Anda di halaman 1dari 7

Nama

: Adeline Jessica

Kelompok/Program Studi

: Kelompok 10/Teknologi Bioproses

Materi

: Optimalisasi dan Contoh Kasus Bioremediasi

Outline

:1.

Pendahuluan

2.

Optimalisasi Kondisi Bioremediasi

3.

Contoh kasus

Pendahuluan
Bioremediasi adalah salah satu metode pengolahan limbah dengan bantuan mikroorganisme
(bakteri). Dalam hal ini limbah yang akan diolah tersebut adalah minyak bumi yang tercecer ke
lingkungan, terutama di tanah.
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128/2003, proses bioremediasi dikatakan
berhasil, jika Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) kecil dari 1%. Selain itu, senyawa-senyawa
Poly Aromatic Hydrocarbon (PAH) lainnya, seperti Benzena, Toluene, Etil Benzena, Xylene
(BTEX) harus dalam kondisi seminimum mungkin. Senyawa-senyawa kimia yang disebutkan ini
adalah golongan senyawa yang sangat toksik dan dapat terakumulasi dalam waktu yang cukup
lama dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia di dalamnya.
Proses bioremediasi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu in situ atau ex situ. Jika in situ,
proses pengelolaan limbah dengan bioremediasi ini dilakukan langsung di tempat yang terpapar
limbah berbahaya. Sementara itu pada ex situ, tanah yang terpapar limbah berbahaya tersebut
dipindahkan kepada suatu tempat yang dinamakan fasilitas bioremediasi tanah (berupa galian
tanah). Di tempat tersebut kemudian tanah-tanah terpapar limbah minyak diolah secara
bioremediasi. Menurut Kepmen LH No. 128/2003 lagi, proses ini berlangsung selama 3-4 bulan.
Untuk keberlanjutan proses bioremediasi, sejatinya tanah yang telah dibioremediasi bisa
digunakan kembali untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Hal ini turut menjadi indikator
keberhasilan proses bioremediasi, dimana kandungan TPH atau BTEX tidak terdistribusi ke
tanaman (buah, bunga, batang, akar, atau daun) atau kalaupun terdistribusi berada tidak melebihi
ambang batas yang telah ditetapkan oleh berbagai instansi kesehatan.

Optimalisasi Kondisi Bioremediasi


Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian
mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon, perlu
dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai.
Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang meliputi kondisi lingkungan,
temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.

1. Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient,
enzm-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya
kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah
yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar
sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban tanah juga
penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.

2. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40oC. Ladislao, et. al. (2007)
mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38oC bukan pilihan yang valid karena
tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme pathogen. Pada
temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana
rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga
proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi tempat
dilaksanakannya bioremediasi.

3. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi
substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat
keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a)
kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang

juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam
biodegradasi hidrokarbon minyak.

4. Nutrien
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan
metabolism sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi
antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme
berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.

5. Interaksi antar Polusi


Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di
lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses
transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energy yang dihasilkan.
Contoh Kasus
Contoh kasus yang diambil berasal dari jurnal yang berjudul Bioremediasi Limbah Cair Industri
Tahu Menggunakan Efektif Mikroorganisme (Em4). Pada jurnal tersebut, dinyatakan bahwa
bioremediasi ialah salah satu cara meanangani limbah pada lingkungan dengan menggunakan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan ialah Efektif Mikroorganisme (EM4) yang
telah diaktifkan sebelumnya.mikroorganisme tersebut difermentasi dan akhirnya dicampurkan
pada limbah tahu dengan perbandingan tertentu, yaitu 1:10 dan 1:20. Percobaan dilakukan selama
15 hari, dan setelahnya dilakukan perhitungan COD dan BOD. Dari penelitian ini diperoleh bahwa
penurunan konsentrasi BOD untuk perlakuan A dan Bdibandingkan dengan konsentrasi limbah
cair yang tidak ditambahkan dengan EM4 (control) diberikan pada gambar 1.

Pada hari pertama terlihat, bahwa persentase penurunan BOD relatif kecil, akan tetapi
seiringdengan bertambahnya waktu proses bioremediasi (hari) menyebabkan penurunan
konsentrasiBOD semakin meningkat, karena tempat kontak antara mikroorganisme dan limbah
cair tahutersedia cukup banyak. Dengan kondisi ini interaksi antara efektif mikroorganisme
(EM4)dengan limbah cair tahu berlangsung dengan baik. Mengingat bakteri yang digunakan

untukmendegradasi limbah adalah bakteri aerob yang membutuhkan oksigen bebas, maka dengan
menambahkan aerasi secara kontinyu proses pengolahan limbah menjadi lebih optimal.
Olehkarena itu berkembang biaknya mikroorganisme, penguraian senyawa polutan menjadi
lebihefektif.

Dengan

demikian

mengindikasikan

bahwa

efektif

mikroorganisme

(EM4)diperkirakan lebih aktif mendegradasi kandungan organik limbah cair tahu.

Gambar 1.Penurunan Konsentrasi BOD Perlakuan A dan B (limbah cair tahu ditambahkanEM4
1:20 dan 1:10) dan waktu proses Bioremediasi (hari).

Dari data hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa pemberian EM4 pada limbah cair
tahu,perlakuan A maupun perlakuan B (limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10)
mampumenurunkan konsentrasi BOD pada limbah cair tahu tersebut. Disamping itu
mikroorganisme(EM4) lebih mampu mendegradasi senyawa-senyawa organik dalam limbah cair
tahu lebihcepat dari pada hanya menggunakan mikroorganisme alami yang terdapat dalam
limbahtersebut, hal ini dapat dilihat dari grafik limbah cair tahu yang juga diberi perlakuan aerasi
sebagai kontrol, tidak menunjukkan penurunan konsentrasi BOD yang signifkan.

Pada hari pertama proses bioremediasi limbah cair tahu oleh mikroorganisme (EM4)
sudahberlangsung. Penurunan konsentrasi COD pada perlakuan A dan B (limbah cair
tahuditambahkan EM4 1:20 dan 1:10) adalah 8,61% dan 6,85 %. Penurunan konsentrasi COD

untuk kedua perlakuan terus berlangsung, pada hari ke 5 adalah 38,48 % dan 31,31 % hinggahari
ke 13 dengan persentase penurunan mencapai 98,65 dan 89,95 % mikroorganisme masihaktif.
Tingginya persentase penurunan konsentrasi COD dapat diartikan mikroorganisme(EM4) bekerja
dengan optimal.

Mikroorganisme (EM4) mampu mendegradasi limbah dengancepat. Mikroorganisme dalam


limbah terus menerus melakukan proses metabolism zsepanjang kebutuhan energinya terpenuhi
dan akan menghasilkan senyawa-senyawa yangdapat memberikan dampak terhadap turunnya nilai
COD (Fardiaz, 1992). Sedangkanselanjutnya pada hari ke 14 dan 15, penurunan konsentrasi COD
tidak signifikan lagi.

Keaktifan mikroorganisme berkurang seiring dengan berkurangnya nutrisi yang menjadisumber


pertumbuhannya. Uji Chemical Oxygen Demand (COD) menghasilkan nilaikebutuhan oksigen
yang lebih tinggi dari pada uji BOD karena bahan-bahan yang stabilterhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD (Fardiaz,1992). Sebagai pembanding
konsentrasi COD pada kontrol yang tidak mengalami penurunanyang berarti, meskipun dilakukan
aerasi secara terus-menerus selama 15 hari seperti halnyadengan perlakuan A dan B (limbah cair
tahu ditambahkan EM4 1:20 dan 1:10). Untuk controlpenurunan konsentrasi COD hanya
bergantung pada mikroorganisme yang ada pada limbahcair tahu saja tanpa penambahan EM4.
Penurunan konsentrasi COD untuk perlakuan A dan B(limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:20
dan 1:10) dan Kontrol dapat dilihat dalam gambar 2.

