Anda di halaman 1dari 11

ACARA I

CARA PEMERIKSAAN TELUR CACING PADA SAMPEL TANAH

A. TUJUAN
1. Dapat mengetahui cara pemeriksaan telur cacing pada tanah.
2. Dapat mengamati berbagai macam telur cacing dari jenis tanah yang berbeda.
B. DASAR TEORI
Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar
orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di
sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur (WHO, 2013). Di Indonesia
sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012
menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten
mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing. Cacingan
mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi),
dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing dapat menimbulkan
kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat
menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat
menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes,
2006).
Manusia merupakan hospes dari beberapa nematoda usus (cacing perut),
yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing
perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenis-jenis cacing tersebut banyak
ditemukan didaerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan

pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk
ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya (Depkes RI, 2006).
Telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) memiliki ketahanan yang lebih
baik di lingkungan daripada telur Trichuris triciura. Telur Ascaris lumbricoides baru
akan mati pada suhu lebih dari 40C dalam waktu 15 jam sedangkan pada suhu
50C akan mati dalam waktu satu jam. Pada suhu dingin, telur Ascaris lumbricoides
dapat bertahan hingga suhu kurang dari 8C yang pada suhu ini dapat merusak telur
Trichuris trichiura. Selain itu, telur Ascaris lumbricoides juga tahan terhadap
desinfektan kimiawi dan terhadap rendaman sementara di dalam berbagai bahan
kimia yang keras (Wardhana, et al., 2013).
Selain itu, telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
Duodenale) dapat tumbuh optimum pada lingkungan yang mengandung pasir
karena pasir memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air sehingga telur-telur
akan terlindung dari sinar matahari. Suhu juga merupakan faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan telur cacing tambang. Suhu optimum pertumbuhan
cacing tambang yaitu 45C, namun suhu daerah perkebunan sayuran kubis relatif
lebih dingin berkisar antara 20C-30C sehingga tidak baik untuk pertumbuhan telur
cacing tambang (Sehatman, 2006).
Cacing tambang merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam
kelompok

soil transmitted helminth (STH). Infeksi cacing tambang masih

merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karenamenyebabkan anemia defisiensi


besi dan hipoproteinemia. Spesies cacing tambang yang banyak ditemukan di
Indonesia adalah Necator americanus. Didasarkan atas siklus kehidupan cacing
tambang, tempat hidup cacing jenis ini di alam adalah pada tanah yang memiliki
kelembaban cukup dan sedikit berongga. Stadium larva infektif akan bertahan
selama 2 minggu untuk mendapatkan tuan rumah yang akan diinfeksi dengan jalan
menembus kulit. Keterbatasan kemampuan larva filariform bertahan hidup di tanah
ini merupakan suatu kendala tersendiri dalam menemukan keberadaannya di tanah.
Sementara stadium telur cacing hingga menetas menjadi larva rhabditiform juga
memiliki waktu yang relatif pendek, terlebih apabila terkena cahaya matahari

langsung baik telur maupun larva ini bisa mengalami kerusakan sehingga akan lisis
atau mati (Sumanto, 2012).
C. ALAT DAN BAHAN
a. Alat-alat yang digunakan :
1. Saringan kawat kasa (1buah).
2. Tabung sentrifuse (2 buah).
3. Alat pemusing (1 buah).
4. Aplikator (1 buah).
5. Mikroskop (1 buah).
6. Pipet tetes (1 buah).
7. Gelas ukur (1 buah).
b. Bahan-bahan yang digunakan :
1. Sampel tanah (100 gram).
2. Larutan hipoklorit 30% (20 mL).
3. Larutan sulfas magnecius (secukupnya).
4. Air (secukupnya).
D. CARA KERJA
1. 100 gram sampel tanah disaring dengan saringan kawat.
2. Diambil 5 gram tanah yang disaring lalu dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuse.
3. Ditambahkan 20 mL larutan hipoklorit ke dalam tabung berisi tanah, diaduk dan
didiamkan selama 1 jam.
4. Dipusingkan pada kecepatan putar 2.000 rpm selama 2 menit lalu cairan
supernatant dibuang.
5. Ditambahkan air ke dalam tabung dan dipusing kembali 2 kali, untuk tiap kali 2
menit pada kecepatan putar yang sama.
6. Cairan supernatant dibuang, lalu ditambahkan larutan sulfas magnecius dengan
berat jenis 1,260 (282gr/L).
7. Diaduk dengan aplikator.
8. Dipusing pada kecepatan putar 2.500 rpm (x750g) selama 5 menit.
9. Ditambahkan larutan sulfas magnecius secara hati-hati sampai mengisi penuh
tabung, kemudian didiamkan beberapa menit.
10. Secara hati-hati diletakan kaca tutup sampai kontak dengan permukaan larutan
sulfas magnecius, dan kemudian kaca tutup diangkat perlahan-lahan ke atas dan
diletakan kaca tutup yang mengandung cairan di atas kaca benda.
11. Diperiksa dengan mikroskop.

