Anda di halaman 1dari 14

Laporan Pendahuluan Batu Ginjal

KONSEP DASAR
BATU GINJAL
A. Definisi
Batu kandung kemih adalah batu yang tidak normal di dalam saluran kemih yang
mengandung komponen kristal dan matriks organik tepatnya pada vesika urinari
atau kandung kemih. Batu kandung kemih sebagian besar mengandung batu
kalsium oksalat atau fosfat ( Prof. Dr. Arjatm T. Ph.D. Sp. And dan dr. Hendra Utama,
SPFK, 2001 ).
Batu vesika urinaria terutama mengandung kalsium atau magnesium dalam
kombinasinya dengan fosfat, oksalat, dan zat-zat lainnya. (Brunner and Suddarth,
2001).

B. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan batu kandung kemih
adalah :
1.

Faktor Endogen

Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hyperkalsiuria dan hiperoksalouria.


2.

Faktor Eksogen

Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air
minum
3.

Faktor lainnya

Infeksi, stasis dan obstruksi urine, keturunan, air minum, pekerjaan, makanan atau
penduduk yang vegetarian lebih sering menderita batu saluran kencing atau bulibuli ( Syaifuddin, 1996 ).
Batu kandung kemih dapat disebabkan oleh kalsium oksalat atau agak jarang
sebagai kalsium fosfat. Batu vesika urinaria kemungkinan akan terbentuk apabila
dijumpai satu atau beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan
agregasi pembentukan batu proses pembentukan batu kemungkinan akibat
kecenderungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan kemungkinan sebagai
kristal kalsium oksalat dalam urine. Dan beberapa medikasi yang diketahui
menyebabkan batu ureter pada banyak klien mencakup penggunaan obat-obatan
yang terlalu lama seperti antasid, diamox, vitamin D, laksatif dan aspirin dosis
tinggi (Prof. Dr. Arjatmo T. Ph. D.Sp. And. Dan dr. Hendra U., SpFk, 2001).

Menurut Smeltzer (2002:1460) bahwa, batu kandung kemih disebabkan infeksi,


statis urin dan periode imobilitas (drainage renal yang lambat dan perubahan
metabolisme kalsium).
C. Patofisiologi
Penyebab spesifik dari batu kandung kemih adalah bisa dari batu kalsium oksalat
dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promotor (reaktan) dapat memicu
pembentukan batu kemih seperti asam sitrat memacu batu kalsium oksalat. Aksi
reaktan dan intibitor belum di kenali sepenuhnya dan terjadi peningkatan kalsium
oksalat, kalsium fosfat dan asam urat meningkat akan terjadinya batu disaluran
kemih. Adapun faktor tertentu yang mempengaruhi pembentukan batu kandung
kemih, mencangkup infeksi saluran ureter atau vesika urinari, stasis urine, priode
imobilitas dan perubahan metabolisme kalsium. Telah diketahui sejak waktu yang
lalu, bahwa batu kandung kemih sering terjadi pada laki-laki dibanding pada wanita,
terutama pada usia 60 tahun keatas serta klien yang menderita infeksi saluran
kemih. ( Brunner and Suddarth. 2001 )
Kelainan bawaan atau cidera, keadan patologis yang disebabkan karena infeksi,
pembentukan batu disaluran kemih dan tumor, keadan tersebut sering
menyebabkan bendungan. Hambatan yang menyebabkan sumbatan aliran kemih
baik itu yang disebabkan karena infeksi, trauma dan tumor serta kelainan
metabolisme dapat menyebabkan penyempitan atau struktur uretra sehingga
terjadi bendungan dan statis urin. Jika sudah terjadi bendungan dan statis urin lama
kelamaan kalsium akan mengendap menjadi besar sehingga membentuk batu
(Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2001:997).
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kemudian
dijadikan dalam beberapa teori (Soeparman, 2001:388):
1.

Teori Supersaturasi

Tingkat kejenuhan komponen-komponen pembentuk batu ginjal mendukung


terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak menetap menyebabkan terjadinya
agregasi kristal dan kemudian menjadi batu.
2.

