Anda di halaman 1dari 12

Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi

senyawa anorganik. Respirasi sebagai proses oksidasi bahan organik yang terjadi didalam sel
dan berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi aerob diperlukan oksigen
dan dihasilkan karbondioksida serta energi. Sedangkan dalam respirasi anaerob dimana
oksigen tidak atau kurang tersedia dan dihasilkan senyawa selain karbondiokasida, seperti
alkohol, asetaldehida atau asam asetat dan sedikit energi (Lovelles, 1997).
Respirasi aerob ialah suatu proses pernafasan yang membutuhkan oksigen dari udara.
Kalau fotosintesis merupakan proses penyususnan (anabolisme) maka pernafasan merupakan
proses pembongkaran (katabolisme), dimana energy yang tersimpan tadi ditimbulkan kembali
untuk menyelenggarakan proses-proses kehidupan. Jika gula heksosa diambil sebagai bahan
bakar dan pembakaran itu merupakan oksigen bebas, maka reaksi keseluruhannya dapat
dituliskan sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 6CO2 + 6H2O + 675 kal (Dwidjoseputro,
1980).
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman dikenal sebagai suhu kardinal yaitu
meliputi suhu optimum (pada kondisi ini tanaman dapat tumbuh baik), suhu minimum (pada
suhu di bawahnya tanaman tidak dapat tumbuh), serta suhu maksimum (pada suhu yang lebih
tinggi tanaman tidak dapat tumbuh). Suhu kardinal untuk setiap jenis tanaman memang
bervariasi satu dengan lainnya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman dibedakan sebagai berikut : (1) Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, dan (2) Batas suhu yang tidak membantu pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman diketahui sebagai batas suhu optimum. Pada batas ini semua proses dasar seperti :
fotosintesis, respirasi, penyerapan air, transpirasi, pembelahan sel, perpanjangan sel dan
perubahan fungsi sel akan berlangsung baik dan tentu saja akan diperoleh produksi tanaman
yang tertinggi. Batas suhu optimum tidak sama untuk semua tanaman, sebagai contoh : apel,
kentang, sugar-beet menghendaki suhu yang lebih rendah dibandingkan : tanaman jeruk,
ketela rambat atau gardenia (Sunu dan Wartoyo, 2006).
Penyimpanan dalam suhu rendah mampu memepertahankan kualitas tanaman
memperpanjang masa simpan hasil pertanian, karena dapat m enurunkan proses respirasi,
memperkecil transisi, menghambat perkembangan mikrobia (Tugwel dan Dahlenburg, 2000).
Tetapi penyimapanan pada suhu rendah tidak menekan seluruh aspek metabolisme pada
tingkat yang sama (Darsana, et. al., 2003).
Darsana, L., Wartoyo, Wahyuti, T., 2003. Pengaruh saat Panen dan Suhu Penyimpanan terhadap Umur Simpan dan Kualitas Mentimum Jepang
(Cucumis sativus). Agrosains 5 (1): 12-20.

Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Pertanian, fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya. Gramedia.
Jakarta.
Lambers, H dan M. R. carbo. 2007. Plant respiration: from cell to ecosystem (advances in photosynthesis and respiration. Journal of Plant Physiology
164(6):
Lovelles. A. R. 1997. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah Tropik. PT Gramedia, Jakarta.
Nasaruddin, Musa, Y., dan Kuruseng, M. A. Aktifitas Beberapa Proses Fisiologi Tanaman Kakao Muda di Lapang Pada Beberapa Naungan Buatan.
Jurnal Agrisistem (2)1 : 31-32.
Sunu, P dan Wartoyo. 2006. Buku Ajar Dasar Hartikultura. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, UNS.

