Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

Februari 2015

HIPERTENSI

Oleh :
ARDANA INDRAWAN
N 111 15 025
Pembimbing :
dr. I KOMANG ADI SUJENDRA, Sp. PD

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama

: Ardana Indrawan

NIM

: N 111 15 025

Judul referat

: Hipertensi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Tadulako.

Palu, Oktober 2015


Pembimbing,

dr. I Komang Adi Sujendra, Sp. PD

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.2
DAFTAR ISI3
BAB I PENDAHULUAN6
1.1 Latar Belakang...6
1.2 Tujuan Penulisan....6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..7
2.1 Definisi...7
2.2 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah7
2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron...9
2.4 Epidemiologi.10
2.5 Kriteria...11
2.5 Klasifikasi .12
2.6 Faktor risiko..12
2.7 Patofisiologi..14
2.8 Manifestasi Klinis.15
2.9 Diagnosis...15
2.10 Tatalaksana.18
2.11 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan Khusus 26
2.11.1 Kelainan jantung dan pembuluh darah.26
2.11.2 Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal..28
2.11.3 Penanggulangan Hipertensi pada Usia Lanjut..29
2.11.4 Penanggulangan HIpertensi pada Gangguan Neurologis.30
2.11.5 Penanggulangan Hipertensi pada Diabetes....32
2.11.6 Penanggulangan Hipertensi pada Kehamilan 33
2.12

Komplikasi..34

2.14

Prognosis.34

BAB III LAPORAN KASUS.35

BAB IV DISKUSI..36
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner,

gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang
menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke.1
Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal,
antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat pengobatan
maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta
adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas
dan mortilitas.2
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya
poulasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi
sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65
tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat,
dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi. Dan pengendalian
tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.2
Data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara
yang sdah maju. Data dari The National Health and Nutrition examination survey
(NHNES) menunjukan bahwa tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang
dewasa adalah sekitar 9-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di
Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991.
Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningakatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg menurut
JNC VII.3

2.2 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah


Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vascular perifer (peripheral vascular resistance).
Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi
sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik
vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer
ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas pembuluh darah
dan viskositas darah. Semua parameter tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: system saraf simpatis dan parasimpatis, system
rennin-angiotensin- aldosteron (SRAA) dan faktor local berupa bahan-bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.2,3
Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas
miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis
justru kebalikannya yaitu bersifat defresif. Apabila terangsang, maka akan
menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung.
SRAA juga bersifat presif karena dapat memicu pengeluaran angiotensin II
yang memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah dan aldosteron yang
menyebabkan retensi air dan natrum di ginjal sehingga meningkatkan volume
darah.2,3
Sel endotel pembuluh darah juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hipertensi. Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai
bahan vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin,
tromboksan A2 dan angiotensin II local. Sebagian lagi bersifat vasodilator
seperti endothelium-derived relaxing factor (EDRF), yang dikenal juga
sebagai nitrit oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu jantung terutama
atrium kanan memproduksi hormone yang disebut atriopeptin (atrial
natriuretic peptide, ANP) yang cenderung bersifat diuretic, natriuretik dan
vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah. 2,3
2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang


disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan aliran
sirkulasi darah pada ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah
besar renin. Menurut Guyton dan Hall (1997), renin adalah enzim dengan protein
kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Menurut
Klabunde (2007) pengeluaran renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis
(pengaktifannya melalui 1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal
(disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan
penurunan asupan garam ke tubulus distal. 4
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu
angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat
vasokonstriktor yang ringan, selanjutnya akan diaktifkan angiotensin II oleh suatu
enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang
disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah
vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga
mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau
2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim
darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase Selama
angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh
utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu
vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol
dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan
tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan
pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung,
sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan. 4
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika
tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-kadang
sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi
kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi
peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon

yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara.
Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan
arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal.
Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali
NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan
tekanan darah. Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal,
yaitu organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron.
Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula
tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta
meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat
kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri
selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja melalui
mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme
vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.4
2.4 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi
usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga
bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik
dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun.
Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam
dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan
pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien
hipertensi.4
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari
negara maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun ke 1999-2000, insiden hipertensi pada
orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang
hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun
1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi.1,4

2.5 Kriteria
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
esensial/ primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial/primer adalah
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai hipertensi esensial.
Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi karena ada suatu
penyakit yang melatarbelakanginya.2,3
Menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.3
Klasifikasi Tekanan
Darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2

Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7


TDS (mmHg)
< 120
120-139
140-159
160

TDD (mmHg)

Dan
Atau
Atau
Atau

< 80
80-90
90-99
100

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan


darah menjadi hipertensi, yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg
sepanjang hidupnya memiliki 2 kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami
penyakit kardiovaskuler daripada yang tekanan darahnya lebih rendah.3
Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140
mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit
kardiovaskuler daripada tekanan darah diastolik.3,5

Risiko penyakit kardiovaskuler dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,

meningkat 2 kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.


Risiko penyakit kardiovaskuler bersifat kontinyu, konsisten, dan
independen dari faktor risiko lainnya.

