Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Armijn Pane adalah seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Ia juga merupakan
salah satu tokoh pendiri majalah Pujangga Baru (1933). Armijn dilahirkan di Muara
Sipongi (Sumatera Utara), 18 Agustus 1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Februari
1970. Armijn mengenyam pendidikan di HIS dan ELS (Tanjung Balai, Sibolga dan
Bukit Tinggi), STOVIA Jakarta (1923), NIAS Surabaya (1927), dan AMS-A Solo (tamat
1931). Armijn Pane adalah seorang romantikus yang suka mengembara dalam
jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet kejadian.
Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu novel yang termasuk
roman psikologis karena menitikberatkan pada analisis jiwa dari masing-masing
pelakunya, Belenggu (1940), banyak mengundang perdebatan di kalangan
pengamat dan penelaah sastra Indonesia. Pada novelnya yang bertajuk Belenggu
itulah ia memperlihatkan gaya romantisme, membangkitkan suasana dan perasaan
yang mengalun dan bergantian dalam ritme yang terpola dengan suasana lain yang
sendu bahkan cenderung sedih. Dalam novel Belenggu, Armijn Pane sedikit
meneceritakan sosok dirinya dalam tokoh Sukartono.
Kelebihan dari novel Belenggu adalah novel yang mengankat potret kehidupan
rumah tangga yang tidak harmonis. Tokoh dalam novel itu sama- sama
mengedepankan ego sehingga banyak perdebatan yang muncul. Armijn Pane
mampu menggambarkan kondisi dan keadaan jiwa para tokoh yang begitu nyawa
lewat deskripsi dan dialog dialog para tokoh di dalam novel.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk menganalisis sebuah novel
yang berjudul Belenggu karya Armijn Pane. Pembahasan tersebut penulis wujudkan
dalam sebuah makalah yang berjudul Analisis Psikologis Novel Belenggu karya
Armijn Pane.
(1994:66) bahwa orang dapat mengamati tingkah laku para tokoh dalam karya
sastra dengan memanfaatkan pertolongan ilnu psikologi. Ajaran Frued dalam dunia
psikologi lazim disebut sebagai psikoanalisis yang menekan pada penyelidikannya
pada proses kejiwaan dalam ketidaksadaran. Psikoanalisis dapat diartikan sebagai
pemahaman tentang kehidupan psikis yang disadari dalam kaitan yang lebih tinggi
dalam kehidupan psikis yang tidak disadari.
Teori psikoanalisis menurut Sigmud Freud terdiri dari tiga aspek, yaitu :
1.
Id atau aspek biologis dari kepribadian ini adalah aspek yang orisinil. Berfungsi
dengan berpegang pada prinsip kenikmatan, yaitu mencari keenakan dan
menghindarkan diri dari ketidakenakan. (Suryabrata, 1995:104)
Id dan Es adalah Reservior atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan
dorongan dorongan primitif yang disebabkan primitive drives atau inner forces
atau inner urges. Dorongan dorongan primitif ini merupakan dorongan dorongan
yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan ini
dipenuhi dengan segera maka tercapai perasaan senang, puas. Salah satu
dorongan primitif dalam Id adalah dorongan seksuil yang dikenal dengan libido
(Dirgagunarsa, 1983 : 63). Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa Id adalah aspek biologis kepribadian yang berhubungan dengan prinsip
kesenangan atau pemuasan dorongan seksual.
2.
Atau aspek psikologis kepribadian ini timbul dari kebutuhan organisasi untuk dapat
berhubungan dengan dunia luar secara realistis. Tujuannya masih dalam garis
kepentingan organisme , yaitu mendapat keenakan dan menghindarkan dirir dari
ketidakenakan , tetapi dalam bentuk dan sesuai kondisi kondisi dubnia riil. Sesuai
dengan kenyataan baik itu kenyataan benda benda mauapun kenyataan nilai
nilai sosial. (Suryabrata , 1995 : 104)
Firdaus mengatakan ego adalah lapisan psikis yang terbentuk karena hubungan id
dengan dunia luar. Ego biasanya mengawal dan menekan dorongan id yang kuat.
