seperti biasanya kali ini si gadis berdiri dengan agak kikuk. Mungkin karena ter
ingat pada peris-tiwa kemarin malam yaitu saat dimana mereka
kakekmu?"
ma Brahmana sesat.
keburu melihatnya. Dan berserulah resi itu: "Kawan-kawan Kita berhasil menemui m
ereka Aku
Di dalam rumah....
"Wulan"
"Ya, Mahesa...." Wulansari keluar dari dalam kamar dengan pedang di tangan. Meli
hat air
lambat"
lari jauh"
yang menurun.
"Celaka" kata Mahesa Kelud. "Di tempat terbuka ini mereka pasti bisa menyusul ki
ta Percepat larimu, Wulan"
diri itu.
sia itu mereka sekaligus berhasil memperjauh diri dari para pengejarnya.
ti tertawan oleh mereka" kata Mahesa sambil terus lari dengan terhuyung-huyung.
nama gurunya.
seru Wulansari.
itu. "Binatang keparat" maki Waranganaya dengan geram sambil menendang binatang
itu
da itu berseru.
"Mahesa, lihat"
gan ini bersih sekali. Di sini tidak terdapat nyala api ataupun pelita atau sina
r matahari yang masuk dari luar tapi anehnya ruangan tersebut te-
jadi-jadian. Mungkin...."
suara yang keras. "Anak cucu pemberontak Kalian keluarlah baik-baik. Kalau tidak
kalian akan berkubur di dalam gua ini" Yang berteriak ini adalah Waranganaya To
teng.
"Diamlah," bisik Mahesa. "Siapa tahu mereka tidak benar-benar pasti bahwa kita b
erada di sini." "Bangsat-bangsat kecil" terdengar lagi suara Waranganaya Toteng.
"Jangan bikin kami
kakinya.
"Hai, awas" teriak Mahesa Kelud memberi ingat pada sang rusa. Jangankan seekor r
usa,
kainya? Dengan rasa tak percaya sang resi berdiri kembali di depan gua dan kebut
kan rumbai-rumbai. Ikatan jubah hitamnya. Hal yang sama
pucat sekali"
ini"
DUA
rusa itu.
rang di ruangan itu. "Berdiri... berdirilah anak-anak muda Jangan menyembah pada
rusa itu,
ra seorang laki-laki tapi orangnya sama sekali tidak terlihat. Kedua anak muda i
ni memandang
reka dan sang anak rusa saja yang ada dan bina-
itu yang bicara, pikirnya, tapi ketika diperhatikan si binatang masih tetap dudu
k di atas batu karang putih seraya menjilat-jilat kakinya.
diri..." terdengar suara jawaban menggema di dalam ruangan batu karang yang tera
ng dan bersih
ma kasih...."
"Suara tanpa rupa," kata Mahesa, "Kami rasa kau cukup maklum apa yang telah terj
adi
ini." "Tidak apa... tidak apa. Aku memang suruh anak rusa peliharaanku itu untuk
membawa kalian masuk ke sini. Kalau kalian merasa letih, kalian duduklah"
kalian?"
pikir Mahesa.
tunggu kalian...."
lumnya Berdirilah"
di sana.
sari. Gadis ini yang tidak kalah terkejutnya cepat-cepat melompat mundur. Hampir
saja pakaiannya
kelit "Mahesa, Wulansari..." terdengar suara menggema dalam gua. "Mengapa kalian
diam sa-ja? Layanilah Joko Cilik, anak rusa peliharaanku
itu" Mahesa dan Wulansari sama terkejut dan saling pandang karena tidak menyangk
a sama
Joko Cilik dan lebih tidak percaya lagi kalau binatang kecil inilah yang harus m
ereka hadapi seba-
lum berhasil "menyentuh" tubuh Joko Cilik barang satu kalipun Benar-benar binata
ng luar bi-
dang kalian"
tengah "akrobat", anak rusa itu melompat kian kemari, jungkir sana jungkir sini,
menyeruduk
itu
menggetarkan ruangan. "Kalau kalian tidak berhasil mengalahkan Joko Cilik, itu b
ukan berarti
lian, pernah seorang pertapa sakti tersesat ke sini dan berhadapan dengan Joko C
ilik. Mereka bertempur seru, sesudah dua puluh jurus dan perta-
lian..." Mendengar itu maka senanglah hati kedua muda mudi tersebut. Ruangan bat
u karang empat
haraannya.