2.6 Klasifikasi
2.6.1 Berdasarkan Etiologinya
Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 :

Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial


atau

idiopatik adalah

hipertensi

yang

tidak

diketahui

etiologinya/penyebabnya. 90% dari semua penyakit hipertensi


merupakan penyakit hipertensi esensial.4,5

Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai
akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu
umumnya hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya. Terdapat
10% orang menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder.
Skitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit
ginjal (stenoisarteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis,
tumor ginjal), sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal
(hiperaldosteronisme, sindroma cushing) dan sisanya akibat
pemakaian obat tertentu (steroid, pil KB).4,5

2.7 Faktor risiko


2.7.1

Faktor Genetika (Riwayat keluarga)


Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu
keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua
kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua
yang tekanan darahnya normal.5,6

2.7.2

Ras
Orang orang yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara
merata yang lebih tinggi dari pada orang berkulit putih. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara
berbeda. 5,6

2.7.3

Usia
Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada
masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita pre menopause
cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada

usia yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang


tampak setelah usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita
relatif terlindungi dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar
estrogen menurun setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria
dalam hal penyakit jantung.5,6
2.7.3

Jenis kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada
wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi
oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat
(merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan.
Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang
mempengaruhi faktor psikiskuat. 5,6

2.7.5

Stress psikis
Stress meningkatkan

aktivitas

saraf

simpatis,

peningkatan

ini

mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila


stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi.
Secara fisiologis apabila seseorang stress maka kelenjer pituitary otak akan
menstimulus kelenjer endokrin untuk mengahasilkan hormon adrenalin
dan hidrokortison kedalam darah sebagai bagian homeostasis tubuh.
Penelitian di AS menemukan enam penyebab utama kematian karena
stress adalah PJK, kanker, paru-paru, kecelakan, pengerasan hati dan
bunuh diri. 5,6
2.7.6

Obesitas
Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung
untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh
tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya
volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra
dihilangkan, TD dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg
penurunan berat badan. Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot
total tubuh dapat menurunkan resiko kardiovaskular secara signifikan. 5,6

2.7.7

Asupan garam Na

Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah


bertambahdan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga
memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika, ternyata
bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu banyak
garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang
memakan hanya sedikit garam. 5,6
2.7.8

Rokok
Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah meningkat. Hal
ini karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam paru
paru dan disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan waktu 10
detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin
dengan memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal untuk melepaskan
efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat kuat ini menyempitkan
pembuluh darah, sehingga memaksa jantung untuk memompa lebih keras
dibawah tekanan yang lebih tinggi. 5,6

2.7.9

Konsumsi alcohol
Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara
keseluruhan semakin banyak alkohol yang di minum semakin tinggi
tekanan darah. Tapi pada orang yang tidak meminum minuman keras
memiliki tekanan darah yang agak lebih tinggi dari pada yang meminum
dengan jumlah yang sedikit. 5,6

2.8 Patofisiologi
2.8.1 Hipertensi primer
Beberapa teori patognesis hipertensi primer meliputi :

Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik


Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA
Retensi Na dan air oleh ginjal
Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada

ginjal dan pembuluh darah


Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel

Sebab sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum


diketahui. Namun sebagian besar disebabkan oleh resistensi yang semakin
tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri arteri yang kecil
yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali
berkaitan dengan faktor-faktor genetik, obesitas, kurang olahraga, asupan
garam berlebih, bertambahnya usia, dll.4
2.8.2

Hipertensi Sekunder
Patofisiologi hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit
sistemik yang meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac
output, contohnya adalah renal vaskular atau parenchymal disease,
adrenocortical tumor,feokromositoma dan obat-obatan. Bila penyebabnya
diketahui dan dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan struktural
yang menetap, tekanan darah dapat kembali normal.

2.9 Manifestasi Klinis


Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala
walaupun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan
dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan, dan
kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul
gejala berikut:

Sakit kepala

Kelelahan

Mual-muntah

Sesak napas

Gelisah

Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,
mata, jantung, dan ginjal

Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan


bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati
hipertensif yang memerlukan penanganan segera

2.10 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi
meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri,

pemakaian oba-obatan analgesic dan obat/ bahan lain.


Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi

(feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada
pasien atau keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat
diabetes mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan,
insentitas olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attacks, defisit neurologis
Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya

2. Pemeriksaan Fisik
a. Memeriksa tekanan darah
Pengukuran rutin di kamar periksa
- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5
-

menit, kaki di lantai dan lengan setinggi jantung


Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa:

panjang 12-13, lebar 35 cm)


Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti
tepat diatas arteri brachialis)

Lakukan penngukuran sistolik dan diastolic dengan

menggunakan suara Korotkoff fase I dan V


Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh
diulang kalau pemeriksaan pertama dan kedua bedanya

terlalu jauh.
Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic
- Hipertensi office atau white coat
- Hipertensi sekunder
- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan
antihipertensi
Pengukuran sendiri oleh pasien
b. Evaluasi penyakit penyerta

kerusakan

organ

target

serta

kemungkinan hipertensi sekunder


Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan
pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila
tekanan darah < 160/100 mmHg.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL

serum, trigliserida serum)


Elektrolit (kalium)
Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)
Asam urat (serum)
Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)
Elektrokardiografi (EKG)
Beberapa anjurantest lainnya seperti:
Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti

adanya LVH
Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin

Foto thorax.2

Gambaran
kardiomegali

dengan

hipertensi

pulmonal
2.11 Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi
(diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Berikut ini merupakan bagan algoritma penanganan hipertensi menurut
JNC VII, 2003

Algoritma penanganan hipertensi imulai terlebih dahulu dengan


perubahan lifestyle atau gaya hidup. Perubahan lifestyle yang dapat
menimbulkan penurunan terhadap tekanan darah, antara lain3:
Modifikasi

Rekomendasi

Penurunan

Darah Sistolik
berat 5-20 mmHg/10 kg

Menurunkan Berat Badan Mengendalikan

badan sesuai dengan IMT


normal yaitu 18,5-24,9
kg/m2
Diet dengan mengadopsi Banyak
diet DASH

mengkonsumsi 8-14 mmHg

buah,

sayuran

makanan
Menurunkan
garam

lemak
asupan Pada

dan

yang

pasien

rendah
dengan 2-8 mmHg

hipertensi dikenal 3 jenis


diet rendah garam, yaitu:
1. Diet Garam Rendah I
(200-400 mg Na)
Ditujukan
pasien

pada
dengan

asites/edema
hipertensi

dan
berat.

