Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB IV
PENENTUAN POSISI VERTIKAL
Berbeda dengan posisi horizontal suatu titik, di mana setiap titik dinyatakan dalam bentuk 2 dimensi (2D),
maka pada posisi vertikal hanya dinyatakan pada dengan 1 (satu) dimensi (1D) . Posisi vertikal ini lebih
dikenal edngan istilah "ketinggian" yang dinotasikan bermacam-macam. Sebagian besar memberi
notasi Z untuk pernyataan posisi pada sumbu Z, H untuk menyatakan height dan mungkin T
untuk pernyataan tinggi.
Operasi hitungan pada posisi vertikal jauh lebih sederhana, bila dibandingkan dengan posisi horizontal,
mengingat operasi hitungan garis (1-Dimensi). Meskipun demikian, terdapat beberapa metoda yang
menerapkan mathematika lebih tinggi , misal operasi hitungan pada bidang ataupun operasi lainnya yang
lebih rumit. Pada prinsipnya, secara menyeluruh ditujukan untuk mendapatkan posisi pada sumbu Z
(untuk sistem koordinat Cartesius).
Mengingat posisi vertikal dapat memberikan gambaran atas relief (naik/turun) dan bentuk permukaan
bumi (topografi), maka berikut ini akan dibahas beberapa metoda yang mungkin diterapkan dalam
pemetaan dan surveying secara umum.
4.1.
Ketinggian
Ketinggian suatu titik adalah jarak vertikal titik tersebut yang diukur dari bidang referensi
(acuan) tertentu sepanjang garis yang melalui titik tersebut dan tegak lurus bidang tersebut.
Dalam pengertian lebih mendalam, garis tersebut merupakan garis gaya berat yang melalui
titik yang dimaksud. Ketinggian suatu titik dapat dinyatakan dalam beberapa notasi seperti
yang telah diulas di atas
48
Dasar-dasar Perpetaan
HBA
HAB
A
// bidang acuan/referensi melalui A
HB
HA
bidang acuan/referensi
Gambar 25.
Dasar Posisi Vertikal Titik
Bidang acuan/referensi ketinggian, sebenarnya berupa geoid, namun dalam ilmu ukur tanah, di
mana bumi dianggap sebagai bidang datar, maka bidang acuan ketinggian tersebut tidak lagi
lengkung, malainkan dianggap sebagai bidang datar.
Penerapan sistem koordinat Cartesius dalam masalah ini adalah bahwa bidang acuan/referensi
ketinggian, merupakan bidang mendatar Cartesius, yaitu bidang X-O-Y. Bila pokok bahasan
hanya terbatas pada jketinggian, maka ketinggian suatu titik tersebut dinyatakan sepanjang garis
lurus (sumbu Z) atau pada garis yang sejajar (//) sumbu Z.
Pernyataan letak bidang X-O-Y (bidang acuan ketinggian), selanjutnya akan disebut dengan
Titik Nol Ketinggian. Seperti juga pada penentuan posisi horizontal, dalam penentuan posisi
vertikalpun dapat terjadi perbedaan pernyataan ketinggian titik akibat dari perbedaan letak titik
nol tersebut. Hal ini akan diulas di bawah.
Gambar 25., menunjukkan ketinggian titik A & B , beda tinggi A-B dan beda tinggi B-A.
Dapat dilihat bahwa dari titik A ke titik B, bila kita berjalan akan disebut naik , sehingga letak
beda tinggi dari A ke B, berada di bawah titik B. Hal yang sebaliknya, bila dari titik B ke titik A.
Pada Gambar 25., dapat dilihat :
HAB > 0
; HBA < 0
Bila dinyatakan secara mathematis, hubungan beda tinggi dengan ketinggian, dapat dituliskan :
HAB =
HB HA
..
(4.1)
HA HAB
..
(4.2)
..
(4.3)
atau :
HB =
dan
HAB = HBA
49
Dasar-dasar Perpetaan
Ketiga rumus di atas, merupakan dasar-dasar penentuan posisi vertikal pada ilmu ukur tanah
(bidang datar). Penentuan posisi vertikal suatu titik, diperoleh dari ketinggian suatu titik lain dan
beda tinggi dari titik tersebut, ke titik yang akan ditentukan (persamaan (4.2)).