Respirasi merupakan proses oksidasi bahan organik yang terjadi di

dalam sel, berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi


aerobik ini diperlukan oksigen dan dihasilkan karbondioksida serta energi.
Sedangkan dalam proses respirasi secara anaerob dimana oksigen tidak atau
kurang tersedia dan dihasilkan senyawa lain karbondioksida.
Respirasi membutuhkan O2 dan menghasilkan zat sisa metabolisme berupa
uap air, CO2 dan panas sebagai entropi (energi panas yang tidak
termanfaatkan). Bila respirasi berjalan sempurna, dari pembakaram substrat
(karbohidrat, lipida, atau protein) akan dihasilkan rasio CO 2/O2 tertentu yang
disebut dengan Respiratory quotient [RQ]. Respirasi dengan substrat lipida
akan diperoleh RQ<1, dan RQ=1 untuk substrat glukosa. (Suyitno, 2007)
Dengan kata lain, perbedaan antara jumlah CO2 yang dilepaskan dan
jumlah O2 yang digunakan dikenal dengan Respiratory Ratio atau Respiratory
Quotient dan disingkat RQ. Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat
untuk respirasi dan sempurna atau tidaknya proses respirasi tersebut dengan
kondisi lainnya (Simbolon, 1989).
Tergantung pada bahan yang digunakan, maka jumlah mol CO2 yang
dilepaskan dan jumlah mol O2 yang diperlukan tidak selalu sama. Diketahui
nilai RQ untuk karbohidrat = 1, protein < 1 (= 0,8 0,9), lemak <1 (= 0,7) dan
asam organik > 1 (1,33). Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat
untuk respirasi dan sempuran tidaknya proses respirasi dan kondisi lainnya
(Krisdianto dkk, 2005).
Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor
Q10, dimana umumnya laju reaksi respirasi akan meningkat untuk setiap
kenaikan suhu sebesar 10oC, namun hal ini tergantung pada masing-masing
spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies tumbuhan, Q 10
respirasi biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 dan 25C. Bila suhu
meningkat lebih jauh sampai 30 atau 35C, laju respirasi tetap meningkat, tapi
lebih lambat, jadi Q10 mulai menurun. Penjelasan tentang penurunan Q 10 pada
suhu yang tinggi ini adalah bahwa laju penetrasi O 2 ke dalam sel lewat kutikula
atau periderma mulai menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung
dengan cepat. Difusi O2 dan CO2 juga dipercepat dengan peningkatan suhu, tapi
Q10 untuk proses fisika ini hanya 1,1 ; jadi suhu tidak mempercepat secara nyata

difusi larutan lewat air. Peningkatan suhu sampai 40C atau lebih, laju respirasi
malahan menurun, khususnya bila tumbuhan berada pada keadaan ini dalam
jangka waktu yang lama. Nampaknya enzim yang diperlukan mulai mengalami
denaturasi dengan cepat pada suhu yang tinggi, mencegah peningkatan
metabolik yang semestinya terjadi. Pada kecambah kacang kapri, peningkatan
suhu dari 25 menjadi 45C mula-mula meningkatkan respirasi dengan cepat, tapi
setelah dua jam lajunya mulai berkurang. Kemungkinan penjelasannya ialah
jangka waktu dua jam sudah cukup lama untuk merusak sebagian enzim
respirasi. (Salisbury & Ross, 1995)
Tabel Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Respirasi Kecambah.

Suhu

Erlenmey
er

Volum
e HCl
(ml)

Volume
CO2
yang
terikat
(ml)
4,3
4,3
4,2

Total
CO2/30
ml

29oC
1
0,4
2
0,4
(Ruangan
3
0,6
)
o
38 C
1
0,7
4,6
2
0,7
4,6
(Inkubato
r)
3
0,8
4,4
Keterangan :
1 : Kecambah
2 : Kecambah
3 : Kontrol
besarnya suhu mempengaruhi kadar CO2 yang

Volume
CO2 hasil
respirasi
(ml)

27,6
27,6
26,4

1,2

25,8
25,8
25,2

0,6

dilepaskan dari proses

respirasi kecambah, dimana pada suhu inkubator (38 0C) diperoleh volume CO2
hasil respirasi lebih besar dibandingkan pada suhu ruangan, yakni sebesar 1,2
ml. Hal ini dikarenakan pada suhu inkubator, keadaan suhunya dibuat konstan
(stabil), dimana pada suhu yang konstan (stabil) kerja enzim akan lebih
optimal tanpa mengalami kerusakan. Seperti yang kita ketahui bahwa proses
respirasi melibatkan kerja berbagai enzim. Karena enzim tidak mengalami
kerusakan maka enzim akan mempercepat pengubahan glukosa menjadi
karbon dioksida. Oleh karena itu, CO 2 yang dilepaskan dari respirasi kecambah
lebih besar. Selain itu, pada suhu yang lebih tinggi volume CO 2 akan lebih
banyak diikat oleh NaOH sehingga kadar CO 2 yang dilepaskan makin besar.
Pada suhu ruangan (290C) volume CO2 hasil respirasi kecambah lebih
rendah daripada suhu inkubasi (38 0C), yakni sebesar 1,2 ml. Hal ini
dikarenakan pada suhu yang lebih rendah, kerja enzim tidak optimal sehingga
mengakibatkan

reaksi

pengubahan

glukosa menjadi

CO 2

lebih

lambat

sehingga volume CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi lebih sedikit.

