Anda di halaman 1dari 29

Dasar-dasar Perpetaan

BAB IV
PENENTUAN POSISI VERTIKAL
Berbeda dengan posisi horizontal suatu titik, di mana setiap titik dinyatakan dalam bentuk 2 dimensi (2D),
maka pada posisi vertikal hanya dinyatakan pada dengan 1 (satu) dimensi (1D) . Posisi vertikal ini lebih
dikenal edngan istilah "ketinggian" yang dinotasikan bermacam-macam. Sebagian besar memberi
notasi Z untuk pernyataan posisi pada sumbu Z, H untuk menyatakan height dan mungkin T
untuk pernyataan tinggi.
Operasi hitungan pada posisi vertikal jauh lebih sederhana, bila dibandingkan dengan posisi horizontal,
mengingat operasi hitungan garis (1-Dimensi). Meskipun demikian, terdapat beberapa metoda yang
menerapkan mathematika lebih tinggi , misal operasi hitungan pada bidang ataupun operasi lainnya yang
lebih rumit. Pada prinsipnya, secara menyeluruh ditujukan untuk mendapatkan posisi pada sumbu Z
(untuk sistem koordinat Cartesius).
Mengingat posisi vertikal dapat memberikan gambaran atas relief (naik/turun) dan bentuk permukaan
bumi (topografi), maka berikut ini akan dibahas beberapa metoda yang mungkin diterapkan dalam
pemetaan dan surveying secara umum.

4.1.

Dasar Pengertian Penentuan Posisi Vertikal


Untuk dapat mengetahui masalah posisi vertikal dengan baik, maka sebagai langkah awal,
sebaiknya diketahui dengan lebih mendalam istilah-istilah yang akan digunakan maupun pengertian mendasar yang akan menjadi bahasan lebih lanjut.
Istilah yang digunakan mungkin merupakan istilah dalam bahasa sehari-hari, maupun istilah
teknik yang umum dan khusus pada perpetaan.
Bila pada pembahasan posisi horizontal, ilustrasi titik-titik merupakan pandangan dari atas, maka
pada pembahasan posisi vertikal, gambar-gambar yang diberikan sebagai ilustrasi, mengambil
pandangan dari samping.

Ketinggian
Ketinggian suatu titik adalah jarak vertikal titik tersebut yang diukur dari bidang referensi
(acuan) tertentu sepanjang garis yang melalui titik tersebut dan tegak lurus bidang tersebut.
Dalam pengertian lebih mendalam, garis tersebut merupakan garis gaya berat yang melalui
titik yang dimaksud. Ketinggian suatu titik dapat dinyatakan dalam beberapa notasi seperti
yang telah diulas di atas

Beda tinggi antara 2 titik


Jarak vertikal antara 2 (dua) bidang yang melalui kedua titik tersebut, di mana bidangbidang tersebut sejajar bidang referensi. Dalam prakteknya, beda tinggi dinyatakan sebagai
selisih jarak vertikal yang dibentuk melalui kedua titik tersebut (ketinggian titik).
Beda tinggi antara dua titik, biasanya diberi notasi H dan dituliskan index yang menunjukkan arah beda tinggi tersebut.
Agar diketahui bahwa beda tinggi dari titik 1 ke titik 2 tidak sama dengan sebaliknya.

Naik dan turun


Dalam bahasa harian, beda tinggi antara 2 titik dikatakan dengan naik-turun , di mana bila
dari titik 1 ke titik 2 dikatakan naik, maka ketinggian titik 2 lebih besar dari ketinggian titik 1.
Dalam ilmu ukur tanah, istilah tersebut dinyatakan dalam bahasa mathematika, sebagai
positif untuk naik dan negatif untuk turun.
HAB > 0 ; berarti : Titik B lebih tinggi dari titik A. (dari titik A ke titik B : naik)
HAB < 0 ; berarti : Titik B lebih rendah dari titik A. (dari titik A ke titik B : turun)

48

Dasar-dasar Perpetaan

Agar lebih jelas, lihat Gambar 25.


B
// bidang acuan/referensi
melalui B

HBA

HAB
A
// bidang acuan/referensi melalui A
HB
HA

bidang acuan/referensi

Gambar 25.
Dasar Posisi Vertikal Titik
Bidang acuan/referensi ketinggian, sebenarnya berupa geoid, namun dalam ilmu ukur tanah, di
mana bumi dianggap sebagai bidang datar, maka bidang acuan ketinggian tersebut tidak lagi
lengkung, malainkan dianggap sebagai bidang datar.
Penerapan sistem koordinat Cartesius dalam masalah ini adalah bahwa bidang acuan/referensi
ketinggian, merupakan bidang mendatar Cartesius, yaitu bidang X-O-Y. Bila pokok bahasan
hanya terbatas pada jketinggian, maka ketinggian suatu titik tersebut dinyatakan sepanjang garis
lurus (sumbu Z) atau pada garis yang sejajar (//) sumbu Z.
Pernyataan letak bidang X-O-Y (bidang acuan ketinggian), selanjutnya akan disebut dengan
Titik Nol Ketinggian. Seperti juga pada penentuan posisi horizontal, dalam penentuan posisi
vertikalpun dapat terjadi perbedaan pernyataan ketinggian titik akibat dari perbedaan letak titik
nol tersebut. Hal ini akan diulas di bawah.
Gambar 25., menunjukkan ketinggian titik A & B , beda tinggi A-B dan beda tinggi B-A.
Dapat dilihat bahwa dari titik A ke titik B, bila kita berjalan akan disebut naik , sehingga letak
beda tinggi dari A ke B, berada di bawah titik B. Hal yang sebaliknya, bila dari titik B ke titik A.
Pada Gambar 25., dapat dilihat :
HAB > 0

; HBA < 0

Bila dinyatakan secara mathematis, hubungan beda tinggi dengan ketinggian, dapat dituliskan :
HAB =

HB HA

..

(4.1)

HA HAB

..

(4.2)

..

(4.3)

atau :
HB =
dan

HAB = HBA

49

Dasar-dasar Perpetaan

Ketiga rumus di atas, merupakan dasar-dasar penentuan posisi vertikal pada ilmu ukur tanah
(bidang datar). Penentuan posisi vertikal suatu titik, diperoleh dari ketinggian suatu titik lain dan
beda tinggi dari titik tersebut, ke titik yang akan ditentukan (persamaan (4.2)).
Oleh karena itu, semua metoda yang akan dibahas, bertujuan menentukan beda tinggi antara
2 buah titik.

4.2.

Acuan Ketinggian

4.2.1. Titik Nol Lokal


Titik nol lokal, mempunyai pengertian bahwa titik nol ketinggian diletakkan pada tempat
sembarang. Dengan kata lain menyatakan, ketinggian suatu titik yang dianggap paling
penting secara bebas. Titik-titik lainnya pada daerah pemetaan, dinyatakan terhadap titik
tersebut.
Model ketinggian semacam ini, digunakan untuk menyatakan ketinggian titik pada suatu
daerah yang tidak mempunyai titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya ) . Ini hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi ketinggian daerah berupa relief dan topografi
daerah pemetaan tanpa menyatakan ketinggian yang sebenarnya. Ketinggian yang
sebenarnya adalah ketinggian terhadap acuan yang telah disepakati bersama (ketinggian
definitif).
Secara tidak langsung, model ini hanya memberikan posisi relatif antar titik yang dipetakan.
Dalam menentukan ketinggian suatu titik, walaupun dibenarkan secara bebas, namun
sebaiknya tetap dijaga agar tidak terdapat ketinggian titik yang negatif, karena akan memberikan kesan tenggelam bagi pembaca peta tersebut.