Oleh karena itu, semua metoda yang akan dibahas, bertujuan menentukan beda tinggi antara
2 buah titik.
4.2.
Acuan Ketinggian
Untuk perencanaan suatu pelabuhan, titik nol ketinggian digunakan LLWS ( Lowest
Low Water Surface = Muka/Paras Surutan Terendah ).
Ini dimaksudkan agar tidak ada kapal yang kandas di pelabuhan pada saat surut
terendah.
Untuk penanggulangan banjir, titik nol ketinggian yang dipilih adalah HWS ( Highest
Water Surface = Muka Pasang Tertinggi ). Pemilihan ini berdasarkan tinggi tanggul yang
direncanakan agar tidak lebih rendah dari muka air tertinggi saat pasang tinggi.
Untuk menyatakan ketinggian badan, secara otomatik digunakan lantai (tempat
berpijak/telapak kaki) sebagai titik nol ketinggian.
Dengan demikian, mungkin terdapat banyak titik nol normal, sehingga dalam melaksanakan
suatu tujuan yang berkaitan dengan ketinggian muka tanah, sangat dianjurkan untuk meninjau
ulang dan evaluasi titik nol ketinggian yang digunakannya.
Dalam menyatakan ketinggian dalam peta yang sama, tidak dibenarkan untuk menggunakan
2 (dua) macam titik nol ketinggian yang berbeda.
50
Dasar-dasar Perpetaan
51
Dasar-dasar Perpetaan
4.3.
b
B
a
HAB
A
HB
HA
bidang acuan/referensi
Gambar 26.
Dasar Penentuan Beda Tinggi
Untuk menentukan beda tinggi antara 2 titik, akan sangat sukar bila dilakukan di dalam tanah
seperti yang tergambar. Oleh karena itu, dibentuklah suatu garis atau bidang yang sejajar (//)
bidang acuan. Bidang tersebut (sebut : bidang ukur) merupakan bidang yang mendatar,
karena bidang acuan juga berupa bidang mendatar. Bidang ini, dapat juga dikatakan sebagai
bidang horizon yang melalui titik tertentu.
Apabila ketinggian bidang ukur adalah a dari titik A dan b dari titik B (lihat gambar 26.),
maka dapat dinyatakan :
HAB = a b
(4.4)
52
Dasar-dasar Perpetaan
Model penentuan beda tinggi semacam ini, merupakan model dasar yang dalam
penerapannya dapat menggunakan berbagai cara sebagai metoda pengukuran.
Berikut ini terdapat banyak metoda pengukuran beda tinggi yang dapat diterapkan. Metoda
yang akan dibahas dengan rinci, terbatas pada metoda yang banyak diterapkan di lapangan
dalam pemetaan dan surveying secara umum.
1.
2. METODA TRIGONOMETRIS
Pada metoda ini, prinsip yang digunakan adalah pengukuran jarak dan sudut vertikal.
Metoda ini menerapkan posisi vertikal pada bidang datar yang tegak (vertikal) dan
menggunakan bentuk geometrik segi-tiga siku.
Walaupun tujuan akhir adalah posisi pada/sepanjang sumbu Z ( 1 dimensi), namun dasar
metoda adalah posisi 2 dimensi (2D).
3. METODA BAROMETRIK (ALTIMETRIK)
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan menggunakan tekanan udara, di mana hasil
pengukuran dapat berupa langsung beda tinggi, ataupun dalam bentuk besarnya/nilai
tekanan udara.
Bila pengukuran ini dinyatakan dalam satuan panjang secara langsung, maka disebut dengan
metoda ALTIMETRIK, tetapi bila dinyatakan dalam satuan mm Hg atau Bar. /mBar. , maka
dikenal dengan metoda BAROMETRIK.
Metoda Altimetrik banyak diterapkan pada navigasi udara. Setiap pesawat udara (terutama
yang komersial) harus menggunakan altimeter untuk menjaga ketinggian terbang.
4. METODA HIDROSTATIK
Salah satu sifat benda cair dalam keadaan diam (statis) digunakan untuk menyatakan beda
tinggi ataupun ketinggian suatu titik. Metoda ini banyak digunakan untuk memindahkan
ketinggian titik untuk jarak yang jauh, dengan anggapan (selama/sepanjang) tinggi muka air
dapat dinyatakan pada ketinggian yang sama.
