Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug
eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik.1,2
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut,
hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang
disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada
permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.2,3
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat
yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi
obat. Sekitar 2-3% pasien rawat inap mengalami erupsi obat. Beberapa golongan yang sering
menyebabkan reaksi tersebut antara lain; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik;
golongan beta lactam, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol. 2,3
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong serius
karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlesin perawatan di rumah sakit bahkan
mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis
(NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. 4,5
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang
serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari
penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana
yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta
menurunkan angka morbiditas.3
LAPORAN KASUS
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Tanggal pemeriksaan
Rekam Medik
: Tn. KR
: 67 tahun
: Laki-laki
: Sandubaya - Mataram
: Hindu
: 12 April 2016
: 576114
Anamnesis
Keluhan Utama
Gatal dan muncul bintik-bintik kemerahan di seluruh badan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan muncul bintik-bintik kemerahan di seluruh tubuh sejak 4
hari yang lalu. Pasien telah dirawat di RSUD Prov NTB sejak 12 hari yang lalu,
keluhan muncul setelah pasien mendapatkan obat suntikan 4 hari yang lalu.
Keluhan muncul awalnya terdapat bengkak di wajah dan mata, serta tangan,
kemudian bintik kemerahan dan terasa gatal muncul di leher, dan seluruh badan,
keluhan terdapat kulit melepuh disangkal, keluhan mata merah, lesi pada bibir,
sakit menelan disangkal. Riwayat buang air kecil terasa nyeri disangkal. Keluhan
demam dirasakan sebelum keluhan bintik-bintik muncul, demam tidak terlalu
tinggi. Saat ini keluhan bengkak pada wajah, mata, dan tangan sudah tidak ada,
namun keluhan bintik kemerahan masih ada dan terasa sangat gatal apalagi bila
berekeringat. Makan minum dalam batas normal, BAB dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, pasien memiliki
riwayat kencing manis sejak 10 tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat
hingga saat ini. Riwayat alergi obat sebelumnya disangkal, riwayat alergi
makanan juga disangkal.
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu aksila
Status gizi
: Baik
: Compos mentis
: 120/80 mmHg
: 87 kali/ menit, regular dan kuat angkat
: 20 kali/menit, regular, simetris
: 36,7o C
: Kesan cukup
Status Generalis
Kepala dan leher : bentuk kepala bulat, alopecia (-), konjungtiva mata
anemis (-), sclera ikterik (-), refleks pupil (+/+), pupil isokor, pembesaran
trakea (-), perkusi sonor (+/+), auskultasi vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal, timpani (+), nyeri tekan (-),
Status Dermatologis
Hasil
Hasil
Nilai rujukan
(02/04/2016)
(07/04/2016)
HGB
9,2
9,2
RBC
2,98
3,06
HCT
26,3
26,6
MCV
88,3
86,9
MCH
30,9
30,1
MCHC
35,0
34,6
WBC
7,23
16,65
EO
0,4
0,4
0-1 (%)
BASO
0,1
0,1
0-1 (%)
NEUT
65,2
14,34
50-70 (%)
LYMPH
18,0
0,99
25-33 (%)
MONO
16,3
1,24
3-8 (%)
PLT
286
379
Parameter
Hasil
Hasil
(02/04/2015)
(07/04/2015)
Kreatinin
0,9
Ureum
40
10 50 (mg%)
SGOT
12
11
< 40 (U/L)
SGPT
18
< 41 (U/L)
GDS
209
205
<150 (mgl/dl)
HBsAg
Non reaktif
VII.