Selain itu, pada suhu yang lebih rendah, volume CO 2 akan lebih sedikit diikat
oleh NaOH sehingga CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi lebih kecil.
Kontrol pada percobaan ini ialah erlenmeyer yang hanya diisi NaOH
tanpa kecambah, ternyata menunjukkan nilai respirasi yang lebih rendah.
Pada erlenmeyer tanpa kecambah diduga terdapat mikroorganisme yang
melakukan respirasi, karena selama melakukan praktikum semua alat yang
digunakan tidak disterilkan. Alasan lain mengapa respirasi pada NaOH ada
kecambah lebih cepat respirasinya dan CO 2 yang dihasilkan lebih banyak
dibanding dengan respirsi pada NaOH saja, hal ini dikarenakan respirasi juga
dipengaruhi oleh substrat untuk oksidasi dalam metabolisme respiratoris. Dan
umumnya substrat untuk respirasi adalah zat yang tertimbun dalam jumlah
yang relative banyak dan proses metabolisme melibatkan serangkaian reaksi
enzimatis yang juga melibatkan enzim, maka kecepatan respirasi pada
Erlenmeyer yang ada kecambahnya juga dipengaruhi oleh enzim-enzim yang
terdapat dalam kecambah dan enzim akan meningkat bila suhu juga tinggi
namun apabila suhu terlalu tinggi juga akan merusak enzim. Sedangkan
tabung erlenmeyer yang hanya berisi NaOH saja respirasinya lambat dan CO 2
yang dihasilkan sedikit. Hal ini karena tidak dipengaruhi oleh enzim.
BAB V
SIMPULAN
Suhu mempengaruhi kecepatan respirasi kecambah. Respirasi pada
kecambah lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Makin banyak CO 2
yang dibebaskan, maka proses respirasi makin cepat.
Krisdianto, dkk. 2005. Penuntun Praktikum Biologi Umum. Banjarbaru: FMIPA
Universitas Lambung Mangkurat.
Lovelles. A. R. 1997. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah Tropik. Jakarta:
PT Gramedia.
Salisbury, Frank and Ross, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: Penerbit
ITB
Simbolon, Hubu, dkk. 1989. Biologi Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Suyitno. 2007. Petunjuk Praktikum Fisiologi Tumbuhan Dasar. Yogyakarta: FMIPA UNY

Secara umum, respirasi karbohidrat dapat dituliskan sebagai berikut: C6H12O6 + O2


6CO2 + H2O + energi. Dari pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa hasil proses respirasi
suatu sel itu menghasilkan gas CO2. Semakin banyak proses respirasi yang di lakukan maka
akan semakian banyak kandungan CO2. Dan hal ini sekaligus membuktikan bahwa, pada