4.2.2. Titik Nol Normal


Titik nol yang dipilih berdasarkan tujuan atau kesepakatan tertentu. Untuk suatu pekerjaan
atau profesi dengan tujuan yang sama, diambil titik nol yang sama pula. Titik nol Normal ini,
lebih banyak yang berkenaan dengan masalah air, baik pada perencanaan, maupun pada
pelaksanaan.
Untuk memudahkan pengertian tersebut, diambil contoh sebagai berikut :

Untuk perencanaan suatu pelabuhan, titik nol ketinggian digunakan LLWS ( Lowest
Low Water Surface = Muka/Paras Surutan Terendah ).
Ini dimaksudkan agar tidak ada kapal yang kandas di pelabuhan pada saat surut
terendah.
Untuk penanggulangan banjir, titik nol ketinggian yang dipilih adalah HWS ( Highest
Water Surface = Muka Pasang Tertinggi ). Pemilihan ini berdasarkan tinggi tanggul yang
direncanakan agar tidak lebih rendah dari muka air tertinggi saat pasang tinggi.
Untuk menyatakan ketinggian badan, secara otomatik digunakan lantai (tempat
berpijak/telapak kaki) sebagai titik nol ketinggian.

Dengan demikian, mungkin terdapat banyak titik nol normal, sehingga dalam melaksanakan
suatu tujuan yang berkaitan dengan ketinggian muka tanah, sangat dianjurkan untuk meninjau
ulang dan evaluasi titik nol ketinggian yang digunakannya.
Dalam menyatakan ketinggian dalam peta yang sama, tidak dibenarkan untuk menggunakan
2 (dua) macam titik nol ketinggian yang berbeda.

50

Dasar-dasar Perpetaan

51

Dasar-dasar Perpetaan

4.2.3. M.S.L. (Mean Sea Level)


Untuk pemetaan topografi suatu daerah yang luas (misal suatu negara), titik nol ketinggian
di-gunakan MSL (Mean Sea Level). Titik inipun merupakan titik nol internasional.
MSL itu sendiri, merupakan ketinggian muka air laut rata-rata, yang dimaksudkan untuk
menyatakan ketinggian muka air di bumi bila tanpa gangguan.
Untuk dapat menentukan letak titik tersebut pada suatu daerah (pantai), diperlukan data
penga-matan dalam selang panjang dengan persyaratan dan pengolahan yang cukup rumit.
Hasil penentuan pengamatan yang ideal, adalah pengamatan selama 18,6 tahun secara
bersinam-bungan (continuous). Waktu selama itu, dinyatakan berdasarkan posisi bendabenda langit relatif terhadap bumi akan kembali pada posisi yang sama.
Walaupun demikian, akibat massa bumi yang tidak seragam, maka ketinggian MSL di setiap
tempat belum tentu sama tinggi.

4.3.

Metoda-metoda Penentuan Beda Tinggi


garis(bidang) ukur

garis (bidang) // bidang acuan

b
B
a

HAB

A
HB
HA

bidang acuan/referensi
Gambar 26.
Dasar Penentuan Beda Tinggi
Untuk menentukan beda tinggi antara 2 titik, akan sangat sukar bila dilakukan di dalam tanah
seperti yang tergambar. Oleh karena itu, dibentuklah suatu garis atau bidang yang sejajar (//)
bidang acuan. Bidang tersebut (sebut : bidang ukur) merupakan bidang yang mendatar,
karena bidang acuan juga berupa bidang mendatar. Bidang ini, dapat juga dikatakan sebagai
bidang horizon yang melalui titik tertentu.
Apabila ketinggian bidang ukur adalah a dari titik A dan b dari titik B (lihat gambar 26.),
maka dapat dinyatakan :
HAB = a b

(4.4)

52

Dasar-dasar Perpetaan

Model penentuan beda tinggi semacam ini, merupakan model dasar yang dalam
penerapannya dapat menggunakan berbagai cara sebagai metoda pengukuran.
Berikut ini terdapat banyak metoda pengukuran beda tinggi yang dapat diterapkan. Metoda
yang akan dibahas dengan rinci, terbatas pada metoda yang banyak diterapkan di lapangan
dalam pemetaan dan surveying secara umum.
1.

METODA SIPAT DATAR (LEVELLING)


Pada metoda sipat datar, garis/bidang mendatar sebagai bidang ukur dibentuk berdasarkan
bantuan alat alat bantu yang disebut " NIVO " (Niveau).
NIVO adalah :
" Suatu tabung kaca lengkung yang berisi uap ether jenuh dan memiliki
garis skala yang beracu pada titik tertinggi tabung tersebut. "
Dengan bantuan nivo inilah, maka dapat dibentuk suatu garis atau bidang mendatar.
Walaupun telah menggunakan alat bantu (nivo) yang baik, kemungkinan terjadi kesalahan
tetap ada, yang bersumber pada :
1) faktor peralatan yang digunakan
2) Faktor manusia (human error)
3) Faktor alam (daerah pengukuran)
Metoda sipat datar ini, dapat diterapkan dalam beberapa jenis pengukuran yang berbeda
tujuannya. Prinsip dasar tetap, yaitu pendataran garis (bidang) yang ditunjukkan oleh garis
bidik alat sipat datar (level). Oleh karena itu, pengukuran sipat datar terbagi atas :
* Sipat datar memanjang
* Sipat datar profil
* Sipat datar melapang/luas

2. METODA TRIGONOMETRIS
Pada metoda ini, prinsip yang digunakan adalah pengukuran jarak dan sudut vertikal.
Metoda ini menerapkan posisi vertikal pada bidang datar yang tegak (vertikal) dan
menggunakan bentuk geometrik segi-tiga siku.
Walaupun tujuan akhir adalah posisi pada/sepanjang sumbu Z ( 1 dimensi), namun dasar
metoda adalah posisi 2 dimensi (2D).
3. METODA BAROMETRIK (ALTIMETRIK)
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan menggunakan tekanan udara, di mana hasil
pengukuran dapat berupa langsung beda tinggi, ataupun dalam bentuk besarnya/nilai
tekanan udara.
Bila pengukuran ini dinyatakan dalam satuan panjang secara langsung, maka disebut dengan
metoda ALTIMETRIK, tetapi bila dinyatakan dalam satuan mm Hg atau Bar. /mBar. , maka
dikenal dengan metoda BAROMETRIK.
Metoda Altimetrik banyak diterapkan pada navigasi udara. Setiap pesawat udara (terutama
yang komersial) harus menggunakan altimeter untuk menjaga ketinggian terbang.
4. METODA HIDROSTATIK
Salah satu sifat benda cair dalam keadaan diam (statis) digunakan untuk menyatakan beda
tinggi ataupun ketinggian suatu titik. Metoda ini banyak digunakan untuk memindahkan
ketinggian titik untuk jarak yang jauh, dengan anggapan (selama/sepanjang) tinggi muka air
dapat dinyatakan pada ketinggian yang sama.
Metoda ini akan sering diterapkan pada pengukuran beda tinggi untuk menyeberang sungai
atau danau, baik sebagai pengikatan ataupun memindahkan ketinggian.
Salah satu penerapan metoda ini adalah pengamatan muka air dalam pengukuran pasang
surut.

53

Dasar-dasar Perpetaan

5. METODA FOTOGRAMETRIK
Kenampakan 3 (tiga) dimensi (pandangan stereoskopis) pada foto udara yang bertampalan
(over-lap) dapat memberikan perbedaan tinggi antara 2 (dua) titik dengan bantuan TONGKAT
PARALAKS (Paralax Bar). Semakin kecil skala foto udara yang digunakan, semakin kasar
hasil pengamatan beda tingginya, bila dibandingkan dengan keadaan sebenarnya di
lapangan.
6. METODA SATELIT
Berdasarkan pancaran frekuensi tertentu dari tempat yang berjarak tetap, maka beda tinggi
antara 2 (dua) titik dapat diketahui dengan menggunakan GPS.
Untuk metoda GPS, bidang acuan ketinggian bukan geoid, melainkan ellipsoida, untuk ini
terdapat pengolahan data lebih lanjut agar ketinggian dinyatakan terhadap sistem ketinggian
yang sama.
Selain metoda GPS, kini telah banyak diterapkan satelit altimetrik yang dapat memberikan
keting-gian lebih baik.
7. METODA SOUNDING
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan cara pengukuran jarak yang menggunakan sifat
pantulan gelombang suara. Dengan dasar inilah, maka metoda tersebut dinyatakan
sebagai metoda ECHO-SOUNDING .
Metoda ini digunakan merupakan salah satu untuk mengukur kedalaman dasar air secara
elektronis. Kedalaman dasar air juga dapat diukur dengan metoda lain yang sederhana, tetapi
metoda ini bukan baik dan hanya untuk dasar air yang dangkal.

4.4.

Metoda Sipat Datar (Levelling)


Dilihat dari istilah di atas, maka dapat dimengerti bahwa alat yang digunakan adalah alat yang
dapat menyipat atau menyapu secara mendatar. Ini merupakan metoda untuk mendapatkan/
membuat garis terletak pada bidang mendatar yang sejajar bidang referensi ketinggian.
Garis pada alat yang diatur mendatar adalah "Garis Bidik" (garis visier) yang ditunjukkan oleh
"Benang Silang Diafragma " alat tersebut.
Pengertian garis bidik itu sendiri adalah :
Garis khayal yang menghubungkan pusat lensa obyektif dan pusat
benang silang diafragma suatu teropong
Garis bidik tidak akan terlihat secara langsung, karena garis ini berupa lajur sinar yang masuk ke
mata pengamat (surveyor) melalui pusat silang diafragma teropong dan pusat lensa obyektif,
sampai tempat tak berhingga. Yang akan diperhatikan hanya sampai pada target yang dibidik.
Target bidikan pada pengukuran sipat datar adalah rambu ukur (baak ukur). Rambu ukur adalah alat ukur jarak yang dinyatakan pada benda keras, biasanya pada kayu ataupun logam lain
yang stabil (misal alumunium, baja).
Kalau dilihat dari masalah pengukuran, maka alat ukur pada metoda sipat datar adalah rambu,
sedang alat sipat datar dapat dikatakan sebagai alat bantu untuk mendatarkan suatu garis atau
bidang.
Data untuk pengukuran metoda ini adalah data jarak vertikal (sepanjang rambu) dari titik nol
rambu sampai dengan garis bidik alat. Ini berarti bahwa bila titik nol rambu diletakkan di atas
muka tanah, maka data tersebut adalah jarak dari muka tanah sampai dengan garis bidik.
Lihat Gambar 27. Gambar tersebut meng-ilustrasi-kan prinsip dasar pengukuran metoda sipat
datar.

54

Dasar-dasar Perpetaan

rambu

garis bidik alat

garis (bidang) //
bidang acuan

BTb
B
BTa

HAB

A
//bidang acuan
Gambar 27
Beda Tinggi Metoda Sipat Datar
Keterangan :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
Untuk mendapatkan beda tinggi dari titik A ke titik B (HAB) , digunakan persamaan (4.4) dengan
menggantikan a dengan BTa dan b dengan BTb , sehingga :
HAB = BTa BTb

(4.5)

di mana :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
Disamping pembacaan benang tengah (benang yang berada di tengah silang diafragma),
terdapat pula 2 benang lainnya, yaitu Benang Atas (di sebelah atas benang tengah) , dan
Benang Bawah (di sebelah bawah benang tengah).
Berikutnya, ketiga benang tersebut akan dinotasikan sebagai singkatannya saja, yaitu :
BT untuk Benang Tengah
BA untuk Benang Atas
dan
BB untuk Benang Bawah
Fungsi BA dan BB adalah :
1. Pemeriksaan (Checking) BT , yaitu dengan :
BA + BB = 2.BT

(4.6a)

2. Mengukur jarak dari alat ke rambu sepanjang garis bidik, berdasarkan perbesaran optik :
D = 100 ( BA BB )

(4.6b)

55

Dasar-dasar Perpetaan

4.4.1. Sipat Datar Memanjang


Sipat datar memanjang, bertujuan untuk mengukura beda tinggi (H) antara 2 titik yang
berjauhan. Dalam pengukuran semacam ini, tidak mungkin dilakukan dengan 1 kali
meletakkan alat sipat datar seperti pada Gambar 27., oleh karena itu, sipat datar memanjang
terbagi atas beberapa bagian.
1).

Beda tinggi
Bagian pengukuran H yang terkecil/terpendek dimana pada bagian ini alat sipat datar
ditempatkan/diletakkan, disebut sebagai SLAG / SELANG. Bagian ini, dapat saja berupa
pengukuran H antara titik-titik yang sebenarnya tidak diperlukan keberadaannya. Titik
seperti ini dikenal dengan titik bantu. Jarak antar titik bantu, dapat berdekatan, tetapi
mungkin saja cukup jauh, sesuai dengan keperluan, keadaan lapangan dan kemampuan
alat.
Prinsip dasar pengukuran H
seperti pada Gambar 27, merupakan slag/selang
pengukuran sipat datar memanjang.
Arah pengukuran
3

4
5

1
2

6
7

B
A
8

Gambar 28.
Tampak atas Pengukuran Sipat Datar Memanjang
Keterangan :
= titik yang akan ditentukan/diukur beda tinggi
= titik bantu
= tempat alat sipat datar
= garis lurus antar titik
= garis ukuran
Pengukuran H antara titik yang akan ditentukan (antara A-B, pada Gambar 28.), disebut
SEKSI. Pengukuran seksi, merupakan kumpulan pengukuran slag/selang.
Bila dihubungkan dengan arah pengukuran (lihat Gambar 28.), maka H suatu seksi dapat
ditu-liskan seolah-olah berbeda dengan sebelumnya, walaupun dengan tujuan agar dapat
berlaku secara umum dalam metoda ini.
HA1 = BTa BT1
H12 = BT1 BT2
H12 = BT2 BT3

untuk slag A-1


untuk slag 1-2
untuk slag 2-3 .. , dan seterusnya

Untuk menyatakan persamaan (4.5) dalam sipat datar memanjang, digunakan :

56

Dasar-dasar Perpetaan

Hslag = BTbelakang BTmuka


di mana :
Hslag
BTbelakang
BTmuka

(4.7)

= beda tinggi slag/selang


= bacaan benang tengah rambu belakang
= bacaan benang tengah rambu muka

Sehingga untuk H seksi (beda tinggi yang akan ditentukan) dinyatakan sebagai :
Hseksi =
di mana :
Hseksi

Hslag
2).

Hslag

(4.8)

= beda tinggi seksi (seksi A-B pada Gambar 28.)


= jumlah beda tinggi slag dalam seksi tersebut.