Metoda ini akan sering diterapkan pada pengukuran beda tinggi untuk menyeberang sungai
atau danau, baik sebagai pengikatan ataupun memindahkan ketinggian.
Salah satu penerapan metoda ini adalah pengamatan muka air dalam pengukuran pasang
surut.
53
Dasar-dasar Perpetaan
5. METODA FOTOGRAMETRIK
Kenampakan 3 (tiga) dimensi (pandangan stereoskopis) pada foto udara yang bertampalan
(over-lap) dapat memberikan perbedaan tinggi antara 2 (dua) titik dengan bantuan TONGKAT
PARALAKS (Paralax Bar). Semakin kecil skala foto udara yang digunakan, semakin kasar
hasil pengamatan beda tingginya, bila dibandingkan dengan keadaan sebenarnya di
lapangan.
6. METODA SATELIT
Berdasarkan pancaran frekuensi tertentu dari tempat yang berjarak tetap, maka beda tinggi
antara 2 (dua) titik dapat diketahui dengan menggunakan GPS.
Untuk metoda GPS, bidang acuan ketinggian bukan geoid, melainkan ellipsoida, untuk ini
terdapat pengolahan data lebih lanjut agar ketinggian dinyatakan terhadap sistem ketinggian
yang sama.
Selain metoda GPS, kini telah banyak diterapkan satelit altimetrik yang dapat memberikan
keting-gian lebih baik.
7. METODA SOUNDING
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan cara pengukuran jarak yang menggunakan sifat
pantulan gelombang suara. Dengan dasar inilah, maka metoda tersebut dinyatakan
sebagai metoda ECHO-SOUNDING .
Metoda ini digunakan merupakan salah satu untuk mengukur kedalaman dasar air secara
elektronis. Kedalaman dasar air juga dapat diukur dengan metoda lain yang sederhana, tetapi
metoda ini bukan baik dan hanya untuk dasar air yang dangkal.
4.4.
54
Dasar-dasar Perpetaan
rambu
garis (bidang) //
bidang acuan
BTb
B
BTa
HAB
A
//bidang acuan
Gambar 27
Beda Tinggi Metoda Sipat Datar
Keterangan :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
Untuk mendapatkan beda tinggi dari titik A ke titik B (HAB) , digunakan persamaan (4.4) dengan
menggantikan a dengan BTa dan b dengan BTb , sehingga :
HAB = BTa BTb
(4.5)
di mana :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
Disamping pembacaan benang tengah (benang yang berada di tengah silang diafragma),
terdapat pula 2 benang lainnya, yaitu Benang Atas (di sebelah atas benang tengah) , dan
Benang Bawah (di sebelah bawah benang tengah).
Berikutnya, ketiga benang tersebut akan dinotasikan sebagai singkatannya saja, yaitu :
BT untuk Benang Tengah
BA untuk Benang Atas
dan
BB untuk Benang Bawah
Fungsi BA dan BB adalah :
1. Pemeriksaan (Checking) BT , yaitu dengan :
BA + BB = 2.BT
(4.6a)
2. Mengukur jarak dari alat ke rambu sepanjang garis bidik, berdasarkan perbesaran optik :
D = 100 ( BA BB )
(4.6b)
55
Dasar-dasar Perpetaan
Beda tinggi
Bagian pengukuran H yang terkecil/terpendek dimana pada bagian ini alat sipat datar
ditempatkan/diletakkan, disebut sebagai SLAG / SELANG. Bagian ini, dapat saja berupa
pengukuran H antara titik-titik yang sebenarnya tidak diperlukan keberadaannya. Titik
seperti ini dikenal dengan titik bantu. Jarak antar titik bantu, dapat berdekatan, tetapi
mungkin saja cukup jauh, sesuai dengan keperluan, keadaan lapangan dan kemampuan
alat.
Prinsip dasar pengukuran H
seperti pada Gambar 27, merupakan slag/selang
pengukuran sipat datar memanjang.
Arah pengukuran
3
4
5
1
2
6
7
B
A
8
Gambar 28.
