Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KONSEP-KONSEP SUMBER DAYA MANUSIA

A. Tenaga Kerja dan Bukan Tenaga Kerja


Di Indonesia pengertian tenaga kerja atau manpower mencakup penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang sedang melakukan
kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga ( Simanjuntak, 1985: 2).
Secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan oleh
batas usia, dan tiap-tiap negara memberikan batas usia tenaga kerja yang berbeda-beda
pula. Makin maju suatu negara maka batas minimum usia tenaga kerja semakin tinggi.
Sebagai contoh misalnya di Jepang batas usia minimum tenaga kerja adalah 21 tahun
tanpa batas maksimum (Barthos, 1990:16).
Sedangkan di Amerika Serikat batas usia minimum tenaga kerja adalah 16 tahun
tanpa ada batas usia maksimum. Jadi di Amerika Serikat penduduk yang usianya kurang
dari 16 tahun tergolong bukan tenaga kerja.Di India menggunakan batas usia minimum
tenaga kerja antara 14 tahun sampai dengan 60 tahun. Dengan demikian penduduk yang
usianya kurang dari 14 tahun atau lebih dari 60 tahun digolongkan sebagai bukan tenaga
kerja ( Simanjuntak, 1985: 2).
Di Indonesia batas minimum usia tenaga kerja 10 tahun tanpa batas maksimum.
Jadi yang tergolong tenaga kerja adalah seluruh penduduk yang berusia 10 tahun keatas.
Sedangkan penduduk yang berusia kurang dari 10 tahun tergolong sebagai bukan tenaga
kerja. Menurut Simanjuntak (1985:2-3) pemilihan batas minimum usia tenaga kerja
Indonesia adalah berdasarkan kenyataan bahwa dalam usia tersebut sudah banyak
penduduk terutama di desa-desa, yang sudah bekerja atau mencari pekerjaan.
Namun demikian dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah wajib belajar
sembilan tahun (Wajar Sembilan Tahun) bagi seluruh anak-anak Sekolah Dasar di
Indonesia, maka anak-anak sampai pada usia 13 tahun akan berada di sekolah. Dengan
demikian jumlah anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi akan berkurang,
sehingga batas minimum tenaga kerja menjadi 14 tahun dan tidak ada batas maksimum
usia tenaga kerja.
Demikian juga di Indonesia tidak menganut batas maksimum usia tenaga kerja
dengan alasan bahwa Indonesia belum mempunyai jaminan sosial nasional. Hanya

sebagian kecil saja penduduk Indonesia yang menerima tunjangan dihari tua yaitu
pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai swasta. Sekalipun demikian, golongan ini
masih tetap bekerja atau aktif dalam kegiatan ekonomi, sehingga mereka masih
digolongkan sebagai tenaga kerja.
B. Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja
Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Sedangkan
angkatan kerja terdiri dari (1) golongan yang bekerja dan (2) golongan yang
menganggur dan mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1)
golongan yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan (3)
golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Golongan lain-lain ada dua macam yaitu :
(a) penerima pendapatan, yaitu mereka yang tidak melalkukan suatu kegiatan ekonomi
tetapi memperoleh pendapatan seperti tunjangan pension, bunga atas simpanan atau
sewa atas milik, dan (b) mereka yang hidupnya tergantung dari orang lain misalnya
karena lanjut usia, cacat, dalam penjara, atau sakit kronis ( Payaman J. Simanjuntak :
1985 : 3 ).
Golongan yang bersekolah dan golongan yang mengurus rumah tangga dapat
pula disebut sebagai golongan angkatan kerja potensial karena sewaktu-waktu dapat
terjun untuk ikut bekerja. Termasuk angkatan kerja potensial adalah mereka yang
sementara menarik diri dari pasar kerja karena tidak berhasil memperoleh pekerjaan (
discouraged workers). Misalnya setelah cukup lama tidak berhasil memperoleh
pekerjaan yang diharapkan, seseorang dapat mengurungkan niatnya mencari pekerjaan
yang dimaksud. Mereka sebenarnya masih ingin bekerja, tetapi tidak aktif mencari
pekerjaan.
Kemudian tergolong angkatan kerja potensial lainnya adalah angkatan kerja
sekunder yaitu bila kondisi pekerjaan cukup menarik, atau bila keluarga tidak mampu
membiayai sekolah maka tenaga kerja yang tergolong bersekolah akan meninggalkan
sekolah untuk sementara dan mencari pekerjaan. Sebaliknya tenaga kerja tersebut akan
kembali lagi kebangku sekolah bila kondisi pekerjaan sudah tidak menarik, atau bila
keluarga sudah mampu membiayai sekolah. Demikian pula tenaga kerja yang mengurus
rumah tangga akan masuk pasar kerja bila upah tinggi, atau bila penghasilan Keluarga
rendah disbanding dengan kebutuhannya. Mereka akan kembali mengurus rumah tangga
bila keadaan sebaliknya.

