Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

PENGOBATAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK UMUR DI BAWAH 2


TAHUN

Disusun Oleh :
REYHAN ARISTO
100100102
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2015
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, telah menyerahkan hardcopy dan
softcopy makalah ilmiah kepada dr. Rika Caesaria Hidayat.
Nama
Nurma Sheila

Full Text

Power Point

Soft Copy

Tanda Tangan

Yang Menerima,
Oktober 2015

Telah Disetujui,
Oktober 2015

dr. Rika Caesaria Hidayat

dr. Rika Caesaria Hidayat

Rinosinusitis Akut Selama Musim Renang - Etiopatogenesis, Pendekatan


Diagnostik, dan Penatalaksanaan
Sergiy M. Pukhlik, Oleg F. Melnicov, Anatoly P. Shchelkunov, Olga V.
Titarenko
Univeristas Kedokteran Odessa Nasional, Odessa, Ukraina
Abstrak
Latar

belakang:

Peningkatan

signifikan

rinosinusitis

akut,

terutama

maksiloetmoiditis, yang terjadi selama musim panas di daerah penginapan


Ukrainian, terutama Odessa
Bahan dan Metode: 106 pasien dengan acute bathing rhinosinusitis (ABRS)
diperiksa dalam hal mikrobiologi, imunologi, dan alergi selama 3 musim panas
(2008-2010). Grup kontrol terdiri dari 51 pasien yang menderita rinosinusitis
purulenta akut selama musim "nonbathing".
Hasil: Dalam kasus ABRS, jamur dan mikotoksin didapati meruksa membran
mukosa hidung dan sinusi paranasal, mengakibatkan perkembangan ABRS
semakin agresif dan cepat. Hal ini terjadi dengan dilatarbelakangi imunitas yang
rendah dan sensitisasi.
Kesimpulan: Terapi tradisional ABRS dapat secara cepat menghilangkan
peradangan, tetapi sensitisasi terhadap jamur tetap tinggi, sehingga tetap ada
kemungkinan terjadinya peradangan kembali. Penggabungan induser interferon
dan agen anti-alergi meningkatkan indeks klinis dan imunologi terhadap efikasi
pengobatan
Kata kunci: acute "bathing" rhinosinusitis diagnosis penatalaksanaan

Latar Belakang
Walaupun terjadi peningkatan diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis
purulenta, prevalensinya masih belum berkurang. Selain itu, patologi inflamasi
sinus paranasal terus meningkat, dan terjadi peningkatan rekurensi dan bentuk
kronis dari penyakit tersebut [1-3]. Tercatat peningkatan sinusitis akut yang
signifikan selama musim dingin.
Peningkatan signifikan rinosinusitis akut, terutama maksiloetmoiditis
didapati terjadi selama musim panas di area penginapan Ukraina, khususnya di
Odessa. Dalam hal ini, jumlah mereka yang membutuhkan perawatan medis
darurat meningkat 10 kali lipat. Jumlah kasus meningkat secara tajam pada musim
panas, setelah mandi atau berendam. Dokter menyebut ini sinusitis "bathing" atau
"marisinusitis", dimana pasien biasanya menghubungkan penyakit tersebut
dengan riwayat mandi atau berendam dan kemungkanan bahwa air laut
terkontaminasi. Banyak kasus didapati diantara pendatang baru.
Istilah "acute bathing rhinosinusitis" (ABRS) telah ditawarkan karena
dalam literatur medis tidak ada penjelasan tentang penyakit seperti ini. Di Odessa,
praktisi klinis menemukan adanya wabah rinosinusitis akut yang terjadi setelah
lama menghabiskan waktu di pantai dan laut, yang biasa disebut "sinusitis
marine". Praktisi klinis meyakini bahwa istilah ini dapat digunakan pada semua
rinosinusitis purulenta akut di lokasi yang berbeda (maksiloetmoiditis, frontitis,
hemisinusitis, pansinusitis, dll) yang berkembang pada pasien yang sensitif
terhadap jamur (terutama Aspergillum). Pasien usia muda dan pertengahan
mengidap bentuk rinosinusitis ini selasa musim panas (Agustus, September) dan
biasanya memiliki awal yang cepat, tanpa gejala infeksi virus pernafasan
sebelumnya.
Telah disimpulkan bahwa rinosinusitis purulenta akut merupakan
komplikasi dari penyakit virus, dimana virus-virus tersebut ditambah dengan
bakteri flora merusak membran mukosa hidung [6-8]. Hal ini dapat diasumsikan
bahwa dalam kasus sinusitis laut, efek destruksi virus pada membran mukosa
hidung dan sinus paranasal (SPN) diawali oleh jamur (spora dan mikotoksin).