Tampak atas Pengukuran Sipat Datar Memanjang
Keterangan :
= titik yang akan ditentukan/diukur beda tinggi
= titik bantu
= tempat alat sipat datar
= garis lurus antar titik
= garis ukuran
Pengukuran H antara titik yang akan ditentukan (antara A-B, pada Gambar 28.), disebut
SEKSI. Pengukuran seksi, merupakan kumpulan pengukuran slag/selang.
Bila dihubungkan dengan arah pengukuran (lihat Gambar 28.), maka H suatu seksi dapat
ditu-liskan seolah-olah berbeda dengan sebelumnya, walaupun dengan tujuan agar dapat
berlaku secara umum dalam metoda ini.
HA1 = BTa BT1
H12 = BT1 BT2
H12 = BT2 BT3
56
Dasar-dasar Perpetaan
(4.7)
Sehingga untuk H seksi (beda tinggi yang akan ditentukan) dinyatakan sebagai :
Hseksi =
di mana :
Hseksi
Hslag
2).
Hslag
(4.8)
Gerakan rambu
Dengan tujuan-tujuan tertentu, pengukuran sipat datar memanjang menggunakan cara
tertentu yang mengatur gerakan dari rambu.
Metoda pengukuran dengan gerakan rambu semacam ini dapat memperkecil/menghilangkan pengaruh kesalahan yang bersumber dari peralatan.
Kesalahan yang diperkecil pengaruhnya, antara lain :
Gambar 29.
Gerakan Rambu
3).
57
Dasar-dasar Perpetaan
I
BTA1
BTB1
BTA2
BTB2
II
B
A
Gambar 30.
Dudukan Ganda (Double stand)
Pada dudukan pertama, pembacaan dilakukan dengan urutan BT, BA & BB :
BTA1 , BAA & BBA
Dudukan kedua :
BTB2 & BTA2
Jadi pembacaan BT pada dudukan kedua adalah rambu muka terlebih dahulu. Ini
dimaksudkan agar bila terjadi penurunan alat maupun rambu, maka pengaruh penurunan
terhadap beda tinggi akan kecil jika digunakan harga rata-ratanya.
4).
Alat ditempatkan condong pada rambu pertama (lihat Gambar 31.) , lakukan
pendataran alat
Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu
Pindahkan alat pada tempat II (condong ke rambu kedua), lakukan pendataran alat
Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu
Pembacaan rambu I
Pembacaan rambu II
II
C =
mm
(4.9)
di mana :
C = besar kesalahan garis bidik
Di = 100 ( BAi BBi )
58
Dasar-dasar Perpetaan
= dudukan i ( I , II )
BT1
II
BT
BT2
BT1
D1
D2
D1
D2
Gambar 31.
Pengamatan Salah Garis Bidik
Keterangan :
(4.9a)
Pembacaan dalam pengukuran (data), terutama BT, harus dikoreksi sebelum diolah.
BT = BTu D . C
(4.10)
di mana :
BT
BTu
D
C
=
=
=
=
59
Dasar-dasar Perpetaan
BTbelakang = BTubelakang - Db . C
BTmuka
= BTumuka - Dm . C
; maka :
; atau
..
(4.10a)
di mana :
Hslag
Huslag
Db
Dm
C
=
=
=
=
=
Huslag
( Db Dm) . C
..
(4.10b)
di mana :
Hseksi
u
slag
Db
Dm
C
5).
HA HAB
..
(4.2)
di mana :
HB
HA
HAB
6).
60
Dasar-dasar Perpetaan
Apabila pengukuran telah terdiri dari beberapa seksi, di mana bila titik awal dan titik akhir
pengukuran merupakan titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya), maka akan timbul
syarat geometrik yang harus terpenuhi.
Syarat geometrik untuk ketinggian atau posisi vertikal ini tidak ubahnya (serupa) dengan
syarat geometrik koordinat pada poligon. (lihat persamaan (3.7)). Perbedaannya adalah
pada sumbu Cartesiusnya. (lihat Gambar 32.)
Hakhir Hawal =
Huseksi FH
(4.11)
di mana :
Hawal
Hakhir
Huseksi
FH
=
=
=
=
B
Gambar 32.
Koreksi Beda Tinggi
Keterangan :
= titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya)
= titik yang akan ditentukan ketinggiannya
= arah pernyataan beda tinggi
Dalam menyatakan beda tinggi suatu rangkaian seksi ataupun jaringan, secara grafis
dinyatakan dengan arah panah, sedang secara tertulis (mathematis) dinyatakan dengan
index.
