Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK


SKENARIO 2
TENGGELAM DI KOLAM RENANG

Oleh
Kelompok 18:
Rizqy Qurrota A. A.
Dea Fiesta J.
Elisabeth Dea R.
Istna Sofia Aulia
Nur Hidayah

(G0011184)
(G0011062)
(G0011082)
(G0011118)
(G0011156)
Ratu Siti Khadijah S.

Syarifah Aini K.
Yohanes C. W.
Ega Caesaria P.
Dien Adiparadana
Iriyanti Maya Sari
(G0011166)

Tutor: Murkati, dr., M.Kes.


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014

(G0011202)
(G0011214)
(G0011080)
(G0011074)
(G0011116)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenggelam merupakan kasus gawat darurat, termasuk penyebab
kematian utama kecelakaan pada anak. Akibat terpenting peristiwa tenggelam
adalah hipoksia, sehingga oksigenasi, ventilasi, dan perfusi harus dipulihkan
secepat mungkin. Hal ini memerlukan tindakan resusitasi jantung paru dan
layanan kedaruratan medis. Oleh karena itu, penting bagi dokter umum untuk
mengetahui

bagaimana

menentukan

penanganan

untuk

kasus-kasus

kedaruratan yang sering terjadi di masyarakat, terutama pertolongan pertama


yang harus dilakukan segera. Skenario kedua blok kedaruratan medik yang
akan dibahas adalah sebagai berikut.
Seorang laki-laki berusia 17 tahun dibawa ke IGD Rumah Sakit
dengan keluhan utama tenggelam (drowning) di kolam renang. Berdasarkan
alloanamnesis dari keluarga pasien, pasien tenggelam 20 menit yang lalu.
Saat diangkat dari kolam renang, pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak lemah, kesadaran
GCS E2V2M3, tekanan darah 90/50 mmHg, laju nadi 140x/menit, frekuensi
napas 28x/menit, nafas tampak lemah, saturasi oksigen 80%, suhu tubuh
34,70C. Bibir dan mukosa pasien tampak sianosis, terdengar suara berkumur
(gargling). Auskultasi paru terdengar rhonki kasar di kedua hemithoraks.
Abdomen tampak distensi, ekstremitas pasien tampak keriput dan teraba
dingin. EKG sinus takikardi normoaksis. Setelah pemeriksaan EKG, pasien
tiba-tiba apnoe. Kemudian dokter melakukan tindakan resusitasi dengan
prinsip-prinsip patient safety.

BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
1. Tenggelam (Drowning) : Kematian akibat perendaman dalam cairan dan
termasuk jenis mati lemas (asfiksia) oleh karena jalan napas terhalang oleh
air/cairan, yang terhisap masuk ke jalan napas sampai ke alveoli paru-paru.
2. Saturasi Oksigen : presentasi oksigen yang berikatan dengan hemoglobin
dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 100 %. Gargling :
3. Sinus Takikardi Normoaksis : peningkatan denyut jantung yang teratur dan
berlangsung secara normal, pada pemeriksaan EKG didapatkan aksis
jantung dalam keadaan normal
4. Patient Safety : suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman, mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bagaimana patofisiologi tenggelam?


Apa saja macam-macam tenggelam?
Apakah perbedaan tenggelam di air tawar dan air laut?
Apa saja perubahan-perubahan yang terjadi pada organ pasien tenggelam?
Apa saja komplikasi dari tenggelam?
Bagaimana penatalaksanaan dari tenggelam?
Apa saja prinsip-prinsip patient safety yang harus dilakukan pada pasien di
skenario?

Jump 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai
permasalahan tersebut.

A. Tenggelam
Definisme

Kematian akibat perendaman dalam cairan dan termasuk jenis mati lemas
(asfiksia) oleh karena jalan napas terhalang oleh air/cairan, yang terhisap masuk
ke jalan napas sampai ke alveoli paru-paru.
Mekanisme lain:
1. Ketidakseimbangan elektrolit serum yang mempengaruhi fungsi jantung
(refleks kardiak)
2. Laringospasme sebagai akibat refleks vagal
Diagnosa post mortem tenggelam
1. Masalah yang sulit dalam bidang forensik, oleh karena temuan yang minimal,
mengandung arti ganda dan bahkan negatif.
2. Riwayat kejadian memegang peranan penting dalam membentuk kesimpulan
otopsi yang utuh dan logis guna kepentingan medikolegal.
3. Spekulatif, karena minimnya kausa kematian yang lain & pengetahuan akan
kejadian sebenarnya.
4. Bila tidak ditemukan apapun yang bermakna, disarankan menuliskan sesuai
dengan tenggelam pada kesimpulan visum et repertum atau mengakui bahwa
penyebab kematian tidak dapat ditentukan.
5. Hipoksia otak yang fatal tidak disebabkan oleh oklusi jalan nafas oleh air tetapi
karena spasme laring.
6. Terjadi sekitar 10-15% dari seluruh kasus tenggelam.
7. Jika sejumlah air masuk ke dalam laring atau trakhea spasme laring terjadi
dengan segera sebagai refleks vagal.
Proses Tenggelam
Reaksi awal: usaha bernafas, yang berlangsung hingga batas kemampuan
dicapai, dimana seseorang harus bernafas, batas kemampuan ditentukan oleh
kombinasi antara kadar CO2 yang tinggi dan konsentrasi O2 yang rendah.
Menurut Pearn, batas kemampuan terjadi pada tingkat PCO2 dibawah 55 mmHg
saat terdapat hipoxia dan tingkat PAO2 dibawah 100 mmHg saat PCO2 tinggi.
melewati batas kemampuan, seseorang menarik nafas secara involuntary, pada
saat ini air mencapai larinks & trakea, menyebabkan spasme laring yang
diakibatkan tenggelam (pada air tawar), terdapat penghirupan sejumlah besar air,
tertelan dan akan dijumpai dalam perut. selama bernafas di air, penderita mungkin
muntah dan terjadi aspirasi isi lambung. usaha pernafasan involuntar di bawah air