Efeknya pada membran mukosa bersifat agresif dan berkembang dengan sangat
cepat. Kerusakan pada membran mukosa oleh jamur dan flora gram positif
menghasilkan sinusitis purulenta. Gejala khas ABRS antara lain kesulitan bernafas
melalui hidung, nyeri pada sinus paranasal yang terlibat, dan demam dengan suhu
tinggi. Sekret hidung awalnya purulen. Kriteria diagnostik untuk ABRS meliputi:
paparan atau sensitisasi terhadap jamur, terutama Aspergillum (pemeriksaan kulit,
laboratorium); jamur alergenik umum dan spesifik, eosinofilia pada pemeriksaan
darah tepi dan lendir hidung; dan penurunan interfereon dan adanya sel epitelium
bersilia abnormal di sekret hidung.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi kejadian ABRS selama
musim panas dengan cara melakukan pencegahan yang dibutuhkan.
Bahan dan Metode
Observasi dilakukan selama 3 musim (2008-2010). Tepatnya 106 pasien
dengan ABRS diperiksa dengan metode mikrobiologi di area pesisir Odessa pada
musim panas. Sebagai grup kontrol, 51 pasien dengan acute purulent
rhinosinusitis (APRS) selama musim non-bathing (musim dingin-musim semi)
diperiksa (Tabel 1-4, Gambar 1). Sebagai tambahan, 20 subjek sehat dan 20 pasien
dengan APRS diperiksa secara imunologi.
Tabel 1. Usia dan jenis kelamin pasien
Umur, tahun
JK

18-25
26-35
36-45
46-55
56-60
Total

ABRS
M
F
30 (28.5%)
23 (21.7%)
19 (17.9%)
11 (10.4%)
8 (7.5%)
6 (5.7%)
3 (2.8%)
2 (1.9%)
2 (1.9%)
2 (1.9%)
62 (58.5%)
44 (41.5%)

APRS
M
F
11 (21.6%)
9 (17.6%)
10 (19.6%)
11 (21.6%)
4 (7.8%)
4 (7.8%)
2 (3.9%)
25 (49.0%)
26 (51%)

Tabel 2. Distribusi pasien pada grup utama dan kontrol berdasarkan tingkat
keparahan ABRS

Tingkat keparahan

ABRS

APRS

Ringan

8 (8%)

10 (18%)

0.05

1.7

Sedang

26 (24%)

21 (42%)

0.07

0.3

Berat

72 (68%)

20 (40%)

0.07

3.4

Tabel 3. Karakteristik gejala ABRS dan APRS


Gejala
Hidung tersumbat
Sekret hidung
Nyeri di regio sinus

ABRS
106 (100%)
97 (94%)
83 (78%)

APRS
37 (72%)
31 (61%)
30 (60%)

p
0.03
0.05
0.06

t
4.4
6.8
4.6

paranasal (SPN)
Batuk

19 (18%)

41 (80%)

0.05

10.1

Tabel 4. Distribusi pasien berdasarkan lama penyakit (dari gejala pertama


sampai berobat ke dokter)
Durasi
penyaki
t (hari)

ABRS
Jumlah Persentas

APRS
Jumlah Persentas

pasien

pasien

<5
6-8
9-11
12-14
15-20

80
19
3
4
0

75.5
17.9
2.8
3.8
0.0

0
13
21
14
3

0.0
25.5
41.2
27.4
5.9

0.03
0.06
0.05
0.05
0.06

18.0
1.07
5.3
3.8
0.6

Gambar 1. Jumlah
pasien dengan
rinosinusitis akut,
setiap bulan

Mikroflora pada sekret hidung dan sinus paranasal pasien dengan ABRS
dan APRS di musim gugur-dingin yang ditangai di Departemen THT di Rumah
Sakit Kota diteliti.
Tes alergi terhadap alergen jamur dibuat dengan menggunakan tes tusukan
kulit. Reaksi dievaluasi setelah 30 menit dan 24 jam.
Studi imunologi dilaukan di Laboratorium Patofisiologi dan Imunologi
Otolaryngology Institusi Kiev oleh Prof. A. I. Kolomiychenko.