jutnya...." Setelah Mahesa Kelud dan Wulansari duduk di tempat yang diperintahka
n maka suara
tanpa rupa itu terdengar pula. "Anak-anak muda, aku adalah manusia biasa tak uba
hnya seperti
ratan jika kalian memanggilku seperti yang kalian sebut tadi yaitu Suara Tanpa R
upa. Mulai hari ini aku angkat kalian menjadi murid-muridku. Aku
juru Angin". Sepasang pedang itulah yang akan membimbing kalian untuk memiliki k
epandaian
yang lebih tinggi, di atas setiap orang yang pandai akan selalu ada lagi seorang
lain yang lebih pandai, demikianlah seterusnya. Ketiga atau yang te-
sakti. "Mahesa dan Wulansari, dengar dahulu. Bilamana kalian sudah menguasai ilm
u Dewa Pe-
menerangkan Mahesa.
bagian hulunya."
juk...." Mendengar ucapan sang guru Mahesa kuatkan diri, bertahan sampai sekujur
tubuhnya ba-
sah oleh keringat. Ternyata betul. Perlahan-lahan hawa panas meredup lalu sirna.
Kini terasa ada
suki tubuhmu...."
"Benar guru," jawab Mahesa. Saat itu dirasakannya secara aneh tubuhnya menjadi s
egar
"Mahesa muridku," terdengar Suara Tanpa Rupa berucap. "Ketahuilah, aliran panas
tadi masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala ke-
pedang merah."
senjata itu ke atas. Ternyata pedang ini juga berwarna merah dan bentuknya tiada
beda dengan
"Murid-muridku," terdengar suara si orang sakti. "Keluarkan pedang yang tadi kal
ian bawa ke sini dan masukkan ke dalam lubang lalu timbun dengan pasir merah itu
. Senjata itu tidak ka-
dalam tanah...."
pasir dan ditutup dengan batu karang licin seperti sediakala. Selesai mereka men
gerjakan itu maka
ingat baik-baik yaitu selama kalian belajar di sini sekali-sekali tidak boleh me
ninggalkan gua"
"Tapi guru..." kata Wulansari sambil memandang berkeliling, "Jika kami tidak dip
erke-nankan keluar dari gua ini, bagaimana kami ma-
kan?" "Wulan, ingatanmu ke perut saja" kata Suara Tanpa Rupa dengan tertawa berg
elak. "Tapi muridku, kalian tak usah khawatir. Joko Cilik
tih diri"
TIGA
tapi kaki belakangnya sebelah kiri pincang. Kedua murid Suara Tanpa Rupa menghen
tikan latihan
persendian tulangnya.
ten. "Setan busuk kesasar" semprot Mahesa Kelud pada Braja Kunto. "Kalau bicara
jangan seenak perutmu Kalian datang ke sini mau apa?"
tangan di muka dada dan renggangkan kaki. "Siluman bermulut besar, kami datang k
e sini untuk
nya ketika melihat ada seorang gadis jelita berdiri dihadapan mereka.
ran" Semua orang tertawa kecuali Mahesa dan Wulan. Si gadis sendiri menjadi mera
h mukanya
kaki, tidur" kata Braja Kunto mengejek. Bersamaan itu tangan kirinya dipakai men
dorong Ma-
ras ke bawah ketiak laki-laki itu. Cepat-cepat Bra-ja Kunto tarik pulang tangann
ya. Dari angin pu-
Toteng ini.