Pada kondisi ini


tidak
diperkenankan
menambahkan
garam ke dalam
masakan
dikonsumsi

yang
dan

menghindari
makanan

Tekanan

yang

tinggi natrium.
2. Diet Garam Rendah II
(600-800
Diet

mg

ini

Na)

diberikan

kepada

pasien

edema/asites,

dan

hipertensi yang tidak


terlalu

berat.

Dianjurkan
menghindari makanan
dengan

kandungan

natrium

tinggi.

Diperbolehkan
menggunakan garam
dalam

pemasakan

sebesar 0,5 sendok


teh(2g).
3. Diet Garam Rendah
III

(1000-1200

mg

Na)
Diet

ini

diberikan

pada pasien dengan


edema atau hipertensi
ringan.

Pada

masakannya

boleh

ditambahkan

garam

dapur
sendok

sebanyak
teh

(4g).

Namun

tetap

menghindari

jenis

makanan

yang

mengandung natrium
Latihan fisik

tinggi.
Tertutama
aerobic

olahraga 4-9 mmHg


seperti

jalan

cepat, berenang (minimal


Menurunkan
alcohol berlebih

30 menit)
konsumsi Tidak lebih dari 2 gelas/ 2-4 mmHg
hari untuk pria dan tidak
lebih dari 1 gelas/hari
untuk wanita

Stop merokok
Apabila dengan perubahan lifestyle tidak tercapai target tekanan darah
yang diinginkan (tekanan darah < 140/90 mmHg pada pasien tanpa riwayat
diabetes/ penyakit ginjal kronis dan tekanan darah <130/80 mmHg pada
seseorang dengan diabetes/penyakit ginjal

kronis), maka selanjutnya kita

mulai terapi inisial dengan obat anti hipertensi oral. Untuk keperluan
pengobatan, ada pengelompokkan pasien berdasarkan pertimbangan khusus
(special consederations) yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling
indications) dan keadaan khusus lainnya (special situations). 3,5,6
Indikasi yang memaksa meliputi:

Gagal jantung
Pasca infark miokardium
Risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
Diabetes melitus
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan stroke berulang
Keadaan khusus lainnya meliputi:

Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolik
Hipertrofi ventrikel kanan

Penyakit arteri perifer


Hipertensi pada usia lanjut
Hipotensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan
Hipertesi pada anak dan dewasa muda
Hipertensi urgensi dan emergensi
Pada pasien hipertensi tanpa kondisi medis yang memaksa,

penatalaksanaan obat anti hipertensi dibagi berdasarkan derajat tekanan


darahnya. Pada hipertensi derajat 1 regimen pengobatan dilakukan dengan
menggunakan diuretik jenis Thiazid untuk sebagian besar kasus, dan dapatt
dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB, atau kombinasi. Sedangkan pada
hipertensi derajat 2 digunakan kombinasi 2 jenis obat untuk sebagian besar
kasusnya, umumnya diuretic jenis thiazid dan ACEI atau ARB atau CCB.
Sedangkan pada pasien dengan indikasi medis yang memaksa, obat yang
diberikan adalah obat-obatan untuk indikasi medis yang memaksa dan anti
hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, CCB)sesuai dengan kebutuhan. 3,5,6
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan JNC 7 yaitu:
Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist

(Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist atau
Blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan

dalam pengobatan hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi


beberapa faktor yaitu:

Faktor sosio-ekonomi
Profil faktor risiko kardiovaskuler
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi

Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk

penyakit lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan risiko kardiovaskuler
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap

dan target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali
sehari. Pilihan memulai terapi dengan 1 jenis obat antihipertensi atau dengan
kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika
terapi dimulai dengan 1 jenis obat dalam dosis rendah dan kemudian tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan
dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah.
Efek samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah baik tunggal
maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi
dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang semakin bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien
hipertensi adalah:

CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat

Diuretika

Blocker

Angiotensin
II Receptor
Blocker

Calcium
Channel
Blocker

Blocker

Angiotensin
Converting
Enzyme
Inhibitor

Gambar. Kemungkinan Kombinasi obat antihipertensi


Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 meliputi:
Klasifikasi

TDS (mmHg)

TDD (mmHg)

Perbaikan Pola

Terapi Obat Awal

Terapi Obat Awal

Hidup

tanpa Indikasi

dengan Indikasi

Memaksa

Memaksa

Tekanan Darah
Normal
Prehipertensi

< 120
120-139

dan < 80
atau 80-89

Dianjurkan
Ya

Tidak indikasi obat

Obat-obatan untuk
indikasi yang

Hipertensi derajat

140-159

atau 9- 99

Ya

Hipertensi derajat
2

160

atau 100

Ya

Diuretika jenis

memaksa
Obat-obatan untuk

Thiazide untuk

indikasi yang

sebagian besar kasus,

memaksa Obat

dapat

antihipertensi lain

dipertimbangkan

(diuretika, ACE-I,

ACE-I, ARB, BB,

ARB, BB, CCB)