E. HASIL PENGAMATAN
NO.

NAMA CACING

1.

Diphyllobothrium latum
(Sampel tanah dari Matesih)

2.

Ascaris lumbricoides
(Sampel tanah dari Purwosari)

3.

Ancyclostoma duodenale
(Sampel tanah dari Fakultas MIPA UNS)

FOTO

F. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui cara
pemeriksaan telur cacing pada tanah serta mengamati berbagai macam telur cacing
dari jenis tanah yang berbeda. Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah
metode sedimentasi. Metode sedimentasi adalah pemisahan larutan berdasarkan

perbedaan berat jenis, dimana partikel yang tersuspensi akan mengendap kedasar
wadah. Prinsip dari percobaan ini adalah pengamatan mikroskopis terhadap endapan
sampel tanah yang mengandung telur cacing dalam larutan hipoklorit.
Dalam praktikum ini tanah yang diperiksa direndam dalam larutan hipoklorit
30% di dalam tabung sentrifuse lalu didiamkan 1 jam sampai terbentuk endapan.
Larutan hipoklorit memiliki berat jenis yang lebih ringan dibanding dengan telur
cacing sehingga telur cacing akan mengendap bersama dengan sampel tanah.
Kemudian larutan dipusingkan dengan alat sentrifugasi yang bertujuan agar telur
cacing yang akan diamati tetap pada endapan dan tidak menyebar dalam cairan
supernatant. Cairan supernatant merupakan cairan bening yang berada di bagian
atas endapan. Setelah itu cairan supernatant dibuang, karena pada praktikum kali ini
yang akan diamati adalah endapan yang terbentuk.
Kemudian endapan direndam dengan larutan MgSO4. Hal ini dilakukan
karena larutan MgSO4 mempunyai berat jenis yang lebih ringan dibandingkan
dengan telur parasit sehingga telur parasit akan mengendap. Lalu sampel larutan
diletakan pada kaca objek dan ditutup cover glass kemudian diamati di bawah
mikroskop. Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tanah
yang diambil di daerah Matesih terdapat telur cacing Diphyllobothrium latum ; pada
sampel tanah yang diambil di daerah Purwosari terdapat telur cacing Ascaris
lumbricoides ; dan pada sampel tanah yang diambil di Fakultas MIPA UNS terdapat
telur cacing Ancyclostoma duodenale.
Diphyllobothrium latum merupakan jenis cacing penyebab Difilobatriasis
atau Penyakit Cacing Pita yang merupakan salah satu jenis penyakit cacing yang
paling berbahaya. Ditemukan pada usus halus manusia, anjing, kucing, babi,
beruang, mamalia pemakan ikan. Cacing memiliki ukuran 2-12 m warna abu-abu
kekuningan dengan bagian tengah berwarna gelap (berisi uterusdan telur). Testis
dan gld. Vitellaria terletak di lateral, ovarium di tengah berlobus 2. Uterus
berbentuk bunga di tengah dan membuka di ventral. Porus uterus terletak disebelah
porus genitalis. Telur keluar terus menerus di tinja dengan ukuran 67-71 x 40-51 .
Cacing dewasa memiliki beribu-ribu proglotid (bagian yang mengandung
telur) dan panjangnya sampai 450-900 cm. Telurnya dikeluarkan dari proglotid di

dalam usus dan dibuang melalui tinja. Telur akan mengeram dalam air tawar dan
menghasilkan embrio, yang akan termakan oleh krustasea (binatang berkulit keras
seperti udang, kepiting). Selanjutnya krustasea dimakan oleh ikan. Manusia
terinfeksi bila memakan ikan air tawar terinfeksi yang mentah atau yang dimasak
belum sampai matang.
Ciri-ciri dari telur cacing Diphyllobothrium latum adalah mempunyai
overkulum yang terdiri dari sel-sel telur. Telur menetas dalam air korasidium dan
memerlukan 2 hospes perantara, yaitu hospes perantara I : Cyclops dan Diaptomus
(golongan udang) berisi larva Procercoid ; dan hospes perantara II : ikan air tawar
yang berisi larva Plerocercoid atau Sparganum.
Siklus hidup dari cacing Diphyllobothrium latum dimulai dari telur. Telur
berkembang untuk beberapa minggu, coracidium (onchosphere berkait 6 dilengkapi
embriophore

yang

bercilia)

berada

di

air,

kemudian

dimakan

h.i.