akan berlangsung selama beberapa menit, hingga pernafasan terhenti. hipoksia


serebral akan berlanjut hingga irreversibel dan terjadi kematian.
Penyebab Kematian
Kematian sebelum badan korban berada di dalam air. Dapat disebabkan
oleh penyakit, kematian mendadak, menyebabkan korban jatuh ke air dari perahu.
Penyebab kematian lainnya pada kasus kriminal, merupakan korban pembunuhan
yang sengaja dibuang ke air, dengan harapan identitas dan kausa kematian dapat
disembunyikan dengan pembusukan yang timbul. Oleh trauma yang disebabkan
karena terjatuh (seperti luka akibat bentur batu, sisi kolam renang, dermaga,
jembatan, dll) atau trauma saat di dalam air (terbentur dasar sungai, kolam atau
terhanyut gelombang pasang dan terbentur lengkungan jembatan, batu atau
obstruksi lainnya) atau akibat trauma oleh karena perahu atau mesin perahu.
Penyebab tenggelam murni dapat atau tidak memiliki tanda post mortem yang
nyata, guna mengkonfirmasi mekanisme kematian diduga kasus asfiksia murni
akibat penggantian udara dalam paru-paru oleh air. Swann, Spafford, Bracet dan
lainnya (Swann dan Brucer, 1949; Swann, Spafford, 1951): proses tenggelam jauh
lebih kompleks dari asfiksia dan terdapat perbedaan antara tenggelam di air tawar
dan air laut.
Perbedaan tenggelam air tawar & asin
Tenggelam di Air Tawar
Sejumlah besar air masuk ke dalam saluran pernapasan hingga ke paruparu, mengakibatkan perpindahan air secara cepat melalui dinding alveoli karena
tekanan osmotik yang besar dari plasma darah yang hipertonis. Kemudian
diabsorbsi ke dalam sirkulasi dalam waktu yang sangat singkat dan menyebabkan
peningkatan volume darah hingga 30% dalam menit pertama. Akibatnya sangat
besar dan menyebabkan gagal jantung akut karena :Jantung tidak dapat
berkompensasi dengan cepat terhadap volume darah yang sangat besar (untuk
meningkatkan cardiac output dengan cukup).Akibat hipotonisitas plasma darah
yang mengalami dilusi, ruptur sel darah merah (hemolisis), pengeluaran kalium ke
dalam plasma (menyebabkan anoksia miokardium yang hebat). Mekanisme dasar
kematian: kematian yang berlangsung cepat diakibatkan oleh serangan jantung
yang seringkali berlangsung dalam 2-3 menit.

Tenggelam di Air Laut


Pada kasus tenggelam di air laut, cairan yang memasuki paru-paru
memiliki kelarutan sekitar 3% dan bersifat hipertonis. Walaupun terjadi
perpindahan garam-garam, khususnya natrium dan magnesium melalui membran
pulmonum, tetapi tidak terjadi perpindahan cairan yang masif Kematian timbul
umumnya lebih lambat, faktor asfiksia memegang peranan lebih penting, dengan
waktu survival yang lebih panjang.
A.

Patofisiologi
Patofisiologi Tenggelam
Mekanisme tenggelam :
1. Dengan aspirasi cairan (typical atau wet drowning)
2. Tanpa aspirasi cairan (atypical atau dry drowning)
3. Near drowning = kematian terjadi akibat hipoksia ensefalopati atau perubahan
sekunder pada paru
Pada wet drowning, yang mana terjadi inhalasi cairan, dapat dikenali
gejala- gejala yang terjadi :
1. korban menahan napas
2. karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap, dapat
terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung
3. refleks laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air
4. korban kehilangan kesadaran
5. kemudian terjadi apnoe
6. megap-mega kembali, bisa sampai beberapa menit
7. kejang-kejang
8. berakhir dengan henti napas dan jantung
Perubahan-perubahan pada paru :
1. Refleks vasokonstriksi akan menyebabkan hipertensi pulmonal
2. Bronkokonstriksi akan meningkatkan resistensi jalan napas
3. Denaturasi surfaktan yang disertai deplesi yang cepat dari jaringan paru akan
menyebabkan rasio ventilasi/perfusi menjadi abnormal
4. Pada tingkat seluler, terjadi kerusakan endotel vaskular dan sel epitel
bronkial/alveoli
5. Aspirasi air tawar akan menyebabkan hemodilusi
6. Aspirasi air laut akan menyebabkan hemokonsentrasi
7. Perubahan tegangan permukaan paru akan menyebabkan ketidakstabilan alveoli
dan paru menjadi kolaps.
Dry Drowning

15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning, yang mana


tidak disertai dengan aspirasi cairan. Kematian ini biasanya terjadi dengan sangat
mendadak dan tidak tampak adanya tanda-tanda perlawanan. Mekanisme
kematian yang pasti masih tetap spekulatif.
Cairan yang mendadak masuk dapat menyebabkan 2 macam mekanisme :
1. laringospasme yang akan menyebabkan asfiksia dan kematian
2. mengaktifkan sistem saraf simpatis sehingga terjadi refleks vagal yang akan
mengakibatkan cardiac arrest.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning :
1. intoksikasi alcohol (mendepresi aktivitas kortikal)
2. penyakit yang telah ada, misal atherosclerosis
3. kejadian tenggelam/terbenam secara tak terduga/mendadak
4. ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin,
disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest
Near drowning :
Korban mengalami hipovolemik akibat perpindahan cairan ke paru dan
jaringan seluruh tubuh. Gejala sisa yang lain, seperti disrimia, defisit neurologis
dan renal, dipercaya merupakan akibat langsung dari hipoksia dibanding akibat
tenggelam.
Perpindahan Panas
Air menghantarkan panas 25x lebih cepat dari udara. Kecepatan
perpindahan panas tubuh yang berada dalam air dipengaruhi beberapa hal :
1. bentuk tubuh (lemak merupakan isolator panas)
2. usia (anak-anak memiliki permukaan tubuh paling proporsional sehingga akan
menjadi lebih cepat dingin)
3. pergerakan, misalnya berenang (akan memindahkan air yang lebih hangat ke
dekat tubuh)
4. perlengkapan isolator, seperti pakaian
Hipotermia
Tiga fase klinis :
1. fase eksitatori, korban gemetaran disertai kebingungan
2. fase adinamik, terjadi rigiditas muscular dan penurunan kesadaran
3. fase paralitik, ketidaksadaran yang akan diikuti oleh aritmia dan
kematian.

