Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (K3 Masih
Dianggap Remeh, Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal
karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaanperusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari
15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem
Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya
anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan.
Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban
kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya
mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak
selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar
keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan
Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada
tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan
kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih
tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga
Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari
setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan
kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan
kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal
penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim
asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan
yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia
produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur

nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di
samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil
yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan
oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi.
Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja
di seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa
konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja,
disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan
pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta
orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan
formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau
borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan
ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan
metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang
diterapkan pada perusahaan konstruksi.
Contoh kejadian :
1. Tembok Bata Sepanjang 50 Meter Roboh
kejadian yang mencoreng jasa konstruksi di Indonesia kembali terjadi. Lima pekerja
tewas dan sembilan lainnya luka parah tertimpa tembok bangunan pabrik kayu lapis
yang sedang dibangun di Dukuh Sawur, desa Genengsari, Kecamatan Polokarto,
Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (11/9). Empat korban tewas di tempat kejadian
sementara satu lainnya meninggal di RS PKU Muhammadidyah Karanganyar
Menurut saksi mata, Imam Hartono, pemilik pabrik, sebelum tembok roboh, datang
angin kencang dari arah barat. Kejadian berlangsung tiba-tiba, tidak ada seorang pun
tukang bangunan yang menyangka kalau tembok yang sedang dikerjakan itu runtuh
setelah dihantam angin yang datang dari arah barat, ungkapnya. Menurut Sutoyo,46,
pekerja yang selamat dari tragedi tersebut menyatakan sebelumnya tidak ada tandatanda tembok setinggi lima meter dengan panjang hampir 50 meter yang sedang
dikerjakan itu akan roboh. Tiba-tiba tembok sebelah barat itu ambruk dan menimpa
teman-teman yang sedang berada di bawahnya, ujarnya.
2. Pekerja Bangunan Tewas Setelah Terpeleset
TEMPO Interaktif, Jakarta - Seorang pekerja bangunan tewas setelah terjatuh
dari lantai satu proyek bangunan Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Diperkirakan akibat kecelakaan kerja.
"Pekerja itu terpeleset lalu terjatuh dari lantai satu," kata Kepala Kepolisian Sektor
Kebayoran Lama, Komisaris Polisi Makmur Simbolon kepada wartawan.
Menurut dia, kejadian terjadi sekitar pukul 11.00. Ketika itu, pekerja yang belum
diketahui identitasnya itu terpeleset dengan posisi kepala terlebih dulu menghantam
tanah.

"Korban langsung dilarikan ke RS Fatmawati. Diperkirakan meninggal selama


perjalanan," tambah dia.(ANTON WILLIAM Senin, 05 Juli 2010 | 12:50 WIB)
3. Pekerja Bangunan Tewas Terjatuh dari Lantai Sembilan
Surabaya - Seorang pekerja proyek pembangunan gedung dijalan Manyar Kertoarjo,
Surabaya, Jawa Timur, terjatuh dari lantai sembilan atau ketinggian sekitar 38 meter
dan tewas seketika di lokasi kejadian,Kamis. Korban tewas bernama Zaenal Abidin (33),
warga Desa Burno, Bojonegoro. Sedangkan rekannya, Kalam (25), warga Jalan
Pandegiling, Surabaya, bernasib lebih beruntung, karena meskipun sama-sama terjatuh,
tetapi masih selamat dan mengalami patah tulang tangan kanan serta rusuk bagian
belakang memar. Salah satu saksi mata, Gatot, mengaku terkejut mendengar suara
benda jatuh dari atas dan ketika dilihat ternyata dua orang pekerja sedang tergeletak.
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal
Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo,"
ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban
saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan
lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang
menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu,
angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat
tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono
ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan
anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan
terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa
memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011
21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
Proyek konstruksi tidak hanya menuntut akurasi dalam perencanaan kekuatan,
akan tetapi perlu dicermati mengenai metode dan teknologi konstruksinya. Kesalahan
dalam metode konstruksi terbukti berakibat yang sangat fatal, yaitu korban jiwa tenaga
kerjanya. Membiarkan tembok baru yang tinggi tanpa bingkai (perkuatan yang cukup)
dari kolom dan sloof beton bertulang atau besi profil tentunya sangat berbahaya ketika
menerima gaya horisontal (dalam hal ini hembusan angin). Selain itu tembok dengan
panjang 50 m, akan sangat riskan jika tidak diberikan dilatansi yang cukup.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (K3 Masih
Dianggap Remeh, Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal
karyawan adalah aset penting perusahaan. Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem
Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru
menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang
sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar
disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi
tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana
kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya
Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun
2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang

masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata
paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk
dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya
kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931
kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana kesalahan dalam metode konstruksi
dapat di minimalisir dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja.

