Jam Praktikum
: 14.30 17.00
Dosen Pembimbing : Drh Huda Salahudin
Darusman, MSi
Kelompok Praktikum : I (Satu)
ANASTESI PERINHALASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Anggota Kelompok :
Ahmad Fizri A.
(B04120081)
Sarah Minarni T.
(B04120126)
Devy Nur Priscaningtyas (B04120128)
Fauzi A. Munggaran
(B04120140)
Shiny Riady
(B04120141)
Muhammad Andika Nur (B04120146)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anestesi perinhalasi merupakan salah satu jenis anestersi menurut aplikasinya.
Aplikasi dari anestesi ini syratnya adalah bahan anestesi tersebut haruslah volatile jika
diletakkan pada lingkungan sehingga organism sekitar terpengaruhi. Anestesi ini
tergolong anestesi generah karena mampu menghilangkan kesadaran, reflex, nyeri, dan
tonus otot. Obat obatan yang dapat diberikan cotohnya
dan lain-lain.
Anestetik
perinhalasi
berbentuk
gas
atau
cairan
yang
tingkat
Anestesi Inhalasi
Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting pada tindakan
pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila anestesi belum
dilaksanakan. Anestesi umum yang sering digunakan dan dinyatakan cukup aman
saat ini adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat
yang rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di
lapangan. Menurut Eka (2003), salah satu persyaratan obat anestesi inhalasi
adalah harus dapat menembus blood brain barier pada otak sehingga sapat
menstimulasi seluruh organ. Anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk
penanganan presedur bronkhoskopi dan laringoskopi, disamping menyebabkan
polusi terhadap individu yang berada diruangan operasi. Individu yang terpapar
halotan subklinis dapat mengalami gangguan hati (Ernawati, 2006).
Jenis-jenis obat untuk anestesi inhalasi ada dua macam, yaitu bentuk gas
dan cair yang mudah menguap. Bentuk gas yaitu NO 2, dan bentuk cair yang
mudah menguap terdiri dari halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane,
desflurane, ether, ethyl chloride, dan metoksiflurane (Hall 1991). Eter sudah tidak
digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan berisiko mengakibatkan
kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa kerugian yang
tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan sekresi
bronkus berlebih. Metoksiflurane adalah anestetik inhalasi yang paling poten,
tetapi induksi dan pemulihannya relative lambat.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagian astesi umum dengan eter dalam beberapa
stadium yakni :
Stadium I :Induksi atau Analgesia
Dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya kesadaran.
Pada tahapan ini hewan akan mengalami pusing, kehilangan orientasi, kurang
peka terhadap sentuhan dan rasa sakit. Indera pendengaran masih peka terhadap
suara-suara dan masih dapat mengikuti perintah.
Stadium II :Eksitasi atau Delirium
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan.
Terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pupil dilatasi,
pernafasan tidak teratur (kadang-kadang apnea dan hiperpnea, takikardi, dan
hipersalivasi.
Stadium III: Anastesiatautoleransi
Pernapasan menjadi spontan dan teratur karena tidak ada pengaruh psikis,
pengontrolan kehendak hilang, gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium ini. Stadium III dibagimenjadi
4 tingkat yakni :
Tingkat 1 :pernapasan teratur, spontan, terjadi gerak mata yang tidak menurut
kehendak, belum tercapai relaksasi otot lurik sempurna.
mata tidak bergerak, pupil mulai melebar dan relaksasi otots edang.
Tingkat 3 :pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada, relaksasi
METODOLOGI
Alat dan bahan yang diperlukan adalah syringe 1 ml, kapas, gelas piala, kotak
kandang kaca, eter, atropine sulfat, dan stopwatch.