Sebaian ego yang muncul bersifat sadar , seperti persepsi lahiriah, persepsi
batiniah dan proses intelektual. Aktifitas prasadarnya dapat berupa fungsi ingatan.
Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip realitas , seperti tampak dalam pemikiran yang
objektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial dan mengungkapkan melalui bahasa.
(1986 : 43).
Dapat disimpulkan bahwa ego adalah aspek psikilogis dari kepribadian yang
muncul setelah adanya hubungan dengan dunia luar atau lingkungan. Ego bersifat
menekan id
yang kuat dalam bentuk aktivitas sadar dan prasadar dengan
berpengang pada prinsip kenyataan atau reality principle.
3.
Atau aspek sosiologis kepribadian ini merupakan wakil nilai nilai tradisional serta
cita cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orangtua kepada anak anaknya ,
yang diajarakn (dimasukkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Superego
lebih merupakan hal yang ideal dari pada hal yang riil , lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu dapat disebut juga dengan
aspek moral dari kepribadian.
Berfungsinya Das Ueber Ich (the superego) iti dapat dilihat dalam hubungan dengan
ketiga aspek kepribadian , yaitu :
a.
Merintangi implus implus das Es , terutama implus implus seksual agresif
yang pertanyaannya sangat ditentang oleh masyarakat.
b.
Mendorong das Ich untuk lebih mengejar hal hal yang moralitas dari pada
realitas.
c.
Firdaus (1986 :84) mengatakan Superego dibentuk dari perintah dan larangan yang
datang dari luar (norma, ajaran, orang tuan ) yang diolah sedemikian rupa sehingga
terpancar kembali dari diri seseorang. Superego merupakan lapisan menolak
sesuatu yang melanggar prinsip norma . Superegolah yang menyebabkan
seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Aktivitasnya
menyatakan rasa bersalah dan rasa menyesal. Sikap seperti observasi diri dan kritik
diri berasal dari Superego. Superego merupakan dasar hati nurani yang
menyangkut masalah moral.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan superego adalah aspek
sosiologis kepribadian yang merupakan hal yang ideal daripada yang rill lebih
menekankan kesempurnaan daripada kesenangan. Superego merupakan lapisan
yang menolak sesuatu yeng melanggar norma. Superego dapat dikatakan sebagai
dasar hati nurani yang erat hubungannya dengan moral.
Kendatipun ketiga aspek itu masing masing mempunyai fungsi, prinsip kerja, sifat
dan dinamika sendiri sendiri namun, ketiganya berhubungan dengan rapat
sehingga tidak dapat memisah misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku
manusia.
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud tentang psikoanalisisnya memiliki
kelemahan yaitu tidak membicarakan masalah keimanan tetapi hanya terfokus
pada tabir mimpi.
Teori Fruet tidak hanya sebatas untuk menganalisis asal usul proses kreatif seorang
pengarang.
Namun, seperti halnya psikolog ketika menghadapi pasien untuk
mengobati penyakitnya, tidak menguraikan asal usul penyakitnya, meinkan dengan
4.
Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta : Untuk kasus yang satu ini biasanya
terjadi karna faktor tuntutanorang tua yang mengharuskan anaknya menikah
dengan pasangan yang sudahditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera
rumah tangga sering kalipasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter? Dia
tiada menunggu jawaban dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya.
Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan sukartono,
terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari
bawah kerosi Sukartono.
Sudah sedia, katanya dengan senyum simpul.
Kartono merasa seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia di dalam hatinya
karena dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya. (Belenggu:
33)
Sosok wanita seperti Rohayah lah yang diidam-idamkan Sukartono selama ini untuk
mengisi kekosongan jiwanya sebagai seorang laki-laki. Sedangkan istrinya, Tini,
seolah menuntut sebuah emansipasi. Keras kepala dan ingin hidup bebas. Hal ini
tergambar pada potongan cerita berikut.
Duduklah Ibu, katakanlah. Nanti saya dengarkan dengan asyik. Diturut tidaknya
lain perkara.
memang Tini, kita berlainan paham.........
Seperti langit dan bumu, Ibu!
Aku bukan terlalu kolot.
Tini tertawa: Saya yang terlalu modern!
