biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat meningkat sampai lebih 22% dengan
menggunakan monitor EEG secara terus menerus.
Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai status epileptikus. Terbanyak
diantaranya adalah respons sistemik yang merupakan lonjakan katekolamin yang terjadi saat
serangan. Respon sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi, aritmia, dan
hiperglikemia. Suhu badan dapat meningkat mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat
serangan status epileptikus berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah
bangkitan motorik umum tunggal yang akan menghilang seiring berakhirnya bangkitan.
Kebutuhan metabolik otak meningkat seiring bangkitan status epileptikus, akan tetapi
oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga bahkan meningkat saat awal serangan status
epileptikus.
Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan
dan kurangnya inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamate
dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtype NMDA (N-methyl-D-aspartate).
Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus.
Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam normalnya terminasi bangkitan .
Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam
perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler
yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian
menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol.
Status epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah memasuki fase
nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor twitching yang bisa
terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa 236
pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di antaranya mengalami status
epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu, pemeriksaan
EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonik-klonik
umum yang berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan
hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi
peningkatan aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik otak.
Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase kedua, yang ditandai dengan
kegagalan autoregulasi otak, penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial,
dan hipotensi sistemik. Selama fase ini terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun
aktivitas bangkitan elektrik di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa
hanya berupa minor twitching.