Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Komunitas masyarakat hutan di desa Pelaik, Danau Sentarum, Kalimantan Barat - Indonesia
@CIFOR/Ryan Woo
Brunei Darussalam, 27 Juni 2011 REDD+ dapat menjadi salah satu usaha untuk
mendorong isu pengelolaan hutan lestari atau lebih dikenal dengan sustainable forest
management, melalui pelaksanaan social forestry di masyarakat. Keinginan ini muncul pada
saat selama berlangsungnya konferensi dua hari jejaring social forestry ASEAN atau ASEAN
social forestry network di Brunei Darussalam, 21-22 Juni lalu.
Menurut Gladi Hardiyanto, community forest officer dari Lembaga Ekolabel Indonesia,
Konsep REDD+ saat ini harusnya mendahulukan SFM dalam pelaksanaan kegiatan. Jangan
terbalik. SFM harusnya adalah payung dari REDD+. Manajemen hutan lestari merupakan
konsep pengelolaan hutan lestari yang menjalankan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis
hutan dengan pelibatan masyarakat didalamnya. Saat ini SFM sukses dalam pelaksanaanya di
bidang bisnis, yakni sebagai usaha untuk menunjukkan pelaksanaan bisnis yang sesuai kaidah
lestari seperti model reduced impact logging (pembalakan berdampak rendah mengurangi
dampak penebangan hutan) di perusahaan HPH. Akibatnya, konsep SFM bagi masyarakat
hutan belum terkenal dan masih harus terus berjuang untuk membuktikan keberhasilan
konsep ini.
Bernadus Steni dari HUMA menyatakan bahwa SFM penting karena adanya perhatian akan
unsur hak-hak masyarakat di dalam konsepnya. Indonesia sudah cukup responsif dalam
menempatkan social forestry. Menteri kehutanan pernah berkata bahwa konsep REDD
bukanlah ijin baru di Kemenhut, hal ini berarti adanya sikap pemerintah untuk mendukung
manfaat REDD bagi masyarakat melalui perluasan ijin SF antara lain lewat ijin pengelolaan
hutan oleh masyarakat seperti hutan kemasyarakatan (HKM), hutan desa, dan lain-lain
meskipun di sisi lain pemerintah juga kepayahan dalam soal land tenure bagi masyarakat.
Bagi Indonesia, hakekat pelaksanaan REDD+ sebenarnya sudah dilaksanakan di dalam
pengelolaan SFM yang lama melekat dalam pengelolaan hutan Indonesia sejak tahun 1990.
Terkait dengan social forestry, Dr. Moira Moeliono, peneliti senior asosiasi dari CIFOR
menyatakan, Social forestry dapat merupakan salah satu opsi untuk mendukung keberhasilan
REDD+. Hal ini dapat berarti, social forestry sebagai jembatan bagi praktik SFM menuju
keberhasilan REDD+. Dapat dianalogikan, social forestry adalah gagang payung tempat
dimana pegas penggerak payung berada, REDD+ adalah gagang dan jari jari payung, SFM
adalah lembaran penutup payung yang menjadikan bentuk payung menjadi sempurna.
Hakikat REDD+
REDD+ sepatutnya dilihat bukan hanya sekedar karbon. Menurut Steni, Bila tidak
diarahkan, kebanyakan orang akan berpikir mengenai perdagangan, keuntungan dan hasil
yang akan diperoleh dari REDD+. Menurut Dr. Moira, Masyarakat masih jauh dari
pemahaman REDD+ yang sebenarnya. Mengerti apa itu karbon saja susah. Jadi bila
diterangkan dengan hal-hal yang sudah ada di konsep tradisional mereka, hal itu dapat
membantu ujarnya.
Pernyataan diatas dapat menjadi alasan bahwa sudah sepatutnya pengertian REDD+
didudukkan kepada hakikat dasar dan diterangkan secara sederhana. REDD+ sepatutnya
merupakan elemen untuk pengelolaan hutan lestari, yang mampu mencegah kerusakan hutan
secara intensif dan dapat membantu mengurangi emisi.
Dalam pelaksanaan REDD+, banyak pihak mensyarakatkan bahwa REDD+ tidak
berbenturan dengan pembangunan kehutanan serta menghormati hak indigenous people dan
masyarakat lokal. Sehingga patut mendahulukan pelaksanaan konsep manajemen hutan
lestari yang mengelola fungsi ekologis dan ekonomis hutan di masyarakat, bukan terbalik
dengan euforia REDD+ saat ini yang justru mengecilkan peranan dari SFM.
Penebangan liar
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah
kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau
tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya
yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari
setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah
daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa
negara-negara Balkan.
Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu
rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah
terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi
tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal
mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja
asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest
management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam
kerangka konsep manajemen hutan.
Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan
melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang
mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area
konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di
hutan-hutan produksi.
Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga
dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Dimana kayu yang dianggap legal
adalah kayu yang bersumber dari :
HPH (konsesi untuk kayu di hutan produksi dengan ijin dari Dephut);
HTI di hutan produksi (ijin konsesi hutan tanaman oleh Dephut);
IPK HTI dengan stok tebangan < 20 m (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili
pemerintah pusat);
IPK Kebun (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat);
Hutan rakyat (di luar kawasan hutan);
Ijin Bupati untuk pelaksanaan penebangan di luar batas kawasan hutan, untuk
industri dan/atau masyarakat adat;
Hutan kemasyarakatan (HKm) (ijin hutan rakyat di hutan produksi di keluarkan
oleh Dephut);
HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku untuk 25 tahun, dikeluarkan
oleh Bupati antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002) jika potensi kayunya masih
ada;
KDTI (dikeluarkan oleh Dephut kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui, Lampung
Barat);
Konsesi Kopermas yang disahkan oleh Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan
antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002;
Impor yang sah;
Lelang yang sah (Petunjuk yang jelas harus disusun untuk mengidentifikasi
pelelangan yang sah, untuk menghindari permainan pengesahan kayu ilegal).
Sedangkan kayu yang ilegal adalah kayunya berasal dari :
Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung;
Ijin Bupati di dalam kawasan hutan (misalnya IPKTM, HPHH, IPPK) yang
diterbitkan setelah 8 Juni 2002;
IPK HTI dengan stok tebangan >20m3;
Konsensi Kopermas yang dikeluarkan oleh Pemrerintah Daerah setelah
Desember 2004.
AKTOR DAN POLA ILLEGAL LOGGING
Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan illegal logging, jika pelakunya hanya
masyarakat sekitar hutan yang miskin tentu saja tindakan ini dengan mudahnya
dapat dihentikan oleh aparat kepolisian. Dari hasil identifikasi aktor pelaku illegal
logging, terdapat 6 (enam) aktor utama, yaitu :
1) Cukong
Cukong yaitu pemilik modal yang membiayai kegiatan penebangan liar dan yang
memperoleh keuntungan besar dari hasil penebangan liar. Di beberapa daerah
dilaporkan bahwa para cukong terdiri dari : anggota MPR, anggota DPR, pejabat
pemerintah (termasuk para pensiunan pejabat), para pengusaha kehutanan,
Oknum TNI dan POLRI.
2) Sebagian masyarakat
Khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun yang didatangkan,
sebagai pelaku penebangan liar (penebang, penyarad, pengangkut kayu curian)
3) Sebagian pemilik pabrik pengolahan kayu (industri perkayuan), skala besar,
sedang dan kecil : sebagai pembeli kayu curian (penadah)
4) Oknum pegawai pemerintah (khususnya dari instansi kehutanan) yang
melakukan KKN ; memanipulasi dokumen SAKB (SKSHH) ; tidak melaksanakan
tugas pemeriksaan sebagaimana mestinya
5) Oknum penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, TNI) yang bisa dibeli dengan
uang sehingga para aktor pelaku penebangan liar, khususnya para cukong dan
penadah kayu curian dapat terus lolos (dengan mudah) dari hukuman (praktek
KKN). Oknum TNI dan POLRI turut terlibat, termasuk ada yang mengawal
pengangkutan kayu curian di jalan-jalan kabupaten/propinsi
6) Pengusaha asing : penyelundupan kayu hasil curian ke Malaysia, Cina, dll.
bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna dan
punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di indikasikan
oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan
pelastarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan
yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan
generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.
Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi aktivitas
illegal logging. Yang terbaru dengan dikeluarkan Surat edaran Nomor 01 Tahun
2008 tentang petunjuk Penanganan Perkara Tindak pidana Kehutanan dan
sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh
wilayah Indonesia merupakan payung hukum dalam pemberantasan
penebangan liar (illegal logging) yang diharapakan kelangsungan hutan di
Indonesia dapat terselamatkan dan hal sampai keakar-akarnya.
Namun demikian illegal logging semakin marak dan hutan semakin mengalami
tingkat kerusakan yang mengkwatirkan, termasuk di Kaltim. Perspektip
pengelolahan hutan Indonesia, semuanya bermuara pada maraknya kegiatan
penebangan tanpa izin, penebangan liar (illegal logging) yang berdampak
negatif terhadap fungsi lindung terhadap konservasi hutan.
Beberapa kebijakan pemerintah di bidang kehutanan baik secara nasional
maupun internasional dalam rangka penanggulangan kejahatan penebangan liar
(Illegal logging) dikeluarkan sejak tahun 2001 tentang pemberantasan
Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya si seluruh
wilayah Indonesia.
Referensi :
1. Indonesia-UK Tropical Forestry Management Programme (1999) Illegal Logging
in Indonesia. ITFMP Report No. EC/99/03
2. Greenpeace (2003) Partners in Crime: A Greenpeace investigation of the links
between the UK and Indonesias timber barons. See
http://www.saveordelete.com
3. Environmental Investigation Agency and Telepak (2004) Profiting from Plunder:
How Malaysia Smuggles Endangered Wood.
4. WWF International (2002) The Timber Footprint of the G8 and China
5. http://hukum.kompasiana.com/2010/06/23/dimensi-penebangan-liar/
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembalakan_liar
Hutan sangat di perlukan bagi manusia dan para mahluk hidup lainnya,setiap
detik nya hutan selalu menghasilkan oksigen,oleh karena itu, hutan harus dijaga dan
di lestarikan.
Upaya yang perlu dilakukan untuk melestarikan hutan:
1. Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
BAB II
SISTEM SILVIKULTUR
Pasal 2
(1) Hutan Produksi terdiri dari hutan alam dan atau hutan tanaman.
(2) Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem silvikultur:
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
2. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB).
3. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA).
4. Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ).
(3) Penentuan sistem silvikultur dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia; Tebang Habis dengan
Permudaan Buatan; Tebang Habis dengan Permudaan Alam; dan Tebang Pilih Tanam dalam Jalur
didasarkan dari hasil risalah hutan, lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia; Tebang Habis dengan Permudaan Buatan; Tebang
Habis dengan Permudaan Alam; dan Tebang Pilih Tanam dalam Jalur disusun dalam Rencana
Karya Pengusahaan Hutan.
(2) Rencana Karya Pengusahaan Hutan meliputi Rencana untuk seluruh jangka waktu pengusahaan,
Rencana Karya Lima Tahun dan Rencana Karya Tahunan.
Pasal 4
(1) Dalam melaksanakan sistem silvikultur pada pembangunan hutan alam dan hutan tanaman,
masyarakat di sekitar atau di dalam hutan dapat melaksanakan tumpangsari.
(2) Pelaksanaan tumpangsari tidak boleh mengganggu tanaman pokok kehutanan.
(3) Pengaturan pelaksanaan tumpangsari di hutan produksi, diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi.
Pasal 5
(1) Pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia; Tebang Habis dengan Permudaan Buatan, Tebang
Habis dengan Permudaan Alam dan Tebang Pilih Tanam dalam Jalur oleh Pelaksana dilaporkan
secara periodik kepada instansi yang berwenang.
(2) Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan, Tebang Habis
dengan Permudaan Alam dan Tebang Pilih Tanam dalam Jalur diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi.