Anda di halaman 1dari 8

Tanggal Praktikum : 25 Februari 2015

Jam Praktikum
: 14.30 17.00
Dosen Pembimbing : Drh Huda Salahudin
Darusman, MSi
Kelompok Praktikum : I (Satu)

ANASTESI PERINHALASI

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Anggota Kelompok :
Ahmad Fizri A.
(B04120081)
Sarah Minarni T.
(B04120126)
Devy Nur Priscaningtyas (B04120128)
Fauzi A. Munggaran
(B04120140)
Shiny Riady
(B04120141)
Muhammad Andika Nur (B04120146)

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anestesi perinhalasi merupakan salah satu jenis anestersi menurut aplikasinya.
Aplikasi dari anestesi ini syratnya adalah bahan anestesi tersebut haruslah volatile jika
diletakkan pada lingkungan sehingga organism sekitar terpengaruhi. Anestesi ini
tergolong anestesi generah karena mampu menghilangkan kesadaran, reflex, nyeri, dan
tonus otot. Obat obatan yang dapat diberikan cotohnya

eter, N2O, halotan, isofluran,

dan lain-lain.

Anestetik

perinhalasi

berbentuk

gas

atau

cairan

yang

tingkat

menguapannya berbeda-beda dalam hal potensi, keamanan dan kemampuan untuk


menimbulkan analgesia dan relaksasi otot rangka. Anastesia inhalasi masuk
dengan inhalasi atau inspirasi melalui peredaran darah sampai ke jaringan otak.
Inhalasi gas (N2O etilen siklopropan) anestetika menguap (eter, halotan, fluotan,
metoksifluran, etilklorida, trikloretilen dan fluroksen). Faktor - faktor lain seperti
respirasi, sirkulasi dan sifat-sifat. Fisik zat anestetika mempengaruhi kekuatan
manapun kecepatan anastesi. Pada praktikum kali ini kami melakukanan aesthesi
perinhalasi, baik dengan maupun tanpa menggunakan premedikasi.
Tujuan
Mengetahui cara aplikasi obat khususnya anaesthesi perinhalasi, mengetahui
pengaruh pemberian atropine sebagai premedikasi pada anaesthesi perinhalasi, dan
melihat efek anaesthesi perinhalasi pada setiap stadium anaesthesi.
TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi Inhalasi
Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting pada tindakan
pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila anestesi belum
dilaksanakan. Anestesi umum yang sering digunakan dan dinyatakan cukup aman
saat ini adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat
yang rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di
lapangan. Menurut Eka (2003), salah satu persyaratan obat anestesi inhalasi
adalah harus dapat menembus blood brain barier pada otak sehingga sapat
menstimulasi seluruh organ. Anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk
penanganan presedur bronkhoskopi dan laringoskopi, disamping menyebabkan

polusi terhadap individu yang berada diruangan operasi. Individu yang terpapar
halotan subklinis dapat mengalami gangguan hati (Ernawati, 2006).
Jenis-jenis obat untuk anestesi inhalasi ada dua macam, yaitu bentuk gas
dan cair yang mudah menguap. Bentuk gas yaitu NO 2, dan bentuk cair yang
mudah menguap terdiri dari halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane,
desflurane, ether, ethyl chloride, dan metoksiflurane (Hall 1991). Eter sudah tidak
digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan berisiko mengakibatkan
kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa kerugian yang
tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan sekresi
bronkus berlebih. Metoksiflurane adalah anestetik inhalasi yang paling poten,
tetapi induksi dan pemulihannya relative lambat.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagian astesi umum dengan eter dalam beberapa
stadium yakni :
Stadium I :Induksi atau Analgesia
Dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya kesadaran.
Pada tahapan ini hewan akan mengalami pusing, kehilangan orientasi, kurang
peka terhadap sentuhan dan rasa sakit. Indera pendengaran masih peka terhadap
suara-suara dan masih dapat mengikuti perintah.
Stadium II :Eksitasi atau Delirium
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan.
Terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pupil dilatasi,
pernafasan tidak teratur (kadang-kadang apnea dan hiperpnea, takikardi, dan
hipersalivasi.
Stadium III: Anastesiatautoleransi
Pernapasan menjadi spontan dan teratur karena tidak ada pengaruh psikis,
pengontrolan kehendak hilang, gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium ini. Stadium III dibagimenjadi
4 tingkat yakni :

Tingkat 1 :pernapasan teratur, spontan, terjadi gerak mata yang tidak menurut
kehendak, belum tercapai relaksasi otot lurik sempurna.

Tingkat 2 :pernapasan teratur tetapi kurangdalam dibanding tingkat 1, bola

mata tidak bergerak, pupil mulai melebar dan relaksasi otots edang.
Tingkat 3 :pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada, relaksasi

otot sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal.