Fase-fase ini penting diketahui untuk keperluan resusitasi pada korban


yang hampir mati tenggelam sebab pada fase paralitik korban dapat dikira telah
meninggal.
Patofisiologi Penurunan Kesadaran
Peningkatan osmolaritas pada sel otak membuat cairan ekstra sel masuk ke
dalam intra sel, kemudian menyebabkan edema serebral. Pada pasien dengan
edema serebral dapat terjadi penurunan kesadaran (Raghavan, 2014). Selain itu
otak juga tidak dapat mentolerir hipoksia yang terlalu lama, hal ini dapat
menyebabkan kerusakan irreversibel pada jaringan otak, sehingga mempengaruhi
penilaian GCS pasien.
Patofisiologi Terdengar Gargling, Auskultasi Paru Terdengar Ronkhi Basah
di Kedua Hemithoraks, Abdomen Tampak Distensi
Proses tenggelam merupakan suatu kejadian kontinyu yang dimulai ketika
saluran pernapasan korban di bawah permukaan cairan, di mana korban secara
sadar menahan napasnya. Menahan napas biasanya diikuti periode involuntir dari
laryngospasme sekunder karena adanya cairan di oropharinx ataupun larynx
(Miller, 2000). Selama periode menahan napas dan laryngospasme ini, korban
tidak mendapatkan udara untuk bernapas. Hasilnya kadar oksigen tidak tercukupi
dan karbon dioksida tidak bisa dikeluarkan. Korban menjadi hiperkarbia,
hipoksemia, dan asidosis (Modell et.al, 1966). Pada saat ini korban akan menelan
banyak air (Modell, 1976). Pergerakan sistem pernapasan korban menjadi sangat
aktif, tapi tidak ada pertukaran gas karena sumbatan pada larynx. Sumbatan ini
nantinya dapat diketahui dengan adanya suara gargling. Cairan yang masuk ke
dalam paru pada auskultasi akan menghasilkan suara ronkhi basah. Selain cairan
masuk ke dalam saluran pernapasan, cairan juga masuk ke dalam sistem
pencernaan. Masuknya cairan ini dapat mengakibatkan adanya distensi abdomen
ada korban.
Patofisiologi pasien hipotensi, takikardi, takipneu, nafas tampak lemah
Pada korban tenggelam, tahapan yang pertama terjadi adalah kepanikan
atau perlawanan agar tetap terapung. Menurut teori pada keadaan normal ketika
seseorang tenggelam cukup lama menyebabkan pernafasan normal tidak terjadi,

korban akan panik dan berusaha menahan nafas kemudian terjadi laringospasme
yang menyebabkan berhentinya pertukaran gas dalam paru. Laringospasme akan
hilang saat tekanan arteri terus menurun, sehingga pada korban akan terjadi
aspirasi cairan secara aktif. Setelah laringospasme berakhir terjadilah aspirasi
cairan masuk dalam paru. Aspirasi sebanyak 1-3 ml/kg air dapat menyebabkan
surfaktan rusak, menurunnya kemampuan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch),
menurunnya kapasitas residu fungsional (FRC) dan edema paru menyebabkan
kegagalan dalam pertukaran gas yang signifikan. Kegagalan pertukaran gas yang
signifikan ini menyebabkan terjadinya penurunan O2 dalam darah sehingga
menyebabkan

hipoksia

jaringan.

Hipoksia

yang

terjadi

terus

menerus

menyebabkan terjadinya takikardi (140x/ menit pada skenario), takipneu (28x/


menit), retraksi intercostal, nasal flare, wajah sianosis, keringat, dan pucat (Mark
Harries,2010; Suzanne & William, 2009). Cairan yang masuk akan menyebabkan
obstruksi pada saluran nafas yang dapat menyebakan hipoksemia dan
hiperkapnea. Cedera paru dapat terjadi akibat dari kekurangan surfaktan yang
disebabkan oleh denaturasi oleh air laut atau tawar yang masuk dalam alveolus.
Cedera alveolar dan edema pulmunar menyebakan perubahan ventilasi, rasio
perfusi dengan pirau intapulmonar yang pada akhirnya akan menimbulkan
hipoksemia

(Schwartz,

2005).

Tubuh

akan

mengkompensasi

dengan

meningkatkan frekuensi nafas (28x/menit pada skenario) agar CO2 dapat


keluar dan O2 dapat masuk ke tubuh.
Pada kasus tenggelam dapat terjadi asfiksia yaitu berhentinya respirasi yang
efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis
(absence of pulsation). Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana
terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal, mengakibatkan
oskigen darah berkurang (hipoksia) disertai peningkatan kadar karbondioksida
(hiperkapnea).
Pada orang yang mengalami asfiksia, akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam empat stadium, yakni :
1.
Dispnue
Penurunan kadar oksigen sel darah dan penimbunan CO 2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga amplitudo

pernafasan dan frekuensi pernafasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah


meninggi dan mulai tampak tanda sianosis, terutama paada muka dan tangan..
Durasi 4 menit.
2.
Konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik, maka timbul rangsang terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi, semula klonik, tetapi kemudian menjadi kejang tonik
dan akhirnya timbul kejang epistotonik (seperti kejang pada tetanus). Pupil
dilatasi, bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat
syaraf yang letaknya lebih tinggi.
Durasi 2 menit,
3.
Apnue
Pusat pernafasan mengalami depresi yang berlebihan, dengan gejala nafas
sangat lemah atau berhenti, kesadaran menurun, dan akibat relaksasi sfingter
dapat terjadi pengeluaran feses, urin dan sperma
Durasi 1 menit.
4.
Stadium akhir
Paralise total pusat pernafasan, jantung masih berdenyut beberapa saat
postapneu.
Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher.
Efek Terhadap Paru
Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air secara
besar-besaran dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini
dikarenakan tekanan osmotik di dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada
tekanan osmotik di dalam alveolus. Perpindahan tersebut akan menyebabkan
hemodilusi. Air akan memasuki eritrosit, sehingga eritrosit mengalami lisis.
Eritrosit yang mengalami lisis ini akan melepaskan ion kalium ke dalam sirkulasi
darah dan mengakibatkan peningkatan kadar kalium di dalam plasma
hiperkalemi). Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban sirkulasi yang
meningkat akibat penyerapan air dari alveolus dapat mengakibatkan fibrilasi
ventrikel. Apabila aspirasi air cukup banyak, akan timbul hemodilusi yang hebat.
Keadaan ini akan menyebabkan curah jantung dan aliran balik vena bertambah,
sehingga mengakibatkan edema umum jaringan termasuk paru (Kallas H, 2007;
Stevenson et al., 2003; Verive, 2011).
Efek Terhadap Kardiovaskular
Sebagian besar korban tenggelam mengalami hipovolemia akibat peningkatan

permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh hipoksia. Hipovolemia selanjutnya


akan mengakibatkan hipotensi. Keadaan hipoksia ini juga akan mempengaruhi
fungsi miokardium, sehingga dapat terjadi disritmia ventrikel dan asistol. Selain
itu, hipoksemia juga dapat menyebabkan kerusakan miokardium dan penurunan
curah jantung. Hipertensi pulmoner dapat terjadi akibat pelepasan mediator
inflamasi (Stevenson et al., 2003).
Efek Terhadap Susunan Saraf Pusat
Kerusakan pada susunan saraf pusat berhubungan erat dengan lamanya
hipoksemia, dan pasien dapat jatuh dalam keadaan tidak sadar. Efek lain dari
hipoksia diantaranya adalah disseminated intravascular coagulation (DIC),
insufisiensi ginjal dan hati, serta asidosis metabolik. Pada penelitian kasus-kasus
hampir tenggelam dilaporkan terdapat kelainan elektrolit yang ringan. Perubahan
yang mencolok dan penting adalah perubahan gas darah dan asam-basa akibat
insufisiensi respirasi, diantaranya adalah hipoksemia, hiperkapnia,

