Anda di halaman 1dari 8

PERTOLONGAN PERTAMA TERHADAP GIGITAN BINATANG BERBISA DEMI

MENEKAN ANGKA MORTALITAS AKIBAT KEGAWATDARURATAN LINGKUNGAN


Riko Hakiki
111 00 70 100 213
ABSTRAK
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigita ular
berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila ia
merasa terancam atau diganggu. Di seluruh setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang
meninggal dunia aibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan
ular berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan terjadi di daerah ekstremitas dan 70% disebabkan
oleh Rattlesnake. Di bagian Emergensi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu
1996-1998 dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful
Anwar Malang dalam kurun waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular
berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan
hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan koma
dan apnoe. Hali ini sejalan dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka kematian ditemukan
kurang dari 1% pada kasus gigitan ular berbisa yang diberi antivenom. Estimasi global
menunjukkan sekitar 30.000 - 40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.
Kata kunci : Gigitan binatang berbisa, ular

PERTOLONGAN PERTAMA TERHADAP GIGITAN BINATANG BERBISA DEMI


MENEKAN ANGKA MORTALITAS AKIBAT KEGAWATDARURATAN LINGKUNGAN

I. Pendahuluan
Gigitan binatang berbisa merupakan bagian dari kegawatdaruratan lingkungan. Banyak
kasus yang membuktikan bahwa akibat bisa gigitan binatang berbisa dapat mempengaruhi fungsi
organ atau jaringan tubuh manusia, maka sebagai akibatnya dapat terjadi keracunan yang bisa
berupa gejala keracunan ringan bahkan dapat juga berakhir dengan kematian.
Racun merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik
terhadap suatu organ dan beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang
pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan
racun yang bersangkutan.
Keracunan yang disebabkan oleh gigitan binatang berbisa memang perlu mendapat
perhatian oleh semua pihak. Sebab populasi binatang yang mempunyai potensi menularkan racun
ini bisa dijumpai dimanapun, kapanpun, dan bisa dialami oleh siapa saja. Selain itu, sifat racun
yang cepat dan kuat, ketika masuk ke dalam darah dan menyebar mengikuti sirkulasi akan
memperbesar adanya kemungkinan korban akan sulit diselamatkan. Oleh sebab itu, pengetahuan
akan penanganan bahaya dari keadaan ini memang harus dimiliki oleh siapapun yang bisa
dijadikan palang awal dalam mencegah kegawatdaruratan.
II. Kajian Teori
1. Gigitan ular berbisa
A. Mekanisme gigitan ular berbisa
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular
dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Dosis bisa setiap
gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang
dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan
mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Sebagian besar
bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya.

Korban gigitan ular biasanya akan mengalami pendarahan selama beberapa hari. Pendarahan bisa
teradi pada gusi, muntah darah, batuk berdarah dan kencing berdarah. Walaupun kasus dengan
kematian jarang ditemukan, kehilangan darah yang banyak patut diwaspadai karena pada
akhirnya juga akan mengancam nyawa korban. Hal ini diperparah lagi bila tidak mendapat anti
bisa sehingga akan menimbulkan kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernafasan. Biasaya
akan memakan waktu lebih kurang 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat
yakninya 3 jam setelah gigitan. Selain menimbulkan perdarahan, ada beberapa spesies ular yang
juga dapat menyebabkan terjadinya koagulopati. Tanda tanda klinis pada keadaan ini dapat
ditemui berupa keluarnya darah terus menerus dari tempat gigitan, gusi, dan bahkan bisa
berkembang menimbulkan hematuria, hematemesis, melena dan batuk darah.
B. Identifikasi jenis-jenis ular berbisa
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4
famili utama yaitu :
1. Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular
cabai.
2. Famili Crotalidae/Viperidae misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo.
3. Famili Hydrophidae misalnya ular laut.
4. Famili Colubridae misalnya ular pohon.
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak
berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun berdasarkan hasil penelitian, beberapa
ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan
saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran
gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
a) Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segiempat panjang.
2. Gigi taring kecil.
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan.

b) Ciri-ciri ular berbisa:


1. Bentuk kepala segitiga.
2. Dua gigi taring besar di rahang atas.
3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring.