cyclopid/diaptomid (berkembang menjadi procercoid) di haemochole dalam 2-3


minggu selanjutnya h.i. I dimakan h.i. II ikan (berkembang menjadi plerocercoid) di
viscera dan otot. H.i. II dimakan h.d dan menjadi dewasa dengan periode prepaten
3-4 minggu.
Diphyllobothrium latum ditemukan di dalam atau sekitar danau air tawar
dan sungai. Telur cacing ini terdapat dalam kotoran dari host definitif, lalu larva
hidup di Copepoda dan kemudian dalam daging ikan, serta di dalam usus mamalia
dewasa. Diphyllobothrium latum tidak memiliki efek positif pada manusia
melainkan bisa sangat berbahaya. Terdapatnya diphyllobothriasis pada manusia
dapat menyebabkan anemia, karena terjadi penipisan dan pengikisan vitamin B-12.
Ascaris lumbricoides adalah salah satu jenis cacing nematoda intestinalis
dengan ukuran terbesar yang menginfeksi manusia. Penyakit yang disebabkan
cacing ini disebut askariasis. Parasit ini bersifat kosmopolit, yaitu tersebar di
seluruh dunia, terutama di daerah tropis dengan kelembaban cukup tinggi. Bentuk
tubuhnya silindris dengan ujung anterior lancip. Bagian anteriornya dilengkapi tiga
bibir (triplet) yang tumbuh dengan sempurna. Cacing betina panjangnya 20-35 cm,
sedangkan cacing jantan panjangnya 15-31 cm. Pada cacing jantan, ujung
posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dan dilengkapi pepil kecil serta

dua buah spekulum berukuran 2 mm. Cacing betina posteriornya membulat dan
lurus, dan sepertiga bagian anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya
berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula
bergaris halus.
Telur cacing ini memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertrilized), tidak
dibuahi (afertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berukuran 60 x 45
mikron dengan dua lapis dinding tebal. Lapisan luar terdiri dari jaringan
albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Sel
telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe yang
dibuahi ukurannya 90 x 40 mikron, dengan dinding luar yang lebih tipis. Isi telur
berupa massa granula refraktil. Telur matang berisi larva (embrio), tipe ini menjadi
infelatif setelah berada di tanah 3 minggu. Telur yang dekortikasi tidak dibuahi,
namun lapisan luar yaitu albuminoid sudah hilang.
Cacing betina menghasilkan 200 ribu butir per hari. Telur Ascaris
lumbricoides berkembang dengan baik pada tanah liat dengan kelembaban tinggi
pada suhu 25-30 C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif
(mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu. Telur yang infektif bila tertelan
manusia akan menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus
halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa, kemudian terbawa oleh darah
sampai ke jantung dan menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding
alveolus dan masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju
ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena rangsangan larva
ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, sampai di usus halus, dan
menjadi dewasa. Dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa
membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan.
Ascaris lumbricoides biasanya berada dalam usus kecil manusia, khususnya
jejunum. Cacing ini menghasilkan inhibitor pepsin untuk mencegah enzim host dari
mencerna dan menggunakan aktivitas otot untuk menghindari dikeluarkan. Cacing
jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembapan tinggi, termasuk
Indonesia. Tidak ada informasi ditemukan mengenai manfaat kepada manusia yang
diberikan oleh Ascaris lumbricoides. Cacing jenis ini merupakan parasit dalam usus