Berbeda dengan golongan angkatan kerja sekunder, adalah

angkatan kerja

primer, mereka ini adalah yang secara terus-menerus berada dalam pasar kerja baik
bekerja maupun mencari pekerjaan.
C. Bekerja dan Menganggur
1. Bekerja
Untuk mendefinisikan bekerja dan menganggur ternyata cukup sulit,
sebagaimana sulitnya mendefinisikan tenaga kerja dan bukan tenaga kerja, serta
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Batasan usia serta jumlah jam kerja juga
tidak dapat menggambarkan definisi yang mencakup keadaan yang sebenarnya.
Sebagai contoh misalnya seorang pembantu rumah tangga yang bekerja dan
mendapatkan upah digolongkan sebagai angkatan kerja, sementara mereka yang
bekerja mengurus rumah tangga dengan pekerjaan yang sama atau mungkin lebih
banyak tetapi tidak mendapatkan upah, digolongkan sebagai bukan angkatan kerja.
Seorang pesuruh disebuah kantor dengan gaji 800 ribu rupiah pada tahun 2010,
digolongkan sebagai bekerja, dan seorang konsultan hukum yang hanya bekerja satu
hari dengan penghasilan jauh lebih besar dibanding dengan pesuruh yang bekerja
selama 22 hari dalam satu bulan, digolongkan sebagai penganggur.
Tiap-tiap Negara memberikan definisi yang berbeda-beda tentang bekerja dan
menganggur, dan definisi tersebut bisa berubah menurut waktu.
Basir Barthos ( 1990 : 17 ) memberi batasan bekerja adalah melakukan kegiatan
dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau
keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam satu minggu yang lalu. Waktu
bekerja tersebut harus berurutan dan tidak terputus.
Dalam bukunya Payaman ( 1985 : 4-5) disebutkan bahwa berdasarkan Sensus
Penduduk tahun 1971 orang yang bekerja dengan maksud memperoleh penghasilan
paling sedikit dua hari dalam seminggu sebelum hari pencacahan dinyatakan sebagai
bekerja. Juga tergolong sebagai bekerja, mereka yang selama seminggu sebelum
pencacahan tidak bekerja atau bekerja kurang dari dua hari tetapi mereka adalah:
(1) pekerja tetap pada kantor pemerintahatau swasta yang sedang tidak masuk kerja
karena cuti, sakit, mogok atau mangkir.
(2) petani-petani yang mengusahakan tanah pertanian yang sedang tidak bekerja
karena menunggu panen atau menunggu hujan untuk menggarap sawahnya.
(3) orang yang bekerja dalam bidang keahlian seperti dokter, konsultan, tukang
cukur, dan lain-lain.

Dalam Sensus Penduduk tahun 1961orang dinyatakan bekerja bila paling


sedikit 60 hari selama 6 bulan sebelum pencacahan ia melakukan kegiatan untuk
memperoleh penghasilan. Kemudian menurut Survey Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) tahun 1976, Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 1976
dan Sensus Penduduk tahun 1980, orang dinyatakan bekerja bila selama satu minggu
sebelum pencacahan ia melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan paling
sedikit selama satu jam.
Dari beberapa definisi bekerja maka ternyata tidak ada penjelasan yang tegas
mengenai jumlah jam kerja. Oleh karena itu supaya definisi bekerja dapat mendekati
dengan kenyataan yang sebenarnya maka perlu ditegaskan jumlah jam kerja yang
dipergunakan misalnya jumlah jam kerja perminggu atau jumlah jam kerja perbulan,
dan sebagainya. Disamping itu berdasarkan definisi, bekerja adalah melakukan
kegiatan untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu disamping jumlah jam
kerja perlu pula diperhitungkan jumlah penghasilan yang diperoleh.
2. Menganggur
Istilah penganggur yang merupakan terjemahan dari istilah unemployed memang
dapat diartikan sebagai lawan kata dari employed atau bekerja. Namun agar dapat
disebut penganggur masih ada persyaratan yang lain yaitu ia harus aktif mencari
pekerjaan, sehingga lebih banyak dikategorikan sebagai pencari kerja ( Afrida :
2003 : 134 ).
Pendapat yang hampir sama memberikan batasan penganggur sebagai orang
yang tidak bekerja sama sekali, atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu
sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan ( Payaman : 1985 : 5).
Pada umumnya pengangguran itu terjadi karena adanya ketidak seimbangan
antara permintaan tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja, baik secara kuantitas
maupun secara kualitas. Namun demikian pengangguran juga bisa dilihat dari sebabsebab terjadinya seseorang itu menganggur. Payaman J. Simanjuntak ( 1985 : 10-11)
menggolongkan pengangguran menjadi beberapa jenis. Berikut ini jenis-jenis
pengangguran dilihat dari sebab-sebab terjadinya, serta beberapa solusi yang bisa
diberikan untuk mengatasi masalah pengangguran.
a. Pengangguran friksional.
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan
temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada.
Kesulitan temporer ini dapat berbentuk :

10

1) Waktu yang diperlukan selama prosedur pelamaran dan seleksi.


Disatu pihak, pencari kerja tidak hanya sekedar mencari pekerjaan yang dapat
memberikan penghasilan yang tertinggi dan kondisi kerja yang terbaik diantara
beberapa alternative. Proses seperti itu memerlukan waktu. Dipihak yang lain
pihak pengusaha tidak begitu saja mengisi lowongan kerja yang ada dengan
orang yang pertama kali datang melamar. Untuk mengisi suatu lowongan
tertentu pengusaha cenderung untuk memilih seorang yang dianggap terbaik
diantara calon-calon yang ada. Pengisian lowongan seperti itu memerlukan
proses seleksi, berarti membutuhkan waktu. Selama proses yang demikian,
seorang pelamar yang menunggu panggilan untuk seleksi atau ujian masuk
( yang belum pasti diterima ) adalah tergolong penganggur friksional.
Penganggur friksional dapat pula terjadi karena kurangnya mobilitas pencari
kerja dimana lowongan pekerjaan justru terdapat bukan disekitar tempat tinggal
pencari kerja. Misalnya pencari kerja tinggal di Jakarta, sementara lowongan
kerja terdapat diluar Jakarta.
2) Faktor jarak.
Kurangnya mobilitas pencari kerja dimana lowongan

pekerjaan justru

terdapat bukan disekitar tempat tinggal si pencari kerja. Misalnya pencari kerja
terkumpul di Jakarta, sedang loeongan pekerjaan terdapat di luar Jakarta.
3) Kurangnya informasi.
Hal ini terjadi karena pencari kerja tidak mengetahui dimana adanya lowongan
pekerjaan dan demikian juga pengusaha tidak mengetahui dimana tersedianya tenagatenaga yang sesuai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun juga pengangguran
friksional tidak dapat dihindari dan pasti akan dialami oleh setiap pencari kerja.
Beberapa solusi untuk mengatasi pengangguran friksional antara lain adalah:
(1) mengurangi jangka waktu pengangguran, atau mempersingkat jangka waktu
pengangguran melalui penyediaan informasi pasar kerja yang lebih lengkap.
Misalnya dengan menyelenggarakan bursa kerja atau Job Fair.
(2) Disamping itu menurut Sonny Sumarsono ( 2003 : 130-131): Jika ditinjau dari
deskripsi permasalahannya, maka inti persoalannya terletak pada hambatan aliran
informasi antara pencari kerja dan lowongan kerja. Oleh karena itu penangannya
harus berupa usaha untuk mengintensifikasi dan mengekstensifikasi informasi.
Intensif, agar informasi disebar dalam jumlah yang cukup. Penyebaran informasi

