TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Insulin
2.1.1. Insulin Merupakan Polipeptida Heterodimer
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri atas dua rantai, yaitu rantai A dan
B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar-rantai yang
menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19. Jembatan disulfida intra-rantai yang
ketiga menghubungkan residu 6 dan 11 pada rantai A. lokasi ketiga jembatan
disulfida ini selalu tetap, dan rantai A serta B masing-masing mempunyai 21 dan 31
asam amino pada sebagian besar spesies (Granner, 2003).
dimulai. Granul terus mematangkan diri ketika melintasi sitoplasma menuju membran
plasma. Proinsulin dan insulin keduanya bergabung dengan seng untuk membentuk
heksamer, tetapi karena sekitar 95% dari proinsulin tersebut diubah menjadi insulin,
kristal hormon terakhir inilah yang memberikan keistimewaan morfologik kepada
granul tersebut. Peptida C dengan jumlah ekuimolar terdapat di dalam granul ini,
kendati molekul ini tidak membentuk struktur kristal. Dengan perangsangan yang
tepat, granul yang matur akan menyatu dengan membran plasma dan melepaskan
isinya ke dalam cairan ekstrasel lewat proses eksositosis (Granner, 2003).
Pengikatan insulin
berespon terhadap
insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian
terakhir
menunjukkan
adanya
suatu
protein
mitokondria
yang
yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia
muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar
dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan
dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini
tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50 %. Pengobatan
HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular, perbedaan utama
antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Schteingart,
2005).
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia
(reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes
dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak
dari yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang
mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh
pelepasan epinefrin (berkeringat, sakit kepala, gemetar, dan palpitasi), juga akibat
kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan
koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering
terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat mengakibatkan kerusakan otak
yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu
segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang diberikan
glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuscular untuk meningkatkan
kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes
dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol,
hormone pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran
hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan
pengontrolan dibetik yang
kecil-mikroangiopati-dan
pembuluh-pembuluh
sedang
dan
besar-
kaitan
yang
kuat
antara
hiperglikemia dengan
insidens dan
insulin.
Terdapat
penimbunan
sorbitol dalam
lensa
sehingga
2.4. Hati
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25 % berat badan orang dewasa yang menempati sebagian kuadran
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan
batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan
posterior hati berbentuk cekung den terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari
sitem porta hepatik. Omentum minor terdapat dari sistem porta yang mengandung
arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak di depan
depan vena kava dan di balik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung
dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri
dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara
ligamentum falsiform dengan kadung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat
ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus
yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada
permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada
dasarnya garis Cantlie yang terdapat dari vena kava sampai kandung empedu telah
membagi hati menjadi 2 labus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan
vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih
lanjut menjadi 8 segmen didasarkan pada aliran cabang pembuluh darah dan kandung
empedu yang dimiliki oleh masing-masing segmen (Amirudin, 2006).
Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli,
setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang
tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat
terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta and arteri
hepatica. Sinusoid dibatasi oleh selfagositik (sel kupffer) yang merupakan system
retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di
dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan toksik (Amirudin, 2006).
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian
perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu
yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati
(Amirudin, 2006).
Sangat
penting
untuk
mengingat
kemungkinan
penyakit-penyakit
ekstrahepatis, terutama jika pola LFT nampaknya berbeda dari biasanya atau jika
hanya ditemukan satu abnormalitas. Merupakan hal yang sangat jarang, sebagai
contoh, ditemukan peningkatan kadar SGOT hingga 20 kali normal tanpa
peningkatan parameter lain sehingga factor ekstrahepatis harus dipertimbangkan
(misalnya otot) dan selalu ada kemungkinan terjadi kesalahan laboratorium
(Amirudin, 2006).
Oleh karena itu kombinasi beberapa tes fungsi hati sangat diperlukan pada
saat pasien dalam observasi dan disesuaikan dengan tanda klinis. Kadang-kadang
diperlukan bantuan pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan radiologist (ultrasonografi,
CT-scan, MRI) histopatologis dan serologis (Amirudin, 2006).
2.5. Aminotransferase
2.5.1. Alanine Aminotransferase (ALT)
Alanine aminotransferase (ALT) banyak dihasilkan oleh hati, mengkatalisasi
transfer dari gugus amino antara L-alanine dan glutamate. ALT juga ditemukan di
jantung,otot, dan ginjal dalam jumlah yang kecil. Ketika hati mengalami cedera atau
inflamasi, kadar ALT dalam darah biasanya meningkat. Oleh karena itu tes ini
biasanya digunakan untuk melihat tanda-tanda penyakit hati (Pratt, 2008).