"Kawan-kawan Keroyok"
tersambar pedang
kepandaian jauh lebih tinggi itu, dia sudah tidak punya nyali tak punya harapan.
Akhirnya dia
mendapat akal juga. Dia berseru: "Tahan" dan bersamaan itu melompat keluar dari
kalangan
"Harap maafkan kami. Terus terang kami akui kesalahan dan tidak tahu diri sampai
berani turun
dapanku"
mereka menggema.
li" Mahesa Kelud dan Wulansari saling pandang tak mengerti. Keduanya masih belum sad
ar
guru. "Murid-muridku, sayang sekali.... Kalian baru satu tahun berada di sini ta
pi kalian sudah
menjura. "Guru" seru Mahesa. "Harap maafkan kami karena telah keluar dari gua da
n melanggar
gar larangan...."
mata berlinang-linang.
ni, muridku," jawab Suara Tanpa Rupa. "Yang ada hanyalah larangan yang telah dil
anggar. Manusia
"Guru," kata Mahesa, "demi kesalahan yang kami telah buat, kami berani mengadu n
yawa untuk menghadapi mereka."
ka telah melanggar larangan. "Guru," kata Mahesa, "sebelum pergi murid inginkan
beberapa pen-jelasan. Mudah-mudahan guru sudi menerang-
pergilah..."
bahu si gadis. "Wulan, tak usah menangis. Mari sama kita tabahkan hati dan kuatk
an jiwa. Ini
lanya ke dada si pemuda yang bidang. "Tapi Mahesa..." katanya perlahan dan sayu,
"satu tahun itu lama sekali. Aku tak sanggup berpisah sekian
sa...." Berdebar dada si pemuda ketika mendengar pengakuan terus terang dari gad
is yang dipe-
lah diucapkan, diiringi dengan seseduan serta air mata. "Tidak, Wulan... satu ta
hun tidak lama.
mencintaiku...?"
mendatang...."
itu dilanjutkan dengan sepasang bibir yang saling kecup penuh kehangatan.
"Wulan...."
"Ya, Mahesa...."
tempat itu.
EMPAT
daerah-daerah lain di sekitar Magetan. Hasil upeti yang diterima Raja Pajang set
ahun sekali dari
pati Lor Bentulan Isteri sang Adipati yang hendak berteriak segera ditekap mulut
nya demikian juga
anak tunggalnya.
yang tersisip di pinggang. Tangan kirinya ternyata buntung. Berbeda dengan lima
orang lainnya ma-ka yang satu ini bertubuh pendek kate serta bo-
tak. Tapi melihat kepada sikapnya berdiri di pintu itu maka tahulah kita bahwa d
ialah yang menjadi
wak...." Kepala rampok menyeringai kembali ketika melihat bagaimana air muka Lor
Bentulan
kelima orang di sekelilingnya dan berkata: "Mereka adalah anak-anak buahku yang
juga menjadi
murid-muridku."
ini" Warok Kate tertawa bergelak. "Berteriaklah sampai kau muntah darah Pasti ta
k ada satu
hulu" Terkejutlah Lor Bentulan. Mukanya menjadi pucat pasi. Dia tak bisa berkata
apa-apa. Wa-
Bentulan tidak pernah belajar ilmu silat atau pun ilmu-ilmu kebathinan. Selama d
ia hidup baik dan
menyesali diri.
Bupati itu menjadi heran. "Lalu...?" tanyanya sambil mengerling kepada isteri da
n
jelaskan. Mulai saat ini ke atas, kau harus turut segala ketentuan yang aku peri
ntahkan, kau harus lakukan demi nyawamu dan nyawa anak iste-
rimu...."
raya, bukan?"
"Bagus," ujar Warok Kate. "Petani-petani dan semua penduduk di sini juga semua o
rang-orang
kaya, bukan?"
tertawa senang. "Nah, sekarang kau dengar baik-baik. Mulai besok terhadap semua
penduduk di
dengar...?"