kecambah dan biji Phaseolus radiatusmelakukan kegiatan bernafas atau respirasi,hal ini
dibuktikan adanya kenaikan jumlah CO2 yang ditunjukan pada grafik diatas.
Selain itu (Salisbury & Ross, 1995 mengatakan Bahwa Pengaruh faktor suhu bagi
laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor laju respirasi, dimana umumnya laju
reaksi respirasi akan meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC, namun hal ini
tergantung pada masing-masing spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies
tumbuhan, laju respirasi biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 dan 25C. Bila suhu
meningkat lebih jauh sampai 30 atau 35C, laju respirasi tetap meningkat, tapi lebih lambat,
sehingga laju respirasimulai menurun. Penjelasan tentang penurunan laju respirasi pada suhu
yang tinggi ini adalah bahwa laju penetrasi O 2 ke dalam sel lewat kutikula atau periderma
mulai menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Difusi O 2 dan
CO2 juga dipercepat dengan peningkatan suhu.
Peningkatan suhu sampai 40C atau lebih, laju respirasi perlahan menurun, khususnya
bila tumbuhan berada pada keadaan ini dalam jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan
karena enzim mengalami denaturasi dengan cepat pada suhu yang tinggi, sehingga mencegah
peningkatan metabolik yang semestinya terjadi. Laju respirasi pada biji Phaseolus
radiatus berdasarkan percobaan yang dilakukan kecepatan reaksinya lebih lambat ketika
berada pada suhu kamar. Padahal menurut teori setiap kenaikan 10 0C maka akan naik pula
kecepatan respirasi. Hal ini bisa disebabkan karena kesalahan praktikan dalam melakukan
percobaan, yang seharusnya mengibaskan atau mengeluarkan CO2 yang tersisa dalam tabung
percobaan setelah digunakan untuk percobaan kecambah ataupun biji Phaseolus radiatus .
Tetapi tabung tidak benar benar dibersihkan menggunakan kipas, hanya didiamkan
selama satu menit sehingga kurang maksimal. Hal ini menyebabkan hasil yang diperoleh
tidak sesuai dengan teori. Yaitu kenaikan suhu setiap 10 0C akan mempercepat jalannya
respirasi suatu tumbuhan.
Hasil kecambah dan biji Phaseolus radistus baik saat berada pada kondisi suhu kamar
maupun suhu air dingin, kecepatan respirasi yang lebih besar yaitu terdapat pada
kecambah Phaseolus radistus. Hal ini bisa disebabkan karena pada bijiPhaseolus
radistus belum secara sempurna dalam melakukan metabolisme. Kandungan air saat
kacang Phaseolus radistus sudah berkecambah lebih banyak dibandingkan dengan
kandungan pada kacang Phaseolus radistus yang masih dalam keadaan biji. Suatu tumbuhan
akan melakukan metabolisme baik jika ketersediaan air cukup sehingga enzim akan bekerja
dengan baik dalam mendukung proses metabolisme, dalam hal ini yaitu proses respirasi. Dan
ketika biji kandungan airnya tercukupi, maka keadaan sel lebih mudah untuk ditembus
oksigen karena permukaan sel relatif lebih longgar, hal ini memungkinkan oksigen akan lebih
mudah masuk kedalam sel. Reaksi respirasi akan terjadi ketika terdapat oksigen, berikut
reaksi yang terjadi dalam proses respirasi C6H12O6 + O2 6CO2 + H2O + energi.
Ketersediaan oksigen akan mempengaruhi laju respirasi,walaupun besarnya pengaruh
tersebut berbeda bagi masing-masing spesies dan bahkan berbeda antara organ pada
tumbuhan yang sama.
Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju
respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih
rendah dari oksigen yang tersedia di udara (I Komang Jaya Santika Yasa, 2009)( Sativa 2010
). Sehinga ketersediaan oksigen ruanganpun akan berpengaruh walaupun dalam jumlah
relatif sedikit.
Berdasarkan praktikum yang berjudul pengaruh suhu terhadap kecepatan proses respirasi
kecambah dan biji Phaseolus radiatus dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Semakin tinggi suatu suhu dalam proses respirasi maka semakin tinggi pula proses
respirasi yang berlangsung.
2. Kacang Phaseolus radiatus baik saat berkecambah maupun posisi masih dalam
keadaaan biji maka akan mengalami proses respirasi.
3. Respisari pada kacang Phaseolus radiatus yang sudah berkecambah akan lebih cepat
jika dibandingkan dengan kacang Phaseolus radiatus yang belum berkecambah.
Faktor yang mempengaruhi jalannya respirasi pada tanaman Phaseolus radiatusdiantaranya
yaitu ketersediaan substrat, ketersediaan O2, suhu, jenis dan umur tumbuhan.