Gerakan rambu
Dengan tujuan-tujuan tertentu, pengukuran sipat datar memanjang menggunakan cara
tertentu yang mengatur gerakan dari rambu.
Metoda pengukuran dengan gerakan rambu semacam ini dapat memperkecil/menghilangkan pengaruh kesalahan yang bersumber dari peralatan.
Kesalahan yang diperkecil pengaruhnya, antara lain :

Salah nol rambu

Perbedaan titik tempat rambu dari titik sebelumnya.

Gambar 29.
Gerakan Rambu
3).

Dudukan ganda (Double stand)


Setiap slag, diukur dengan pembacaan ganda, terutama baccan benang tengah (BT).
Tujuan dudukan ganda ini adalah :
1. Pemeriksaan H hasil dudukan pertama (stand I)
2. Mengurangi kemungkinan penurunan alat, akibat alam
Dengan demikian, beda tinggi setiap slag adalah harga rata-rata H yang didapatkan
setiap dudukan. Bila terjadi perbedaan yang besar (di luar toleransi), maka alat
diletakan pada dudukan ketiga (stand III) dan dipilih hasil 2 dudukan yang
berselisih/berbeda terkecil atau hasil seluruh dudukan.

57

Dasar-dasar Perpetaan

I
BTA1

BTB1

BTA2

BTB2
II

B
A
Gambar 30.
Dudukan Ganda (Double stand)
Pada dudukan pertama, pembacaan dilakukan dengan urutan BT, BA & BB :
BTA1 , BAA & BBA

BTB1 , BAB & BBB

Dudukan kedua :
BTB2 & BTA2

Jadi pembacaan BT pada dudukan kedua adalah rambu muka terlebih dahulu. Ini
dimaksudkan agar bila terjadi penurunan alat maupun rambu, maka pengaruh penurunan
terhadap beda tinggi akan kecil jika digunakan harga rata-ratanya.
4).

Kesalahan garis bidik


Kesalahan yang besar pengaruhnya dalam pengukuran metoda ini adalah kesalahan garis
bidik, yaitu kesalahan akibat dari pendataran garis bidik yang tidak baik.
Besar salah garis bidik, diamati dengan cara sebagai berikut :

Alat ditempatkan condong pada rambu pertama (lihat Gambar 31.) , lakukan
pendataran alat
Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu
Pindahkan alat pada tempat II (condong ke rambu kedua), lakukan pendataran alat
Lakukan pembacaan data, yang terdiri dari BT , BA dan BB ke arah kedua rambu

Misal data hasil pengamatan sebagai berikut :


Dudukan alat

Pembacaan rambu I

Pembacaan rambu II

BT1 , BA1 , BB1

BT2 , BA2 , BB2

II

BT1 , BA1 , BB1

BT2 , BA2 , BB2

C =

(BT1 BT2) (BT1 BT2)


(D1 D2) (D1 D2)

mm

(4.9)

di mana :
C = besar kesalahan garis bidik
Di = 100 ( BAi BBi )

58

Dasar-dasar Perpetaan

= dudukan i ( I , II )

BT1

II

BT

BT2

BT1

D1

D2
D1

D2

Gambar 31.
Pengamatan Salah Garis Bidik
Keterangan :

= besar sudut kesalahan garis bidik dari garis mendatar


Besar kesalahan pada persamaan (3.9) adalah tangensial dari sudut , dan dinyatakan
dalam satuan mm per m. Satuan ini berarti bahwa :
Bila C = 1 mm/m , berarti besarnya kesalahan pembacaan BT adalah 1 mm.
untuk jarak alat ke rambu sebesar 1 m. Untuk jarak ke rambu adalah 10 m.,
maka kesalahan pembacaan adalah sebesar 10 mm..
C = Tan

(4.9a)

Pembacaan dalam pengukuran (data), terutama BT, harus dikoreksi sebelum diolah.
BT = BTu D . C

(4.10)

di mana :
BT
BTu
D
C

=
=
=
=

pembacaan benang tengah setelah koreksi


pembacaan benang tengah ukuran
jarak alat ke rambu
besar salah garis bidik

(Hati-hati dengan satuan yang mungkin berbeda)


Koreksi garis bidik pada beda tinggi slag
Bila persamaan (3.10), merupakan koreksi garis bidik pada setiap pembacaan BT,
maka bila untuk suatu beda tinggi (misal beda tinggi slag), maka dapat dituliskan
sebagai berikut :
Hslag = BTbelakang BTmuka

59

Dasar-dasar Perpetaan

BTbelakang = BTubelakang - Db . C
BTmuka
= BTumuka - Dm . C

; maka :

Hslag = (BTubelakang BTumuka) (Db Dm) . C

; atau

Hslag = Huslag (Db Dm) . C

..

(4.10a)

di mana :
Hslag
Huslag
Db
Dm
C

=
=
=
=
=

beda tinggi slag setelah koreksi


beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi)
jarak alat ke rambu belakang
jarak alat ke rambu muka
besar salah garis bidik

Koreksi garis bidik pada beda tinggi seksi


Bila koreksi salah garis bidik ini diterapkan pada suatu seksi, maka dapat dituliskan
sebagai berikut :
Hseksi = H1slag + H2slag + H3slag + + Hnslag
Hseksi = Hu1slag (D1b D1m) . C + Hu2slag (D2b D2m) . C + ..
.. + Hunslag (Dnb Dnm) . C
Hseksi =

Huslag

( Db Dm) . C

..

(4.10b)

di mana :
Hseksi

u
slag

= jumlah beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi)

Db

= jumlah jarak alat ke rambu belakang

Dm

= jumlah jarak alat ke rambu muka


= besar salah garis bidik

C
5).

= beda tinggi seksi setelah koreksi

Hitungan ketinggian titik


Untuk menghitung ketinggian suatu titik dari titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya),
diterapkan persamaan (4.2).
HB =

HA HAB

..

(4.2)

di mana :
HB
HA
HAB
6).

= ketinggian titik B (titik yang akan ditentukan posisi vertikalnya)


= ketinggian titik yang telah diketahui/ditentukan.
= berupa beda tinggi hasil ukuran (dapat berupa seksi ataupun slag)

Hitungan rangkaian seksi dengan koreksi

60

Dasar-dasar Perpetaan

Apabila pengukuran telah terdiri dari beberapa seksi, di mana bila titik awal dan titik akhir
pengukuran merupakan titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya), maka akan timbul
syarat geometrik yang harus terpenuhi.
Syarat geometrik untuk ketinggian atau posisi vertikal ini tidak ubahnya (serupa) dengan
syarat geometrik koordinat pada poligon. (lihat persamaan (3.7)). Perbedaannya adalah
pada sumbu Cartesiusnya. (lihat Gambar 32.)