Tingkat 4 :pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal
sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan reflex cahaya
hilang.

Stadium IV: Paralisis Medula Oblongata


Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III
tingkat 4, pasien akan kolaps, pernafasan dan denyut jantung akan berhenti dan
dapat disusul kematian. (Ganiswara et all, 1995)
Tindakan Preanestesi
Sebelum melakukan tindakan anestesi terlebih dahulu dilakukan tindakan
premedikasi adalah pemberian zat parasimpatolitik sebelum induksi anestesi.
Pilihan obat yang digunakan untuk premedikasi tergantung pada pasien, prosedur,
dan teknik anestesi yang dilakukan. Tujuannya adalah untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus, meringankan gejala gangguan pada gastrointestinal,
menghindari muntah, mengurangi refleks yang membahayakan (Miller 2010).
Salah satu contoh premedikasi yang sering digunakan adalah atropin. Atropin
merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau
parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja
menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot
polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Dennis
et.al 1997).

METODOLOGI
Alat dan bahan yang diperlukan adalah syringe 1 ml, kapas, gelas piala, kotak
kandang kaca, eter, atropine sulfat, dan stopwatch.

Percobaan ini diawali dengan kedua kucing ditimbang berat badannya, lalu
dimasukkan ke kotak kandang kaca yang terpisah. Salah satu kucing disuntikan dengan
atropine dosis 0,03-0,05mg/kg BB dan ditunggu kurang lebih 10 menit. Kapas dalam
gelas piala yang sudah dibasahi eter dimasukkan ke dalam kotak kandang kaca dan
diletakkan tepat di depan hidung masing-masing kucing. Gejala yang timbul pada
masing-masing kucing dan juga perubahan pada setiap stadium-stadium anaesthesinya
diamati dan dicatat waktunya.
HASIL PENGAMATAN

A. Kucing dengan pemberian atropine


Stadium

Nama stadium

Waktu (menit)

Gejala klinis

Stadium I

Analgesik / induksi

Stadium II

Eksitasi / delirium

14

Stadium III, Plana 1


Stadium III, Plana 2
Stadium III, Plana 3
Stadium IV
Stadium II
Stadium I
Sadar

Anestesi

20
24
25
29
32

Hilang refleks digit, dilatasi


pupil
Gerakan tidak menurut
kehendak, peningkatan
pernafasan.
Badan mulai rubuh
Tidak ada refleks muskulus.

Paralisis
Eksitasi
Analgesik

Pupil mulai mengecil.


Refleks digit mulaiada.
Bisa berdiri kembali.

B. Kucing tanpa pemberian atropine


Stadium

Nama stadium

Waktu (menit)

Gejala klinis

Stadium I

Analgesik / induksi

Stadium II

Eksitasi / delirium

18

Stadium III, Plana 1


Stadium III, Plana 2
Stadium III, Plana 3
Stadium IV
Stadium II
Stadium I
Sadar

Anestesi

25
26
28
30
32

Hilangnya refleks digit,


dilatasi pupil
Gerakan tidak menurut
kehendak, peningkatan
pernafasan, hipersalivasi.
Badan mulai rubuh
Tidak ada refleks muskulus.

Paralisis
Eksitasi
Analgesik

Pupil mulai mengecil.


Refleks digit mulai ada.
Bisa berdiri kembali.

PEMBAHASAN

Pada praktikum anestesi inhalasi ini, obat bius yang digunakan ialah ether
yang diberikan kepada dua kucing dengan perlakuan berbeda. Kucing pertama
disuntikkan atropine melalui subcutan sebagai premedikasi anestesi inhalasi dan

