A. Gambaran Umum
Disini penulis akan mendeskripsikan gambaran umum tentang kekerasan seksual.
kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang dilakukan oleh sesorang kepada
lawan jenisnya atau sesama jenis. perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait
dengan seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan
perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks.
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik tempat umum seperti bis, pasar,
sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah. Walaupun secara umum
wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun
pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi
adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari
pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.
Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur,
pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang,
maupun status sosial.
Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap insiden
termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi dan perilaku yang dilakukan
yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang
berwenang.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Kota Kediri. Kota Kediri merupakan kota yang
terletak di Jawa Timur. Kota Kediri merupakan salah satu kota besar yang ada di
Jawa Timur. Kota ini berjarak 128 km dari Surabaya, ibu kota provinsi Jawa
Timur. Dari aspek topografi, Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 m
diatas permukaan laut, dengan tingkat kemiringan 0-40%. Struktur wilayah Kota
Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai Brantas, yaitu sebelah timur dan barat
sungai. Wilayah dataran rendah terletak di bagian timur sungai, meliputi Kec. Kota
dan kec. Pesantren, sedangkan dataran tinggi terletak pada bagian barat sungai
yaitu Kec. Mojoroto yang mana di bagian barat sungai ini merupakan lahan kurang
subur yang sebagian masuk kawasan lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung
Maskumambang (300 m). Secara administratif, Kota Kediri berada di tengah
wilayah Kabupaten Kediri.Di sini terdapat industri rokok domestik. Perusahaan
rokok Gudang Garam relatif membantu pemkot mengurangi tingkat pengangguran
di kota Kediri. Kota Kediri juga mengembangkan industri skala rumah tangga.
Kota ini berkembang seiring meningkatnya kualitas dalam berbagai aspek. Mulai
pendidikan, pariwisata, komplek ruko dan pertokoan, birokrasi pemerintah, hingga
olahraga. Di bidang paiwisata, kota ini menyediakan Pagora, Petilasan Aji
Jayabaya, Goa Selomangleng. Hal itu ditunjang dengan fasilitas-fasilitas
penginapan, pasar swalayan, transportasi dan biro wisata. Di bidang pendidikan,
kota ini memiliki puluhan sekolah tingkat dasar dan menengah, beberapa
perguruan tinggi lokal, Madrasah, hingga pondok-pondok pesantren, seperti
Lirboyo, LDII, dan Queen Al-Falah.
Di sini tersedia makanan dan oleh-oleh khas, seperti stik tahu, tahu taqwa, gethuk
pisang, dan nasi tumpang. Selain itu Kota Kediri mencatat prestasi nasional dengan
sukses menyelenggarakan Muktamar NU tahun 1999 dan memboyong piala LIga
Indonesia IX (Sepak bola)tahun 2003 melalui klub persik kediri serta mendapat
predikat Kota Investasi 2003 versi Jawa Pos dan predikat Kota Sehat Nasional
2005 oleh Menteri Kesehatan.Pada tahun 2006 Kota Kediri kembali menjadi Juara
Liga Indonesia XII untuk ke dua kalinya.
anaknya. Yang dimaksud ini adalah orang tua korban yang kurang mengawasi
tingkah laku sehari-hari anaknya. Penulis banyak menjumpai anak- anak sekolah
dasar (SD) yang sering pulang sendiri pada saat sekolah. Hal ini yang
mengakibatkan banyaknya kekerasan seksual menimpa anak. Orang tua harus
memberikan pengawasan supaya tidak terjadi hal-hal yang akan merugikan
anaknya. Kekerasan seksual yang menimpa anak juga tidak terlepas dari zaman
modern seperti ini. Banyaknya teknologi canggih seperti sekarang ini juga
memberikan ancaman serius terjadinya kekerasan seksual. Seperti telepon
genggam yang makin lama makin canggih serta penggunan internet yang bisa
diakses oleh siapa saja. Inilah yang faktor yang menyebabkan maraknya kekerasan
seksual terhadap anak.
ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan undang-undang ini, antara lain
kurangnya pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pemerintah harus
berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat
agar kasus kekerasan seksual kepada anak bisa teratasi.
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam melakukan
suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan
atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak yang menjadi korban
akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku pencabulan.
Berdasarkan hasil penelitian di media cetak ataupun media elektronik dan dengan
staf , dalam hal pencabualn terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan
beragam modus operandi sebagai berikut :
Modus 1
Pelaku melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur dengan
cara pelaku mengajak berkenalan dengan anak yang akan menjadi korbannya,
pelaku menawarkan sesuatu seperti mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan
sesuatu. Setelah korban menerima penawaran tersebut pelaku melakukan
pencabulan.