3.

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui metode konstruksi yang
benar dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan
kerja.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

1.

2.

3.

4.

Teori Penyebab Kecelakaan Kerja


Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam dunia kerja,
terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan diupayakan pencegahannya.
Adapun beberapa teori mengenai penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
Teori Heinrich ( Teori Domino)
Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu rangkaian kejadian .
Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian tersebut yaitu : lingkungan,
kesalahan manusia, perbuatan atau kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera
atau kerugian (Ridley, 1986).
Teori Multiple Causation
Teori ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari satu
penyebab terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan, kondisi atau situasi
yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan kerja
tersebut perlu diteliti.
Teori Gordon
Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari interaksi antara korban
kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang kompleks, yang tidak
dapat dijelaskan hanya dengan mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang
terlibat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab
terjadinya kecelakaan maka karakteristik dari korban kecelakaan, perantara terjadinya
kecelakaan, dan lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui secara detail.
Teori Domino terbaru
Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang mengatakan
bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah ketimpangan manajemen.

5.

6.

B.

C.

Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori Domino Heinrich untuk


memperlihatkan pengaruh manajemen dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
Teori Reason
Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi akibat terdapat lubang
dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat berupa pelatihan-pelatihan,
prosedur atau peraturan mengenai keselamatan kerja,
Teori Frank E. Bird Petersen
Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird mengadakan modifikasi
dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen, yang intinya
sebagai berikut (M.Sulaksmono,1997) :
I. Manajemen kurang kontrol
II. Sumber penyebab utama
III. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)
IV. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
V. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai dari
memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja. Kemudian, praktek
dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan
merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan manajemen.
Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh 2 faktor utama yakni faktor fisik dan faktor
manusia. Kecelakaan kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni:
a. Kecelakaan akibat langsung pekerjaan (PAK)
b. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (PAHK)
Dalam perkembangan selanjutnya ruang lingkup kecelakaan ini diperluas lagi sehingga
mencakup kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan atau
transport ke dan dari tempat kerja. Dengan kata lain kecelakaan lalu lintas yang
menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau dalam rangka
menjalankan pekerjaannya juga termasuk kecelakaan kerja. Penyebab kecelakaan kerja
pada umumnya digolongkan menjadi 2, yakni:
a. Faktor Fisik
Kondisi-kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman atau unsafety condition
misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan sebagainya.
b. Faktor Manusia
Perilaku pekerja itu sendiri yang tidak memenuhi keselamatan, misalnya karena
kelengahan, ngantuk, kelelahan, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian yang ada, 85
% dari kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia.
Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), kecelakaan akibat kerja ini
diklasifikasikan berdasarkan 4 macam penggolongan, yakni:
a. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan :
Terjatuh
Tertimpa benda
Tertumbuk atau terkena benda-benda
Terjepit oleh benda
Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
Pengaruh suhu tinggi

Terkena arus listrik


Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi
b. Klasifikasi menurut penyebab :
Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air.
Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, alat-alat
listrik, dan sebagainya.
Bahan-bahan,zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,gas,zat-zat kimia, dan
sebagainya.
Lingkungan kerja ( diluar bangunan, di dalam bangunan dan di bawah tanah )
Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas.
c. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan :
Patah tulang\
Dislokasi ( keseleo )
Regang otot (urat)
Memar dan luka dalam yang lain
Amputasi
Luka di permukaan
Geger dan remuk
Luka bakar
Keracunan-keracunan mendadak
Pengaruh radiasi
Lain-lain
d. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh :
Kepala
Leher
Badan
Anggota atas
Anggota bawah
Banyak tempat
Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut.
D. Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko
kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada
proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek
konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi
cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang
tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan
manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja
dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Untuk memperkecil risiko
kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah mengeluarkan suatu
peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.
Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum
pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat
dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat disayangkan