Gambar 2. Penurunan Konsentrasi COD Perlakuan A dan B (limbah cair tahu ditambahkanEM4
1:20 dan 1:10) dan waktu proses Bioremediasi (hari).

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa dari hari pertama hingga hari ke 13 konsentrasi CODuntuk
perlakuan A dan B menurun hampir secara beraturan, sampai 262,50 ppm untuktreatmen A dan
sampai 1.944,80 ppm pada treatmen B. Meskipun demikian laju penurunankonsentrasi COD untuk
perlakuan B tidak seperti perlakuan A. Hal ini diduga disebabkanoleh kemampuan mendapatkan
makanan atau kemampuan metabolisme di lingkunganbervariasi, mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan adaptasi dan mendapatkanmakanan dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang maksimum akan berkembang biakdengan cepat dan akan menjadi dominan di
lingkungannya. Dengan lebih besarnyakonsentrasi EM4 perlakuan B (1:10) dari pada konsentrasi
EM4 perlakuan A(1:20),persaingan antar mikroorganismepun lebih tinggi dan mengakibatkan
sebagianmikroorganisme akan kalah sehingga proses bioremediasi limbah menjadi tidak maksimal.

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa limbah cair yang layak dibuang kelingkungan hanya
dari perlakuan A (limbah cair tahu ditambahkan EM4 1:20) pada hari ke 13dengan konsentrasi
COD 262,50 ppm. Pada hari ke 13 nilai COD-nya menurun menjadi262,50 ppm dari .ppm pada
awal perlakukan. Kelayakan limbah ini sudah bisa dibuang kedalam perairan berdasarkan standar
baku mutu untuk COD yaitu, 300 ppm. Sedangkan untukperlakuan B (limbah cair tahu
ditambahkan EM4 1:10) pada hari ke 13 dengan konsentrasiCOD 1.944,80 ppm, jauh melampaui
baku mutu sehingga tidak layak dibuang ke lingkungan,karena akan mencemari lingkungan
disekitarnya.

Secara umum pengolahan aerob dengan bioremediasi menggunakan mikroorganisme EM4mampu


menurunkan konsentrasi BOD dan COD limbah cair tahu, dimana persentasepenurunan
konsentrasi mencapai 93,61-97,87%. Dari data yang diperoleh konsentrasipenurunan BOD dan
COD dengan proses aerob lebih tinggi dari pada konsentrasi penurunanBOD dan COD dengan
proses anaerob.

Proses aerob ini lebih baik dari pada proses anaerobuntuk menurunkan konsentrasi BOD dan COD
limbah cair tahu. Sebagai perbandingan hasilpenelitian (Nusa dan Heru, 1999) untuk konsentrasi

BOD dan COD limbah cair tahu yangdiolah dengan cara anerob persentase penurunan
konsentrasinya berkisar antara 70-80%, kemudian penelitian yang sama dilakukan oleh (Nuraida,
1985) penurunan konsentrasi BOD dan COD mencapai 70-75%. Dari hasil penelitian ini
menunjukan bahwa cara mengolahlimbah tahu secara aerob ini diperkirakan sangat cocok dengan
industri skala kecil,mengingat biaya relatif lebih terjangkau.

Daftar Pustaka
Jasmiati. Sofia, dan A.Thamrin. 2012. Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Efektif
Mikroorganisme (Em4). Riau.
Nuraida. 1985. Analisis Kebutuhan Air Pada Industri Pengolahan Tahu dan Kedelai Medan: Thesis
Master.
Nusa. I.S. dan Heru. D.W. 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu-Tempe dengan Proses
Biofilter Anaerob dan Aerob. Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair. Jakarta:
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Anda mungkin juga menyukai