Praktikum kali ini mengenai respirasi yang menggunakan biji kacang hijau sebagai
bahannya yang akan dimasukkan kedalam tabung yang berisi NaOH yang berfungsi untuk
menangkap CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi, selanjutnya dibiarkan selama 24 jam
pada suhu ruang ( 370C ) dan pada oven ( 400C ). Tujuan dari praktikum ini adalah untuk
mengetahui pengaruh temperatur terhadap kecepatan respirasi aerob pada kecambah. Untuk
mengetahui kecepatan respirasi kecambah pada suhu yang berbeda, maka dilakukan titrasi.
Sebelum ditritasi, terlebih dahulu ditambahkan dengan larutan BaCl 2 yang berfungsi sebagai
larutan penyangga untuk mempertahankan pH, pada kecambah yang ditempatkan pada suhu
ruangan larutan akan berwarna putih susu, sedangkan pada kecambah di oven larutan
berwarna lebih pekat putih susu keruh dan ada endapan. Setelah itu ditambahkan 2 tetes
larutan Pp yang akan berguna sebagai indikator dalam proses titrasi, larutan akan berubah
warna menjadi pink keunguan pada kecambah yang ditempatkan pada suhu ruangan
sedangkan pada oven akan berubah warna menjadi merah keunguan. Selanjutnya setelah
dititrasi didapatkan volume HCl yang digunakan sebanyak 29,7 ml pada kecambah di suhu
ruangan sedangkan kecambah yang ditempatkan pada oven membutuhkan volume HCl yang
lebih banyak yaitu sebanyak 31,2 ml. Sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jika
setelah dititrasi larutan NaOH yang semula berwarna pink keunguan dan merah keunguan
berubah menjadi bening maka pada kecambah terjadi respirasi dimana larutan NaOH yang
mengikat CO2, tetapi jika tidak terjadi perubahan warna setelah dititrasi maka bisa dikatakan
bahwa pada kecambah tersebut tidak terjadi respirasi dimana NaOH tidak ada mengikat CO 2 (
Lakitan, 1993 ). Dilihat dari hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa volume CO 2 yang
terikat pada kecambah di suhu ruangan lebih banyak daripada kecambah di oven. Hal ini
menyimpang dari teori yang ada, seharusnya semakin tinggi suhu maka semakin tinggi juga
laju respirasinya. Kesalahan ini mungkin saja terjadi karena rusaknya enzim-enzim pada biji

kacang hijau yang mengatur proses respirasi, sehinnga enzim tidak bekerja secara maksimal
dan menyebabkan volume CO2 yang dilepaskan jumlahnya sedikit.
Hasil yang berbeda dapat dilihat pada biji kacang hijau yang tidak berkecambah,
terjadi kebalikanya. Volume HCl yang digunakan untuk mentitrasi lebih banyak pada biji
yang tidak berkecambah di suhu ruangan dibandingkan dengan biji yang tidak berkecambah
di oven. Pada suhu ruangan volume HCl yang digunakan sebanyak 29,7 ml lebih banyak
dibandingkan dengan volume HCl yang digunakan pada suhu oven yaitu sebanyak 27,2 ml.
Dari hasil perhitungan yang didapatkan volume CO2yang diikat pada suhu oven ( 400C ) lebih
banyak daripada suhu ruangan ( 370C ) hal ini berbanding terbalik dengan hasil perhitungan
yang didapat pada biji kacang hijau yang berkecambah. Tetapi dari beberapa teori
mengatakan bahwa seharusnya pada biji yang tidak berkecambah tidak terjadi respirasi. Hal
ini bisa saja terjadi karena kurang telitinya praktikan pada saat menaruh biji di dalam botol,
botol terlalu lama dibuka sehingga terjadi kontaminasi udara luar ( Salisbury, 1995 ).
Dari beberapa data dan hasil perhitungan yang didapatkan dapat dikatakan bahwa
praktikum yang kami lakukan terjadi kesalahan karena data dan hasil perhitungan yang
didapatkan tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa bila terjadi pengikatan CO 2
titrasi berubah warna menjadi bening, tetapi tidak sesuai dengan perhitungan yang diperoleh
yaitu memperoleh hasil negatif yang berarti tidak ada pengikatan CO 2 oleh NaOH. Selain itu
seharusnya pada kecambah semakin tinggi suhu maka semakin meningkat laju respirasinya
yang ditandai dengan meningkatnya CO2 yang dilepaskan oleh kecambah yang selanjutnya
akan diikat oleh NaOH. Sedangkan pada biji yang tidak berkecambah seharusnya tidak
terjadi proses respirasi karena didalam biji belum berkembang organ-organ untuk melakukan
respirasi.
Larutan didalam botol merupakan larutan NaOH yang berfungsi sebagai larutan yang
dapat berikatan dengan karbon dioksida hasil dari respirasi kecambah. NaOH yang
mengikat karbon dioksida akan membentuk natrium bikarbonat yang merupakan
karbondioksida terlarut. Persamaan reaksinya sebagai berikut :
2NaOH + CO2 Na2CO3 + H2O
Rangkaian praktikum ini disimpan selama 20 jam pada suhu tertentu sesuai perlakuan
hingga akhinya dititrasi. Titrasi yang dilakukan adalah titrasi asidimetri yaitu titrasi
penetralan basa menggunakan senyawa asam, senyawa asam yang digunakan adalah
HCl. Fungsi titrasi ini untuk mengetahui jumlah CO 2 yang terikat NaOH. Sebelum dititrasi
dengan HCL, larutan diambil sebanyak 10 ml dan ditambahan BaCl sebanyak 5 ml,
penambahan BaCl berfungsi untuk mengendapkan karbon dioksida yang telah diikat oleh
NaOH. Persamaan reaksinya sebagai berikut :

