Hari Perjanjian), dan beliau sangat terkejut dengan apa yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya.
Ketika Muslim melakukan ibadah hajji, kita melaksanakan thawaf seperti halnya elektron mengelilingi
nukleus, berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Ini membuat kita berputar, agar mengangkat kita ke
langit. Terdapat level thawaf spiritual yang lebih tinggi di atas semua orang. Para awliya
membuat thawaf secara spiritual lebih tinggi dari semua orang, dan malaikat membuat thawaf di atas
mereka, naik langsung sejauh menuju Baytul Mamur, sampai kepada `Arsy.
Segala sesuatu harus berputar mengelilingi jati dirinya. Jati diri atom terletak di nukleus. Elektron itu
mencerminkan energinya, bergerak mengelilingi pusat. Kita harus berputar mengelilingi jati diri kita. Jika kita
dapat mengungkapkan jati diri dan energi kita, dan membuat energi kita mengelilingi jati diri kita, pada saat
itu kita dapat mengangkat raga kita-seperti halnya gas yang dimasukkan ke dalam balon. Dalam tahap
seperti itu kita dapat terbang.
Ini adalah kekuatan ilmu mata air ketujuh: mata air kesucian dari Islam, yang dianugerahkan Allah
SWT kepada setiap orang.
Sebagai tambahan, Allah SWT menghadiahi orang beriman dengan semua manfaat yang diperoleh orang
tak beriman melalui cahaya spiritual dari Hari Perjanjian, sampai saat mereka (orang tak beriman tadi)
terlahir ke dunia.
Itulah sebabnya mengapa orang beriman terangkat naik begitu cepat. Sebagai contoh, jika kita katakan,
Ini terdapat 100 keping emas yang akan dibagi di antara mereka yang membutuhkannya. Jika seratus
orang memerlukan keping itu, setiap orang akan mendapat sekeping per orang. Jika hanya 10 orang yang
memerlukannya, masing-masing akan mendapat 10 keping, dan begitu seterusnya. Setiap orang yang
beriman dan taat kepada Allah SWT dan Nabi-Nya SAW, dan mengikuti pesan Ilahi dan Jalan (thariqat) Syekh
mereka, khususnya Mursyid at-Tarbiyya, ia akan mewarisi berkah yang besar sekali, yang dikaruniakan Allah
SWT kepada semuanya pada Hari Perjanjian, dan keuntungan (manfaat) ibadah semua orang tak beriman
sejak Hari itu sampai mereka datang ke dunia.
Selanjutnya, di masa kini, ketika korupsi begitu meluas, orang beriman mendapat lebih banyak lagi jatah
manfaat. Nabi SAW mengatakan, min ahiya sunnati inda fasadi ummati falahu ajrun sabiina syahiid aw miya
syahiid, Ketika semua orang meninggalkansunnah-ku, ketika korupsi melanda umatku, Allah SWT akan
menganugerahkan kepada mereka yang menghidupkan satu sunnah, hadiahnya adalah pahala tujuh puluh