Nilai rujukan
Diagnosis kerja
Erupsi obat tipe makulopapular e.c susp levofloxacin
VIII. Tatalaksana
Memberhentikan obat tersangka penyebab alergi sesegera mungkin
Medikamentosa
10
Terapi sistemik
Kortikosteroid : 125 mg / 12 jam tappering off segera apabila keluhan
membaik
Antihistamin : cetirizine 1 x 10 mg
Terapi topikal
Bedak salisilat 2%
Non-medikamentosa (edukasi)
a. Edukasi terhadap pasien dan keluarga bahwa penyakit ini merupakan penyakit
alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat
b. Edukasi terhadap pasien dan keluarga untuk selalu memperhatikan apabila
terdapat reaksi alergi selanjutnya atau terdapat perburukan gejala, karena
apabila terdapat lesi lain yang lebih parah, presentase kesembuhannya juga
berbeda
c. Selalu memperhatikan jenis obat apapun yang dikonsumsi dan dipakai, baik
yang diminum atau pemakaian luar, serta jamu-jamuan, karena dapat
mencetuskan alergi, serta reaksi yang lebih parah daripada gejala saat ini
IX. Prognosis
1. Qua ad Vitam
: bonam
2. Qua ad Sanationam : dubia ad bonam
3. Qua ad Kosmetikam : bonam
11
PEMBAHASAN
Erupsi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
yan terjadi selama atau setelah pemakaian obat dalam rentang dosis normal. 3 Erupsi obat
eksantematosa (yang juga disebut morbiliformis atau erupsi obat makulopapular) adalah
erupsi akibat obat yang paling umum.4 Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab
timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat
dan tepat bagi penderita.4 Golongan obat yang sering menyebabkan erupsi obat ini antara lain
obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; golongan beta lactam, sulfonamid,
antikonvulsan, allopurinol, dan juga golongan obat umum lainnya seperti benzodiazepin,
kaptopril, floroquinolon, gold, lithium, obat anti hiperglikemik oral, fenotiazin, quinidine,
diuretik thiazid.3 Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan
tanda dan gejala yang mengarah diagnosis erupsi obat tipe makulopapular e.c susp
levofloxacin. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya ruam berupa bintikbintik kemerahan di seluruh tubuh sejak 4 hari yang lalu. Pasien telah dirawat di RSUD
Prov NTB sejak 12 hari yang lalu, keluhan muncul setelah pasien mendapatkan obat suntikan
4 hari yang lalu, diduga obat suntikan yang diberikan adalah golongan obat floroquinolon,
yakni levofloksasin. Keluhan muncul awalnya terdapat bengkak di wajah dan mata, serta
tangan. Keluhan demam juga dirasakan, sebelum keluhan bintik-bintik muncul, demam tidak
terlalu tinggi.
Erupsi eksantematosa terlihat sebagai ruam yang luas, simetris dengan komposisi
makula dan papula merah & merah muda yang dapat terdiri dari plak. Meskipun membran
mukosa biasanya bertahan, kemerah-merahan tanpa lepuh dapat terjadi pada tempat tersebut.
Pruritus sering terjadi namun dengan variasi yang bermacam-macam, dan demam ringan
dengan suhu dibawah 38,5 derajat celsius umumnya terjadi.4
Melihat status imun dari pasien, faktor genetis yang berkaitan dengan respon imun,
mempengaruhi risiko terjadinya reaksi obat, selain itu usia lanjut juga termasuk faktor risiko
terjadinya erupsi obat ini.3,4 Sesuai dengan kasus ini, pasien adalah seorang pria usia lanjut
yakni 67 tahun, pasien juga rutin mengkonsumsi obat untuk diabetes mellitus. Selain itu,
kejadian erupsi obat berhubungan dengan status imun dari pasien, mendapatkan pengobatan
rutin, selain itu pasien imunokompromise. Merupakan faktor resiko erupsi obat.