manusia. Infeksi Ascaris lumbricoides adalah penyebab utama dari kekurangan gizi,
terutama pada anak-anak, karena menyebabkan kehilangan energi protein dan
vitamin A dan vitamin C. Secara keseluruhan, hal ini dapat menyebabkan
pengerdilan pertumbuhan linear, yang mengarah kepada defisit fisik dan mental
pada manusia.
Ancylostoma duodenale disebut cacing tambang karena ditemukan dieropa
yaitu pada pekerja pertambangan yang belum mempunyai fasilitas sanitas yang
memadai.Hospes parasit ini adalah manusia ; cacing ini menyebabkan nekatoriasi
dan ankilostomiasis.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulutnya melekat pada
mukosa dinding usus. Cacing betina menghasilkan 9.000 10.000 butir telur
perhari. Cacing betina mempunyai panjang 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm.
cacing dewasa berbentuk huruf S atau C dan didalam mulutnya ada sepasang gigi.
Rongga mulutnya sangat besar. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.
Telur cacing tambang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur
dan mempunyai dinding yang tipis dan di dalamnya terdapat beberapa sel. Larva
rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva filariform
panjangnya kira-kira 600 mikron.
Daur hidup Ancylostoma duodenale yaitu telur cacing dikeluarkan bersama
feses dalam waktu 1-2 hari di dalam tanah, telur tersebut akan menetas menjadi
larva rabditiform. Dalam waktu sekitar tiga hari larva rabditiform tumbuh menjadi
larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu
di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut masuk melalui aliran darah menuju
jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke
bronkus lalu ke trakea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke
dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa.
Telur cacing tambang mendapatkan nutrisi mereka dari kotoran host melalui
penyerapan. Oleh karena itu mereka harus tinggal di daerah dengan tanah dengan
pH netral dan di daerah teduh, seperti perkebunan kopi, pisang, dan gula di mana
kotoran akan tetap utuh cukup lama bagi mereka untuk berkembang menjadi
juvenil. Cacing ini angat sensitif terhadap sinar matahari, yang akhirnya dapat

membunuh mereka. Juvenil dari cacing tambang juga sensitif terhadap konsentrasi
garam tinggi dan pH asam tanah.
Selain jenis-jenis cacing diatas, masih ada beberapa jenis cacing yang dapat
hidup dalam tubuh manusia sebagai parasit. Salah satunya adalah cacing pita
(Taenia sp.) yang memiliki bentuk panjang pipih menyerupai pita, kepalanya kecil
dan mempunyai kait untuk melekatkan diri pada dinding usus. Cacing pita
mempunyai banyak jenis, tetapi ada tiga yang biasa dikenal yaitu cacing pita
daging, cacing pita ikan dan cacing pita babi.
Kemudian ada cacing filarial/cacing rambut (Wuchereria bancrofti) yang
mempunyai inang perantara hewan Arthropoda, dan inang tetap yaitu manusia pada
bagian pembuluh getah bening. Pada siang hari, larva berada di paru-paru atau di
pembuluh darah besar. Pada malam hari, cacing pindah ke pembuluh arteri atas dan
vena perifer di dekat kulit. Apabila cacing yang mati menyumbat pembuluh getah
bening, maka menyebabkan pembengkakkan atau terjadinya penyakit kaki gajah
(elephantiasis). Mikrofilaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Culex.
G. KESIMPULAN
1. Dilakukan pengamatan telur cacing pada sampel tanah dengan metode
sedimentasi. Metode sedimentasi adalah pemisahan larutan berdasarkan
perbedaan berat jenis, dimana partikel yang tersuspensi akan mengendap
kedasar wadah.
2. Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tanah yang
diambil di daerah Matesih terdapat telur cacing Diphyllobothrium latum ; pada
sampel tanah yang diambil di daerah Purwosari terdapat telur cacing Ascaris
lumbricoides ; dan pada sampel tanah yang diambil di Fakultas MIPA UNS
terdapat telur cacing Ancyclostoma duodenale.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2006. Profil Kesehatan 2005. Jakarta:Departemen Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta :Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan
16(4):22-25
Sumanto, D. 2012. Uji Paparan Telur Cacing Tambang Pada Tanah Halaman Rumah.
Jurnal Hasil-Hasil Penelitian LPPM UNIMUS 2012 1(1):254-262 ISBN : 978-602
18809-0-6.
Wardhana, K.P., Kurniawan, B., Mustofa, S. 2013. Identification Of Soil Transmitted
Helminths Egg On Fresh Cabbage (Brassica oleracea) At Lampung University
Food Stalls. Jurnal Medical Faculty of Lampung University 1(1):86-95 ISSN
2337-3776.

Mengetahui,
Asisten Pembimbing

Surakarta, 25 November 2015


Praktikan,

Anda mungkin juga menyukai