Tabel 5. Spektrum taksonomi bakteri yang diisolasi dari pasien ABRS


Genus
(MenBurgy,

Jumlah rantai yang


Spesies

1997)
Staphyloco-

S. aureus
S. epidermidis

Abs.
42
12

terisolasi
%
(95
36.6
11.3

)
9.3
6.0

Perbedaan
signifikan grup
kontrol (2)
0.145
0.002

ccus
Escherichia
Proteus
Streptococcus
Klebsiella
Providencia

S. haemolyticus
S. saprophyticus
E.coli

28
0
13
8
47
5
7

26.4

8.4

12.3
7.5
44.3
4.7
6.6

6.2
5.0
9.5
4.0
4.7

0.774
0.133
2.304
2.712
0.074
1.227
0.021

Hasil
ASPEK KLINIS MARISINUSITIS
Awal terjadinya ABRS biasanya cepat, tanpa gejala prodormal. Gejalanya
antara lain nyeri kepala yang berat, demam, kesulitan bernafas melalui hidung,
dan sekret purulen yang banyak dari hidung. Onset yang cepat dan inflamasi
purulen dari hari pertama membuat kita berifikir bahwa bentuk rinosinusitis akut
ini adalah purulen dan membutuhkan terapi antibiotik segera.
HASIL TES MIKROBA DARI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PASIEN
ABRS
Secara total, 304 strain diisolasi dari pasien ABRS (106) dan 129 strain
diisolasi dari grup kontrol (51). Semua strain yang terisolasi memiliki karakter
fenotipikal yang khas. Analisis taksonomi dari strain bakteri yang diperiksa
memnunjukkan 6 tipe: Staphylococcus, Escherichia, Klebsiella, Proteusm dan
Providencia. Genus Staphylococcus, yang didapati paling banyak, diklasifikasikan
menjadi spesies: S. aureus, S. haemolyticus, dan S. epidermidis (Tabel 5).
Perbandingan inokulasi dari rongga hidung dan dari air laut menurut
strand kontaminasi bakteri menunjukkan tidak adanya korelasi. Persentase yang
tinggi dari jamur Aspergillum (75.4 8.2%) yang diisolasi dari pasien ABRS
membuat kita berfikir bahwa ABRS dapat diinduksi oleh flora jamur dan bahwa
jamur berperan sebagai etiologi utama (Tabel 6).
Tabel 6. Spesies jamur yang diisolasi dari pasien ABRS
Spesies

Aspergillum niger

Candida albicans

Yeast

Jumlah absolut
%
(95)
Perbedaan

80
75.4
8.2
45.64

57
53.8
9.5
0.97

5
4.7
4.0
1.23

sinifikan* (2)
*Perbedaan terhadap grup kontrol

Gambar 2. Indeks E.coli dengan laktosa positif


Statistik menunjukkan bahwa kelompok utama dan kontrol berbeda hanya
pada frekuensi isolasi Aspergillum niger (75,4 8,2% pada kelompok utama dan
17,3 10,3% pada kelompok kontrol). Confidence interval tidak tumpang tinding,
dengan perbedaan 2=45.6, i.e perbedaan sangat signifikan dengan angka
kesalahan kurang dari 1%).
Satu lagi perbedaan mikroba diantara grup utama dan grup kontrol adalah
korelasi komponen dominan dan minor. Pada grup utama, spesies Aspergillum
niger mendominasi, dengan kelompok subdominan yaitu Candida albicans, S.
aureus, dan Streptococcus.
Pada grup kontrol, spesies Candida albicans mendominasi, dengan
kelompok subdominan yaitu S. aureus, S. haemolyticus, dan S. spp. Dalam
kebanyakan kasus, dapat dijumpai 2 sampai 5 mikroba terisolasi dari pasien.

Kami memulai pemeriksaan adanya jamur pada air laut dan pasir. Didapati bahwa
air laut mengandung jamur yang sedikit. Pasir laut pada hampir semua pasir
mengandung jamur yang lebih banyak, namun yeast yang lebih sedikit. Tercatat
bahwa jumlah jamur meningkat pada pasir laut pada akhir musim, yang
berkorelasi dengan peningkatan jumlah pasien dengan rinosinusitis akut pada
bulan Agustus dan September.
STUDI AIR LAUT
Dengan menggunakan data dari stasiun sanitasi yang memeriksa
komposisi bakteri pada air laut dan pasir pantai di Odessa (sampel diambil
seminggu sekali), air laut pada kedalaman 5 dan 50 meter diperiksan dengan
indeks berikut: coli laktosa positif, E. coli, Enerococcus, Staphylococcus,
Colifagus (Gambar 2).
Dengan demikian, untuk hampir seluruh musim liburan, bakteri pada air
laut tidak melampaui normal! Hal ini penting untuk ditekankan, karena beberapa
pasien menghubungkan penyakitnya dengan laut yang tercemar. Perlu dicatat
bahwa kemurnian air laut meningkat dari tahun ke tahun; hal ini diakibatkan
penurunan limbah pabrik dan perbaikan fasilitas pengolahan limbah. Namun
demikian, frekuensi terjadinya ABRS tetap meningkat. Hal ini mungkin
diakibatkan peningkatan jumlah wisatawan, namun hal ini tidak terlalu terlihat.

HIPOTESIS
Air laut dan pasir laut belum pernah diteliti dalam hal ada tidaknya jamur.
Parameter yang jelas tentang kontaminasi jamur pada air laut dan pasir laut masih
belum ada. Kami adalah yang pertama mengusulkan bahwa jamur terdapat pada
air laut dan pasir.
Menurut data yang sudah ada, jamur terdapat pada pasir di hampir semua
pantai, mold dalam jumlah yang banyak dan yeast dalam jumlah yangs edikit.
Terdapat kenaikan tajam jumlah jamur di pasie pada akhir musim, yang sesuai
dengan peningkatan jumlah pasien pada bulan Agustus dan September.

SENSITISASI
Parameter yang paling penting dalam faktor sistemik imunitas dan alergi
dan perubahan kadar antibodi spesifik terhadap alergen jamur. Kandungan total
IgE pada serum pasien ABRS didapat 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan grup
kontrol (Tabel 7, Gambar 3).
Tabel 7. Kandungan IgE spesifik terhadap alergen jamur pada serum darah
grup yang diperiksa
Alergen

Kelipatan degranulasi dibandingkan dengan kontrol, M m


Kontrol
ABRS
Candida
1.5 0.2
3.7 08*
Penicillum
1.7 0.3
3.3 0.7
Aspergillum
2.1 0.6
4.7 1.1*
*Signifikan terhadap kontrol (<0.05)
STUDI IMUNOLOGI
Parameter yang paling penting dalam faktor sistemik imuntas dan alergi
adalah perubahan kadar antibodi, baik umum maupun spesifik, terhadap alergen
jamur. Selain itu, penurunan sitosin dan faktor antivirus interferon, secara tidak
langsung menunjukkan perubahan diferensiasi T-helper (Th) terhadap sel Th2,
mendorong pembentukan reaksi imun terhadap flora jamur. Munculnya
peningkatan kadar sel epitelium bersilia pada pasien menunjukkan bahwa flora
jamur menyebabkan proses destruksi mukosa. Hasil dari investigasi alergologi
menunjukkan bahwa kadar tinggi "allergy background" khas untuk sinusitis laut
dan hipotesis peran patogenetik alergi pada penyakit ini termasuk kemungkinan
yang besar.

Gambar 3. Tes kulit terhadap alergen kulit (A) setelah 30 menit (B) setelah
24 jam
Tabel 8. Kandungan reagen pada serum darah pasien yang diperiksa
Grup

Kontrol
APRS
ABRS

10
10
10

Reagen
Ig E, IU/ml
46.7 10.2
101.9 4.1
343.4 9.5

Ig G4, g/l
2.8 0.6
3.1 0.9
3.7 1.0

Dalam kasus ini, menurunkan imunitas sementara cukup penting karena:


tingginya radiasi matahari (kebanyakan pasien lebih banyak meluangkan waktu di
bawah sinar matahari dan mengalami sunburn dengan berbagai derajat),
perubahan iklim (pengunjung dari daerah lain), diet, paparan terhadap air dingin,
dll. Penting untuk diperhatikan bahwa menurunkan sistem imun hanya sementara;
lesi karena jamur menyebabkan kerusakan membran mukosa hidung dan PNS
(tempat jamur melakukan penetrasi) dan bergabung dengan flora normal.
Parameter yang paling penting dari sistem imunitas dan alergi adalah
perubahan reagin, keduanya baik secara umum maupun spesifik, terhadap jamur.
Terapi yang diberikan pada ABRS menunjukkan rendahnya kadar IgE pasien

pada serum darah hingga mencapai kadar sebelum diberikan terapi yaitu 343,3
IU.mL, i.e lebih dari 3 kali.
Kadar IgE spesifik terhadap antigen jamur pada pasien dengan sinusitis
menunjukkan perubahan yang positif setelah terapi, walaupun tidak mencapai
kadar kontrol (tabel 9), tetapi lebih rendah sebelum terapi.
Tabel 9. Kandungan IgE spesifik terhadap alergen jamur pada serum darah
grup yang diperiksa
Pembagian degranulasi terhadap kontrol, M m
Kontrol
ABRS sebelum
ABRS sesudah

Alergen

pengobatan
Candida
1.5 0.2
3.7 0.8*
Penicillum
1.7 0.3
3.3 0.7
Aspergillum
2.1 0.6
4.7 1.1*
*Tingkat kepercayaan terhadap kontrol (<0.05)

pengobatan
2.4 1.0
2.3 0.6
3.0 0.9

Faktor yang paling penting dalam status interferon pasien dengan ABRS
adalah menurunnya kedua jenis interferon, yaitu interferon - dan -, bahkan
sampai nol. Setelah pengobatan, didapati peningkatan kembali interferon - dan yang saat ini dianggap sebagai penanda baiknya prognosis (Tabel 10).
Perubahan kadar interleukin-10 seiring perkembangan reaksi peradangan
juga dianggap sebaik penanda yang baik.

Tabel 10. Kandungan interferon pada serum darah pasien ABRS


-interferon
Rata-rata,
Grup

pg/ml

Statistik
Batas variasi
Jumlah

Confidence of

(min-max)

pemeriksaa

differences
<0.001
<0.001

Kontrol
Setelah

11.2
5.0

5-30
1.5-10

n
12
14

pengobatan
Sebelum

14

pengobatan
-interferon
Rata-rata,
Grup

Statistik
Batas variasi
Jumlah

Confidence of

pg/ml

(min-max)

pemeriksaa

differences

Kontrol
Setelah

4.5

2-8
1-8

n
12
14

>0.05

pengobatan
Sebelum

1.2

0-3

14

<0.01

pengobatan
STUDI SITOLOGI
Gambaran pada pasien ABRS dengan konsentrasi sel dari epitel bersilia
yang tinggi menjadi bukti yang mendukung hipotesis bahwa pasien APRS, flora
jamur lebih berperan dalam merusak mukosa dibandingkan mikroflora.
ABRS dapat ditandai dengan:
- Adanya kolonisasi mukosa yang berat oleh jamur, terutama Aspergillum
niger, disertai adanya sensitisasi igE terhadap jamur dan rendahnya kadar
interferon - dan - dalam serum dan sekret orofaring
- Penurunan interferon- dan peningkatan sel dari epitel bersilia dapat
menjadi panduan untuk mendiagnosis ABRS
PENATALAKSANAAN
Harus digarisbawahi bahwa ABRS

sebelumnya dapat ditatalaksana

dengan baik, walaupun tanpa pemahaman kasus yang baik. Metode yang
digunakan sampai sekarang adalah cuci hidung menggunakan larutan antiseptik,
antibiotik dan hormon. Kemungkinan, menghentikan mandi cukup penting
(kontak dengan agen penyebab). ABRS memerlukan terapi antibiotik dikarenakan
efek dari jamur, spora, mikotoksin pada membran mukosa kavum nasi dan sinus
paranasal, bersama dengan penambahan fyang cepat dari flora bakteri. Terapi
dasar untuk pasien dngan rhinosinusitis bakterial akut adalah menggunakan
antibiotik, mukolitik, dekongestan, antihistamin, dan atau hormon. Kami juga