"Warok Kate...?"
"Sialan" maki kepala rampok berkepala botak itu. "Aku tanya kau dengar apa tidak
malahan bicara seenaknya. Kau dengar...?"
"Dengar. Tapi...."
"Hem...." gumam Warok Kate. "Jadi kau tidak takut mati, Lor Bentulan?"
"Tidak, bunuhlah"
bah dia berkata: "Teruskan Warok aku sudah bilang aku tidak takut mati"
satu jotosan keras. Bupati Magetan itu terbanting kembali ke kursinya. Dadanya s
akit dan napasnya sesak. "Sekali lagi kau berani memaki pemimpin kami, kucincang
anak dan isterimu di
lam hati.
"Dan pajak itu. Adipati..." terdengar kembali suara Warok Kate, "Kau harus pungu
t dua kali dalam satu bulan"
melaksanakannya"
"Gila"
LIMA
terjadi apa-apa. Betapa terkejutnya para pengawal ini ketika melihat di ruangan
tengah kadipaten
"Manusia-manusia siluman kotor" bentak salah seorang dari mereka yang menjadi ke
pala
tuh maka berteriaklah Lor Bentulan, "Tahan" Tadinya dia sengaja berdiam diri kar
ena mengharap
adalah kebalikannya.
yang masih hidup itu keluar dari sini..." perintah seorang rampok.
kedua pengawal. "Tunggu dulu" kata seorang rampok yang lain. "Seret ketiga mayat
kawan-
kawanmu itu keluar dari sini" Maka mayat tiga pengawal yang telah menjadi korban
itu pun dibawa keluar.
pemurah, maka
suatu ketika bisa menjadi penin-
kemiskinan bathin Ini disebabkan tak lain adalah akibat penarikan pajak yang tin
ggi dan sewenang-wenang oleh Adipati Lor Bentulan. Dan selama itu
sanjung itu
ENAM
alang-alang liar. Gadis ini menjadi heran. Saat itu adalah menjelang musim hujan
alang liar.
mua...?" pikir Wulansari sambil terus berlari menuju ke pusat kota. Di sepanjang
jalan dilihatnya gubuk-gubuk reyot beratap rumbia. Untuk tidak
hentikan larinya dan berjalan biasa. Setiap orang yang ditemuinya laki perempuan
dan anak-anak,
tiada bercahaya.
"Mungkin ini dulunya adalah pasar," pikir si gadis. "Tetapi mengapa tidak satu p
edagang pun yang kelihatan? Kedai-kedai kosong melompong
"Nak, aku lari bukan karena dikejar-kejar, tapi karena barusan menjumpai mayat y
ang sudah
tanyanya.
"Mayat Sukropringgo...."
Adipati Lor Ben...." Mendadak sampai di situ orang tersebut menghentikan keteran
gannya. Dia
perti orang yang takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar keterangannya i
tu tadi. Dia berpaling kepada Wulansari. "Anak, aku tak bisa memberi keterangan
lebih lanjut. Kalau anak
celaka..." Cepat-cepat laki-laki itu memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Wulansari
gan itu. "Orang tua... kalau kau bisa memberikan keterangan yang lebih lengkap a
tas apa yang sudah terjadi di kota ini...."
mengetahuinya, pasti celaka...." Sampai disitu orang tua itu menutupkan pintu ce
pat-cepat dan
nolong atau tidak kasihan pada gadis itu tapi adalah karena mereka takut ketahua
n oleh kaki-kaki
mana?"
tanya, "Gadis cantik, kau siapakah dan dari mana malam-malam begini berada di si
ni?"
orang-orang Kadipaten...."
berdiri bingung di sini karena tidak tahu ke mana aku harus pergi sedangkan peru
"Kasihan... kasihan nasibmu, Nak," kata si orang tua sambil meneliti Wulansari d
ari ujung
rambut sampai ke kaki. "Tapi nak, bila kau tak keberatan bermalam di gubukku, ka
u boleh ikut
sama-sama...."
orang tua...."