atau seratus syuhada. Ini meliputi rakaat shalat sunnah, memakai cincin, memelihara jenggot,
menggunakan miswak, dan sunnah Nabi SAW yang mana saja.
Karena mereka ini tidak memenuhi janji mereka kepada Allah SWT untuk beriman dan beribadah
(menyembah) hanya kepada-Nya saja, Allah SWT telah memilih untuk menyerahkan manfaat ibadah
(persembahan) mereka waktu yang lalu itu kepada mereka yang memenuhi janji yang telah diucapkan pada
Hari Perjanjian tersebut. Itulah sebabnyaajr (pahala) menjadi meningkat pada hari-hari terakhir ini. Jadi ini
adalah ringkasan dari mata air ketujuh, yang dapat dicapai melalui putaran di sekitar jati diri Anda.
Ketika fayd mendatangi anda, anda akan mengalami setiap saat berada dalam keadaan ekstasi
berkesinambungan, yang tidak henti sampai pada hari Anda meninggalkan dunia ini. Anda akan mencapai
level di mana Allah SWT berfirman, mutu kabla anta mutu, Matilah (kuasai egomu) sebelum engkau mati.
Nabi SAW berkata, Jika engkau ingin melihat seseorang yang meninggal sebelum ia mati, lihatlah pada
Abu Bakar ash-Shiddiq RA. Itu artinya Sayyidina Abu Bakar RA mampu menguasai egonya dan musuh yang
empat--nafs, dunya, hawa, syaythan. Jadi ketika seseorang mengikuti jejak Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq
RA, itu akan membawanya kepada Jalan Sayyidina Muhammad SAW, yang menuju kepada keadaan ekstasi, di
mana ia berputar mengelilingi jati dirinya dalam kecepatan sangat tinggi yang menyebabkan mereka naik!
Apabila mereka naik, tak ada satu pun yang dapat menghentikan mereka untuk naik lebih tinggi lagi.
Seperti sebuah tornado: ia terus berputar sampai tidak terlihat lagi, karena ia terangkat dari bumi. Pada
level yang lebih tinggi ini, seseorang menciptakan sebuah lingkungan ideal yang tidak memiliki friksi, tiada
kegelapan, tiada nafsu buruk, tiada dosa, dan tiada dunia.
Dalam lingkungan demikian seseorang melanjutkan jalannya menuju Hadirat Ilahi yang Allah SWT ingin
mereka mencapainya. Itulah sebabnya awliya tidak mengejar dunia,karena bagi mereka, dunia tidak memiliki
nilai. Mereka sibuk dengan kesuka-citaan surgawi, keadaan ekstasi berkesinambungan yang selalu meningkat
setiap saat, yang dalam lingkungan mereka mengecilkan dunia menjadi nihil.
Banyak pihak yang mencela para darwis (sebutan untuk para pengikut Jalaluddin Rumi QS) yang duduk di
sudut membaca dzikr-ullah, karena mereka itu tidak tahu kebahagiaan macam apa yang dialami para darwis
ini! Jika satu berkas kecil cahaya saja yang terbuka dari Cahaya Ilahi yang menyinari para darwis, itu akan
menenggelamkan seluruh isi dunia ke dalam ekstasi itu.
Jadi buat apa para darwis itu mau meninggalkan ekstasi itu untuk dunia? Sasaran setiap mukmin dan
Muslim adalah berbuat amal baik, sehingga ketika ia berhadapan dengan Rabb-nya di Hari Pengadilan, Allah
SWT rida dengannya. Para darwis ini sudah mencapai level itu! Semoga Allah SWT mengampuni kita, dan
menolong kita untuk mengerti Jalan para Awliya.
Janganlah terpenjara di dalam diri Anda sendiri, terbelenggu pada ego Anda dan empat musuh itu--nafs,
dunya, hawa, syaythan-jadilah manusia bebas! Jika tidak, Anda akan menjadi pecundang pada Hari
Pengadilan. Janganlah meminta untuk menjadi yatim! Dalam seluruh kehidupan mereka, yatim
mengalami nar al-hasra, api yang membakar dari dalam, yang disebabkan oleh sebuah kehilangan sesuatu
yang sangat berharga.
Janganlah kehilangan ayah pertama Anda, yaitu Mursyid Anda! Jangan menjadi seorang yatim tanpa
seorang Mursyid! Temukan pembimbing Anda! Temukan Mursyid at-Tarbiyya, yang dapat mengangkat Anda.
Jangan membuat kesalahan dengan berpikir bahwa Anda tidak memerlukan seorang pun, bahwa Anda dapat
melanjutkan jalan langsung tanpa seorang pembimbing.
Pertahankan ayah spiritual yang membimbing Anda menuju Allah SWT. Mursyid at-Tarbiyya akan
membuat Anda bahagia di kehidupan ini dan di Akhirat, menarik Anda ke level Ilahiah Anda melalui
bimbingannya.
Jika Anda mengikuti petunjuknya, Anda akan menarik (menyedot) fayd al-ilahi,pengejawantahan berkah
Allah SWT.
Wa min Allah at-Tawfiq.
Dan kesuksesan adalah dengan (bersama) Allah SWT.
Bihurmat al habiib wa bi hurmat al-Faatiha.
Demi kehormatan yang terkasih dan demi kemuliaan Surat al-Fatiha.

Melihat Allah
Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan Al-Qur'an. Melihat
berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada tiga. Mata kepala, mata analisa
fikiran, mata hati.
Dalam konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah", maka
ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin melihat Allah. "Musa as
berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab,
"Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).
Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah
sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)
Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku
bebas dari kemusyrikan kamu padaKu, melalui selain Dia."
Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh
kepatuhan." (Al-An'aam 79)
Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak
bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ashShiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata
Ilahi saja kita bisa MelihatNya.
Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah SWT
untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu
Athaillah menggambarkan secara bijak:
"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu
siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan
sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh
mendung-mendung duniawi semesta."
Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang
menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena
jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.
Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan
kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata
"Seakan-akan"
lebih
dekat
sebagai
bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda, "Jika kamu
tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak menyabdakan, "Seakan-akan
melihatmu.".
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya,
adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT
melihat
kita
terus
menerus,
menimbulkan
pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.
Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang
berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada
yang
menyadari
dalam
pandangan
tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian
turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.
Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau
bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti
bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."
Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya
akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan
berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia
jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon
pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.
Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul
Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah,
Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."
Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang
harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan
dengan fikiran:
Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat,
lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa
dari segala yang ada bersamaNya.
Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit
dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan
hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk melihat selainNya, dan
tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh
tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta
dan
kemesraan
agung,
lalu
disanalah
Allah
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."
Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan
menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasiarahasiaNya
bertumpuan.
Inilah
yang

disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog
dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."
Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi
maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya
kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul
rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A'lam.
Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tenteram dan tinggal. Renungkan
semua ini dengan hati yang suci. sumber :
ttp://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=202