Nilai Normal
SGOT/AST
5-40 IU/l
SGPT/ALT
5-35 IU/l
Interpretasi
Meningkat
sesuai
inflamasi atau nekrosis
hepatosit. Biasanya tidak
diperlukan
untuk
mengukur
keduanya,
namun rasio AST:ALT >2
cenderung ke penyakit
hepatitis alkoholik.
disepakati
bahwa
steatohepatitis
non
alkoholik
(nonalcoholic
steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat
(Hasan, 2006).
Dikatakan perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati (sebagian terdiri
atas trigliserida) melebihi 5 % dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati
sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi
jaringan hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan
hepatosit (Hasan, 2006).
Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas
untuk menentukan seseorang minum alcohol yang tidak bermakna sempat menjadi
perdebatan,tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati bahwa konsumsi alkohol
sampai 20 gr per hari masih bisa digolongkan non alkoholik (Hasan, 2006).
2.6.2. Epidemiologi
Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas tes fungsi hati akibat
perlemakan hati maupun steatohepatitis non alkoholik merupakan kelainan yang
sangat sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi
karena metodologi survei yang berbeda-beda (Hasan, 2006).
Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20 % pada
populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Diperkirakan 20-30 %
diantaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik).
Sebuah penelitian terhadap populasi dengan obesitas di Negara maju mendapatkan 60
yang
dilaporkan
adalah
obesitas,
diabetes
mellitus
(DM)
dan
2.6.3. Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik masih belum
memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan steatohepatitis non
alkoholik adalah obesitas dan diabetes mellitus, serta dua abnormalitas metabolik
yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan suplai asam
lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima
adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day dan James.
Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat terjadi
karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes mellitus dan obesitas. Seperti
diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan memasuki
organ hati melalui sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak bebas
akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi
trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan
massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan
pelepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit.
Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkata
oksidasi dan edterifikasi lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga
pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang
disebut sebagai hit kedua. Peningkatan stress oksidatif sendiri dapat juga terjdai
karena resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan
aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1,
peningkatan cadangan besi dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stress
oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, maka
aktivasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan barlanjut dengan inflamasi
progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory,
serta fibrosis. Meskipun teori two hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya
penyempurnaan akan terus dilakukan karena makin banyak yang berpendapat bahwa
yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit (Hasan, 2006).
non alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya dalam medical check-up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis
seperti asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah berkembang menjadi hepatoma
(Hasan, 2006).
2.6.5. Diagnosis
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metoda
untuk membedakan steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai
inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsy hati perlu dilakukan sebagai
pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis perlemakan hati non alkoholik.
Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsy karena pemeriksaan histopatologi
mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, membedakan steatosis dari
steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Alas an dari kelompok yang menentang biopsy hati antara lain prognosis yang
umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif, dan risiko serta
biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh karenanya pemeriksaan radiologist dan
kimia darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metoda pemeriksaan
alternatif yang bersifat non invasif (Hasan, 2006).
rasio AST:ALT kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat mendekati
atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi perhatian beberapa studi yang melaporkan
bahwa konsentrasi AST dan ALT tidak memiliki korelasi dengan aktivitas histologis,
bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah lanjut.
Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, g-glutamiltransferase, feritin
darah atau saturasi transferin juga dapat meningkat, sedangkan hipoalbuminemia,
waktu protrombin yang memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada
pasien yang sudah menjadi sirosis (Hasan, 2006).
Dislipidemia ditemukan pada 21-83 % pasien dan biasanya berupa
peningkatan konsentrasi trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor
risiko perlemakan hati non alkoholik, maka tidak jarang terdapat pula peningkatan
konsentrasi gula darah (Hasan, 2006).
mengenai komponen APO B-100 dari LDL tersebut. Reseptor tersebut juga mengikat
APO E dan tidak mengikat APO B-48.
Di dalam proses endositosis berperantara reseptor, setiap lubang bermantel
terlepas membentuk vesikel bermantel dan kemudian membentuk endosom. Pompapompa protein di membran endosom menurunkan PH di dalam organel ini. Dalam
hal reseptor LDL, tetapi bukan reseptor sisi kilomikron, situasi ini mencetuskan
pelepasan reseptor LDL, yang berdaur ulang