serta

kombinasi asidosis metabolik dan respiratorik. Kelainan yang lebih banyak terjadi
adalah hipoksemia. Keadaan yang segera terjadi setelah tenggelam dalam air
adalah hipoventilasi dan kekurangan oksigen. Pada percobaan binatang, tekanan
parsial O2 arterial (PaO2) menurun drastis menjadi 40 mmHg dalam satu menit
pertama, menjadi 10 mmHg setelah 3 menit, dan 4 mmHg setelah 5 menit (Kallas
H, 2007; Stevenson et al., 2003).
Disfungsi serebri dapat terjadi akibat kerusakan hipoksia awal, atau dapat juga
karena kerusakan progresif susunan saraf pusat yang merupakan akibat dari
hipoperfusi serebri pasca resusitasi. Hipoperfusi serebri paska resusitasi terjadi
akibat berbagai mekanisme, antara lain yaitu peningkatan tekanan intrakranial,
edema serebri sitotoksik, spasme anteriolar serebri yang disebabkan masuknya
kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah, dan radikal bebas yang dibawa
oksigen (Kallas H, 2007; Stevenson et al., 2003).
Patofisiologi Suhu Turun, Sianosis, Ekstremitas Keriput dan Dingin
Suhu tubuh selalu berusaha dipertahankan pada thermoneutral zone di
antara 36,5oC - 37,5oC. Pengaturan kestabilan suhu tubuh diregulasi melalui
keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas.

Proses kehilangan panas melalui beberapa mekanisme. Radiasi merupakan


mekanisme yang menyebabkan kehilangan panas paling besar, sekitar 55-65%.
Konduksi dan konveksi menyebabkan kehilangan panas sekitar 15% dan sisanya
hilang melalui mekanisme respirasi dan evaporasi. Konduksi dan konveksi
merupakan mekanisme kehilangan panas dengan transfer panas secara langsung
antarobyek sehingga sering menyebabkan hipotermia aksidental. Konduksi
merupakan mekanisme kehilangan panas signifikan pada kasus tenggelam/imersi
dengan konduktivitas air sebesar 30 kali konduktivitas udara.
Kontrol

termoregulasi

oleh

hipothalamus

berlangsung

dengan

meningkatkan upaya pertahanan panas tubuh (vaasokonstriksi perifer dan respon


gerak tubuh) dan produksi panas tubuh (menggigil dan peningkatan kadar hormon
tiroksin dan epinefrin.
Ketika seseorang telah masuk ke dalam fase hipotermia, seluruh sistem
organnya dapat terganggu. Diperkirakan bahwa efek yang paling signifikan
dialami oleh sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat (Li, 2013a). Hipotermia
dapat diklasifikasikan menjadi:
a) Mild Hypothermia (32-35oC)
Di antara suhu 34-35oC, seseorang akan menggigil hebat, biasanya akan
nampak pada semua ekstremitas. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah
hiperventilasi, takipnea, dan takikardia.
b) Moderate Hypothermia (28-32oC)
Pada rentang suhu ini, konsumsi oksigen akan meningkat dan lebih lanjut
dapat terjadi depresi pada sistem saraf pusat. Gejalan lain yang nampak
adalah hipoventilasi, hiporleksia, dan penurunan kerja ginjal.
c) Severe Hypothermia (<28oC)
Pada suhu 28oC, terjadi fibrilasi ventrikel dan depresi kontraktilitas
miokardium pada tahap lebih lanjut. Di bawah 27 oC, seseorang akan masuk
ke dalam fase comatose. Gejala lain yang nampak adalah edema pulomonal,
oliguria, koma, hipotensi, apnea, dan arefleksia (Li, 2013b).

B.

Klasifikasi Tenggelam
Klasifikasi tenggelam sangat bervariasi, namun pada tahun 2002 para ahli

telah membuat konsensus baru pada World Congress on Drowning di Amstredam


untuk tenggelam untuk mengurangi kebingungan tentang tenggelam selama ini.
Berikut ini adalah beberapa pengertian tentang tenggelam sebelum 2002:
Drowning: kematian akibat asfiksia dalam 24 jam pada penderita yang tenggelam
Near drowning: penderita tenggelam yang selamat dari episode akut setelah 24
jam periode menyelam dan berisiko besar mengalami disfungsi organ berat
dengan mortalitas tinggi.
Sedangkan berikut ini merupakan hasil konsensus mengenai tenggelam
dari World Congress on Drowning:
Klasifikasi Tenggelam
a. Dry Drowning, yaitu kematian sebelum menghirup air. Tenggelam
kering dapat terjadi jika tenggelam air tawar ataupun air asin. Pada
keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran nafas, tetapi saat air akan
masuk kedalam saluran nafas, terjadi spasme laring yang menyebabkan
tertutupnya jalan nafas.
b. Wet drowning, yaitu:kematian terjadi sesudah menghirup air.
Padakeadaan ini cairan memasuki saluranpernafasan korban
c. Secondary drowning, yaitu: terjadi beberapa hari setelah korban
tenggelam dan diangkat dari air. Korbanmeninggal karena komplikasi
yang diakibatkan tenggelam , seperti aspirasi,

pneumonia, dan

ketidakseimbangan elektrolit.
d. Cold immersion syndrome/immersion syndrome, yaitu: saa seseorang
tenggelam dalam air dingin, reseptor suhu pada kulit teraktivasi secara
tiba-tiba dan dapat menginhibisi refleks vagal yang menyebabkan
terhentinya nafas dan jantung tiba-tiba.
C.

Interpretasi Pemeriksaan

Korban tampak lemah, penurunan kesadaran, saturasi oksigen


Saturasi oksigen adalah presentasi oksigen yang berikatan

dengan

hemoglobin dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 100 %.


Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :
1). Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan
hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena SaO2

rendah ditandai dengan sianosis . Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non
invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Meski
oksemetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri,
oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk

oksimetri

memantau pasien terhadap

perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak


2). Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak
mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah 60%,
menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan

oksigen, dan iskemik

penyakit terjadi.
3). Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi inframerah
dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi jaringan
dalam berbagai kondisi.
4). Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat

kejenuhan

oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa perangkat.