Dengan demikian, pada Gambar 32., beda tinggi yang diketahui adalah : HA1 , H12 , H32
dan HB3 , sehingga :
HuAB = HA1 + H12 H23 H3B
Apabila (HB HA) HuAB , maka perlu dihitung besar salah penutup rangkaian
tersebut, dengan menggunakan persamaan (4.11).
Besar koreksi tiap seksi, dapat menggunakan prinsip perbandingan ataupun dibagi rata.
Untuk jarak seksi yang mendekati sama panjang, biasanya membagi rata koreksi. Untuk
pembagian koreksi berdasarkan perbandingan jarak, serupa dengan metoda Bowditch
pada poligon.
K Hij =
Dij
FH
(4.12)
di mana :
KHij = koreksi beda tinggi seksi i-j
i, j
= titik-titik seksi sipat datar
61
Dasar-dasar Perpetaan
Dij
D
Sebagai langkah pengendalian, bandingkan jumlah koreksi seksi dengan salah penutupnya.
K Hij = FH
(4.12a)
Ketinggian titik yang akan ditentukan, dihitung dengan menggunakan beda tinggi seksi
yang telah dikoreksi.
7).
..
(4.12b)
Hj = Hi + Hij
..
(4.12b)
Huseksi FH
FH =
; atau :
Huseksi
(4.11a)
Selanjutnya, pengolahan data dilakukan serupa dengan hitungan ketinggian titik dengan
koreksi.
Muka tanah antara kedua titik detail, dapat digambarkan dengan garis lurus (tidak
berbeda jauh dengan garis lurus)
Titik detail yang penting harus tetap diukur walaupun berdekatan.
Titik detail profil, terletak pada garis/lajur profil yang dimaksud
62
Dasar-dasar Perpetaan
Jarak mendatar antar titik detail yang terpendek (terdekat), disesuaikan dengan kemampuan terbaik dalam penggambaran (perhatikan skala).
D
C
Gambar 33.
Jalur profil
Keterangan :
A,B,,E = titik-titik jalur profil
= jalur profil memanjang
= jalur profil melintang
Profil melintang, mempunyai peraturan khusus sebagai berikut :
Pengukuran dilakukan pada titik awal dan akhir
Pengukuran dilakukan pada titik-titik berjarak tertentu sepanjang jalur pengukuran (misal
setiap 50 m.)
Pengukuran dilakukan pada titik belok jalur pengukuran, dengan membagi sudut belok
kurang-lebih sama
Pengukuran dilakukan pada titik khusus, sesuai dengan keperluan.
Pengukuran dilakukan dengan lebar (jarak) tertentu (misal 25 m.) ke kiri dan ke kanan
jalur pengukuran
4.4.2.1.
Pengukuran profil
Pengukuran profil, baik memanjang maupun melintang, data yang diperlukan berupa :
1) Jarak mendatar antar titik detail profil
2) Ketinggian setiap titik detail profil
Pemilihan titik detail profil, berdasarkan perubahan terrain/relief tanah sepanjang jalur
pengukuran.
Untuk memudahkan dalam membayangkan pemilihan titik detail profil dan metoda
pengukurannya, lihat Gambar 34..
Prinsip dasar pengukuran untuk mendapatkan ketinggian setiap titik detail, menerapkan
prinsip dasar pengukuran dengan sipat datar, yaitu berdasarkan ketinggian garis bidik dari
bidang acuan.
63
Dasar-dasar Perpetaan
Dalam hal ini, tidak dihitung beda tinggi antara 2 titik, melainkan dihitung langsung ketinggian titik yang dimaksud.
64
Dasar-dasar Perpetaan
Tampak atas
A
Tampak samping
BT3
BT4
BT5
Garis
Bidik
TA
BT1
1
A
BT2
D1
TGB
HA
H1
D2
H6
D3
H2
=
=
=
=
=
=
=
Pada gambar 34., dapat dilihat bahwa hitungan tinggi garis bidik sebagai berikut :
TGB = HA + TA
(4.13)
dst .