Ma'rifatullah
Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam
shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang
tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri
hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para
penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk
memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk
orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah
ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan
keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".
Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh
karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan
adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau
amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan
oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang
ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau
ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari
shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum),
karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail,
atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan
maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga
yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah,
seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Caracara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan
memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".
Penciptaan Nur Muhammad SAW
Suatu hari Sayyidina Ali, karam Allahu wajhahu,misan dan menantu Nabi Suci
SAW bertanya, Wahai Muhammad SAW, kedua orang tuaku akan menjadi
jaminanku, mohon ceritakanlah padaku apa yang diciptakan Allah SWT
sebelum semua makhluk diciptakan?
Berikut ini adalah jawaban beliau yang indah:
Sesungguhnya, sebelum Rabb-mu menciptakan yang lainnya, Dia
menciptakan Nur Nabimu
Dari Nur-Nya, dan Nur itu diistirahatkan haithu masyaAllah, di mana
Allah SWT menghendakinya untuk beristirahat. Dan pada waktu itu tidak ada
hal lainnya yang hadir tidak ada Lawhul Mahfuzh, tidak ada Qalam, Surga
maupun Neraka, tidak ada MalaikatMuqarrabin (Angelic Host), tidak ada langit
maupun bumi; tiada matahari, tiada rembulan, tiada bintang, tiada jin,
manusia ataupun malaikat belum ada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Kemudian Allah SWT, Subhanallah, dengan Iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Dia
kemudian membagi Nur ini menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan Qalam, dari
bagian kedua Lawhul Mahfuzh, dari bagian ketiga Arsy.
Kini telah diketahui bahwa ketika Allah SWT menciptakan Lawhul Mahfuzh danQalam, pada Qalam itu
terdapat seratus simpul, jarak antara kedua simpul adalah sejauh dua tahun perjalanan. Allah SWT kemudian
memerintahkan Qalam untuk menulis, danQalam bertanya, Ya Allah, apa yang harus kutulis? Allah SWT
berkata, Tulislah: laa ilaha illAllah 70.000 tahun, dan Muhammadan Rasulullah 70.000 tahun. Terhadap
hal itu Qalam berseru, Oh, sungguh sebuah nama yang indah dan agung - Muhammad SAW- bahwa dia
disebut bersama Asma-Mu yang Suci, yaa Allah.
Allah SWT kemudian berkata, Wahai Qalam, jagalah kelakuanmu! Nama ini adalah nama Kekasih-Ku,
dari Nurnya Aku menciptakan Arsy, Qalam dan Lawhul Mahfuzh; jadi engkau juga diciptakan dari Nurnya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apapun.