BaCl2 + Na2CO3 BaCO3 + 2 NaCl


Selanjutnya larutan tersebut ditetesi indikator phenolptalein (indikator pp) sehingga
larutan berubah warna menjadi merah jambu. Indikator pp berfungsi untuk memudahkan
mengamati perubahan warna ketika larutan dititrasi. Kemudian larutan dititrasi dengan
HCl hingga larutan berubah warna menjadi bening kembali. Warna dapat kembali bening
menunjukkan bahwa larutan basa telah bereaksi sempurna dengan asam sehingga
larutan menjadi netral. Persamaan reaksinya sebagai berikut :
NaOH + HCl NaCl + H2O
Jumlah karbon dioksida yang dilepaskan oleh kecambah pada proses repirasi aerob
berbanding terbalik dengan jumlah HCl yang digunakan untuk titrasi, dengan kata lain
semakin banyak HCl yang diperlukan saat titrasi maka semakin sedikit karbon dioksida
yang dilepaskan. Begitu juga sebaliknya.
Jumlah CO2 yag dihasilkan dapat dihitung dengan rumus : 11 (X-Y) / jam, dengan
X=volume HCl tanpa kecambah dan Y=volume HCl dengan kecambah. Berikut adalah
hasil dari percobaan:

laju respirasi
0.800
0.600
CO2 yang dihasilkan

0.400

f(x) = 0.03x - 0.18


R = 0.92

0.200
0.000
0 5 10152025303540
perlakuan suhu (0C)

Berdasarkan grafik

tersebut diketahui bahwa antara suhu dengan laju respirasi

aerob terdapat hubungan positif, yang artinya kenaikan suhu diikuti dengan kenaikan laju
respirasinya. Sehingga dapat dikatakan suhu memberikan pengaruh terhadap laju
respirasi pada kecambah kacang hijau. Dari hasil percobaan ini dapat diketahui bahwa
semakin tinggi suhu maka laju respirasi semakin cepat. Dari garfik tersebut juga dapat
diketahui bahwa laju respirasi aerob kecambah kacang hijau minimum terjadi pada suhu
50C dan laju respirasi maksimumnya terjadi pada perlakuan di rumah kaca dengan suhu
360C.
Menurut Salisbury & Ross (1995), Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi
tumbuhan sangat terkait dengan faktor Q10, dimana umumnya laju reaksi respirasi akan
meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 100 C, namun hal tersebut tergantung