adalah pada penerapan peraturan tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran


masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya tingkat penegakan hukum
oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan keselamatan kerja yang masih
jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih tingginya angka kecelakaan
kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat lemah, King and Hudson (1985)
menyatakan bahwa pada Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Proyek Konstruksi di Indonesia proyek konstruksi di negara-negara berkembang,
terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan
yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan
galian. Pada kedua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius
bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian
adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan
konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang
fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan
sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system)
yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Jenis-jenis kecelakaan
kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran listrik
bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang
sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat
kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tibatiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan
dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di
Indonesia belum tersedia, namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997)
mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000
cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaankecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup
signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di
samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya
pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan
perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat
dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian
sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh
psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan
pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar
dari pada biaya langsung. Berbagai studi
menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat
kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai
dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).
Dampak Kecelakaan Kerja
Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja (Simanjuntak,
1994):
a. Meninggal dunia

Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita
meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan sebelumnya.
b. Cacat permanen total
Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi
sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya
lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu
lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
c. Cacat permanen sebagian
Cacat yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama
sekali tidak berfungsi.
d. Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun
karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang
dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produkti
E. Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga
kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan
perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam
perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan
termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup
ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun
pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi
bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum
tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini
sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya
Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai Pedoman K3 Konstruksi ini
merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di
Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit
dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak
dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangankekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan,
serta dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak
pelaksana dan pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman
yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,
yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, amulai memperbarui
pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004
Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi Bendungan. Pedoman Teknis K3 Bendungan yang baru ini khusus
ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-jenis proyek

konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat
pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis
K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis
proyek konstruksi lainnya. Pedoman Teknis K3 Bendungan juga mencakup daftar
berbagai penyakit akibat kerja yang hrus dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar
K3 untuk jasa konstruksi di Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926),
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah
Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang
konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan
atau pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang
dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara
spesifik berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman Tantangan
Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia teknis
di lapangan. Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan
kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus
disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku
konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar
mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
F.

Pengawasan dan Sistem Menejemen K3


Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk
masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki
kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh
berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja.
Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak
menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya,
pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299
orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910
orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim
bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang
mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa
penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan
pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan
masalah K3 dengan menyediakan rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau SMK3. SMK3 ini merupakan
tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat
manajemen dalam suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh
pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus
bekerja dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100
pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi
(termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di
tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu
perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi,

perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang
dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga inspektor/pengawas
untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan mengenai
SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga
tahun.
Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat
tanda bukti. Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi
perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya. Berbagai usaha telah
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan apresiasi kepada para pengusaha
yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam operasional perusahaan yang berupa
penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media massa, seperti yang dilakukan
oleh Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen
Tenaga Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont Indonesia.
Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan tersebut adalah PT. Total E&P
Indonesia (kategori Industri Pertambangan, Minyak, dan Gas), PT. Nestle Indonesia
(kategori Industri Consumer Goods), dan PT. Amoco Mitsui PTA Indonesia serta PT.
Wijaya Karya (kategori Industri Lainnya). Keempat pemenang ini disaring dari 125
finalis. Melihat nama-nama perusahaan yang mendapatkan penghargaan, menunjukkan
bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat menyadari masalah K3 adalah perusahaanperusahaan multinasional. Namun, yang menarik adalah bahwa terdapat satu
perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu PT. Wijaya Karya sudah berada pada
jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah K3.
Memang terdapat pengaruh positif budaya K3 yang dirasakan oleh pelaku konstruksi
nasional, yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsipprinsip K3 di proyek-proyek konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan
perilaku para tenaga kerja konstruksi.
G. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3/1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja
(jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang
sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan
sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Jamsostek kemudian
diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai penyelenggaraan jamsostek di
Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI
No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek),
sebagai sebuah badan (satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu
badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek
konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek
penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja

harian lepas, borongan,Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada


Proyek Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa
konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian lepas
dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para pengguna jasa
wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek
yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih
dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan
lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Khusus
mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993. Dalam Keppres
ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul karena hubungan
kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini berhak mendapat
jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah
hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada umumnya, penyakitpenyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia yang beracun yang berasal
dari material konstruksi yang apabila terkena dalam waktu yang cukup lama dapat
mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang mungkin timbul juga termasuk
kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan konstruksi, serta kelainan otot, tulang
dan persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi yang terlibat dalam proses
pengangkutan material berbobot dan berulang, dan penggunaan peralatan konstruksi
yang kurang ergonomis.
Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara legal
dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut sering kali
tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di rumah sakit
akibat kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga
yang terjadi pada saat ini.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai
masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas
hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia,
lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan
tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir
ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja
dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari
keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja
berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum
dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan
pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga the biggest
owner. Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan
paradigma K3 konstruksi. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang

didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat


mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang
besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang
terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh
komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat
partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit
dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu
perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola
secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh elemen yang ikut
terlibat dalam masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN
Wirahadikusumah,Reni.2008.Kecelakaan.(Online),
(lilo.staff.fkip.uns.ac.id/files/2008/09/kecel.. ,diakses 13 Desember 2009)
Warta Ekonomi, K3 Masih Dianggap Remeh, 2 Juni 2006
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep. 174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004
Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi Bendungan.
Hinze, J., and Bren, K. (1997). The Causes of Trenching Related Fatalities and
Injuries,
Proceedings of Construction Congress V: Managing Engineered Construction in
Expanding Global Markets, ASCE, pp 389-398.
Keppres RI No.22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan
Kerja.
King, R.W. and Hudson, R. (1985). Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.
Butterworths, England.
Occupational Safety and Health Administration (Revisi 2000). Occupational Safety and
Health Standards for the Construction Industry (29 CFR Part 1926) U.S. Department
of Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja
No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
The Business Roundtable (1982). Improving Construction Safety Performance. A CICE
Project Report. Construction Industry Institute, USA.
UURI Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
UURI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Diposkan oleh MICHAEL SULAIMAN HALAWA di 04.26


Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Tidak ada komentar :
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar ( Atom )

Sabtu, 16 Februari 2013


MAKALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (K3 Masih
Dianggap Remeh, Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal
karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaanperusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari
15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem
Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya
anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan.
Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban
kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya
mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak
selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar
keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan
Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada
tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan
kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih
tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga
Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari
setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan
kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan
kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal
penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim
asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan
yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.

Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia
produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur
nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di
samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil
yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan
oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi.
Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja
di seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa
konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja,
disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan
pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta
orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan
formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau
borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan
ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan
metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang
diterapkan pada perusahaan konstruksi.

1.

Contoh kejadian :
Tembok Bata Sepanjang 50 Meter Roboh
kejadian yang mencoreng jasa konstruksi di Indonesia kembali terjadi. Lima pekerja
tewas dan sembilan lainnya luka parah tertimpa tembok bangunan pabrik kayu lapis
yang sedang dibangun di Dukuh Sawur, desa Genengsari, Kecamatan Polokarto,
Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (11/9). Empat korban tewas di tempat kejadian
sementara satu lainnya meninggal di RS PKU Muhammadidyah Karanganyar

Menurut saksi mata, Imam Hartono, pemilik pabrik, sebelum tembok roboh, datang
angin kencang dari arah barat. Kejadian berlangsung tiba-tiba, tidak ada seorang pun
tukang bangunan yang menyangka kalau tembok yang sedang dikerjakan itu runtuh
setelah dihantam angin yang datang dari arah barat, ungkapnya. Menurut Sutoyo,46,
pekerja yang selamat dari tragedi tersebut menyatakan sebelumnya tidak ada tandatanda tembok setinggi lima meter dengan panjang hampir 50 meter yang sedang
dikerjakan itu akan roboh. Tiba-tiba tembok sebelah barat itu ambruk dan menimpa
teman-teman yang sedang berada di bawahnya, ujarnya.
2. Pekerja Bangunan Tewas Setelah Terpeleset
TEMPO Interaktif, Jakarta - Seorang pekerja bangunan tewas setelah terjatuh
dari lantai satu proyek bangunan Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Diperkirakan akibat kecelakaan kerja.
"Pekerja itu terpeleset lalu terjatuh dari lantai satu," kata Kepala Kepolisian Sektor
Kebayoran Lama, Komisaris Polisi Makmur Simbolon kepada wartawan.