CCB, atau kombinasi


Kombinasi 2 obat

sesuai kebutuhan

untuk sebagian besar


kasus umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan ACE-I
atau ARB atau BB
atau CCB

Pasien yang telah mulai mendapakan pengobatan harus dilakukan evaluasi


lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah
tekanan darah stabil, kunjungan berikutnya datang dengan interval 3-6 bulan,

frekuensi kunjungan ini ditentukan dengan adanya tidaknya komorbiditas seperti


gagal jantung, diabetes dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
Pada beberapa pasien adakalanya terjadi hipertensi yang resisten. Apabila
terjadi hal demikian, perlu dipertimbangkan adanya kedaan sebagai berikut:
a. Pengukuran tekanan darah yang tidak benar
b. Dosis belum memadai
c. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat anti hipertensi
d. Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup

Asupan alcohol berlebih

Kenaikan berat badan berlebih

e. Kelebihan volume cairan tubuh

Asupan garam berlebih

Terapi diuretika tidak cukup

Pennurunan fungsi ginjal berjalan progresif

f. Adanya terapi lain

Masih menggunakan bahan/obat yang dapat meningkatkan tekanan darah

Adanya obat yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat anti
hipertensi.

g. Penyebab hipertensi lain/ sekunder


Adakalanya seorang dokter umum dianjurkan merujuk ke dokter
spesialis/ subspesialis, yaitu pada kondisi:

Jika dalam 6 bulan target pengobatan tidak tercapai

Selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau penyakit
ginjal (laju filtrate glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m 2 -> konsul
penyakit dalam, sedangkan untuk laju filtrate glomerulus mencapai <
30ml/men/1,73m3-> konsul nefrologi).

2.12 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Keadaan Khusus5,6


2.12.1 Kelainan jantung dan pembuluh darah :

Penyakit jantung dan pembuluh darah yang disertai hipertensi yang


perlu diperhatikan adalah penyakit jantung iskemik (angina pektoris, infark
miokard), gagal jantung dan penyakit pembuluh darah perifer.
a. Penyakit Jantung Iskemik :
Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang
paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien
hipertensi dengan angina pektoris stabil obat pilihan pertama b
bloker (BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB).
Pada pasien dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil
atau infark miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan BB dan
ACEI dan kemudian dapat ditambahkan antihipertensi lain bila
diperlukan. Pada pasien pasca infark miokard, ACEI, BB dan
antagonis aldosteron terbukti sangat mengungtungkan tanpa melupakan
penata laksanaan lipid profil yang intensif dan penggunaanaspirin.
b. Gagal Jantung :
Gagal jantung dalam bentuk disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik
terutama disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung iskemik.
Sehingga penatalaksanaan hipertensi dan profil lipid yang agresif
merupakan upaya pencegahan terjadinya gagal jantung. Pada pasien
asimtomatik dengan terbukti disfungsi ventrikel rekomendasinya
adalah ACEI dan BB . Pada pasien simtomatik dengan disfungsi
ventrikel tau penyakit jantung end stage direkoendasikan untuk
menggunakan ACEI, BB dan ARB bersama dengan pemberian diuretik
loop.
Pada situasi seperti ini pengontrolan tekanan darah sangat penting untuk
mencegah terjadinya progresifitas menjadi disfungsi ventrikel kiri.

c. Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Arteri Perifer (PAP) :


REKOMENDASI :

KELAS I :
Pemberian antihipertensi pada PAP ekstremitas inferior dengan tujuan
untuk mencapai target tekanan darah < 140/90 mmHg (untuk nondiabetes) atau target tekanan darah < 130/80 mmHg(untuk diabetes).
BB merupakan agen antihipertensi yang efektif dan TIDAK
merupakan kontraindikasi untuk pasien hipertensi dengan PAP.
KELAS IIa :
Penggunaan ACEI pada pasien simtomatik PAP ekstremitas bawah
beralasan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.
KELAS IIb :
Penggunaan ACEI pada pasien asimtomatik PAP ekstremitas bawah
dapat dipertimbangkan untuk menurunkan kejadian kardiovaskular.
Antihipertensi dapat menurunkan perfusi tungkai bawah dan berpotensi
mengeksaserbasi simtom klaudikasio ataupun iskemia tungkai kronis.
Kemungkinan

tersebut

harus

diperhatikan

saat

memberikan

antihipertensi. Namun sebagian besar pasien dapat mentoleransi terapi


antihipertensi tanpa memperburuk simtom PAP dan penanggulangan
sesuai pedoman diperlukan untuk tujuan menurunkan risiko kejadian
kardivaskular.

2.12.2 Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal


Bila ada gangguan fungsi ginjal, maka haruslah dipastikan dahulu
apakah hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal hipertensi lama,
hipertensi

primer)

ataupun

gangguan/penyakit

ginjalnya

menimbulkan

yang

hipertensi.

Masalah ini lebih bersifat diagnostik, karena penanggulangan hipertensi


pada

umumnya

sama,

kecuali

(renovaskular,hiperaldosteronism

pada

primer)

hipertensi

dimana

hipertensi banyak dipengaruhi etiologi penyakit.

sekunder

penanggulangan

1. Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal :


- Pada keadaan ini penting diketahui derajat gangguan fungsi ginjal
(CCT, creatinin) dan derajat proteiuria.
- Pada CCT < 25 mL/men diuretik golongan thiazid(kecuali
metolazon)

tidak

efektif.