Hakhir Hawal =

Huseksi FH

(4.11)

di mana :
Hawal
Hakhir
Huseksi
FH

=
=
=
=

ketinggian titik awal pengukuran


ketinggian titik akhir pengukuran
jumlah beda tinggi ukuran tiap seksi
salah penutup ketinggian.
2
3
1

B
Gambar 32.
Koreksi Beda Tinggi

Keterangan :
= titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya)
= titik yang akan ditentukan ketinggiannya
= arah pernyataan beda tinggi
Dalam menyatakan beda tinggi suatu rangkaian seksi ataupun jaringan, secara grafis
dinyatakan dengan arah panah, sedang secara tertulis (mathematis) dinyatakan dengan
index.
Dengan demikian, pada Gambar 32., beda tinggi yang diketahui adalah : HA1 , H12 , H32
dan HB3 , sehingga :
HuAB = HA1 + H12 H23 H3B
Apabila (HB HA) HuAB , maka perlu dihitung besar salah penutup rangkaian
tersebut, dengan menggunakan persamaan (4.11).
Besar koreksi tiap seksi, dapat menggunakan prinsip perbandingan ataupun dibagi rata.
Untuk jarak seksi yang mendekati sama panjang, biasanya membagi rata koreksi. Untuk
pembagian koreksi berdasarkan perbandingan jarak, serupa dengan metoda Bowditch
pada poligon.
K Hij =

Dij

FH

(4.12)

di mana :
KHij = koreksi beda tinggi seksi i-j
i, j
= titik-titik seksi sipat datar

61

Dasar-dasar Perpetaan

Dij
D

= jarak seksi i-j


= jumlah jarak pengukuran

Sebagai langkah pengendalian, bandingkan jumlah koreksi seksi dengan salah penutupnya.

K Hij = FH

(4.12a)

Ketinggian titik yang akan ditentukan, dihitung dengan menggunakan beda tinggi seksi
yang telah dikoreksi.

7).

Hij = Huij + K Hij

..

(4.12b)

Hj = Hi + Hij

..

(4.12b)

Sipat datar memanjang Kring (Loop)


Seperti juga pada poligon, bentuk kring mempunyai kelebihan tersendiri akibat titik awal
yang sama dengan titik akhir. Pada posisi vertikal, ini berarti bahwa ketinggian titik awal
sama dengan ketinggian titik akhir, sehingga :
0 =

Huseksi FH
FH =

; atau :

Huseksi

(4.11a)

Selanjutnya, pengolahan data dilakukan serupa dengan hitungan ketinggian titik dengan
koreksi.

4.4.2. Sipat Datar Profil


Pada pekerjaan yang berbentuk lajur (bentuk memanjang dengan lebar tertentu), sangat
memerlukan informasi relief muka tanah atau lebih dikenal dengan penampang muka bumi
(profil tanah). Profil ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai hal, seperti hitungan galian dan
timbunan tanah, penggambaran lapisan dan jenis tanah, patahan muka bumi disamping
perencanaan lainnya.
Profil (penampang), terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :
1. Profil Memanjang ; yaitu penampang sepanjang/pada jalur pengukuran.
2. Profil Melintang ; yaitu penampang sepanjang jalur tegak lurus () jalur pengukuran
dan diukur pada titik tertentu (pada tempat yang sudah ditentukan).
Baik profil memanjang maupun melintang, relief muka bumi diwakili oleh titik muka bumi
yang terpilih. Titik wakil ini, disebut dengan titik detail profil.
Pemilihan titik detail profil, mempunyai syarat sebagai berikut :

Muka tanah antara kedua titik detail, dapat digambarkan dengan garis lurus (tidak
berbeda jauh dengan garis lurus)
Titik detail yang penting harus tetap diukur walaupun berdekatan.
Titik detail profil, terletak pada garis/lajur profil yang dimaksud

62

Dasar-dasar Perpetaan

Jarak mendatar antar titik detail yang terpendek (terdekat), disesuaikan dengan kemampuan terbaik dalam penggambaran (perhatikan skala).

D
C

Gambar 33.
Jalur profil
Keterangan :
A,B,,E = titik-titik jalur profil
= jalur profil memanjang
= jalur profil melintang
Profil melintang, mempunyai peraturan khusus sebagai berikut :
Pengukuran dilakukan pada titik awal dan akhir
Pengukuran dilakukan pada titik-titik berjarak tertentu sepanjang jalur pengukuran (misal
setiap 50 m.)
Pengukuran dilakukan pada titik belok jalur pengukuran, dengan membagi sudut belok
kurang-lebih sama
Pengukuran dilakukan pada titik khusus, sesuai dengan keperluan.
Pengukuran dilakukan dengan lebar (jarak) tertentu (misal 25 m.) ke kiri dan ke kanan
jalur pengukuran

4.4.2.1.

Pengukuran profil
Pengukuran profil, baik memanjang maupun melintang, data yang diperlukan berupa :
1) Jarak mendatar antar titik detail profil
2) Ketinggian setiap titik detail profil
Pemilihan titik detail profil, berdasarkan perubahan terrain/relief tanah sepanjang jalur
pengukuran.
Untuk memudahkan dalam membayangkan pemilihan titik detail profil dan metoda
pengukurannya, lihat Gambar 34..
Prinsip dasar pengukuran untuk mendapatkan ketinggian setiap titik detail, menerapkan
prinsip dasar pengukuran dengan sipat datar, yaitu berdasarkan ketinggian garis bidik dari
bidang acuan.

63

Dasar-dasar Perpetaan

Dalam hal ini, tidak dihitung beda tinggi antara 2 titik, melainkan dihitung langsung ketinggian titik yang dimaksud.

64

Dasar-dasar Perpetaan

Tampak atas
A

Tampak samping

BT3

BT4

BT5

Garis
Bidik

TA

BT1
1
A

BT2
D1
TGB
HA

H1
D2

H6

D3
H2

bidang acuan/referensi ketinggian


Gambar 34.
Pengukuran profil
Keterangan :
A
1,2,3..
HA, H1,
TA
BT1 ,BT2 ,..
TGB
D1 ,D2 ,..

=
=
=
=
=
=
=

titik ikat (sudah diketahui ketinggiannya)


titik detail profil
ketinggian titik A, 1, 2,
tinggi alat dari titik A
bacaan Benang Tengah titik detail 1,2,3,....
tinggi garis bidik dari bidang acuan
jarak dari titik A ke titik detail 1,2,3,....

Pada gambar 34., dapat dilihat bahwa hitungan tinggi garis bidik sebagai berikut :
TGB = HA + TA

(4.13)

Berdasarkan TGB , dapat dihitung tinggi setiap titik detail :


H1 = TGB - BT
H2 = TGB - BT

dst .

Secara umum, dinyatakan sebagai :

65

Dasar-dasar Perpetaan

Hi = TGB - BTi
di mana :
Hi
BTI
i

(4.14)

= ketinggian titik detail i


= bacaan benang tengah titik i
= titik detail profil 1,2,3,......

Tinggi garis bidik berdasarkan persamaan (4.13), hanya berlaku untuk sekali berdiri alat
(bila terjadi perubahan tempat ataupun dudukan alat, maka TGB yang lalu tidak lagi
berlaku). Persamaan tersebut (3.13) dapat berlaku secara umum, dengan menggantikan
HA dan TA dengan menggantikan ketinggian tempat alat dan tinggi alat.
Jarak datar ke titik detail, dinyatakan / didapat dari jarak alat ke rambu. Jarak ini dihitung
dari pembacaan Benang Atas (BA) dan Benang Bawah (BB), sehingga secara umum,
dapat dituliskan sebagai :
Di = 100 ( BAi BBi )

(4.15)

di mana :
Di
= jarak datar titik A (alat) ke titik detail i (tempat rambu)
BAi ,BBi = bacaan benang atas dan bawah di titik detail i
Bila dikehendaki jarak antar titik detail (pada Gambar 34.), dihitung berdasarkan selisih jarak dari tempat alat ke titik detail profil tersebut. Secara umum dinyatakan sebagai :
Dij = Dj
di mana :
D
i
j

4.4.2.2.