Ketika Allah SWT telah mengucapkan kalimat tersebut, Qalam itu terbelah dua karena takutnya
terhadap Allah SWT, dan tempat dari mana ucapannya tadi keluar menjadi tertutup/terhalangi dan hingga
kini ujungnya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak lagi menulis, sebagai tanda dari rahasia
ilahiah yang agung. Oleh sebab itu, jangan sampai ada satu orang pun yang gagal dalam memuliakan dan
menghormati Nabi Suci SAW, atau menjadi lalai dalam mengikuti suri teladan beliau yang baik, atau
membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita. (Inilah rahasia lam alif)
Dan ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti sebelum aku sampai pada
pertemuan dua sungai atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun."
[Al-Kahfi, 18:60]
Kemudian Allah SWT memerintahkan Qalam untuk menulis. Apa yang harus aku tulis, Ya Allah?
tanya Qalam. Kemudian Rabbal `Alamin berkata, Tulislah semua yang akan terjadi sampai Hari
Pengadilan! Qalam berkata, Ya Allah, dari mana aku harus memulai? Allah SWT berfirman, Kamu harus
memulai dengan kata-kata ini, Bismillah al-Rahmaan al-Rahiim. Dengan rasa hormat dan takut yang
sempurna, kemudian Qalambersiap untuk menulis kata-kata itu pada Lawhul Mahfuzh, dan dia
menyelesaikan tulisan itu dalam waktu 700 tahun.
Ketika Qalam telah menulis kata-kata itu, Allah SWT berbicara dan berkata, Engkau telah memakan
waktu 700 tahun untuk menulis tiga Nama-Ku; Nama Keagungan-Ku, Kasih Sayang-Ku dan Empati-Ku. Tiga
kata-kata yang penuh berkah ini Aku buat sebagai hadiah bagi umat Kekasih-Ku Muhammad SAW.
Dengan Keagungan-Ku, Aku berjanji bahwa bilamana hamba mana pun dari umat ini menyebutkan
kata Bismillaah dengan niat yang murni, Aku akan menulis 700 tahun pahala yang tak terhitung untuknya,
dan 700 tahun dosa akan Ku hapuskan.
Kemudian bagian keempat dari Nur itu, Aku bagi lagi menjadi empat bagian:
Dari bagian yang pertama Aku ciptakan Malaikat Penyangga Arsy (hamalat al-`Arsy);
Dari bagian kedua Aku telah ciptakan Kursi, majelis Ilahiah (Langit atas yang menyangga Singgasana
Ilahiah, `Arsy);
Dari bagian ketiga Aku ciptakan seluruh malaikat langit lainnya;
Dan bagian keempat Aku bagi lagi menjadi empat bagian:
dari bagian pertama, Aku membuat semua langit;
dari bagian kedua, Aku membuat bumi-bumi;
dari bagian ketiga, Aku membuat Jin dan api.
Bagian keempatnya Aku bagi lagi menjadi empat bagian:
dari bagian pertama, Aku membuat cahaya yang menyoroti muka kaum beriman;
dari bagian kedua Aku membuat cahaya di dalam hati mereka, merendamnya dengan ilmu ilahiah;
dari bagian ketiga, Ku-ciptakan cahaya bagi lidah mereka yang adalah cahaya Tawhid (Hu Allahu Ahad);
dan dari bagian keempat, Aku membuat berbagai cahaya dari ruh Muhammad SAW.
Ruh yang cantik ini diciptakan 360.000 tahun sebelum penciptaan dunia ini.
Ruh itu dibentuk dengan sangat cantik dan dibuat dari bahan yang tak terbandingkan.
Kepalanya dibuat dari petunjuk, lehernya dibuat dari kerendahan hati.
Matanya dari kesederhanaan dan kejujuran, dahinya dari kedekatan (kepada Allah SWT).
Mulutnya dari kesabaran, lidahnya dari kesungguhan.
Pipinya dari cinta dan kehati-hatian,
Perutnya dari tirakat terhadap makanan dan hal-hal keduniaan.
Kaki dan lututnya dari mengikuti jalan lurus.
Hatinya yang mulia dipenuhi dengan rahman.
Ruh yang penuh kemuliaan ini diajari dengan rahmat dan dilengkapi dengan adab semua kekuatan yang
indah. Kepadanya diberikan risalah-Nya dan kualitas kenabiannya dipasang.
Kemudian Mahkota Kedekatan Ilahiah dipasangkan pada kepalanya yang penuh berkah, masyhur dan tinggi
di atas semua lainnya, didekorasi dengan Rida Ilahiah dan diberi namaHabibullah (Kekasih Allah SWT) yang
murni dan suci.
Dua belas Hijab
Allah SWT menghiasi Nur Muhammad SAW
{Basmalah=786, 7+8+6=21, 12 adalah bayangan cermin dari 21, 12 Bulan, 12 Rabiul Awal, 12 suku, 12
menunjukkan Penuntasan}
Sesudah itu Allah SWT menciptakan dua belas hijab.
Pertama adalah Hijab Kekuatan di mana Ruh Nabi SAW bermukim (tinggal) selama 12.000 tahun,
membaca Subhana rabbi al-ala (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Tinggi).
Kedua adalah Hijab Kebesaran di mana dia ditutupi selama 11.000 tahun, mengucapkan,Subhanal Alim
ul-Hakim (Maha Suci Rabb-ku, Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana).
Dia dipingit selama 10.000 tahun dalam Hijab Kebaikan, mengucapkan Subhana man huwa daim, la
yaqta (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Abadi, Yang Tidak Berakhir).