12
Pasien dengan infeksi HIV, tranplantasi sumsum tulang, atau infeksi tertentu yang
mendapatkan pengobatan rutin termasuk memiliki risiko tinggi. Contohnya, umumnya pasien
dengan infeksi mononukleosis yang dirawat dengan aminopenisilin mengalami erupsi
eksantematosa, dibandingkan dengan 5% pasien yang tidak memiliki gejala dan mengambil
obat yang sama. Beberapa HLA alel memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap beberapa
reaksi hipersensitivitas sel T. Umumnya pada kasus reaksi kutaneus yang berat, dimana
berhubungan secara spesifik terhadap tipe reaksi, obat kausatif, dan grup etnis. Orang Eropa
yang mengambil pengobatan carbamazepine, HLA-A*301 dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan risiko exanthema makulopapular.4,5
Kebanyakan ruam akibat obat merupakan self-limiting dan hanya berupa simptom
ringan. Mayoritas manifestasi kulit dari erupsi obat merupakan eksantematosa (>80%) atau
urtikaria (5-10%), namun persentase diatas bervariasi antar obat dan group pasien. Beberapa
pasien yang tidak merupakan immunocompromised, gejala kutaneus yang berat akibat obat
cukup jarang (dengan insiden <1 per 1000 pasien), meskipun dengan medikasi risiko tinggi.4
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat
dan laporan dari dokter, pada penelitian di Pakistan, kejadian erupsi obat adalah 2 - 3% dari
total pasien yang dirawat inap dengan pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan. Tipe yang sering terjadi adalah rash
makulopapular dan Steven Johnson Syndrome.
6,7
klasifikasinya yaitu :
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi eksantematosa
merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi oleh hampir semua obat.
Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang
berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran
mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 2 minggu setelah inisial terapi, tapi
kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala
pruritus, dapat pula diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi
yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi
dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam
dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan
melanjutkan terapi.1,5,6
13
Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang
ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi
kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran
mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.1,8
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui
dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe
III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi
setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum
reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini
dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat morbiliformis
dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan dari bioaktivasi obat
menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma
secara kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.6,8
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID,
sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan bahkan
retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat
bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi
tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksantem yang sukar dibedakan dengan yang
diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika
terutama kelompok penisilin.6
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua. Urtikaria
merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema setempat yang pucat atau
kemerahan dengan halo yang timbul mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika
biasanya hilang dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi
urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa
milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam dan
gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala.
14
Gambar A dan B menunjukkan erupsi obat eksantematosa dengan makula dan papula yang
memiliki ukuran yang bervariasi dan bergabung membentuk plak. Erupsi yang terlihat pada
gambar A cukup ringan, dengan makula dan papula berwarna pink simetris, sedangkan erupsi
pada gambar B terlihat lebih intensif, dengan lesi berwarna merah dan lebih meninggi.
Gambar C menunjukkan reaksi obat eksantematosa yang melibatkan paha, dengan makula
dan papul merah yang membentuk plak dan biasanya memiliki keterlibatan proksimal yang
lebih besar. Gambar D menunjukkan urtikaria dengan karakteristik pucat di tengah dan merah
pada tepi. Gambar E menunjukkan reaksi fototoksik dari doksisiklin. Reaksi kulit seperti
terbakar matahari hanya terlihat pada area yang terekspos sinar matahari. Gambar F
menunjukkan erupsi obat dengan hiperpigmentasi dari reaksi sebelumnya dan pada tempat
yang sama terjadi erythema akibat reeksposur dari obat kausatif. Gambar G menunjukkan
campak dengan makula dan papul warna merah muda yang bersatu membentuk plak pada
pasien yang hanya menerima vaksin dalam satu dosis.4
15
Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan jaringan
subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya berkembang pada lokasi tertentu saja. 1
Edema biasanya simetris. Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna,
dan punggung tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi
edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat menqakibatkan kematian
akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1
Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian dari reaksi
tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga melalui pembentukan
kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID
lain. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika -laktam (melalui mekanisme
alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme
pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria yang
diinduksi obat.7
c. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE
atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang selalu
diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat
mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa
eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang
berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah
penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang
kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. 10 Lesi kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap.
Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.9
Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim dan
analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan
pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi
terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.11
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Beberapa obat
penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan
analgesik.1,5
16
17
e. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa bercak/pembengkakan
berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi
sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki,
termasuk pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri
atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang
dengan penekanan, dan disertai rasa gatal. 1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah,
diameter 2-3 mm, merah, kemudian coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula
kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam; kemudian
menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk linear) , Hematoma
(kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak pembengkakkan
& fluktuasi)1
Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III, jadi
berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis. 2
Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil,
hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.13
g. Reaksi fotoalergik
Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi
imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan cahaya.