- Di

(4.16)

= jarak antar titik detail i-j


= titik detail profil 1,2,3,......
= titik detail profil setelah titik i (i + 1)

Penggambaran profil
Penggambaran profil dilakukan berdasarkan data ukuran, yaitu ketinggian dan jarak
mendatar antar titik detail profil. Mengingat relief muka tanah menjadi perhatian utama,
maka dalam menggambarkan profil suatu lajur, skala untuk ketinggian dan untuk jarak
antar titik, menggunakan besar skala yang berbeda.
Skala penggambaran profil yang dimaksud adalah :
1) Skala Horizontal : Untuk meletakkan titik detail profil berdasarkan jarak mendatar.
2) Skala Vertikal
: Untuk dapat menempatkan titik detail profil tersebut dari
bidang acuan gambar yang dipilih.
Untuk profil melintang dan memanjang, skala horizontal mungkin berbeda, mengingat
panjang jalur yang harus digambarkan. Disamping itu, profil melintang lebih diutamakan
dalam menghitung nilai volume galian dan timbunan, sehingga biasanya diterapkan skala
horizontal yang lebih besar dibandingkan dengan profil memanjang.
Gambar profil memanjang, biasanya disertai situasi profil yang menunjukkan jalur
pengukuran profil pada bagian atas atautpun bawah . Pada situasi profil tersebut, ditarik
kontur profil, berdasarkan ketinggian hasil pengukuran profil baik melintang ataupun
memanjang.
Pada gambar profil memanjang, tidak diperhitungkan koreksi jarak akibat belokan jalur,
sehingga panjang gambar profil adalah sepenuhnya panjang pengukuran.

66

Dasar-dasar Perpetaan

Tampak atas
B
1

skala
vertikal
+ 725,00 m.
No titik

c1

b1

a1

11

Ketinggian
Beda Jarak
JARAK

8,2
24,1

5,4

10,5

15,9 10,5

24,7
0

24,7

skala horizontal

Gambar 35 (a)
Contoh Gambar Profil melintang

4.4.3. Sipat Datar Melapang/Luas


Untuk daerah yang relief muka buminya relatif homogen (naik ataupun turun mendekati garis
lurus), metoda berikut ini merupakan salah satu metoda yang mudah dan bermanfaat untuk
diterapkan.
Sipat datar melapang, pada mulanya ditujukan untuk menarik kontur suartu daerah dengan
relief yang relatif linier dan terbuka (pandangan tidak terhalangi).
Prinsip dasar metoda ini adalah menentukan tinggi titik-titik tertentu, tanpa menentukan posisi
horizonatal titik obyek tersebut. Untuk tidak menentukan posisi horizontal titik obyek,
diterapkan cara tersendiri yang bersifat relatif, yaitu dengan membuat daerah pengukuran
dalam bentuk kisi (Grid-cell). (lihat Gambar 36.)

Gambar 36.

67

Dasar-dasar Perpetaan

Sipat datar Melapang


Keterangan :
= titik yang diketahui/ditentukan ketinggiannya (misal A : H A)
= titik obyek
= tempat alat
= bidikan pada pengukuran
Pada sipat datar melapang ini, posisi horizontal titik obyek, merupakan titik simpul grid-cell,
sehingga pada penggambaran tidak menjadi masalah.
Ukuran grid-cell dapat berragam, tergantung ketelitian ketinggian/relief yang diharapkan
(misal : 10 m X 10 m.). Semakin rapat, semakin baik.
Seperti juga pada profil, sipat datar melapang, mempunyai parameter berupa ketinggian
setiap titik obyek (detail) dan jarak antar titik obyek (tertentu, sebesar ukuran grid-cell). Untuk
mendapatkan parameter tersebut, diterapkan model hitungan/pengolahan pada profil, yaitu
dengan tinggi garis bidik.
Dapat diterapkan 2 (dua) model pengukuran untuk ini, yaitu :
1. Alat berada di luar titik ikat , dan
2. Alat berada di atas titik ikat.
Kedua model ini hanya akan membedakan cara memperoleh tinggi garis bidik yang dengan
sendirinya akan juga terdapat perbedaan data yang diukur.

1.

Alat di luar titik ikat


Apabila alat diletakkan tidak pada titik ikat (di luar), maka data pertama yang harus
diambil (diukur) adalah bacaan benang tengah dari titik ikat tersebut.
Misalkan titik ikat adalah A, dengan ketinggian HA dan bacaan BT rambu pada titik
tersebut adalah BTA. Maka :
TGB = HA + BTA

(4.17)

Tinggi garis bidik ini akan berubah, setiap peletakkan alat yang berbeda, baik tempat alat
maupun ketinggian alat.
2.

Alat di atas titik ikat


Bila alat diletakkan di atas titik ikat, maka pengolahan data maupun jenis data, tidak
ubahnya (serupa) dengan pengukuran profil. Setelah meletakkan alat di atas titik,
ukurlah tinggi alat dari titik ikat tersebut (misal TA). Maka :
TGB = HA + BTA

(4.13)

(4.14)

Tinggi titik obyek


Ketinggian setiap titik obyek adalah :
Hi = TGB - BTi

68

Dasar-dasar Perpetaan

di mana :
Hi
BTI
i

= ketinggian titik obyek i


= bacaan benang tengah titik i
= titik obyek sipat datar melapang 1,2,3,......

Penomoran titik obyek pada metoda ini, sebaiknya dinyatakan seperti elemen matrix, yaitu
menurut baris dan kolom, untuk dapat membedakan lokasi/tempat titik obyek dengan baik.
Salah satu data yang penting artinya dalam metoda ini adalah sketsa titik yang akan
sangat membantu dalam pengolahan dan penggambaran.
Hasil pengukuran sipat datar melapang ini, dapat di manfaatkan untuk :

4.5.

Menarik kontur daerah pengukuran


Penggambaran profil menurut garis yang diukur (sepanjang garis grid yang
dipilih)
Hitungan volume tanah (galian & timbunan) dengan metoda prismasoidal.

Metoda Trigonometrik
Metoda trigonometrik, menerapkan hitungan segi-tiga siku bidang datar vertikal. Bila dinyatakan
dalam sistem koordinat Cartesius, bidang datar vertikal ini adalah bidang yang tegak lurus ( )
bidang X-O-Y dan melalui garis bidik alat ukur.
Parameter ukuran dalam metoda ini adalah jarak dan sudut. Mengingat masalah utama adalah
posisi vertikal suatu titik, maka sudut yang diukur adalah sudut vertikal.
B

c
A

HAB

JAB
A

DAB

(a)

(b)
Gambar 37.
Penerapan sei-tiga siku pada Posisi Vertikal

Dapat dilihat pada Gambar 36., bahwa bila segi-tiga siku diterapkan pada permukaan bumi, maka
hanya notasi atau istilah yang berubah. Notasi segi-tiga tersebut di lapangan dapat dikatakan
sebagai berikut :
JAB
DAB
m

: jarak miring dari titik A-B.


: jarak mendatar dari titik A-B (pada bidang mendatar X-O-Y)
: sudut miring ; yaitu sudut vertikal yang dibentuk dari bidang horizon (mendatar) sampai
jurusan/garis yang dimaksud. Positif (+) ke arah atas horizon, negatif (-) ke arah bawah.

Penerapan semacam di atas akan sukar dilaksanakan, karena pengukuran sudut dan titik bidikan
tepat pada muka tanah, sehingga di gunakan penambahan ukuran, berupa tinggi alat dan tinggi
target, sehingga seolah-olah segi-tiga tersebut digeserkan ke atas (lihat Gambar 38.).
Disamping itu, pada metoda ini, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur jarak dan alat ukur
sudut (theodolit).

69

Dasar-dasar Perpetaan

target

JAB

TT

B
m

X
HAB
TA
A

DAB
Gambar 38.
Metoda Trigonometrik

Keterangan :
TA
TT
M
JAB
DAB
V
HAB

=
=
=
=
=
=
=

tinggi alat dari titik A


tinggi target dari titik B
sudut miring
jarak miring A-B
jarak mendatar A-B
sisi tegak segi-tiga siku
beda tinggi A-B

Dari segi-tiga siku, dapat dihitung besar V, yaitu :


V = JAB Sin m
V = DAB Tan m

; atau

Jarak vertikal dari titik tertinggi pada gambar (target) sampai dengan garis terbawah (garis
mendatar melalui titik A), dapat dinyatakan panjangnya, yaitu sebesar :

X = HAB + TT = V + TA

, sehingga :

HAB = V + TA TT

..

(4.18)

.
.

(4.18a)
(4.18b)

dengan harga V sebesar :


untuk jarak miring :
untuk jarak mendatar :

V = JAB Sin m
V = DAB Tan m

Dengan demikian, data ukuran untuk metoda trigonometrik adalah :


Jarak :
* tinggi alat
* tinggi target
* jarak miring atau jarak mendatar
Sudut :
* sudut miring
Dalam pelaksanaannya, metoda ini memerlukan data tambahan untuk meningkatkan ketelitian
pengukuran, dengan ketentuan sebagai berikut :
Pengukuran disertai pengukuran temperatur dan tekanan udara, untuk koreksi refraksi
Pengukuran dilakukan pergi-pulang , untuk memberikan hasil ukuran yang terbaik.

70

Dasar-dasar Perpetaan

Pengukuran pergi-pulang sebaiknya dilakukan dalam hari yang sama, pagi dan sore
hari.

4.6.

Metoda Sounding (Pemeruman)


Tujuan utama sounding adalah untuk mendapatkan kedalaman dasar air. Dalam pengertian lain,
tujuan pemeruman adalah mendapatkan beda tinggi dari muka air sampai dengan dasar air
(muka tanah).
Untuk tujuan seperti itu, terdapat banyak cara yang dapat ditempuh baik yang sederhana maupun
yang berteknologi tinggi.
Beberapa contoh cara sederhana dalam mengukur kedalaman dasar air, dapat dilihat pada
Gambar 39.
Cara sederhana yang dapat diterapkan antara lain adalah :
1. Dengan cara mencucuk (mencolok), dengan alat ukur jarak pada benda keras
(misal kayu)
2. Dengan cara tenggelam , yaitu alat ukur jarak yang biasanya pada benda lunak
(misal fiber) dengan dibebani pemberat (misal bandul besi).

alat ukur jarak

pita ukur
pemberat

(a)

(b)

Cara dicolok

Cara dengan pemberat

Gambar 39.
Mengukur Kedalaman Air cara sederhana
Cara sounding (pemeruman), merupakan cara yang sangat bermanfaat, terutama untuk air dalam
dan air deras, di mana cara sederhana telah sukar diterapkan, mengingat gangguan yang besar.
Metoda ini, merupakan pengukuran jarak vertikal dengan cara elektronik, di mana jarak yang
diukur berdasarkan kecepatan dan waktu rambat gelombang. Seperti juga cara pengukuran
jarak secara elektronik, prinsip dasar yang diterapkan adalah :
D = V.T

..

(4.19)

di mana :
D = jarak dari pemancar gelombang sampai ke penerima
V = kecepatan gelombang
T = waktu rambat/tempuh gelombang
Informasi umum yang mungkin dapat berguna untuk metoda ini, secara garis besarnya adalah
sebagai berikut :
Gelombang yang diterapkan adalah gelombang suara
Pemancar (transmitter) dan penerima (receiver), dinyatakan pada tempat yang sama,
sehingga persamaan (3.19), harus disesuaikan dengan masalah ini.

71

Dasar-dasar Perpetaan

Gelombang yang diterima, merupakan gelombang pantul (berhubung gelombang suara,


maka disebut Echo), sehingga dapat dipengaruhi oleh kekuatan dasar air dalam
memantulkan gelombang tersebut.
Metoda sounding, dapat memberikan bermacam informasi yang cukup berguna, karena dari data
yang di sajikan, dapat dimanfaatkan antara lain untuk :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui kedalaman air


Mengetahui profil dasar air
Pemetaan dasar air
Interpretasi yang terdapat dalam air (misal kelompok ikan)
Interpretasi kekerasan/kepadatan dasar air

Yang berkaitan erat dengan masalah yang tengah dibahas adalah 3 (tiga) hal pertama, sedang 2
(dua) hal terakhir termasuk pengolahan data kualitatif.
Dalam beberapa masalah, metoda sounding dapat dipersamakan dengan Radar bila di udara
maupun di darat.

gelombang
pancar

gelombang
pantul

Gambar 40.
Echo sounding (pemeruman)
Echo-sounder (alat sounding), menyatakan data hasil pengamatan pada Echo-gram. Dalam
bentuk grafik antara waktu dengan kedalaman hasil penerimaan gelombang pantul. Dalam
menyatakan data kedalaman, terdapat 2 (dua) cara penulisan, yaitu dengan cara penulisan :
Penulisan tegak (linier)
Penulisan melingkar
Kemampuan echo-sounder beragam bila ditinjau dari ketelitian hasil pengamatannya.
biasanya digunakan dalam kategori terbaik, mencapai ketelitian 0,1 m..

Yang

waktu

kedalaman

(a)
Penulisan tegak

(b)
Penulisan melingkar
Gambar 41.

72

Dasar-dasar Perpetaan

Grafik Kedalaman pada Echo-gram


Pemeruman, sangat berguna untuk semua penerapan yang berkenaan dengan air, dari perencanaan sungai sampai dengan pemetaan bathymetry untuk laut.
Mengingat yang diukur adalah beda tinggi dari muka air sampai dengan dasar air, maka untuk
penyatuan ketinggian di darat, diperlukan juga penerapan metoda lainnya yang memberikan
kaitan (ikatan) antara survey darat dengan survey di air. Metoda yang menyatukan kedua matra
(darat dan air) survey tersebut adalah metoda hidrostatik, di mana salah satu jenis survey
adalah pengamatan muka air.
Oleh karena itu, dalam ilmu ukur tanah atau surveying, terdapat banyak metoda yang mungkin
terpaksa diterapkan bersamaan dalam pelaksanaan pemetaan suatu daerah. Metoda-metoda
tersebut sebenarnya dapat saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.

4.7.

Metoda Hidrostatika dalam Surveying


Metoda hidrostatik yang akan dibahas, terbatas pada pengamatan muka air dan kaitannya
dengan pengukuran beda tinggi baik di darat maupun di air.
Mengingat metoda ini merupakan metoda yang paling mudah dimengerti, maka akan dijelaskan
langsung pada contoh penerapan metoda tersebut, walaupun diawali dengan prinsip dasar
metoda hidrostatik.
Adapun prinsip dasar metoda ini adalah penerapan teori bahwa :
Muka air (cairan) yang berhubungan, akan sama tinggi bila tanpa
suatu gangguan.
Pengertian tanpa gangguan, memberikan arti yang cukup luas, antara lain :
Bahwa air (cairan) tersebut, tidak mendapat gaya tekanan baik pada dasarnya maupun
pada permukaan. Bila ada maka dianggap dengan besar tekanan yang sama.
Tidak terdapat perbedaan komposisi cairan, sehingga di setiap tempat memiliki massa
jenis yang sama.
Tidak mengalami gesekan yang berbeda di setiap tempat
Dalam keadaan diam.
Mengingat hal seperti di atas tidak mungkin dijumpai, maka diambil cara ataupun metoda yang
terbaik untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dari dasar teori.