11

secara ekstensif dimaksudkan agar menjangkau lokasi geografis seluas mungki,


cepat diketahui oleh yang bersangkutan untuk mempercepat bertemunya pencari
kerja dan lowongan pekerjaan. Pada saat sekarang penyebaran informasi bisa
dilakukan melalui internet, disamping menggunakan media cetak yang lainnya.
b. Pengangguran Struktural.
Pengangguran structural terjadi karena adanya perubahan dalam struktur
atau komposisi perekonomian. Perubahan struktur yang demikian memerlukan
perubahan dalam ketrampilan tenaga kerja yang dibutuhkan. Sedangkan pihak pencari
kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan ketrampilan baru tersebut. Misalnya
dalam suatu pergeseran ekonomi agraris menjadi ekonomi industri. Disatu pihak akan
terjadi pengurangan tenaga kerja disektor pertania, dan dipihak lain bertambah
kebutuhan disektor industri. Tetapi kelebihan tenaga kerja disektor pertanian, tidak
dapat begitu saja diserap disektor industri karena sector industri memerlukan tenaga
denga

ketrampilan tertentu. Akibatnya tenaga berlebih disektor pertsnisn tersebut

merupakan penganggur srtuktural.


Bentuk pengangguran struktural lainnya adalah terjadinya pengurangan
tenaga akibat penggunaan alat-alat dan teknologi maju. Penggunaan traktor misalnya
dapat menimbulkan pengangguran dikalangan buruh tani.
Jangka waktu lamanya pengangguran srtuktural lebih panjang dari pada
pengangguran friksional. Oleh karena itu, untuk mengurangi banyaknya penganggur
struktural, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan latihan
untuk memperoleh ketrampilan baru yang sesuai dengan permintaan dan teknologi
baru.
Pengangguran Musiman.
c.
Pengangguran musiman terjadi karena pergantian musim. Diluar musim
panen dan turun kesawah, banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis,
mereka hanya sekadar menunggu musim panen tiba. Selama masa menunggu
tersebut mereka digolongkan sebagai penganggur musiman. Namun dalam Sensus
penduduk tahun 1971, Survey nasional tahun 1976 dan Sensus Penduduk tahun 1980
hal ini tidak jelas terlihat karena mereka menurut definisi tergolong bekerja.
Selain ketiga jenis pengangguran tersebut ada pendapat lain yang melengkapi
pendapat Payaman. Menurut Sony Sumarsono (2003 : 118) pengangguran terjadi
karena ketidak sesuaian antara permintaan dan penyediaan dalam pasar kerja.

12

Bentuk-bentuk ketidak sesuaian tersebut menjadikan beberapa jenis pengangguran


sebagai berikut :
d. Pengangguran peralihan.
Pengangguran yang disebabkan karena pencari kerja tidak tahu bahwa ada
lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Jenis
pengangguran ini hamper sama dengan pengangguran friksional yang disebabkan
karena faktor jarak.
e.

Pengangguran Konjungtur (Siklikal).


Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang disebabkan karena
menurunnya kegiatan ekonomi atau karena perubahan konjungtur. Misalnya
terjadinya banjir lima tahunan, sepuluh tahunan, atau dalam kegiatan ekonomi ada
kalanya terjadi ekspansi kegiatan meningkat, lalu timbul kejenuhan dan penurunan
kegiatan. Setelah itu diikuti peningkatan kegiatan lagi, dan seterusnya. Kejadian ini
terus berulang-ulang secara rutin, sehingga sudah barang tentu akan mempengaruhi
permintaan tenaga kerja.
Pengangguran ini juga hampir sama dengan pengangguran musiman, hanya
saja jangka waktunya lebih panjang.

f.

Pengangguran Teknologis.
Pengangguran teknologis terjadi karena adanya perubahan teknologi
produksi. Misalnya penggunaan mesin tik yang berganti dengan computer maka
pengetik harus melatih diri untuk bisa menjadi operator komputer, pompa angin
manual dengan kompresor, perubahan lokomotif tenaga uap menjadi disel sehingga
tidak lagi membutuhkan tukang api, dan sebagainya.

g.

Penganggur Muda.
Penganggur muda adalah tenaga kerja kelompok umur 15 25 tahun yang
belum bekerja dan baru memasuki pasar kerja untuk mencari pekerjaan.

h. Penganggur Tua.
Adalah jenis pengangguran yang diderita oleh orang-orang yang karena
sesuatu sebab tidak dapat menjalani kariernya sampai usia cukup tua untuk
mengundurkan diri dari dunia pekerjaan.
i. Pengangguran yang disebabkan oleh isolasi geografis.

13

Adalah jenis pengangguran yang dialami oleh masyarakat yang tinggal


dalam wilayah yang jauh terpencil dari pusat kegiatan ekonomi.
3. Setengah Penganggur.
Pendekatan angkatan kerja yang membedakan orang yang bekerja dan
menganggur pada dasarnya menimbulkan masalah-masalah pokok sebagai berikut :
a. masalah penentuan batas jam kerja yang berbeda-beda. Dalam hal ini belum
dirumuskan batas jam kerja yang tepat. Misalnya untuk membedakan bekerja dan
menganggur menggunakan batas jam kerja yang berbeda-beda seperti 60 hari
dalam 6 bulan, atau dua hari kerja dalam seminggu, atau satu jam kerja seminggu,
dan sebagainya.
b. Pembedaan tenaga kerja atas bekerja dan menganggur tidak menggambarkan
masalah tenaga kerja yang sebenarnya. Pemilihan jam kerja yang pendek misalnya
satu jam dalam seminggu, menggambarkan jumlah pengangguran yang sangat
rendah. Sebaliknya penentuan jumlah jam kerja yang terlalu panjang misalnya dua
hari atau 14 jam seminggu, akan menggambarkan tingkat pengangguran yang
relative tinggi. Angka ini memperkecil jumlah orang yang bekerja karena orang
yang bekerja 5-9 jam seminggu masih digolongkan sebagai penganggur.
c. Pembedaan atas orang bekerja dan menganggur tidak menunjukkan apa-apa
mengenai tingkat pendapatan dan produktivitas seseorang.pada dasarnya orang
bekerja untuk memperoleh penghasilan. Ada orang yang bekerja 40 jam seminggu
atau lebih pendapatannya rendah, sedang yang lain bekerja kurang dari 20 jam
tetapi penghasilannya lebih besar.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan pendekatan
penggunaan tenaga kerja yang menitik beratkan pada apakah seseorang cukup
dimanfaatkan dalam kerja dilihat dari segi a) jumlah jam kerja, b) produktivitas kerja
dan c) pendapatan yang diperoleh. Dengan pendekatan ini angkatan kerja dibedakan
tiga golongan, yaitu orang yang : a) menganggur, yaitu orang yang sama sekali tidak
bekerja ( penganggur terbuka ) dan berusaha mencari pekerjaan; b) setengah
menganggur, yaitu mereka yang kurang dimanfaatkan dalam bekerja dilihat dari segi
jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan; dan c) bekerja penuh atau cukup
dimanfaatkan dalam bekerja.
Sementara itu, yang tergolong setengah menganggur dapat digolongkan
berdasarkan jumlah jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan, kedalam dua

14

kelompok yaitu : (a) setengah penganggur kentara, yaitu mereka yang bekerja kurang
dari 35 jam seminggu, dan (b) setengah penganggur tidak kentara atau setengah
penganggur terselubung, yaitu mereka yang produktivitas kerja dan pendapatannya
rendah. Atau mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu.
Namun demikian yang masih tetap sulit untuk diukur adalah penganggur
terselubung dalam bentuk produktivitas kerja dan pendapatan yang rendah.
Pada dasarnya seseorang berproduktivitas rendah disebabkan karena beberapa
kemungkinan antara lain (Payaman : 1985 : 13):
1) Kurangnya ketrampilan. Biasanya orang kurang terampil dalam pekerjaan
karena pendidikan yang rendah. Hal ini karena pendidikan yang diterima
disekolah-sekolah kadang-kadang terlalu umum dan tidak dapat secara langsung
diterapkan secara langsung dalam dalam pekerjaan. Akibatnya orang yang
sudah berpendidikan agak tinggi tetap masih mempunyai produktivitas kerja
yang rendah. Demikian juga bagi orang yang baru mulai bekerja atau kurang
pengalaman kerja biasanya mempunyai produktivitas rendah. Rendahnya
produktivitas kerja yang disebabkan kurangnya ketrampilan ini dapat
ditingkatkan melalui latihan kerja baik diluar maupun ditempat kerja.
2) Kurangnya sarana-sarana penunjang. Ini dapat berbentuk (a) kurangnya alat
kerja

seperti kertas, mesin ketik, computer, penerangan yang baik, alat

pengangkutan, dll, (b) kurangnya organisasi dan manajemen pimpinan. (c)


ketidak mampuan pimpinan menumbuhkan motivasi dan membina kerja sama
yang baik antar pekerja, (d) mengadakan pembagian kerja yang jelas antara
semua karyawan, dan (e) salah dalam penempatan.
3) Rendahnya tingkat kesehatan dan gisi.
4) Rendahnya tingkat upah dan system pengupahan yang tidak mengandung
system pemberian insentif bagi karyawan yang berprestasi baik. Upah yang
rendah tidak mendorong kegairahan kerja. Upah yang rendah juga
mengakibatkan tingkat kesehatan dan konsumsi yang terbatas dan oleh sebab itu
produktivitas kerja menjadi rendah juga.
Sekalipun rendahnya tingkat produktivitas seseorang dapat ditingkatkan
dengan berbagai cara seperti latihan ditempat kerja maupun diluar tempat kerja,
namun untuk mengukur tingkat produktivitas kerja tetap masih sulit, karena
penentuan batas antara produktivitas kerja rendah dan tinggi belum
dikembangkan secara terperinci.

15

D. Tingkat Partisipasi Kerja.


Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak semua sumber daya manusia dalam
usia kerja ikut ambil bagian dalam bekerja, atau tidak semua sumber daya manusia
bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Sebagian dari mereka bekerja, sebagian
yang lain mencari pekerjaan, atau sebagian yang lainnya lagi bersekolah, mengurus
rumah tangga, atau sementara tidak bekerja karena alas an-alasan tertentu.
Tingkat partisipasi kerja juga dapat dinyatakan untuk seluruh penduduk usia
kerja, dapat pula dinyatakan untuk suatu kelompok laki-laki, kelompok wanita,
kelompok tenaga terdidik, kelompok usia 10-14 tahun didesa, dan lain-lain.
Jika jumlah penduduk semakin besar, maka jumlah tenaga kerja juga semakin
besar dan semakin besar pula jumlah angkatan kerja. Jika jumlah angkatan kerja
yang bersekolah dan yang mengurus rumah tangga semakin banyak maka tingkat
partisipasi kerja semakin kecil.
Tingakt partisipasi kerja adalah seberapa besar sumber daya manusia
yang dimanfaatkan dalam bekerja. Ada beberapa factor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya tingkat partisipasi kerja (Payaman : 1985 : 36-37) yaitu :
1) Jumlah penduduk yang masih bersekolah. Semakin besar jumlah penduduk yang
bersekolah, semakin kecil jumlah angkatan kerja sehingga semakin kecil tingkat
partisipasi kerja. Jumlah penduduk yang bersekolah dipengaruhi oleh
penyediaan fasilitas pendidikan yang semakin baik, dan tingkat penghasilan
yang semakin baik. Hal ini menjadikan penduduk tetap ingin bersekolah.
Adanya kebijakan pemerintah tentang Wajar Sembilan Tahun mengakibatkan
tingkat partisipasi kerja penduduk usia 10-14 tahun rendah.
2) Jumlah penduduk yang mengurus rumah tangga. Semakin banyak jumlah
penduduk yang mengurus rumah tangga maka semakin kecil tingkat partisipasi
kerja.
3) Tingkat penghasilan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Keluarga yang
berpenghasilan besar akan mengurangi jumlah anggota Keluarga yang bekerja
sehingga tingkat partisipasi kerja kecil. Sebaliknya Keluarga yang tingkat
penghasilannya rendah mengharuskan anggota keluarganya ikut bekerja untuk
menambah penghasilan. Akibatnya tingkat partisipasi kerja tinggi.
4) Tingkat partisipasi kerja juga dipengaruhi oleh umur. Penduduk usia muda yang
biasanya masih bersekolah pada umumnya tidak dituntut untuk bekerja. Dengan
demikian tingkat partisipasi kerja untuk kelompok usia muda adalah kecil.
Sementara itu penduduk usia 25-35 tahun terutama laki-laki pada umumnya

16

dituntut untuk mencari nafkah oleh sebab itu tingkat partisipasi kerja tinggi.
Untuk penduduk usia 55 tahun keatas pada umumnya sudah menurun
kemampuannya untuk bekerja oleh karena itu tingkat partisipasi kerjanya
rendah.
5) Tingkat upah. Semakin tinggi tingkat upah dalam masyarakat semakin banyak
anggota Keluarga yang tertarik masuk pasar kerja sehingga tingkat partisipasi
kerja tinggi. Demikian pula sebaliknya.
6) Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin banyak waktu
yang disediakan untuk bekerja. Terutama untuk wanita semakin tinggi
pendidikan kecenderungan untuk bekerja semakin besar. Dengan demikian
semakin tinggi tingkat partisipasi kerja.
7) Kegiatan ekonomi. Program pembangunan disatu pihak menuntut keterlibatan
banyak orang. Dilain pihak program pembangunan menumbuhkan harapanharapan baru. Harapan untuk dapat ikut menikmati hasil pembangunan tersebut
dinyatakan dalam peningkatan partisipasi kerja. Jadi semakin bertambah
kegiatan ekonomi semakin besar tingkat partisipasi kerja.
Tingkat partisipasi kerja pada umumnya memang ditentukan oleh
berbagai factor. Dengan perkembangan jaman yang semakin maju, tidak hanya
mempengaruhi kesempatan bagi pria, tetapi juga wanita untuk meningkatkan
kemampuannya baik melalui pendidikan maupun ketrampilan. Apalagi kesempatan
yang semakin luas disediakan oleh pemerintah bagi kaum wanita untuk
mensetarakan dengan pria baik dibidang ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Dengan demikian akan mempengaruhi pula tingkat partisipasi kerjanya. Terutama
bagi wanita tingkat partisipasi kerja juga ditentukan oleh banyak factor, antara lain
adalah :
(1) Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, semakin
besar keinginannya untuk masuk dalam pasar kerja. Wanita yang berpendidikan
tinggi akan merasa rendah diri jika pada akhirnya tidak bekerja. Dengan
demikian tingkat partisipasi kerja wanita berpendidikan tinggi lebih besar dari
pada wanita yang tidak berpendidikan tinggi.
(2) Tingkat social yang lebih tinggi. Seseorang wanita yang berada dalam
lingkungan social yang tinggi akan merasa rendah diri jika tidak bekerja.
(3) Kondisi ekonomi rumah tangga yang mengharuskan wanita bekerja. Jika kondisi
ekonomi rumah tangga rendah maka mengharuskan wanita membantu bekerja

17

untuk menambah menghasilan Keluarga. Akibatnya tingakat partisipasi kerja


wanita tinggi.
(4) Semakin panjang usia harapan hidup. Semakin baik tingkat kesehatan wanita,
semakin panjang harapan hidup sehingga memungkinkan wanita untuk tetap
terus bekerja.
(5) Adanya fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain yang tersedia. Adanya time
saving device seperti rice cooker, setrika listrik, mesin cuci, dan barangbarang elektronik lainnya menyebabkan waktu untuk mengurus rumah tangga
berkurang sehingga peluang untuk bekerja diluar rumah sangat besar.
(6) Banyak terbuka lapangan kerja baru bagi wanita.

18

Anda mungkin juga menyukai