Teori Matriks

Matriks merupakan mikroprotein yang terdiri dari 65 % protein, 10 % hexose, 3-5


hexosamin dan 10 % air. Adanya matriks menyebabkan penempelan kristal-kristal
sehingga menjadi batu.
3.

Teori Kurangnya Inhibitor

Pada individu normal kalsium dan fosfor hadir dalam jumlah yang melampaui daya
kelarutan, sehingga membutuhkan zat penghambat pengendapan. fosfat
mukopolisakarida dan fosfat merupakan penghambat pembentukan kristal. Bila
terjadi kekurangan zat ini maka akan mudah terjadi pengendapan.

4.

Teori Epistaxy

Merupakan pembentuk batu oleh beberapa zat secara bersama-sama. Salah satu
jenis batu merupakan inti dari batu yang lain yang merupakan pembentuk pada
lapisan luarnya. Contoh ekskresi asam urat yang berlebih dalam urin akan
mendukung pembentukan batu kalsium dengan bahan urat sebagai inti
pengendapan kalsium.
5.

Teori Kombinasi

Batu terbentuk karena kombinasi dari bermacam-macam teori diatas


Faktor Predisposisi:
a.

Riwayat pribadi tentang batu kandung kemih dan saluran kemih

b.

Usia dan jenis kelamin

c.

Kelainan morfologi

d. Pernah mengalami infeksi saluran kemih


e.

Makanan yang dapat meningkatkan kalsium dan asam urat

f.

Adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih

g.

Masukan cairan kurang dari pengeluaran

h.

Profesi sebagai pekerja keras

i.
Penggunaan obat antasid, aspirin dosis tinggi dan vitamin D terlalu lama.
( Brunner and Suddart, 2001 ).

D. Manifestasi Klinik
Ketika batu menghambat dari saluran urin, terjadi obstruksi, meningkatkan tekanan
hidrostatik. Bila nyeri mendadak terjadi akut disertai nyeri tekan disaluran
osteovertebral dan muncul mual muntah maka klien sedang mengalami episode
kolik renal. Diare, demam dan perasaan tidak nyaman di abdominal dapat terjadi.
Gejala gastrointestinal ini akibat refleks dan proxsimitas anatomik ginjal kelambung,
pangkereas dan usus besar. Batu yang terjebak dikandung kemih menyebabkan
gelombang nyeri luar biasa, akut dan kolik yang menyebar kepala obdomen dan
genitalia. Klien sering merasa ingin kemih, namun hanya sedikit urin yang keluar,
dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasi batu gejala ini disebabkan kolik
ureter. Umumnya klien akan mengeluarkan batu yang berdiameter 0,5 sampai
dengan 1 cm secara spontan. Batu yang berdiameter lebih dari 1 cm biasanya
harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat dikeluarkan secara spontan dan
saluran urin membaik dan lancar. ( Brunner and Suddarth. 2001).

E. Pemeriksaan Diagnostik

Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien batu kandung kemih
adalah :
a.

Urinalisa

Warna kuning, coklat atau gelap.


b.

Foto KUB

Menunjukkan ukuran ginjal ureter dan ureter, menunjukan adanya batu.


c.

Endoskopi ginjal

Menentukan pelvis ginjal, mengeluarkan batu yang kecil.


d. EKG
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
e.

Foto Rontgen

Menunjukan adanya di dalam kandung kemih yang abnormal.


f.

IVP ( intra venous pylografi ) :

Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,membedakan derajat


obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot
kandung kemih.
g.

Vesikolitektomi ( sectio alta ):

Mengangkat batu vesika urinari atau kandung kemih.


h.

Litotripsi bergelombang kejut ekstra korporeal.

Prosedur menghancurkan batu ginjal dengan gelombang kejut.


i.

Pielogram retrograd

Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.