Saturasi oksigen yang rendah menunjukkan bahwa hanya sedikit oksigen
yang berikatan dengan hemoglobin. Hal ini mengakibatkan rendahnya hantaran
oksigen ke seluruh sel tubuh. Yang juga nantinya berdampak pada jaringan dan
organ. Oleh karena kurangnya asupan oksigen ke jaringan-jaringan maka pasien
akan merasakan lemah dan lemas.
Otak merupakan salah satu organ yang sangat membutuhkan oksigen dan
glukosa untuk kelangsungan fungsi. Oleh sebab itu ketika saturasi oksigen rendah
maka akan mengganggu kerja otak. Pasien dapat mengalami penurunan
kesadaran, yang mana pada pasien dalam skenario ditandai dengan pemeriksaan
GCS didapatkan E2V2M3
Interpretasi Terdengar Gargling, Auskultasi Paru Terdengar Ronkhi
Basah di Kedua Hemithoraks, Abdomen Tampak Distensi
Korban tenggelam akan menelan banyak air, pergerakan sistem
pernapasan korban menjadi sangat aktif, tapi tidak ada pertukaran gas karena
sumbatan pada larynx. Sumbatan ini nantinya dapat diketahui dengan adanya
suara gargling. Cairan yang masuk ke dalam paru pada auskultasi akan

menghasilkan suara ronkhi basah. Selain cairan masuk ke dalam saluran


pernapasan, cairan juga masuk ke dalam sistem pencernaan. Masuknya cairan ini
dapat mengakibatkan adanya distensi abdomen ada korban.
Interpretasi pasien hipotensi, takikardi, takipneu, dan apneu setelah
pemasangan EKG
Pada korban tenggelam, aspirasi sebanyak 1-3 ml/kg air dapat
menyebabkan surfaktan rusak, menurunnya kemampuan ventilasi/perfusi (V/Q
mismatch), menurunnya kapasitas residu fungsional (FRC) dan edema paru
menyebabkan kegagalan dalam pertukaran gas yang signifikan. Kegagalan
pertukaran gas yang signifikan ini menyebabkan terjadinya penurunan O2 dalam
darah sehingga menyebabkan hipoksia jaringan. Hipoksia yang terjadi terus
menerus menyebabkan terjadinya takikardi (140x/ menit pada skenario),
takipneu (28x/ menit), retraksi intercostal, nasal flare, wajah sianosis, keringat,
dan pucat (Mark Harries,2010; Suzanne & William, 2009). Tubuh akan
mengkompensasi dengan meningkatkan frekuensi nafas (28x/menit pada
skenario) agar CO2 dapat keluar dan O2 dapat masuk ke tubuh.
Pada kasus tenggelam dapat terjadi asfiksia yaitu berhentinya respirasi
yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis
(absence of pulsation). Pada asfiksia fase dispnue terjadi penurunan kadar oksigen
sel darah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan
di medulla oblongata, sehingga amplitudo pernafasan dan frekuensi pernafasan
meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda
sianosis, terutama pada muka dan tangan.
Pada asfiksia fase konvulsi terjadi rangsang terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi, semula klonik, tetapi kemudian menjadi kejang tonik
dan akhirnya timbul kejang epistotonik (seperti kejang pada tetanus). Pupil
dilatasi, bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat
syaraf yang letaknya lebih tinggi. Pada skenario, pasien mengalami asfiksia fase
dispneu menuju fase konvulsi. Setelah pemasangan EKG, pasien memasuki fase
apneu.
Interpretasi Suhu Turun, Sianosis, Ekstremitas Keriput dan Dingin

Seseorang yang tenggelam akan mengalami proses kehilangan panas


melalui mekanisme konduksi akibat berkontak langsung dengan air dingin
sehingga suhu tubuh orang tersebut akan menururn untuk menyesuaikan dengan
suhu air. Hal ini menyebabkan tubuh akan mengompensasi kehilangan panas
terseut dengan melakukan vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga aliran
darah ke ujung ekstremitas, seperti pada jari-jari kaki dan tangan, berkurang
sehingga kulit akan menjadi pucat dan keriput.
Pada orang yang tenggelam, hipoksemia dapat terjadi karena suplai
oksigen dalam darah menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh paru-paru yang tidak
dapat berfungsi dengan baik akibat dari penimbunan cairan ataupun kerusakan
surfaktan. Cairan yang tertimbun di dalam paru-paru akan menyebabkan
pengembangan paru menjadi tidak sempurna. Selain itu, kerusakan surfaktan akan
menyebabkan elastisitas alveoli berkurang sehingga pengembangannya juga
terganggu. Hal-hal inilah yang menyebabkan hipoksemia pada orang yang
tenggelam. Hipoksemia juga berkaitan dengan penurunan saturasi oksigen, yang
menandakan kemampuan pengikatan oksigen oleh darah menurun. Manifestasi
klinis yang dapat nampak adalah sianosis, misalnya pada ujung-ujung ekstremitas
dan bibir.
D.

Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Definisi
Suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi
jantung serta menangani akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi tersebut
pada orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu (Permady, 2013).
Indikasi
1. Korban tidak responsif, tidak bernapas
2. Tidak bernapas normal (hanya gasping)
3. Ditemukan korban tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri dengan 2 keadaan
seperti di atas (Permady, 2013).
Kontraindikasi
1. DNAR (do not attempt resuscitation)
2. Tidak ada manfaat fisiologis karena fungsi vital telah menurun

3. Ada tanda kematian yang ireversibel (rigormortis/kaku mayat, dekapitasi,


dekomposisi, atau pucat) (Permady, 2013).
Prosedur
1. Recognition and Activation of Emergency Response
Tanggap darurat segera dan inisiasi RJP membutuhkan pengenalan
segera terhadap kondisi henti jantung yang dialami korban. Korban yang
henti jantung tidak responsif, tidak ada napas, atau napasnya tidak normal.
Penolong harus segera memulai RJP apabila korban mengalami kondisi
tersebut (Travers et al., 2010).
2. Chest compression
Inisiasi segera dari kompresi dada yang efektif merupakan aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan peluang
keselamatan korban melalui perbaikan sirkulasi jantung dan otak. Cara
kompresi dada yang benar yaitu :
a. Frekuensi minimal 100 kali/menit
b. Kedalaman adekuat yaitu 2 inchi (5 cm)
c. Memberikan kesempatan dinding dada untuk recoil sempurna untuk
setiap kompresi
d. Meminimalisir interupsi saat kompresi
Bila penolong lebih dari satu orang, sebaiknya dilakukan rotasi
dalam melakukan kompresi setiap 2 menit (Travers et al., 2010).
3. Airway and Ventilation
Membuka jalan napas (dengan head tilt-chin lift atau jaw thrust)
diikuti dengan pemberian napas buatan dapat memperbaiki oksigenasi dan
ventilasi korban. Manuver membuka jalan napas dan ventilasi hanya
boleh dilakukan oleh orang yang terlatih. Penolong yang tidak terlatih
hanya diperbolehka melakukan RJP kompresi dada (Travers et al., 2010).
4. Defibrillation
Peluang korban selamat akan menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Oleh karena itu defibrilasi
tetap merupakan dasar terapi untuk ventricular fibrillation dan pulseless
ventricular tachycardia. Salah satu penentu keberhasilan defibrilasi adalah