pada masing-masing spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies
tumbuhan, Q10 respirasi biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 - 25C. Bila suhu
meningkat lebih jauh sampai 30 atau 35C, laju respirasi tetap meningkat, tapi lebih
lambat, jadi Q10 mulai menurun. Penjelasan tentang penurunan Q10 pada suhu yang tinggi
tersebut adalah bahwa laju penetrasi O2 ke dalam sel lewat kutikula atau periderma mulai
menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Difusi O 2 dan CO2
juga dipercepat dengan peningkatan suhu, tapi Q10 untuk proses fisika ini hanya 1,1 ; jadi
suhu tidak mempercepat secara nyata difusi larutan lewat air. Peningkatan suhu sampai
40C atau lebih, laju respirasi justru menurun, khususnya bila tumbuhan berada pada
keadaan ini dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut dikarenakan enzim yang
diperlukan mulai mengalami denaturasi dengan cepat pada suhu yang tinggi, dan
mencegah peningkatan metabolik yang semestinya terjadi.
Salisbury, Frank and Ross, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB, Bandung.
Indikator fenolftalein merupakan indikator
titrasi asam-basa memiliki jangkauan pH 8,0-9,6 (Day dan
Underwood, 1998), indikator ini digunakan sebagai pembanding.
Dilakukan penelitian yang sama dengan menggantikan
indikator ekstrak bunga sepatu dengan indikator pembanding
fenolftalein. Hasil yang diperoleh pada
titrasi
basa kuat dengan asam kuat menunjukkan pH di atas
9,60 berwarna hijau, perubahan warna tersebut menunjukkan
jangkauan pH indikator fenolftalein yaitu 8,0-9,6 (Day dan
Underwood, 1998). Diantara pH 9,60-4,85 terjadi perubahan
warna sedikit demi sedikit dari hijau menjadi merah, dan pH
di bawah 4,85 larutan berwarna merah. Indikator pembanding
yang digunakan fenolftalein, hasil yang diperoleh dengan indikator
pembanding menunjukkan pH di atas 9,50 berwarna
merah muda, diantara pH 9,50-4,90 terjadi perubahan sedikit
demi sedikit dari merah muda menjadi tidak berwarna, pH
dibawah 4,90 larutan tidak berwarna. Pada uji ini ekstrak
mahkota bunga sepatu dapat digunakan
Day dan Underwood (1998). Quantitave Analysis: Analisis
Kimia Kuantitatif, Terbitan ke-2, (diterjemahkan oleh
Soendoro, Widaningsih dan Rahardjeng), Penerbit Erlangga
Surabaya.

Siti Nuryanti, Sabirin Matsjeh, Chairil Anwar, Tri Joko


Raharjo.2010. INDIKATOR TITRASI ASAM-BASA

DARI

EKSTRAK BUNGA SEPATU


(Hibiscus rosa sinensis L). AGRITECH, Vol. 30, No. 3. Jurusan
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universias Gadjah Mada
100-171-2-PB

HCl mempunyai sifat yang sangant korosif dan dapat mengganggu


kesehatan, karena itu biasanya di industri kadar larutan yang digunakan
tidak lebih dari 15%. Secara umum dapat dilihat perbedaan berat karat yang terkikis oleh
HCl kadar 5%, 10%, dan 15%. Dari data tersebut ternyata semakin tinggi kadar HCl semakin
banyak karat yang terkikis, dan semakin lama proses pickling berlangsung semakin banyak
pula karat yang terkikis oleh HCl. Namun demikian untuk proses pickling dengan kadar 5%
belum menunjukkan pengikisan karat secara linier. Hal itu kemungikinan terjadi karena kadar
HCl 5% belum cukup untuk mengikis karat seberat 0,50 gram ke atas.
Untuk HCl kadar 10% dan 15% terlihat sudah cukup mampu untuk menghilangkan karat dengan
berat di atas 0,50 gram. Dalam hal kecepatan dan banyaknya karat yang terkikis ternyata HCl
dengan kadar 15% mempunyai performen yang paling bagus. EFEK KADAR ALRUTAN HCL

Fenol merupakan salah satu intermediet


penting untuk industri petrokimia, agrokimia dan
plastik. Fenol banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik,
desinfektan, dan pembuatan bahan pembersih lantai.
Fenol memiliki sifat antiseptik sehingga digunakan di
dalam bidang pembedahan untuk mensterilkan alat-alat
bedah. Fenol juga banyak digunakan dalam pembuatan
obat, resin sintetik, dan polimer. Selain itu, fenol dapat
juga dimanfaatkan untuk meninggikan kualitas karet
pada industri karet (Bolton dan Eaton, 1968).
Fenol dapat disintesis dengan metode cumene.
Proses sintesis fenol dengan metode cumene memiliki
beberapa kelemahan seperti dihasilkannya intermediet
yang eksplosif berupa cumene hidroperoksida sehingga
berbahaya bagi lingkungan (Burri dkk, 2007). Selain
itu, proses ini menyulitkan industri mendapatkan
produk fenol dalam jumlah banyak dan membutuhkan
investasi modal yang besar karena proses ini bertahap
(Sakamoto dkk, 2008). Kondisi tersebut telah
mendorong pengembangan metode lain untuk
memproduksi fenol dari benzena melalui sintesis satu
tahap, tidak menghasilkan produk samping dan lebih
ekonomis (Kubacka dkk, 2007).
Kubacka, A. , Wang, Z., Sul ikowski , B. ,