Hijab keempat adalah Hijab Rahmat, di situ ruh mulia itu tinggal selama 9.000 tahun, memuja Allah SWT
dengan mengucapkan, Subhana-rafi-al-`ala (Maha Suci Rabb-ku Yang Ditinggikan, Maha Tinggi).
Hijab kelima adalah Hijab Nikmat, dan di situ ruh tinggal selama 8.000 tahun, mengagungkan Allah SWT
dengan mengucapkan, Subhana man huwa qaimun la yanam.(Maha Suci Rabb-ku Yang Selalu Ada, Yang
Tidak Tidur).
Hijab keenam adalah Hijab Kemurahan; di mana dia tinggal selama 7.000 tahun, memuja,Subhana-man
huwal-ghaniyu la yafqaru (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Kaya, Yang Tidak Pernah Menjadi Miskin).
Kemudian diikuti hijab ketujuh, Hijab Kedudukan. Di sini ruh yang tercerahkan itu tinggal selama 6.000
tahun, memuja Allah SWT dengan mengucapkan, Subhana man huwal Khaliq-an-Nur (Maha Suci Rabb-ku
Maha Pencipta, Sang Cahaya).
Berikutnya, Dia menyelimutinya dengan hijab kedelapan, Hijab Petunjuk di mana dia tinggal selama 5.000
tahun, memuja Allah SWT dan berkata, Subhana man lam yazil wa la yazal. (Maha Suci Rabb-ku Yang
Keberadaan-Nya Tak Pernah Berhenti, Yang Tidak Musnah).
Kemudian diikuti hijab kesembilan, yaitu Hijab Kenabian di mana dia tinggal selama 4.000 tahun,
mengagungkan Allah SWT dengan mengucapkan, Subhana man taqarrab bil-qudrati wal-baqa. (Maha
Suci Rabb-ku yang Mengajak Dekat dengan Maha Kuat dan Maha Langgeng).
Kemudian datang Hijab Keunggulan, hijab kesepuluh di mana ruh yang tercerahkan ini tinggal selama
3.000 tahun, membaca puji-pujian untuk Pencipta dari Semua Sebab, mengucapkan, Subhana dzil-arsyi
amma yasifun. (Maha Suci Rabb-ku Pemilik Singgasana Di atas Semua Karakter Yang Dilekatkan KepadaNya).
Hijab kesebelas adalah Hijab Cahaya. Di sana dia tinggal selama 2.000 tahun, berdo`a,Subhana dzil-Mulk
wal-Malakut. (Maha Suci Rabb-ku Maha Raja semua Kerajaan Langit dan Bumi).
Hijab kedua belas adalah Hijab Perantaraan (Syafaat), dan di sana dia tinggal selama 1.000 tahun,
mengucapkan, Subhana-rabbi al-azhim (Maha Suci Rabb-ku, Maha Anggun).
Penciptaan AHMAD SAW Tercinta
Setelah itu Allah SWT menciptakan sebuah pohon yang dikenal sebagai Pohon Kepastian.
Pohon ini memiliki empat cabang. Dia menempatkan ruh yang diberkahi tadi pada salah satu cabang, dan
dia terus menerus memuja Allah SWT selama 40.000 tahun, mengucapkan, Allahu dzul-Jalaali walIkram. (Allah SWT, Pemilik Keperkasaan dan Kebaikan).
Setelah dia memuja-Nya dengan cara demikian itu, dengan pepujian yang banyak dan beragam, Allah SWT
menciptakan sebuah cermin, dan Dia meletakannya sedemikian hingga menghadap ruh Habibullah {Rahasia
Nomor 11}, dan memerintahkan ruh tersebut untuk memandangi cermin itu.
Ruh itu melihat ke dalam cermin dan melihat dirinya terpantul sebagai pemilik bentuk yang paling cantik,
indah dan sempurna.
Dia kemudian membaca lima kali, Syukran lillahi taala (terima kasih kepada Allah SWT, Maha Tinggi Dia),
dan tersungkur dalam posisi sujud di hadapan Rabb-nya. Dia tetap bersujud seperti itu selama 100 tahun,
mengucapkan Subhanal-aliyyul-azhim, wa la yajhalu. (Maha Suci Rabb-ku Maha Tinggi, Maha Anggun, Yang
Tidak Mengabaikan Apapun); Subhanal-halim alladzi la yuajjalu. (Maha Suci Rabb-ku Maha Toleran, Yang
Tidak Tergesa-gesa); Subhanal-jawad alladzi la yabkhalu. (Maha Suci Rabb-ku Maha Pemurah Yang Tidak
Pelit).
Karena itulah Penyebab (adanya) makhluk mewajibkan umat Muhammad SAW untuk melakukan sujud (sajda)
lima kali dalam sehari lima shalat - dalam kurun waktu siang hingga malam. Ini adalah sebuah hadiah
kehormatan bagi umat Muhammad SAW.
Dari Nur Muhammad SAW
Berikutnya Allah SWT menciptakan sebuah lampu jamrud hijau dari Cahaya,
dan dilekatkan pada pohon tadi, melalui seuntai rantai cahaya.
Kemudian Dia menempatkan ruh Muhammad SAW di dalam lampu itu dan memerintahkannya untuk memuja
Dia dengan Nama Paling Indah (Asma al-Husna).
Perintah itu dilakukannya, dan dia mulai membaca setiap satu dari Nama itu selama 1.000 tahun. Ketika dia
sampai kepada Nama ar-Rahman (Maha Kasih), pandangan ar-Rahmanjatuh kepadanya dan ruh itu mulai
berkeringat karena kerendahan hatinya.
Tetesan keringat jatuh dari dirinya, setiap tetes beraroma mawar berubah menjadi ruh seorang nabi menjadi
nabi dan rasul.
Mereka semua berkumpul di sekitar lampu di pohon itu, dan Allah Azza wa Jalla berkata kepada Nabi
Muhammad SAW, Lihatlah! Ini sejumlah besar nabi yang Aku ciptakan daritetesan keringatmu yang
menyerupai mutiara.
Mematuhi perintah itu, dia memandangi mereka, dan ketika cahaya mata itu menyentuh/menyinari objek
tersebut, maka ruh para nabi itu sekonyong-konyong tenggelam dalam Nur Muhammad SAW, dan mereka
berteriak, Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?
Allah SWT menjawab mereka, Ini adalah Cahaya dari Muhammad SAW Kekasih-Ku, dan jika kalian akan
beriman kepadanya dan menegaskan risalah kenabiannya, Aku akan menghadiahkan kepada kalian
kehormatan berupa kenabian.

Dengan itu, semua ruh para nabi itu menyatakan iman mereka kepada kenabiannya, dan Allah SWT berkata,
Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini, dan mereka semua setuju. Sebagaimana disebutkan di
dalam al Quran yang Suci:
Dan ketika Allah SWT bersepakat dengan para nabi itu : Bahwa Aku telah memberi kamu Kitab dan
Kebijakan; kemudian akan datang kepadamu seorang Rasul yang menegaskan kembali apa-apa yang telah
apa padamukamu akan beriman kepadanya dan kamu akan membantunya; apa kamu setuju? Dia berkata.
Dan apakah kamu menerima beban-Ku kepadamu dengan syarat seperti itu. Mereka berkata, Benar kami
setuju. Allah SWT berkata, Bersaksilah demikian, dan Aku akan bersama kamu di antara para saksi.
[Ali Imran, 3:81]
Kemudian ruh yang murni dan suci itu kembali melanjutkan bacaan Asma ul-Husna lagi.
Ketika dia sampai kepada Nama al-Qahhar, kepalanya mulai berkeringat sekali lagi karena intensitas
dari al- Qahhar itu, dan dari butiran keringat itu Allah SWT menciptakan ruh para malaikat yang
diberkati.
Dari keringat pada mukanya, Allah SWT menciptakan Singgasana dan Hadirat Ilahiah, Kitab Induk dan
Qalam, matahari, rembulan dan bintang -bintang.
Dari keringat di dadanya, Dia menciptakan para ulama, para syuhada dan para mutaqin.
Dari keringat pada punggungnya dibuatlah Bayt-al-Mamur (rumah surgawi), Kabatullah(Kabah), dan Bayt-alMuqaddas (Haram Jerusalem), dan Rawdha-i-Mutahharah (kuburan Nabi Suci SAW di Madinah), begitu juga
semua mesjid di dunia ini.
Dari keringat pada alisnya dibuat semua ruh kaum beriman, dan dari keringat punggung bagian bawahnya
(sulbi, coccyx) dibuatlah semua ruh kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung.
Dari keringat di kakinya dibuatlah semua tanah dari timur ke barat, dan apa-apa yang berada di dalamnya.
Dari setiap tetes keringat itulah ruh orang beriman atau tak-beriman dibuatnya. Itulah sebabnya Nabi Suci
SAW disebut juga sebagai Abu Arwah, Ayah para Ruh. Semua ruh ini berkumpul mengelilingi ruh
Muhammad SAW, berputar mengelilinginya dengan puji-pujian dan pengagungan selama 1.000
tahun; kemudian Allah SWT memerintahkan ruh-ruh itu untuk memandang ruh Muhammad SAW. Ruh-ruh
tersebut mematuhinya.
Siapa Memandang kepada Ruh Muhammad SAW
Nah, di antara mereka yang pandangannya jatuh pada kepalanya ditakdirkan menjadi raja dan kepala negara
di dunia ini. Mereka yang memandang pada dahinya menjadi pemimpin yang adil. Mereka yang memandang
matanya akan menjadi hafiz Kalimat Allah SWT (yaitu seorang yang memegangnya ke dalam ingatannya).
Mereka yang memandang alisnya akan menjadi pelukis dan artis. Mereka yang memandang telinganya akan
menjadi orang yang menerima peringatan dan nasihat. Mereka yang melihat pipinya yang penuh berkah
menjadi pelaksana karya yang bagus dan pantas. Mereka yang melihat mukanya menjadi hakim dan
pembuat wewangian, dan mereka yang melihat bibirnya yang penuh berkah menjadi menteri.
Barang siapa melihat mulutnya akan menjadi orang yang banyak berpuasa. Barangsiapa yang melihat
giginya akan menjadi kelihatan bagus/cantik, dan siapa yang melihat lidahnya akan menjadi utusan/duta
raja-raja. Barang siapa melihat tenggorokannya yang penuh berkah akan menjadi khatib dan muadzin (yang
mengumandangkan adzan). Barang siapa memandang janggutnya akan menjadi pejuang di jalan Allah SWT.
Barang siapa memandang lengan atasnya akan menjadi seorang pemanah atau pengemudi kapal laut, dan
barang siapa melihat lehernya akan menjadi usahawan dan pedagang.
Siapa yang melihat tangan kananya akan menjadi seorang pemimpin, dan siapa yang melihat tangan kirinya
akan menjadi seorang pembagi (yang menguasai timbangan dan mengukur catu kebutuhan hidup). Siapa
yang melihat telapak tangannya menjadi seorang yang gemar memberi; siapa yang melihat belakang
tangannya akan menjadi kolektor. Siapa yang melihat bagian dalam dari tangan kanannya menjadi seorang
pelukis; siapa yang melihat ujung jari tangan kanannya akan menjadi seorang kaligrafer, dan siapa yang
melihat ujung jari tangan kirinya akan menjadi seorang pandai besi.
Siapa yang melihat dadanya yang penuh berkah akan menjadi seorang terpelajar, meninggalkan keduniaan
(zuhud) dan berilmu. Siapa yang melihat punggungnya akan menjadi seorang yang rendah hati dan patuh
pada hukum syariat. Siapa yang melihat sisi badanya yang penuh berkah akan menjadi seorang pejuang.
Siapa yang melihat perutnya akan menjadi orang yang puas, dan siapa yang melihat lutut kanannya akan
menjadi orang yang melaksanakan ruku dan sujud. Siapa yang melihat kakinya yang penuh berkah akan
menjadi seorang pemburu, dan siapa yang melihat telapak kakinya menjadi orang yang suka bepergian.
Siapa yang melihat bayangannya akan mejadi penyanyi dan pemain saz(lute). Semua yang memandang
tetapi tidak melihat apa-apa akan menjadi kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung. Mereka yang
tidak memandang sama sekali akan menjadi orang akan menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan, seperti
Namrud, Firaun dan sejenisnya.
Kini semua ruh itu diatur dalam empat baris.
Di baris pertama berdiri ruh para nabi dan rasul;
Di baris kedua ditempatkan ruh para orang suci, para sahabat Allah SWT;
Di baris ketiga berdiri ruh kaum beriman, laki-laki dan perempuan;
Di baris keempat berdiri ruh kaum tak-beriman.

Semua ruh ini tetap berada dalam dunia ruh di Hadirat Allah SWT sampai waktu mereka tiba untuk dikirim ke
dunia fisik.
Tidak seorang pun tahu kecuali Allah SWT yang tahu berapa selang waktu dari waktu diciptakannya ruh
penuh berkah Nabi Muhammad SAW sampai diturunkannya dia dari dunia ruh ke bentuk fisiknya itu.
Diceritakan bahwa Nabi Suci Muhammad SAW bertanya kepada Malaikat Jibril AS, Berapa lama sejak engkau
diciptakan?
Malaikat itu menjawab, Ya Rasulullah, aku tidak mengetahui jumlah tahunnya, yang aku tahu bahwa setiap
70.000 tahun seberkas cahaya gilang gemilang menyorot keluar dari belakang kubah Singgasana Ilahiah;
sejak waktu saya diciptakan cahaya ini muncul 12.000 kali.
Apakah engkau tahu apakah cahaya itu? tanya Muhammad SAW.
Tidak, aku tidak tahu, malaikat itu berkata. Itu adalah Nur ruhku dalam dunia ruh, jawab Nabi Suci SAW.
Pertimbangkanlah kemudian, berapa besar jumlah itu, jika 70.000 dikalikan 12.000!
http://nurmuhammad.com/NurNabi/creationlightofmuhammad.htm
(alih bahasa: Eyang Sutono)
Eksistensi Ruh dalam Tinjauan Ulama Islam
Pendahuluan
Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian
manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna
kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1
Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni,
gumpalan tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam perspektif sistem
nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh,
manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.2
Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat
diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke
dalam bunga, tidal larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh
mampu menerimanya. Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam (teolog,
filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba
mengupas dan mengulitinya guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.
Pembahasan
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.

Kata untuk ruh

Kata ( rih) yang berarti angin

Kata ( rawh) yang berarti rahmat.


Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan
rahmat.3 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani,
maka dalam bahasa Arab kalimat *
Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin. 4
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an
dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap
hidup atau seperti yang dikatakan al-Farra' [5]
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh
akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:
1. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan alQadr 4. ( , , )
2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22.
3. Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.6 .
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn
Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs
merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.7
Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa pendapat 'ulama Islam yang berusaha menjelaskan
pengertian, kedudukan dan hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan rentang urutan
hidup mereka:
Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena
dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan
kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu
spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal
bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika
aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku 8 dengan mediasi alat-alat tertentu yang
ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu

1.

Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek
melahirkan, tumbuh dan makan.
2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini
sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta
menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.9
3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang
dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang
bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat
universal.10
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan,
minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi
mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan
perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. 11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs alnatiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah
masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang
berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya alGhazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs alnatiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang
halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan
penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi
sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat
yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling
mempengaruhi.13 Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu
tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek
jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah
yanmg dinamakan manusia.
Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)
Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh
hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh
perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan
inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.14
Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja
dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium
dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain,
tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti
seperangkat alat".15

1.
2.
3.
4.
5.

Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)


Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula
dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang
bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan
ketika kematian datang.
Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur
badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah
yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur
disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena
sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan
kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.17
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas
diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang
memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya. 18
Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh
di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad.
Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan
(nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".19
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara alnafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga
melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan
terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan
keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia

mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs almutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.20
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa)
adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada
di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan
mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam
keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan
tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat
berupa rasa, gerak dan keinginan.21
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs
mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada
yang dikalahkan oleh nafs ammarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah:
Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ... (QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa
lawwamah (QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya
jiwa
itu
benar-benar
menyuruh
kepada
keburukan
(nafs
ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan
dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang)
karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan
kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu
keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara
bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena
orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.22
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang
menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim
dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.
Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh
ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:
1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan
keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan,
tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada
makanan, minuman dan seks.23
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri
sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa. 24

Filosof Lain
Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan
bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang
lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi
pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan
hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan
adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun
berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia menambahkan, ketika
kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan
kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh
bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari. 25
Penutup
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan
al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.
Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu
Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam,
fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. Meskipun perbedaan
tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya
yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.
Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu
hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan
Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya
secara utuh.
Bibliograf
1

Materi manusia merupakan saripati tanah liat yang merupakan cikal bakal Nabi Adam dan
keturunannya. Materi atau sel benih (nutfah) ini, yang semula adalah tanah liat, setelah
melewati berbagai proses, akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan
(melalui tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah, darah menjadi sperma dan indung

telur. Sperma kemudian bersatu dengan indung telur dalam suatu wadah (QS. 23:14) hasil
dari persatuan yang terjadi di dalam rahim, setelah melalui proses transformasi yang
panjang sehingga menjadi resam tubuh yang harmonis (jibillah) dan menjadi cocok untuk
menerima ruh. Adapun penerimaan ruh ini semuanya langsung dari Allah, dan ini diberikan
tatkala embrio sudah siap dan cocok untuk menerimanya. Lihat Ali Issa Othman, Manusia
menurut Al-Ghazali, cet. II (Bandung: Pustaka, 1987), 115.
2
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), 128.
3
Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, ttp (Dar al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad Warson
M., Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.
4
Ibn Manzur, Lisan...
5
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (London: Islamic Texts Society Trust, 1984),
1182.
6
Jiwa Dalam Al-Qur'an, 128.
7
Ibn Manzur, Lisan..., 1768.
8
'Uthman, Najati, M., Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama', al-Muslimin, terj.
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 144.
9
Ibn Sina, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani (Kaira: Dar Ihya' al-Kutub
al-'Arabiyah, 1952), 258.
10
Ahwa al-Nafs, 62-65.
11
Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4 (Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), 174.
12
Ensiklopedi Islam, 147.
13
Ensiklopedi Islam vol. 4, 176.
14
Ahmad Amin, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III (Kairo:
Dar al-Ma'arif, 1966), 37-38.
15
Hay bin Yaqwzan, 149.
16
Ibn Taimiyah, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh dalam M. Uthman Najati, al-Dirasah..., 342.
17
Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyyah, 1970, 36-37.
18
M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam alDirasah...,343.
19
Al-Dirasah...,47-48.
20
Al-Dirasah...,41
21
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. Iv (Bairut: Dar
al-Kitab al-'Arabi, 1986), 276.
22
Kitab al-Ruh, 330.
23
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin (Kairo: Dar al-Fikr
al-'Arabi tt.), 259-287.
24
Ibid, 252-255.
25
Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il Anwar (Bandung al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, terj. Rosihan: Pustaka Setia, 1999), 69-71.
Daftar rujukan
Amin, Ahmad, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966.
al-Asy'ari, Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, terj. Rosihan Anwar,
Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Damej, M. Amin, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. I, Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Raudah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin, Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi tt.
Lane, Edward William, Arabic-English Lexicon, London: Islamic Texts Society Trust, 1984.
Manzur, Ibn, Lisan al-'Arab, ttp, Dar al-Ma'arif, t.th..
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Najati M. 'Uthman, Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama' al-Muslimin, terj., Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Othman, Ali Issa, Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II, Bandung: Pustaka, 1987.
Redaksi, Dewan, Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
Sina, Ibn, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952.
Taimiyah, Ibn, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh, tt.
Warson, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984.

Anda mungkin juga menyukai