65
Dasar-dasar Perpetaan
Hi = TGB - BTi
di mana :
Hi
BTI
i
(4.14)
Tinggi garis bidik berdasarkan persamaan (4.13), hanya berlaku untuk sekali berdiri alat
(bila terjadi perubahan tempat ataupun dudukan alat, maka TGB yang lalu tidak lagi
berlaku). Persamaan tersebut (3.13) dapat berlaku secara umum, dengan menggantikan
HA dan TA dengan menggantikan ketinggian tempat alat dan tinggi alat.
Jarak datar ke titik detail, dinyatakan / didapat dari jarak alat ke rambu. Jarak ini dihitung
dari pembacaan Benang Atas (BA) dan Benang Bawah (BB), sehingga secara umum,
dapat dituliskan sebagai :
Di = 100 ( BAi BBi )
(4.15)
di mana :
Di
= jarak datar titik A (alat) ke titik detail i (tempat rambu)
BAi ,BBi = bacaan benang atas dan bawah di titik detail i
Bila dikehendaki jarak antar titik detail (pada Gambar 34.), dihitung berdasarkan selisih jarak dari tempat alat ke titik detail profil tersebut. Secara umum dinyatakan sebagai :
Dij = Dj
di mana :
D
i
j
4.4.2.2.
- Di
(4.16)
Penggambaran profil
Penggambaran profil dilakukan berdasarkan data ukuran, yaitu ketinggian dan jarak
mendatar antar titik detail profil. Mengingat relief muka tanah menjadi perhatian utama,
maka dalam menggambarkan profil suatu lajur, skala untuk ketinggian dan untuk jarak
antar titik, menggunakan besar skala yang berbeda.
Skala penggambaran profil yang dimaksud adalah :
1) Skala Horizontal : Untuk meletakkan titik detail profil berdasarkan jarak mendatar.
2) Skala Vertikal
: Untuk dapat menempatkan titik detail profil tersebut dari
bidang acuan gambar yang dipilih.
Untuk profil melintang dan memanjang, skala horizontal mungkin berbeda, mengingat
panjang jalur yang harus digambarkan. Disamping itu, profil melintang lebih diutamakan
dalam menghitung nilai volume galian dan timbunan, sehingga biasanya diterapkan skala
horizontal yang lebih besar dibandingkan dengan profil memanjang.
Gambar profil memanjang, biasanya disertai situasi profil yang menunjukkan jalur
pengukuran profil pada bagian atas atautpun bawah . Pada situasi profil tersebut, ditarik
kontur profil, berdasarkan ketinggian hasil pengukuran profil baik melintang ataupun
memanjang.
Pada gambar profil memanjang, tidak diperhitungkan koreksi jarak akibat belokan jalur,
sehingga panjang gambar profil adalah sepenuhnya panjang pengukuran.
66
Dasar-dasar Perpetaan
Tampak atas
B
1
skala
vertikal
+ 725,00 m.
No titik
c1
b1
a1
11
Ketinggian
Beda Jarak
JARAK
8,2
24,1
5,4
10,5
15,9 10,5
24,7
0
24,7
skala horizontal
Gambar 35 (a)
Contoh Gambar Profil melintang
Gambar 36.
67
Dasar-dasar Perpetaan
1.
(4.17)
Tinggi garis bidik ini akan berubah, setiap peletakkan alat yang berbeda, baik tempat alat
maupun ketinggian alat.
2.
(4.13)
(4.14)
68
Dasar-dasar Perpetaan
di mana :
Hi
BTI
i
Penomoran titik obyek pada metoda ini, sebaiknya dinyatakan seperti elemen matrix, yaitu
menurut baris dan kolom, untuk dapat membedakan lokasi/tempat titik obyek dengan baik.
Salah satu data yang penting artinya dalam metoda ini adalah sketsa titik yang akan
sangat membantu dalam pengolahan dan penggambaran.
Hasil pengukuran sipat datar melapang ini, dapat di manfaatkan untuk :
4.5.
Metoda Trigonometrik
Metoda trigonometrik, menerapkan hitungan segi-tiga siku bidang datar vertikal. Bila dinyatakan
dalam sistem koordinat Cartesius, bidang datar vertikal ini adalah bidang yang tegak lurus ( )
bidang X-O-Y dan melalui garis bidik alat ukur.