Modus 2
Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan
cara atau modus memberikan minuman yang dimana minuman tersebut telah
dicampurkan obat yang membuat anak menjadi tidur atau pingsan, obat-obatan
tersebut dengan mudah didapatkan di apotek tanpa memerlukan resep dokter yang
antara lain seperti Ctm (Chlorpheniramin) atau Diazepam dan obat bius lainnya
yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Setelah korbannya tidak sadarkan
diri kemudian pelaku melakukan perkosaan.
Modus 3
Pelaku melakukan pencabualan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku
yang mempunyai jiwa yang dekat dengan anak-anak atau yang sering berada di
lingkungan anak-anak, mengajak bermain ataupun berbicara dengan anak
kemudian mengajaknya ke suatu tempat dengan iming-iming akan diberi sejumlah
uang atau hadiah, setelah anak tersebut mengiyakan ajakan pelaku, setelah itu
pelaku melakukan pencabulan.
Modus 4
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan modus atau
cara menculik anak yang akan menjadi objek pencabulannya dan membawanya ke
suatu tempat kemudian pelaku melaksanakan niat jahatnya yaitu mencabuli anak
tersebut.
Modus 5
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan modus atau
cara, pelaku menghipnotis atau membuat anak tersebut tidak sadar dengan
kekuatan alam bawah sadar yang di buat oleh pelaku sehingga apa yang pelaku
katakan anak atau korbannya akan selalu menurutinya dari keadaan seperti pelaku
melakukan niat jahatnya dengan mencabuli anak atau korbannya.
Modus 6
Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau
modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak atau korbannya sehingga
anak tersebut menjadi takut, dan pelaku bebas melakukan pencabulan terhadap
korbannya.
1. Faktor Lingkungan.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan situasi dan keadaan dari lingkungan tempat tinggal yang mendukung
dan memberi kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur, yang antara lain sebagai berikut :
a.Pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar yang terkadang sering kali
melanggar norma-norma yang berlaku seperti perkumpulan atau tongkrongan yang
seringkali berperilaku yang tidak sopan seperti mengganggu wanita, minumminuman beralkohol dan lain sebagainya.
b.Lingkungan tempat tinggal yang cenderung mendukung terjadinya kejahatan,
seperti lampu penerangan jalanan yang tidak memadai sehingga menimbulkan
daerah tersebut menjadi gelap, dan sepi yang dimana hal tersebut dapat
mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan.
c. Kurang efisiennya sistem pengamanan dari suatu daerah oleh masyarakat
maupun aparat kemananan setempat sehingga menyebabkan daerah tersebut rawan
dan sering timbul kejahatan.
d.Keadaan di lingkungan keluarga yaitu kurang efisiennya antisipasi keluarga
terhadap anak seperti seorang anak dibiarkan bermain atau berpergian sendirian
tanpa pendampingan dan pengawasan secara intensif sehingga anak dapat diawasi
dengan baik, dengan siapa anak bermain ataupun dengan siapa teman yang baru
anak kenal dan ketahui.
e. Keadaan di lingkungan keluarga dalam hal hubungan seksual suami istri dapat
mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan seperti seorang ayah mencabuli
anaknya (incest) yang disebabkan hasrat seksual ayah tidak dapat dipenuhi oleh
sang ibu dan menyebabkan ayah lepas kontrol dan mencabuli anaknya sendiri, hal
tersebut lebih cenderung pelakunya ialah ayah tiri tapi dapat juga dilakukan oleh
ayah kandung atau saudara-saudara dari anak tersebut.
f. Keadaan di lingkungan pendidikan dapat juga mempengaruhi dikarenakan di
lingkungan pendidikan juga harus di waspadai sebab banyak kasus pencabulan
yang dilakukan oleh seorang pengajar ataupun teman sekolahnya yang disebabkan
oleh kurangnya moralitas dan mentalitas dari pelaku sehingga membuat moralitas
dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
g. Keadaan lingkungan di jalanan bagi anak-anak yang berkehidupan di jalanan
dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah
umur, dikarenakan kehidupan jalanan dapat dikatakan kehidupan yang sangat keras
dan memiliki potensi yang relevan bagi suatu tindak pidana pencabulan,
kebanyakan korbannya anak-anak jalanan yang berkehidupan sebagai pengamen
dan pengemis, tidak selayaknya anak-anak berada dalam lingkungan tersebut.
2. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dalam hubungannya
dengan masalah ini merupakan suatu hasil karya yang diciptakan dan secara terusmenerus diperbaharui oleh sekelompok masyarakat tertentu atau dengan kata lain
perkembangan suatu ciri khas masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup
manusia atau masyarakat. Di sebagian negara yang berkembang khususnya
Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan mulai dari yang tradisional sampai
modern yang semakin lama semakin berkembang. Menurut Koentjaraningrat ada
tiga wujud kebudayaan yang antara lain sebagai berikut :
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud tersebut di atas, berupa wujud dari suatu kebudayaan yang dimana
jika dikaitkan dengan permasalahan pencabulan, terdapat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya perkosaan pada anak-anak yaitu dengan berkembangnya
kebudayaan tersebut dapat mengarah pada keterbukaan dalam bentuk seksual,
seperti gaya berpakaian terutama kaum wanita dan ditiru oleh anak-anak, semakin
bebasnya pergaulan terutama dalam hal seksual bebas dan lain-lain yang mengarah
pada perbuatan melanggar kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
Budaya berpakaian anak yang sekarang terkadang mengikuti perkembangan zaman
yang model dari pakaiannya tidak menutupi auratnya yang hal ini disebabkan usia
seorang anak masih dalam taraf peniruan orang-orang disekitarnya demi tumbuh
kembangnya, hal berpakaian inilah yang sedikit demi sedikit hal dapat menjadi
dampak yang mengancam anak untuk dilakukannya suatu perbuatan pencabulan
tersebut, dikarenakan anak yang berpakaian tidak menutupi auratnya yang dapat
mengundang hasrat seksual orang lain untuk menjadi seorang pelaku pencabualan
demi pemenuhan hasrat seksual pelaku.
5. Faktor Kejiwaan atau Psikologi.
Faktor kejiwaan dalam hal ini dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur. Beberapa dokter ahli jiwa
mengemukakan pendapat, bahwa perbuatan kejahatan itu selalu disebabkan oleh
beberapa ciri-ciri atau sifat-sifat seseorang, yang merupakan pembawaan dari suatu
keadaan penyakit jiwa. Terkadang para pelaku pencabulan mempunyai kejiwaan
yang terganggu akibat pernah mengalami suatu peristiwa yang dapat membuat
jiwanya menjadi terganggu. Beberapa penyakit jiwa yang berhubungan dengan
pelaku melakukan kejahatan, yang antara lain sebagai berikut :
a. Epilepsi. Penyakit sawan yang nampak nyata maupun yang tidak mudah
diketahui, yang datangnya tiba-tiba. Si penderita bila penyakitnya kambuh tidak
mampu menguasai dirinya, sehingga dalam keadaan tersebut yang bersangkutan
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan di luar kesadarannya,
antara lain perbuatan yang bertentangan dengan hukum..
b. Gejala Sosiopatik, ciri-cirinya adalah bahwa si penderita hamper-hampir tidak
mengenal norma, tidak dapat membedakan perbuatan mana yang diperbolehkan
dan mana yang tidak, akibatnya si penderita hampir selalu berurusan dengan
hukum, karena ada diantara perbuatannya di luar keinginannya yang merupakan
kejahatan.
c. Schizophrenic, suatu penyakit jiwa yang menyebabkan si penderita hidup dalam
keadaan jiwa yang terbelah, dimana yang bersangkutan sering dalam kehidupan
khayal, yang suatu saat khayalannya dianggap kenyataan yang dihadapi.
Bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur ini sering disebut dengan
istilah phedofilia yaitu suatu suatu istilah dari ilmu kejiwaan yaitu phedofil yang
artinya dapat disimpulkan ialah melampiaskan hasrat seksual kepada anak-anak.
Pada faktor kejiwaan yang menyimpang inilah yang merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah
umur. Penyebab penyakit Phedofilia ini sangat bervariasi ada yang berupa trauma
sewaktu kecil akibat pernah disodomi ataupun ketidaksukaan terhadap orang
dewasa akan tetapi lebih menyukai anak-anak di bawah umur dalam hal hubungan
seksualnya.
Memang seringkali kita dihadapkan dengan sejumlah kasus yang menunjukan
mengenai proses jalur hukum yang belum mampu menjembatani aspirasu pencari
keadilan. Pihak penegak hukum belum menjalankan tugasnya secara profesional,
sehingga mengecewakan dan merugikan korban kejahatan yang merindukan
keadilan.
Pihak korban masih dituntut secara detail untuk mendeskripsikan kasus yang
dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang melecehkannya
atau mengupas ulang tragedi yang menimpanya. Hal ini selain disampaikan
didepan pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh media secara detail.
Bahkan media biasanya cukup gencar menjadikannya sebagai objek jual, yang
kadang pemberitaanya tidak memperhatikan perasaan,harkat dan masa depan
korban. Pihak korban lebih ditempatkan sebagai sasaran empuk untuk mencari
keuntungan ekonomi.