Menurut dia, kejadian terjadi sekitar pukul 11.00. Ketika itu, pekerja yang belum
diketahui identitasnya itu terpeleset dengan posisi kepala terlebih dulu menghantam
tanah.
"Korban langsung dilarikan ke RS Fatmawati. Diperkirakan meninggal selama
perjalanan," tambah dia.(ANTON WILLIAM Senin, 05 Juli 2010 | 12:50 WIB)
3. Pekerja Bangunan Tewas Terjatuh dari Lantai Sembilan
Surabaya - Seorang pekerja proyek pembangunan gedung dijalan Manyar Kertoarjo,
Surabaya, Jawa Timur, terjatuh dari lantai sembilan atau ketinggian sekitar 38 meter
dan tewas seketika di lokasi kejadian,Kamis. Korban tewas bernama Zaenal Abidin (33),
warga Desa Burno, Bojonegoro. Sedangkan rekannya, Kalam (25), warga Jalan
Pandegiling, Surabaya, bernasib lebih beruntung, karena meskipun sama-sama terjatuh,
tetapi masih selamat dan mengalami patah tulang tangan kanan serta rusuk bagian
belakang memar. Salah satu saksi mata, Gatot, mengaku terkejut mendengar suara
benda jatuh dari atas dan ketika dilihat ternyata dua orang pekerja sedang tergeletak.
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal
Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo,"
ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban
saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan
lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang
menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu,
angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat
tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono
ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan
anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan
terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa
memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011
21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
Proyek konstruksi tidak hanya menuntut akurasi dalam perencanaan kekuatan,
akan tetapi perlu dicermati mengenai metode dan teknologi konstruksinya. Kesalahan
dalam metode konstruksi terbukti berakibat yang sangat fatal, yaitu korban jiwa tenaga
kerjanya. Membiarkan tembok baru yang tinggi tanpa bingkai (perkuatan yang cukup)
dari kolom dan sloof beton bertulang atau besi profil tentunya sangat berbahaya ketika
menerima gaya horisontal (dalam hal ini hembusan angin). Selain itu tembok dengan
panjang 50 m, akan sangat riskan jika tidak diberikan dilatansi yang cukup.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (K3 Masih
Dianggap Remeh, Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal
karyawan adalah aset penting perusahaan. Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem
Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru
menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang
sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar
disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi
tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana

kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya


Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun
2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang
masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata
paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk
dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya
kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931
kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana kesalahan dalam metode konstruksi
dapat di minimalisir dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja.

3.

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui metode konstruksi yang
benar dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan
kerja.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

1.

2.

3.

4.

Teori Penyebab Kecelakaan Kerja


Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam dunia kerja,
terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan diupayakan pencegahannya.
Adapun beberapa teori mengenai penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
Teori Heinrich ( Teori Domino)
Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu rangkaian kejadian .
Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian tersebut yaitu : lingkungan,
kesalahan manusia, perbuatan atau kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera
atau kerugian (Ridley, 1986).
Teori Multiple Causation
Teori ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari satu
penyebab terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan, kondisi atau situasi
yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan kerja
tersebut perlu diteliti.
Teori Gordon
Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari interaksi antara korban
kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang kompleks, yang tidak
dapat dijelaskan hanya dengan mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang
terlibat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab
terjadinya kecelakaan maka karakteristik dari korban kecelakaan, perantara terjadinya
kecelakaan, dan lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui secara detail.
Teori Domino terbaru

5.

6.

B.

C.

Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang mengatakan
bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah ketimpangan manajemen.
Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori Domino Heinrich untuk
memperlihatkan pengaruh manajemen dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
Teori Reason
Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi akibat terdapat lubang
dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat berupa pelatihan-pelatihan,
prosedur atau peraturan mengenai keselamatan kerja,
Teori Frank E. Bird Petersen
Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird mengadakan modifikasi
dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen, yang intinya
sebagai berikut (M.Sulaksmono,1997) :
I. Manajemen kurang kontrol
II. Sumber penyebab utama
III. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)
IV. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
V. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai dari
memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja. Kemudian, praktek
dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan
merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan manajemen.
Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh 2 faktor utama yakni faktor fisik dan faktor
manusia. Kecelakaan kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni:
a. Kecelakaan akibat langsung pekerjaan (PAK)
b. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (PAHK)
Dalam perkembangan selanjutnya ruang lingkup kecelakaan ini diperluas lagi sehingga
mencakup kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan atau
transport ke dan dari tempat kerja. Dengan kata lain kecelakaan lalu lintas yang
menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau dalam rangka
menjalankan pekerjaannya juga termasuk kecelakaan kerja. Penyebab kecelakaan kerja
pada umumnya digolongkan menjadi 2, yakni:
a. Faktor Fisik
Kondisi-kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman atau unsafety condition
misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan sebagainya.
b. Faktor Manusia
Perilaku pekerja itu sendiri yang tidak memenuhi keselamatan, misalnya karena
kelengahan, ngantuk, kelelahan, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian yang ada, 85
% dari kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia.
Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), kecelakaan akibat kerja ini
diklasifikasikan berdasarkan 4 macam penggolongan, yakni:
a. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan :
Terjatuh
Tertimpa benda
Tertumbuk atau terkena benda-benda
Terjepit oleh benda

Gerakan-gerakan melebihi kemampuan


Pengaruh suhu tinggi
Terkena arus listrik
Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi
b. Klasifikasi menurut penyebab :
Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air.
Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, alat-alat
listrik, dan sebagainya.
Bahan-bahan,zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,gas,zat-zat kimia, dan
sebagainya.
Lingkungan kerja ( diluar bangunan, di dalam bangunan dan di bawah tanah )
Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas.
c. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan :
Patah tulang\
Dislokasi ( keseleo )
Regang otot (urat)
Memar dan luka dalam yang lain
Amputasi
Luka di permukaan
Geger dan remuk
Luka bakar
Keracunan-keracunan mendadak
Pengaruh radiasi
Lain-lain
d. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh :
Kepala
Leher
Badan
Anggota atas
Anggota bawah
Banyak tempat
Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut.
D. Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko
kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada
proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek
konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi
cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang
tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan
manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja
dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Untuk memperkecil risiko
kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah mengeluarkan suatu
peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.

Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum


pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat
dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat disayangkan
adalah pada penerapan peraturan tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran
masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya tingkat penegakan hukum
oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan keselamatan kerja yang masih
jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih tingginya angka kecelakaan
kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat lemah, King and Hudson (1985)
menyatakan bahwa pada Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Proyek Konstruksi di Indonesia proyek konstruksi di negara-negara berkembang,
terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan
yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan
galian. Pada kedua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius
bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian
adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan
konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang
fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan
sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system)
yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Jenis-jenis kecelakaan
kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran listrik
bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang
sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat
kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tibatiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan
dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di
Indonesia belum tersedia, namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997)
mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000
cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaankecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup
signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di
samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya
pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan
perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat
dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian
sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh
psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan
pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar
dari pada biaya langsung. Berbagai studi
menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat
kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai
dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).
Dampak Kecelakaan Kerja

Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja (Simanjuntak,


1994):
a. Meninggal dunia
Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita
meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan sebelumnya.
b. Cacat permanen total
Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi
sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya
lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu
lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
c. Cacat permanen sebagian
Cacat yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama
sekali tidak berfungsi.
d. Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun
karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang
dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produkti
E. Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga
kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan
perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam
perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan
termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup
ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun
pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi
bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum
tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini
sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya
Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai Pedoman K3 Konstruksi ini
merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di
Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit
dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak
dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangankekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan,
serta dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak
pelaksana dan pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman
yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,
yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, amulai memperbarui
pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004

Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi Bendungan. Pedoman Teknis K3 Bendungan yang baru ini khusus
ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-jenis proyek
konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat
pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis
K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis
proyek konstruksi lainnya. Pedoman Teknis K3 Bendungan juga mencakup daftar
berbagai penyakit akibat kerja yang hrus dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar
K3 untuk jasa konstruksi di Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926),
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah
Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang
konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan
atau pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang
dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara
spesifik berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman Tantangan
Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia teknis
di lapangan. Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan
kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus
disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku
konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar
mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
F.