Diagnosis ditegakan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi intravena
atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan urine dalam 24 jam untuk
mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total merupakan
upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya riwayat batu ginjal,
ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan untuk mengidentifikasi
faktor yang mencetuskan terbentuknya batu kandung kemih pada klien. ( Tjokro,
N.A, et al. 2001)
F. Penatalaksanaan Medik
Cara yang biasanya digunakan untuk mengatasi batu kandung kemih (Arif Mansjoer,
et.al.2000) adalah :
a.

Vesikolitektomi atau secsio alta.

b.

Litotripsi gelombang kejut ekstrakorpureal.

c.

Ureteroskopi, Nefrostomi.

G. Komplikasi
Adapun komplikasi dari batu kandung kemih ini adalah :
a.

Hidronefrosis

Adalah pelebaran pada ginjal serta pengisutan jaringan ginjal, sehingga ginjal
menyerupai sebuah kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan
dan aliran balik ureter dan urine ke ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi
menampung urine. Sementara urine terus-menerus bertambah dan tidak bisa
dikeluarkan. Bila hal ini terjadi maka, akan timbul nyeri pinggang, teraba benjolan
basar didaerah ginjal dan secara progresif dapat terjadi gagal ginjal.
b.

Uremia

Adalah peningkatan ureum didalam darah akibat ketidak mampuan ginjal


menyaring hasil metabolisme ureum, sehingga akan terjadi gejala mual muntah,
sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, koma, nafas dan keringat berbau urine.
c.

Pyelonefritis

Adalah infeksi ginjal yang disebabkan oleh bakteri yang naik secara assenden ke
ginjal dan kandung kemih. Bila hal ini terjadi maka akan timbul panas yang tinggi
disertai mengigil, sakit pinggang, disuria, poliuria, dan nyeri ketok kosta vertebra.
d. Gagal ginjal akut sampai kronis
e.

Obstruksi pada kandung kamih

f.

Perforasi pada kandung kemih

g.

Hematuria atau kencing darah

h.

Nyeri pingang kronis

i.
Infeksi pada saluran ureter dan vesika urinaria oleh batu (Soeparman, et.al.
1960)

H. Konsep Asuhan Keperawatan


1.

Pengkajian

a.

Anamnesa

1) Identitas Klien
Meliputi nama klien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama/suku, warga
negara, bahasa yang digunakan, pendidikan, pekerjaan, alamat rumah.
2) Data Medik

Dikirim oleh siapa dan diagnosa medik saat masuk maupun saat pengkajian.

3) Keluhan Utama
Frekuensi berkemih yang meningkat, urine yang masih menetes setelah berkemih,
merasa tidak puas setelah berkemih, sering berkemih pada malam hari, penurunan
kekuatan, dan ukuran pancaran urine, mengedan saat berkemih, tidak dapat
berkemih sama sekali, nyeri saat berkemih, hematuria, nyeri pinggang, peningkatan
suhu tubuh disertai menggigil, penurunan fungsi seksual, keluhan gastrointestinal
seperti nafsu makan menurun, mual,muntah dan konstipasi.
4) Pemeriksaan Fisik
a)

Status Kesehatan Umum

Meliputi kedaan penyakit, tingkat kesadaran,suara bicara dan tanda-tanda vital.


b) Kepala
Apakah klien terdapat nyeri kepala, bagaimana bentuknya, apakah terdapat masa
bekas terauma pada kepala, bagaimana keadaan rambut klien.
c)

Muka

Bagaimana bentuk muka, apakah terdapat edema, apakah terdapat paralysis otot
muka dan otot rahang.
d) Mata
Apakah kedua mata memiliki bentuk yang berbeda, bentuk alis mata, kelopak mata,
kongjungtiva, sclera, bola mata apakah ada kelainan, apakah daya penglihatan klien
masih baik.
e)

Telinga

Bentuk kedua telinga simetris atau tidak, apakah terdapat sekret, serumen dan
benda asing, membran timpani utuh atau tidak, apakah klien masih dapat
mendengar dengan baik.
f)

Hidung

Apakah terjadi deformitas pada hidung klien, apakah settum terjadi diviasi, apakah
terdapat secret, perdarahan pada hidung, apakah daya penciuman masih baik.
g) Mulut Faring
Mulut dan Faring, apakah tampak kering dan pucat, gigi masih utuh, mukosa mulut
apakah terdapat ulkus, karies, karang gigi, otot lidah apakah masih baik, pada tonsil
dan palatum masih utuh atau tidak.
h) Leher