Corberan, V. C., 2007,


Hydroylation/Oxidation of Benzena
over Cu-ZSM-5 systems: Optimization of
The One-Step Route to Phenol, Journal
of Catalysis, Vol. 250, hal. 184-189
Sakamoto, T., Takagaki, T., Sakakura, A., 2008,
Hydroxylation of Benzena to Phenol Under
air and Carbon Monoxide Catalyzed by
Molybdovanadaphosphates, Journal of
Molecular Catalysis A: Chemical, Vol. 288,
hal. 19-22.
Hamami1, Abdulloh1, Alfa Akustia Widati1, Djimmi Teratee.2012. PENGARUH UKURAN PORI

TERHADAP AKTIVITAS KATALITIK


TITANIUM SILIKALIT-1 PADA SINTESIS FENOL. JURNAL MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM / Vol. 15 No. 2, Juli 2012. 1Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga

HALAMAN 66 JMIPA VOL15 NO 2

NaOH bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas.
NaOH juga sangat larut dalam air dan akan melepaskan kalor ketika dilarutkan dalam air. Larutan
NaOH meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas. Kulit udang kering dipisahkan dari
protein dengan merendam dalam larutan NaOH.
Minda Azhar, Jon Efendi, Erda Syofyeni, Rahmi Marfa Lesi, dan Sri Novalina.2010.

PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN KOH TERHADAP DERAJAT


DEASETILASI KITIN DARI LIMBAH KULIT UDANG.

EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI Februari 2010.


Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang
IPI24891
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi
menjadi factor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik ,
daya
tumbuh dan vigor , kondisi kulit dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara
lain
kemasan benih, komposisi gas, suhu dan kelembaban ruang simpan (Copeland
dan
Donald, l985). Copeland. L.O. dan M.B. Mc. Donald. 1985. Principles of Seed
Science and Technology.
Burgess Publishing Company. New York. 369 p.
Suhu ruang simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama
penyimpanan, yang diperungaruhi oleh kadar air benih, suhu dan kelembaban
nisbi
ruangan. Pada suhu rendah, respirasi berjalan lambat dibanding suhu tinggi.
Dalam kondisi tersebut, viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Kadar
air yang aman
untuk penyimpanan benih kedelai dalam suhu kamar selama 6-10 bulan adalah
tidak
lebih dari 11%. Permeabilitas kulit benih yang
tinggi akan memudahkan masuknya air dan oksigen kedalam benih yang segera
akan
mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme benih. Salah satu
enzim
yang aktif adalah respirasi, respirasi menggunakan substrat dari cadangan
makanan
dalam benih, sehingga cadangan makanan berkurang untuk pertumbuhan
embrio pada
saat benih dikecambahkan. Penyimpanan kedelai kuning pada suhu tinggi juga
dapat
mempercepat aktivitas enzim respirasi. Laju kenaikan kadar air benih kedelai
pada
suhu rendah berlangsung lebih lambat daripada suhu tinggi yaitu rata-rata 0,3%
per
bulannya. Oleh karena itu pada suhu rendah, aktivitas enzim terutama enzim
respirasi
dapat ditekan, sehingga perombakan cadangan makanan juga ditekan, proses
deteriorasi
dapat ditekan. Matinya sel-sel meristematis dan habisnya cadangan makanan
dan

degradasi enzim dapat diperlambat, sehingga viabilitas dan vigor masih tinggi.
Hal ini
nampak pula dari pertumbuhan bibitnya yaitu tinggi bibit, panjang akar dan
berat kering
bibit paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain,
Setyastuti Purwanti.2004. KAJIAN SUHU RUANG SIMPAN TERHADAP
KUALITAS BENIH
KEDELAI HITAM DAN KEDELAI KUNING. Ilmu Pertanian Vol. 11 No.1,
2004 : 22-31. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai