Anda di halaman 1dari 5

KELUARGA DAN KRISIS PENDIDIKAN KARAKTER

Peringatan hari pendidikan harus menjadi refleksi bersama terhadap


pelaksanaan pendidikan nasional. Jika ditelisik terdapat ketidakseimbangan dalam
pelaksanaan tiga ranah pendidikan (kognitif, psikomotorik, dan afektif). Sebagai
contoh pemeringkatan peserta didik, pelaksanaan kegiatan ekstakulikuler/life skill,
dan menjamurnya tempat les di berbagai daerah menunjukkan bahwa ranah kognitif
dan psikomotorik mendapat perhatian lebih. Sementara ranah afektif seolah-olah
terkebiri.
Padahal komponen ranah afektif merupakan faktor utama pembentuk karakter
seseorang. Mengutip penjelasan Benjamin S. Bloom dalam taxonomy of Educational
Objective, Affectife Domain (1964) ranah afektif dideskripsikan sebagai ranah yang
berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap
moral dan sebagainya. Menjadi pejabat jujur atau korupsi, pengusaha jujur atau
curang, dan pribadi-pribadi yang baik atau buruk ditentukan oleh komponen ranah
afektif. Bisa dibilang orang-orang pandai di Indonesia sudah banyak, bertolak dengan
orang-orang berkarakter positif yang masih minim. Buktinya masih banyak pejabat
bermental korup, mafia berkedok pengusaha di berbagai sektor, hingga pengusaha
penghindar pajak.
Berangkat dari situ pemerintah menambah porsi ranah afektif

dalam

kurikulum terbaru (kurtilas) secara total. Setidaknya ada dua hal dalam penilaian
afektif pada kurtilas, yaitu sikap spiritual dan sosial. Pada buku pegangan guru, teknik
penilaian sikap diuraikan secara rinci baik melalui observasi, penilaian diri, penilaian
antar teman, maupun jurnal. Namun di lapangan penilaian sikap peserta didik
semacam itu justru memberatkan tugas administratif pendidik, sehingga tak heran jika
pendidik menggunakan teknik ngaji (ngarang biji atau mengarang nilai) dalam
penilaian afektif. Hal itu karena seorang pendidik dituntut menilai 13 komponen
sikap kepada setiap peserta didik. Apabila dikalkulasi, standarisasi pendidik mengajar
24 jam (12 kelas) dengan jumlah tiap kelas rata-rata 30 anak, maka seorang pendidik
harus memasukkan sebanyak 4680 nilai sikap.

Urgensi Pelibatan Keluarga


Untuk itu pengoptimalan ranah afektif dalam pendidikan tidak cukup
dilimpahkan pada sekolah semata. Terdapat beberapa pertimbangan selain uraian di
atas, pertama; waktu interaksi antara pelaku pendidikan di sekolah dengan peserta
didik terbatas. Kedua; seorang guru bertemu dengan peserta didik rata-rata hanya dua
hingga empat jam dalam seminggu. Ketiga; perbandingan jumlah pelaku pendidikan
di sekolah dengan peserta didik sangat timpang.
Sebagai solusi terhadap kendala tersebut sekolah sangat perlu melibatkan
keluarga dalam pendidikan, terutama untuk membentuk karakter anak melalui ranah
afektif. Keluarga menjadi kunci pembentukan karakter anak, alasannya keluarga
merupakan elemen yang dekat dengan anak dan tahu tingkah laku anak. Hanya saja
selama ini belum ada instrumen ataupun pedoman bagi keluarga untuk ikut mendidik
anaknya. Sehingga ketika keluarga memberi nasihat pada anak, tak jarang diabaikan
begitu saja oleh anak.
Jurnal Keluarga
Langkah kongkret pelibatan keluarga dalam pendidikan dapat berupa
pembukuan aktifitas anak dalam jurnal. Jurnal berfungsi bagi keluarga untuk
mengevaluasi aktifitas anak di luar sekolah. Adapun aspek yang dimuat bisa aspek
keagamaan, sosial, personal, maupun penunjang sekolah.
Aspek keagamaan berisikan cheklis shalat lima waktu, puasa, kebaktian, dan
lainnya. Cheklis tersebut berguna bagi anak untuk membiasakan beribadah. Apabila
beribadah dilakukan secara terus-menerus, dengan sendirinya akan terinternalisasi
pada diri sang anak.
Aspek sosial dapat berupa uraian aktifitas sosial anak. Semisal di mana saja
anak bergaul, apa saja yang dilakukan anak saat bergaul, dan sejenisnya. Tentu
pengisian aspek ini jangan seolah-olah mengekang anak ataupun membatasi ruang
gerak anak. Dari uraian aktifitas itu, selain mengarahkan anak pada pergaulan yang
positif, bisa juga mensingkronkan jawaban anak dengan sidak, karena pergaulan anak
cenderung ajeg.

Aspek personal berupa evaluasi keluarga terhadap integritas anak yang


meliputi kejujuran, kesantunan, tanggung jawab, kerajinan, disiplin, dan lainnya.
Sedangkan aspek penunjang sekolah, berupa cheklis belajar dan keberangkatan anak
ke sekolah. Cheklis belajar bertujuan untuk mendorong anak supaya semangat
belajar. Sementara cheklis keberangkatan berguna untuk menutup celah anak bolos
sekolah.
Seyogyanya jurnal tersebut diterapkan sejak anak usia dini. Karena, apabila
diterapkan mulai Sekolah Menengah Atas sederajat dikhawatirkan anak akan kaget
bahkan brontak. Berbeda jika dimulai sejak dini, tentu ketika anak sudah memasuki
SMP sederajat atau SMA sederajat tidak merasa kaget, justru sudah menjadi
pembiasaan. Pembiasaan itulah yang akan membentuk karakter positif anak.
Jurnal tersebut dilaporkan secara berkala kepada pihak sekolah. Pihak
sekolah bisa menjadikan jurnal sebagai acuan utama untuk menentukan nilai afektif
anak pada laporan hasil belajar siswa. Seharusnya ada kesepakatan bersama untuk
menjadikan penilaian ranah afektif sebagai pertimbangan naik kelas, masuk jenjang
pendidikan lebih tinggi, dan masuk dunia industri/ usaha, mengingat selama ini
pertimbangan tersebut hanya berdasarkan ranah kognitif dan psikomotorik.

Identitas diri

Nama

: Rifqi Hidayat

TTL

: Jepara, 05 September 1992

Alamat

: Kalipucang Wetan Rt 05 Rw 01, Kecamatan Welahan Kabupaten


Jepara

No. HP

: 085642743887

Profesi

: Guru Muda SMK Terpadu Hadziqiyyah Nalumsari Jepara

Anda mungkin juga menyukai