- Pemakaian golongan ACEI/ARB perlu memperhatikan penurunan


fungsi ginjal dan kadar kalium.
-Pemakaian golongan BB dan CCB relatif aman.
2. Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:
- Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan
penurunan asupan garam/diuretik golongan furosemide/dialisis.
- Penyakit ginjal renovaskular baik stenosis arteri renalis maupun
aterosklerosis

renal

dapat

ditanggulangi

secara

intervensi

(stenting/operasi) ataupun medikal (pemakaian ACEI dan ARB tidak


dianjurkan

bila

diperlukan

terapi

obat.

Aldosteronism primer (baik karena adenoma maupun hiperplasia


kelenjar adrenal) dapat ditanggulangi secara medikal (dengan obat
antialdosteron) ataupun intervensi.
Disamping hipertensi, derajat proteinuri ikut menentukan
progresi fungsi ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara
maksimal dengan pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non
dihidropiridin.
Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi
Ginjal

1. Tekanan darah diturunkan sampai < 130/80 mmHg (untuk mencegah


progresi

gangguan

fungsi

ginjal).

2. Bila ada proteinuria dipakai ACEI/ARB (sepanjang tak ada


kontraindikasi).

3. Bila proteinuria > 1g/24 jam tekanan darah diusahakan lebih rendah
(125/75mmHg).
4. Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjal pada pemakaian
ACEI/ARB (kreatinin tidak boleh naik > 20%) dan kadar kalium
(hiperkalemia).
2.12.3 Penanggulangan Hipertensi pada Usia Lanjut
Hipertensi pada usia lanjut mempunyai prevalensi yang
tinggi, pada usia diatas 65 tahun didapatkan antara 60-80%. Selain itu
prevalensi gagal jantung dan stroke juga tinggi, keduanya merupakan
komplikasi hipertensi. Oleh karena itu, penanggulangan hipertensi
amat

penting

dalam

mengurangi

morbiditas

dan

mortalitas

kardiovaskular pada usia lanjut.


Sekitar 60% hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi
sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension) dimana terdapat
kenaikan tekanan darah sistolik disertai penurunan tekanan darah
diastolik. Selisih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah
diastolik disebut sebagai tekanan nadi (pulse pressure), terbukti
sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas yang uruk. Peningkatan
tekanan darah sistolik disebabkan terutama oleh kekakuan arteri atau
berkurangnya elastisitas aorta.
Penanggulangan

hipertensi

pada

usia

lanjut

amat

bermanfaat dan telah terbukti dapat mengurangi kejadian komplikasi


kardiovaskular. Pengobatan dimulai bila :
- TD sistolik 160 mmHg bila kondisi dan harapan hidup baik.
- TD sistolik 140 bila disertai DM atau merokok atau disertai faktor
risiko lainnya.
Oleh karena pasien usia lanjut sudah mengalami penurunan
fungsi organ, kekauan arteri, penurunan fungsi baroreseptor dan
respons simpatik, serta autoregulasi serebral, pengobatan harus secara

bertahap dan hati-hati (start slow, go slow) hindarkan emakaian obat


yang dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.
Seperti halnya pada usia muda, penanggulangan hipertensi
pada usia lanjut dimulai dengan perubahan gaya hidup. Diet rendah
garam, termasuk menghindari makanan yang diawetkan dan penurunan
berat pada obesitas, terbukti dapat mengendalikan tekanan darah.
Pemberian obat dilakukan apabila penurunan tidak mencapai target.
Kejadian komplikasi hipotensi ortostatik sering terjadi, sehingga
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mengenai kemungkinan
adanya hal ini sebelum obat ini.
Obat yang dipakai pada usia lanjut sama seperti yang
dipergunakan pada usia yang lebih muda. Untuk menghindari
komplikasi pengobatan, maka dosis awal dianjurkan separuh dosis
biasa, kemudian dapat dinaikkan secara bertahap, sesuai dengan
respons pengobatan dengan mempertimbangkan kemungkian efek
samping obat. Obat-obat yang biasa dipakai meliputi diuretik (HCT)
12,5 mg, terbukti mencegah komplikasi terjadinya penyakit jantung
kongestif. Keuntungannya murah dan dapat mencegah kehilangan
kalsium tulang. Obat lain seperti golongan ACEI, CCB kerja panjang
dan obat-obat lainnya dapat dipergunakan. Kombinasi 2 atau lebih obat
dianjurkan untuk memperoleh efek pengobatan yang optimal.
Target pengobatan harus mempertimbangkan efek samping,
terutama kejadian hipotensi ortostatik. Umumnya tekanan darah
sistolik diturunkan sampai < 140 mmHg. Target untuk tekanan darah
diastolik sekitar 85-90 mmHg. Pada hipertensi sistolik penurunan
sampai tekanan darah diastolik 65 mmHg atau kurang dapat
mengakibatkan peningkatan kejadian stroke. Oleh karena itu sebaiknya
penurunan tekanan darah tidak sampai 65 mmHg.
2.12.4 Penanggulangan HIpertensi pada Gangguan Neurologis

Oleh karena hipertensi merupakan faktor risiko utama maka


penderita hipertensi dapat dianggap sebagai Stroke prone patient.
Pengendalian hipertensi sebagai faktor risiko akan menurunkan kejadian
strokesebanyak.32%.
1. Hipertensi tanpa defisit neurologis :
Dapat

dilakukan

sesuai

dengan

konsensus

InaSH.

Dilakukan deteksi gangguan organ-organ otak melalui berbagai


kegiatan

- Perlu perhatian khusus bila penderita hipertensi disertai dengan


kesemutan dimuka,sekeliling bibir, ujung-ujung jari dan vertigo, ada
kecenderungan insufisiensi basiler.
- Selain itu keluhan lain, seperti gangguan berbahasa, gangguan daya
ingat dan artikulasi perlu medapat perhatian lebih lanjut.
2. Hipertensi dengan tanda defisit neulorogi akut:
Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut
sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas stroke.
a. Stroke Iskemik akut:

TIDAK direkomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik

akut kecuali terdapat hipertensi berat dan menetap yaitu sistolik > 220
mmHg atau diastolik > 120 mmHg dengan tanda-tanda ensefalopati
atau

disertai

kerusakan

target

organ

lain.

Obat-obat antihipertensi yang sudah dikonsumsi sebelum serangan


stroke diteruskan pada fase awal stroke, pemberian obat antihipertensi
yang baru ditunda sampai dengan 7-10 hari pasca awal serangan stroke.
Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya 20-25% dari
tekanan

darah

arterial

rerata(MAP=mean

arterial

pressure).

(MAP=Tekanan diastolik + 1/3 selisih tekanan sistolik diastolik)


Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik 105-120 mmHg, terapi darurat HARUS DITUNDA kecuali

terdapat bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri,


infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta,
ensefalopati hipertensi. Jika peninggian tekanan darah itu menetap pada
2 kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan
Candesartan Cilexetil(Blopress) 4-16 mg oral selang 12 jam. Jika
monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per
oral, maka diberikan obat intravena yang tersedia.
Batas penurunan tekanan darah sebanyak banyaknya sampai 20-25%
dari tekanan darah arterial rerata, dan tindakan selanjutnya ditentukan
kasus.per.kasus.
b. Stroke hemoragik akut :
Batas penurunan tekanan darah maksimal 20-25% dari tekanan darah
semula.
Pada penderita dengan riwayat hipertensi sasaran(TARGET) tekanan
darah

sistolik

160

mmHg

dan

diastolik

90

mmHg.

Bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140
mmHg: berikan nicardipin/diltiazem/nimodipin DRIP dan
dititrasi dosisnya sampai dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik 90 mmHg (dosis dan cara pemberian lihat tabel
jenis-jenis

obat

untuk

terapi

emergensi).

Peningkatan tekanan darah bisa disebabkan stres akibat stroke (efek


cushing), akibat kandung kencing yang penuh, respon fisiologis atau
peningkatan tekanan intrakranial dan harus dipastikan penyebabnya.
2.12.5 Penanggulangan Hipertensi pada Diabetes
Indikasi pengobatan :
Bila tekanan darah sistolik 130 mmHg dan /atau tekanan darah
diastolik

Sasaran (target penurunan) tekanan darah :


-

Tekanan darah < 130/80 mmHg.

180

mmHg.

Bila disertai proteinuria 1g/24 jam : 125/75 mmHg.

Pengelolaan
-

Non Farmakologis :
Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat badan,

meningkatkan
aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi
konsumsi garam.
- Farmakologis :
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi:
Pengaruh terhadap profil lipid
Pengaruh terhadap metabolisme glukosa
Pengaruh terhadap resistensi insulin
Pengaruh

terhadap

huipoglikemia

terselubung.

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan :


*ACEI
*ARB
*Beta-bloker
* Diuretik dosis rendah
* Alfa bloker
* CCB golongan non-dihidropiridin.
Pada diabetisis dengan tekanan darah sistolik antara 130-139
mmHg atau tekanan darah diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan
melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bial gagal mencapai
target dapat ditambahkan terapi farmakologis.
Diabetisis dengan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 90 mmHg, disamping perubahan gaya hidup, dapat
diberikan terapi farmakologis secara langsung.

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai


denganmonoterapi
Catatan :
- ACEI,ARB, dan CCB golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikroalbuminuria.
- ACEI dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang , TIDAK terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba
menurunkandosis secara bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
2.11.6 Penanggulangan Hipertensi pada Kehamilan
Tekanan darah > 160/100 mmHg HARUS diturunkan untuk
melindungi ibu terhadap risiko stroke atau untuk memungkinkan
perpanjangan masa kehamilan, sehingga memperbaiki kematangan fetus.
Obat yang dapat diberikan ialah : METHYL DOPA dan NIFEDIPINE.
Obat-obat YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN saat kehamilan
adalah ACEI (berkaitan dengan kemungkinan kelainan perkembangan
fetus) dan ARB yang kemungkinan mempunyai efek sama seperti
penyekat ACEI. Diuretik juga TIDAK digunakan mengingat efek
pengurangan volume plasma yang dapat mengganggu kesehatan janin .
terapi definitif ialah MENGHENTIKAN KEHAMILAN atas indikasi
preeklampsia berat setelah usis kehamilan > 35 minggu.
2.13 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara lain:
a. Otak
: Stroke
b. Jantung
: Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, gagal jantung
c. Mata
: Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata)
d. Paru-paru
: Edema paru
e. Ginjal
: Penyakit ginjal kronik

f. Sistemik
2.15

:Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi arteri perifer

Prognosis
Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang

tepat. Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan


antihipertensi biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak
akan menyebabkan kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk
menghindari komplikasi serius dari hipertensi adalah mendeteksi dan
mengobati sebelum kerusakan terjadi.6

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Kasus
a. Identitas pasien
Nama
Umur
Alamat
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Agama
Tanggal pemeriksaan
Ruangan

: Tn. U
: 23 tahun
: Ds. Toropa, Parigi
: SMA
: Wiraswasta
: Islam
: 20-02-2016
: Seroja

b. Anamnesis
Keluhan utama: Muntah-muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan, Mual (+), Muntah (+) banyak
kali sejak 1 hari SMRS, muntah air, kadang berwarna kuning, pernah

bercampur darah warna hitam menggumpal. Sakit kepala (+) terutama


pada bagian belakang leher dan kepala seperti tegang, sesak nafas (+) sejak
1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan sakit perut, terutama pada
bagian ulu hati, sakit pinggang di kedua pinggang, tembus kebelakang.
Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki, perut dan wajah. Sebelumnya
pasien belum pernah mengalami hal serupa. BAB lunak, pernah BAB
berwarna hitam, BAK lancar. Pasien sebelumnya sering mengkonsumsi
minuman berenergi (Kuku Bima) dan minuman beralkohol. Pasien
merupakan perokok.
Riwayat Penyakit Terdahulu:
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat Diabetes disangkal
- Riwayat hepatitis disangkal
Riwayat Sosial :
Pasien merupakan perokok aktif sejak SMP
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
- Tidak ada keluarga yang menderita gejala yang sama dengan pasien
-

menurut keluarga.
Tidak ada riwayat hipertensi ataupun diabetes mellitus dalam keluarga.

Riwayat Alergi:
Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan atau benda tertentu.
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
Kondisi
: sakit sedang / kompos mentis / gizi baik
BB
: 65 kg
TB
: 170 cm
IMT
: 22.49 kg/m2
Vital Sign:
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu axilla

: 160/70 mmHg
: 84 kali/menit (reguler)
: 30 kali/menit
: 37,8C

Pemeriksaan kepala
Kepala
: normocephal, deformitas (-), jejas (-), benjolan (-)
Rambut
: warna hitam, distribusi normal

Wajah
Mata

: tampak lemas, warna normal, edema (+), ruam (-), jejas (-)
Palpebra
Konjungtiva
Sklera
Pupil
Kornea
Lensa

: normal, edema (+), radang (-)


: anemis (+/+)
: ikterik (-/-)
: ukuran 3 mm, bulat, isokor, refleks pupil +/+
: arcus senilis (-)/(-)
: jernih, katarak (-)

Mulut

Bibir : warna normal


Gigi
: susunan normal, karies (-), oklusi (-)
Lidah : bentuk normal, warna merah muda, tremor (-)
Mukosa mulut : kesan normal, lesi (-), stomatitis (-)
Faring
: warna merah muda, kesan normal
Tonsil
: ukuran T1/T1

Hidung : bentuk simetris, deviasi (-), depresi (-), sekret (-), darah (-),
benjolan (-)
Telinga : bentuk normal, warna normal, jejas (-)
Pemeriksaan leher
- Otot
- Kelenjar getah bening
- Kelenjar tiroid
- Arteri karotis
- Trakea

: eutrofi, tonus normal,


: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
: Pulsasi teraba, frekuensi 90 x/m, reguler
: deviasi (-).

Pemeriksaan paru-paru
- Inspeksi
Ekspansi dada simetris, retraksi otot interkosta (-), jejas (-), bentuk dada
-

normal, frekuensi napas 30x/m, pola pernapasan kesan normal.


Palpasi
Pembesaran getah bening (-), ekspansi dada simetris, taktil fremitus
simetris kanan = kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi
Bunyi sonor di semua lapang paru
Auskultasi
Suara napas: Ronkhi +/+, Wheezing -/-

Pemeriksaan jantung

Inspeksi
Pulsasi di apeks jantung, trikuspid, aorta, dan pulmonal tidak terlihat
Palpasi
Pulsasi di apeks teraba di linea midklavikula kiri 1 jari ke lateral.
Pulsasi di trikuspid, aorta dan pulmonal tidak teraba.
Perkusi
Batas atas : SIC II linea sternalis kiri
Batas kiri : SIC V linea midklavikula kiri 1 jari ke lateral
Batas kanan: SIC V linea sternalis kanan
Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, bunyi tambahan (-).

Pemeriksaan abdomen
- Inspeksi
Tampak cembung, benjolan (-), jejas (-)
- Auskultasi
Bunyi peristaltik usus terdengar, frekuensi normal.
- Perkusi
o Bunyi timpani di seluruh kuadran.
o Pembesaran lien (-).
o Pembesaran hati (-)
- Palpasi
o Nyeri tekan (+) epigastrium.
o Palpasi lien tidak teraba.
o Palpasi ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-). Nyeri ketok ginjal +/+
o Organomegali (-)
Pemeriksaan anggota gerak
1. Atas
- Akral hangat, edema (-)
2. Bawah
- Akral hangat, edema (+)
d. Resume
Pasien laki laki umur 23 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan Mual
(+), Muntah (+) banyak kali sejak 1 hari SMRS, muntah air, kadang
berwarna kuning, pernah bercampur darah warna hitam menggumpal.
Sakit kepala (+) terutama pada bagian belakang leher dan kepala seperti
tegang, sesak nafas (+) sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan
sakit perut, terutama pada bagian ulu hati, sakit pinggang di kedua
pinggang, tembus kebelakang. Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki,
perut dan wajah. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami hal serupa.

