Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

The Right to Life, Liberty and Security of Person


(Hak Atas Kehidupan, Kebebasan dan Keselamatan Sebagai Individu)

Disusun oleh
Nama
Nugraha

: Mahendra Widya

NIM

: 1300023197

Semester/Kls

: V/C

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2015

Pasal 3 Deklarasi HAM PBB 1948


The Right to Life, Liberty and Security of Person
(Hak Atas Kehidupan, Kebebasan dan Keselamatan Sebagai Individu)
Righ to Life pada UUD 1945
Hak Asasi Manusia di Indonesia telah dituang dalam beberapa pasal dalam Undang Undang
Dasar 1945. Salah satunya adalah pasal 28. Pada pasal yang dibagi dari 28 A sampai 28 J ini
beberapa diantaranya mengatur tentang hak atas kehidupan seperti yang tertulis pada pasal 3
Deklarasi HAM PBB 1948. Berikut sebagian isi dari pasal 28 UUD 1945:

Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Pasal 28 B
2. Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 28 G
1. Setiap orang berhak atas perlindung diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasinya.
Untuk poin ini, Negara Republik Indonesia, tidak mengalami perbedaan prinsip dalam
menjamin keberlangsungan hidup, kebebasan serta keselamatan warga negaranya. Lalu,
bagaimanakah dengan Islam?
Right to Life dalam Islam
Di dalam Islam sendiri, pada hakikatnya sudah memiliki hukum sendiri. Jika pada
konteks HAM, manusia sebagai sentral. Segala yang dilakukan manusia selama tidak merugikan
orang lain akan tetap dihormati. Tetapi pada hokum Islam sendiri, yang menjadi sentral disini
adalah Allah SWT. Hukum Islam memiliki prinsip konsep tauhid Laa Ilaaha Illallah atau tiada
Tuhan selain Allah. Konsep tauhid ini memiliki makna bahwa setiap sesuatu di dunia ini adalah
ciptaan Allah. Jadi setiap sesuatunya harus tunduk kepada sang pencipta. Tetapi kemudian, dalam
hukum Islam terdapat sesuatu yang disebut dengan hak dan kewajiban. Masih bersambung

dengan hukum tauhid tadi, bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia dan memberikan
hak-haknya, tetapi manusia harus menunaikan kewajibannya kepada Allah.
Hukum islam sendiri bersumber daripada Al qur;an, Al hadits, dan pemikiran-pemikiran atau
ijtihad para ulama. Dalam kasus HAM pasal 3 ini, Islam memiliki pandangan tersendiri. Islam
pada dasarnya sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Bahkan pada surat Al Maidah ayat 32,
Allah berfirman sesungguhnya barang siapa yang membunuh satu jiwa maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia semuanya. Yang mana berarti, Islam sangat memuliakan
kehidupan dan jiwa manusia. Islam juga melarang mengambil hidup seseorang baik muslim
maupun non muslim jika tidak memiliki sebab yang diperkenankan untuk melakukannya, seperti
yang terdapat pada surat Al Israa ayat 33, Allah berfirman Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Hukuman Mati dan Hak Atas Kehidupan
Dalam 2 konteks pembahasan HAM pada tulisan ini, yaitu pada Negara Republik
Indonesia dan Hukum Islam, terdapat permasalahan yang sama, yaitu hukuman mati. Di
Indonesia sendiri, pada era Presiden Jokowi, hukuman mati mulai diterapkan lagi pada terpidana
kasus narkotika. Kemudian pada Hukum Islam, pembunuhan diperbolehkan dengan sebab
tertentu, seperti diantaranya adalah orang-orang murtad, yaitu orang-orang Islam yang berpindah
agama dari Islam ke agama lainnya, sesuai dengan hadis Rasulullah saw: Man baddala diynuhu
faqtuluwhu (barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia). Ketentuan ini dilakukan
setelah orang murtad itu diajak kembali ke agama Islam selama batas waktu tiga hari, kalau
selama itu dia tidak juga sadar baru dihadapkan ke pengadilan.
Kemudian halal darah yang lain juga adalah pembunuh, bagi dia berlaku hukum qishash
yakni diberlakukan hukuman balik oleh yang berhak atau negara melalui petugasnya. Penzina
muhshan (yang sudah kawin) adalah satu pihak yang halal darah juga dalam Islam melalui
eksekusi rajam, mengingat jelek dan bahayanya perbuatan dia yang sudah kawin tetapi masih