keefektivan dari kompresi dada. Hasil dari defibrilasi akan semakin baik
bila interupsi selama kompresi dada dapat diminimalisir (Travers et al.,
2010).
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Pre-hospital
Penatalaksaan korban tenggelam dapat dibagi menjadi 2 yaitu tindakan
darurat dan tindakan definitif.
a. Tindakan darurat
- Tindakan terpenting

dalam

setiap

peristiwa

tenggelam

adalah

mengembalikan fungsi ventilasi yang efektif dan mempertahankan


-

sirkulasi (Purwadianto, A dan Sampurna, B., 2000).


Dalam Guidelines Adult Basic Life Support, AHA 2010 menyebutkan
bahwa penolong harus segera melakukan CPR (Cardiopulmonary
Resuscitation), khususnya penyelamatan pernapasan / ventilasi secepat
mungkin jika tidak ditemukan denyut nadi pada arteri karotis / arteri
femoralis. Ketika menyelamatkan korban tenggelam (berapapun usianya),
jika hanya ada satu orang penolong maka ia harus melakukan CPR selama
5 cycles (kira-kira 2 menit) sebelum memanggil bantuan EMS (Emergency

Medical Services).
Selain itu, dalam Guidelines Adult Basic Life Support, AHA 2010 juga
menyebutkan bahwa manuver untuk mengeluarkan benda asing yang
menyumbat jalan napas pada korban tenggelam tidak direkomendasikan
karena dapat menyebabkan korban menjadi muntah, trauma, aspirasi, dan

penundaan untuk melakukan CPR.


b. Tindakan definitif
- Setelah kesadaran dan pernapasan spontan pulih, harus dijaga agar jalan
-

napasnya selalu bebas.


Pernderita diletakkan miring dengan kepala lebih rendah.
Pada tenggelam di air laut, tindakan pernapasan buatan harus dilanjutkan
beberapa saat untuk mencegah edema paru.
Koreksi keseimbangan asam basa, elektrolit, dan pemberian obat:
Na bikarbonat 1-2 mEq/kgBB secara i.v
Antibiotik untuk mencegah/mengobati infeksi paru

Kortikosteroid untuk mencegah edema otak dan memperbaiki


surfaktan paru, misalnya kortison 4 x 100 mg/hari i.m dengan

tapering off.
Bila perlu lakukan tranfusi darah untuk mengatasi hemolisis akibat
tenggelam di air tawar atau pemberian plasma pada hemokonsentrasi
akibat tenggelam di air laut (Purwadianto, A dan Sampurna, B., 2000).

Cedera spinal sangat jarang terjadi pada korban tenggelam. Namun jika
terdapat tanda-tanda trauma yang jelas, riwayat intoksikasi alkohol sebelum
tenggelam, atau riwayat menyelam di perairan dangkal, penolong harus
mempertimbangkan kemungkinan terjadinya trauma spinal (AHA, 2010).
Korban tenggelam yang asimtomatis hendaknya tetap dimonitor karena
dapat terjadi peristiwa secondary drowning di mana manifetasi klinis akibat
tenggelam baru muncul. Hal ini dapat terjadi dalam 6-8 jam setelah peristiwa
tenggelam. Jik hasil pemeriksaan fisik pasien normal, nilai GCS (Glasgow Coma
Scale) 13, dan saturasi oksigen > 95% maka pasien boleh pulang setelah 6 atau
8 jam setelah peristiwa tenggelam (Stone, CK., Humphries, R., 2004).
Namun Shepherd, SM., dan Shoff, WH., 2010 menyebutkan bahwa setiap
pasien tenggelam harus dimonitor minimal selama 24 jam meskipun pasien sadar.
Hal ini dilakukan untuk memantau kemungkinan terjadinya manifestasi klinis
yang muncul terlambat.
Penatalaksanaan di Rumah Sakit
Pada tahun 1960an dan 1970an dilakukan banyak sekali penelitian
mengenai

patofisiologi, evaluasi, dan

managemen tenggelam, termasuk

dikembangkannya sistem scoring mengenai evaluasi pasien tenggelam. Namun


hal tersebut kurang memuaskan dan tidak dapat dikembangkan dengan resusitasi
otak dan jantung. Managemen awal untuk pasien tenggelam adalah dengan
melakukan

resusitasi

dan

penatalaksanaan

dari

kegagalan

pernafasan.

Pemeriksaan neurologis rutin juga harus dilakukan. GCS merupakan salah satu
pemeriksaan neurologis yang sering dilakukan dan sangat efektif untuk

diterapkan. Hal tersebut dilakukan untuk memperkirakan terjadinya cedera saraf


pusat yang dapat terjadi. Evaluasi cedera lain akibat tenggelan juga harus
dilakukan dengan segera, salah satu contohnya adalah cedera servikal. Cedera
servikal dapat mempengaruhi jenis penatalaksanaan menegemen airway yang
dilakukan (Warner et al, 2009).
Selama proses evaluasi pasien tenggelam diperlukan pemberian oksigen
100%. Pada pasien dalam keadaan sadar, cooperative dan hypoxia ringan dapat
dilakukan intubasi awal dengan PEEP atau CPAP/ bilevel positive airway pressure
(BiPAP). Apabila psien dalam keadaan sadar namun tidak dapat mempertahankan
saturasi oksigen dalam tubuhnya setelah dilakukan intubasi dengan masker
oksigen ataupun melalui CPAP, maka dapat diindikasikan untuk intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik. Berikut ini adalah criteria untuk memberikan
intubasi endotrakea pada pasien :
1. Terjadi

penurunan

kesadaran,

dan

ketidakmampuan

dalam

mempertahankan airway
2. Meningkatnya gradient alveolar-arterial (A-a) : paO2 kurang dari 603.

80 mmHg pada 15 L masker oksigen nonrebreathing.


Kegagalan sistem pernafasan (Respiratory Failure) : PaCO2 > 45
mmHg (Warner et al, 2009).

