Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbukitan Jiwo adalah daerah perbukitan rendah yang terletak diantara kota Klaten dengan
Pegunungan Selatan. Perbuktian ini yang mencuat dari daerah rendah di sekitarnya, yang
merupakan kaki selatan tenggara dari Gunung Merapi. Oleh karena kota kecamatan Bayat
terletak pada kaki perbukitan Jiwo ini, daerah perbuktian Jiwo juga sering dikenal dengan daerah
Bayat. Bayat sendiri terletak 14 km di selatan kota Klaten.
Daerah Perbukitn Jiwo merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi
geologi yang kompleks. Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempat-tempat
singkapan yang mudah dicapai. Salah satuan batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks
batuan metamorf dan batuan Paleogen yang banyak mengandung fosil yang tersingkap di daerah
ini. Adanya kompleksitas dan pencapaian yang mudah ini menjadikan daerah perbukitan Jiwo
merupakan daerah yang tepat untuk melakukan latihan geologi lapangan. Untuk keperluan itu,
maka pada tahun 1984 Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dukungan danaan dari
Pertamina mendirikan Stasiun lapangan Geologi Prof.R.Soeroso Notohadiprawiro. Sejak saat
dibukanya, Stasiun Lapangan ini telah banyak digunakan untuk latihan lapangan dari mahasiswa
geologi dan jurusan lain yang berkaitan dengan kajian kebumian dari sejumlah Universitas dan
Perguruan Tinggi, baik daru Yogyakarta maupun tempat lain di Indonesia, bahkan dari beberapa
Universitas di luar negeri.
Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua wilayah yaitu Jiwo Barat dan Jiwo Timur yang keduanya
dipisahkan oleh Sungai Dengkeng. Sungai Dengkeng sendiri mengalir mengitari komplek Jiwo
Barat, semula mengalir ke arah selatan, berbelok ke arah timur kemudian ke utara memotong
perbukitan dan selanjutnya mengalir ke arah timur laut. Sungai Dengkeng ini merupakan
pengering utama dari dataran rendah di sekitar Perbukitan Jiwo. Pembagian fisiografi daerah
Bayat di mana Perbukitan Jiwo Barat dan Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari acara Kuliah Lapangan Geologi ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan
yang telah didapatkan dari dosen dan praktikum mengenai pendeskripsian mineral, pengamatan
singkapan, dan pencatatan pada buku lapangan hingga akhirnya mahasiswa dapat menerapkan
pengetahuannya tersebut pada kondisi dan situasi dilapangan. Adapun dari acara ini yang
bertujuan sebagai pembiasaan bagi mahasiswa geologi dengan kondisi nyata di lapangan dan
untuk menguji sejauh mana pemahaman mengenai materi materi yang telah diberikan dalam
kegiatan perkuliahan dan kegiatan praktikum yang ada selama ini.

1.3 Ruang Lingkup


1.3.1 Wilayah

Secara administrasi daerah penelitian terletak di Desa Krakitan, Desa dukuh dan Desa
Tedal Rejo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Secara kordinat
UTM (Universal Transverse Mercator) daerah penelitian terletak pada 458000 - 46400 dan
9140000 9144000. Daerah penelitian termaksuk ke dalam peta geologi regional lembar
Surakarta-Giritontro, Jawa (Surono dkk., 1992), peta geologi regional lembar klaten (Bayat),
Jawa (Samodra dan Sutisna, 1997). Daerah penelitian dapat dicapai dengan menempuh
selama 45 menit dari kota Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan darat. Peta lokasi
penilitian terlihat pada gambar 1.1.

1.3.2 Waktu Kuliah Lapangan


Kegiaan Kuliah Lapangan Geologi ini dilaksanakan selama lima hari dimulai dengan 13 Mei
2015 dan berakhir pada 18 Mei 2015 .

1.4 Metodologi
1.4.1 Alat dan Bahan
Bahan
Peta Geologi
Peta Geologi digunakan sebagai petunjuk tentang susunan lapisan batuan dan pada umumnya
memberikan informasi tentang formasi apa saja yang ada di daerah yang di petakan.

HCL
Digunakan untuk mengetahui adanya komposisi material karbonatan pada mineral dan

batuan yang ditunjukkan dengan reaksi menghasilkan banyak buih.


Peralatan
o Kompas
o Lup
o Palu
o Meteran
o Pensil
o Buku Lapangan
o Papan Scanner
o Topi Lapangan
o Makanan dan Minuman
o Obat- Obatan
o Jas Hujan
o Camera

1.4.2 Tahapan Pekerjaan


Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi
lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan
analisis sekunder yang didapat dari pustaka dan sumber lain yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detail.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, terdapat empat tahapan dalam pekerjaan geologi
lapangan :

1.

Tahap Pendahuluan, merupakan tahap recognize, persiapan kelengkapan lapangan dan

2.

studi pustaka
Tahap Pelaksanaan, merupakan tahap pengumpulan data di lapangan. Meliputi
orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan lithology serta
penyebarannya, pengukuran ketebalan, pengamatan struktur geologi yang ada serta

3.

pengambilan sampel batuan.


Penyusunan Laporan, hasil analisa yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk
draft laporan, peta lintasan, peta geomorfologi dan penampang yang kemudian untuk
dipresentasikan dan diuji.

1.4.3 Tahapan Data


Telah banyak ahli Geologi yang melakukan penelitian terdahulu di PulauJawa,
termasuk daerah telitian. Menurut Bemmelen (1949) secara fisiografis daerah telitian berada
pada bagian paling Barat dari jalur Pegunungan Selatan Jawa Timur yang memanjang BaratTimur mulai dari Parangkritis hingga Ujungpurba. Beberapa ahli lain diantaranya:
1.
Rahardjo, dkk (1977) mengumukakan bahwa di daerah PegununganSelatan
bagian Barat, pengakatan terjadi pada Kala Miosen Tengah dankemudian terjadi
pengendapan FormasiWonosari. Selanjutnya pada awalPlestosen, seluruh daerah
terangkat lagi yang mengakibatkan pembentukanmorfologi dataran tinggi, juga
mengakibatkan terjadinya penyesaran.Struktur utama mempunyai arah poros lipatan
Timur laut-Barat dayamelalui terban Bantul bagian Timur (Untung, dkk.,1973 dalam
Rahardjo,dkk., 1977). Sebagai dari bagian Pegunungan Selatan, stratigrafi
2.

telahbanyak diteliti oleh beberapa ahli seperti Bothr (1929) dan Marks (1957).
Asikin (1974) membahas tentang struktur Geologi Jawa Tengah dan
sekitarnya secara regional, dalam bukunya evolusi Geologi Jawa Tengah dan

3.

sekitarnya ditunjau dari segi tektonik Dunia yang baru.


Marks, P. (1961) dalam bukunya stratigrapy lexion of Indonesia menjelaskan

4.

susunan stratigrafi Pegunungan Selatan.


Menurut Suyoto (1992) didalam Universitas Pembangunan Nasional Veteran
(UNPVET, 1998) mengemukakan tatanan stratigrafi pegununganSelatan berturut-turut
dari tua ke muda.