Memang, Tini! Kemudian disambungnya dengan sungguh-sungguh: kalau di
mata kami, tiada baik kalau seorang isteri banyak-banyak keluar malam, tidak
ditemani suaminya! Matanya memandang muka Tini dengan tajam.
Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking: Bukankah lakiku juga pergi
sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya? (Belenggu:53)
Padahal Tini bersikap demikian sebagai bentuk protes, karena Tono dalam
pandangannya terlalu mementingkan pekerjaan. Jiwanya tersiksa dengan sikap dan
tingkah laku suaminya, Tono.
Ya, tutuplah mulut. Biar istrimu tertunggu-tunggu. Tidakkah dapat ditunda satu
patient, buat menjemput isteri?
Dada Sukartono merasa lega. Bukan karena ketahuan karena dijemput malah.
Bukan kau bilang, tiada usah dijemput?
Siapa bilang? Bukan kau yang mengatakan hendak menjemput aku?
Kadang-kadang sepulangnya di rumah, terbit rasa kasihan dalam hati Tini melihat
kartono lagi membaca, menanti, kalau-kalau ada lagi patient datang. Adakah di
dalam hatinya sepi juga seperti dalam hatiku? Rusuh gelisah kadang-kadang?
Terbitlah keinginannya hendak bercumbu-cumbu dengan dia, hendak meriangkan
melalaikan hatinya, tetapi selalu tertahan oleh perasaan segan. Terbitlah
pikirannya: Mengapakah mesti aku yang dahulu menghampirinya? Mengapa bukan
dia? Maka terasa pula perasaan seperti malam itu, seolah-olah kehilangan tempat
pegangan bagi jiwanya. Tono tiada memberi sandaran lagi. Maka dicobanya
memberanikan, menegakkan jiwanya. (Belenggu: 65)
Tini terlihat sedikit berubah, membuat keheranan pada diri Tono. Tono mulai
menyelidiki apa sebenarnya yang tersebunya dalam jiwa Tini yang memiliki sebuah
pagar kokoh yang begitu terlihadat dalam kasat mata.
Tini menunggu, berharapkan dia hampir, tetapi tinggal tertunggu-tunggu.
Diliriknya, Tono lagi membaca, ketia dia hendal lalu, hendak keluar, tampak dari
sikap tangan Tono memegang buku, dari keadaan buku itu melandai, Tono sedang
memperhatikannya. Hatinya tertunggu-tunggu, menantikan tabik Tono, menanti
sapanya: Kemana Tini? Mari kuantarkan. Tetapi tiada ia berkata, dia diam saja. Di
dalam hati Tini seolah-oalh merentak, ah laki-laki, kalau sudah dapat, tiada peduli
lagi, kalau belum, langkah manisnya budinya, manis sapanya, mau dia
meninggalkan pelajarannya. (Belenggu: 68)
Tidak dapat dipungkiri, Tono selingkuh dengan Rohayah karena Tini yang tidak
dapat memuaskan jiwanya. Jiwanya malah terpuaskan ketika berada di sisi
Rohayah. Namun, terbersit sebuah kegalauan yang teramat sangat yang dirasakan
oleh Sukartono. Ia bingung, disorientasi di dalam hidupnya. Ini sangat terlihat pada
penggalan cerita pada halalam 91-93. Ada sebuah kutiap kalimat yang benar-benar
menggambarkan kondisi kejiwaan Sukartono pada saat itu.
Maksudku...., Maksudku, tahukah kita dasar hati kita sendiri, apa yang mengalun,
bersuara, menangis dalam hati jiwa kita? (Belenggu: 93)
Sebuah bangkai disembunyikan serapat apa pun pasti terbongkar. Begitu pula
dengan perselingkuhan Sukartono dengan Rohayah. Tini akhirnya tahu, karena
berita itu terus menyebar hingga sampai ke telingannya ketika ada acara di Solo.
Tini tertawa kecil, katanya dengan masam: Mengapa tidak? Bukankah kami sudah
lama bukan suami isteri? Kemudian katanya dengan termenung: Aneh, saya
sendiri tiada tahu, sedang orang di solo sudah maklum. Pamanku, bibiku ada
bertanya. Rupanya orang lain di kota ini suudah tahu pula, aku saja yang belum.