BAB lunak, pernah BAB berwarna hitam, BAK lancar. Pasien sebelumnya
sering mengkonsumsi minuman berenergi (Kuku Bima) dan minuman
beralkohol. Pasien merupakan perokok.
Vital Sign :
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu axilla

: 160/70 mmHg
: 84 kali/menit, irama reguler, isi nadi normal
: 30 kali/menit, pola pernapasan normal
: 37,8oC

Pemeriksaan anggota gerak


- Atas
Akral hangat, edema (-)
- Bawah
Akral hangat, edema (+)
e. Diagnosis kerja
CKD Stage V, Anemia Mikrositik Normokromik, Hipertensi Stage II
f. Diagnosis banding
Acute Renal Failure
g. Penatalaksanaan
- Non medikamentosa
- Edukasi
- Penyuluhan kepada pasien agar tidak mengkonsumsi makanan yang
-

mengandung kadar kalium tinggi


Menjelaskan kepada pasien yang mengambil alkohol untuk mengurangi

asupan alkohol, dan tidak mengkonsumsi lagi minuman energy.


Menganjurkan pada pasien untuk Hemodialisa.

Medikamentosa
o IVFD RL 8 tpm
o Cocktail 1 kalf
o Furosemide 1 amp/12jam
o Ondancentron 1amp/12jam
o Omeprazole 40mg/24jam/iv
o Ramipril 25mg 1x1

h. Pemeriksaan penujang
1. Laboratorium

: 4,47 x 1012/L (3,5 6,0)


: 7.7 g/dl (11,5 - 16,5)
: 74.7 fl (75 100)
: 23.4 pg (25 35)
: 31 g/dl (31 38)
: 9.27 x 109/L (3,5 10)
: 319 x 109/L (150 400)
: 118 mg /dl (74- 100)
: 54.32 mg/dL (0.80-1.30)
: 461.3 mg/dL (15.0-43.2)

RBC
Hb
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT
GDS
Creatinin
Urea

BAB IV
DISKUSI
1. Terjadinya

hipertensi

pada

penyakit

ginjal

adalah

karena

Hipervolemia.
Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek ekses
mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di
tubuli distal, pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid, atau
transfusi darah yang berlebihan pada anak dengan laju filtrasi glomerulus
yang buruk. Hipervolemia menyebabkan curah jantung meningkat dan

mengakibatkan

hipertensi.

Keadaan

glomerulonefritis dan gagal ginjal.


2. Gangguan
sistem
renin,

ini

sering

angiotensin

dan

terjadi

pada

aldosteron.

Renini adalah ensim yang diekskresi oleh sel aparatus juksta glomerulus.
Bila terjadi penurunan aliran darah intrarenal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus, aparatus juksta glomerulus terangsang untuk mensekresi renin
yang akan merubah angiotensinogen yang berasal dari hati, angiotensin I.
Kemudian angiotensin I oleh angiotensin converting enzym diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah tepi, dan menyebabkan tekanan darah meningkat.
Selanjutnya

angiotensin

II

merangsang

korteks

adrenal

untuk

mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan


air di tubuli ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat.
3. Berkurangnya zat vasodilator Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medula
ginjal yaitu prostaglandin A2, kilidin, dan bradikinin, berkurang pada
penyakit ginjal kronik yang berperan penting dalam patofisiologi
hipertensi renal. Koarktasio aorta, feokromositoma, neuroblastoma,
sindrom adrenogenital, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing,
dapat pula menimbulkan hipertensi dengan patofisiologi yang berbeda.
Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan hipertensi sekunder pada anak
antara lain, luka bakar, obat kontrasepsi, kortikosteroid, dan obat-obat
yang mengandung fenilepinefrin dan pseudoefedrin.
Patofisiologi hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh
darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi

pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat


mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui

dengan

jelas

mengapa

hal

tersebut

bisa

terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi

yang

mengakibatkan

penurunan

aliran

darah

ke

ginjal,

menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I


yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus
keadaanhipertensi.3,5,6
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan

kemampuan

distensi

dan

daya

regang

pembuluh

darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam


mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan
darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu
membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh
meningkat,

sehingga

tekanan

darah

juga

meningkat.

Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan perifer.
Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan curah
jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron

akan memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga
semakin meningkat. 3,5,6
Penaganan Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:6

Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan

penurunan asupan garam/diuretik golongan furosemide/dialisis.


Penyakit ginjal renovaskular baik stenosis arteri renalis maupun
aterosklerosis

renal

dapat

ditanggulangi

secara

intervensi

(stenting/operasi) ataupun medikal (pemakaian ACEI dan ARB tidak


dianjurkan

bila

diperlukan

terapi

obat.

Aldosteronism primer (baik karena adenoma maupun hiperplasia kelenjar


adrenal) dapat ditanggulangi secara medikal (dengan obat antialdosteron)
ataupun intervensi.
Disamping hipertensi, derajat proteinuri ikut menentukan progresi fungsi
ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara maksimal dengan
pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non dihidropiridin.

Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal :


Tekanan darah diturunkan sampai < 130/80 mmHg (untuk mencegah

progresi gangguan fungsi ginjal).


Bila ada proteinuria dipakai

kontraindikasi).
Bila proteinuria > 1g/24 jam tekanan darah diusahakan lebih rendah

(125/75mmHg).
Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjal pada pemakaian ACEI/ARB

ACEI/ARB

(sepanjang

tak

(kreatinin tidak boleh naik > 20%) dan kadar kalium (hiperkalemia).

ada

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO.

Raised

Blood

Pressure.

http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/
en/. Accessed Januari 20, 2016
2. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2007.p. 341-60Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta:
Bagian Farmakologi FK-UI.
3. The Seventh Repot of the Joint national Comitte on Prevention, detection,
evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004

4. Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
Edisi 11 Halaman 1071-1072. Jakarta: EGC.
5. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiatii S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 1079-85
6. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi

Indonesia. Jakarta; 2007

Anda mungkin juga menyukai