Apabila kondisi pasien memburuk maka harus segera dilakukan transfer


atau perujukan pasien pada bagian spesialisasi tertentu. Hal tersebut dilakukan
apabila ditemukan keadaan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hipoksia yang signifikan


Dyspnea yang semakin memburuk
Ditemukan adanya cedera cerebral hipoksia
Ditemukan adanya insufisiensi renal
Ditemukan adanya hemolisis
Hipothermia berat yang membutuhkan bypass kardiopulmonar

Pada pasien tenggelam juga diperlukan monitoring jangka panjang umtuk


menilai keberhasilan penatalaksanaan dan mencegah adanya komplikasi lebih
lanjut. Setelah recovery awal pada pasien tenggelam dapat timbul adanya infeksi
nonpulmonar meliputi abses otak, osteomyelitis dan infeksi soft-tissue. Untuk itu

perlu

dilakukan

monitoring

terjadinya

infeksi

ada

pasien

tersebut.

Penatalaksanaan infeksi pada pasien tenggelam adalah dengan memberikan


antibiotik. Namun, apabila terapi dengan antibiotik tidak mampu mengontrol
terjadinya infeksi, diperlukan konsultasi pada bagian bedah. Sedangkan pada
pasien tenggelam dengan gangguan neurologis diperlukan terapi rehabilitasi untuk
memperbaiki gangguan neurologisnya (Samuelson et al, 2008).

Jump 4
Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3.
Laki Laki
Berusia 17 tahun
Pasien tiba-tiba
apnoe

Keluhan Utama:
Tenggelam di
kolam renang

Pasien tenggelam
20 menit yang lalu,
pasien dalam
kondisi tidak sadar

Pemeriksaan fisik:
- Pasien tampak lemah, Kesadaran menurun, GCS :
7
- Tekanan darah 90/50, laju nadi 140x/menit,
Frekuensi nafas 28x/menit, nafas tampak lemah
- Saturasi oksigen 80%, suhu tubuh 34,7o C, bibir
dan mukosa tampak sianosis
- Terdapat Ronki kasar di kedua hemithoraks
- Abdomen distensi, ekstremitas pasien tampak
keriput dan teraba
dingin
Pemeriksaan
penunjang:
- EKG sinus takikardi normoaksis

Jump 5
Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai patofisiologi pasien
tenggelam.
2. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai penatalaksanaan pasien
tenggelam
3. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai klasifikasi tenggelam

Jump 7
Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
Pasien datang dengan keluhan utama tenggelam pada 20 menit yang lalu.
Faktor penting yang banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
tenggelam adalah terjadinya hipoksemia dan asidosis serta efek kerusakan
multiorgan yang ditimbulkan akibat dari kelainan tersebut. Kerusakan sistem saraf
pusat dapat terjadi akibat adanya hipoksemia pada pasien tenggelam. Pada saat

pasien tenggelam, reaksi awal yang dilakukan berupa usaha bernapas hingga batas
kemampuan dicapai, batas kemampuan yang dicapai tersebut adalah pada tingkat
PaCO2 dibawah 55 mmHg saat terjadi hipoksia dan PaO2 dibawah 100 mmHg
saat PCO2 tinggi. Apabila melebihi batas yang ditentukan maka akan
menyebabkan seseorang akan menarik nafas secara involunter sehingga
menyebabkan spasme laring. Akibatnya terdapat penghirupan air yang besar
sehingga dapat masuk melewati paru-paru, selain itu air juga dapat tertelan hingga
dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan dapat terjadi distensi apabila terjadi
penelanan air secara terus-menerus. Reaksi awal lain yang terjadi akibat adanya
air yang masuk adalah terjadinya reflek vagal yang mengaktifkan saraf simpatis
yang dapat memicu terjadinya cardiac arrest.
Apabila air telah mencapai paru-paru terdapat perbedaan mekanisme
patofisiologi yang diakibatkan tertelannya air tawar dan air laut. Apabila air tawar
masuk ke dalam paru-paru maka akan dapat menyebabkan terjadinya pembilasan
surfaktan pada alveolus yang dapat menyebabkan terganggunya proses pertukaran
oksigen dan karbondioksida dalam alveolus. Adanya cairan bebas ekstraseluler
pada alveolus akan menyebabkan absorbsi air ke dalam sistem sirkulasi dan dalam
waktu yang singkat dapat meningkatkan volume darah hingga 30% dalam menit
pertama. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gagal jantung karena jantung tidak
dapat berkompensasi dengan cepat terhadap volume darah yang sangat besar.
Hipertensi pada pembuluh pulmoner dapat menimbulkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi yang berakibat timbulnya edema paru. Sedangkan apabila air
laut yang masuk kedalam paru paru maka akan meningkatkan tekanan osmosis
yang berakibat pada keluarnya cairan kedalam alveolus sehingga dapat
menyebabkan pembilasan surfaktan.
Korban tenggelam tidak mendapatkan udara untuk bernafas dan tidak
dapat melakukan pertukaran udara pernafasan, sehingga kadar oksigen tidak
tercukupi dan kadar karbondioksida tidak dapat dikeluarkan. Korban menjadi
hiperkarbia, hipoksemia dan asidosis. Pergerakan pernafasan korban menjadi
sangat aktif, namun tidak terjadi pertukaran gas akibat sumbatan air pada laryng.
Sumbatan tersebut akan menimbulkan terjadinya gargling. Akibat menurunnya
PaO2 dalam dalam tubuh makan akan terjadi kompensasi dengan meningkatkan

frekuensi pernafasan agar kebutuhan oksigen tercukupi. Untuk mencegah


terjadinya hipoksia jaringan akibat berkurangnya oksigen dalam darah makan
tubuh melakukan kompensasi dengan meningkatkan denyut jantung (takikardi).
Sebagian besar korban tenggelam mengalami hipovolemia akibat
peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh hipoksia. Oleh karena itu,
hipovolemia dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Seseorang yang tenggelam
akan mengalami proses kehilangan panas melalui mekanisme konduksi akibat
berkontak langsung dengan air dingin sehingga suhu tubuh orang tersebut akan
menururn untuk menyesuaikan dengan suhu air. Hal ini menyebabkan tubuh akan
mengompensasi kehilangan panas terseut dengan melakukan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer sehingga aliran darah ke ujung ekstremitas, seperti pada
jari-jari kaki dan tangan, berkurang sehingga kulit akan menjadi pucat dan
keriput.
Satu dari tiga korban tenggelam mengalami gangguan neurologis. Hal
tersebut disebabkan oleh derajat hipoksemia yang diderita. Otak merupakan organ
penting yang membutuhkan banyak oksigen untuk metabolismenya. Pada anakanak, dua menit setelah imersi, seorang anak dapat mengalami kehilangan
kesadaran. Kerusakan otak yang ireversibel terjadi apabila imersi terjadi selama 46 menit. Sebagian besar anak-anak akan meninggal setelah 10 menit mengalami
imersi. Penatalaksanaan pada

pasien tersebut

dapat

dibagi

dua yaitu

penatalaksanaan pada prehospital dan hospital.