Percobaan ini diawali dengan kedua kucing ditimbang berat badannya, lalu
dimasukkan ke kotak kandang kaca yang terpisah. Salah satu kucing disuntikan dengan
atropine dosis 0,03-0,05mg/kg BB dan ditunggu kurang lebih 10 menit. Kapas dalam
gelas piala yang sudah dibasahi eter dimasukkan ke dalam kotak kandang kaca dan
diletakkan tepat di depan hidung masing-masing kucing. Gejala yang timbul pada
masing-masing kucing dan juga perubahan pada setiap stadium-stadium anaesthesinya
diamati dan dicatat waktunya.
HASIL PENGAMATAN
Nama stadium
Waktu (menit)
Gejala klinis
Stadium I
Analgesik / induksi
Stadium II
Eksitasi / delirium
14
Anestesi
20
24
25
29
32
Paralisis
Eksitasi
Analgesik
Nama stadium
Waktu (menit)
Gejala klinis
Stadium I
Analgesik / induksi
Stadium II
Eksitasi / delirium
18
Anestesi
25
26
28
30
32
Paralisis
Eksitasi
Analgesik
PEMBAHASAN
Pada praktikum anestesi inhalasi ini, obat bius yang digunakan ialah ether
yang diberikan kepada dua kucing dengan perlakuan berbeda. Kucing pertama
disuntikkan atropine melalui subcutan sebagai premedikasi anestesi inhalasi dan
ditunggu 10 menit hingga obat tersebut bekerja, sedangkan kucing kedua tidak
diberikan premedikasi atropine. Kedua kucing tersebut diletakkan didalam
kandang kaca terpisah yang di dalamnya terdapat gelas piala dan cawan petri
berisi kapas dan ether sebanyak 40 mL. Berdasar hasil pengamatan, beberapa
menit kemudian terlihat efek dari eter yaitu hilangnya refleks digit dan terjadinya
dilatasi pupil yang menandakan Stadium I (analgesic). Kucing dengan pemberian
premedikasi atropine terlihat lebih cepat mencapai stadium I.
Beberapa menit kemudian, kedua kucing tersebut terlihat mengalami
peningkatan pernafasan dan bergerak tidak sesaui dengan keinginannya. Kucing
tanpa premedikasi atropine terlihat mengalami hipersalivasi. Keadaan tersebut
merupakan stadium II (eksitasi/derilium). Selang beberapa menit, kucing mulai
rubuh dan terjadi reflex muskulus yang merupakan gejala dari Stadium III
(anesthesia).
Efek pada kucing yang tidak diberikan atropine akan lebih lama terlihat,
walaupun kedua kucing diberikan eter dalam waktu yang bersamaan tetapi gejala
yang timbul dalam waktu yang berbeda. Pada stadium I anastesi (Analgesik)
gejala tidak terlihat pada kedua kucing karena pada gejala ini seharusnya kucing
mengalami hilangnya rasa nyeri, sesuai dengan literature yang mengatakan bahwa
stadium analgesic menyebabkan hilangnya rasa nyeri.
Pada menit ke-18 kucing tanpa premedikasi atropine baru menunjukkan
gejala seperti hipersalivasi, kaki tremor, dan peningkatan intensitas pernapasan.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa stadium II
(eksitasi/deriilium) anastesi akan memperlihatkan gejala intensitas pernapasan
meningkat, hipersalivasi, gerakan tidak terkontrol. Beberapa menit kemudian
kucing memperlihatkan gejala intensitas pernapasan mulai turun, mulai tertidur,
pernapasan costoabdominal, kerja otot lurik mulai menurun. Hal ini sesuai dengan
literatur yang mengatakan bahwa stadium III (anestesi) akan memperlihatkan
gejala intensitas pernapasan mulai turun, pupil mata mulai tenang, pernapasan
costoabdominal. Dan beberapa menit kemudian kucing mulai tertidur.
Sedangkan stadium IV anastesi (paralisis) tidak diketahui karena tidak
dilakukan percobaan untuk mengetahui hal sejauh itu karena pada stadium ini
akan terjadi depresi kuat pusat pernapasan dan pusat vasomotor dan bias