Bentuk leher simetis atau tidak, apakah terdapat kaku kuduk, kelenjar limfe terjadi
pembesaran atau tidak.
i)

Dada

Apakah ada kelainan paru-paru dan jantung.


j)

Abdomen

Bentuk abdomen apakah membuncit, datar, atau penonjolan setempat, peristaltic


usus meningkat atau menurun, hepar dan ginjal apakah teraba, apakah terdapat
nyeri pada abdomen.
k) Inguinal /Genetalia/ anus
Apakah terdapat hernia, pembesaran kelejar limfe, bagaimana bentuk penis dan
scrotum, apakah terpasang keteter atau tidak, pada anus apakah terdapat
hemoroid, pendarahan pistula maupun tumor, pada klien vesikollitiasis biasanya
dilakukan pemeriksaan rectal toucer untuk mengetahuan pembesaran prostat dan
konsistensinya.
l)

Ekstermintas

Apakah pada ekstermitas bawah dan atas terdapat keterbatasan gerak, nyeri sendi
atau edema, bagaimana kekuatan otot dan refleknya

b. Pemeriksaan Diagnosis
BNO (Blass Nier Overzicht) untuk mengetahui pembesaran prostat, kandung kemih
dan kelainan ginjal.

c.

Hasil Penelitian Laboratorium dan diagnostic

1.

Peningkatan sel darah Putih, Ureum, dan kretinin.

2.

Kultur Urin ditemukan adanya kuman penyebab infeksi.

3. Pemeriksaan HB, waktu pendarahan dan pembekuan, golongan darah sebagai


persiapan preoperasi.

d. Potensial Komplikasi
Hiponatrium dilusi akibat Transuretal Resection Prostat (TURP), infeksi, komplikasi
sirkulasi termasuk testis, hydrokel, syok, retensi urine akut, ileus para litikum,
abses, peningkatan suhu tubuh, dan nyeri pada saat berjalan.

e.

Penatalaksanaan Medis

Obsevasi tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu secara rutin pasca operasi,
analgesik, antispasmodic, antibiotik, irigasi kadung kemih kontinu, irigasi kandung
kemih intermiten, terapi iv parenteral.
f.

Diagnosa Keperawatan Post Operatif Vesikolitektomi

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi bedah, tekanan dan


mitasi kateter/ badan.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kesulitan mengontrol pendarahan, pembatasan pemasukan pra-operasi.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan sekunder
terhadap : prosedur bedah, prosedur alat invasif, alat selama pembedahan kateter,
irigasi kandung kemih.
4. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung
kemih, refleks spasme otot : prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung
kemih.
5. Resiko tinggi terhadap komplikasi, hipovolemik berhubungan dengan
perdarahan sekunder terhadap vesikolitektomi atau sectia alta.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi tidak mengenal sumber sumber
informasi.

g.

Perencanaan Keperawatan Post Operatif

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal: bekuan


darah, edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter atau balon.
v Tujuan :
Klien menunjukan kemajuan eliminasi urine yang jernih.
v Kriteria evaluasi :
1. Berkemih dengan adekuat tanpa bukti distensi kandung kemih.
2. Jumlah residu urine kurang dari 50 ml.
Mandiri: :
1. Mengkaji haluaran urine dan system kateter atau drainase, khususnya selama
irigasi kandung kemih.
2. Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran urine di urine bag.
3. Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4
jam per protocol.

4. Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam
hari setelah kateter dilepas.
5. Retensi dapat terjadi karena edema area bedah,bekuan darah, dan spasma
kandung kemih (Doenges, 2000).
6. Urine yang tertampung harus seimbang atau tidak jauh berbeda dengan
pemasukan cairan. (Doenges, 2000).
7. Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine.Keterbatasan berkemih
untuk tiap 4 jam meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang
kandung kemih (Doenges, 2000).
8. Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk kelainan urine,
penjadwalan, masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/ gangguan tidur
selama malam hari (Doenges, 2000).
Kolaborasi: :
1. Pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode pasca
operasi dini.
2. Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan
patensi kateter atau aliran urine (Doenges, 2000).