Kulit Keriput,
Suhu menurun

Tidak Mampu
melakukan Pernafasan

Sumbatan Sistem
pernafasan
Gurgling
Edema Paru

Vasokontriksi
pembuluh
darah

Kontak dengan
suhu dingin

Pasien
Tenggelam

Usaha Nafas

Reflek Vagal

Laryngospasme

Pengaktifan Saraf
Simpatis

Air Masuk dalam


sistem pernafasan

Air Masuk dalam


sistem pencernaan

Cardiac Arrest

Dapat Menyebabkan
Distensi Abdomen
Aspirasi Lambung
Peningkatan volume
darah di pembuluh
Kerusakan Surfaktan
Kompensasi tubuh dengan
Kerusakan Sistem Saraf
Alveoli
takikardi
dan takipnea
Gangguan
Hipoksemia
Penurunan
Saturasi
Pertukaran
O2dan
Kesadaran
menurun
Asidosis
O2 dandarah
CO2paru
Tiba-tiba
Apnea
Hipertensi
Decomp
Pulmonal
Cordis
Pusat
Masuk sampai Pulmo
px Ronki kasar

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tenggelam merupakan salah satu contoh kasus kedaruratan yang harus
segera ditangani. Penyebab morbiditas dan mortalitas pasien tenggelam
adalah terjadinya hipoksemia dan asidosis serta kegagalan multiorgan
yang disebabkan oleh hal tersebut.
2. Penatalakasanaan pasien tenggelam

terdiri

dari

penatalaksanaan

prehospital care dan hospital care. Penatalaksanaan hospital care meliputi


penatalaksanaan emergency department care. Dalam penatalaksanaan
pasien tenggelam perlu dilakukan dengan prinsip-prinsip patient safety.
B. Saran
1. Pada pasien dengan kedaruratan seperti pasien tenggelam diperlukan terapi
penanganan segera setelah sampai di rumah sakit. Penanganan tersebut
adalah dengan memberikan resusitasi dengan segera, menilai adanya
kelainan neurologis dan mengevaluasi adanya cedera lain yang dapat
mempengaruhi pemilihan penatalaksanaan pasien tenggela. Pemberian
masker oksigen dan intubasi diperlukan untuk meningkatkan kadar
oksigen pasien.
2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus
dikuasai untuk pasien kedaruratan (salah satunya pasien tenggelam) dan
berikanlah penatalaksanan sesuai prioritas dan pertimbangan prinsipprinsip patient safety.

DAFTAR PUSTAKA
American

Heart

Association.,

Resuscitation

and

2010.

Guidelines

Emergency

for

Cardiopulmonary

Cardiopulmonary

Care,

www.circ.ahajournals.org didownload pada tanggal 18 Oktober 2010


Budiyanto A, dkk (1997). Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik,
FK UI, Hal: 55-70.
Dahlan S (2000). Ilmu kedokteran forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum, Badan Penerbit Undip, Hal:107-124.
Idries, Abdul Munim (1997). Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta:
Binarupa Aksara, pp: 170-190.
Li James (2013). Hypothermia. http://emedicine.medscape.com/article/770542overview#a0104 - diakses 24 Mei 2014.
Li James (2013a). Hypothermia. http://emedicine.medscape.com/article/770542clinical#a0217 - diakses 24 Mei 2014.
Kallas H (2007). Drowning and near drowning. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders;. h. 321-30.
Knight B (1996). Forensic Pathology, 2nd Edition. New York: Oxford University
Press Inc, pp: 345-360.
Mark Harries (2010). Near drowning. New England Journal of Medicine,
337:1545.
Miller RD, ed. Anesthesia. 5th ed. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 2000:
14161417.
Modell JH, Gaub M, Moya F, et al. Physiologic effects of near drowning with
chlorinated

fresh

water,

distilled

water,

and

isotonic

saline.

Anesthesiology. 1966; 27: 3341.


Modell JH, Graves SA, Ketover A. Clinical course of 91 consecutive neardrowning victims. Chest. 1976; 70: 231238.
Papa L, Hoelle R, Idris A. Systematic review of definitions for drowning
incidents. Resuscitation. Jun 2005;65(3):255-64.
Permady R (2013). Resusitasi jantung paru (RJP) cardio pulmonary resuscitation
(CPR). http://www.hetfkunand.org/uploads/1/2/5/7/12573182/rjp.pdf
(Diakses 25 Mei 2014).
Purwadianto, A dan Sampurna, B., 2000, Kedaruratan Medik : Pedoman
Penatalaksanaan Praktis, Binarupa Aksara : Jakarta Barat

Raghavan

VA.

2014.

Diabetic

Ketoacidosis.

http://www.emedicine.medscape.com/article/118361 (diakses pada 20


Mei 2014)
Samuelson H, Nekludov M, Levander M. Neuropsychological outcome following
near-drowning in ice water : Two adult case study. J Int Neuropsychol
Soc. Jul 2008 ; 14(4):660-81
Schwartz MW (2005). Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC, pp:290-291.
Simpson, K (1979). Forensic Medicine, Eighth Edition. The English Language
Book Society an Edward Arnold (Publishers) Ltd, pp: 91-112.
Stevenson M, Rimajova M, Edgecombe D, Vickery K (2003). Childhood
drowning: barriers surrounding private swimming pools. Pediatrics:111;e
115-9.
Stone, CK., Humphries, R., 2004. Current Emergency : Diagnosis & Treament,
Edisi kelima, The McGrw-Hill Companies, Inc : Amerika Serikat
Suzanne MS, William HS, (2009).Drowning.eMedicine Emergency Medicine.
Travers AH, Rea TD, Bobrow BJ, Edelson DP, Berg RA, Sayre MR, Berg MD, et
al (2010). Part 4: CPR overview: 2010 American Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122: 676-684.
Van Beeck EF, Branche CM, Szpilman D, Modell JH, Bierens JJ. A new definition
of drowning: towards documentation and prevention of a global public
Verive

health problem. Bull World Health Organ. Nov 2005;83(11):853-6


MJ.
Near
Drowning
Tersedia

dari:

http://emedicinemedscapecom/article/908677-overview - Diunduh 28
Juli 2011.
Warner DS, Bierens JJ, Beerman SB, Katz LM. Drowning : a cry for help.
Anethesiology. Jun 2009;110(6):1121-3

Anda mungkin juga menyukai