1.4.4 Diagram Alir

BAB II
GEOLOGI RAGIONAL
2.1 Geomorfologi
1) Kondisi Umum Kecamatan Bayat
Lokasi daerah Bayat berada kurang lebih 25 km di sebelah timur kota Yogyakarta.
Secara umum fisiografi Bayat dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah di sebelah utara
Kampus Lapangan terutama di sisi utara jala raya Kecamatan Wedi yang disebut sebagai area
PerbukitanJiwo (Jiwo Hills), dan area di sebelah selatan Kampus Lapangan yang merupakan wilayah
Pegunungan Selatan (Southern Mountains).
2) Kondisi Geomorfologi
Perbukitan Jiwo
Perbukitan Jiwo merupakan inlier dari batuan Pre-Tertiary danTertiary di sekitar endapan
Quartenary, terutama terdiri dari endapan fluvio-volcanicyang berasal dari Gunung Merapi.
Elevasi tertinggi dari puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 m di atas muka air laut,
sehingga perbukitan tersebut merupakan suatu perbukitan rendah.
Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua wilayah yaitu Jiwo Barat danJiwo Timur yang
keduanya dipisahkan oleh Sungai Dengkeng secara antecedent. Sungai Dengkeng sendiri
mengalir mengitari komplek Jiwo Barat, semula mengalir ke arah South-Southwest, berbelok
ke arah East kemudian ke North memotong perbukitan dan selanjutnya mengalir ke arah
Northeast. Sungai Dengkeng ini merupakan pengering utama dari dataran rendah di sekitar
Perbukitan Jiwo. Pembagian fisiografi daerah Bayat di mana Perbukitan Jiwo Barat dan
Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng. Dataran rendah ini semula merupakan rawa-rawa yang
luas akibat air yang mengalir dari lembah Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan.
Genangan air ini, di utara Perbukitan Jiwo mengendapkan pasir yang berasal dari lahar.
Sedangkan di selatan atau pada bagian lekukan antar bukit di Perbukitan Jiwo merupakan
endapan air tenang yang berupa lempung hitam, suatu sedimen Merapi yang subur ini
dikeringkan (direklamasi) oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk dijadikan daerah
perkebunan. Reklamasi ini dilakukan dengan cara membuat saluran-saluran yang ditanggul
cukup tinggi sehingga air yang datang dari arah Gunung Merapi akan tertampung di sungai
sedangkan daerah dataran rendahnya yang semula berupa rawa-rawa berubah menjadi tanah

kering yang digunakan untuk perkebunan. Sebagian dari rawa yang semula luas itu disisakan
di daerah yang dikelilingi Puncak Sari, Tugu, dan Kampak di Jiwo Barat, dikenal sebagai
Rawa Jombor. Rawa yang disisakan itu berfungsi sebagai tendon untuk keperluan irigasi
darah perkebunan didataran sebelah utara Perbukitan Jiwo Timur.
Untuk mengalirakan air dari rawa-rawa tersebut, dibuat saluran buatan dari sudut
Southwest rawa-rawa menembus perbukitan batuan metamorfik di Gunung Pegat mengalir ke
timur melewati Desa Sedan dan memotong Sungai Dengkeng lewat aqueduct di sebelah
selatan Jotangan menerus ke arah timur. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping
menunjukkan perbukitan memanjang dengan punggung yang tumpul sehingga kenampakan
puncak-puncak tidak begitu nyata. Tebing-tebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga
alur-alurnya tidak banyak dijumpai (Perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan TuguKampak diJiwo Barat). Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorfik perbukitannya
menunjukkan relief yang lebih nyata dengan tebing-tebing yang terbiku kuat. Kuatnya hasil
penorehan tersebut menghasilkan akumulasi endapan hasil erosi di kaki perbukitan ini yang
dikenal sebagai colluvial. Puncak-puncak perbukitan yang tersusun dari batuan metamorfik
terlihat menonjol dan beberapa diantaranya cenderung berbentuk kerucut seperti puncak
Jabalkat dan puncak Semanggu. Daerah dengan relief kuat ini dijumpai daerah Jiwo Timur
mulai dari puncak Konang kearah timur hingga puncak Semanggu dan Jokotuo. Daerah disekitar
puncak Pendul merupakan satu-satunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun oleh batuan
beku. Kondisi morfologinya cukup kasar mirip perbukitan metamorfik namun relief yang
ditunjukkan puncaknya tidak sekuat perbukitan metamorfik.
Daerah jiwo barat
Sekitar puncak Pendul merupakan satu-satunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun
oleh batuan beku. Kondisi morfologinya cukup kasar mirip perbukitan metamorfik namun
relief yang ditunjukkan puncaknya tidak sekuat perbukitan metamorfik.
Daerah Jiwo Barat memiliki puncak-puncak bukit berarah utara-selatan yang diwakili
oleh puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran,Budo, Sari, dan Tugu dengan di bagian paling
utara membelok ke arah barat yaitu Gunung Kampak.
Batuan metamorf di daerah ini mencakup daerah di sekitar Gunung Sari,Gunung Kebo,
Gunung Merak, Gunung Cakaran, dan Gunung Jabalkat yang secara umum berupa sekis
mika, filit, dan banyak mengandung mineral kuarsa. Disekitar daerah Gunung Sari, Gunung

Kebo, dan Gunung Merak pada sekis mika tersebut dijumpai bongkah-bongkah andesit dan
mikrodiorit. Zona-zona lapukannya berupa spheroidal weathering yang banyak dijumpai di
tepi jalan desa. Batuan beku tersebut merupakan batuan terobosan yang mengenai tubuh sekis
mika . Singkapan yang baik dijumpai di dasar sungai-sungai kecil yang menunjukkan kekar
kolom (columnar joint).
Batuan metamorfik yang dijumpai juga berupa filit sekis klorit,sekis talk, terdapat mieral
garnet, kuarsit serta marmer di sekitar Gunung Cakaran, dan Gunung Jabalkat. Sedangkan
pada bagian puncak dari kedua bukit itu masih ditemukan bongkah-bongkah konglomerat
kuarsa. Sedangkan di sebelah barat Gunung Cakaran pada area pedesaan di tepian Rawa
Jombor masih dapat ditemukan sisa-sisa konglomerat kuarsa serta batupasir. Sampai saat ini
batuan metamorfik tersebut ditafsirkan sebagai batuan berumur Pre-Tertiary, sedangkan
batupasir dan konglomerat dimasukkan ke dalam Formasi Wungkal.
Di daerah ini dijumpai dua inlier (isolated hill) masing-masing dibukit Wungkal dan bukit
Salam. Bukit Wungkal semakin lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk
mengambil batu asah (batuwungkal) yang terdapat di bukit tersebut.
Di daerah Jiwo Timur
Daerah ini mencakup sebelah timur Sungai Dengkeng yangmerupakan deretan perbukitan
yang terdiri dari Gunung Konang, GunungPendul, Gunung Semangu, Di lereng selatan
Gunung Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai dari sebelah utara Desa
Dowo dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat fragmen sekis mika ada di
dalamnya. Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu lempung abu-abu
berlapis, keras, mengalami deformasi lokal secara kuat hingga terhancurkan.
Hubungan antar satuan batuan tersebut masih memberikan berbagai kemungkinan karena
kontak antar satuan terkadang tertutup oleh koluvial di daerah dataran. Kepastian stratigrafis
antar satuan batuan tersebut barn dapat diyakini jika telah ada pengukuran umur absolut.
Walaupun demikian berbagai pendekatan penyelidikan serta rekontruksi stratigrafis telah
banyak dilakukan oleh para ahli.
Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-puncak bukitberarah barat-timur yang
diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, Gunung Jokotuo dan Gunung
Temas.
Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika, berfoliasi cukup
baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit. Gunung Jokotuo

merupakan batuan meta sedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut dijumpai tanda-tanda
struktur pense saran. Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis.
Di sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batu gamping nummulites, berwarna
abu-abu dan sangat kompak, disekitar batugamping nummulites tersebut terdapat batu pasir
berlapis. Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat terutama
disekitar desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh puncak Jokotuo
dan Bawak.
Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit terisolir yang menonjol
dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited hill) ini adalah bukit Jeto di utara
dan bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batu gamping Neogen
yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara
keseluruhan tersusun oleh batu gamping Neogen.
Daerah Pegunungan selatan
Di sebelah selatan Kampus Lapangan hingga mencapai puncak Pegunungan Baturagung,
secara stratigrafis sudah termasuk wilayah Pegunungan Selatan. Secara struktural deretan
pegunungan tersebut, pada penampang utara-selatan, merupakan suatu pegunungan blok
patahan yang membujur barat-timur.
Untuk daerah di sekitar kampus lapangan, litologi yang dijumpai merupakan bagian
dari Fonnasi Kebo, Butak dan Semilir. Beberapa lokasi singkapan penting penting antara lain
sekitar Lanang dan desaTegal rejo dijumpai batu pasir tufan dengan sisipan serpih. Di
selatan desa Banyu uripan, yaitu desa Kalisogo, ditemukan breksi autoklastik dengan pola
retakan radial yang ditafsirkan sebagai produk submarine breccia. Semakin ke selatan, sekitar
desa Tanggul, Jarum dan Pendem, terdapat singkapan endapan kipas aluvial. Di bagian barat
daya, sekitar desa Tegalrejo, dijumpai batu pasir berlapis dengan pelapukan mengulit
bawang. Di bagian timurnya terdapat batu lempung abu-abu dengan zona kekar.
Naik ke arah puncak Baturagung, perlapisan-perlapisan batuan sedimen akan dijumpai
dengan baik, dapat berupa batu pasir, batulempung, batu pasir krikilan, batu pasir tufa
maupun sisipan breksi. Pengamatan sepanjang jalan ini sangat penting untuk melacak
keaadaan stratigrafis serta struktur geologi di daerah selatan Kampus Lapangan.