19
UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat
diinduksi oleh obat topikal atau sisternik.13
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis kontak alergi
pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan sinar matahari, kemudian dapat
meluas yang tidak terpajan matahari.3 Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik
lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.6
20
21
22
Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika yang
kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga mengenai selaput
lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat
terjadi anemia dan proteinuria ringan.3
k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)
Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor merupakan
sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan mata dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab lainnya adalah
infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang
menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik,
beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin
dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan
NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik).
23
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis tubular akut
akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonephritis.
24
Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis kontak iritan karena baygon dan
Staphylococcus Scalded Skin Syndrome(SSSS).3
Semua klasifikasi terangkum pada tabel berikut : 9
Pada pasien ini klasifikasi yang termasuk adalah tipe makulopapular, yang disebabkan
oleh antibiotik golongan quinolone. Erupsi tipe makulopapular dan sindrom Stevens-Johnson,
Necrolysis epidermal toxic, pustulosis eksantematosa generalisata akut, Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptom(DRESS Syndrome) atau sindroma DRESS yang sering
juga dikenal sebagai Drug Hypersensitivity Syndrome, atau Hypersensitivity Syndrome
Reaction (HSR) adalah kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik, yang berkaitan
dengan sel-T, reaksi hipersensitivitas tipe 4. Antigen penampil sel (APC) menghasilkan
hapten, yang menampilkan fragmen protein atau peptide dari suatu obat atau metabolitnya
kepada sel T naiv. Dimana sel T spesifik antigen tersebut akan berkembang biak,
menginfiltrasi kulit dan melepaskan sitokin, kemokin, dan mediator proinflamasi lainnya
yang menimbulkan tanda dan gejala dari ruam akibat obat. Berdasarkan konsep teori
25
alternatif (interaksi farmakologi obat dengan reseptor imun), molekul kecil dari obat atau
metabolismenya yang tidak merupakan antigen sempurna, mengaktifkan sel T secara
langsung berikatan dengan reseptor sel T.4,16
Laporan adanya reaksi anafilaktik IgE terhadap kuinolon tampaknya terus meningkat,
kemungkinan disebabkan penggunaan agent tersebut. Studi in-vitro menyebutkan adanya
tingkat reaksi silang yang cukup tinggi antara kuinolon, namun tidak ada studi klinis untuk
mengkonfirmasi hal ini. Erupsi dermal tampak terlihat pada 2% pasien yang menggunakan
kuinolon. Ada bukti bahwa obat dengan spesifik sel T bertanggung jawab atas adanya reaksi
makulopapular dari kuinolon. Kuinolon dapat menyebabkan kontra reaksi pada tubuh.
Ciprofloxacin (CPFX), fluorokuinolon yang paling sering digunakan menyebabkan kontra
reaksi ruam pada 1-2 % dari total pasien. Reaksi yang paling banyak dilaporkan umumnya
terjadi reaktif dan menyebabkan urticaria, angio-oedema dan anaphylaxis. Reaksi tersebut
menunjukkan adanya respons alergi IgE tipe I. Untuk membuktikan, Manfredi et al
melakukan serangkaian test yang bertujuan mendeteksi reaksi antibodi IgE terhadap CPFX
dan kuinolon lain.7,11,12
Reaksi hipersensitifitas yang muncul belakangan, umumnya dalam bentuk exanthema
yang berbeda juga dapat terjadi pada perawatan menggunakan kuinolon dan diperkirakan
berhubungan dengan sel T. Meski demikian, hubungan immunogenisitas kuinolon terhadap
sel T dan ciri-cirinya belum dilakukan studi secara mendetail. Kesimpulannya, kuinolon
dapat memunculkan efek reaksi hipersensitifas yang tertunda dan secara spesifik dapat
menstimulasi sel T. Kuinolon dapat berinteraksi dengan berbagai macam reseptor sel T pada
manusia.7,11
26
Tabel obat-obatan yang dapat mencetuskan SJS-TEN berdasarkan derajat severitas :16
Penegakkan diagnosis erupsi obat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, akan diuraikan dibawah ini :
a.