Penulis juga melakukan wawancara kepada salah seorang pelaku kekerasan seksual
terhadap anak. di dalam wawancara tersebut sebelum melakukan tindakan itu
pelaku mengaku menonton video porno, sehingga pikiran pelaku tidak
terkendalikan. Pelaku juga menyebutkan hilang kendali setelah menonton video
porno tersebut. Kemudian pelaku melampiaskannya kepada anak yang masih
sekolah. Disini terlihat penulis juga menyimpulkan faktor penggunan internet yang
bisa diakses oleh semua orang dan tidak adanya aturan yang diterapkan oleh
warung internet untuk melarang membuka situs-situs dewasa.
Seharusnya warung internet melarang para penggunanya untuk membuka situs
dewasa dan juga pemerintah harus memblokir situs-situs yang dapat merusak
moral bangsa.
Penulis melakukan wawancara lagi kepada salah satu masyarakat yaitu bapak tarji.
Menurut bapak tarji, beliau mengatakan lebih menjaga anaknya karena maraknya
kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di Kota Kediri. Bapak tarji juga
merasa khawatir apabila anaknya bermain dengan teman-temannya walaupun
berada di lingkungan sekitar rumah, sehingga lebih posesif terhadap anaknya.
Beliau mengatakan kepada anaknya jangan mau diajak oleh orang yang tidak
dikenal.
Tanggung jawab semua kalangan itu sangat penting demi kelangsungan hidup
anak. Seperti terdapat di pasal 20 UU no 35 tahun 2014 bahwa Secara umum
penyelenggaraan perlindungan anak dilaksanakan oleh
negara,pemerintah,pemerintah daerah,masyarakat, keluarga, dan orang tua yang
kesemuanya bertanggung jawab dalam menjamin pelaksanaanya tanpa terkecuali.
Maraknya kasus kekerasan seksual menimpa anak di Kota Kediri seharusnya
membuat pemerintah melakukan perubahan. Pemerintah harus benar-benar
mengoptimalkan UU perlindungan anak sebagai acuan untuk melindungi anak dari
kekerasan. Pemerintah bukan hanya melakukan sosialisasi namun pemerintah
adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya, termasuk dalam
hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak sebagai generasi
penerus.Pemerintah dirasa sangat perlu memperbaiki undang-undang, terutama
mengenai hak-hak anak, memperberat hukuman bagi pelaku dan memberikan
pendidikan mengenai kekerasan seksual pada anak sehingga paradigma kekerasan
dan pelecehan seksual sebagai sesuatu yang lumrah menjadi hilang.
Masyarakat perlu menggalang kekuatan yang dapat menekan pemerintah untuk
segera mengatasi masalah ini dengan melibatkan pekerja sosial atau dunia
internasional yang peduli pada masalah kekerasan terhadap anak-anak. Para
pekerja sosial yang peduli dalam masalah kekerasan seksual pada anak dapat
menyelenggarakan penggalangan kesadaran akan pentingnya mengetahui hak-hak
asasi anak. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penyuluhan mengenai kiatkiat mencegah pelecehan seksual.Peran penyedia layanan kesehatan terutama
dokter sangat penting. Peran pemerintah dalam memberikan rasa aman yang
kurang sangat berpengaruh terhadap adanya kekerasan seksual.
pemberian penyuluhan yang merata yang memberikan kejelasan mengenai hak dan
kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan anak.
Solusi yang dilakukan dalam implentasi undang-undang perlindungan anak
Untuk mengatasi permasalahan maraknya kekerasan seksual yang menimpa anak
Pemerintah Kota Kediri seharusnya melakukan uapaya-upaya untuk menurunkan
angka kekerasan seksual yaitu seperti menyusun Peraturan Daerah yang khusus
melindungi anak terutama korban kekerasan seksual, melakukan sosialisasi
kebijakan yang terkait dengan perlindungan anak terutama anak korban kekerasan
seksual, mendirikan lembaga rehabilitasi anak korban kekerasan seksual,
membentuk LSM yang secara khusus bergerak dalam bidang penanganan anak
korban kekerasan seksual, mengadakan pelatihan bagi staf sehingga wawasan
mereka tentang penanganan anak korban kekerasan seksual bertambah, selain itu
mengusahakan agar dalam pasal yang mengatur sanksi pidana kekerasan seksual
diberi batasan hukuman minimal supaya jelas dalam pelaksanaannya serta
membentuk sistem database anak berbasiskan masyarakat yang bermanfaat bagi
penyusunan kebijakan yang menyangkut anak.
LAMPIRAN
POLSEK KEDIRI KOTA
DESA SEMAMPIR
Suasana di desa kediaman bapak tarji
PERUMAHAN DOKO
Suasana komplek perumahan pelaku