Gambar 1. Bekas gigitanan ular. (a) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (b) Ular
berbisa dengan bekas taring.
Selain itu, jenis-jenis binatang berbisa berdasarkan toksisitas bisanya terbagi menjadi :
1. Hematotoksik seperti: Trimesaurus albolaris (ular hijau). Ankistrodon rhodostoma
(ular tanah). Aktivitas hemoragik pada bisa ular jenis ini menyebabkan perdarahan
spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan).
2. Neurotoksik seperti : Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix (Ular sendok),
ular kobra, ular kobra, dan ular laut.
C. Gambaran klinis gigitan ular berbisa
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987) :
1. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit- 24
jam)
2. Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala dan pandangan lebar.

3. Gejala khusus gigitan ular berbisa :


a) Hematotoksik: Perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritonium,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (pteqie, ekimosis),
hemoptoe, hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
b) Neurotoksik: Hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan, ptosis,
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abnormal, kejang dan koma.
c) Kardiotoksik:

Hipotensi, henti jantung, koma.

d) Sindrom kompartemen: Edema tungkai dengan

tanda-tanda (pain, pallor,

paresthesia, paralysis, pulselesness).

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 2. (a) Tanda gigitan ular, (b) Bentuk Ekimosis, (c) Edema, (d) Menghitam
III. Penatalaksanaan kegawatdaruratan gigitan ular berbisa
1. Pertolongan pertama harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawah ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang
berada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan utama adalah untuk menghambat penyerapan
bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapat perawatan
medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa
korban ke tempat perawatan medis.

Metode yang dilakukan dalam penanganan awal ini adalah :


a) Menenangkan korban yang cemas.
b) Immobilisasi ( membuat tidak bergerak ) bagian tubuh yang tergigit dengan
cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke
dalam darah dan getah bening.
c) Pertimbangkan untuk selalu menghindari gangguan terhadap luka gigitan
karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan perdarahan lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin.
Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular.
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigtan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit,
pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi :
a) Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau
steril.
b) Untuk efek lokal yang dianjurkan immobilisasi
menggunakan perban katun elastis dengan 10 cm, panjang
45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti
membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu
kencang agar aliran darah tidak terganggu.
Pemberian torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan
torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
5. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan nafas;
penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu
dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat, shock dengan atau tidak ada
perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya

penekanan perban, hiperkalemis akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan
komplikasi nekrosi lokal.
6. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
7. Pemberian suntikan Penisillin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
8. Pemberian sedatif atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik.
9. Pemberian serum antibisa. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan
jaringan lokal yang luas. Sebagian bisa ular bersifat antigenik yang sebagian besar terdiri dari
protein sehingga menurut beberapa penelitian dapat dimodifikasi dari beberapa serum yang
mempunyai sifat yang sama, seperti serum kuda. Di indonesia, antibisa berifat polivalen, yang
mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang
yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik,
nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa
yang diinjeksikan pada korban.
Korban yang terkena gigitan ular harus segera diberi pertolongan pertama sebelum dibawa dan
dirawat di rumah sakit. Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan
ular. Untuk mengobati korban gigitan ular dianjurkan menggunakan serum antibisa ular.
B. Saran
1. Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu
dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada
daerah paha bagian bawah sampai kaki.
2. Ketersedian serum antibisa untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular.
3. Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak-semak.
4. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti.

5. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
kejadian seperti itu.
Daftar Bacaan
Djoni Junaedi. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Dalam: Aru W.Sudoyo, Bambang
Setiyohadi, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 2010 h. 278-283.
Eliastam Michael, George L.S. Envenomasi. Dalam : dr. Hanurdja Santasa, penyunting. Buku
Saku Penutun Kedaruratan Medis Edisi 5. Jakarta: EGC, 1998 h. 373-422.
Lalani Amina, Scheneeweiss Suzan. Kegawatdaruratan Racun Gigitan Binatang Berbisa. Dalam:
Aryanto Widhi Nugroho, penyunting. Racun. Jakarta: EGC, 2001 h. 358-359.

http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/24/penatalaksanaan-keracunan-akibat-gigitan-ularberbisa/

Anda mungkin juga menyukai