menggunakan interferon induktor yaitu Cycloferon (sistemik), yang digunakan 710 hari dari onset penyakit.
Terapi ABRS yang digunakan menunjukkan kadar IgE pasien ABRS turun
hingga ke kadar normal. Kadar dari IgE spesifik terhadap antigen jamur pada
pasien ABRS juga menunujukkan tren yang positif, walaupun tidak mencapai
kadar kontrol. Setelah terapi, perbaikan parsial dari alpha interferon dan
munculnya interferon gamma dalam darah juga dinilai, yang mana berkaitan
dengan nilai prognosis.
Kami tidak menemukan adanya komplikasi terhadap terapi obat. Tidak aa
kasus relaps diluar musim pada 43 pasien yang dimonitor selama satu tahun.
Kami mengambil kesimpulan bahwa terapi yang kompleks pada pasien
ABRS dapat diterima, dan parameter imunologi menunjukkan pasien kembali ke
keadaan normal setelah terapi. Penemuan ini berkaitan dengan perbaikan
kesehatan pasien, dan memberi petunjuk bahwa ini adalah indikator yang baik
untuk menilai efektivitas terapi pasien ABRS.
Kami melakukan pelacakan pada pasien ABRS dan menemukan :
- Mereka tidak mengalami sinusitis rekuren ataupun kronik dan merasa baik
saat musin gugur atau dingin, walaupun paparan terhadap jamur tetap ada.
- Kontak yang berulang dapat menyebabkan pasien terkena ABRS kembali.

Diskusi
Telah disimpulkan bahwa rinosinusitis akut berkembang sebagai hasil
perjalanan penyakit infeksi virus dan komplikasinya, akibat dari efek destruksi
virus dan bakteri flora tambahan terhadap membran mukosa hidung dan sinus
paranasal [14]. Pada kasus ABRS, spora dan mikotoksin jamur memiliki efek
yang sama dengan virus dalam hal destruksi membran mukosa hidung dan sinus
paranasal. Efek jamur didapati lebih agresif merusak membran mukosa (jamur
lebih besar dibandingkan virus dan bakteri, jamur dapat melakukan reproduksi
lebih cepat dan melepaskan spora dan mikotoksin dalam jumlah yang besar), yang

mengakibatkan onset timbulnya ABRS lebih cepat. Hal ini terjadi dengan
dilatarbelakangi imunitas yg rendah, diet, perubahan kondisi iklim, paparan air
dingin terhadap tubuh, dan lain-lain [15].
Studi jangka panjang mengenai penyebab dan gejala ABRS ini
mengungkapkan mekanisme sinusitis purulenta yang belum terjelaskan selama
ini, yang terjadi pada individu sehat yang tersensitisasi jamur (genus
Aspergillum), dalam kondisi insolasi tinggi dan suhu yang sangat panas, biasanya
akibat stress yang berhubungan dengan kunjungan ke kota lain dengan iklim yang
berbeda. Sumber dari jamur antara lain pasir laut dan air laut. Perubahan
imunologi lokal dan sistemik menyebabkan invasi bakteri flora dan progresifitas
rinosinusinusitis purulenta yang cepat dengan gambaran klinis yang berat [16].
Terapi tradisional sinusitis purulenta dengan menggunakan metode cuci hidung,
antibiotik lokal dan sistemik, dan terapi hormonal dapat mengurangi peradangan
dengan cepat, akan tetapi sensitisasi terhadap jamur tetap tinggi, sehingga masih
terdapat kemunginan untuk terjadinya peradangan. Kasus sinusitis kronik tidak
diamati. Penelitian mengenai hal ini harus terus dilanjutkan.

REFERENSI
5.

Alho OP: Paranasal sinus bony structures and sinus functioning during
viral colds in subjects with and without a history of recurrent sinusitis.
Laryngoscope, 2003; 113: 2163-68

9.

Naclerio RM: Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease. In:


Diseases of the Sinuses: Diagnosis and Management. Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ (eds.), Hamilton. 2001; Chapter 4: 47-56

11.

Chiu AG: Medical Management of Chronic Rhinosinusitis. In:Sinusitis


From Microbiology to Management. Brook I, ed. - New York, 2006;
Chapt. 11: 219-32

12.

Stalman WA et al: Determinants for the course of acute sinusitis in adult


general practice patients. Postgrad Med J, 2001; 77; 778-82

13.

Wormald PJ: Treating acute sinusitis. Aust Prescr, 2000; 23: 39-42

14.

Jackman AH, Kennedy DW: Pathophysiology of Sinusitis. In: Sinusitis


From Microbiology to Management. Brook I, ed.. New York, 2006;
Chapt.6: 109-34

15.

Hoover GE, Newman LJ, Platts Mills TA et al: Chronic sinusitis: risk
factors for expensive disease. J Allergy Clin Immunol, 1997; 2: 185-91

16.

Lacroix JS, Ricchetti A, Lew D: Symptoms and clinical and radiological


signs predicting the presens of pathogenic bacteria in acute rhinosinusitis.
Acta. Otolaryngol, 2002; 122(2): 192-96

Anda mungkin juga menyukai