TUJUH
gangguk-anggukkan kepalanya.
"Pantas..." katanya. "Mula-mula aku merasa heran mengapa gadis secantikmu ini ma
lam-
terangannya dengan kalimat: "Ketika kau bertemu dengan aku di tengah jalan tadi,
aku barusan habis dari desa terdekat, pulang mengemis. Sial se-
kali hari ini, uang sepeser pun tidak dapat, cuma dua kaleng beras itu pun beras
menir pula sedang
memberi rezeki...."
"Tapi Pak Tua," ujar Wulansari, "Kalau harus mengemis mengapa jauh-jauh ke desa
lain?
mena?"
sini," sahut si orang tua. "Tapi Wulan, apa yang tidak mungkin berubah di atas d
unia ini? Bila
peras...."
sama...." Si orang tua berpaling pada Wulansari dan meneruskan, "Tapi maaf saja
Wulan, kami tidak punya apa-apa selain sambal...."
tolong memasakkan."
bali di ujung balai-balai. "Itulah pak. Sukropringgo tak bisa lagi menahan hati.
Sudah bulat te-
lanya. "Besar bahayanya, terlalu besar Tapi memang bila perbuatan-perbuatan Adip
ati Lor Ben-
tulan didiamkan saja tidak dilaporkan ke kotaraja akan lebih menambah penderitaa
n lagi. Biarlah
suki Magetan?
"Pak Tua," kata Wulansari, "Apakah pemuda yang bernama Sukropringgo itu anakmu?"
"Tapi apa wulan...?" tanya laki-laki tua itu dengan gelisah ketika melihat air m
uka si gadis
berubah.
lak. Di dinding tersisip sebuah parang. Benda ini segera diambilnya dan melangka
h ke pintu. Ama-rahnya yang mendidih membuat dia lupa bahwa
menguasai diri. "Dengar pak tua, kejantananmu sebagai laki-laki sangat aku kagum
i. Tetapi sadar-lah, dengan seorang diri dan bersenjatakan pa-
pandaian tinggi"
dan duduk di balai-balai. Kembali seperti tadi dia menangis tersedu-sedu. "Ya Tu
han... apa yang harus aku lakukan? Anakku dibunuh orang Tuhan, turunkanlah kutuk
dan hukumanmu atas
kata: "Pak tua, mengenai urusanmu dengan Adipati keparat itu biar aku yang seles
aikan. Sebaiknya kau segeralah minta bantuan tetangga untuk
seolah-olah baru kali itulah dia melihatnya. "Wulan.. anak, aku percaya bahwa ka
u bukan gadis
dan bisu
ternyata seorang dara jelita yang berdiri di tangga Kadipaten, maka dia segera t
ersenyum simpul.
kayangan...?"
tenang dan sabar: "Pengawal, aku ingin bertemu dengan Adipati Lor Bentulan...."
kah?" "Satu urusan penting yang hanya bisa dikatakan langsung kepadanya," jawab
Wulansari.
oleh si gadis.
dungmu ini"
ni tahulah si gadis kalau perubahan sikap dan air muka tadi hanyalah satu kepura
-puraan belaka.
gus. "Aku baru mau pergi bila kau berjanji untuk merubah aturan-aturan pajakmu m
enjadi seperti
olehmu"
di hadapanku" bentak Adipati itu dengan geramnya. "Apapun yang kulakukan bukan m
enjadi
pur?" Si gadis tertawa mengejek. "Adipati, apakah kau buta dengan keadaan hidup
rakyatmu yang
"Sudah Cukup" teriak sang Adipati seraya berdiri dari kursinya. "Kau keluarlah b
aik-baik dari sini atau kusuruh para pengawal menyeret-mu" Dengan sepasang matan
ya yang tajam Wu-
ja"
pringgo?"
pasti dusta"
menerangkan padaku"
keluar lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar, bertampang galak, berewokan s
erta berambut
"Adipati Mengapa bicara panjang lebar dengan gadis iblis ini? Biar kami bereskan
dia" kata salah seorang dari mereka.
bertanya pada orang yang bicara tadi: "Rampung, kau... kau apakan Sukropringgo..