Parameter ukuran dalam metoda ini adalah jarak dan sudut. Mengingat masalah utama adalah
posisi vertikal suatu titik, maka sudut yang diukur adalah sudut vertikal.
B
c
A
HAB
JAB
A
DAB
(a)
(b)
Gambar 37.
Penerapan sei-tiga siku pada Posisi Vertikal
Dapat dilihat pada Gambar 36., bahwa bila segi-tiga siku diterapkan pada permukaan bumi, maka
hanya notasi atau istilah yang berubah. Notasi segi-tiga tersebut di lapangan dapat dikatakan
sebagai berikut :
JAB
DAB
m
Penerapan semacam di atas akan sukar dilaksanakan, karena pengukuran sudut dan titik bidikan
tepat pada muka tanah, sehingga di gunakan penambahan ukuran, berupa tinggi alat dan tinggi
target, sehingga seolah-olah segi-tiga tersebut digeserkan ke atas (lihat Gambar 38.).
Disamping itu, pada metoda ini, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur jarak dan alat ukur
sudut (theodolit).
69
Dasar-dasar Perpetaan
target
JAB
TT
B
m
X
HAB
TA
A
DAB
Gambar 38.
Metoda Trigonometrik
Keterangan :
TA
TT
M
JAB
DAB
V
HAB
=
=
=
=
=
=
=
; atau
Jarak vertikal dari titik tertinggi pada gambar (target) sampai dengan garis terbawah (garis
mendatar melalui titik A), dapat dinyatakan panjangnya, yaitu sebesar :
X = HAB + TT = V + TA
, sehingga :
HAB = V + TA TT
..
(4.18)
.
.
(4.18a)
(4.18b)
V = JAB Sin m
V = DAB Tan m
70
Dasar-dasar Perpetaan
Pengukuran pergi-pulang sebaiknya dilakukan dalam hari yang sama, pagi dan sore
hari.
4.6.
pita ukur
pemberat
(a)
(b)
Cara dicolok
Gambar 39.
Mengukur Kedalaman Air cara sederhana
Cara sounding (pemeruman), merupakan cara yang sangat bermanfaat, terutama untuk air dalam
dan air deras, di mana cara sederhana telah sukar diterapkan, mengingat gangguan yang besar.
Metoda ini, merupakan pengukuran jarak vertikal dengan cara elektronik, di mana jarak yang
diukur berdasarkan kecepatan dan waktu rambat gelombang. Seperti juga cara pengukuran
jarak secara elektronik, prinsip dasar yang diterapkan adalah :
D = V.T
..
(4.19)
di mana :
D = jarak dari pemancar gelombang sampai ke penerima
V = kecepatan gelombang
T = waktu rambat/tempuh gelombang
Informasi umum yang mungkin dapat berguna untuk metoda ini, secara garis besarnya adalah
sebagai berikut :
Gelombang yang diterapkan adalah gelombang suara
Pemancar (transmitter) dan penerima (receiver), dinyatakan pada tempat yang sama,
sehingga persamaan (3.19), harus disesuaikan dengan masalah ini.
71
Dasar-dasar Perpetaan
Yang berkaitan erat dengan masalah yang tengah dibahas adalah 3 (tiga) hal pertama, sedang 2
(dua) hal terakhir termasuk pengolahan data kualitatif.
Dalam beberapa masalah, metoda sounding dapat dipersamakan dengan Radar bila di udara
maupun di darat.
gelombang
pancar
gelombang
pantul
Gambar 40.
Echo sounding (pemeruman)
Echo-sounder (alat sounding), menyatakan data hasil pengamatan pada Echo-gram. Dalam
bentuk grafik antara waktu dengan kedalaman hasil penerimaan gelombang pantul. Dalam
menyatakan data kedalaman, terdapat 2 (dua) cara penulisan, yaitu dengan cara penulisan :
Penulisan tegak (linier)
Penulisan melingkar
Kemampuan echo-sounder beragam bila ditinjau dari ketelitian hasil pengamatannya.
biasanya digunakan dalam kategori terbaik, mencapai ketelitian 0,1 m..
Yang
waktu
kedalaman
(a)
Penulisan tegak
(b)
Penulisan melingkar
Gambar 41.
72
Dasar-dasar Perpetaan
4.7.