Lalu katanya pula dengan keras: Aku mesti menang, Tini tidak mau kalah. Nanti
kucari dia, maduku itu. (Belenggu: 113)
Tini benar adanya, ia mendatangi Rohayah disuatu hari. Ia ingin mencaci maki
wanita jalang itu. Namun, wanita seperti apa yang ia temukan? Rohayah
dihadapannya adalah wanita lembut yang pandai menghormati orang lain. Hatinya
ciut, nyalinya surut.
Akhirnya Tini menginginkan sebuah perpisahan. Walaupun berat dalam hatinya, tapi
mungkin itu yang terbaik untuk rumah tangganya. Ia ingin mengabdi disebuah
lembaga sosial di Surabaya.
Tidak Tono, jangan bicarakan perkara yang sudah-sudah. Aku tidak hendak
mengulangi cerita. Mari kita memandang kehadapan. Tini berhenti sejurus,
kemudian katanya: Tidakkah baik kalau......, kalau aku pergi saja. (Belenggu: 137)
Biar pun Tono sudah selingkuh, tapi ia tetap ingin mempertahankan rumah
tangganya dengan Tini. Biar bagaimana pun jiwanya terkoyak dengan apa yang
terjadi di dalam rumah tangganya. Ia terobang-ambing oleh keadaan jiwa yang
berimbas pada kehidupannya.
Besok? Tono terkejut juga mendengar Tini akan selekas itu berangkat. Mengapa
besok, Tini?
Besok atau lusa sama saja.
Kirimlah surat dulu ke Surabaya, tunggulah di sini balasannya. Aku belum tenang,
kalau belum ada putusan, belum pasti bagaimana nasibmu. (Belenggu: 139)
Dari kutipan di atas, Tono terlihat masih mencintai Tini. Terlihat dengan kehawatiran
yang ia tampakkan.
Tini dan Tono akhirnya benar-benar berpisah. Menempuh jalan hidup masingmasing. Mengoyakkan jiwa-jiwa mereka, yang sebenarnya tidak menginginkannya.
Mereka tiada tahu, sedang melambai-lambai, sudah jauh dari padangan, air mata
Tini mulai menitik, satu-satu, kemudian mengalir, membasahi pipinya, tangannya
berangsur-angsur perlahan-lahan melambai-lambai, lalu terhenti. Pandanganya
masuh menuju ke stasion, kemudia dia terduduk di tempat duduk, menangis
Hati Tono berkeping. Namun, segala belenggu jiwa itu seakan terlepas memberikan
kebebasan kepada semuanya untuk menjalani kehidupan masing-masing sesuka
kehendak jiwanya.
Nurhayati (melalui Suryabrata 2003 : 125 128) mendiskripsikan proses kejiwaan
manusia yang disebut id, ego, dan superego. Id mengarah pada sistem biologis
yang merupakan sistem original kepribadian. Id terletak dalam ketidaksadaran dan
berisi nafsu nafsu, insting, dan sebagaimana yang tidak disadari yang bersamanya
menuntut kepuasan. Id dalam novel ini terlihat pada keinginan dr. Sukartono untuk
mendapatkan perlakuan baik dari Tini, istrinya. Ia ingin istrinya seperti istri-istri
orang kebanyakan. Berikut kutipannya:
Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak
sama haknya dengan kaum laki-laki. apa yang hendak disamakan. Hal perempuan
ialah mengurus anak suaminya, mengurus ruma tangga. perempuan sekarang
Cuma meminta hak saja pandai. Kalau sumainya pulang kerja, benar dia suka
menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya
sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan
suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia?
Apa lagi hak perempuan, lain dari memberi hati laki-laki.
Dokter sukartono memandang sepatunya. Dia tersenyum, lucu rasanya
membayang-bayangkan Tini duduk bersimpuh di hadapannya sedang asyik
menanggalkan sepatunya. Mengurus bloc-note saja dia tiada hendak. Tiada
hendak ..... Betulkah karena tidak hendak? Tini pelalai diwaktu belakangan ini,
sampai barang sulamannya ditaruhnya di meja itu. Tini tahu, dia tiada suka ada
barang di sana, biar bloc-note itu jangan tersembunyi. dia tidak suka membiarkan
orang sakit menunggu tidak perlu. (Belenggu: 16)
Ego merupakan aspek spikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan
organisme untuk berhubungan baik dengan dunia kenyataan dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Di dunia ini kenyataan tidak selamanya
sesuai dengan harapan. Begitu juga yang dialami oleh dr. Sukartono. Ia berharap
Tini istrinya bisa berperilaku seperti orang kebanyakan, menghormatinya,
melayaninya. Namun, apa yang tejadi? Kenyataan yang terjadi, Tini berperilaku
sebaliknya. Tini bersikap dingin terhadap suaminya (Tono), keras kepala, tidak
melayani suami, juga tidak menghormatinya.
Tiba-tiba kedengaran suara mobil berhenti di pekarangan muka. Boleh jadi orang
memanggil .... Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah
isterinya menuju pintu muka. Sukartono memandang kepada halaman bukunya
dengan asyiknya. Isterinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan
terdengar suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi .... ah, bukan, dia membelok
hendak menuju ke kamar tidur, tiba-tiba perpaling, lalu dibukanya tasnya, kemudian
tiba-tiba jautuh terlempar bloc-note ke atas meja di hadapan Sukartono.
Sukartono terkejut, memandang ke arah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi,
menuju ke kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata
marah dari mulutnya. (Belenggu: 19)
Superego merupakan sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturanaturan yang bersifat evaluati (menyangkut baik-buruk). Setiap tokoh sebenarnya
memiliki superego di dalam diri mereka masing-masing. Namun, seolah jiwa mereka
ingin memanipulasi mengenai superego yang ada di dalam dasar hati mereka
masing masing. Di dasar hatinya sebenarnya Tini menyadari bahwa perilakukan
tidak wajar sebagai seorang istri. Ia ingin juga menjadi istri sebagai orang
kebanyakan. Namun, gengsunya terlalu tinggi, sehingga ia bersikap sebaliknya.
Juga dengan Sukartono, ia tahu bahwa perbuatan selingkuhnya salah. Namun, ia
mencoba memanipulasi hatinya, bahwa tindakannya benar karena ia tidak
mendapatkan apa yang ia inginkan dari istrinya. Begitu juga denga Rohayah, di
dasar hatinya yang paling dasar ia tahu bahwa menjadi selingkuhan orang itu salah,
tapi hatinya terus memanipulasi untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan
duniawi.
PENUTUP
Unsur ketidak sadaran tokoh tokoh dalam novel Belenggun karya Armijn Pene,
menunjukkan bahwa mereka mengalami sejumlah konflik, baik konflik batin
maupun konflik antar tokoh. Misalnya konflik yang dialami oleh tokoh utama dalam
novel tersebut yaitu Tono. konflik muncul karena ego masing masing natara Tono
dengan istrinya Tini. Ego kedua tokoh tersebut menyebabkan pertengkaran dalah
rumah tangga mereka. Si Kartini yang dingin terhadap Sukartono, membuat
Sukartono jenuh dan berselingkuh dengan patiennya yaitu Rokhayah yang tidak lain
adalah teman lamanya.
Makna ketidak sadaran yang muncul dalam novel Belenggu bersumber pada konflik
pribadi. Keegosian yang muncul dalam diri masing masing ternyata menimbulkan
kesengsaraan pada pihak lain. sehingga menimbulkan perselingkuhan dan
keretakan rumah tangga yang telah mereka bina.
Dalam novel tersebut terlihat jelas bawa tokoh Tono memiliki sikap dingin dan
sangat tertindas dengan sikap Tini yang sangat egois. Hal itulah yang
mengnyebabkan ia melakukan perselingkuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ginanjar, Nurhayati dkk. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi Teori dan Praktik. Surakarta.
Pane, Amrijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian Karya.
Wijaya, Heru dan Sri Hartingtyas. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Purworejo: Prodi
Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Muhammadiayah
Purworejo
http://www.infospesial.net/5000/4-faktor-umum-penyebab-perceraian/
(diunduh pada hari Jumat, 26 April 2013 pukul 13.00)
http://profil.merdeka.com/indonesia/a/armijn-pane/
(diunduh pada hari Sabtu, 27 April 2013 pukul 09.00)