Pengawasan dan Sistem Menejemen K3


Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk
masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki
kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh
berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja.
Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak
menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya,
pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299
orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910
orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim
bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang
mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa
penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan
pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan
masalah K3 dengan menyediakan rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau SMK3. SMK3 ini merupakan
tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat
manajemen dalam suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh
pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus
bekerja dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100
pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi

(termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di


tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu
perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi,
perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang
dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga inspektor/pengawas
untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan mengenai
SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga
tahun.
Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat
tanda bukti. Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi
perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya. Berbagai usaha telah
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan apresiasi kepada para pengusaha
yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam operasional perusahaan yang berupa
penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media massa, seperti yang dilakukan
oleh Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen
Tenaga Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont Indonesia.
Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan tersebut adalah PT. Total E&P
Indonesia (kategori Industri Pertambangan, Minyak, dan Gas), PT. Nestle Indonesia
(kategori Industri Consumer Goods), dan PT. Amoco Mitsui PTA Indonesia serta PT.
Wijaya Karya (kategori Industri Lainnya). Keempat pemenang ini disaring dari 125
finalis. Melihat nama-nama perusahaan yang mendapatkan penghargaan, menunjukkan
bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat menyadari masalah K3 adalah perusahaanperusahaan multinasional. Namun, yang menarik adalah bahwa terdapat satu
perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu PT. Wijaya Karya sudah berada pada
jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah K3.
Memang terdapat pengaruh positif budaya K3 yang dirasakan oleh pelaku konstruksi
nasional, yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsipprinsip K3 di proyek-proyek konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan
perilaku para tenaga kerja konstruksi.
G. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3/1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja
(jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang
sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan
sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Jamsostek kemudian
diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai penyelenggaraan jamsostek di
Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI
No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek),
sebagai sebuah badan (satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu
badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek

konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek
penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja
harian lepas, borongan,Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Proyek Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa
konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian lepas
dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para pengguna jasa
wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek
yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih
dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan
lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Khusus
mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993. Dalam Keppres
ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul karena hubungan
kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini berhak mendapat
jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah
hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada umumnya, penyakitpenyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia yang beracun yang berasal
dari material konstruksi yang apabila terkena dalam waktu yang cukup lama dapat
mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang mungkin timbul juga termasuk
kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan konstruksi, serta kelainan otot, tulang
dan persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi yang terlibat dalam proses
pengangkutan material berbobot dan berulang, dan penggunaan peralatan konstruksi
yang kurang ergonomis.
Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara legal
dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut sering kali
tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di rumah sakit
akibat kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga
yang terjadi pada saat ini.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai
masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas
hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia,
lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan
tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir
ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja
dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari
keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja
berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum
dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan

pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga the biggest
owner. Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan
paradigma K3 konstruksi. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang
didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat
mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang
besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang
terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh
komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat
partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit
dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu
perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola
secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh elemen yang ikut
terlibat dalam masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN
Wirahadikusumah,Reni.2008.Kecelakaan.(Online),
(lilo.staff.fkip.uns.ac.id/files/2008/09/kecel.. ,diakses 13 Desember 2009)
Warta Ekonomi, K3 Masih Dianggap Remeh, 2 Juni 2006
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep. 174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004
Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi Bendungan.
Hinze, J., and Bren, K. (1997). The Causes of Trenching Related Fatalities and
Injuries,
Proceedings of Construction Congress V: Managing Engineered Construction in
Expanding Global Markets, ASCE, pp 389-398.
Keppres RI No.22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan
Kerja.
King, R.W. and Hudson, R. (1985). Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.
Butterworths, England.
Occupational Safety and Health Administration (Revisi 2000). Occupational Safety and
Health Standards for the Construction Industry (29 CFR Part 1926) U.S. Department
of Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja
No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
The Business Roundtable (1982). Improving Construction Safety Performance. A CICE
Project Report. Construction Industry Institute, USA.
UURI Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
UURI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Diposkan oleh MICHAEL SULAIMAN HALAWA di 04.26


http://michaelmank25.blogspot.com/2013/02/makalah-kesehatan-dan-keselamatan-kerja.html

Anda mungkin juga menyukai