Anamnesis : adanya lesi yang ada awalnya lesi muncul pada batang tubuh, kemudian
ke leher, dan ekstremitas atas hingga menyebar kearah bawah secara simetris. Lesi
bisa menyebar ke daerah intertriginosa, namun tidak sampai mengenai kaki dan
mukosa, serta telapak tangan. Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan
penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan
yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat. Erupsi obat dapat terjadi
4-14 hari setelah pemakaian obat, namun bisa juga terjadi beberapa hari setelah
pemakaian obat tesebut dihentikan. Rasa gatal juga dapat terjadi disertai demam yang
biasanya subfebril.3
Pada pasien diatas dalam anamnesis didapatkan adanya ruam bintik-bintik kemerahan
di seluruh tubuh yang sebelumnya didahului oleh demam yang tidak terlalu tinggi dan
berkaitan dengan penggunaan injeksi antibiotik levofloksasin, sehingga dapat
termasuk dalam erupsi obat.
27
Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis sesuai
dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala
klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu
diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan
yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).
Pada erupsi obat tipe makulopapular dapat ditemukan lesi yang berwarna pucat, atau
makula yang berwarna pink sampai merah seperti warna daging salmon (salmoncolored macules).3
Pada pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adala makula disertai papul multipel
dengan dasar eritema, simetris, ini sangat mengarah pada gejala erupsi obat tipe
makulopapular.
c.
Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat
dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik. Namun terdapat beberapa
pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan penyebab erupsi
obat alergik :3,6
1. uji tempel (patch test)
28
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg
sampai 4x 10 mg sehari.1,2
Antihistamin
29
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.
Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid.1,2
Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau urtikaria, dapat diberikan emolient
dan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa
perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan
eritema nodusum tidak diperlesin pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan
membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid,
misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema
yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagiansebagian.1
Pada pasien diberikan terapi kortikosteroid sistemik injeksi 125 mg/12 jam sampai
gejala menghilang kemudian tapering off segera. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin
cetirizine 1x10mg, dan terapi topikal berupa bedak salicyl 2%. Menurut Shear dkk, bahwa
dosis pemberian prednisone pada erupsi obat yakni 1-2 mg/kgBB/hari. 2
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma
dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 6 Erupsi obat tipe makulopapular juga dapat
berkembang menjadi eritroderma atau SJS/TEN, dapat juga berkembang menjadi Drug Rash
with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS).16
30
KESIMPULAN
Dilaporkan pasien laki-laki, usia 67 tahun, masuk rumah sakit 12 hari yang lalu
karena gula darah pasien tinggi, kemudian 4 hari setelah perawatan pasien mengeluh batuk,
sehingga dirawat bersama dengan spesialis paru, olehnya diberikan antibiotik spektrum luas
yakni seftriakson sembari menunggu hasil rontgen dada dan sputum BTA. Setelah hasil
rontgen dada menunjukkan kecurigaan TBC aktif, dokter mengganti terapi seftriakson
menjadi levofloksasin karena hasil sputum BTA belum ada, namun setelah injeksi
levofloksasin diberikan pasien mengeluh muncul bintik-bintik kemerahan di seluruh
tubuhnya, wajah dan mata pasien bengkak, disertai demam sebelumnya, setelah keluhan
muncul, injeksi obat tersebut langsung dihentikan.
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat memicu
timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, harus
dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari terapi tersebut.
Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi
pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA.
Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat
dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang
memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana
diperlesin, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi
obat alergik.
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hamzah, M., 2010, Erupsi Obat Alergik, dalam Djuanda dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Physician.
2003
(cited
2016
April
20).
Available
from
8.
http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html.
Thong, BY. Update on the Management of Antibiotic Allergy. Allergy Asthma Immunol
9.
10.
11.
12.
13.
Press.
2006.
Access
on:
June
3,
2007.
Available
at:
14.
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Barlianto W. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Keparahan Erupsi Obat pada
15.
16.
33