ditunggu 10 menit hingga obat tersebut bekerja, sedangkan kucing kedua tidak
diberikan premedikasi atropine. Kedua kucing tersebut diletakkan didalam
kandang kaca terpisah yang di dalamnya terdapat gelas piala dan cawan petri
berisi kapas dan ether sebanyak 40 mL. Berdasar hasil pengamatan, beberapa
menit kemudian terlihat efek dari eter yaitu hilangnya refleks digit dan terjadinya
dilatasi pupil yang menandakan Stadium I (analgesic). Kucing dengan pemberian
premedikasi atropine terlihat lebih cepat mencapai stadium I.
Beberapa menit kemudian, kedua kucing tersebut terlihat mengalami
peningkatan pernafasan dan bergerak tidak sesaui dengan keinginannya. Kucing
tanpa premedikasi atropine terlihat mengalami hipersalivasi. Keadaan tersebut
merupakan stadium II (eksitasi/derilium). Selang beberapa menit, kucing mulai
rubuh dan terjadi reflex muskulus yang merupakan gejala dari Stadium III
(anesthesia).
Efek pada kucing yang tidak diberikan atropine akan lebih lama terlihat,
walaupun kedua kucing diberikan eter dalam waktu yang bersamaan tetapi gejala
yang timbul dalam waktu yang berbeda. Pada stadium I anastesi (Analgesik)
gejala tidak terlihat pada kedua kucing karena pada gejala ini seharusnya kucing
mengalami hilangnya rasa nyeri, sesuai dengan literature yang mengatakan bahwa
stadium analgesic menyebabkan hilangnya rasa nyeri.
Pada menit ke-18 kucing tanpa premedikasi atropine baru menunjukkan
gejala seperti hipersalivasi, kaki tremor, dan peningkatan intensitas pernapasan.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa stadium II
(eksitasi/deriilium) anastesi akan memperlihatkan gejala intensitas pernapasan
meningkat, hipersalivasi, gerakan tidak terkontrol. Beberapa menit kemudian
kucing memperlihatkan gejala intensitas pernapasan mulai turun, mulai tertidur,
pernapasan costoabdominal, kerja otot lurik mulai menurun. Hal ini sesuai dengan
literatur yang mengatakan bahwa stadium III (anestesi) akan memperlihatkan
gejala intensitas pernapasan mulai turun, pupil mata mulai tenang, pernapasan
costoabdominal. Dan beberapa menit kemudian kucing mulai tertidur.
Sedangkan stadium IV anastesi (paralisis) tidak diketahui karena tidak
dilakukan percobaan untuk mengetahui hal sejauh itu karena pada stadium ini
akan terjadi depresi kuat pusat pernapasan dan pusat vasomotor dan bias

menyebabkan kematian. Pada kedua kucing yang terlihat adalah stadium


analgesic, eksitasi, dan anesthesia.
Pada pengamatan terlihat beberapa perbedaan antara kucing dengan
premedikasi atropine dan kucing tanpa premedikasi atropin. Kucing yang diberi
atropine tetap menunjukkan pengeluaran saliva, namun pengeluarannya sedikit.
Sedangkan kucing yang tidak diberikan atropine mengeluarkan saliva yang
banyak dan kental. Atropine sebagai obat antikolinergik yang bekerja
menghambat reseptor muskarinik. Kerjanya sebagai penghambat sekresi saliva di
saluran nafas atas dan bawah membuat obat ini sering dijadikan premedikasi
dalam anastesi. Keluarnya saliva yang berbusa itu disebabkan oleh efek atropine
yang memperkuat frekuensi pernapasan. Sehingga udara yang keluar dengan
saliva membentuk busa.Untuk kucing yang tidak diberi atropine tentu saja, tidak
ada obat yang menekan fungsi salivanya. Sehingga saliva tetap keluar dalam
jumlah banyak dan saluran pernapasan tidak dipengaruhi sehingga saliva yang
keluar tidak berbusa. Selain itu penembahan atropine juga menyebebkan onset
obat anastesi melambat namun mafasnya stabil hal tersebut dikarenakan atropine
menjaga sinus bradikardia.
KESIMPULAN
Anastesi inhalasi merupakan anestesi yang menggunakan indra pencimuan
sehingga bahan anesteri ini harus bersifat volatil dan dapat mendepres otak. Pemberian
premedikasi mempengaruhi kerja dari anastetikum yaitu mempercepat durasi obat.
Stadium anestesi menunjukan tanda-tanda yang khas dari stadium analgesic hingga
stadium anestesi, namun tidak mencapai stadium paralisis medulla oblongata.
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy


Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta: FKUI
Dennis E Kohn, et all. 1997. Anesthesia and analgesia in laboratory animals.
Academic Press A Harcourt Science and Technology Company:San Diego,
California.
Ernawati MDW. 2006. Pengaruh paparan udara halotan dengan dosis subanestesi
terhadap gangguan hati mencit. Jurnal Sains dan Teknolog iFarmasi. 11: 7175.

Ganiswara, Silistia G. 1995. FarmakologidanTerapi (Basic Therapy


Pharmacology). Alih Bahasa: BagianFarmakologi F K U I :Jakarta
Guedel, AE. 1920. Third Stage Ether Anaesthesia: a subclassification regarding
the significance of position and movements of the eyeball. Q Suppl Am J Surg
34:53-57
Hall LW, et all. 1991. Veterinary Anasthesia. Harcourt Publishers Limited :
London.
Miller RD. 2010. Millers Anesthesia. 7thEd. United States of America: Churchill
Livingston Elsevier.
Sharma, Eka. 2003. Inhalation Anaesthetia. http://medicine.tamhsc.edu/basicsciences/next/pdf/general-anesthesia.pdf [27 Februari 2015]

Anda mungkin juga menyukai