berzina juga. Semua pihak yang halal darah tersebut harus dieksekusi mengikut prosedur yang
telah ada dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang tidak punya otaritas baginya.
Selain dari tiga pihak tersebut dengan ketentuan dan prosedurnya masing-masing tidak boleh
dibunuh, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al Anam ayat 151 ...wala taqtulun
nafsal latiy harramallahu illa bilhaq... (...jangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah
kecuali dengan kebenaran...).
Dari permasalahan diatas, ada beberapa pendapat ahli yang bisa dijadikan rujukan. Dalam
konteks Negara, ada Pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Dr. Maria Farida, berpendapat bahwa penerapan hukuman mati sama sekali tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam
UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan hukuman mati. "Kalau dia sudah membunuh
seseorang, dia sudah mengedarkan narkotika, dan itu berakibat yang lebih banyak kepada orang
lain, apakah dia layak di dalam negara yang sesuai dengan Pancasila? Jadi, batasan itu tetap,
walaupun di sini hak untuk tidak disiksa dan sebagainya. Tapi, hak ini bisa dibatasi kalau itu
(diatur) dalam undang-undang," ungkap Maria saat diwawancarai hukumonline.com.
Maria juga menilai bahwa sebagian kalangan yang menyatakan menolak hukuman mati
telah mengutip dan menafsirkan Pasal 28I UUD 1945 secara terpenggal-penggal. Dalam
mengutip Pasal 28I UUD 1945, kelompok tersebut hanya berkutat pada ayat (1). Padahal, ayat
tersebut masih terkait erat dengan ayat selanjutnya yakni ayat (5). Hal demikian dikenal sebagai
penafsiran sistematis terhadap UU. "Misalnya Pasal 28I ayat (1), hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, bergama, hak untuk tidak diperbudak, hakhak ini tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Tapi, kemudian di sini dalam Pasal 28I ayat
(5) untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan," urainya.
Selain itu, ia tidak melihat adanya pertentangan antara Pasal 28I dan Pasal 28J UUD
1945. "Pasal 28J menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di sinikan berarti haknya itu
bukan haknya orang yang dihukum mati saja, tapi haknya orang lain yang juga takut hal itu akan
terjadi kembali," tegas Maria.

Lebih jauh, Maria kembali mengingatkan bahwa penjatuhan hukuman mati atas diri
seseorang terjadi karena dalam menjalankan hak asasinya orang yang bersangkutan telah
melanggar hak asasi orang lain di lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman mati
bertujuan untuk melindungi masyarakat yang takut tidak pidana tertentu terulang kembali baik
oleh pelaku yang sama maupun orang lain.
Kita tentu sering mendengar di masyarakat bahwa para pelaku pembunuhan ataupun
pengedar narkotika yang telah menjalani hukuman atau para residivis seringkali mengulangi
perbuatannya begitu kembali ke masyarakat. Tentu saja, tanpa menafikan sebagian residivis yang
kemudian berprilaku baik selepas dari penjara.
Menurutnya, masalah sangat penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan
hukuman mati adalah memberikan kepastian kepada para terpidana mati mengenai pelaksanaan
eksekusi. Di mata Maria, seharusnya para terpidana mati tidak dibiarkan terlalu lama menunggu
turunnya keputusan Presiden tentang diterima atau ditolaknya permohonan grasi yang mereka
ajukan. "Jadi, itu mestinya cepat. Begitu ada putusan, maka grasinya itu segera ditetapkan ditolak
atau diterima. Eksekusinya cepat. Kalau tidak di situ menimbulkan keraguan seseorang dan juga
menimbulkan suatu perasaan yang tidak enak bagi terpidana sendiri," ucap Maria. Ia
membandingkan dengan proses untuk hal serupa di Jerman yang hanya memakan waktu paling
lama enam tahun.
Tanggapan lain disampaikan oleh mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris
Jenderal (Purn) Gories Mere "Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan cara yang ekstra keras
dan tegas juga agar peredarannya bisa ditekan, salah satunya dengan memberikan hukuman
mati," Menurut Gories, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
ataupun hukum internasional lainnya. Apalagi, hukuman mati memiliki sejumlah tujuan, antara
lain menjaga konsistensi dan tidak diskriminatif, mencegah main hakim sendiri, mencegah
jatuhnya korban, dan mencegah timbulnya kejahatan lain akibat narkoba.
Filosofi hukuman mati bertujuan agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama,
bukan upaya untuk balas dendam karena berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, pemberian hukuman mati
adalah untuk memberikan efek jera bagi para pengedar narkotika. "Masih ada hukuman mati saja

peredaran narkoba masih merajalela, apalagi jika tidak diterapkan. Hukuman mati untuk
menyelamatkan peradaban modern," kata Mahfud.
Namun demikian, menurut Mahfud, kelak hukuman mati ini diharapkan tidak lagi
menjadi hukuman pokok, tetapi hukuman khusus. Sementara cendekiawan Franz Magnis-Suseno
menyebutkan, hukum Indonesia belum berjalan dengan benar karena tidak menjamin keadilan
dan kewajaran pada masyarakatnya. Sistem hukum di Indonesia masih dipengaruhi perilaku
korup, kekuatan uang masih bisa memengaruhi peradilan. "Oleh sebab itu, diperlukan adanya
moratorium hukuman mati, sambil memperbaiki sistem hukum Indonesia," katanya.
Pendapat-pendapat di atas mengemukakan, bahwa hukuman mati pada kasus ini bukanlah
sesuatu yang melanggar HAM, dikarenakan, pencabutan hak hidup disini adalah dengan tujuan
untuk melindungi hak hidup orang lain, begitu kira-kira bahasa sederhananya.
Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, ada juga yang menolak pemberian hukuman
mati di Indonesia, seperti pendapat dari Roeslan Saleh. Roeslan tidak setuju adanya pidana mati
di Indonesia karena beberapa alasan, pertama, putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau
ada kekeliruan, kedua, mendasarkan landasan falsafah Negara pancasila, maka pidana mati itu
bertentangan dengan perikemanusiaan. Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy, juga mempunyai
pendapat yang sama, beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.
Kemudian menurut Arief Sidharta, juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia,
beliau mendasarkan pendapatnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa, hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian dalam konteks Hukum Islam, pemberian hukuman mati disini adalah bagi
orang yang sebelumnya sudah mengetahui hukum yang berlaku dalam Islam, dan bagi umat
Islam itu sendiri. Karena di dalam islam segala syariatnya telah diatur dalam Kalam Allah dan
Nabinya, yang mana sebenarnya bertujuan untuk kemaslahatan umat. Tetapi dalam Islam ini, ada
pengecualian dalam Hukuman Mati. Seperti dalam hal Murtad, pelaku diampuni dari hukuman

mati jika kembali memeluk Islam, kemudian dalam Hukum Qishash, pelaku akan diampuni jika
keluarga korban telah mengampuni si pelaku, kemudian bagi para pelaku zina, jika dia mengaku
telah berzina, hukumannya akan diganti dengan surga.
Adanya qishash dengan hukuman mati adalah untuk menegakkan keadilan di tengahtengah masyarakat. Hukuman mati ini juga banyak diberlakukan oleh umat dan masyarakat lain.
Dengan adanya qishash juga menghindari kemarahan dan dendam keluarga orang yang terbunuh,
karena apabila tidak dilakukan qishash niscaya dendam tersebut akan berkelanjutan dan pada
gilirannya akan terjadi saling bunuh antar keluarga.
Sekalipun dalam Islam mengakui qishash tetapi tidak sekaku yang dibayangkan. Islam
justeru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan
masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam Islam pada prinsipnya adalah demi kemaslahatan
manusia dan juga penghormatan bagi hak asasi manusia (HAM). Kewajiban-kewajiban dalam
syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syariah yang bertujuan melindungi maslahat
manusia
Standar keadilan dalam penerapan hukuman mutlak adalah menyesuaikan kehendak
masyarakat dan sekaligus mempertimbangkan bentuk, kualitas dan kuantitas kejahatan yang
dilakukan. Sedangkan pada hukum dalam arti bahwa dirinya merupakan suatu yang formal,
maka dalam hal ini lebih dititik beratkan pada fungsi ditetapkannya hukuman, artinya bahwa
penerapan hukuman mutlak diupayakan sebagai upaya mewujudkan keadilan.
Konsep pemidanaan dalam Islam menjunjung tinggi HAM. Terjadinya benturan
pemahaman tentang HAM sebagai akibat perbedaan pandangan. Seperti di awa penjelasan tadi,
Islam melihat HAM dari dua sisi, berupa kewajiban dan hak. Setelah kewajiban pada Allah
dipenuhi, barulah manusia mendapat hak kebebasannya.

Daftar Pustaka

Dr. Moh. Sulton, Ma, 2012 Perdebatan Sanksi Hukum Pidana Islam Dalam
Perspektif HAM.
E-Journal Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Nurul Jadid,
Probolinggo

Shohib,M.Ag, 2014, Hak Asasi Manusia Dalam Persfektif Alqur'an Alhadits dan Ijtihad Ulama,
E-Journal Balai Diklat Keagamaan Kementrian Agama Bandung, Bandung

http://aceh.tribunnews.com/2013/05/03/pembunuhan-dalam-perspektifislam?

http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia

http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Hukuman-Mati-Tidak-MelanggarHak-Asasi-Manusia

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7484/hukuman-mati-senafasdengan-semangat-perlindungan-ham

Anda mungkin juga menyukai