.?"
pan Lor Bentulan. "Mampuslah" bentaknya seraya membabatkan golok besarnya ke kep
ala Adi-
lemah saja tapi tubuh Adipati itu mental terguling ke samping kursinya. Kepalany
a selamat dari
mampus"
peras berpakaian pengawal? Srigala-srigala jahat berbulu domba? Jangan kira kali
an bisa angkat
gang. "Nyalimu terlalu besar, gadis rendah Kau terimalah ini" Rampung itu menyer
ang dengan golok besarnya.
"Nak, kau hati-hatilah," terdengar suara Adipati Lor Bentulan yang saat itu suda
h berdiri
bergantian"
berkata: "Benar kau benar Memang sayang kalau kulitnya yang halus mulus itu samp
ai terluka"
ajar "Bukk"
bagai jurusan.
cepat dia berteriak: "Kawan-kawan Mari kita keroyok perempuan iblis ini"
"Keluarkanlah senjatamu"
cam kailan tidak perlu pakai senjata segala. Majulah" Dihina seperti itu keempat
rampok tersebut menjadi marah Mereka serentak melancarkan serangan gencar. Dari
samping kiri, samping kanan
rok Kate.
nya dari jurusan ini. Agaknya disinilah kehebatan permainan "golok ular" yang di
andalkan mereka.
ketika "trang" Senjata mereka sendiri yang saling beradu dengan senjata kawan Se
belum mereka
habis dari terkejutnya tiba-tiba "buk" salah seorang dari rampok-rampok itu terg
uling ke tanah
ular" kembali. Kini mereka sama mempercepat gerakan sehingga tubuh mereka benarbenar tak
ubahnya seperti seekor ular yang meliuk-liuk kian kemari. Sayang mereka cuma ber
tiga. Kalau berlima tentu kehebatan permainan golok ciptaan
DELAPAN
nya. Tiba-tiba 'breet" Suara ini disusul oleh suara keluhan kesakitan. Rampung m
elompat ke belakang. Mukanya memutih pucat. Pakaiannya di
karan Wulansari yang dinamai "cakar setan" yang dipelajari dari gurunya. Meski b
elum mencapai
dengan kau" Tubuhnya melesat ke muka dan golok besar di tangannya berputar dahsy
at. Ini ada-
sementara itu Adipati Lor Bentulan berdiri dengan mata terbuka lebar hampir tida
k pernah berkesip-kesip melihat perkelahian yang luar biasa hebat-
nya itu.
melayani si jelita itu, apalagi kini dengan bersenjatakan golok Rampung memberi
isyarat kedipan
sari. "Manusia-manusia bedebah Kalian mau lari ke mana?" Sekali gadis ini berkel
ebat maka men-derulah golok di tangannya dan terdengar tiga su-
kang," menerangkan Lor Bentulan dengan masih berlutut. Parasnya masih tetap puca
t ketakutan.
buahnya.
pan sekali berteriak: "Gadis gagah Serahkan Adipati laknat itu pada kami Dia har
us mampus di
tangan kami"
takutan. Dia berdiri di belakang Wulansari. "Gadis gagah, tolonglah aku Orang-or
ang itu pasti
balik gadis itu, pengecut" teriak seorang penduduk yang memegang kelewang.
di ruangan itu. "Kalian memang pantas membalas dendam membalaskan sakit hati kal
ian yang di-pendam selama berbulan-bulan. Tapi ketahuilah
terpaksa...."