2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan pre operasi.
v Tujuan :
Kebutuhan cairan klien terpenuhi.
v Kriteria evaluasi :
1. Tanda-tanda vital stabil.
2. Pengisian kapiler baik.
3. Membran mukosa lembab.
4. Menunjukan tak ada perdarahan aktif.
Mandiri: :
1. Awasi pemasukan dan pengeluaran.
2. Inspeksi balutan atau luka drain. Timbang balutan bila di indikasikan, perhatikan
pembentukan hematoma.
3. Evaluasi warna, konsistensi urine. Contoh: merah terang dengan bekuan merah.
4. Awasi tanda-tanda vital, peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diafrosis, pucat, perlambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.

5. Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan pengantian. Pada irigasi kandung


kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secar akurat mengkaji
haluaran urine. (Doenges, 2000).
6. Perdarahan dapat dibuktikan atau disingkirkan dalam jaringan perineum
(Doenges, 2000).
7. Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
(Doenges, 2000).
8. Dehidrasi/ hipovolimia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut
ke syok ( Doenges,2000 ).
9. Berguna dalam evaluasi kehilngan darah atau kebutuhan pengantian kebutuhan
(Doenges, 2000).
Kolaborasi:
1. Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. Contoh : Hb/Ht, jumlah sel
darah merah.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan sekunder


terhadap prosedur bedah, prosedur alat invasife alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih.
v Tujuan :
Tidak terjadi infeksi selama pemasangan kateter dan retensi urine.
v Kriteria evaluasi :
1. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, nyeri bertambah, luka
berbau).
2. Warna urine jernih, dan tidak berbau.
3. Suhu dalam batas normal (36.5-37.5 ).
Mandiri:
1. Pertahankan system kateter steril : berikan perawatan kateter regule dengan
sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitarsisi kateter.
2. Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
3. Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan
cepat, gelisah, peka, disorientasi.
4. Observsi drainase dari luka supra pubik dan foley kateter.
5. Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
(Doenges, 2000, hal.682).

6. Menghindari refleks balik urine,yang dapat memasukan bakteri kedalam


kandung kemih.
(Doenges, 2000, hal. 682).
7. Pasien yang mengalami sistoskopi atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah
septic sehubungan dengan meanipulasi/ instrumentasi.
(Doenges, 2000, hal. 682).
8. Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi, yang di
indikasikan dengan eritemia, drainase purulen. ( Doenges, 2000).
Kolaborasi:
1. Berikan antibiotik sepalosporin, misalnya: cetroxone sesuai program medis.
2. Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko
infeksi pada vesikolitotomi. (Doenges, 2000).

4. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung


kemih, refleks spasme otot: prosedur dan atau tekanan dari balon kandung kemih.
v Tujuan :
Rasa nyeri berkurang atau hilang setelah diberikan perawatan.
v Kriteria Evaluasi :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang.
2. Raut muka tampak rileks.
3. Skala nyeri berkurang 0-4.
Mandiri:
1. Kaji nyeri, perhatikan loksi, intensitas (skala 0-10).
2. Pertahankan patensi kateter dan sistemdrainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan.
3. Tingkatkan pemasukan cairan 3000 ml / hari sesuai toleransi.
4. Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik. Dorong penggunaan
tekhnik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi, pedoman imajinasi.
5. Nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih / pasase urine sekitar
kateter menunjukan spasme kandung kemih, yang cendrung lebih berat pada
pendekatan suprapubik atau TUR (Doenges, 2000).\Mempertahankan fungsi kateter
dan system drainase, menurunkan resiko distensi / spasme kandung kemih
(Doenges, 2000).

6. Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan kedalam


mukosa kandung kemih (Doenges, 2000).
7. Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kamampuan koping. (Doenges, 2000).
Kolaborasi:
1. Berikanobat sesuai instruksi untuk nyeri dan spasme.
Obat anti spasmodic mencegah spasme kandung kemih. Obat analgesik
mengurangi nyeri insisi (Capernito, 1999).

5. Resiko terhadap komplikasi hipovolemik berhubungan dengan perdarahan


sekunder terhadap vesikolitotomi/ section alta.
v Tujuan :
Tidak tampak tanda-tanda komplikasi.
v Kriteria Evalusi :
Tidak ada perdarahan, infeksi, dan inkontinensia urine.
Mandiri: :
1. Pantau:
a.

Tekanan darah, nadi, dan pernafasan tiap 24 jam.

b.

Masukan dan haluaran tiap 8 jam.

c.

Warna urine.

2. Sediakan diet makan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi jika ada riwayat konstipasi.
3. Pastikan masukan cairan setiap hari paling sedikit 2-3 liter tanpa ada
kontraindikasi.
4. Lakukan kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah merawat
pasien, gunakan sarung tangan ketika kontak dengan darah atau cairan yang keluar
dari tubuh pasien) pada semua prosedur tindakan keperawatan.
5. Deteksi awal terhadap komplikasidengan intervensi yang tepat dapat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen. (Engram, 1999).
6. Dengan peningkatan penekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan
perdarahan. (Engram, 1999).
7. Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan keseluruh tubuh. Resikoterjadi
ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui ginjal. (Engram,
1999).

8. Pemberian perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi nosokomial.


Kewaspadaan umum melindungi pemberian perawatan dan pasien. (Engram, 1999).
Kolaborasi :
1. Berikan terapi antibiotik dan mengevaluasi efektivitas obat.
2. Antibiotik diperlukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi. (Engram, 1999).

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, proknosis, dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan salah interprestasi.
v Tujuan:
Klien dan keluarga kliean mengerti secara umum penyakitnya.
v Kriteria Evaluasi :
Klien dan keluarga dapat menjelaskan secara sederhana tentang proses penyakit,
pencegahan, dan pengobatannya.
Mandiri:
1. Kaji implementasi prosedur harapan masa depan.
2. Tekankan perlunya nutrisi yang baik : dorong konsumsi buah, meningkatkan diet
tinggi serat.
3. Diskusikan pembatasan aktivitas awal, contoh: menghindari mengangkat berat,
latihan keras, duduk/ mengendarai mobil terlalu lama, memanjat lebih dari dua
tingkat tangga sekaligus.
4. Dorong kesinambungan latihan perineal.
5. Instruksikan perawatan kateter urin bila ada identifikasi sumber alat atau
dukungan.
6. Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihn
informasi. (Doenges, 2000).
7. Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi, menurunkan resiko
perdarahan pasca operasi. (Doenges, 2000 ).
8. Penimgkatan tekanan abdominal/ meregangkan yang menempatkan stress pada
kandung kemih dan prostat, menimbulkan resikoperdarahan. (Doenges, 2000)
9. Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan inkontinesia. (Doenges, 2000).
10. Meningkatkan kemandirian dan kompetensi dalam perawatan diri. (Doenges,
2000).

2.

Perencanaan Pulang

a. Diet tinggi kalori dan protein yakni nasi, telur, daging, susu, dan lain-lain untuk
tenaga dan proses penyembuhan.
b. Diet minum banyak air putih 3000 cc / hari dan hindari minum kopi,alcohol dan
yang bersoda serta makanlah makanan yang banyak mengandung serat.
c. Mendorong klien agar tidak melakukan pekerjaan yang berat, buang air kecil
yang teratur dan mendorong klien dalam mematuhi program pemulihan kesehatan
dan minum obat sesuai dengan pesanan dokter.
d. Memberikan penjelasan mengenai pengertian, penyebab, tanda-tanda dan
gejala penatalaksanaan dan kompliksi penyakit.
e. Rencana kontrol ulang uktuk mengetahui perkembangan pemulihan penyakit
saat di rumah (sumber : Smeltzer and Bare 2001).

Anda mungkin juga menyukai