= H1 TMA + HMB
..
(4.20)
di mana :
73
Dasar-dasar Perpetaan
TMA
HAB
HMB
NR
B
Gambar 42.
Prinsip dasar Penerapan Hidrostatik
Keterangan :
A
NR
B
H1
HAB
TMA
HMB
=
=
=
=
=
=
=
Dalam melakukan pengamatan muka air, dapat digunakan peralatan yang sederhana, di
mana pembacaan skala pada rambu yang ditandai oleh muka air, dalam keadaan tenang.
Kalaupun terdapat gerakan muka air, diharapkan sekecil mungkin agar pembacaan muka air
pada skala dapat lebih baik dan tepat.
rambu
pipa transparan
muka air
AIR
tanah
74
Dasar-dasar Perpetaan
Gambar 43.
Pengamatan muka air sederhana
Terdapat beberapa ketentuan dalam mengamati muka air, antara lain adalah :
Pengamatan dilakukan untuk waktu cukup lama (misal 5 hari). Selang waktu
pengamatan, tergantung pada tujuan pengamatan. Bila hanya untuk membawa
ketinggian keseberang sungai, dapat saja dalam selang 15 (lima belas) menit. Bila
untuk perencanaan rekayasa sipil, terutama di daerah pasang-surut, dapat dalam
selang 15-30 hari.
Pengambilan data dilakukan dengan selang tertentu (misal setiap 30 menit).
Letak pengamatan, pada tempat yang sekecil mungkin terkena gangguan arus (di
daerah dengan arus tenang).
Dudukan rambu diharapkan stabil dan ketegakan rambu harus dijaga tetap baik
Pada pengamatan muka air untuk waktu yang lama, terlebih lagi untuk mengamati pasang-surut
air laut, biasanya digunakan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Alat ini, menggunakan pelampung sebagai indikatornya. Data direkam (recorded) pada kertas pencatat
seperti pada echo-gram.
A
HAB
TMA1
TMA2
HA1
H2B
1
H12
75
Dasar-dasar Perpetaan
Gambar 44.
Pengikatan Ketinggian untuk Penyeberangan
Keterangan :
A, B
1, 2
Hij
TMA1, TMA2
: titik di darat
: titik di air
: beda tinggi dari i ke j
: timggi muka air di titik 1, 2
dengan :
HAB
..
(4.21)
H12
= TMA1 TMA2
..
(4.21a)
di mana :
HA!,H2B : didapat dari pengamatan darat
H12
: didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi dari air) dengan
sounding/pemeruman.
TMA1, TMA2 : didapat dari pengamatan muka air
Penerapan pengamatan muka air seperti di atas, memiliki beberapa persyaratan dengan
tujuan agar hasil pengamatan dan hasil pengukuran secara menyeluruh lebih baik.
Adapun syarat yang sebaiknya dipenuhi, antara lain adalah :
Pengamatan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan pengukuran beda tinggi
di darat. Sebaiknya, pengamatan muka air mulai dilakukan saat sebelum sampai
sesudah pengukuran beda tinggi di darat.
Pengambilan data dilakukan dengan disertai waktu pengamatan (jam, menit, detik).
Letak pengamatan, pada tempat yang sekecil mungkin terkena gangguan arus (di
daerah dengan arus tenang). Bila ternyata arus air tidak dapat dihindari (misal
sungai), maka dicari tempat sedemikian rupa, sehingga kedua titik di air, membentuk
garis yang kurang-lebih tegak lurus ( ) arus air. Pada tempat inilah, diharapkan
muka air di kedua seberang diharapkan satu ketinggian.
Dudukan rambu diharapkan stabil dan ketegakan rambu harus dijaga tetap baik
Untuk pengukuran yang diharapkan cukup teliti, pengamatan semacam ini dilakukan dengan
mengambil jalur pengukuran pergi-pulang, sehingga data beda tinggi akhir pengukuran adalah beda tinggi rata-rata. Disamping itu, pengamatan muka air, sebaiknya dilakukan saat air
sedang tenang (dalam keadaan biasa), misal tidak dalam keadaan banjir atau saat tetap perubahan antara pasang dengan surut atau sebaliknya.
Pengamatan muka air ini akan sangat berfaedah pada pemetaan dasar air (bathymetry).
76