dengan suara lantang, "Gadis gagah, kau orang asing di sini sehingga tidak tahu
siapa adanya
gadis dengan beringasan. "Orang asing, sebaiknya minggirlah Kalau kau coba-coba
untuk melindungi Adipati itu, kami yang ada di sini tidak segan-segan turun tang
an"
hut Wulansari. "Tapi sebelumnya, yang penting adalah kalian harus mendengar dan
mengetahui
lahan tangan" Gadis ini berpaling pada Lor Bentulan lalu berkata: "Terangkan sem
uanya kepada mereka. Aku sendiri juga belum mengerti jelas
persoalannya...."
tindas...."
ras" teriak seorang penduduk dari sudut ruangan. Merahlah air muka Lor Bentulan
menden-
rapa kali lalu dibukanya mulutnya kembali. "Aku tidak menyalahkan kalian kalau k
alian menu-duhkan demikian karena begitulah yang kalian
Bentulan berkata: "Kalian lihat empat pengawal yang menggeletak di lantai ini? A
pakah kalian ta-hu bahwa mereka sesungguhnya bukanlah pen-
Kotaraja?" Tidak ada seorang pun membuka sua-ra karena masing-masing penduduk me
njadi ter-
luwak...."
dis. "Ya, namanya Warok Kate, seorang kepala rampok yang buas serta lihay. Agakn
ya kau kenal
bangsat itu?"
bunuh guruku" Terkejutlah semua orang, terutama Lor Bentulan. Wulansari mengepal
kan tinju
Adipati."
saat ini berada di tangan kepala rampok itu Pasti kepala anakku sudah ditebas" L
or Bentulan menutup muka dengan kedua tangannya.
ti," katanya. "Tentang nasib anakmu tak usah khawatir. Aku akan tolong dia sekal
ian menyele-saikan urusan dengan Warok Kate"
nya dan memandang pada si gadis. "Terima kasih, aku percaya kau mau menolong, ga
dis gagah. Ta-pi, sudah terlambat. Sudah kasip Rampok yang
bisa menyusulnya ke bukit Jatiluwak," ujar Wulansari. Gadis ini tersenyum dan me
nganggukkan
lah dia
"Adipati," katanya. "Harap dimaafkan karena kami semuanya telah menuduh demikian
ja-
SEMBILAN
oleh keringat.
muridnya sendiri
lompat dari duduknya. "Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau merangkak sep
erti anjing...." Tiba-tiba "bruk" Tubuh anak buahnya itu jatuh tergelimpang di h
adapannya karena kehabisan napas dan kelelahan. Lidahnya terjulur ke
tidak sakit lagi. Kemudian rampok Ini cepat-cepat berlutut di depan pemimpin ata
u gurunya itu seraya berkata: "Guru, harap dimaafkan kalau murid terpaksa datang
ke sini...."
"Katakan cepat mengapa kau datang ke sini dan siapa yang mencelakaimu"
mua? Mati di tangan seorang gadis?" Tak percaya Warok Kate akan keterangan murid
nya itu.
pula sinting. Murid tidak dusta...." Sangkrong kemudian menerangkan apa yang ter
jadi di Kadipaten Magetan dua hari yang lalu.
"Kurang ajar Benar-benar kurang ajar" ru-tuk Warok Kate. "Masakan empat orang mu
ridku yang berilmu tinggi sampai dapat dikalahkan
"Ampun guru," kata si murid sambil berlutut kembali. "Bukan kami hendak merendah
kan
cari aku?"
berkepala botak itu. "Jadi inikah manusianya yang telah membunuh murid-muridku?
Benar-benar membuat aku jadi kepingin jatuh cinta
"Manusia rendah" bentak Wulansari. "Tidak tahu ajal sudah di depan mata masih bi
cara
besar" "Aduh, memang benar galak rupanya," kata Warok Kate dengan menyeringai. "
Gadis jelita, kau berlututlah di hadapanku dan katakan bahwa kau bersedia menjad
i isteriku Dengan demi-
pikir Wulansari.