4.7.1. Pengamatan Muka Air


Sebagai langkah awal penyatuan ketinggian di darat dan di air, adalah menyatakan tinggi
muka air terhadap daratan atau sebaliknya.
Pada mulanya, ketinggian setiap titik di daratan adalah pernyataan beda tinggi titik tersebut
dari muka air, yaitu muka air laut rata-rata. Dalam beberapa bidang terapan, hal tersebut
mungkin saja diterapkan secara terbalik, terutama bila tinggi titik di darat telah ditentukan.
Gambar 42., memperlihatkan kaitan antara survey darat dan survey air, berdasarkan
pengamatan tinggi muka air. Dapat dilihat bahwa :
HAB

= H1 TMA + HMB

..

(4.20)

di mana :

H1 : didapat dari pengamatan darat, yaitu dapat dengan penerapan sipat


datar maupun trigonometrik.

73

Dasar-dasar Perpetaan

HMB:didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi dari air) dengan


sounding/pemeruman.
TMA : didapat dari pengamatan muka air
rambu
H1

TMA

HAB

HMB
NR
B
Gambar 42.
Prinsip dasar Penerapan Hidrostatik

Keterangan :
A
NR
B
H1
HAB
TMA
HMB

=
=
=
=
=
=
=

titik di darat (di atas patok)


titik nol/dasar rambu (di dasar air)
titik di dasar air
beda tinggi dari titik A ke NR
beda tinggi dari titik A ke B
tinggi muka air dari dasar air (nol/dasar rambu)
kedalaman titik B dari muka air

Dalam melakukan pengamatan muka air, dapat digunakan peralatan yang sederhana, di
mana pembacaan skala pada rambu yang ditandai oleh muka air, dalam keadaan tenang.
Kalaupun terdapat gerakan muka air, diharapkan sekecil mungkin agar pembacaan muka air
pada skala dapat lebih baik dan tepat.

rambu

pipa transparan
muka air

AIR

Gambar 43., memperlihatkan salah satu


model sederhana pengamatan muka air.
Pengamatan model ini sangat mungkin
dan akan sering diterapkan pada pekerjaan di lapangan karena hanya menggunakan peralatan yang dapat dijumpai sehari-hari.
Penggunaan pipa transparan, ditujukan
untuk :
agar muka air dalam pipa dapat
terlihat
agar muka air yang di dalam pipa
tenang (gangguan arus kecil)
pembacaan muka air dapat lebih baik

tanah

74

Dasar-dasar Perpetaan

Gambar 43.
Pengamatan muka air sederhana
Terdapat beberapa ketentuan dalam mengamati muka air, antara lain adalah :
Pengamatan dilakukan untuk waktu cukup lama (misal 5 hari). Selang waktu
pengamatan, tergantung pada tujuan pengamatan. Bila hanya untuk membawa
ketinggian keseberang sungai, dapat saja dalam selang 15 (lima belas) menit. Bila
untuk perencanaan rekayasa sipil, terutama di daerah pasang-surut, dapat dalam
selang 15-30 hari.
Pengambilan data dilakukan dengan selang tertentu (misal setiap 30 menit).
Letak pengamatan, pada tempat yang sekecil mungkin terkena gangguan arus (di
daerah dengan arus tenang).
Dudukan rambu diharapkan stabil dan ketegakan rambu harus dijaga tetap baik
Pada pengamatan muka air untuk waktu yang lama, terlebih lagi untuk mengamati pasang-surut
air laut, biasanya digunakan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Alat ini, menggunakan pelampung sebagai indikatornya. Data direkam (recorded) pada kertas pencatat
seperti pada echo-gram.

4.7.2. Pengikatan ketinggian melalui Muka Air


Salah satu pemanfaatan pengamatan tinggi muka air pada survey pemetaan, adalah pengikatan ketinggian melalui muka air untuk daerah yang cukup berjauhan dan terpisahkan oleh
air.
Penerapan seperti ini, akan banyak dijumpai untuk daerah yang memiliki sungai lebar, atau
untuk memindahkan ketinggian melintasi danau. Pengikatan ketinggian serupa ini, akibat
dari problema kemampuan alat dan situasi daerah yang tidak/kurang memungkinkan. Bila
dilaksa-nakan seperti biasa, mungkin harus menempuh jalur pengukuran yang panjang dalam
mengeli-lingi hambatan tersebut. Oleh karena itu, air dijadikan media untuk mengatasi
masalah tersebut.
Terdapat beberapa metoda lain yang dapat diterapkan untuk mengukur beda tinggi antara 2
titik yang berjauhan, namun memerlukan komunikasi yang baik antara kedua sisi (tempat
pengukuran). Berikut ini hanya akan dibahas dengan cara menerapkan permukaan air.

A
HAB
TMA1

TMA2

HA1

H2B
1
H12

75

Dasar-dasar Perpetaan

Gambar 44.
Pengikatan Ketinggian untuk Penyeberangan
Keterangan :
A, B
1, 2
Hij
TMA1, TMA2

: titik di darat
: titik di air
: beda tinggi dari i ke j
: timggi muka air di titik 1, 2

Dapat dilihat pada Gambar 44., bahwa :

dengan :

HAB

= HA1 H12 + H2B

..

(4.21)

H12

= TMA1 TMA2

..

(4.21a)

di mana :
HA!,H2B : didapat dari pengamatan darat
H12
: didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi dari air) dengan
sounding/pemeruman.
TMA1, TMA2 : didapat dari pengamatan muka air
Penerapan pengamatan muka air seperti di atas, memiliki beberapa persyaratan dengan
tujuan agar hasil pengamatan dan hasil pengukuran secara menyeluruh lebih baik.
Adapun syarat yang sebaiknya dipenuhi, antara lain adalah :
Pengamatan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan pengukuran beda tinggi
di darat. Sebaiknya, pengamatan muka air mulai dilakukan saat sebelum sampai
sesudah pengukuran beda tinggi di darat.
Pengambilan data dilakukan dengan disertai waktu pengamatan (jam, menit, detik).
Letak pengamatan, pada tempat yang sekecil mungkin terkena gangguan arus (di
daerah dengan arus tenang). Bila ternyata arus air tidak dapat dihindari (misal
sungai), maka dicari tempat sedemikian rupa, sehingga kedua titik di air, membentuk
garis yang kurang-lebih tegak lurus ( ) arus air. Pada tempat inilah, diharapkan
muka air di kedua seberang diharapkan satu ketinggian.
Dudukan rambu diharapkan stabil dan ketegakan rambu harus dijaga tetap baik
Untuk pengukuran yang diharapkan cukup teliti, pengamatan semacam ini dilakukan dengan
mengambil jalur pengukuran pergi-pulang, sehingga data beda tinggi akhir pengukuran adalah beda tinggi rata-rata. Disamping itu, pengamatan muka air, sebaiknya dilakukan saat air
sedang tenang (dalam keadaan biasa), misal tidak dalam keadaan banjir atau saat tetap perubahan antara pasang dengan surut atau sebaliknya.
Pengamatan muka air ini akan sangat berfaedah pada pemetaan dasar air (bathymetry).

76

Anda mungkin juga menyukai