2.2 Stratigrafi
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filit,
sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan metamorf hingga saat
ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah
didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang ditemukan oleh Bothe(1927). Karena umur batuan
sedimen tertua yang menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier awal, maka umur
batuan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks. Batupasir yang tidak gampingan secara
tidak selaras menumpang di atas batuan yang sedikit gampingan dan batu lempung, Kemudian
di atasnya tertutup oleh batugamping yang mengandung fosil nummulites yang melimpah dan
bagian atasnya diakhiri oleh batugamping Discocyc1ina. Peristiwa itu menunjukkan bahwa
daerah itu pernah berada di lingkungan laut dalam.
Keberadaan forminifera besar ini bersama dengan foraminifera plangtonik yang sangat
jarang ditemukan di dalam batulempung gampingan, menunjukkan umur Eosen Tengah hingga
EosenAtas. Batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Gamping Gunung Diorit di
daerah Jiwo merupakan penyusun utama Gunung Pendu, yang terletak di bagian timur
Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike.
Singkapan batuan beku di Watuprahu di atas batuan Eosen miring ke arah selatan.
Batuan beku ini terletak dibawah batupasir dan batugamping yang mempunyai kemiringan
lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan
kawan-kawan

(1991)

menghasilkan

sekitar

34 juta tahun,

dimana

hasil ini

kurang lebih sesuai dengan teori Van Bemmelen (1949), yang menafsirkan bahwa batuan
beku tersebut adalah merupakan leher dari Gunung api Oligosen.
Sebelum Eosen tengah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh
pengangkatan atau penurunan muka air laut selama periode akhir oligosen. Proses erosi
tersebut

telah

menurunkan

permukaan

daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode

transgresi dan menghasilkan pengendapan batugamping dimulai pada kala Miosen Tengah.
Daerah Perbukitan Jiwo barat mempunyai ciri litologi yang sama dengan Formasi Oyo
yang tersingkap lebih banyak di Pegunungan Selatan. Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut
yang tersingkap di antara Formasi Wungkal-Gamping dan Formasi Oyo. Selama zaman
Kuarter, pengendapan batugamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti dengan proses

erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah lingkungan darat. Pasir
vulkanik yang berasal dari Gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi proses
sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut dari Perbukitan Jiwo.
Keadaan stratigrafi Pegunugan Selatan, dari tua ke muda yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Formasi Wungkal-Gamping
Formasi Kebo Butak
Formasi Semilir
Formasi Nglanggran
Formasi Sambipitu
Formasi Oyo
Formasi Wonosari
Formasi Kepek.

Tabel 1. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan Menurut Beberapa Peneliti


Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan Gunung Gamping, keduanya di
Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian
bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada
bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar
di Perbukitan Jiwo, antara lain di Gunung Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai
ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera besar,
yaitu Assilina

sp., Nummulites

javanus VERBEEK, Nummulites

bagelensis VERBEEK

dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen

Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung
asosiasi fosil foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi
Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso dan
Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan
fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke
bawah dan diendapkan kembali di laut dalam sehingga merupakan exotic faunal
assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara
Gunung Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit
Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi
(volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak, Formasi
Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan
kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir
berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa
perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian
tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada

Formasi

Kebo-Butak,

Sumarso

dan

Ismoyowati

(1975)

menemukan

fosil Globorotaliaopima BOLLI,Globorotaliaangulisuturalis BOLLI, Globorotaliakuqleri BOL


LI, Globorotaliasiakensis LEROY, Globigerinabinaiensis KOCH, Globigerinoidesprimordius B
LOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan
umur Oligosen Akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang
dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara Pegunungan Baturagung,
sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping
serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.

Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.
Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah
satuan batuan ini, yaitu, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat
andesit basalt sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral
Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah PleretImogiri, di sebelah barat Gunung Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada
Gunung Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian Gunung Gajahmungkur,
Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan Ismoyowati (1975)
menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian bawah formasi dan Orbulina pada
bagianatasnya.Ditemukan Globigerinoidesprimordius BLOW dan BANNER, Globoquadrinaalt
ispira CUSHMAN danJARVIS,Globigerinapraebulloides BLOW dan Globorotaliasiakensis LE
ROY. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah
Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara setempat
tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan
Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk.,
1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara
vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan
merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono,
2001).
Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa Semilir. Batuan
penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan
lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak
berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 50 cm. Di bagian
tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang
membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.

Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto (1982, dalam
Bronto

dan

Hartono

(2001))

menemukan

fosil

foraminifera Globigerina

praebulloides BLOW, Globigerinoides


primordius BLOW,BANNER,Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens C
HAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur
Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil
foraminifera Globorotalia praemenardiii CUSHMAN,ELLISOR, Globorotalia archeomenardii
BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa DORBIGNYdan Globigerinoi
des trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah bagian
bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah
bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga
tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530
meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak
selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit
dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka
diperkirakan lingkungan asal batuan gunung api ini adalah darat hingga laut dangkal.
Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-PatukWonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan
Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian
menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke
atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan
batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat.
Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu
mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki NEWTON
,HOLLAND, Lepidocyclinaferreroi PROVALE, Lepidocyclinasumatrensis BRADY, Cycloclyp

eus

comunis MARTIN, Miogypsina

polymorpha RUTTEN

dan Miogypsina

thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun
Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini
mulai akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya
menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam.
Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam
Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan gunungapi di
Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di Kecamatan Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian
bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh
batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut
umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen
andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang Kecamatan Oyo. Ketebalan formasi
ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi
Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara
lain Cycloclypeusannulatus MARTIN,Lepidocyclinarutteni VLERK, Lepidocyclinaferreroi PR
OVALE, Miogypsinapolymorpha RUTTEN,Miogypsinathecideaeformis RUTTEN

yang

menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929). Lingkungan
pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak
di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan,
sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari
dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona
Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di
bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan
Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping
berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya
terdapat di bagian timur.

Berdasarkan

kandungan

fosil

foraminifera

besar

dan

kecil

yang

melimpah,

diantaranya Lepidocyclina sp. danMiogypsina sp., ditentukan umur formasi ini adalah Miosen
Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang
mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di sebelah barat
Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu Kecamatan Rambatan sebelah barat Wonosari yang
membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan
ini lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10 derajat dan
kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya Globorotalia
plesiotumida BLOW,BANNER, Globorotaliamerotumida, Globoquadrina dehiscens
CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina sp., Textularia sp.,Cibicides sp., Cassidulina
sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah
Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi
Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra,
1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk
pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir
lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno
(Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan PraTersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan Gunung Merapi.
Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling
Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di bawahnya. Tersusun
oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan ketebalan satuan 10 m.
Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini
menunjukan ciri endapan danau, pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat
laterit (warna merah kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati
uvala pada morfologi karst.
Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat
dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar
maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah
selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur)
yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400
km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping
(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara
lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Sementara formasi Kabuh yang dijumpai di antara Madiun-Nganjuk berada pada
geomorfologi dataran-bergelombang lemah yang merupakan sedimentasi bentukan channel
(transisi).
2.1 Struktur Geologi
Pada bagian selatan Bayat, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur,
sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan. Dataran Bukit ini terpotong oleh sesar dan singkapan
batuan metamorf dan tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, Gunung Semangu
dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo.
Pada bagian utara dari jiwo barat yaitu di gunung tugu, gunung kampak dan daerah
ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari jiwo timur, masing-masing di gunung jeto,
gunung bawak, gunung temas dan di gunung lanang, tersingkap batugamping yang
menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua di bagian tenggara
gunung kampak dan di gunung jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf,
sedang di gunung temas menumpang diatas batuan beku.
Pada bagian selatan di gunung temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan
batugamping. Batuan bekunya sudah sangat lapuk dan menunjukkan tanda-tanda retakan yang
kebanyakan telah terisi oleh oksida besi dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan
beku tersebut tidak menerus pada batugamping.
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan batugamping, batuan bekunya telah
mengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri yang berupa oksida besi. Setelah
terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya mengisi celah akibat retakan
tersebut membentuk urat kalsit.
Setelah batugamping terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini
bersama batuan bekunya tersingkap dan mengalami pelapukan membentuk tanah. Urat kalsit

yang ada mengalami pelarutan dan pengendapan kembali seperti yang banyak dijumpai
di barat gunung Temas dan lereng timur dan selatan gunung Pendul.

BAB III
GEOLOGI DAERAH JIWO BARAT , TIMUR DAN NGLANGGRAN
3.1 Geomorfologi daerah Kuliah Lapangan
3.1.1 Geomorfologi Jiwo Barat
Jiwo Barat terdiri dari deretan perbukitan Gunung Kampak, Gunung Tugu, Gunung Sari,
Gunung Kebo, Gunung Merak, Gunung Cakaran, dan Gunung Jabalkat. Gunung Kampak dan
Gunung Tugu memiliki litologi batugamping berlapis, putih kekuningan, kompak, tebal lapisan
20 40 cm. Di daerah Gunung Kampak batugamping tersebut sebagian besar merupakan suatu
tubuh yang massif, menunjukkan adanya asosiasi dengan kompleks terumbu (reef). Di antara
Gunung Tugu dan Gunung Sari batugamping tersebut mengalami kontak langsung dengan
batuan metamorfik (mica schist).
Daerah Jiwo Barat memiliki puncak-puncak bukit berarah utara-selatan yang diwakili oleh
puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo, Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara
membelok ke arah barat yaitu Gunung Kampak.
Batuan metamorf di daerah ini mencakup daerah di sekitar Gunung Sari, Gunung Kebo,
Gunung Merak, Gunung Cakaran, dan Gunung Jabalkat yang secara umum berupa sekis mika,
filit, dan banyak mengandung mineral kuarsa. Di sekitar daerah Gunung Sari, Gunung Kebo,
dan Gunung Merak pada sekis mika tersebut dijumpai bongkah-bongkah andesit dan
mikrodiorit. Zona-zona lapukannya berupa spheroidal weathering yang banyak dijumpai di tepi
jalan desa. Batuan beku tersebut merupakan batuan terobosan yang mengenai tubuh sekis mika
.singkapan yang baik dijumpai di dasar sungai-sungai kecil yang menunjukkan kekar kolom
(columnar joint).
Batuan metamorfik yang dijumpai juga berupa filit sekis klorit, sekis talk, terdapat mieral
garnet, kuarsit serta marmer di sekitar Gunung Cakaran, dan Gunung Jabalkat. Sedangkan
pada bagian puncak dari kedua bukit itumasih ditemukan bongkah-bongkah konglomerat
kuarsa. Sedangkan di sebelah barat Gunung Cakaran pada area pedesaan di tepian Rawa
Jombor masih dapat ditemukan sisa-sisa konglomerat kuarsa serta batupasir. Sampai saat ini
batuan metamorfik tersebut ditafsirkan sebagai batuan berumur Pre-Tertiary, sedagkan
batupasir dan konglomerat dimasukkan ke dalam Formasi Wungkal.
Di daerah ini dijumpai dua inlier (isolated hill) masing-masing di bukit Wungkal dan bukit
Salam. Bukit Wungkal semakin lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk
mengambil batu asah (batu wungkal) yang terdapat di bukit tersebut.
3.1.2

Geomorfologi Jiwo Timur

Daerah ini mencakup sebelah timur Sungai Dengkeng yang merupakan deretan perbukitan
yang terdiri dari Gunung Konang, Gunung Pendul, Gunung Semangu, Di lereng selatan
Gunung Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai dari sebelah utara Desa Dowo
dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat ragmen sekis mika ada di dalamnya.
Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu lempung abu-abu berlapis, keras,
mengalami deformasi lokal secara kuat hingga terhancurkan.
Hubungan antar satuan batuan tersebut masih memberikan berbagai kemungkinan karena
kontak antar satuan terkadang tertutup oleh koluvial di daerah dataran. Kepastian stratigrafis
antar satuan batuan tersebut barn dapat diyakini jika telah ada pengukuran umur absolut.
Walaupun demikian berbagai pendekatan penyelidikan serta rekontruksi stratigrafis telah
banyak dilakukan oleh para ahli.
Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-puncak bukit berarah barat-timur yang
diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, Gunung J okotuo dan Gunung
Temas. Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika, berfoliasi
cukup baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit. Gunung Jokotuo
merupakan batuan metasedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut dijumpai tanda-tanda
struktur pense saran. Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis. Di
sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batugamping nummulites, berwarna abu-abu
dan sangat kompak, disekitar batu gamping nummulites tersebut terdapat batu pasir berlapis.
Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat terutam di sekitar
desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh puncak Jopkotuo dan
Bawak.
Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit terisolir yang menonjol
dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited hill) ini adalah bukit Jeto di utara dan
bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batu gamping Neogen yang
bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara
keseluruhan tersusun oleh batu gamping Neogen.

3.1.3

Geomorfologi Nglanggran
Nglanggeran merupakan desa yang secara administratif terletak di Kecamatan Patuk,
Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba memiliki
luas 48 ha. Sedangkan wilayah Desa Nglanggeran memiliki luas 762,0990 ha dengan tata guna
lahan sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian, perkebunan, ladang dan pekarangan.
Pola pemilikan tanah tersebut didominasi oleh tanah kas desa. Jarak Desa Nglanggeran dari
ibukota kecamatan adalah 4 km, 20 km dari ibukota kabupaten dan berjarak 25 km dari
ibukota propinsi. Batas administratif Desa Ngelanggeran adalah :
1.

Sebelah Utara : Desa Ngoro-oro

2.

Sebelah Timur : Desa Nglegi

3.

Sebelah Selatan: Desa Putat

4.

Sebelah Barat : Desa Salam


Desa Nglanggeran terdiri dari 5 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Karangsari, Dusun Doga,

Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan dan Dusun Gunungbutak. Pusat
pemerintahan desa terletak di dusun Doga.
Terdapat potensi pariwisata di Desa Nglanggeran yaitu adanya Gunung Nglanggeran dan
kini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Api Purba. Secara fisiografi Gunung Api Purba
Nglanggeran terletak di Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen
1949) atau

tepatnya di Sub Zona Pegunungan Baturagung (Baturagung Range) dengan

ketinggian 700 meter dari permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%).
Gunung Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang
berumur tersier ( Oligo- Miosen) atau 0,6 70 juta tahun yang lalu.
Material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis
andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung Nglanggeran antara
lain breksi andesit, tufa dan lava bantal. Singkapan batuan vulkanik klastik yang ditemukan di
Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan
yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi lokasi tipe (type location) dan diberi nama
Formasi Geologi Nglanggeran.

Beberapa bukti lapangan yang menunjukkan bahwa dahulu pernah ada aktivitas vulkanis
adalah banyaknya batuan sedimen vulkanik klastik seperti batuan breksi andesit, tufa dan
adanya aliran lava andesit di Gunung Nglanggeran. Bentuk kawah Gunung Api Purba
Nglanggeran dapat ditemukan di puncak Gunung Nglanggeran.

3.2 Stratigrafi daerah Kuliah Lapangan


3.1.2

Stratigrafi Jiwo Barat, Jiwo Timur dan Nglanggran

Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa
filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk b a t u a n
malihan

hingga

t i d a k langsung

saat

untuk

ini

masih

perkiraan

belum

umurnya

ada.

adalah

Satu-satunya

didasarkan

fosil

data
tunggal

Orbitolinayang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat


yangmenunjukkan
yangm e n u t u p

umur

batuan

Kapur.

Dikarenakan

malihan

tersebut

umur

batuan

berumur

awal

sedimen

tertua

Te r s i e r

(batu

p a s i r b a t u gamping Eosen), maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan PreTe r t i a r y

Ro c k s .

Secara

tidak

selaras

menumpang

di

atas

batuan

m a l i h a n adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan
batulempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang mengandung
fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh
b a t u gamping

Discocyc1ina,

menunjukkan

lingkungan

laut

dalarn.

Keberadaan

forminifera besar ini bersama dengan foraminifera plangtonik yang sangat jarang
ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah
hingga Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen inidisebut Formasi WungkalGarnping. Keduanya, batuan malihan dan FormasiWungkal-Gamping diterobos oleh
batuan beku menengah bertipe dioritik.D i o r i t

di

daerah

Jiwo

merupakan

p e n y u s u n u t a m a G u n u n g Pe n d u l , y a n g terletak di bagiann timur Perbukitan

Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike. Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi
utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas batuan Eosen yang miring ke arah
selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah batu pasir dan batu
garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan. Penentuan umur

pada dike intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkans e k i t a r 3 4
juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen
( 1 9 4 9 ) , ya n g m e n a f s i r k a n b a h w a b a t u a n b e k u t e r s e b u t a d a l a h merupakan leher /
neck dari gunung api Oligosen. Mengenai genetik dan g e n e r a s i m a g m a t i s m e d a r i d i o r i t d i
P e r b u k i t a n J i w o m a s i h m e m e r l u k a n kajian yang lebih hati-hati.

Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal
Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sangat berbeda dengan pegunungan baturagung di
selatannya. Disini ketebalan batuan Volkanoklastik-Marin yang dicirikan turbidit dan sedimen
hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-perbedaan ini
kemugkinan di sebabkan oleh kompleks system sesar yang memisahkan daerah Perbukitan
Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah.

Selama zaman kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang
diikuti dengan proses erosi menyebabkan daerah perbukitan jiwo berubah menjadi lingkungan
darat. Para vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi
proses sedimentasi endapan alluvial terutama disebelah utara dan barat laut di perbukitan jiwo.
Keadaan stratigrafi Pegunugan Selatan, dari tua ke muda yaitu :
Formasi Kebo, Berupa Pasir Vulkanik, tufa, serpih, dengan sisipan lava,umur olisogen
(N2-N3) ketebalan formasi sekitar 800 meter.
Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah (N4),

terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih.


Formasi Semilir, berupa tufa, lapilli, breksi piroklastik, kadnag ada sisipan lempung dan

batu pasir Vulkanik . Umur N5-N9. Bagian tengah menjari dengan formasi Nglanggeran.
Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, breksi vulkanik batu pasir, lava dan breksi

aliran.
Dari puncak batuagung kea rah selatan, yaitu menuju dataran Wonosari akan di jumpai

Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi wonosari.


Formasi kepek.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto (1982, dalam

Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globigerina praebulloides BLOW,
Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY,
Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung
yang menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono
(2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii CUSHMAN dan
ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN,
Orbulina universa DORBIGNY dan Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir
yang menunjukkan umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur
formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga
tinggian Gunung Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530
meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak
selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit
dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka
diperkirakan lingkungan asal batuan gunung api ini adalah darat hingga laut dangkal.
Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.

3.3 Struktur Geologi daerah Kuliah Lapangan


3.3.1Struktur Geologi Daerah Bayat (Jiwo Barat dan Jiwo Timur)
Pada bagian selatan Bayat, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barattimur, sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan.Dataran Bukit ini terpotong oleh sesar dan
singkapan batuan metamorf dan tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, Gunungunung
Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo. Pada bagian utara dari jiwo barat yaitu
di gunung tugu, gunung kampak dan daerah ngembel serta bagian utara,timur dan tenggara dari
jiwo timur, msing-masing di gunung jeto, gunung bawak, gunung temas dan di gunung lanang,
tersingkap batugamping yang menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua di
bagian tenggara gunung kampak dan di gunung jeto, batugamping ini menumpang di atas
batuan metamorf, sedang di gunung temas menumpang diatas batuan beku. Pada bagian selatan
di gunung temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping. Batuan bekunya
sudah sangat lapuk dan menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan telah terisi oleh
oksida besi dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan beku tersebut tidak menerus
pada batugampin hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan batugamping, batuan
bekunya telahmengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri yang berupa oksida
besi. setelah terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya mengisi celah
akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit. Setelah batugamping terangkat dan
tererosi,sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini bersama batuan bekunya tersingkap dan
mengalami pelapukan membentuk tanah. urat kalsit yang ada mengalami pelarutan dan
pengendapan kembali seperti yang banyak dijumpaidi barat gunung Temas dan lereng timur
dan selatan gunung Pendul.

Ketika zona subduksi itu sangat aktif maka material-material yang masuk kedalam bumi
makin lama semakin maju menuju kerak benua. Bisa saja sudut penunjamannya semakin
melandai dan akhirnya lokasi jalur penunjaman berubah seolah bergerak kearah kanan.

Yang diatas itu merupakan penjelasan matinya gunung-gunung api aktif akibat pergeseran
zona subduksi atau zona penunjaman yang bergeser maju atau bergerak ke kanan. Namun
dapat juga sebuah penunjaman bergerak mundur atau kekiri seperti dibawah ini.

Untuk contoh kedua yang digambarkan oleh ilustrasi diatas salahsatunya menggambarkan
kemungkinan terjadinya atau dongengan mekanisme tidurnya Gunung Muria di sebelah utara
Pulau Jawa.
3.2.2 Struktur Geologi daerah Nglanggran
Nglanggeran merupakan daerah kawasan wisata. Daerah ini merupakan kawasan yang
batu-batuannya tersusun oleh material vulkanik tua. Orang geologi menyebutnya Formasi
Nglanggeran. Daerah ini memiliki morfologi yang unik dan juga dari sisi geologi sangat unik
serta memiliki cerita ilmiah.
Menurut kajian geologi daerah ini, Gunung Nglanggeran adalah Gunung Berapi
Purba. Usia gunung ini menjadi menarik bagi ilmuwan geologi karena ingin mengetahui
genesa (pembentukan) gunung api ini serta memperkirakan bagaimana kondisi tektonik pada
saat gunung Nglanggeran ini masih aktif. Kajian awal dahulu memperkirakan usia Gunung
Nglanggeran ini sekitar 50 JUTA tahun. Namun kajian terbaru menemukan gunung ini sudah
mati sejak 18 juta tahun yang lalu.
Menurut Awang Harun Satyana, seorang ahli geologi Indonesia, Formasi Nglanggran
dan formasi-formasi Kebo Butak serta Semilir merupakan produk volkanisme Oligo-Miosen
yang untuk pertama kalinya oleh Verbeek dan Fennema (1896, diteliti lagi oleh Bothe, 1929,
1934, dan dikompilasi van Bemmelen, 1949) disebutnya sebagai OAF (Oud Andesiet Formatie

Old Andesite Formation atau OAF. Ini adalah volkanisme submarin (van Bemmelen, 1949)
yang bersifat turbidit.
Dalam teori plate tectonics, OAF dan semua formasi ekivalensinya di Jawa Barat
(Jampang, Gabon) serta di Jawa Timur (Puger) (lihat evaluasi regional yang pernah
dipublikasikan di Proceedings PIT IAGI 2003:

Satyana dan Purwaningsih, 2003, Oligo-

Miocene Carbonates of Java: Tectonic Setting and Effects of Volcanism) merupakan jalur
volkanik berumur Oliogo-Miosen (Oligosen Akhir-Miosen Awal) yang sekarang menjadi
fisiografi Pegunungan Selatan di selatan Jawa. Jalur volkanik sejajar poros panjang Jawa ini
timbul karena partial melting yang dialami kerak samudera Hindia di kedalaman 100-200 km
di bawahnya dengan zona subduksinya di submarine ridge selatan Jawa sekarang. Berdasarkan
umur mutlak menggunakan K-Ar (Soeria-Atmadja, 1994) volkanisme ini berakhir pada 18 Ma
(Miosen Awal bagian bawah).
Setelah itu, pada 12 Ma (Miosen Tengah) mulai terjadi pelandaian kemiringan
penunjaman (zone Wadati-Benioff) sehingga zone partial melting ikut bergerak ke arah utara
dan menghasilkan volkanisme umur Miosen Tengah yang ternyata menerus sampai Kuarter
dan meninggalkan jalur volkanik Nglanggran serta pusat2 erupsi di sekitarnya. Perpindahan
jalur volkanik sekitar 50-100 km ke arah utara ini telah menonaktifkan semua gunungapi di
jalur selatan tak ada feeder magma hasil partial melting ke gunung api ini.
3.4 Sejarah Geologi

Sejarah Geologi Daerah Bayat (Jiwo Barat dan Jiwo Timur)


Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan

Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang terutama terdiri dari endapan flufio-vulkanik dari
Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter diatas muka
laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar
menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian barat (Jiwo Barat), jalur puncak-puncak bukit
berarah utara selatan, yang diwakili oleh puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran,
Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat, yaitu daerah
perbukitan Kampak. Di sebelah timur (Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barat-timur, dengan
puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili
oleh puncak Jokotuo dan Bawak.
Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan memanjang
dengan pegunungan yang tumpul sehingga kenampakan puncak tidak begitu nyata. Tebing-

tebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alur tidak banyak dijumpai. Sebagai
contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan Tugu-Kapak di Jiwo
Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi oleh campuran endapan
pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan dari Pegunungan Selatan.
Endapan lepas yang berumur kuater ini diduga menutup lembah sesar yang membatasi
Pegunungan Selatan dengan perbuukitan Jiwo. enis dan arah gerakan sesar ini belum diketahui
dengan pasti karena singkapannya saat ini belum ditemukan.
Stratigrafi
Batuan tertua yang tersingkap didaerah Perbukitan Jiwo adalah kompleks batuan metamorf
yang diduga berumur Pra Tersier. Kompleks Batuan ini merupakan basement dari cekungan
sedimen Paleogen, dan merupakan salah satu batuan yang tertua di Jawa, serupa yang dijumpai
di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah dan Ciletuh di Jawa Barat. Endapan
Paleogen yang dijumpai berupa batupasir dengan sisipan batugamping yang kaya akan
foraminifera besar. Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari
mikrodiorit. Penerobosan ini diduga terjadi pada Paleogen akhir.
Secara tidak selaras di atas batuan beku dan batuan sedimen Paleogen tersebut terdapat
batuan karbonat berumur Neogen yang dijumpai dlam bentuk 2 fasies yang berbeda, yaitu
fasies laut dan fasies laut dangkal.
Erosi yang terjadi pada Neogen atas berakibat bahwa batuan Kuarter menumpang secara
tidak selaras pada batuan dibawahnya. Batuan yang terbentuk pada jaman Kuarter berturutturut adalah breksi vulkanik, endapan koluvial, endapan fluvio vulkanik dan endapan aluvial.

Pra Tersier
Batuan yang tertua di perbukitan Jiwo berupa kompleks batuan metamorf, terutama berupa
filit, sekis dan marmer. Filit dan sekisnya menunjukkan foliasi yang secara umum mempunyai
jurus barat-daya timur laut. Kedudukan filit terhadap sekis sangat sukar ditentukan karena
kebanyakan singkapan sudah lapuk dan di banyak tempat terpotong oleh sesar yang sangat
kompleks. Disamping itu dijumpai pula kuarsit yang mempunyai kedudukan baik memotong
maupun sejajar atau mengisi celah diantara bidang foliasi. Erosi dari kuarsit ini menghasilkan

butiran kuarsa susu, berukuran kerikil sampai berangkal dan merupakan penciri khas daerah
batuan metamorf.
Batuan metamorf ini tersebar membentuk perbukitan dengan relief yang kuat dan terbiku
sedang sampai kuat, dengan puncak-puncak yang meruncing, beberapa diantaranya
membentuk kerucut. Di daerah Jiwo Barat penyebaran batuan ini meliputi perbukitan Jabalkat
di selatan hingga Sari di utara. Di lereng baratdaya Jabalkat, didaerah Pagerjurang, dijumpai
Serpentinit diantara filit dan sekis, yang menunjukkan mineralisasi garnet. Di dekat puncak
Cakaran, Kebo, dan Pegat batuan metamorf ini diterobos oleh tubuh diorit, mikrodiorit dan
gabro. Intrusi gabro juga dijumpai lereng selatan dari Gunug Jabalkat. Sedangkan pada aliran
sungai Kebo diantara puncak Gunung Kebo dengan Gunung Cakaran dan Gunung Merak,
dijumpai batuan terobosan yang berupa diorit dan basalt. Pertanggalan absolut dari batuan beku
di tempat ini menunjukkan umur 36 jtl., yaitu Oligosen (Soeria Atmaja,1991). Di daerah Jiwo
Timur batuan metamorf dijumpai dari daerah Gunung Konang di ujung barat, membentuk
bukit yang memanjang kearah timur. Perbukitannya menunjukkan relief yang lebih nyata,
dengan tebing-tebing terbiku kuat. Kuatnya penorehan tebing tersebut berakibat bahwa di kaki
perbukitan ini banyak teronggok endapan hasil erosi yang dikenal sebagai endapan colluvial.
Puncak-puncak perbukitan yang tersusun oleh batuan metamorf ini kelihatan lebih menonjol
dan beberapa diantaranya cenderung berbentuk kerucut, misalnya puncak Jabalkat dan puncak
Semangu. Daerah dengan relief kuat ini dijumpai di Jiwo Barat antara daerah puncak Jabalkat
ke utara hingga daerah puncak Sari, sedang di Jiwo Timur mulai dari daerah puncak Konang ke
arah timur hingga puncak Semangu dan Jokotuo. Daerah sekitar puncak Pendul adalah satusatunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun oleh batuan beku. Kondsi morfologinya cukup
kasar mirip perbukitan batuan metamorf, namun relief yang ditunjukkan puncak-puncaknya
tidak sekuat perbukitan metamorf.
Di utara dan di tenggara Perbukitan Jiwo Timur terdapat bukit yang terisolir yang mencuat
dari dataran aluvial yang ada di sekitarnya. Inlier atau isolated hills ini adalah bukit Jeto di
utara dan bukit Lanang di Tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batugamping
Neogen, yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang
secara keseluruhan tersusun oleh batugamping Neogen tersebut. Di daerah Jiwo Barat juga
dijumpai inlier, masing-masing bukit wungkal (So) dan bukit Salam. Bukit Wungkal semakin
lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk mengambil batu asah (batu wungkal)
yang terdapat di bukit tersebut.

Daerah Jiwo Barat dan Jiwo Timur dipisahkan oleh aliran sungai Dengkeng, yang
memotong deretan perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng sendiri mempunyai aliran
yang memutari kompleks Jiwo Barat, bermula mengalir ke arah selatan tenggara, berbelok
kearah timur kemudian ke utara, memotong perbuktian untuk kemudian mengalir kearah timur
laut. Sungai Dengkeng ini merupakan pengering utama dari dataran rendah di sekitar
Perbukitan Jiwo. Dataran rendah ini semula merupakan rawa yang luas, akibat air yang
mengalir dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan. Genangan air ini di daerah
utara, yang lebih dekat ke arah Gunung Merapi mengendapkan pasir yang berasal dari lahar,
sedangkan di bagian selatan atau pada lekukan antar bukit di Perbukitan Jiwo mengendapkan
endapan air tenang yang berupa lempung hitam, suatu ciri khas suasana rawa. Pada
pertengahan kedua abad ke 19, daerah rawa yang mengandung sedimen Merapi yang subur ini
dikeringkan (direklamasi) oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan daerah
perkebunan, terutama untuk tanaman tembakau dan tebu. Reklamasi ini dilakukan dengan jalan
membuat saluran-saluran sungai yang ditanggung cukup tinggi, sehingga air yang datang dari
arah gunung Merapi tetap tertampung di sungai, sedang daerah rendahnya yang semula berupa
rawa berubah menjadi tanah kering yang digunakan untuk perkebunan. Sebagian dari rawa
yang semula lebar disisakan di daerah yang dikelilingi oleh puncak Sari, Tugu dan Kampak di
Jiwo Barat, dan dikenal dengan nama Rowo Jombor. Rawa yang disisakan ini berfungsi
sebagai tandon (reservoir) untuk keperluan irigasi daerah perkebunan di dataran di utara
Perbkitan Jiwo Timur. Untuk menyalurkan air rawa tersebut, dibuat saluran buatan dari sudut
tenggara rawa, menembus perbukitan batuan metamorf di Gunung Pegat mengalir ke timur
melewati desa Sedan dan memotong sungai Dengkeng lewat aquaduct di selatan desa Jotangan
terus ke arah timur laut melewati jalur yang hampir sejajar dengan kaki utara dari Perbukitan
Jiwo Timur.
Di selatan Perbukitan Jiwo, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur,
sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan yang berada di selatannya. Dataran Bukit ini terpotong
oleh sesar dan singkapan batuan metamorf tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, G.
Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo, dijumpai marmer yang merupakan
kantong diantara filit.
Umur batuan metamorf secara tepat belum dapat diketahui. Bothe (1929) menyatakan
bahwa di daerah Santren di kawasan Jiwo Timur dijumpai konglomerat yang mengandung
fragmen marmer, dan di dalam marmer tersebut dijumpai fragmen foraminifera besar yang

berupa Orbitolina. Atas dasar data ini maka ia menyatakan bahwa batuan metamorf tersebut
berasal dari batugamping yang terbentuk pada jaman Kapur. Namun karena data ini merupakan
satu-satunya data yang tidak disertai dengan ilustrasi yang meyakinkan, maka kesimpulan asal
jaman kapur tersebut belum dapat dipegang. Untuk amannya, karena batuan metamorf tersebut
terletak tidak selaras di bawah batuan Tersier, maka secara umum dikatakan bahwa batuan
metamorf tersebut berasal dari jaman Pra Tersier.
Paleogen
Secara tidak selaras di atas batuan metamorf terdapat seri batuan klastika dan karbonat
yang kaya akan kandungan fosil foraminifera besar. Bothe (1929) menyebut batuan ini sebagai
Wungkal Beds untuk bagian bawah dan Gamping Beds di bagian atas. Perbedaan diantara dua
beds tersebut bukan atas dasar perbedaan Litologinya, melainkan lebih didasarkan pada
perbedaan kandungan fosilnya, sehingga nama wungkal dan Gamping pada dasarnya adalah
nama untuk satuan biostratigrafi.
Walaupun batuan neogen ini tersingkap di beberapa tempat, namun posisi stratigrafi satu
terhadap yang lain sangat sukar untuk ditetapkan. Singkapan utama dari batuan ini adalah di
Watuprahu-Padasan, lereng selatan Gunung Pendul, di dekat desa Gamping Gede dan di daerah
Dowo, keempat-empatnya terletak di kawasan Jiwo Timur. Di Jiwo Barat batuan Paleogen
tersingkap di lereng timur Gunung Jabalkat, lereng barat Gunung Cakaran dan di dua
perbuktian yang berupa inlier diantara endapan fluvio-vulkanik Merapi yaitu di Gunung
Wungkal (G.So) dan di Salam. Rekonstruksi sementara dari hasil korelasi singkapan-singkapan
yang etrpencar tersebut menunjukkan bahwa lapisan terbawah berupa konglomerat kuarsa yang
tersingkap di sekitar puncak Cakaran. Semakin ke atas, konglomerat ini berangsur berubah
menjadi batupasir kuarsa. Di atas batupasir kuarsa ini terdapat batugamping yang kaya akan
kandungan Numulites javanus, N. bagelensis, Assilina spira, seperti yang tersingkap di Gunung
Wungkal dan Gunung Salam, menunjukkan umur Tb atau Eosen atas (Bothe,1929 ;
Kurniawan, 1977). Singkapan serupa juga dijumpai pada singkapan di Dowo, lereng baratdaya
dari Gunung Pendul. Semakin ke atas disamping fosil foraminivera juga dijumpai fosil coraline
algae dan echinoid, seperti yang dijumpai pada singkapan di Padasan. Algae tersebut biasanya
membentuk struktur lapisan yang konsentris seperti bola (oncoid) dengan inti foraminifera
besar, menunjukkan hasil pengendapan laut dangkal. Ke arah atas, batugamping ini berubah
menjadi batupasir yang bersifat gampingan dan mengandung fosil foraminifera plangton yang
berjumlah sedikit dengan pengawetan yang buruk. Seluruh rangkaian batuan ini mulai

konglomerat, batupasir kuarsa, batugamping berfosil hingga batupasir gampingan oleh Bothe
disebut sebagai Wungkal Beds. Nama ini diberikan karena singkapannya yang khas dijumpai di
daerah Gunung Wungkal.
Di dekat desa Gamping Gede dijumpai singkapan batugamping lempungan dan napal,
yang hanya sedikit mengandung Numulites javanus tetapi melimpah dengan kandungan
Discocyclina dispansa, D. omphalus serta Orthophragmina sp. dan foraminifera plankton. Oleh
Bothe batuan ini dianggap lebih muda dari Wungkal Beds dan disebut dengan Gamping Beds.
Namun penetapan urutan stratigrafi ini sangat meragukan, karena kedudukan Gamping beds ini
terhadap anggota dari Wungkal beds tidak diketahui secara pasti, letaknya berjauhan dan
terpisah oleh sesar. Dari fosil foraminifera yang dijumpai masih menunjukkan umur yang
sama, yaitu Tb atau Eosen Atas, sehingga diduga bahwa hubungan antara Wungkal beds dan
Gamping beds bukan hubungan vertikal dengan umur yang berbeda dari dua formasi batuan
yang berbeda (lihat Sumarso & Ismoyowati, 1973), tetapi lebih bersifat hubungan lateral
dengan fasies yang berbeda. Numulites yang terbentuk lentikuler-eliptik bersama dengan
oncoid alga mencirikan kondisi laut yang dangkal, jernih dan tertampi dengan baik, sedangkan
Discocyclina dan Orthopragmina yang berbentuk pipih tipis dan agak melebar dan terdapat
batugamping lempungan mencirikan zone laut dangkalyang lebih keruh tetapi lebih tenang
(Hallock & Glenn, 1928). Dengan demikian untuk batuan Paleogen di Perbukitan Jiwo ini
lebih tepat disebut sebagai fasies wungkal dan fasies gamping . Namun untuk kepentingan
tatanama stratigrafi, sebelum urutan stratigrafi yang pasti dapat diperoleh, diusulkan agar
kedua fasies tersebut dianggap sebagai satu formasi, dan untuk sementara disebut dengan
Formasi Wungkal-Gamping, berumur Eosen Atas.
Batuan metamorf Pra Tersier dan batuan Paleogen keduanya diterobos oleh tubuh batuan
beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit. Karena singkapan utama batuan beku ini terdapat
di Gunung Pendul, maka untuk selanjutnya secara umum akan disebut sebagai Mikrodiorit
Pendul atau Formasi Pendul. Selain berupa mikrodiorit, batuan beku ini menunjukkan variasi
berupa diorit, dasit dan monzonit tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Didaerah Jiwo Barat
yaitu di aliran S. Kebo dijumpai variasi yang berupa basalt sedang di selatan Gunung Jabalkat
dijumpai dalam bentuk Gabbro. Batuan beku ini telah mengalami retakan dan pelapukan.
Retakan kebanyakan telah mengalami pengisian yang berupa kalsit. Akibat retakan tersebut
maka terjadi pelapukan mengulit bawang (sphaeroidal weathering) yang banyak dijumpai di
lereng selatan dan timur Gunung Pendul.

Di lereng utara dan timur laut Gunung Pendul dijumpai bongkah batupasir dari formasi
Wungkal-Gamping yang berada di dalam batuan beku sebagai xenolith. Sedangkan di kaki
timur Gunung Pendul dijumpai efek bakar (baking effect) pada daerah kontak antara batuan
beku ini dengan batupasir tersebut. Sedangkan di lereng Gunung Cakaran dijumpai
batugamping Numulites telah mengalami rekristalisasi menjadi marmer pada daerah kontak
antara singkapan batugamping ini dengan batuan beku. Di daerah Gunung Pegat di selatan
Gunung Sari di Jiwo Barat dijumpai singkapan diorit memotong batuan metamorf pada arah
yang hampir tegak lurus bidang foliasi. Atas dasar semua data tersebut diambil kesimpulan
bahwa batuan beku yang termasuk dalam Formasi Pendul tersebut bersifat menerobos batuan
yang lebih tua.
Neogen:
Di bagian utara dari Jiwo Barat yaitu di Gunung Tugu, Gunung Kampak dan daerah
Ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari Jiwo Timur, masing-masing di Gunung
Jeto, Gunung Bawak, Gunung Temas dan di Gunung Lanang, tersingkap batugamping yang
menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua. Di bagian tenggara Gunung
Kampak dan di Gunung Jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf, sedang di
Temas menumpang di atas batuan beku.
Batugamping ini terdiri dari dua fasies yang berbeda. Fasies yang pertama terdiri dari
batugamping algae, kenampakan perlapisan tidak begitu jelas. Algae membentuk struktur
onkoid dalam bentuk bola-bola berukuran 2 hingga 5 cm. Fasies seperti ini dijumpai di Gunung
Kampak, bagian selatan Gunung Tugu, Gunung Jeto, Gunung Bawak dan di bagian barat
Gunung Temas. Fasies yang kedua berupa batugamping berlapis, yang merupakan perselingan
antara kalkarenit dengan kalsilutit. Fasies batugamping berlapis ini dijumpai di Ngembel, utara
Gunung Tugu, bagian timur Gunung Temas dan di Gunung Lanang. Di beberapa tempat
kalsilutitnya menebal kearah lateral dan berubah menjadi napal, seperti yang terdapat di utara
Gunung Tugu. Fasies ini tidak menunjukkan struktur alga dan kaya akan kandungan
foraminifera plangon, kemungkinan diendapkan di dangkalan karbonat yang lebih dalam
ditandai dengan adanya struktur nendatan (slump structures) seperti yang terlihat di bagian
timur Temas dan di Gunung Lanang.
Di selatan Gunung Temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping.
Batuan bekunya sudah sangat lapuk, menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan telah

terisi oleh oksida besi (limonit) dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan beku
tersebut tidak menerus pada batugamping. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan
batugamping, batuan bekunya telah mengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri
yang berupa limonit. Setelah terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya
mengisi celah akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit. Belakangan setelah batugamping
terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini bersama batuan bekunya
tersingkap dan mengalami pelapukan, membentuk tanah. Urat kalsit yang ada mengalami
pelarutan dan pengendapan kembalidalam bentuk caliche, seperti yang banyak dijumpai di
barat Gunung Temas dan lereng timur dan selatan Gunung Pendul.
Berdasarkan kandungan fosilnya, batugamping neogen di Perbukitan Jiwo ini
menunjukkan umur N12 atau Miosen Tengah (Sumarno & Ismoyowati, 1973, Resiwati, 1985).
Berdasarkan atas umur ini maka batugamping tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi
Wonosari untuk fasies batugamping algae , sedangkan fasies batugamping berlapis adalah
sepadan dengan formasi Oya.
Kuarter :
Setelah pengendapan batugamping, di Perbukitan Jiwo tidak diketemukan lagi batuan lain
yang berumur Tersier. Jaman Kuarter terwakili oleh breksi lahar, endapan pasir fluvio-vulkanik
Merapi serta endapan lempung hitam dari lingkungan rawa.
Breksi lahar dijumpai pada bagian utara dari perbukitan Ngembel, berupa breksi dengan
fragmen andesit yang berukuran aneka ragam, mulai dari kerikil hingga bongkah. Fragmen
tersebut tersebar umumnya mengapung pada matriks yang berukuran lanau sampai pasir halus,
bersifat tufan. Gejala perlapisan dan fosil tida ditemukan pada breksi ini. Breksi ini diduga
berasal dari aktifitas aliran lahar dari Gunung Merapi dari arah barat laut, yang berhenti karena
membentur bukit batugamping Ngembel, dan terjadi pada kala Pleistosen.

Sejarah Geologi Daerah Nglanggran


Menurut kajian geologi daerah ini, Gunung Nglanggeran adalah Gunung Berapi

Purba.Usia gunung ini menjadi menarik bagi ilmuwan geologi karena ingin mengetahui genesa
(pembentukan) gunung api ini serta memperkirakan bagaimana kondisi tektonik pada saat
gunung Nglanggeran ini masih aktif. Kajian awal dahulu memperkirakan usia Gunung

Nglanggeran ini sekitar 50 JUTA tahun. Namun kajian terbaru menemukan gunung ini sudah
mati sejak 18 juta tahun yang lalu.
Menurut Awang Harun Satyana, seorang ahli geologi Indonesia, Formasi Nglanggran dan
formasi-formasi Kebo Butak serta Semilir merupakan produk volkanisme Oligo-Miosen yang
untuk pertama kalinya oleh Verbeek dan Fennema (1896, diteliti lagi oleh Bothe, 1929, 1934,
dan dikompilasi van Bemmelen, 1949) disebutnya sebagai OAF (Oud Andesiet Formatie - Old
Andesite Formation atau OAF. Ini adalah volkanisme submarin (van Bemmelen, 1949) yang
bersifat turbidit.
Dalam teori plate tectonics, OAF dan semua formasi ekivalensinya di Jawa Barat
(Jampang, Gabon) serta di Jawa Timur (Puger) (lihat evaluasi regional yang pernah
dipublikasikan di Proceedings PIT IAGI 2003:

Satyana dan Purwaningsih, 2003, Oligo-

Miocene Carbonates of Java: Tectonic Setting and Effects of Volcanism) merupakan jalur
vulkanik berumur Oliogo-Miosen (Oligosen Akhir-Miosen Awal) yang sekarang menjadi
fisiografi Pegunungan Selatan di selatan Jawa. Jalur volkanik sejajar poros panjang Jawa ini
timbul karena partial melting yang dialami kerak samudera Hindia di kedalaman 100-200 km
di bawahnya dengan zona subduksinya di submarine ridge selatan Jawa sekarang. Berdasarkan
umur mutlak menggunakan K-Ar (Soeria-Atmadja, 1994) volkanisme ini berakhir pada 18 Ma
(Miosen Awal bagian bawah).
Setelah itu, pada 12 Ma (Miosen Tengah) mulai terjadi pelandaian kemiringan penunjaman
(zone Wadati-Benioff) sehingga zone partial melting ikut bergerak ke arah utara dan
menghasilkan volkanisme umur Miosen Tengah yang ternyata menerus sampai Kuarter dan
meninggalkan jalur volkanik Nglanggran serta pusat2 erupsi di sekitarnya. Perpindahan jalur
volkanik sekitar 50-100 km ke arah utara ini telah menonaktifkan semua gunungapi di jalur
selatan tak ada feeder magma hasil partial melting ke gunung api ini.

BAB IV
POTENSI SESUMBER DAN BENCANA GEOLOGI
4.1 Potensi Sesumber Geologi
Adapun Potensi dari sumber Geologi yang ada pada wilayah Perbukitan jiwo , Geowisata
lava bantal patuk dan Gunung api purba Nglanggran gunung kidul Yogyakarta diantara nya
yaitu :

Pasir kuarsa yang ada pada wilayah ini dapat digunakan untuk bahan bangunan

Kerikil yang ada pada wilayahini biasa digunakan para warga untuk bahan bangunan.

4.2 Bencana Geologi

Anda mungkin juga menyukai