"Sangkrong" terdengar suara Warok Kate menyebut nama muridnya dengan cepat karen
a
saat itu dilihatnya Wulansari bersiap-siap hendak melancarkan serangan kedua. "C
oba kau layani gadis liar ini beberapa jurus Aku ingin lihat sampai di mana kepa
ndaiannya" Sebenarnya Warok Kate menyuruh muridnya menghadapi Wulansari
maksudkannya.
diri bulu tengkuk rampok Ini. Tapi kalau tidak di-patuhinya kata-kata Warok Kate
yang berupa pe-
berkelebat dan "buk" Sangkrong menjerit setinggi langit. Tubuhnya mental, meling
kar di lantai dan
panjang yang tersisip di pinggangnya. "Gadis keparat Kau cepatlah berlutut minta
ampun, sebe-
tok kepalamu"
ku si Cakar Setan"
rid si Cakar Setan. "Hm... jadi kau muridnya si Cakar Setan? Bagus Kalau kau mem
ang ingin
jangnya. "Kau lihat senjata ini?" katanya menyeringai. "Dengan inilah gurumu kub
ikin konyol
cepat mampus" Kepala rampok ini dengan ganas mengirimkan serangan berupa tusukan
ujung golok yang deras ke dada Wulansari. Gadis ini
nya dalam sekali gebrakan saja tapi dia jadi terkejut ketika dengan gerakan-gera
kan gesit lawannya
Golok lawan lewat kurang dari setengah jengkal di atas kepalanya. Sebelum Warok
Kate habis terkejutnya dan sebelum kepala rampok ini sempat
dan kedua serangan ini berhasil baik Kaki celana hitam kepala rampok itu robek b
esar menjela-jela
ke lantai sedang kulit betisnya terluka oleh tiga cakaran jari-jari tangan. Luka
itu terasa perih dan gatal-gatal. Namun dengan mengerahkan tenaga
lalu hilang.
"Bangsat hina dina" maki kepala rampok itu dengan tampang beringas. Kedua matany
a kelihatan merah menyorot. Dia sangat terkejut me-
siapa sebenarnya?"
ga rupanya" ejek Warok Kate dengan tertawa lebar waktu melihat lawannya mengelua
rkan senja-
dari kain halus berwarna kuning. "Maju, majulah iblis betina biar kutebas ujung
selendang itu sedikit demi sedikit"
naga dalam gadis muda belia itu lebih tinggi dari yang dimilikinya Tapi Warok Ka
te tidak mau me-nyerah demikian saja, apalagi kalau harus kehi-
sari Melihat ini si gadis cepat mengelak ke samping dan terpaksa melepaskan sele
ndangnya yang
melilit golok. Meskipun tadinya dia akan berhasil merampas senjata lawan tapi me
nghindarkan dua
ing lagi.
kan main
"Trang"
SEPULUH
dangnya kembali, tapi niatnya ini dibatalkan keti-ka dengan tiba-tiba Warok Kate
dilihatnya meng-
gan itu kini tergenggam sebilah keris berwarna hijau gelap. Dari warna keris di
tangan lawan ini
trokan senjata.
keris tapi tangannya diangkat terlalu tinggi. Maka terdengarlah jeritan setinggi
la itu, yang terpisah dari badannya karena pedang Wulansari begitu memapas lenga
n terus membabat ke leher Warok Kate
rus-jurus rendah saja dari ilmu "Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin", dia berhasi
l merobohkan
mandang ke utara lalu berkata perlahan: "Guru, manusia yang telah membunuhmu tel
ah mere-gang nyawa hari ini Sakit hati guru terbalas su-
di alam baka."
buka matanya.
rambutnya.
pa?" tanya Wulansari sambil senyum dan mengusap kepala anak perempuan itu.
nangis terisak-isak.
getan...." Wulan menarik tangan anak itu lalu mendukungnya. Sekali dia menggerak
kan ke dua
TAMAT
Segera menyusul